Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh
Sellya Angraini (2131125)
Hafla Meirisa (2131100)
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah
ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Bangka Belitung
10 Oktober 2022
Kelompok 4
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang
hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula
hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan
dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan
Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau
hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa,
hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu
transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli
membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya
kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang
saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat
bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah?Apa saja
syaratnya? Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut fiqih
muamalah? Tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan perdagangan atau jual beli ?
2. Apa saja rukun-rukun dan syarat-syarat jual beli ?
3. Sebutkan macam-macam jual beli ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalah, Amzah, Jakarta, 2010, Cet ke 1, hlm 173
2
pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.Inti dari beberapa
pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :
a. Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
b. Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang,
yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c. Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk
diperjualbelikan.
d. Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak
memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan
kepemilikan abadi.
3
b. Hadist dari al-Baihaqi, ibn majah dan ibn hibban, Rasulullah menyatakan : “Jual beli itu
didasarkan atas suka sama suka”
c. Hadist yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah bersabda : “Pedagang yang jujur dan
terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi,shadiqqin, dan syuhada”.
4
kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar
dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang.[5]
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1. Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2. Ada sighat (lafal ijab qabul).
3. Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4. Ada nilai tukar pengganti barang.2
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar
barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama
diatas sebagai berikut :
a. Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus
memenuhi syarat, yaitu :
1) Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat
agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan
anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
2) Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
3) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat
bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.
2
Rachat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001, Cet Ke-4, hlm.,76
5
1) Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai, babi,
anjing, dan sebagainya.
2) Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang
memilikinya.
3) Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat adalah
lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah diperjualbelikan. Akan
tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat perkembangan tekhnologi atau yang
lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan.
4) Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
5) Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
6) Boleh diserahkan saat akad berlangsung
6
a. Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di
hadapan penjual dan pembeli.
b. Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus
disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
c. Jual beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama
Islam.
Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
a. Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
b. Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak
diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
7
1) Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di
dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
2) Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
3) Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat
tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
4) Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-
buku bacaan porno.
5) Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti
menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.[9]
c. Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat
sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
1) jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya
akad.
2) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai
barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
3) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika
harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
4) Jual beli barang rampasan atau curian.
5) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.
8
d. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
e. Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah swt.
f. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
2. Hikmah jual beli
Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai berikut :
Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada
hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa
sandang, pangan, dan papan.Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup.
Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia di tuntut
berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, taka da satu hal pun yang lebih sempurna
daripada saling tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia
memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan
dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan
mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli
diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual
beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan
objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah
dijelaskan di atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan
rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah
perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.
B. Saran
Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun pada
zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu, sering terjadi
penipuan dimana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sebaiknya kita berhati-hati
dalam bertransaksi dan alangkah baiknya menerapkan hukum islam dalam interaksinya.
Allah SWT telah berfirman bahwasannya Allah memperbolehkan jual beli dan
mengharamkan riba.Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukun riba. Karena
sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.
10
DAFTAR PUSTAKA
11