Anda di halaman 1dari 60

PEMBAHASAN

HIRSCHPRUNG
 Konsep Medis
1. Definisi
Penyakit Hirschprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini
merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik).
Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai
persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya
sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-
beda untuk setiap individu.
Hirschprung atau megakolon kongenital adalah penyakit bawaan akibat tidak
tercapainya pertumbuhan chepalocaudal. Sel-sel parasimpatis myantericus pada segmen
usus bagian distal, terbanyak di rektosigmid. Sehingga tidak ada peristaltic pada usus yang
terkena dan menyebabkan fasees tidak bisa keluar sehingga terjadi obstruksi, dilatasi kolon
bagian proksimal dan hipertropi dinding ototnya sehingga terbentuk megakolon.

2. Klasifikasi
Hirschsprung dibedakan sesuai dengan panjang segmen yang terkena, sehingga
hirschsprung terbagi menjadi 2 tipe berikut :
o Segmen Pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari
kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding
anak perempuan.
o Segmen Panjang
Daerah aganglionisis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat mengenai
seluruh kolon atau sampai usus halus.

3. Etiologi
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding
usus, mulai dari spingter ani internus kearah proksimal, 70 % terbatas didaerah
rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus
dan pilorus.
Adapun yang menjadi penyebab hirschsprung atau mega kolon kongenital adalah
diduga karena terjadi faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down
syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi,
kranio kaudal pada myentrik dan submukosa pada dinding plexus.
Dalam keadaan normal bahan makanan yang dicerna bisa berjalan disepanjang usus
karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut
gerakan peristaltiik). Kontraksi dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion
yang terletak dibawah lapisan otot.
Sedangkan menurut (Amiel, 2001) penyebab hisprung tidak diketahui, tetapi ada
hubungan dengan kondisi genetic Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan
neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung familiar (Edery, 1994). Gen lain
yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang
diturunkan dari factor gen, dari factor gen endhotelin-B, dan gen endothelin -3 (Marches,
2008). Penyakit Hirschprung juga terkait dengan Down syndrome, sekitar 5-15% dari pasien
dengan penyakit Hirschprung juga memiliki trisomi 21 (Rogers, 2001).
4. Pathway
5. Manifestasi Klinis
o Pada neonatus, meliputi :
- Kegagalan mengeluarkan mekonium dalam tempo 24 hingga 48 jam karena usus
tidak mampu mendorong isinya ke arah distal.
- Muntah dengan muntahan yang mengandung feses atau empedu sebagai akibat
obstruksi intestinal.
- Distensi abdomen yang terjadi sekunder karena retensi isi usus dan obstruksi usus.
- Iritabilitas (anak menjadi rewel) akibat distensi abdomen yang ditimbulkan.
- Kesulitan menyusu dan kegagalan tumbuh kembang yang berhubungan dengan
retensi isi usus dan distensi abdomen.
- Dehidrasi yang berhubungan dengan kesulitan menyusu dan ketidakmampuan
mengonsumsi cukup cairan.
- Diare overflow yang terjadi sekunder karena peningkatan sekresi air kedalam usus
disertai obstruksi usus.
o Pada anak, meliputi :
- Konstipasi persisten akibat penurunan motilitas gastrointerstinal (GI)
- Distensi abdomen akibat retensi feses.
- Massa feses yang bisa diraba akibat retensi feses.
- Ekstremitas yang lisut( pada kasus-kasus berat) yang terjadi sekunder karena
gangguan motilitas intestinal dan pengaruhnya pada nutrisi serta asupan makanan.
- Kehilangan jaringan subkutan (pada kasus-kasus berat) yang terjadi sekunder karena
malnutrisi.
- Abdomen yang besar dan menonjol akibat retensi feses dan perubahan homeostatis
cairan serta elektrolit yang ditimbulkan.
6. Penatalaksanaan
 Pembedahan
Pembedahan pada penyakit hirscprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula
dilakukan kolostomi loop atau double–barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang
dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4
bulan). Bila umur bayi itu antara 6-12 bulan (atau bila beratnya antara 9 dan 10 Kg),
satu dari tiga prosedur berikut dilakukan dengan cara memotong usus aganglionik dan
menganastomosiskan usus yang berganglion ke rectum dengan jarak 1 cm dari anus.
Prosedur Duhamel umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1
tahun. Prosedur ini terdiri atas penarikan kolon normal ke arah bawah dan
menganastomosiskannya di belakang anus aganglionik, menciptakan dinding ganda
yang terdiri dari selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang ditarik
tersebut.

Pada prosedur Swenson, bagian kolon yang aganglionik itu dibuang. Kemudian
dilakukan anastomosis end-to-end pada kolon berganglion dengan saluran anal yang
dilatasi. Sfinterotomi dilakukan pada bagian posterior.
Prosedur Soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan prosedur
yang paling banyak dilakukan untuk mengobati penyakit hirsrcprung. Dinding otot dari
segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke
anus, tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot
rektosigmoid yang tersisa.

 Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui
pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
 Tindakan bedah sementara
Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat
didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum memburuk.
Kolostomi dibuat di kolon berganglion normal yang paling distal.
 Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
- Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara
dini.
- Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak.
- Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan).
- Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan
mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat.
Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga
adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan
nutrisi parenteral total.
7. Komplikasi
 Obstruksi usus
 Konstipasi
 Ketidakseimbangan elektrolit
 Enterocolitis
 Striktur anal dan inkontinensia (post op)
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
a. Kimia darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya
dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi.
Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan
elektrolit.
b. Darah rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet
preoperatiof.
c. Profil koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan
pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
2) Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen dapat menunjukan adanya loop usus yang distensi dengan
adanya udara dalam rectum, memperlihatkan usus melebar/gambaran obstruksi usus
rendah.
b. Barium enema : untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
- Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum memasukkan
kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada daerah zona transisi.
- Kateter diletakkan didalam anus, tanpa mengembangkan balon, untuk menghindari
kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya peforasi. foto segera diambil setelah
injeksi kontras, dan diambil lagi 24 jam kemudian.
- Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang mengalami
dilatasi merupakan gambaran klasik penyakit Hirschsprung. Akan tetapi temuan
radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpetasi dan sering kali gagal
memperlihatkan zona transisi.
- Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung adalah
adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema dilakukan.

3) Biopsi
Biopsi rektum untuk melihat ganglion pleksus submukosa meisner, apakah terdapat
ganglion atau tidak. Pada penyakit hirschprung ganglion ini tidak ditemukan.
4) Manometer Anorektal
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur tekanan di otot sfringter, keadaan dubur,
kinerja dan gerak reflek alamiah yang seharusnya terjadi dalam pergerakan usus yang
normal. Sebelum pemeriksaan dilakukan, satu atau dua dosis obat pencahar diberikan
kepada pasien. Kemudian pasien tersebut berbaring dengan posisi miring ke kiri (posisi
sim), dan sebuah tabung kecil dan lentur seukuran sebuah termometer dengan sebuah
balon di ujungnya, dimasukkan kedalam dubur. Kateter atau tabung itu terhubung
dengan sebuah mesin yang mengukur tekanan. Selama pemeriksaan, balon kecil yang
melekat di ujung kateter akan di kembangkan dan memenuhi dubur guna mengukur
reflek pembuangan yang terjadi. Perawat juga akan meminta pasien tersebut untuk
mengkontraksi, mengendurkan/melemaskan/meregangkan dan mengejan sesekali waktu.
 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
 Identitas
Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat,
tanggal pengkajian, pemberi informasi.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan
tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada
segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan
seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan
(Ngastiyah, 1997).
 Riwayat Kesehatan
- Keluhan utama
Keluhan utama yang lazim di temukan pada anak adalah nyeri abdomen. Keluhan
orangtua pada bayinya dapat berupa muntah-muntah. Keluhan gastrointestinal lain yang
menyertai seperti distensi abdominal, mual, muntah dan nyeri kolik abdomen.
- Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan orang tua pada bayi dengan tidak adanya evakuasi mekonium dalam 24-48
jam pertama setelah lahir diikuti obstruksi konstipasi, muntah, dan dehidrasi. Gejala ringan
berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus
akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Adanya
feses yang menyemprot pada saat colok dubur merupakan tanda yang khas.
Pada anak, selain tanda pada bayi, anak akan rewel dan keluhan nyeri pada abdominal.
Keluhan lainnya berupa konstipasi atau diare berulang. Pada kondisi kronis, orang tua
sering mengeluh anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Anak
mungkin didapatkan mengalami kekurangan kalori-protein. Kondisi gizi buruk ini
merupakan hasil dari anak yang selalu merasa kenyang, perut tidak nyaman, dan distensi
terkait dengan konstipasi kronis. Dengan berlanjutnya proses penyakit, maka akan terjadi
eterokolitis. Kondisi enterokolitis dapat berlanjut ke sepsis, transmural nekrosis usus, dan
perforasi.
- Riwayat Kesehatan Dahulu
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit Hirschsprung.
- Riwayat Kesehatan Keluarga
Pada pengkajian riwayat penyakit keluarga sering didapatkan peningkatan kecemasan
serta perlunya pemenuhan informasi intervensi keperawatan dan pengobatan.
- Riwayat Tumbuh Kembang
Terjadinya gangguan tumbuh kembang
- Riwayat Nutrisi
Nutrisi kurang dari kebutuhan karena anak malas makan, mual dan muntah.
 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemah
Tanda-tanda Vital
Nadi : biasanya terjadi takikardia dimana menandakan terjadinya iskemia
Suhu : biasanya terjadi hipertermi usus dan gejala terjadinya perforasi
RR : normal
TD : normal
Review Of System
1. B1 (Breathing)
Kaji bentuk dada, kelainan pada dinding thorax, apakah ada kesulitan bernapas,
frekuensi pernapasan. Tidak ada kelainan
2. B2 (Blood)
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal,
frekuensi denyut nadi / apikal. Tidak ada kelainan
3. B3 (Brain)
Tidak ada kelainan
4. B4 (Bladder)
Tidak ada kelainan
5. B5 (Bowl)
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus, adanya
kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan karakteristik
muntah) adanya keram, tendernes. Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang,
muntah berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok
anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya
udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
6. B6 (Bone)
Tidak ada kelainan
 Pemeriksaan Penunjang
- Pada biopsi rektum tidak ditemukan ganglion pleksus submukosa meisner.
- Pada foto abdomen usus terlihat melebar.
- Pada barium enema didapatkan hasil colon tersumbat.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglionik ditandai dengan pengeluaran feses lama
dan sulit, peristaltik usus menurun, distensi abdomen. (D.0149)
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan keengganan untuk makan ditandai dengan nafsu
makan menurun, membran mukosa pucat, nyeri abdomen. (D.0019)
c. Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan obstruksi intestinal. (D.0036)
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi

1. Konstipasi b.d Setelah Manajemen Konstipasi


aganglionik d.d dilakukan
Observasi
pengeluaran feses tindakan
lama dan sulit, keperawatan - Periksa tanda dan gejala konstipasi
peristaltik usus selama 1 x 24 - Periksa pergerakan usus, karakteristik feses
menurun, distensi jam, maka (konsistensi, bentuk, volume, dan warna)
abdomen. eliminasi fekal - Identifikasi faktor risiko konstipasi (mis.
membaik dengan obat-obatan, tirah baring, dan diet rendah
kriteria hasil : serat)
- Monitor tanda dan gejala ruptur usus
- Kontrol
(D.0149) pengeluaran dan/atau peritonitis
feses Terapeutik
meningkat
- Anjurkan diet tinggi serat
- Keluhan
- Lakukan masas abdomen, jika perlu
defekasi lama
- Lakukan evakuasi feses secara manual, jika
dan sulit
perlu
menurun
- Berikan enema atau irigasi, jika perlu
- Distensi
Edukasi
abdomen
menurun - Jelaskan etiologi masalah dan alasan
- Nyeri tindakan
abdomen - Anjurkan peningkatan asupan cairan, jika
menurun tidak ada kontraindikasi
- Konsistensi - Latih buang air besar secara teratur
feses - Ajarkan cara mengatasi konstipasi/impaksi
membaik Kolaborasi
- Peristaltik
- Konsultasi dengan tim medis tentang
usus membaik
penurunan/peningkatan frekuensi suara usus
- Kolaborasi penggunaan obat pencahar, jika
(L.04033) perlu

(I.04155)

2. Defisit nutrisi b.d Setelah Manajemen Nutrisi


keengganan untuk dilakukan
Observasi
makan d.d nafsu intervensi
makan menurun, keperawatan - Identifikasi status nutrisi
membran mukosa selama di RS - Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
pucat, nyeri maka status - Identifikasi makanan yang disukai
abdomen. nutrisi anak - Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
membaik dengan
kriteria hasil : nutrien
(D.0019)
- Identifikasi perlunya penggunaan selang
- Berat badan
nasogastrik
meningkat
- Monitor asupan makanan
- Panjang
- Monitor berat badan
baadan
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
meningkat
Terapeutik
- Membran
mukosa pucat - Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika
menurun perlu
- Anak cengeng - Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.
menurun piramida makanan)
- Pucat - Sajikan makanan secara menarik dan suhu
menurun yang sesuai
- Kesulitan - Berikan makanan tinggi serat untuk
makan mencegah komplikasi
menurun - Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
- Pola makan protein
membaik - Berikan suplemen makanan, jika perlu
- Proses - Hentikan pemberian makan melalui selang
tumbuh nasogastrik jika asupan oral dapat
kembang ditoleransi
membaik Edukasi

- Anjurkan posisi duduk, jika mampu


L.03031 - Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum


makan (mis. pereda nyeri, antlemetik), jika
perlu
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan, jika perlu
I.03119

4. Implementasi
Pelaksanaan perencanaan atau intervensi keperawatan yang sesuai standart operasional
yang ada. Yang mana tindakan ini berkaitan dengan tanggung jawab dan tanggung gugat.
5. Evaluasi
Penilaian akhir dari asuhan keperawatan terutama pada intervensi dan implementasi
keperawatan. Hal yang dievaluasi sesuai dengan format SOAP (Subjektif, Objektif,
Assassment, dan Planning).
ATRESIA ANI
 Konsep Medis
1. Definisi
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘a’ yang
berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau nutrisi”. Dalam istilah
kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan
abnormal. Atresia ani memiliki nama lain yaitu “anus imperforata”.
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rektum. (Purwanto, 2001).
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
2. Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada sumber yang
mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
a. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan
pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
anus.
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
d. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar
panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak
memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal
resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai
gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier
saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai 19
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
- Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir, seperti :
1) Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada
gastrointestinal.
2) Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.
3. Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu:
a. Anal stenosis terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar
b. Membranosus atresia  terdapat membran pada anus
c. Anal agenesis  memiliki anus tetaapi ada daging diantara rectum & anus
d. Rectal atresia  tdak memiliki rektum
Selanjutnya, masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi 3 subkelompok anatomi, yaitu:
- Anomali rendah/infraelevator
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter
internal & eksternal yg berkembang baik dengan fungsi normal & tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinaria
- Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot purborectalis, lesung anal & sfingter
eksternal berada pada posisi yg normal.
- Anomali tinggi/supralevato
Ujung rectum di atas otot puborectalis & sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya
berhubungan dengan fistula genitourinarius-rectrouretral (pria) atau rectovagina (wanita).
Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum >1 cm.
4. Gambaran Klinis
5. Manifestasi Klinis
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan
fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan
jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi
fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal.
Gejala yang akan timbul:
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung. (Ngastiyah, 2005)
6. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari
bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan
struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia ani karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon
antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada
pembukaan usus besar yang keluar melalui anus menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan
sehingga intestinal mengalami obstruksi.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina)
atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula
menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju
ke uretra (rektourethralis).
7. Pathway

8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum
dilakukan pada gangguan ini.
Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan
adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang
mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut
sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk
1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :
- Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.
- Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan
gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada
bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid,
kolon/rectum.
- Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah
dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara
benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur
9. Penatalaksanaan
× Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan.
Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan
dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus
permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan.
Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada
pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya.
Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang
pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan
tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau
skapel.
× Pengobatan.
- Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
- Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan
korksi sekaligus (pembuat anus permanen)
× Keperawatan
Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan
tersebut dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap
pertama hanya dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan
ke 2, selain itu perlu diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan
untuk mencegah infeksi serta memperhatikan kesehatan bayi. (Staf Pengajar FKUI. 205)
10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain:
1) Asidosis hiperkloremia.
2) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4) Komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat konstriksi
jaringan perut dianastomosis).
5) Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
6) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi).
7) Prolaps mukosa anorektal.
8) Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi).
(Ngastiyah, 2005)
 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
- Identitas Pasien
Nama, Tempat tgl lahir, umur, Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Suku Bangsa Pendidikan,
Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk RS
- Riwayat Kesehatan
a) Keluhan Utama : Distensi abdomen
b) Riwayat Kesehatan Sekarang : Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa
buang air besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c) Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam
pertama kelahiran.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/
penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain
e) Riwayat Kesehatan Lingkungan : Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi
kejadian atresia ani
- Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang dirasakan dan
apa yang diinginkan
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih
bayi.
c. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
d. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientas i dengan baik pada
orang lain
g. Pola konsep diri
- Identitas diri : belum bisa dikaji
- Ideal diri : belum bisa dikaji
- Gambaran diri : belum bisa dikaji
- Peran diri : belum bisa dikaji
- Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang lain secara
mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon terhadap
adanya suatu masalah
- Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak
merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik,
tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (FKUI, Ilmu
Kesehatan Anak:1985).
- Pemeriksaan Fisik Head to toe
1. Tanda-tanda vital
 Nadi : 110 X/menit.
 Respirasi : 32 X/menit.
 Suhu axila :37º Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada
benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal hematom.
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva, tidak
ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak agak pucat.
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan cuping
hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus, tidak cheilochisis.
6. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago berbentuk sempurna
7. Leher
Tidak ada webbed neck.
8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel shest, pernafasan
normal
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10. Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak termasa/tumor, tidak
terdapat perdarahan pada umbilicus
11. Getalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada hipospandia
pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-kadang
tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan kedalam anus tertahan
oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun kaki dan kukunya
tampak agak pucat
14. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
15. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +

Analisa Data

No. Symptom Etiologi Problem

1. Ds : Operasi anoplasti Nyeri Akut


kolostomi
- Mengeluh nyeri
Do : Trauma jaringan

- Tampak meringis
- Bersikap protektif
(mis. Waspada, posisi Nyeri
menghindari nyeri)
- Gelisah
- Frekuensi nadi
meningkat
- Sulit tidur

2. Ds : Operasi anoplasti Gangguan integritas


- kolostomi kulit / jaringan
Do :
- Kerusakan jaringan Perubahan defekasi
dan/ atau lapisan
kulit Pengeluaran tidak
terkontrol

Iritasi mukosa

Kerusakan integritas

3. Ds : Keterlambatan saat Gangguan tumbuh


- melakukan toilet trainning kembang
Do :
- Tidak mampu
melakukan
Gangguan Tukem
keterampilan atau
perilaku khas sesuai
usia (fisik, bahasa,
motorik, psikososial)
- Pertumbuhan fisik
terganggu

2. Diagnosa Keperawatan
Post op
 Nyeri akut b/d trauma jaringan post op (kolostomi ) D. 0077
 Gangguan integritas kulit /jaringan b/d perubahan pola defekasi, pengeluaran tidak
terkontrol D.0129
 Gangguan tumbuh kembang b/d keterlambatan saat melakukan toliet training D.0106

3. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi


Keperawatan

1. Nyeri akut b/d Setelah dilakukan Manajemen Nyeri


trauma jaringan post intervensi keperawatan, I.08238
op (kolostomi ) D. maka tingkat nyeri
0077 menurun (L.08066) Observasi
Kriteria Hasil : - Identifikasi lokasi,
- Meringismenurun karakteristik, durasu,
- Sifat protektif frekuensi kualitas,
menurun intensitas nyeri
- Gelisah menurun - Identifikasi skala nyeri
- Kesulitan tidur - Identifikasi respons
menurun nyeri non verbal
- Frekuensi nadi - Identifikasi
membaik pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri

Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pijit,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres
hangat/dingin, terapi
bermain )
- Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan
tidur
- Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri

Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengatasi rasa nyeri

Kolaborasi
- Kolaborasi penggunaan
analgesik, jika perlu
2. Gangguan integritas Setelah dilakukan Perawatan Integritas
kulit /jaringan b/d intervensi keperawatan, Kulit
perubahan pola maka integritas kulit dan
I.11353
defekasi, jaringan meningkat
pengeluaran tidak (L.14125)
terkontrol D.0129 Kriteria Hasil :
Observasi
- Kerusakan jaringan
- Identifikasi penyebab
dan lapisan kulit
gangguan integritas kulit
menurun
(mis. Perubahan
- Nyeri menurun
sirkulasi, perubahan
- Kemerahan menurun
status nutrisi, penurunan
- Suhu kulit membaik
kelembaban, suhu
lingkungan ekstrem,
penurunan mobilitas)

Terapeutik
- Ubah posisi tiap 2 jam
jika tirah baring
- Lakukan pemijatan
pada area penonjolan
tulang, jika perlu
- Bersihkan perineal
dengan air hangat,
terutama selama diare
- Gunakan produk
berbeban petrolium
atau minyak pada kulit
kering
- Gunakan produk
berbahan ringan/alami
dan hipoalergik pada
kulit sensitif
- Hindari produk
berbahan dasar alkohol
pada kulit kering

Edukasi
-Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. Lotion,
serum)
-Anjurkan minum air
yang cukup
-Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
-Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
-Anjurkan menghandari
terpapar suhu ekstrim
-Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF
minimal 30 saat berada
diluar rumah

3. Gangguan tumbuh Setelah dilakukan Perawatan


kembang b/d intervensi keperawatan, Perkembangan
keterlambatan saat maka status perkembangan I.10339
melakukan toliet membaik (L. 101021)
training Kriteria Hasil Observasi
- Keterampilan/perilaku - Identifikasi pencapaian
D.0106
sesuai usia meningkat tugas perkembangan
- Kemampuan anak
melakukan perawatan - Identifikasi isyarat
diri meningkat perikalu dan fisiologis
yang ditunjukkan bayi
(mis. Lapar, nyaman)

Terapeutik
- Pertahankan sentuhan
seminimal mungkin
pada bayi prematur
- Berikan sentuhan
yang bersifat gentkle
dan tidak ragu-ragu
- Minimalkan nyeri
- Pertahankan
lingkungan yang
mendukung
perkembangan
optimal
- Motivasi anak
berinteraksi dengan
anak lain
- Sediakan aktivitas
yang memotivasi anak
berinteraksi dengan
anak lain
- Fasilitasi anak
berbagai dan
bergantian/ bergilir
- Dukung anak
mengekspresikan diri
melalui penghargaan
postif atau umoan
balik atas usahanya
- Pertahankan
kenyamanan anak
- Fasilitasi anak melatih
keterampilan
pemenuhan kebutuhan
secara mandiri (mis.
Makan, sikat gigi,
cuci tangan, memakai
baju)

Edukasi
- Jelaskan orang tua
dan/atau pengasuh
tentang milestone
perkembangan anak
dan perilaku anak
- Anjurkan orangtua
menyentuh dan
menggendong bayinya
- Anjurkan orangtua
berinteraksi dengan
anaknya
- Ajarkan anak
keterampilan
berinteraksi
- Ajarkan anak teknik
asertif

Kolaborasi
- Rujuk untuk
konseling, jika perlu

4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan perencanaan atau intervensi keperawatan yang sesuai standart operasional
yang ada. Yang mana tindakan ini berkaitan dengan tanggung jawab dan tanggung gugat.

5. Evaluasi
Penilaian akhir dari asuhan keperawatan terutama pada intervensi dan implementasi
keperawatan. Hal yang dievaluasi sesuai dengan format SOAP (Subjektif, Objektif,
Assassment, dan Planning).
ATRESIA DUCTUS HEPATICUS
 Konsep Medis
1. Definisi
Atresia bilier adalah penyakit hati dan saluran empedu langka pada bayi baru lahir.
Saluran empedu pada hati, disebut juga dengan duktus hepatikus, memiliki banyak fungsi.
Saluran empedu bisa berfungsi untuk menghancurkan lemak, menyerap vitamin larut lemak,
serta membawa racun dan produk sisa keluar tubuh. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan
aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan
sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal.
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-
saluran  yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu
(gallbladder). Ini merupakan kondisi  congenital, yang berarti terjadi  saat kelahiran
(Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).
2. Klasifikasi
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
a. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari saluran-
saluran ekstrahepatik empedu paten.
b. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/  incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir ini
dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal. Tidak
bersifat paten seperti pada tipe operatif.
Klasifikasi dengan menggunakan system klasifikasi Kasai, cara ini banyak digunakan.
Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan tingkat patologinya.
Klasifikasi atresia bliaris sesuai dengan area yang terlibat.
a. Tipe I: saluran empedu umumnya paten pada daerah proksimal.
b. Tipe II: atresia pada saluran empedu dapat terlihat, dengan sumbatan saluran empedu
ditemukan pada porta hepatis.
c. Tipe IIa: fibrosis dan saluran empedu umumnya bersifat paten
d. Tepi IIb: umumnya duktus biliaris dan duktus hepatic tidak ada.
e. Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya duktus hepatic kanan dan kiri sampai pada
porta hepatic. Bentuk atresia ini adalah umum terjadi, sekitar lebih dari 90% kasus

3. Etiologi
Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses
inflamasi yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya perkembangan abnormal
dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan
perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui
secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses
peradangan, atau kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah bukan merupakan
penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan dari keluarga. Atreia billiaris
paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang terjadi saat bayi dalam kandungan.
Kemungkinan hal yang dapat memicu terjadinya atresia billiaris diantaranya: infeksi virus
atau bakteri, gangguan dalam system kekebalan tubuh, komponen empedu yang abnormal,
kesalahan dalam perkembangan hati dan saluran empedu.
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki
cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus. Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia
bilier bukan merupakan penyakit keturunan.  Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada
bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier
kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau
sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi
dari faktor-faktor predisposisi berikut:
 infeksi virus atau bakteri
 masalah dengan sistem kekebalan tubuh
 komponen yang abnormal empedu
4. Pathway
5. Manifestasi Klinis
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala penyakit
ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala termasuk:
 Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi
(pigmen empedu) dalam aliran darah.
 Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir. Ini
biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi
dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada dua
atau tiga minggu setelah lahir
 Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam
urin.
 Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk ke
dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat pembesaran
hati.
 Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
 Degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan hepatomegali,
Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air sehingga
menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh 
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
 Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
 Gatal-gatal
 Rewel
 Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal / Tekanan
darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung,
usus dan limpa ke hati).
6. Pemeriksaan Diagnostik
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar,
pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
- Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati
(darah,urin, tinja)
- Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati
- Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia
bilier.
1) Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin
untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan
pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk <
4 mg/dl tidak sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali
dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan
hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan peningkatan gamma-GT
> 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total
atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%
dalam menentukan atresia bilier.
 Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan
adanya bendungan saluran empedu total.
 Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja /
stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
 Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time,
partial thromboplastin time.
b. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup
sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari
pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin
dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah
60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan
adanya atresia bilier.
2) Pencitraan
a. Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan
bilapemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan
sesudah minum.Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi,
maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal
duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati,
sangat mendukung diagnosisatresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu
tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.
b. Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada
pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5
hari. Pada kolestasisintrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat
tetapi ekskresinya ke usus normal,  sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan
isotop normal tetapi ekskresinya keusus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain
pihak, pada kolestasis intrahepatik yang beratjuga tidak akan ditemukan ekskresi isotop
ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas danspesifisitas pemeriksaan sintigrafi,
dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop dihati dan jantung), pada
menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinanatresia bilier,
sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.Teknik
sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis
sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang
terbaik adalahmenggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c. Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary Iminodeacetic
Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat
menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d. Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography).
Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier
dengan kolestasisintrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat
dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam.
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas
untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
3) Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan.
Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai
95%,sehingga  dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi
eksplorasi, danbahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran
empedu pasca operasi Kasai di 6 tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah
hilus hati.  Bila diameter duktus100  200 u atau 150  400 u maka aliran empedu dapat
terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan agar  dilakukan frozen section pada saat
laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan.
Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi
bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk
melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran
histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik)
memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia <
6 minggu.
7. Penatalaksanaan
a. Terapi medikamentosa 
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asamlitokolat), dengan memberikan : 
 Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
 Fenobarbital akan merangsang enzimglukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin
indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin),
enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliranempedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari
dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiraminmemotong siklus
enterohepatik asam empedu sekunder.
b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat, 310
mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolatmempunyai daya ikat
kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
c. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang seoptimal
mungkin, yaitu :
 Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping itu,
metabolisme yang dipercepat  akan secara efisien segera dikonversi menjadi energy untuk
secepatnya dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak dalam
tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega, minyak
kelapa, dan lainnya.
 Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A, D, E, K
d. Terapi bedah
o Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu
keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk
melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan
pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan
pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.

Gambar 5. Prosedur portoenterostomy


A. Modified Kasai, B. Kasai Original, C. Extenden portoenterostomy
o Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier dan
kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun
terakhir. Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa bergenerasi secara alami tanpa
perlu obat dan fungsinya akan kembali normal dalam waktu 2 bulan. Anak-anak dengan
atresia bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai
anak. Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan
untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier.  Di masa lalu,
hanya hati dari anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati
harus cocok.  Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati
orang dewasa, yang disebut"reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk
transplantasi pada anak dengan atresia bilier.
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia billiaris yaitu:
a. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan
menyebabkan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal
sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
b. Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh prosedur
pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penggumpalan.
c. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegali.
d. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat
diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
e. Hipertensi portal
f. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah  di esofagus dan
perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
g. Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan
penurunan produksi albumin dalam protein plasma.
h. Komplikasi pasca bedah yakni kolangitis menaik.
i. Yang paling sering komplikasi dari Kasai prosedur adalah asending kholangitis,infeksi
bakteri. Pada keadaan normal bakteri ada dalam usus dan bergerak keatas melalui Roux-
en-y menyebabkan infeksi.
 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
 Identitas
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini dilakukan
sebagai standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji keadaan pasien.
Umumnya Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Atresia bilier dtemukan
pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki
adalah 2:1.
 Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2 minggu
sampai 2 bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan mata bayi yang
baru lahir. Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung kelebihan bilirubin, pigmen
berwarna kuning pada sel darah merah.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi dalam 2  minggu atau
2 bulan lebih, apabila  anak buang air besar tinja atau feses berwarna pucat. Anak juga
mengalami distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus. Anak tidak mau minum dan
kadang disertai letargi (kelemahan).
 Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah dengan kekebalan
tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu ektrahepatik. yang akhirnya
menimbulkan masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya Atresia Biliaris ini.
 Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis, dan Polio.
 Riwayat Perinatal
1) Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi
penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella.
2) Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus
atau bakteri selama proses persalinan.
3) Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal hygiene
saat merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan dan peralatan bayi
lainnya juga kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.
 Riwayat Kesehatan Keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada ibu pernah
menderita penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan
infeksi virus rubella. Akibat dari penyakit yang di derita ibu ini, maka tubuh anak dapat
menjadi lebih rentan terhadap penyakit atresia biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan
adanya kelainan kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
 Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial, motorik kasar,
motorik halus, dan bahasa. Tingkat perkembangan pada pasien atresia biliaris dapat dikaji
melalui tingkah laku pasien maupun informasi dari keluarga. Selain itu, pada anak dengan
atresia biliaris, kebutuhan akan asupan nutrisinya menjadi kurang optimal karena terjadi
kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga akan berpengaruh terhadap proses
tumbuh kembangnya.
 Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu pola
kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci tangan saat merawat atau
menetekkan bayinya. Selain itu, kebersihan botol atau putting ketika menyusui bayi juga
kurang diperhatikan.
 Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia biliaris
terjadi gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel yang gejalanya berupa
letargi atau kelemahan.
2) Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah ditandai dengan
takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera kulit dan membrane mukosa.
3) Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu terdapat
distensi abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang berwarna gelap dan
pekat. Feses berwarna dempul, steatorea. Diare dan konstipasi pada anak dengan
atresia biliaris dapat terjadi.
4) Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan
anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran terhadap lemak dan
makanan pembentuk gas dan biasanya disertai regurgitasi berulang.
5) Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap
penyakit yang diderita klien.
6) Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak terhadap pengobatan
dan perawatan yang akan dilakukan.
7) Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat
dan mengobati anak dengan atresia biliaris.
8) Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang
berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita atresia biliaris
biasanya tidak ada gangguan dalam reproduksi.
9) Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan
semangat sembuh bagi anak.
10) Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada
anaknya dapat sembuh dengan cepat.
 Pemeriksaan Fisik
 Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
1) Air kemih bayi berwarna gelap
2) Tinja berwarna pucat
3) Kulit berwarna kuning
4) Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
5) Hati membesar.
6) Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a. Gangguan pertumbuhan
b. Gatal-gatal
c. Rewel
d. Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah
dari lambung, usus dan limpa ke hati).
 Keadaan umum    : lemah.
 TTV
- Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada vena porta
- Suhu          : Suhu tubuh dalam batas normal
- Nadi          : takikardi
- RR             : terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang tertekan (takipnea)
 Kepala dan leher
Inspeksi :
- Wajah  : simetris 
- Rambut                : lurus/keriting, distribusi merata/tidak
- Mata                     : pupil miosis, konjungtiva anemis
- Hidung                 : kemungkinan terdapat pernafasan cuping Hidung
- Telinga                 : bersih
- Bibir dan mulut    : mukosa biibir kemungkinan terdapat ikterik
- Lidah                   : normal
Palpasi                 : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe pada leher
 Dada
Inspeksi               : asimetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan dan tekanan  pada
otot diafragma akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi                  : denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri tekan(-)
Perkusi                 :
- Jantung          : dullness
- Paru                      : sonor
Auskultasi           : tidak terdengar suara ronchi, kemungkinan terdengar bunyi
wheezing
 Abdomen
Inspeksi                : terdapat distensi abdomen
Palpasi                  : dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi                 : sonor
Auskultasi            : kemungkinan terjadi pada bising usus
 Kulit
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
 Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada pada extremitas
 Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium 
a. Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl)
karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas.
b. Tidak ada urobilinogen dalam urine.
c. Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20
kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2) Pemeriksaan diagnostik
a. USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra
hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran empedu)
b. Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di
aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi.
c. Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati
memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah
ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti
terjadi katresia intra hepatik
d. Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler.
Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen
yang jelas
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan deformitas dinding dada ditandai dengan
pola napas abnormal, dispnea. (D.0005)
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien ditandai
dengan berat badan menurun, membran mukosa pucat. (D.0019)
c. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif ditandai dengan merasa
lemah, turgor kulit menurun. (D.0003)
d. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi ditandai dengan suhu tubuh di atas nilai
normal, kulit merah, takikardi. (D.0130)
e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu ditandai
dengan kerusakan lapisan kulit. (D.0129)
f. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi ditandai dengan merasa
khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, tampak gelisah, tampak tegang,
anoeksia, muka tampak pucat. (D.0080)
g. Risiko gangguan perkembangan berhubungan dengan penyakit kronis. (D.0107)
h. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif. (D.0142)
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Napas
berhubungan dengan keperawatan, maka pola
Observasi
deformitas dinding dada napas membaik (L.01004)
ditandai dengan pola Kriteria Hasil : - Monitor pola napas
napas abnormal, dispnea. - Tekanan ekspirasi - Monitor bunyi napas
(D.0005) meningkat tambahan
- Tekanan inspirasi Terapeutik
meningkat
- Pertahankan kepatenan
- Dipsnea menurun
jalan napas dengan
- Frekuensi napas
head-tilt dan chin-lift
membaik
- Posisikan semi-Fowler
- Kedalaman napas
atau fowler
membaik
- Lakukan fisioterapi
dada
Edukasi

- Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari
jika tidak
kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk
efektif
(1.01011)

Defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nutrisi


berhubungan dengan keperawatan, maka status Observasi
ketidakmampuan nutrisi membaik (L.03030) - Identifikasi status
mengabsorbsi nutrien Kriteria Hasil : nutrisi
ditandai dengan berat - Posi makan yang di - Identifikasi makanan
badan menurun, membran habiskan meningkat disukai
mukosa pucat. (D.0019) - Verbalisasi keinginan - Identifikasi kebutuhan
untuk meningkatkan kalori dan jenis nutrien
nutrisi meningkat - Monitor asupan
- Pengetahuan tentang makanan
standar asupan nutrisi Terapeutik
yang tepat meningkat
- Lakukan oral hygiene
- Berat badan membaik
sebelum makan
- Nafsu makan membaik
- Sajikan makanan
- Membran mukosa
secara menarik dan
membaik
suhu yang sesuai
- Berikan makanan
tinggi kalori dan tinggi
protein
Edukasi
- Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan
- Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan.

(1.03119)

Hipovolemia berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipovolemia


dengan kehilangan cairan keperawatan, maka status Observasi
aktif ditandai dengan cairan membaik (L.03028) - Periksa tanda dan
merasa lemah, turgor kulit Kriteria Hasil : gejala hipovolemia
menurun. (D.0003) - Kekuatan nadi - Monitor intake dan
meningkat output cairan
- Turgor kulit meningkat Terapeutik
- Tekanan darah membaik
- Hitungkebutuhan
- Frekuensi nadi membaik
cairan
- Membran mukosa
- Berikan asupan cairan
membaik
oral
- Intake cairan membaik
Edukasi

- Anjurkan
memperbanyak
asupan cairan oral
Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian
cairan IV isotonis
- Kolaborasi pemberian
cairan IV hipotonis
- Kolaborasi pemberian
cairan koloid
- Kolaborasi pemberian
produk darah

(1.03116)

Hipertermi berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen hipertermi


dengan inflamasi ditandai keperawatan, maka Observasi
dengan suhu tubuh di atas termoregulasi membaik - Identifikasi penyebab
nilai normal, kulit merah, (L.14134) hipertermi
takikardi. (D.0130) Kriteria Hasil : - Monitor suhu tubuh
- Mengigil menurun - Monitor akibat
- Kulit merah menurun hipertermi
- Takikardi menurun Terapeutik
- Suhu tubuh membaik
- Sediakan lingkungan
- Suhu kulit membaik
yang dingin
- Kadar glukosa darah
- Longgarkan atau
membaik
lepaskan pakaian
- Berikan cairan oral
- Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
Edukasi

- Anjurkan tirah baring


(1.14507)

Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan intervensi Perawatan Integritas Kulit


berhubungan dengan keperawatan, integritas kulit Observasi
akumulasi garam empedu meningkat (L.14125) - Identifikasi penyebab
ditandai dengan kerusakan Kriteria Hasil : gangguan integritas
lapisan kulit. (D.0129) - Perfusi jaringan kulit
meningkat Terapeutik
- Kerusakan jaringan
- Ubah posisi tiap 2 jam
menurun
jika tirah baring
- Perdarahan menurun
- Hidari produk
- Jaringan parut menurun
berbahan dasar
- Suhu kulit membaik
alkohol pada kulit
- Tekstur membaik
kering
Edukasi

- Anjurkan
menggunakan
pelembab
- Anjurkan minum air
yang cukup
- Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi

(1.11353)

Ansietas berhubungan Setelah dilakukan intervensi Reduksi Ansietas


dengan kurang terpapar keperawatan, maka tingkat
informasi ditandai dengan ansietas menurun (L.09093) Observasi
merasa khawatir dengan Kriteria Hasil : - Identifikasi saat
akibat dari kondisi yang - Verbalisasi kebingungan tingkat ansietas
dihadapi, tampak gelisah, menurun berubah
tampak tegang, anoreksia, - Verbalisasi khawatir - Identifikasi
muka tampak pucat. akibat kondisi yang kemmapuan
(D.0080) dihadapi menurun mengambil keputusan
- Perilaku gelisah - Monitor tanda-tanda
menurun ansietas
- Anoreksia menurun Terapeutik
- Perilaku tegang
- Ciptakan suasana
menurun
terapeurik untuk
- Pucat menurun
menumbuhkan
- Konsentrasi membaik
kepercayaan
- Orientasi membaik
- Temani pasien untuk
mengurangi
kecemasan
- Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan
Edukasi

- Jelaskan prosedur
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
- Informasikan secara
faktual mengenai
diagnosis, pengobatan,
dan prognosis
- Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif
- Latihan teknik
relaksasi

(1.09314)

Risiko gangguan Setelah dilakukan intervensi Promosi Perkembangan


perkembangan keperawatan, maka status Anak
berhubungan dengan perkembangan membaik Observasi
penyakit kronis. (D.0107) (L.10101) - Identifikasi kebutuhan
Kriteria Hasil : khusus anak dan
- Ketrampilan/perilaku kemampuan adaptasi
sesuai usia meningkat anak
- Kemampuan melakukan Terapeutik
perawatan diri
- Fasilitasi hubungan
meningkat
anak dengan teman
- Respon sosial
sebaya
meningkat
- Dukung anak
- Efek membaik
berinteraksi dengan
anak lain
- Dukung anak
mengekspresikan
perasaanya secara
positif
- Berikan mainan yang
sesuai dengan usia
anak
Edukasi

- Jelaskan nama benda


obyek yang ada di
lingkungan sekitar
- Ajarkan anak sikap
kooperatif bukan
kompetisi diantara
anak
- Ajarkan anak cara
meminta bantuan dari
anak lain
- Ajarkan teknik asertif
pada anak dan remaja

(1.10340)

Risiko infeksi Setelah dilakukan intervensi Manajemmen Imunisasi


berhubungan dengan efek keperawatan, maka tingkat Obsevasi
prosedur invasif. (D.0142) infeksi (L.14137) - Identifikasi riwayat
Kriteria Hasil : kesehatan dan riwayat
- Kebersihan tangan alergi
meningkat - Identifikasi
- Kebersihan badan kontraindikasi
meningkat pemberian imunisasi
- Demam menurun - Identifikasi status
- Kemerahan menurun imunisasi setiap
- Nyeri menurun kunjungan ke
- Gangguan kognitif pelayanan kesehatan
menurun Terapeutik

- Berikan suntikan pada


bayi di bagian paha
anterolateral
- Dokumentasikan
informasi vaksinasi
- Jadwalkan imunisasi
pada interval waktu
yang tepat
Edukasi

- Jelaksan tujuan,
manfaat, reaksi yang
terjadi , jadwal dan
efek samping
- Informasikan
imunisasi yang
diajibkan pemerintah

(1.14508)

4. Implementasi
Pelaksanaan perencanaan atau intervensi keperawatan yang sesuai standart operasional
yang ada. Yang mana tindakan ini berkaitan dengan tanggung jawab dan tanggung gugat.
5. Evaluasi
Penilaian akhir dari asuhan keperawatan terutama pada intervensi dan implementasi
keperawatan. Hal yang dievaluasi sesuai dengan format SOAP (Subjektif, Objektif,
Assassment, dan Planning).

Anda mungkin juga menyukai