Anda di halaman 1dari 121

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA PADA

REMAJA DI SMP MUHAMMADIYAH SERPONG TAHUN 2018

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

Oleh:

Sarah Salsabila Khairani

11141010000068

PEMINATAN GIZI MASYARAKAT

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2019 M
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI MASYARAKAT
Skripsi, Mei 2019
Sarah Salsabila Khairani, NIM: 11141010000068
Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Anemia Pada Remaja Di SMP
Muhammadiyah Serpong Tahun 2018
xvi+ 105 halaman, 23 tabel, 3 bagan
ABSTRAK
Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar eritrosit atau hemoglobin
berada dibawah batas normal sehingga kebutuhan fisiologis tubuh tidak dapat
terpenuhi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018. Penelitian
ini dilakukan karena tingginya prevalensi anemia remaja di SMP Kota Tangerang
Selatan dan terbatasnya penelitian mengenai anemia pada remaja di Tangerang Selatan.
Variabel dalam penelitian ini adalah obesitas, asupan pangan zat besi, menstruasi, dan
riwayat penyakit infeksi.
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2017 sampai Agustus 2018 dan
berlokasi di SMP Muhammadiyah Serpong. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif
dengan desain studi cross sectional. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 88 remaja.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Hasil penelitian
menunjukkan tidak terdapat hubungan antara obesitas (p= 1,000), asupan pangan zat
besi (p= 0,208), menstruasi (p= 0,079), dan penyakit infeksi (p= 1,000) dengan anemia
pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.
Prevalensi anemia remaja di SMP Muhammadiyah Serpong termasuk dalam
kategori masalah kesehatan masyarakat tingkat ringan. Namun, upaya preventif dan
promotif tetap harus dilakukan dengan cara meningkatkan asupan pangan zat besi baik
heme maupun non heme, serta mengkonsumsi beraneka ragam makanan supaya
kebutuhan zat gizi remaja dapat terpenuhi untuk mencegah anemia.
Daftar bacaan: 61 (2000-2018)
Kata kunci: Anemia, Remaja, Asupan Pangan Zat Besi.

i
STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
MAJORING OF PUBLIC NUTRITION
Undergraduate Thesis, May 2019
Sarah Salsabila Khairani, NIM: 11141010000068
Factors Associated with Anemia among Adolescents in Muhammadiyah Junior
High School Serpong 2018
xvi+ 105 pages, 23 tables, 3 charts
ABSTRACT
Anemia is a condition where the erythrocyte level or hemoglobin lower than
the normal value so that the body’s physiological needs cannot be sufficient. This study
aims to determine the factors associated with anemia among adolescents in
Muhammadiyah Junior High School Serpong 2018. This study was conducted because
of the high prevalence of anemia in adolescents in South Tangerang City Junior High
School and the limited research on anemia in adolescents in South Tangerang.
Variables in this study were obesity, iron food intake, menstruation, and infectious
disease.
This study was conducted in November 2017 – August 2018 and located at
Muhammadiyah Junior High School Serpong. This study used quantitative approach
and cross sectional study design. The sample in this study amounted to 88 adolescents.
Data analysis was performed by using the chi square test. This study shows that there
was no correlation between obesity (p= 1,000), iron food intake (p= 0,208),
menstruation (p= 0,079), and infectious disease (p= 1,000) with anemia in adolescents
at Muhammadiyah Junior High School Serpong 2018.
The prevalence of anemia among adolescents in Muhammadiyah Junior High
School Serpong is in the mild category of public health problem. Preventive and
promotive efforts must be carried out by increasing iron food intake (both heme and
non-heme food) and variety of food so that the nutritional needs of adolescents are
sufficient to prevent anemia.
References:61 (2000-2018)
Keywords: Anemia, Adolescents, Iron Food Intake.

ii
iii
iv
v
RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Sarah Salsabila Khairani


Tempat, Tanggal Lahir : Bogor, 19 Maret 1997
Alamat : Jalan Rengas 3 Nomor 14 RT 01 RW 07 Kelurahan
Baktijaya Kecamatan Sukmajaya Depok Jawa Barat
16418
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
E-mail : salsabilaakhairani@gmail.com
Telepon : 087874855903

RIWAYAT PENDIDIKAN

2002 – 2008 : SDN Baktijaya 03 Depok


2008 – 2011 : MTs Al-Hamid Jakarta
2011 – 2014 : MA Al-Karimiyah Depok
2014 – sekarang : Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta

PENGALAMAN BEKERJA

Oktober 2016 – Februari : Praktik Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas


2017 Benda Baru Tangerang Selatan
Februari – Maret 2018 : Magang di Puskesmas Sawangan Depok
Oktober 2018 : Enumerator Penelitian di Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) Serpong

vi
KATA PENGANTAR

Puji serta rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

rahmat dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi yang

berjudul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Anemia pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018”. Shalawat serta salam senantiasa tercurah

limpahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua, yang telah bersabar dalam mendidik, memberi dukungan

moral dan materi, serta doa yang tiada henti.

2. Ibu Dr. Zilhadia, M.Si, Apt, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Fajar Ariyanti, S.KM, M.Kes, Ph.D, selaku Kepala Program Studi

Kesehatan Masyarakat.

4. Ibu Dr. Ratri Ciptaningtyas, S.KM, MHS, selaku dosen pembimbing yang

telah bersedia memberikan bimbingan dan saran dengan sabar dalam proses

penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Ali Buto, SE, selaku Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Serpong

yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis.

6. Mustika Arumbinang, Amalia Poetri, dan Atsilah Azra yang selalu

membantu, menemani, dan meluangkan waktu baik dalam suka maupun

duka.

7. Teman-teman Gizi 2014 yang saling memberi semangat dan menguatkan.

vii
8. Teman-teman Kesehatan Masyarakat angkatan 2014.

9. Teman-teman Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) FKIK periode 2016

dan 2017.

10. Tresano Duta Alwafi, yang selalu memberikan dukungan dan mendoakan.

11. Mia Mawaddah, Nurul Fatimah, Nurul Kamilah, Nurul Ulfah, dan Qorry

Widya yang selalu memberikan dukungan moral.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini

yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga penelitian ini nantinya akan

bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Ciputat, Mei 2019

Penulis

viii
DAFTAR ISI

ABSTRAK………………………………………………………………………....... i
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………………. iii
LEMBAR PERSETUJUAN………………………………………………………… iv
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP……………………………………………………… vi
KATA PENGANTAR………………………………………………………………. vii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………… ix
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………… xii
DAFTAR BAGAN………………………………………………………………….. xiv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………… xv
DAFTAR ISTILAH…………………………………………………………………. xvi
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang……………………………………………………………….... 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………… 5
C. Pertanyaan Penelitian…………………………………………………………. 7
D. Tujuan Penelitian……………………………………………………………... 8
1. Tujuan Umum…………………………………………………………......... 8
2. Tujuan Khusus……………………………………………………………… 8
E. Manfaat Penelitian……………………………………………………………. 9
1. Bagi Remaja………………………………………………………………… 9
2. Bagi SMP Muhammadiyah Serpong……………………………………….. 9
3. Bagi Puskesmas Tangerang Selatan………………………………………... 9
4. Bagi Peneliti Selanjutnya…………………………………………………… 10
F. Ruang Lingkup Penelitian……………………………………………………. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................…………………………………… 11
A. Remaja……………………………………………………………………….. 11

ix
B. Anemia………………………………………………………………………… 12
1. Etiologi Anemia……………………………………………………………... 13
2. Patofisiologi Anemia………………………………………………………... 15
3. Gejala Anemia………………………………………………………………. 16
4. Dampak Anemia…………………………………………………………….. 17
C. Faktor yang Berhubungan dengan Anemia………….………………………… 17
1. Jenis Kelamin……………………………………………………………….. 17
2. Obesitas……………………………………………………………………… 18
3. Aktifitas Fisik……………………………………………………………….. 19
4. Asupan Pangan Zat Besi…………………………………………………….. 21
5. Menstruasi…………………………………………………………………… 26
6. Penyakit Infeksi……………………………………………………………... 28
7. Penyakit Kronis……………………………………………………………… 29
D. Kerangka Teori……………………………………………………………….. 30
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL………….. 32
A. Kerangka Konsep…………………………………………………………….. 32
B. Definisi Operasional…………………………………………………………. 34
C. Hipotesis……………………………………………………………………... 37
BAB IV METODE PENELITIAN……………………………………………….. 38
A. Desain Penelitian…………………………………………………………….. 38
B. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………………… 38
C. Populasi dan Sampel…………………………………………………………. 38
D. Instrumen Penelitian…………………………………………………………. 41
E. Pengumpulan Data…………………………………………………………… 42
F. Pengolahan Data……………………………………………………………... 46
G. Analisis Data………………………………………………………………… 47
H. Etik Penelitian……………………………………………………………….. 48

x
BAB V HASIL……………………………………………………………………… 49
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian………………………………………….. 49
B. Analisis Univariat…………………………………………………………….. 49
1. Gambaran Distribusi Frekuensi Anemia…………………………………… 49
2. Gambaran Distribusi Status Gizi Obesitas………………………………….. 51
3. Gambaran Distribusi Asupan Pangan Zat Besi……………………………... 53
4. Gambaran Distribusi Kehilangan Darah Menstruasi………………………... 57
5. Gambaran Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi…………………………….. 58
C. Analisis Bivariat………………………………………………………………. 59
1. Hubungan Antara Status Gizi Obesitas dengan Anemia…………………… 59
2. Hubungan Antara Asupan Pangan Zat Besi dengan Anemia……………….. 60
3. Hubungan Antara Menstruasi dengan Anemia……………………………… 60
4. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Anemia………………. 61
BAB VI PEMBAHASAN………………………………………………………….. 64
A. Keterbatasan Penelitian……………………………………………………….. 64
B. Gambaran Distribusi Frekuensi Anemia……………………………………… 64
C. Hubungan Antara Status Gizi Obesitas dengan Anemia………………………. 68
D. Hubungan Antara Asupan Pangan Zat Besi dengan Anemia…………………. 69
E. Hubungan Antara Menstruasi dengan Anemia……………………………….. 76
F. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Anemia…………………. 78
BAB VII PENUTUP……………………………………………………………….. 80
A. Simpulan……………………………………………………………………….. 80
B. Saran…………………………………………………………………………… 81
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………. 83
LAMPIRAN………………………………………………………………………… 91

xi
DAFTAR TABEL

2.1 Ambang Batas Anemia Menurut Kelompok Umur……………………….. 12


2.2 Konversi Tepung Terigu dari Pangan Olahan Tepung Terigu…………….. 26
3.1 Definisi Operasional……………………………………………………….. 34
4.1 Besar Sampel………………………………………………………………. 39
4.2 Pengkodean………………………………………………………………... 46
5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Anemia pada Remaja di SMP
Muhammadiyah Serpong Tahun 2018…………………………………….. 49
5.2 Gambaran Status Anemia Berdasarkan Jenis Kelamin Di SMP
Muhammadiyah Serpong Tahun 2018…………………………………….. 50
5.3 Distribusi Status Gizi Obesitas Pada Remaja di SMP Muhammadiyah
Serpong tahun 2018……………………………………………………….. 51
5.4 Gambaran Status Gizi Obesitas Berdasarkan Jenis Kelamin Di SMP
Muhammadiyah Serpong Tahun 2018…………………………………….. 51
5.5 Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Status Gizi Obesitas pada
Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong Tahun 2018…………………… 52
5.6 Distribusi Asupan Pangan Zat Besi pada Remaja di SMP Muhammadiyah
Serpong Tahun 2018………………………………………………………. 53
5.7 Gambaran Asupan Pangan Zat Besi Berdasarkan Jenis Kelamin Di SMP
Muhammadiyah Serpong Tahun 2018…………………………………….. 53
5.8 Rata-rata Konsumsi Asupan Pangan Zat Besi Heme dan Non Heme pada
Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018……………………. 54
5.9 Rata-rata Konsumsi Asupan Pangan Zat Besi pada Remaja Tidak Anemia
di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018 ……………………………. 55
5.10 Gambaran Status Anemia Berdasarkan Asupan Zat Besi Di SMP
Muhammadiyah Serpong Tahun 2018…………………………………….. 56
5.11 Distribusi Kehilangan Darah Menstruasi Pada Remaja Putri di SMP
Muhammadiyah Serpong Tahun 2018…………………………………….. 57

xii
5.12 Distribusi Riwayat Penyakit DBD pada Remaja di SMP Muhammadiyah
Serpong Tahun 2018………………………………………………………. 58
5.13 Distribusi Riwayat Penyakit Tifoid pada Remaja di SMP Muhammadiyah
Serpong Tahun 2018………………………………………………………. 58
5.14 Hubungan Antara Status Gizi Obesitas dengan Anemia pada Remaja di
SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018……………………………….. 59
5.15 Hubungan Antara Asupan Pangan Zat Besi dengan Anemia pada Remaja
di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018…………………………….. 60
5.16 Hubungan Antara Menstruasi dengan Anemia pada Remaja Putri di SMP
Muhammadiyah Serpong tahun 2018…………………………………….. 61
5.17 Hubungan Antara Riwayat Penyakit DBD dengan Anemia pada Remaja
di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018……………………………. 62
5.18 Hubungan Antara Riwayat Penyakit Tifoid dengan Anemia pada Remaja
di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018…………………………….. 63

xiii
DAFTAR BAGAN

2.1 Karangka Teori……………………………………………………..... 31


3.1 Kerangka Konsep…………………………………………………….. 32
4.1 Alur Pengumpulan Data……………………………………………… 42

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pernyataan Persetujuan……………………………………… 91


Lampiran 2 Identitas Responden…………………………………………. 93
Lampiran 3 Food Frequency Questionnaire (FFQ) Zat Besi……………… 94
Lampiran 4 Kuesioner Menstruasi………………………………………… 96
Lampiran 5 Etik Penelitian………………………………………………… 97
Lampiran 6 Surat Izin Penelitian………………………………………….. 98
Lampiran 7 Hasil SPSS……………………………………………………. 99

xv
DAFTAR ISTILAH

AKG : Angka Kecukupan Gizi

DBD : Demam Berdarah Dengue

FAO : Food and Agriculture Organization

FFQ : Food Frequency Questionnaire

Hb : Hemoglobin

IL-6 : Interleukin-6

IMT : Indeks Massa Tubuh

IMT/U : Indeks Massa Tubuh Menurut Umur

KBM : Kegiatan Belajar Mengajar

MBL : Menstrual Blood Loss

RDA : Recommended Dietary Allowance

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

SD : Standar Deviasi

SLE : Sistemik Lupus Eritematosus

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SNI : Standar Nasional Indonesia

SUSENAS : Survei Sosial Ekonomi Nasional

TTD : Tablet Tambah Darah

WHO : World Health Organization

WUS : Wanita Usia Subur

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gizi merupakan salah satu faktor penentu kualitas perkembangan sumber daya

manusia. Kebutuhan gizi yang tidak tercukupi, baik makro ataupun mikro, dapat

menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal, penurunan kecerdasan,

penurunan produktivitas kerja, dan penurunan daya tahan tubuh yang dapat

mengakibatkan tingginya penyakit infeksi bahkan kematian. Salah satu masalah gizi

yang masih dihadapi oleh masyarakat Indonesia adalah anemia (Siahaan, 2012).

Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar eritrosit atau hemoglobin

berada dibawah batas normal sehingga kebutuhan fisiologis tubuh tidak dapat

terpenuhi. Menurut WHO dan pedoman Kementerian Kesehatan tahun 1999, cut off

point anemia berbeda-beda menurut kelompok umur maupun individu. Kelompok

umur atau kelompok individu tertentu dianggap lebih rentan mengalami anemia

dibandingkan dengan kelompok lainnya. (Riskesdas, 2013).

Anemia umumnya terjadi di negara berkembang terutama pada kelompok

dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Berdasarkan statistik WHO tahun 2013,

prevalensi anemia di negara berkembang adalah sebesar 43%. Survey prevalensi

anemia yang dilakukan oleh WHO pada tahun 1993-2005 menunjukkan angka 48,8%

untuk anemia secara global. Berdasarkan data tersebut, sebesar 73,5% anemia

ditemukan pada kelompok Non Pregnant Woman. Menurut WHO pada tahun 2007

1
2

sebesar 45,7% anemia terjadi di Asia Tenggara. Kemudian, data tersebut menunjukkan

prevalensi anemia di Indonesia tahun 1993-2005 adalah sebesar 33,1%. Angka ini lebih

besar jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Brunei

Darussalam (20,4%), Malaysia (30,1%), Vietnam (24,3%), dan Thailand (17,8%).

Anemia telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu diberi

perhatian khusus. Kelompok yang beresiko terkena anemia adalah remaja, karena

remaja sedang mengalami pertumbuhan dan memerlukan asupan zat gizi yang lebih

tinggi. Selain itu, remaja cenderung menghabiskan waktu bersama teman sebaya diluar

rumah sehingga asupan makannya menjadi tidak seimbang (Huang, 2015).

Prevalensi anemia remaja di tingkat nasional masih dianggap cukup tinggi.

Berdasarkan trigger level Kementerian Kesehatan, prevalensi anemia menjadi masalah

ringan jika berada pada angka <20%, masalah tingkat sedang jika berada pada angka

20-39% dan dikatakan masalah tingkat berat jika berada pada angka >40%.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 ditemukan prevalensi anemia usia

5-14 tahun sebesar 9,4%. Angka ini mengalami kenaikan berdasarkan Riskesdas 2013

menjadi 26,4%. Peningkatan prevalensi anemia usia 15-24 tahun juga terjadi

berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2013 dari 6,9% menjadi 18,4%. Hasil Riskesdas tahun

2007 diketahui bahwa prevalensi anemia remaja di Provinsi Banten adalah sebesar

13%. Berdasarkan data tersebut, prevalensi anemia usia 5-14 tahun termasuk kategori

masalah sedang dan pada usia 15-24 tahun termasuk kategori masalah ringan.

Apabila seseorang menderita anemia sejak remaja, maka dapat mengakibatkan

gangguan pertumbuhan dan perkembangan, produktifitas menurun, cepat lelah, sulit


3

berkonsentrasi dalam belajar, dan pada tahap selanjutnya dapat mempengaruhi

kecerdasan dan daya tangkap anak. Akibat dari anemia jika tidak diberi intervensi

dalam jangka panjang akan menyebabkan beberapa penyakit seperti gagal jantung

kongestif, thalassemia, dan gangguan sistem imun (Nursari, 2009).

Anemia gizi besi merupakan anemia yang paling sering terjadi. Dari seluruh

total kasus, sebanyak 50% anemia terjadi karena defisiensi zat besi. (WHO, 2008).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fauziah (2018) di dua SMP swasta Tangerang

Selatan menyatakan bahwa prevalensi anemia gizi besi pada remaja putri adalah

21,3%. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2018) di dua SMP swasta

dan negeri Tangerang Selatan menyatakan bahwa prevalensi anemia remaja putri

sebesar 34%. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi anemia yaitu jenis kelamin,

obesitas, menstruasi, penyakit infeksi, dan kurangnya konsumsi pangan yang

mengandung zat besi. Selain itu, anemia juga dapat terjadi karena defisiensi vitamin

B12 dan folat karena kurangnya pemenuhan zat gizi tersebut (Indartanti, 2014).

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, diketahui bahwa prevalensi anemia

pada laki-laki adalah sebesar 18,4% sedangkan pada perempuan sebesar 23,9%.

Penelitian yang dilakukan oleh Permaesih (2015) menyatakan bahwa prevalensi

anemia pada remaja laki-laki adalah sebesar 20,9%, sedangkan pada remaja perempuan

sebesar 30%. Remaja perempuan lebih beresiko terkena anemia karena adanya siklus

menstruasi yang dialami setiap bulannya, sehingga memungkinkan kehilangan zat besi

lebih banyak saat menstruasi terjadi. Sedangkan, remaja laki-laki dapat beresiko

terkena anemia karena kurangnya asupan zat besi atau adanya penyakit infeksi.
4

Obesitas disebut mempunyai pengaruh terhadap terjadinya anemia. Obesitas

adalah suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara asupan makanan yang

masuk dengan aktifitas fisik (Mahan, 2017). Berdasarkan data Riskesdas (2007),

prevalensi nasional Anak Usia Sekolah laki-laki obesitas adalah 9,5% sedangkan

prevalensi nasional Anak Usia Sekolah perempuan obesitas adalah sebesar 6,4%.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obesitas menjadi salah satu faktor penyebab

defisiensi zat besi yang perlu dikaji lebih dalam. Penelitian yang dilakukan oleh Huang

(2015) dan Hamiell (2013) menyatakan adanya hubungan antara obesitas dengan kadar

Hb pada remaja. Obesitas dapat menyebabkan anemia melalui beberapa jalur, seperti

penurunan penyerapan zat besi di duodenum, kadar ferritin, reaksi peradangan kronis,

dan melalui mekanisme inflamasi (Arshad, 2016). Hal ini dapat terjadi dikarenakan

adanya peningkatan produksi hepcidin dihati yang dapat menghambat penyerapan zat

besi dalam tubuh (Zeid, 2014).

Selain obesitas, asupan pangan zat besi juga diketahui memiliki hubungan

dengan anemia. Zat besi merupakan salah satu unsur penting dalam proses

pembentukan sel darah merah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kirana

(2011) diketahui bahwa sebanyak 81% remaja tergolong defisit tingkat berat untuk

asupan pangan zat besi. Anemia dapat terjadi karena kurangnya konsumsi sumber

bahan makanan yang mengandung zat besi untuk dapat mencukupi kebutuhan zat besi

dalam tubuh (Indartanti, 2014). Kekurangan zat besi ini menyebabkan gangguan

pertumbuhan pada sel, baik sel tubuh maupun sel otak, sehingga akibatnya dapat

menurunkan prestasi belajar dan daya tahan tubuh (Siahaan, 2012).


5

Pada remaja perempuan, adanya siklus menstruasi merupakan salah satu faktor

resiko anemia. Ketika menstruasi berlangsung, zat besi yang menjadi salah satu

komponen sel darah merah ikut terbuang. Remaja perempuan yang sedang menstruasi

rata-rata kehilangan zat besi dalam darah ±0,56 mg/hari setiap siklus menstruasi.

Aramico (2017) menyatakan bahwa ada hubungan antara siklus menstruasi dengan

kejadian anemia pada remaja perempuan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di 33 SMP Tangerang

Selatan, diketahui bahwa prevalensi anemia remaja adalah sebesar 34,8%. Prevalensi

anemia pada remaja SMP laki-laki adalah sebesar 24,1% sedangkan prevalensi anemia

pada remaja SMP perempuan adalah sebesar 41,4%. Prevalensi anemia remaja di

Tangerang Selatan termasuk kedalam kategori masalah kesehatan masyarakat tingkat

sedang. Berdasarkan hasil tersebut, terdapat 8 sekolah dengan penderita anemia sebesar

100% (7 dari 7 orang), salah satunya adalah SMP Muhammadiyah Serpong.

Tingginya prevalensi dan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi anemia

pada remaja ini melatarbelakangi peneliti untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun

2018.

B. Rumusan Masalah

Anemia dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan

tubuh, menurunnya produktifitas dan daya tahan tubuh, serta dalam jangka panjang

akan menyebabkan terjadinya berbagai penyakit. Gejala yang ditimbulkan adalah

lemah, letih, lesu, lelah, dan lunglai, sehingga anemia dapat menurunkan konsentrasi
6

belajar dan olahraga. Selain itu, daya tahan tubuh penderita anemia cenderung menurun

yang dapat menyebabkan mudahnya terkena infeksi (Depkes, 2008).

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 ditemukan prevalensi anemia remaja

sebesar 19,7%. Angka ini mengalami kenaikan pada Riskesdas 2013 yang

menunjukkan prevalensi anemia remaja berada pada angka 26,4%. Hasil Riskesdas

tahun 2007 diketahui bahwa prevalensi anemia remaja di Provinsi Banten adalah

sebesar 13%. Studi pendahuluan yang dilakukan di 33 SMP Tangerang Selatan

diketahui bahwa prevalensi anemia remaja adalah sebesar 34,8%. Prevalensi anemia

pada remaja laki-laki sebesar 24,1% sedangkan prevalensi anemia pada remaja SMP

perempuan adalah sebesar 41,4%. Prevalensi anemia tertinggi terdapat di SMP

Muhammadiyah Serpong yaitu sebesar 100% (7 dari 7 orang).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut, telah dilakukan penelitian oleh

Fauziah (2018) di 2 SMP Tangerang Selatan dengan prevalensi anemia tertinggi dan

terendah menyatakan bahwa prevalensi anemia remaja putri sebesar 21,3%. Sedangkan

penelitian lainnya yang dilakukan pada 2 SMP di Tangerang Selatan dengan prevalensi

anemia tertinggi menyatakan bahwa prevalensi anemia remaja putri adalah sebesar

34% (Putri, 2018).

Selain itu, SMP Muhammadiyah Serpong merupakan sekolah yang memiliki 3

dari 7 orang (42,8%) yang memiliki anemia dengan status gizi lebih, 2 status gizi

obesitas (28,5%), serta 2 lainnya memiliki status gizi normal. Oleh karena itu, peneliti

tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada remaja

di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.


7

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana distribusi kejadian anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong tahun 2018?

2. Bagaimana distribusi jenis kelamin pada remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong tahun 2018?

3. Bagaimana distribusi status gizi obesitas pada remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong tahun 2018?

4. Bagaimana distribusi asupan pangan zat besi pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018?

5. Bagaimana distribusi kehilangan darah menstruasi pada remaja putri di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018?

6. Bagaimana distribusi penyakit infeksi pada remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong tahun 2018?

7. Bagaimana hubungan antara status gizi obesitas dengan kejadian anemia pada

remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018?

8. Bagaimana hubungan antara asupan pangan zat besi dengan kejadian anemia

pada remaja putri di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018?

9. Bagaimana hubungan antara kehilangan darah menstruasi dengan kejadian

anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018?

10. Bagaimana hubungan antara penyakit infeksi dengan kejadian anemia pada

remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018?


8

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada

remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya distribusi kejadian anemia pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

2. Diketahuinya distribusi jenis kelamin pada remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong tahun 2018.

3. Diketahuinya distribusi status gizi obesitas pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

4. Diketahuinya distribusi asupan pangan zat besi pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

5. Diketahuinya distribusi kehilangan darah menstruasi pada remaja putri di

SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

6. Diketahuinya distribusi penyakit infeksi pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

7. Diketahuinya hubungan antara status gizi obesitas dengan kejadian anemia

pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

8. Diketahuinya hubungan antara asupan pangan zat besi dengan kejadian

anemia pada remaja putri di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

9. Diketahuinya hubungan antara kehilangan darah menstruasi dengan

kejadian anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.


9

10. Diketahuinya hubungan antara penyakit infeksi dengan kejadian anemia

pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Remaja

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan dan informasi

mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada remaja dan

pentingnya mengkonsumsi zat besi untuk mencegah anemia.

2. Bagi SMP Muhammadiyah Serpong

a. Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada sekolah mengenai

faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

b. Hasil penelitian dapat dijadikan masukan bagi pihak sekolah untuk

memberi perhatian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

3. Bagi Puskesmas Tangerang Selatan

a. Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada Puskesmas mengenai

faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada remaja di SMP

Tangerang Selatan

b. Hasil penelitian dapat dijadikan acuan dalam perencanaan program dan

kebijakan dalam menanggulangi anemia pada remaja di SMP Tangerang

Selatan.
10

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian dapat dijadikan acuan atau referensi untuk penelitian

selanjutnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada

remaja di SMP Tangerang Selatan.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Muhammadiyah Serpong Tangerang

Selatan pada bulan November 2017 hingga Agustus 2018. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada

remaja di SMP Muhammadiyah Serpong. Sampel penelitian ini adalah siswa/i SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018 berjumlah 88 orang.

Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapat dari hasil

food frequency questionnaire (FFQ) zat besi, pengukuran antropometri,

pengukuran kadar Hb, dan kuesioner menstruasi. Variabel dalam penelitian ini

terdiri dari variabel dependen yaitu anemia, sedangkan variabel independen yaitu

obesitas, asupan pangan zat besi, menstruasi, dan penyakit infeksi. Kemudian,

analisis data penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

Remaja adalah penduduk dengan rentang usia 10-19 tahun (Permenkes RI,

2014). Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN) (2013), remaja adalah penduduk laki-laki dan perempuan yang berusia

10-19 tahun dan belum menikah. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun

2010, jumlah penduduk Indonesia usia 10-19 tahun adalah sebanyak 43.5 juta jiwa

atau 18% dari jumlah penduduk. Berdasarkan aspek perkembangannya, masa

remaja dibagi menjadi dua kategori, yaitu remaja awal (10-14 tahun) dan remaja

akhir (15-19 tahun) (UNICEF, 2010).

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan dari masa kanak-

kanak hingga masa dewasa yang melibatkan perubahan kognitif, biologis, dan

sosio-emosional. Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15% dari tinggi

badan dan 50% berat badan saat dewasa. Masa remaja juga merupakan masa

terjadinya peningkatan velositas pertumbuhan dimana pertumbuhan yang cepat ini

sejalan dengan peningkatan kebutuhan zat gizi. Adanya kekurangan zat gizi makro

atau mikro yang terjadi ketika masa remaja dapat mempengaruhi pertumbuhan

serta menghambat pematangan seksual (Siahaan, 2012).

11
12

B. Anemia

Anemia adalah suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan kadar

eritrosit per satuan volume darah atau kadar hemoglobin yang tidak mencukupi

kebutuhan fisiologis tubuh. Anemia bukan suatu penyakit, melainkan manifestasi

dari beberapa jenis penyakit dan kondisi patologis (Mahan, 2017). WHO dan

Pedoman Kemenkes 1999 menyatakan bahwa cut off point anemia berbeda-beda

menurut kelompok umur. Ambang batas yang menunjukkan terjadinya anemia

terdapat pada tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1 Ambang Batas Anemia Menurut Kelompok Umur

Kelompok Nilai Hemoglobin

Balita <11 g/dL

Anak usia sekolah <12 g/dL

Ibu hamil <11 g/dL

Wanita usia subur <12 g/dL

Laki-laki <13 g/dL

Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013.

Anemia yang disebabkan karena kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi

seperti zat besi atau zat gizi mikro lainnya disebut anemia gizi. Kurangnya satu

atau lebih zat gizi esensial yang digunakan untuk pembentukan sel darah merah

merupakan penyabab sebagian besar anemia. Anemia yang paling sering terjadi

adalah anemia gizi besi (Indartanti, 2014).


13

Menurut Arisman, 2004 dalam Nursari, 2009 menyatakan bahwa ada dua

faktor yang menjadi penyebab anemia, yaitu:

a. Sebab langsung, yaitu karena ketidakcukupan asupan zat besi dan adanya

infeksi penyakit. Kurangnya asupan zat besi dalam tubuh disebabkan

karena kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi serta

konsumsi makanan yang mengandung zat penghambat absorpsi besi

didalam tubuh. Sedangkan, infeksi penyakit yang pada umumnya

memperbesar resiko terjadinya anemia adalah cacing dan malaria.

b. Sebab mendasar, yaitu tingkat ekonomi yang rendah, pendidikan yang

rendah, dan lokasi geografis yang sulit.

Anemia cenderung terjadi pada remaja wanita, karena kurangnya asupan

makanan yang mengandung zat besi dan wanita mengalami masa menstruasi

setiap bulannya sehingga membutuhkan zat besi tiga kali lebih banyak

dibandingkan pria. Sedangkan pada remaja pria, anemia dapat terjadi karena

kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat besi serta adanya penyakit

yang disertai perdarahan (Depkes, 2003).

1. Etiologi Anemia

Anemia dapat diakibatkan oleh defisiensi zat gizi tertentu, infeksi,

maupun faktor genetik. Anemia aplastik (aplastic anemia) dapat terjadi

karena adanya penurunan kemampuan produksi sel darah merah. Anemia

hemolitik (hemolytic anemia) terjadi karena sel darah merah lebih cepat
14

mengalami kerusakan. Anemia bulan sabit (sikle cell anemia) terjadi karena

adanya kelainan sel darah merah akibat kerusakan secara genetik. Anemia

yang disebabkan oleh penyakit kronis (anemia of chronic disease) terjadi

karena misalnya, parasit seperti cacing memanfaatkan zat gizi dan

menyebabkan perdarahan pada pembuluh darah serta menurunkan absorbsi

zat gizi tersebut. Sedangkan, anemia yang disebabkan oleh infeksi pada

penderita malaria terjadi karena kerusakan sel darah merah (Most, 2004

dalam Siahaan, 2012).

Anemia yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan

dalam pembentukan hemoglobin disebut anemia gizi. Anemia gizi terbagi

menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Anemia pernisiosa yaitu anemia megaloblastik dimana sel darah merah

memiliki ukuran yang abnormal dengan nuklai imatur (blastik). Anemia

pernisiosa ini disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dalam darah.

b. Anemia defisiensi folat (asam folat atau vitamin B9) merupakan anemia

megaloblastik dengan karakteristik perbesaran sel darah merah yang

memiliki inti sel imatur. Anemia ini disebabkan kekurangan asam folat.

c. Anemia defisiensi besi atau anemia gizi besi adalah anemia mikrosistik-

hipokromik yang terjadi karena kekurangan zat besi dalam tubuh atau

kehilangan darah secara kronis (Crowin, 2009 dalam Siahaan, 2012).


15

2. Patofisiologi Anemia

Anemia pada kondisi inflamasi/peradangan dimulai dari adanya

peningkatan sitokin-sitokin pro inflamasi seperti TNF-a, IL-6, dan C Reactive

Protein. Pengeluaran sitokin pro inflamasi ini distimulasi oleh faktor yang

berbeda-beda, misalnya pada orang obesitas, pengeluaran sitokin pro inflamasi

disebabkan oleh kondisi hipertrofi dan hyperplasia jaringan adiposa (Ridha,

2014).

Inflamasi merupakan respons protektif tubuh yang disebabkan oleh

kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan atau mengurangi agen

pencedera maupun jaringan yang terkena cedera (Harijadi, 2009).

Etiologi inflamasi ada beberapa macam, yaitu infeksi mikroba, agen

kimia, agen fisik, jaringan nekrotik, dan melalui reaksi imunologik. Akibat

yang dapat ditimbulkan dari terjadinya inflamasi diantaranya adalah

pembentukan jaringan parut, kerusakan organ progresif, dan adanya reaksi

hipersensitivitas (Harijadi, 2009).

Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar, yaitu:

a. Inflamasi akut, adalah inflamasi yang berlangsung relatif singkat, dari

beberapa menit sampai beberapa hari. Inflamasi akut ditandai dengan

eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik

yang menonjol.
16

b. Inflamasi kronik, adalah inflamasi yang berlangsung lebih lama mulai

harian sampai tahunan dan ditandai dengan influx limfosit dan

makrofag yang disertai dengan pembentukan jaringan parut.

Pada keadaan anemia karena inflamasi, adanya sitokin pro inflamasi

dapat menstimulasi pengeluaran hepcidin di hati dan menghambat aktifitas

ferritin di makrofag. Hepcidin merupakan regulator utama dari homeostasis

besi yang berfungsi untuk mengkoordinasi penggunaan dan penyimpanan besi

(Ridha, 2014). Pengeluaran hepcidin dapat menyebabkan absorbsi zat besi

meningkat karena tubuh akan berusaha menyesuaikan zat besi yang diserap

tetap berada dalam jumlah normal melalui kerja transferrin yang mengikat

lebih banyak zat besi (Crowin, 2009).

Dengan meningkatnya absorbsi zat besi, maka simpanan zat besi dalam

bentuk ferritin di hati akan berkurang dan jumlah zat besi yang akan di transfer

ke sumsum tulang untuk proses pembentukan hemoglobin tidak tercukupi.

Akibatnya, kadar hemoglobin akan menurun dalam jumlah tertentu yang

disebut dengan anemia (Crowin, 2009).

3. Gejala Anemia

Anemia ditandai dengan kondisi tubuh yang disebut dengan 5L (lelah,

letih, lesu, lemah, lalai), bibir tampak pucat, nafas pendek, nafsu makan

berkurang, mudah pusing, dan mudah mengantuk (Depkes, 2003). Sedangkan,

menurut Arisman (2004) gejala anemia biasanya tidak khas seperti pucat,

mudah lelah, jantung berdebar, dan sesak nafas.


17

4. Dampak Anemia

Pada remaja perempuan, dampak anemia dapat terbawa hingga dewasa dan

hamil. Anemia yang terjadi pada perempuan hamil berhubungan dengan

kejadian BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) dan meningkatkan resiko kematian

ibu dan perinatal. Selain itu, anemia pada perempuan hamil juga dapat

meningkatkan resiko komplikasi perinatal dan kelahiran prematur (Fikawati,

2017). Sedangkan pada remaja laki-laki, dampak anemia yang dapat terjadi

adalah adanya gangguan perkembangan fisik, menurunnya konsentrasi belajar,

dan tidak tercapainya tinggi badan maksimal karena pada masa remaja terjadi

puncak pertumbuhan tinggi badan (Indartanti, 2014).

Remaja yang menderita anemia gizi besi lebih mudah terserang infeksi

karena defisiensi zat besi dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan

berkurangnya sel T untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi. Proses

pertahanan tubuh terhadap infeksi virus atau bakteri oleh sel darah putih

merupakan komponen penting dari mekanisme pertahanan tubuh yang akan

terganggu pada kondisi defisiensi zat besi (WHO, 2011).

C. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia

1. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah perbedaan seks yang ditentukan sejak lahir dan

dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pada jenis kelamin akan

menentukan banyaknya kebutuhan gizi seseorang yang harus terpenuhi.


18

Obesitas lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki

(Brown, 2013 dalam Savitri, 2015).

Menurut hasil data Riskesdas 2013, prevalensi anemia remaja

perempuan sebesar 22,7%, sedangkan pada laki-laki sebesar 12,4%. Penyebab

prevalensi anemia lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki

adalah karena adanya siklus menstruasi yang terjadi setiap bulannya. Menstruasi

merupakan ciri khas pada wanita yang ditandai dengan keluarnya darah dari

vagina secara periodik. Menstruasi dapat menyebabkan hilangnya hemoglobin

sebanyak 28 mg selama satu periode menstruasi. (Bani, 2016).

Selain itu, remaja putri cenderung melakukan diet ketat untuk

mendapatkan bentuk tubuh yang ideal dengan cara mengurangi konsumsi

makanan sehingga dapat menyebabkan kekurangan zat gizi yang diperlukan,

salah satunya adalah zat besi (Masthalina, 2015).

2. Obesitas

Status gizi adalah perwujudan dari zat gizi dalam bentuk variabel

tertentu. Status gizi yang baik akan membawa seseorang untuk menjadi sehat

dan produktif. Indikator yang digunakan untuk mengukur status gizi adalah

Indeks Massa Tubuh (IMT). Untuk mendapatkan nilai IMT, dilakukan

pengukuran antropometri yang terdiri dari berat badan dan tinggi badan.

Obesitas adalah suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara

asupan makanan yang masuk dengan aktifitas fisik. Obesitas merupakan


19

masalah kesehatan masyarakat yang kompleks terkait lingkungan, gaya hidup,

dan gen. selain itu, obesitas dapat menjadi faktor resiko terjadinya anemia dan

beberapa penyakit degeneratif lainnya (Mahan, 2017).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hamiell (2013), remaja

dengan status gizi obesitas cenderung mengalami anemia dibandingkan dengan

remaja yang memiliki status gizi normal. Penelitian yang dilakukan oleh Khan

(2016), Huang (2015) dan Zeid (2014) menyatakan bahwa adanya hubungan

antara obesitas dengan anemia pada remaja.

Obesitas ditandai dengan adanya penumpukan lemak dijaringan adiposa,

dimana jika hal ini terjadi maka akan menstimulasi pengeluaran sitokin-sitokin

pro inflamasi, yaitu TNF-α yang dapat menghambat aktifitas ferritin didalam

makrofag dan interleukin 6 (IL6) yang memicu pengeluaran hepcidin dihati.

Hepcidin merupakan regulator utama dari homeostasis besi yang mengatur

penggunaan dan penyimpanan besi berdasarkan kebutuhannya dalam tubuh. Jika

terdapat stimulasi dari IL6 sebagai mediator inflamasi, maka produksi hepcidin

akan meningkat sehingga absorpsi besi akan terganggu. Apabila hal ini terjadi

terus-menerus maka dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dalam darah

(Ridha, 2014).

3. Aktifitas Fisik

Menurut WHO (2010), aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang

dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktifitas


20

fisik adalah gerakan fisik yang dilakukan oleh tubuh dan sistem penunjangnya.

Aktifitas fisik pada remaja dpat mempunyai hubungan dengan peningkatan rasa

percaya diri, self-concept, rasa cemas, dan stress yang rendah (Brown, 2013).

Secara umum aktifitas fisik dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu aktifitas

fisik ringan, sedang, dan berat. Aktifitas fisik ringan adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan gerak tubuh, seperti menyapu, berjalan kaki, dan menaiki

tangga. Aktifitas fisik sedang adalah gerakan tubuh dengan minimal waktu lima

hari atau lebih dengan total lamanya beraktifitas 150 menit dalam satu minggu,

seperti menari, bersepeda, dan berlari. Sedangkan, aktifitas fisik berat adalah

setiap gerak tubuh yang secara terus-menerus dilakukan minimal 10 menit

sampai meningkatnya denyut nadi dan nafas lebih cepat dari biasanya, seperti

mendaki gunung, menimba air, dan menebang pohon (WHO, 2012).

Berdasarkan data Riskesdas (2013), tingkatan capaian aktifitas fisik

berat, sedang, dan ringan dikategorikan kembali menjadi “aktif” dan “kurang

aktif”. Kriteria aktif diberikan kepada individu yang melakukan aktifitas fisik

berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria kurang aktif diberikan

kepada individu yang tidak melakukan aktifitas fisik sedang ataupun berat.

Proporsi aktifitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 26,1%.

Proporsi penduduk usia ≥10 tahun di provinsi Banten dengan jenis aktifitas fisik

aktif adalah sebesar 77,1% dan aktifitas fisik kurang aktif adalah sebesar

22,9%.
21

Berdasarkan Auersperger (2013) dan McClung (2012), remaja dengan

tingkat aktifitas fisik yang berat dapat mempengaruhi status anemia melalui

ekspresi hepcidin, hormon peptide yang berperan sebagai regulator dalam

homeostasis besi. Kemudian, pada aktifitas fisik yang berat, zat besi akan

hilang melalui keringat sampai 6gr/L. Zat besi diperlukan untuk memasok

oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh dimana jika cadangan zat besi kurang

akan menyebabkan kelelahan. Keadaan ini dapat diperparah dengan reaksi

peradangan yaitu meningkatnya konsentrasi hepcidin dan sitokin pro-inflamasi

(IL-6) setelah melakukan aktifitas fisik berat. Tubuh tidak memiliki mekanisme

untuk menggantikan cadangan zat besi yang hilang karena aktifitas fisik. Maka,

dibutuhkan pengaturan asupan zat besi bagi remaja dengan aktifitas fisik yang

berat (Peeling, 2008).

4. Asupan Pangan Zat Besi

Zat besi merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembentukan

sel darah merah. Pada remaja, terjadinya velositas pertumbuhan menyebabkan

remaja perlu mendapat asupan zat gizi yang cukup untuk menunjang

pertumbuhannya. Kemudian, pada remaja putri, jumlah zat besi yang

dikeluarkan dari tubuh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki karena

adanya periode menstruasi (Nursari, 2009).

Berdasarkan tabel AKG tahun 2013 menyatakan bahwa angka

kecukupan zat besi untuk remaja laki-laki usia 13-15 tahun adalah sebesar 19
22

mg, sedangkan untuk remaja putri usia 13-15 tahun angka kecukupan zat besi

yang ditetapkan sebesar 26 mg.

Anemia dapat terjadi karena kurangnya konsumsi sumber makanan yang

mengandung zat besi. Rendahnya asupan pangan zat besi seringkali terjadi pada

orang-orang yang mengkonsumsi bahan makanan kurang beragam (Salman,

2013). Bahan makanan hewani adalah salah satu sumber zat besi yang mudah

diserap (heme) seperti daging, hati, dan kuning telur. Sedangkan bahan makanan

nabati (non heme) seperti sayuran hijau dan kacang-kacangan merupakan

sumber zat besi yang tinggi tetapi sulit diserap sehingga dibutuhkan porsi yang

lebih banyak untuk dapat mencukupi kebutuhan zat besi dalam tubuh (Indartanti,

2014).

a. Absorpsi Zat Besi

Absorpsi zat besi terjadi di duodenum dan jejunum proksimal. Namun,

asam lambung juga berperan dalam proses penyerapan zat besi non heme.

Absorpsi zat besi non heme kebanyakan tersedia dalam bentuk teroksidasi

(Fe3+) atau feri dan akan berubah menjadi fero (Fe2+). Sedangkan, zat besi

heme akan langsung diserap kedalam sel absorptif atau di transport ke plasma

setelah protein dilepaskan (Khan, 2016).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi zat besi dalam

tubuh, yaitu tipe makanan yang dikonsumsi, interaksi antar bahan makanan,

mekanisme regulasi dalam mukosa usus, bioavailabilitas zat besi, jumlah


23

simpanan zat besi, dan kecepatan produksi sel darah merah (Gibney 2009,

dalam Rahmawati 2011).

Zat-zat yang dapat menghambat absorpsi zat besi diantaranya adalah

tanin dan asam fitat. Tanin merupakan zat yang banyak terdapat dalam kopi,

teh, dan beberapa jenis sayur dan buah. Tanin dapat menghambat proses

penyerapan zat besi dengan cara mengikatnya. Apabila makanan/minuman

yang mengandung tanin dikonsumsi secara bersamaan, maka dapat

menyebabkan jumlah besi yang terserap dalam tubuh semakin rendah

(Aritonang, 2015).

Selain tanin, asam fitat juga dapat menghambat proses penyerapan zat

besi dalam tubuh dengan cara mengikat zat besi sehingga tidak dapat diserap

dan akan dikeluarkan bersama feses. Asam fitat banyak ditemukan pada

kacang-kacangan, sereal, dan teh hitam. Selain itu, penambahan protein kedelai

dalam makanan dapat menghambat penyerapan zat besi karena terdapat

kandungan asam fitat yang tinggi dalam protein kedelai (Aritonang, 2015).

Adapun zat gizi yang membantu meningkatkan penyerapan zat besi

dalam tubuh yaitu vitamin C dan protein. Vitamin C banyak terdapat dalam

sayuran dan buah-buahan. Vitamin C diketahui dapat membantu penyerapan

zat besi non heme dengan mengubah bentuk feri menjadi fero sehingga lebih

mudah untuk diserap. Namun, apabila konsumsi pangan zat besi sedikit, maka

fungsi vitamin C sebagai faktor enhancer tidak berjalan (Bani, 2016).


24

Protein banyak terdapat dalam daging merah, unggas, dan ikan. Zat besi

yang berasal dari protein hewani dapat lebih mudah diserap oleh tubuh

dibandingkan dari protein nabati. Protein berperan dalam membantu transpor

zat besi ke plasma darah. Apabila tubuh kekurangan protein, maka transpor zat

besi ke plasma darah akan terganggu sehingga dapat mempengaruhi kadar

hemoglobin darah (Bani, 2016).

b. Fortifikasi Zat Besi

Salah satu upaya Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi angka

anemia gizi besi adalah fortifikasi pangan. Fortifikasi adalah proses

penambahan zat gizi kedalam pangan yang bertujuan untuk meningkatkan

kualitas dari pangan tersebut serta meningkatkan status gizi masyarakat. Dalam

kasus anemia, fortifikasi pangan merupakan salah satu strategi untuk

meningkatkan asupan zat besi dalam tubuh melalui makanan (Ardiyanti, 2014).

Tepung terigu memenuhi syarat untuk dijadikan vehicle (pangan

pembawa) zat gizi mikro dalam program fortifikasi pangan sebagai strategi

mengatasi masalah anemia gizi besi di Indonesia (Hardinsyah, 2007). Pada

tahun 1998, SK Kemenkes Nomor 632/MENKES/SK/VI/1998 mewajibkan

seluruh tepung terigu yang beredar di Indonesia harus difortifikasi. Kemudian

pada tahun 2001, Standar Nasional Indonesia (SNI) mewajibkan tepung terigu

difortifikasi dengan zat besi, seng, vitamin B1, dan vitamin B2. Penetapan

pemberlakuan SNI tepung terigu ini sesuai dengan Peraturan Menteri


25

Perindustrian Nomor 49/M-IND/PER/7/2008 tentang pemberlakuan SNI

tepung terigu sebagai bahan makanan secara wajib.

Pemberian fortifikasi zat besi pada tepung terigu secara konsisten

diketahui dapat menurunkan prevalensi serum ferritin yang rendah pada wanita

(Pachon dkk, 2015). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1452/MENKES/SK/X/2003 tentang tepung terigu yang

diproduksi, diimpor, atau didistribusikan di Indonesia harus ditambahkan

fortifikan, yang mengandung:

a. Zat besi : minimal 50 ppm

b. Zinc : minimal 30 ppm

c. Vitamin B1 : minimal 2,5 ppm

d. Vitamin B2 : minimal 4 ppm

e. Asam folat : minimal 2 ppm

Di Indonesia, terjadi peningkatan konsumsi tepung terigu sebesar

26,1% setiap tahun dari tahun 1993 sampai 2005 (Hardinsyah, 2007). Pangan

olahan tepung terigu yang dikonsumsi di Indonesia adalah mie, roti, makaroni,

kue kering, gorengan, dan biskuit. Jumlah konversi tepung terigu dalam pangan

olahan tepung terigu di Indonesia adalah sebagai berikut:


26

Tabel 2.2. Konversi Tepung Terigu dari Pangan Olahan Tepung Terigu

No Pangan Olahan % Tepung Terigu

1 Tepung terigu 1.00

2 Mie basah 0.33

3 Mie instan 0.92

4 Makaroni 0.92

5 Roti tawar 0.68

6 Roti manis 0.68

7 Kue kering/ biskuit 1.00

8 Kue basah 0.47

9 Makanan gorengan 0.25

10 Mie bakso 0.33

11 Makanan ringan anak 0.92

Sumber: Hardinsyah, 2007

5. Menstruasi

Menstruasi merupakan ciri khas kematangan biologis pada wanita yang

ditandai dengan keluarnya darah dari vagina. Menstruasi menunjukkan salah

satu perubahan pada alat reproduksi sebagai bentuk persiapan kehamilan

(Aramico, 2017). Remaja putri beresiko lebih tinggi untuk menderita anemia

karena adanya siklus menstruasi yang mereka alami. Pada umumnya, remaja

putri mengeluarkan darah 30-40 ml setiap siklus menstruasi antara 21-35 hari

dengan lama menstruasi 3-7 hari (Aritonang, 2015).


27

Ketika menstruasi, remaja putri rata-rata kehilangan sekitar 0,56 mg zat

besi per hari pada setiap siklusnya (28 hari) (FAO, 2001). Zat besi merupakan

komponen pembentuk hemoglobin ikut terbuang selama periode menstruasi.

Semakin lama menstruasi berlangsung, maka darah yang dikeluarkan dari

tubuh juga akan semakin banyak. Kehilangan darah yang banyak saat

menstruasi disertai dengan siklus menstruasi yang tidak teratur dapat

menyebabkan kehilangan zat besi dari tubuh lebih banyak dibandingkan dengan

siklus menstruasi yang teratur (Putri, 2018). Kadar hemoglobin pada remaja

putri berbeda pada sebelum dan sesudah menstruasi. Sebelum menstruasi,

diketahui rata-rata kadar hemoglobin sebesar 11,8 gr/dl dan rata-rata kadar

hemoglobin setelah menstruasi sebesar 10,61 gr/dl (Nugrahani, 2013).

Kehilangan darah menstruasi dapat dihitung untuk mengestimasi

jumlah darah yang keluar saat menstruasi. Rumus yang digunakan untuk

menghitung skor Menstrual Blood Loss (MBL) menurut Toxqui (2014) adalah:

Nilai MBL diperoleh dari tingkat penyerapan pembalut yang dilaporkan

oleh produsen dan dikalikan dengan jumlah pembalut yang digunakan oleh

masing-masing remaja putri. Jumlah absorbansi untuk pembalut mini= 1,

normal= 1,5, super= 2, malam/superplus= 3. Setelah didapatkan nilai MBL,

angka tersebut dimasukkan kedalam rumus perhitungan skor MBL (Toxqui,

2014).
28

6. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi adalah salah satu faktor resiko anemia pada remaja.

Penyakit infeksi ditandai dengan meningkatnya kadar leukosit dalam darah.

Leukosit dalam peredaran darah terdiri atas lima jenis sel dengan fungsi yang

berbeda, salah satunya netrofil. Netrofil merupakan jenis leukosit dengan

jumlah paling besar dan memiliki peran penting dalam reaksi tubuh terhadap

inflamasi, karena netrofil merupakan sel pertama yang bertemu dan membunuh

bakteri untuk mencegahnya berkembang. Ketika terjadi inflamasi, jumlah

netrofil akan meningkat dalam peredaran darah. (Wardhani, 2016).

Infeksi virus dengue menyebar secara endemik dibeberapa negara

tropis, sebagian besar kasus menyerang anak dibawah usia 15 tahun. Infeksi ini

menimbulkan gejala yang bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan,

sampai berat. Gejala yang berat dikaitkan dengan demam berdarah dan demam

berdarah dengue (DBD). Pemeriksaan hitung jenis leukosit dan netrofil banyak

digunakan untuk membantu diagnosa DBD karena dapat dilakukan di berbagai

laboratorium sampai Puskesmas (Nusa, 2015).

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan

oleh bakteri Salmonella typhi, jenis bakteri gram negatif yang menghasilkan

endotoksin dan dapat mempengaruhi kadar leukosit dan durasi demam pada

penderita tifoid. Demam tifoid memiliki gejala klinis yang tidak khas dan

bervariasi dari ringan sampai berat. Biasanya, keluhan pada minggu pertama

menyerupai infeksi akut seperti demam, nyeri kepala, mual, dan muntah. Untuk

mengetahui gambaran laboratorium demam pada penderita tiifoid dapat


29

dilakukan pengukuran kadar leukosit total maupun hitung jenis leukosit

(Rosinta, 2015).

Inflamasi yang terjadi ketika seseorang menderita penyakit infeksi akan

menganggu penyerapan zat besi yang terjadi didalam tubuh. Zat besi berperan

dalam proses terjadinya apoptosis atau kematian sel. Setiap hari, ±10 milyar sel

tubuh mengalami apoptosis. Proses terjadinya apoptosis dibagi menjadi 2 jalur,

yaitu jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik adalah pelepasan sitokrom.

Sitokrom adalah hemoprotein yang mengandung gugus heme dan berfungsi

sebagai pengusung elektron. Zat besi merupakan komponen penting sitokrom,

dimana jika cadangan zat besi kurang, maka akan menghambat proses

apoptosis. Ketika tubuh kehilangan kemampuan apoptosis, maka sel akan

membelah diri secara tidak terkendali dalam jangka panjang (Berrk, 2013).

7. Penyakit Kronik

Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada

penyakit kronik tertentu yang ditandai oleh ganguan metabolisme besi yaitu

adanya hipoferemia. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya penyediaan besi

yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin. Secara garis besar, penyakit yang

mendasari adanya anemia pada penyakit kronik adalah infeksi kronik, inflamasi

kronik, dan neoplasma ganas (Wibawa, 2012).

Anemia pada penyakit kronik adalah anemia paling sering nomor dua

setelah anemia gizi besi. Prevalensi dan beratnya anemia berhubungan dengan

stage penyakit kronik itu sendiri. Prevalensi anemia pada pasien kanker

dipengaruhi oleh terapi dan usia, yaitu sebesar 77% pada laki-laki dan 68%
30

pada perempuan. Kemudian, prevalensi anemia pada pasien tumor yaitu sebesar

41%. Pada anak dengan artritis rheumatoid prevalensi anemia sebesar 40,8%,

pada penyakit SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) prevalensinya sebesar

37,1% dan pada anak dengan gagal ginjal kronik sebesar 26% (Ganz, 2011).

D. Kerangka Teori

Anemia merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan rendahnya

konsentrasi hemoglobin dalam sel darah merah. Anemia bukan suatu penyakit,

melainkan manifestasi dari beberapa jenis penyakit dan kondisi patologi. Faktor-

faktor yang disebut berhubungan dengan anemia diantaranya adalah obesitas,

aktifitas fisik, asupan pangan zat besi, menstruasi, penyakit kronik, dan penyakit

infeksi (Cadenassanchez, 2017).

Berdasarkan beberapa sumber dalam tinjauan pustaka yang menyatakan

berhubungan dengan kejadian anemia, maka dibuatlah kerangka teori seperti

sebagai berikut:
31

Sumber: Siahaan (2012), Zeid (2014), McClung (2012), Wibawa (2012), Indartanti (2014)

Bagan 2.1 Kerangka Teori


BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

Variabel dependen adalah anemia, variabel independen terdiri dari obesitas,

asupan pangan zat besi, menstruasi, dan penyakit infeksi.

Adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini membuat penulis tidak

meneliti semua variabel yang ada pada kerangka teori. Variabel yang tidak diteliti

dalam penelitian ini adalah aktifitas fisik dan penyakit kronik. Aktifitas fisik

menjadi faktor yang mempengaruhi anemia jika termasuk dalam kategori aktifitas

fisik berat atau aktif melalui ekspresi hepcidin sehingga cadangan besi akan

berkurang. Namun, berdasarkan hasil penelitian Wijayanti (2011) aktifitas fisik

pada anak usia sekolah cenderung homogen dan termasuk kedalam aktifitas fisik

ringan atau tidak aktif, sehingga variabel aktifitas fisik tidak diteliti dalam

penelitian ini.

Variabel penyakit kronik tidak diteliti dalam penelitian ini karena pada

variabel ini dibutuhkan data yang mendukung pengkajian klinis. Maka dari itu

variabel penyakit infeksi termasuk kedalam kriteria eksklusi penelitian. Bagan

kerangka konsep adalah sebagai berikut:

32
33

Bagan 3.1 Kerangka Konsep


34

B. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Anemia Kondisi kadar hemoglobin Hemometer Mengukur kadar 1. Anemia: (laki-laki) Ordinal

responden <12 mg/dl untuk hemoglobin dengan = kadar hemoglobin

perempuan dan <13 mg/dl untuk mengambil specimen kurang dari 13 mg/dl

laki-laki (Riskesdas, 2013). darah. (perempuan) = kadar

hemoglobin kurang

dari 12 mg/dl

2. Tidak anemia

(laki-laki) = kadar

kemoglobin lebih dari

sama dengan 13

mg/dl.

(perempuan) = kadar

kemoglobin lebih dari


35

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

sama dengan 12

mg/dl.

(WHO, 2011)

Obesitas Keadaan tubuh saat dilakukan Mikrotois, Mengukur tinggi badan 1. Obesitas (>2SD) Ordinal

pengukuran berdasarkan indeks timbangan dan berat badan 2. Tidak obesitas (-

antropometri (IMT/U) yang berat badan 2SD – 1SD)

dibagi kedalam beberapa (Kemenkes, 2011)

kategori (Savitri, 2015).

Asupan pangan Jenis konsumsi Fe heme, non Food Wawancara 1. Kurang = ≤ mean Ordinal

zat besi heme, dan pangan tepung terigu Frequency dari total zat besi

berfortifikasi untuk mencukupi Questionnai 2. Cukup = > mean

kebutuhan tubuh dan mencegah re dari total zat besi

anemia terjadi (Indartanti,

2014).
36

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Menstruasi Jumlah darah yang keluar diukur Kuesioner Metode perhitungan skor 1. Tinggi (jika skor Ordinal

dari estimasi jumlah hari MBL (Toxqui, 2014) MBL ≥mean)

menstruasi, jumlah hari 2. Rendah (jika skor

kehilangan banyak darah, dan MBL <mean)

ukuran pembalut yang dihitung

dengan menggunakan rumus

MBL

Riwayat penyakit Riwayat penyakit infeksi (DBD Kuesioner Menanyakan kepada 1. Ya Ordinal

infeksi dan Tifoid) yang pernah dialami responden riwayat 2. Tidak

responden dalam satu bulan penyakit DBD dan Tifoid

terakhir (Ridha, 2014). yang dialami dalam satu

bulan terakhir.
37

C. Hipotesis

1. Ada hubungan antara obesitas dengan anemia pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

2. Ada hubungan antara asupan pangan zat besi dengan anemia pada remaja di

SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

3. Ada hubungan antara menstruasi dengan anemia pada remaja putri di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018.

4. Ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan anemia pada remaja di

SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018.


BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan

menggunakan desain studi cross sectional atau potong lintang, yaitu data yang

mengangkut variabel dependen dan variabel independen dikumpulkan dan

diamati dalam waktu yang bersamaan. Variabel dependen yang diteliti adalah

anemia, variabel independen yang diteliti adalah obesitas, menstruasi, asupan

pangan zat besi, dan penyakit infeksi.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Muhammadiyah Serpong Kota

Tangerang Selatan pada bulan November tahun 2017 hingga Agustus tahun 2018.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 7-9 SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018. Berdasarkan data yang diperoleh dari

Kemendikbud, diketahui bahwa jumlah seluruh siswa di SMP Muhammadiyah

Serpong sampai tahun 2018 adalah sebanyak 213 orang.

38
39

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah siswa/i SMP Muhammadiyah

Serpong yang masih aktif.

3. Perhitungan Sampel

Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini ditentukan dengan

menggunakan uji hipotesis beda proporsi dengan rumus sebagai berikut:

[Z1/2 α X √2P (1−P) + Z1−β √P1 (1−P1 )+P2 (1−P2 )]²


N=
(𝑃1 −𝑃2 )²

N = jumlah sampel

P1 = Proporsi remaja dengan status gizi obesitas dan anemia

P2 = Proporsi remaja dengan status gizi tidak obesitas dan anemia

P1 +P2
P =
2

Z1−β = kekuatan uji 80%= 0,84

Z1/2 α = derajat kepercayaan (Z=1,96 dan α=5%)

Besar minimal sampel berdasarkan penelitian sebelumnya adalah

sebagai berikut:

Tabel 4.1. Besar Sampel

Variabel P1 P2 Sampel Sumber


Obesitas 25 69,8 79 Ridha, 2014
40

Variabel P1 P2 Sampel Sumber


Asupan Zat Besi 21,1 58 44 Salman, 2013
Menstruasi 68,7 23 59 Aramico, 2017
Penyakit Infeksi 30,7 44.8 42 Wijayanti, 2011

Berdasarkan hasil perhitungan rumus diatas, besar sampel minimum

yang didapat adalah sebesar 79 orang. Untuk mengantisipasi adanya data

sampel yang tidak lengkap, maka jumlah sampel ditambahkan sebesar 10%

sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini berjumlah 88

orang.

4. Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan non probability sampling dengan teknik

purposive sampling dalam pengambilan sampelnya. Penggunaaan non

probability sampling ditetapkan karena tidak semua subjek dilokasi penelitian

memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai

sampel. Langkah-langkah dari teknik purposive sampling adalah sebagai

berikut:

a. Kelas 7 tidak diikutsertakan dalam penelitian ini dikarenakan pada tahun

ajaran sebelumnya belum bersekolah di SMP Muhammadiyah Serpong dan

ketika tahun ajaran baru memiliki jadwal yang lebih padat dibanding kelas

8 dan kelas 9 (jumlah siswa kelas 7 sebanyak 76 orang).


41

b. Menanyakan kepada siswa/i di sekolah yang memiliki penyakit kronis

seperti ginjal, kanker, lupus, dan tuberkulosis. (tidak ada siswa yang

memiliki riwayat penyakit kronis).

c. Mengekslusi siswa/i yang memiliki penyakit kronis, tidak hadir sekolah,

tidak bersedia menjadi responden, ataupun tidak diberi izin orang tua.

Jumlah siswa yang tidak hadir 13 orang (kelas 8B sebanyak 6 orang, kelas

8C sebanyak 2 orang, kelas 9A sebanyak 2 orang, kelas 9B sebanyak 2

orang, dan kelas 9C sebanyak 3 orang). Jumlah siswa yang tidak bersedia

menjadi responden 23 orang (kelas 8A 9 orang, kelas 8B 1 orang, kelas 8C

6 orang, kelas 9B 5 orang, dan kelas 9C 2 orang). Jumlah siswa yang tidak

diberi izin oleh orang tua 9 orang (kelas 9B 3 orang, kelas 8B 4 orang, dan

kelas 8C 2 orang).

d. Besar sampel di SMP Muhammadiyah Serpong adalah 88 orang.

Sub sampel pada penelitian ini digunakan untuk variabel menstruasi untuk

mengukur kehilangan darah selama menstruasi yang dialami oleh remaja putri.

Besar sub sampel dalam penelitian ini adalah 52 remaja putri atau 59% dari

total sampel.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar food

frequency questionnaire (FFQ) zat besi, lembar kuesioner menstrual blood loss,

lembar hasil pengukuran kadar Hb, status gizi, dan riwayat penyakit infeksi.
42

E. Pengumpulan Data

Data didapatkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu

data asupan pangan zat besi responden, data status gizi responden, data kadar

hemoglobin responden, data menstrual blood loss, dan riwayat penyakit infeksi

responden. Sedangkan data sekunder yaitu data jumlah siswa Sekolah Menengah

Pertama (SMP) Muhammadiyah Serpong tahun 2018. Pengumpulan data

dilakukan pada hari senin sampai jumat dengan tidak mengganggu Kegiatan

Belajar Mengajar (KBM). Alur pengumpulan data penelitian ini adalah sebagai

berikut:
Mengeksklusi siswa/i yang
Menemui bidang Memberikan surat izin memiliki riwayat penyakit kronis,
kesiswaan untuk penelitian untuk orang tidak diberikan izin, dan tidak
meminta daftar hadir tua siswa bersedia menjadi responden

Meminta responden Responden mengisi


Responden mengisi
untuk mengisi informed kuesioner riwayat
consent dan identitas penyakit infeksi lembar FFQ zat besi

Responden Perempuan Responden Laki-laki

Mengisi kuesioner
MBL

Mengukur kadar Hb,


BB, dan TB

Bagan 4.1. Alur Pengumpulan Data


43

Proses pengumpulan data pada penelitian ini dibantu oleh 4 enumerator

yang telah dilatih sebelumnya. Langkah pertama yang dilakukan adalah menemui

Guru Bidang Kesiswaan untuk meminta daftar hadir siswa/i kelas 8 dan 9 di SMP

Muhammadiyah Serpong. Selanjutnya diarahkan untuk memasuki ruang kelas

dan memberikan surat izin penelitian yang ditujukan untuk orang tua. Pada hari

selanjutnya, para siswa/i mengembalikan surat izin yang sudah ditanda tangani

orang tua sebagai tanda persetujuan untuk berpartisipasi menjadi responden

dalam penelitian ini. Selain itu peneliti juga menanyakan kepada responden

terkait riwayat penyakit kronis, siswa yang tidak diberikan izin orang tua, dan

siswa yang tidak bersedia menjadi responden untuk di ekslusi.

Proses pengumpulan data dimulai dari kelas 9A, 9B, 9C, 8C, 8B, dan 8A.

Sebelum semua pengukuran dilakukan, responden diminta kesediaannya untuk

mengisi informed consent, identitas responden yang didalamnya terdapat

keterangan riwayat penyakit infeksi dalam satu bulan terakhir, dan setelah itu

responden mengisi lembar food frequency questionnaire (FFQ) zat besi. Sumber

FFQ didapat berdasarkan hasil food record selama 3 hari pada siswa/i di 33 SMP

Tangerang Selatan ketika melakukan studi pendahuluan. Hasilnya kemudian

dihitung untuk mendapatkan nilai mean dari asupan pangan zat besi di populasi.

Hasil ukurnya dikatakan kurang jika ≤ mean dan cukup jika > mean.

Bagi responden perempuan yang sudah selesai mengisi lembar FFQ zat

besi, selanjutnya responden diminta untuk mengisi kuesioner menstruasi.


44

Sedangkan bagi remaja laki-laki maka langsung diarahkan ke bagian pengukuran

kadar Hb.

Kuesioner menstruasi digunakan untuk mengetahui jumlah darah yang

keluar dari estimasi jumlah hari menstruasi, jumlah hari kehilangan banyak darah,

dan ukuran pembalut yang dihitung menggunakan rumus MBL score. Untuk

memperkirakan nilai MBL, masing-masing jenis pembalut diberi nomor serapan

relatif sesuai tingkat penyerapan yang dilaporkan produsen pada kemasan

pambalut. Hasil akhir dari perhitungan skor MBL dikategorikan menjadi tinggi

jika ≥ mean dan rendah jika < mean.

Bagi responden yang sudah selesai maka langsung diarahkan untuk

diukur kadar Hb secara bergantian. Pengukuran kadar hemoglobin menggunakan

metode finger prick dengan menggunakan alat hemoglobinometer digital merk

EasyTouch. Metode ini digunakan karena dianggap lebih praktis, cepat, dan

sederhana. Hasil ukurnya adalah responden dikatakan anemia jika kadar Hb <12

mg/dL untuk remaja putri dan <13 mg/dL untuk remaja laki-laki. Pengukuran

kadar Hb ini dilakukan oleh 2 orang untuk mempersingkat waktu responden agar

tidak menunggu terlalu lama.

Setelah selesai diukur kadar Hb-nya, selanjutnya responden diarahkan ke

bagian pengukuran variabel obesitas. Cara mengukur variabel obesitas adalah

dengan melakukan penimbangan berat badan dan tinggi badan untuk mengetahui

Indeks Massa Tubuh (IMT) responden. Timbangan berat badan yang digunakan

adalah merk A&D Personal Scale UC-321 yang memiliki ketelitian 0,01 kg.
45

Prosedur penimbangan dilakukan oleh 1 orang dengan cara memastikan

timbangan menunjukkan angka 00.00, meminta responden untuk melepas sepatu,

kaos kaki, aksesoris seperti jam tangan dan ikat pinggang, selanjutnya responden

diminta untuk berdiri tegak diatas timbangan dengan pandangan lurus ke depan

dan kaki tidak menekuk, kemudian menunggu hasil angka berat badan yang

muncul pada timbangan dan mencatatnya. Penimbangan dilakukan 2 kali untuk

mencegah kesalahan dalam pengukuran.

Setelah menimbang berat badan, responden langsung diarahkan untuk

mengukur tinggi badan. Alat yang digunakan untuk mengukur tinggi badan

adalah mikrotois merk GEA Medical SH-2A High Meter 2M yang memiliki

kapasitas ukur 2 meter dan ketelitian 0,01 cm. Alat ini dipasang pada bidang

vertikal. Prosedur pengukuran tinggi badan dilakukan oleh 1 orang dengan cara

memastikan posisi mikrotois diatas, meminta responden untuk melepas alas kaki,

berdiri tegak dengan bahu dan tumit yang bersandar pada dinding, kemudian

menurunkan mikrotois sampai kepala responden dan mencatat nilai tinggi badan

yang tertera. Pengukuran tinggi badan dilakukan 2 kali untuk mencegah

kesalahan dalam pengukuran.

Setelah mendapatkan nilai berat badan dan tinggi badan, dilakukan

penghitungan untuk mendapatkan nilai IMT. Selanjutnya, menentukan kategori

IMT berdasarkan umur (IMT/U) yang diperoleh dari tabel SK Antropometri

Kementerian Kesehatan 2011. Hasil ukur yang digunakan adalah jika nilai

IMT/U dikatakan obesitas berada pada ≥2SD.


46

F. Pengolahan Data

Tahap dalam pengolahan data adalah sebagai berikut:

1. Pengkodean Data (Data Coding)

Pengkodean data yaitu memberikan kode pada data agar lebih mudah

untuk dimasukkan ke dalam software pengolahan data. Pengodean ini

dilakukan disetiap variabel dalam penelitian ini. Kode pada indikator variabel

dimulai dari kode 1.

Tabel 4.2.Pengkodean

Variabel Kode Indikator


1 Anemia
Anemia
2 Tidak anemia
Menstruasi (Skor 1 Tinggi
MBL) 2 Rendah
Asupan Pangan Zat 1 Kurang
Besi 2 Cukup
1 Obesitas
Obesitas
2 Tidak obesitas
Riwayat Penyakit 1 Ya
Infeksi 2 Tidak

2. Penyuntingan Data (Data Editing)

Penyuntingan data dilakukan sebelum memasukkan data ke komputer.

Tahap ini dilakukan pemeriksaan semua data yang telah terkumpul untuk

dilihat apakah terdapat data yang salah atau belum diisi.


47

3. Pemasukan Data (Data Entry)

Pemasukan data yaitu melakukan pemasukan data yang telah dikode

berupa data nomor responden, jenis kelamin, IMT, menstruasi, riwayat

penyakit infeksi, dan kadar Hb. Data ini kemudian diperiksa selanjutnya ke

program perangkat lunak pengolahan data. Sedangkan untuk data FFQ zat

besi dimasukan kedalam perangkat nutrisurvey.

4. Pembersihan Data (Data Cleaning)

Pembersihan data merupakan tahap terakhir yaitu pengoreksian data yang

telah dimasukkan. Hal ini bertujuan agar peneliti lebih yakin bahwa data yang

telah dioleh adalah data yang benar.

G. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat

digunakan untuk menggambarkan distribusi atau frekuensi karakteristik remaja,

variabel dependen (anemia) dan variabel independen (obesitas, asupan pangan zat

besi, menstruasi, dan penyakit infeksi).

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel

dependen dengan variabel independen. Uji yang digunakan dalam penelitian ini

adalah uji chi-square untuk menganalisis hubungan antar variabel yang keduanya

merupakan kategorik. Variabel dependen dikatakan memiliki hubungan bermakna

dengan variabel independen jika nilai pvalue ≤0,05 dan tidak ada hubungan jika

pvalue >0,05. Uji ini dilakukan menggunakan software pengolah data penelitian.
48

H. Etik Penelitian

Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian

Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dengan nomor Un.01/F10/KP.01.1/KE.SP/05.02.003/2018.


BAB V

HASIL

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Serpong merupakan

sekolah yang berlokasi di Jalan Raya Puspiptek Gg. Adil, Kecamatan Setu, Kota

Tangerang Selatan, Banten 15314. Jumlah remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong adalah 213 siswa. SMP Muhammadiyah Serpong belum mengembangkan

Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan di tingkat

Sekolah. SMP Muhammadiyah Serpong termasuk kedalam wilayah kerja

Puskesmas Setu, Serpong Tangerang Selatan.

B. Analisis Univariat

1. Gambaran Distribusi Frekuensi Kejadian Anemia pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Anemia diukur dengan menggunakan Hb meter merk Easytouch,

diklasifikasikan menjadi anemia pada remaja perempuan apabila kadar Hb <12

mg/dl, dan tidak anemia jika kadar Hb >12 mg/dl, sedangkan pada remaja laki-

laki dikatakan anemia jika kadar Hb <13 mg/dl dan tidak anemia jika kadar Hb

adalah >13 mg/dl. Berikut distribusi kejadian anemia pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Kejadian Anemia pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

49
50

Anemia Frekuensi (n) Persentase (%)


Anemia 15 17
Tidak Anemia 73 83
Total 88 100

Berdasarkan tabel 5.1, diketahui bahwa remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong lebih banyak yang tidak anemia (83%) dibandingkan dengan remaja

yang mengalami anemia (17%).

a. Anemia Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambaran status anemia berdasarkan jenis kelamin di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.2. Gambaran Status Anemia Berdasarkan Jenis Kelamin Di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Status Anemia Total


Jenis Kelamin Anemia Tidak Anemia
n % n % N %
Laki-laki 4 9 32 91 36 100
Perempuan 11 21 41 79 52 100
Total 15 17 73 83 88 100

Berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa remaja laki-laki di SMP

Muhammadiyah Serpong lebih banyak yang tidak anemia (91%)

dibandingkan dengan yang mengalami anemia (9%). Sementara pada

remaja perempuan di SMP Muhammadiyah Serpong lebih banyak yang

tidak anemia (79%) dibandingkan dengan yang mengalami anemia (21%).


51

2. Gambaran Distribusi Status Gizi Obesitas Pada Remaja Putri di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Status gizi remaja dikategorikan berdasarkan nilai z-score dari IMT/U.

Pada penelitian ini, status gizi remaja dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu

obesitas dan tidak obesitas. Hasil perhitungan IMT kemudian dibandingkan

dengan umur remaja dan diklasifikasikan menjadi obesitas jika berada pada

>2SD, tidak obesitas apabila IMT/U berada pada ≤2SD. Berikut tabel distribusi

status gizi pada remaja di populasi:

Tabel 5.3. Distribusi Status Gizi Obesitas pada Remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong Tahun 2018

Status Gizi Frekuensi (n) Persentase (%)


Obesitas 12 13,6
Tidak Obesitas 76 86,4
Total 88 100

Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa status gizi remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong lebih banyak yang tidak obesitas (86,4%)

dibandingkan dengan remaja obesitas (13,6%).

a. Status Gizi Obesitas Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambaran status gizi obesitas berdasarkan jenis kelamin di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.4. Gambaran Status Gizi Obesitas Berdasarkan Jenis Kelamin Di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018


52

Status Gizi Obesitas Total


Jenis Kelamin Obesitas Tidak Obesitas
n % n % N %
Laki-laki 3 8 33 92 36 100
Perempuan 9 17 43 83 52 100
Total 12 42 76 58 88 100
Berdasarkan tabel 5.4, diketahui bahwa remaja laki-laki di SMP

Muhammadiyah Serpong lebih banyak yang tidak obesitas (92%)

dibandingkan dengan yang mengalami obesitas (8%). Sementara pada

remaja perempuan di SMP Muhammadiyah Serpong lebih banyak yang

tidak obesitas (83%) dibandingkan dengan yang mengalami obesitas (12%).

b. Anemia berdasarkan Status Gizi Obesitas

Gambaran kejadian anemia berdasarkan status gizi obesitas pada remaja

di SMP Muhammadiyah Serpong Tahun 2018 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.5. Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Status Gizi Obesitas pada

Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Status Gizi Status Anemia Total


Obesitas Anemia Tidak
n % n % N %
Obesitas 2 16,7 10 83,3 12 100
Tidak Obesitas 13 17,1 63 82,9 76 100
Total 15 17 73 83 88 100

Berdasarkan tabel 5.5, diketahui bahwa remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong yang memiliki status gizi obesitas dan mengalami anemia adalah
53

sebanyak 2 remaja (16,7%), sedangkan remaja dengan status gizi tidak

obesitas dan mengalami anemia sebanyak 13 remaja (17,1%

3. Gambaran Distribusi Asupan Pangan Zat Besi pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Asupan pangan zat besi dikategorikan berdasarkan nilai mean dari hasil

pengisian form FFQ zat besi. Rata-rata asupan pangan zat besi pada remaja di

SMP Muhammadiyah Serpong Tahun 2018 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.6. Distribusi Asupan Pangan Zat Besi pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Asupan Fe Frekuensi (n) Persentase (%)


Kurang (≤10,51 mg) 37 42
Cukup (>10,51 mg) 51 58
Total 88 100

Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa lebih banyak remaja di SMP

Muhamamdiyah Serpong tahun 2018 dengan asupan pangan zat besi yang

cukup (58%) dibandingkan dengan remaja dengan asupan pangan zat besi

kurang (42%).

a. Asupan Pangan Zat Besi Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambaran asupan pangan zat besi berdasarkan jenis kelamin di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.7. Gambaran Asupan Pangan Zat Besi Berdasarkan Jenis Kelamin Di

SMP Muhammadiyah Serpong Tahun 2018


54

Asupan Pangan Zat Besi Total


Jenis Kelamin Kurang Cukup
n % n % N %
Laki-laki 17 47 19 53 36 100
Perempuan 20 38 32 62 52 100
Total 37 42 51 58 88 100

Berdasarkan tabel 5.7, diketahui bahwa remaja laki-laki di SMP

Muhammadiyah Serpong lebih banyak yang memiliki asupan zat besi

cukup (53%) dibandingkan dengan yang memiliki asupan zat besi kurang

(47%). Sementara pada remaja perempuan di SMP Muhammadiyah

Serpong lebih banyak yang memiliki asupan zat besi cukup (62%)

dibandingkan dengan yang memiliki asupan zat besi kurang (38%).

b. Rata-rata Konsumsi Asupan Pangan Zat Besi Heme dan Non Heme

Harian pada Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Rata-rata konsumsi asupan pangan zat besi heme dan non heme pada

remaja di SMP Muhammadiyah Serpong adalah sebagai berikut:

Tabel 5.8. Rata-rata Konsumsi Asupan Pangan Zat Besi Heme dan Non Heme

Harian pada Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Sumber Pangan Zat Besi Rata-rata Konsumsi Zat Besi


Harian
Total Zat Besi 10,51 (mg)
Zat Besi Heme 4,22 (mg)
Total Hewani 87,76 (g)
Zat Besi Non Heme 6,33 (mg)
Sayuran 45,18 (g)
Buah-buahan 103,70 (g)
55

Sumber Pangan Zat Besi Rata-rata Konsumsi Zat Besi


Harian
Serealia 84,69 (g)
Kacang-kacangan 130,32 (g)
Fortifikasi Zat Besi
Roti Tawar 0,52 (mg)
Mie Instan 0,61 (mg)
Mie Basah 0,29 (mg)
Kue Kering 0,65 (mg)
Gorengan 0,11 (mg)

Berdasarkan tabel 5.8, diketahui bahwa rata-rata konsumsi zat besi

harian pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018 adalah

10,51 mg untuk total zat besi, 4,22 mg untuk konsumsi zat besi heme (total

hewani 87,76 g), dan 6,33 g untuk konsumsi zat besi non heme, yang terdiri

dari sayuran (45,18 g), buah-buahan (103,70 g), serealia (84,69 g), dan

kacang-kacangan (130,32 g). Kemudian, rata-rata zat besi dalam pangan

fortifikasi yang termasuk dalam lembar FFQ adalah roti tawar (0,52 mg),

mie instan (0,61 mg), mie basah (0,29 mg), kue kering (0,65 mg), dan

gorengan (0,11 mg).

1) Jenis Makanan yang Berkontribusi Terhadap Anemia

Berdasarkan lembar food frequency questionnaire zat besi, tabel

dibawah ini menjelaskan jenis makanan yang berkontribusi besar

terhadap anemia, baik pada remaja anemia maupun remaja tidak anemia

sebagai berikut:

Tabel 5.9. Rata-rata Konsumsi Asupan Pangan Zat Besi Harian pada Remaja

Anemia dan Tidak Anemia di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018


56

Asupan Pangan Zat Besi Anemia Tidak Anemia


Zat Besi Heme (mg) 3,78 4,30
Total Hewani (g) 86,20 88,07
Zat Besi Non Heme (mg) 5,67 6,46
Sayuran (g) 41,24 45,99
Buah-buahan (g) 101,33 104,18
Serealia (g) 69,05 87,90
Kacang-kacangan (g) 111,01 134,29
Fortifikasi Zat Besi
Roti Tawar (mg) 0,41 0,65
Mie Instan 0,43 0,53
Mie Basah 0,32 0,29
Kue Kering 0,52 0,67
Gorengan 0,12 0,11

Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa remaja yang tidak berstatus

anemia memiliki rata-rata konsumsi zat besi heme, total hewani dan zat besi

non heme (sayuran, buah-buahan, serealia, dan kacang-kacangan) lebih

tinggi dibandingkan dengan asupan pangan zat besi pada remaja dengan

status anemia. Selain itu, untuk pangan berfortifikasi, asupan zat besi pada

mie basah dan gorengan lebih tinggi pada remaja dengan status anemia

dibandingkan dengan remaja tidak anemia.

c. Anemia Berdasarkan Asupan Pangan Zat Besi

Gambaran status anemia berdasarkan asupan zat besi di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.10. Gambaran Status Anemia Berdasarkan Asupan Zat Besi Di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018


57

Asupan Pangan Zat Besi Total


Status Anemia Kurang Cukup
n % n % N %
Anemia 9 60 6 40 15 100
Tidak Anemia 28 38 45 62 73 100
Total 37 42 51 58 88 100

Berdasarkan tabel 5.10, diketahui bahwa remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong yang mengalami anemia dan asupan pangan zat besi yang kurang

sebanyak 60%, sedangkan remaja yang mengalami anemia dan asupan pangan

zat besinya cukup sebanyak 40%.

4. Gambaran Distribusi Kehilangan Darah Menstruasi Pada Remaja Putri

di SMP Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Gambaran distribusi kehilangan darah karena menstruasi pada remaja putri di

SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.11. Distribusi Kehilangan Darah Karena Menstruasi pada Remaja Putri

di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Skor MBL Frekuensi (n) Persentase (%)


Tinggi (≥1,54) 24 46
Rendah (<1,54) 28 54
Total 52 100

Berdasarkan tabel 5.11, diketahui bahwa remaja putri di SMP

Muhammadiyah Serpong lebih banyak yang memiliki skor MBL rendah

(54%) dibandingkan dengan yang memiliki skor MBL tinggi (46%).


58

5. Gambaran Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

a. Riwayat Penyakit DBD

Tabel 5.12. Distribusi Riwayat Penyakit DBD pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Riwayat DBD Frekuensi (n) Persentase (%)


Ya 1 1,1
Tidak 87 98,9
Total 88 100

Berdasarkan tabel 5.12, diketahui bahwa remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong lebih banyak yang tidak memiliki riwayat penyakit

DBD (98,9%) dibandingkan dengan remaja yang memiliki riwayat DBD

(1,1%).

b. Riwayat Penyakit Tifoid

Tabel 5.13. Distribusi Riwayat Penyakit Tifoid pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Riwayat Tifoid Frekuensi (n) Persentase (%)


Ya 2 2,3
Tidak 86 97,7
Total 88 100
Berdasarkan tabel 5.13, diketahui bahwa remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong lebih banyak yang tidak memiliki riwayat penyakit


59

Tifoid (97,7%) dibandingkan dengan remaja yang memiliki riwayat Tifoid

(2,3%).

C. Analisis Bivariat

1. Hubungan Antara Obesitas dengan Anemia Pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Berikut hubungan antara obesitas dengan anemia pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018:

Tabel 5.14. Hubungan Antara Obesitas dengan Anemia pada Remaja di

SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Status Status Anemia Total PR (95% P-


Obesitas Ya Tidak CI) Value
N % N % N %
Obesitas 2 16,7 10 83,3 12 100 0,974 1,000
Tidak Obesitas 13 17,1 63 82,9 76 100 (0,250-
Total 15 17 73 83 88 100 3,791)
Berdasarkan tabel 5.14, diketahui bahwa dari 15 remaja yang mengalami

anemia, sebanyak 2 responden (16,7%) memiliki status gizi obesitas,

sedangkan 13 responden lainnya (17,1%) memiliki status gizi tidak obesitas.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 1,000 pada α 5% yang

artinya tidak ada hubungan antara obesitas dengan kejadian anemia pada remaja

di SMP Muhammadiyah Serpong. Selain itu, diperoleh nilai Prevalence Ratio

(PR) sebesar 0,974 artinya responden dengan status gizi obesitas memiliki

resiko sebesar 0,974 kali mengalami anemia dibandingkan responden dengan

status gizi tidak obesitas.


60

2. Hubungan Antara Asupan Pangan Zat Besi dengan Anemia pada Remaja

di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Berikut hubungan antara asupan zat besi dengan anemia pada remaja di

SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018:

Tabel 5.15. Hubungan Antara Asupan Pangan Zat Besi dengan Anemia pada

Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Asupan Status Anemia Total PR (95% P-


Pangan Ya Tidak CI) Value
Zat Besi N % N % N %
Kurang 9 24,3 28 75,7 37 100 2,068 0,208
Cukup 6 11,8 45 88,2 51 100 (0,806-
Total 15 17 73 83 88 100 5,305)
Berdasarkan tabel 5.15, diketahui bahwa dari 15 remaja yang mengalami

anemia, sebanyak 9 responden (24,3%) memiliki asupan pangan zat besi yang

kurang, sedangkan 6 responden lainnya (11,8%) memiliki asupan pangan zat

besi yang cukup. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar

0,208 pada α 5% yang artinya tidak ada hubungan antara asupan pangan zat

besi dengan kejadian anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong.

Selain itu, diperoleh nilai Prevalence Ratio (PR) sebesar 2,068 artinya

responden dengan asupan pangan zat besi yang kurang memiliki resiko sebesar

2,068 kali mengalami anemia dibandingkan responden dengan asupan pangan

zat besi yang cukup.

3. Hubungan Antara Menstruasi dengan Anemia Pada Remaja Putri di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018


61

Berikut hubungan antara kehilangan darah karena menstruasi dengan

anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018:

Tabel 5.16. Hubungan Antara Kehilangan Darah Menstruasi dengan

Anemia pada Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Kehilangan Status Anemia Total PR (95% P-


Darah Ya Tidak CI) Value
Menstruasi N % N % N %
Tinggi 2 8,3 22 91,7 24 100 0,259 0,079
Rendah 9 32,1 19 67.9 28 100 (0,062-
Total 11 21,2 41 78,8 52 100 1,085)
Berdasarkan tabel 5.16, diketahui bahwa dari 11 remaja putri yang

mengalami anemia, sebanyak 2 responden (8,3%) memiliki skor kehilangan

darah karena menstruasi yang tinggi, sedangkan 9 responden lainnya (32,1%)

memiliki skor kehilangan darah akibat menstruasi yang rendah. Hasil uji

statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,079 pada α 5% yang artinya

tidak ada hubungan antara menstruasi dengan kejadian anemia pada remaja di

SMP Muhammadiyah Serpong. Selain itu, diperoleh nilai Prevalence Ratio

(PR) sebesar 0,259 artinya responden dengan skor kehilangan darah yang tinggi

memiliki resiko sebesar 0,259 kali mengalami anemia dibandingkan responden

dengan skor kehilangan darah yang rendah.

4. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Anemia pada Remaja

di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018


62

a. Riwayat Penyakit DBD

Berikut hubungan antara riwayat penyakit DBD dengan anemia pada remaja di

SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018:

Tabel 5.17. Hubungan Antara Riwayat Penyakit DBD dengan Anemia pada

Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Riwayat Status Anemia Total PR (95% P-


Penyakit Ya Tidak CI) Value
DBD N % N % N %
Ya 0 0 1 100 1 100 1,208 1,000
Tidak 15 17,2 72 82,8 87 100 (1,098-
Total 15 17 73 83 88 100 1,330)

Berdasarkan tabel 5.17, diketahui bahwa dari 15 remaja yang mengalami

anemia, tidak ada responden yang memiliki riwayat penyakit DBD selama 1

bulan terakhir (0%). Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar

1,000 pada α 5% yang artinya tidak ada hubungan antara riwayat penyakit DBD

dengan kejadian anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong. Selain

itu, diperoleh nilai Prevalence Ratio (PR) sebesar 1,208 artinya responden

dengan riwayat penyakit DBD memiliki resiko sebesar 1,208 kali mengalami

anemia dibandingkan responden yang tidak memiliki riwayat penyakit DBD

dalam 1 bulan terakhir.

b. Riwayat Penyakit Tifoid

Berikut hubungan antara riwayat penyakit tifoid dengan anemia pada

remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018:


63

Tabel 5.18. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Tifoid dengan Anemia pada

Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong tahun 2018

Riwayat Status Anemia Total PR (95% P-


Penyakit Ya Tidak CI) Value
Tifoid N % N % N %
Ya 0 0 2 100 2 100 1,211 1,000
Tidak 15 17,4 71 82,6 86 100 (1,099-
Total 15 17 73 83 88 100 1,335)

Berdasarkan tabel 5.18, diketahui bahwa dari 15 remaja yang mengalami

anemia, tidak ada responden yang memiliki riwayat penyakit tifoid selama 1

bulan terakhir (0%). Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar

1,000 pada α 5% yang artinya tidak ada hubungan antara riwayat penyakit tifoid

dengan kejadian anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong. Selain

itu, diperoleh nilai Prevalence Ratio (PR) sebesar 1,211 artinya responden

dengan riwayat penyakit tifoid memiliki resiko sebesar 1,211 kali mengalami

anemia dibandingkan responden yang tidak memiliki riwayat penyakit tifoid

dalam 1 bulan terakhir.


BAB VI

PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian

yang tidak dapat diprediksi oleh peneliti. Adapun keterbatasan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1) Pengukuran asupan pangan zat besi menggunakan FFQ zat besi, dimana akurasi

perhitungan FFQ lebih rendah dibandingkan metode lain, sangat bergantung

pada daftar makanan dalam kuesioner dan ingatan responden, dan cenderung

sulit mengukur makanan musiman.

B. Gambaran Kejadian Anemia pada Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong

Tahun 2018

Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar hemoglobin berada dibawah

batas normal sehingga kebutuhan fisiologis tubuh tidak dapat terpenuhi (WHO,

2011). Menurut WHO dan pedoman Kementerian Kesehatan tahun 1999, cut off

point anemia berbeda-beda menurut kelompok umur maupun individu. Seorang

remaja putra dikatakan anemia jika kadar hemoglobin <13 mg/dL, sedangkan untuk

remaja putri dikatakan anemia jika kadar hemoglobin <12 mg/dL.

Salah satu kelompok yang beresiko terkena anemia adalah remaja, karena

remaja sedang mengalami pertumbuhan dan membutuhkan zat gizi yang lebih

tinggi. Selain itu, remaja cenderung menghabiskan waktu diluar rumah dengan

teman sebaya sehingga asupan makannya tidak terkontrol (Huang, 2015). Remaja

64
65

perempuan memiliki resiko terkena anemia lebih tinggi dibandingkan dengan

remaja laki-laki, hal ini dikarenakan remaja perempuan akan kehilangan darah

akibat siklus menstruasi yang dialami setiap bulannya. Sedangkan faktor resiko

anemia pada remaja laki-laki adalah kurangnya konsumsi pangan zat besi (Shara,

2014).

WHO menyatakan bahwa dari seluruh total kasus, 50% kasus anemia yang

paling sering terjadi adalah karena defisiensi zat besi. Hal ini dapat terjadi karena

kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi serta konsumsi makanan

yang mengandung zat penghambat absoropsi zat besi dalam tubuh. Remaja

perempuan membutuhkan tiga kali lebih banyak zat besi dibandingkan dengan

remaja laki-laki karena adanya siklus menstruasi yang dialami (Indartanti, 2014).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa status anemia pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong adalah sebesar 17%, sedangkan remaja yang tidak anemia

adalah sebesar 83%. Status anemia pada remaja laki-laki adalah sebesar 8% dan

remaja perempuan sebesar 17%. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil Riskesdas

tahun 2013 dimana prevalensi anemia remaja adalah sebesar 26,1% dan berbeda

dengan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di 33 SMP Tangerang Selatan

dengan prevalensi anemia remaja sebesar 34,8%.

Proses terjadinya anemia defisiensi besi terbagi menjadi tiga fase, yaitu deplesi

besi, defisiensi besi, dan anemia defisiensi besi. Pada fase pertama atau deplesi besi,

terjadi pengurangan cadangan besi di hati yang tercermin pada penurunan kadar

ferritin serum atau plasma. Fase kedua, terjadi penurunan simpanan besi dalam tahap

yang lebih lanjut hingga terjadi penurunan kejenuhan transferrin. Pada fase ketiga,
66

simpanan besi habis sehingga terjadi penurunan tingkat sirkulasi besi dan

keberadaan anemia mikrosistik yang berakibat pada berkurangnya konsentrasi

hemoglobin dalam sel darah merah. Kondisi ini disebut anemia defisiensi besi

(Gibson, 2005 dalam Ferawati, 2016).

Berdasarkan WHO (2011), klasifikasi anemia menjadi masalah kesehatan

masyarakat jika prevalensinya berada pada angka sebagai berikut:

5,0 – 19,9% : masalah kesehatan masyarakat tingkat ringan

20,0 – 39,9% : masalah kesehatan masyarakat tingkat sedang

≥ 40,0% : masalah kesehatan tingkat berat

Penelitian ini menggunakan non probability sampling dengan teknik purposive

sampling, dimana tidak semua subjek di lokasi penelitian memiliki kesempatan yang

sama untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel. Teknik pengambilan sampel

ini berbeda dengan studi pendahuluan yang dilakukan di 33 SMP se-Tangerang

Selatan. Pada studi pendahuluan, teknik pengambilan sampel yang digunakan

adalah cluster, dimana setiap satu sekolah hanya dipilih 7 siswa secara random

untuk menjadi sampel. Sedangkan, sampel pada penelitian ini berjumlah 88 siswa

dengan teknik yang berbeda ketika melakukan studi pendahuluan. Hal ini menjadi

salah satu alasan yang mendasar dari perbedaan hasil prevalensi anemia remaja pada

saat penelitian yang menunjukkan anemia berada pada masalah ringan, sementara

hasil studi pendahuluan menunjukkan prevalensi anemia remaja berada pada

masalah tingkat sedang.

Anemia yang dialami sejak remaja dapat menurunkan daya tahan tubuh,

gangguan pertumbuhan dan perkembangan, produktifitas menurun, cepat lelah, sulit


67

berkonsentrasi dalam belajar, dan pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi

kecerdasan serta daya tangkap remaja. Pada remaja perempuan, dampak anemia

dapat terbawa hingga hamil yang beresiko menghambat pertumbuhan janin, BBLR,

dan gangguan tumbuh kembang anak (Kemenkes, 2016; Salman, 2016; Bani, 2016).

Strategi dan upaya yang dilakukan pemerintah di Indonesia untuk

menanggulangi anemia diantaranya adalah pemberian Tablet Tambah Darah (TTD)

untuk wanita usia subur dan ibu hamil, pedoman gizi seimbang, dan fortifikasi zat

besi pada bahan pangan seperti tepung terigu, beras, dan minyak goreng (Kemenkes,

2016).

Tablet tambah darah bagi wanita usia subur diberikan sebanyak 1 kali seminggu

dan setiap hari selama masa menstruasi. Standar tablet tambah darah telah

ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 88 Tahun 2014 tentang

Standar Tablet Tambah Darah bagi WUS dan Ibu Hamil. Setiap tablet tambah darah

bagi WUS mengandung zat besi setara dengan 60 mg besi ferro sulfat, ferro

fumarate, atau ferro gluconate, dan asam folat 0,4 mg. Namun, berdasarkan hasil

pengisian FFQ zat besi yang diberikan pada responden, tidak ada remaja putri yang

mengkonsumsi tablet tambah darah.

Hasil penelitian ini menunjukkan dari total 52 remaja putri di SMP

Muhammadiyah Serpong, remaja putri dengan status anemia adalah sebesar 17%,

sedangkan remaja putri yang tidak mengalami anemia sebesar 83%. Sementara pada

remaja putra yang mengalami anemia adalah sebesar 8% dan yang tidak anemia

adalah sebesar 92%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
68

oleh Siahaan (2016) prevalensi anemia pada Wanita Usia Subur (WUS) sebesar

19,5% dan termasuk kedalam masalah kesehatan tingkat ringan.

C. Hubungan Status Gizi Obesitas dengan Anemia Pada Remaja di SMP

Muhamamdiyah Serpong Tahun 2018

Penilaian status gizi dilakukan dengan mengukur berat badan dan tinggi badan

responden, kemudian dihitung untuk mengetahui Indeks Massa Tubuh (IMT). Hasil

dari perhitungan IMT dibandingkan dengan umur remaja dan dikategorikan obesitas

apabila nilai Z score berada pada ≥2SD dan tidak obesitas apabila hasil Z score

berada pada <2SD (Kemenkes, 2014).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 12 responden dengan status gizi

obesitas, terdapat 2 responden (17%) yang mengalami anemia dan 10 responden

lainnya (83%) tidak mengalami anemia. Hal ini dikarenakan sebagian besar

responden memiliki status gizi tidak obesitas, yaitu normal (76%) dan kurus (10%).

Status gizi lebih dipengaruhi oleh asupan zat gizi. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Bani (2016) dan Indartanti (2014) yang menyatakan

bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan anemia pada remaja usia

13-15 tahun. Status gizi obesitas bukanlah merupakan faktor resiko terjadinya

anemia pada remaja. Akan tetapi, remaja dengan status gizi obesitas merupakan

faktor resiko dari terganggunya mekanisme penyimpangan zat besi didalam tubuh

(Sumarmi, 2016).

Huang (2015) menyatakan bahwa obesitas dapat menyebabkan anemia melalui

mekanisme inflamasi. Pada remaja obesitas, terjadi penumpukan lemak di jaringan

adiposa. Jaringan adiposa akan mengalami hipertrofi dan hyperplasia yang


69

menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat sehingga akan mengakibatkan

hipoksia. Kondisi hipoksia pada jariangan adiposa terjadi akumulasi dari promotor

hepcidin untuk mengeluarkan hepcidin dari hati (Ridha, 2014). Hepcidin adalah

regulator kadar zat besi dalam darah. Homeostasis besi dalam tubuh akan tercapai

apabila terdapat pengaturan yang baik dalam absorpsi, distribusi dan penyimpanan

zat besi. Zat besi merupakan komponen penting dalam pembentukan hemoglobin,

dimana jika cadangannya berkurang maka proses pembentukan hemoglobin akan

terganggu. Apabila terjadi secara terus-menerus, kondisi ini dapat menyebabkan

anemia. Hal ini yang mendasari obesitas disebut sebagai inflammatory disease

(Indartanti, 2014; Khan, 2016; Arshad, 2017).

D. Hubungan Asupan Pangan Zat Besi dengan Anemia pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Zat besi merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembentukan sel

darah merah. Pada remaja, terjadinya velositas pertumbuhan menyebabkan remaja

perlu mendapat asupan zat gizi yang cukup untuk menunjang pertumbuhannya

(Nursari, 2009). Penetapan kebutuhan zat besi remaja ditentukan berdasarkan RDA,

yang berasumsi bahwa 75% besi adalah dari sumber heme dan 25% termasuk non

heme. Penetapan kebutuhan zat besi bagi remaja juga berdasarkan perhitungan dari

kehilangan basal, penambahan massa hemoglobin, dan simpanan zat besi. Asumsi

untuk tingkat penyerapan zat besi ditetapkan 8,5%, karena menu makanan di

Indonesia umumnya mengandung zat yang menghambat penyerapan zat besi.

Berdasarkan tabel AKG tahun 2013 menyatakan bahwa angka kecukupan zat besi

untuk remaja laki-laki usia 13-15 tahun adalah sebesar 19 mg, sedangkan untuk
70

remaja wanita usia 13-15 tahun angka kecukupan zat besi yang ditetapkan sebesar

26 mg (Kemenkes, 2014).

Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata asupan pangan zat besi pada remaja

di SMP Muhammadiyah Serpong adalah 10,51 mg. Hal ini menunjukkan bahwa

asupan pangan zat besi remaja usia 13-15 tahun hanya memenuhi 40% dari anjuran

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI

tahun 2013. Rendahnya konsumsi pangan zat besi menjadi salah satu faktor

penyebab terjadinya anemia. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa

meskipun remaja di SMP Muhammadiyah Serpong memiliki konsumsi pangan zat

besi yang kurang dari AKG, akan tetapi jumlahnya masih lebih banyak yang cukup

(58%) jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi pangan zat besi di populasi.

Sehingga, asupan pangan zat besi dalam penelitian ini lebih banyak dikonsumsi oleh

remaja tidak anemia (62%) dibandingkan dengan remaja anemia (32%). Hal ini

sesuai dengan manfaat zat besi secara biologis seperti dalam surah Al-Hadid ayat 25

sebagai berikut:

Artinya: “Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang

nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) agar

manusia dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan
71

hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang

menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya.

Sesungguhnya Allah Maha Kuat, Maha Perkasa.” (Q.S Al-Hadid: 25).

Dalam ayat tersebut Allah menerangkan bahwa Dia telah mengutus para rasul

kepada umat-Nya dengan membawa bukti-bukti yang kuat, yaitu berupa mukjizat

dan dalil-dalil yang pasti. Selain itu, Allah juga menganugerahkan “besi” kepada

manusia yang mempunyai banyak manfaat dalam kehidupan. Dalam tubuh manusia,

besi mempunyai peran biologis dalam jaringan sehingga dibutuhkan dalam jumlah

tertentu (Tafsir Kementerian Agama, 2011).

Zat besi diperlukan dalam proses pembentukan sel darah merah dalam tubuh.

Sel darah merah sendiri berfungsi mengedarkan oksigen dari paru-paru ke seluruh

jaringan tubuh. Semakin besar kerja suatu jaringan dalam tubuh, maka semakin

besar oksigen dibutuhkan. Karena itulah zat besi dibutuhkan tubuh dalam jumlah

tertentu. Kekurangan zat besi dalam darah dapat menyebabkan proses pembentukan

sel darah merah terganggu yang dalam jangka tertentu dapat menyebabkan anemia.

Dengan anugerah inilah Allah SWT menguji dan mengetahui sikap manusia

terhadap nikmat-Nya (Tafsir Kementerian Agama Jilid IX, 2011).

Berdasarkan mekanisme penyerapannya, zat besi dalam makanan dibagi

menjadi dua bentuk, yaitu zat besi heme dan non heme. Rendahnya asupan pangan

zat besi seringkali terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi bahan makanan

kurang beragam. Bahan makanan hewani adalah salah satu sumber zat besi yang

mudah diserap (heme) seperti daging, hati, dan kuning telur. Sedangkan bahan
72

makanan nabati (non heme) seperti sayuran hijau dan kacang-kacangan merupakan

sumber zat besi yang tinggi tetapi sulit diserap sehingga dibutuhkan porsi yang lebih

banyak untuk dapat mencukupi kebutuhan zat besi dalam tubuh. Zat besi heme dapat

diserap tubuh sebesar 20-30%, sedangkan zat besi non heme hanya dapat diserap

oleh tubuh sebesar 1-10% (Indartanti, 2014).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja di SMP Muhammadiyah Serpong

lebih banyak mengkonsumsi sumber pangan zat besi non heme (6,33 g)

dibandingkan dengan zat besi heme (4,22 g). Pada remaja tidak anemia, jenis pangan

zat besi non heme yang paling banyak dikonsumsi adalah kacang-kacangan (134,29

g), serealia (87,90 g), dan sayuran (45,99 g). Fakta lapangan ini dapat membuktikan

bahwa anemia dapat dicegah dengan mengkonsumsi makanan sumber zat besi non

heme. Walaupun zat besi non heme sulit diserap oleh tubuh, akan tetapi jika

dikonsumsi dalam jumlah lebih banyak dapat mencukupi kebutuhan zat besi dalam

tubuh. Selain itu, makanan sumber zat besi non heme lebih mudah didapatkan

karena harganya yang relatif lebih murah dibanding makanan sumber zat besi heme.

Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an surah ‘Abasa ayat 24-32:


73

Artinya: maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya

Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi

dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan

sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta

rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.

Meskipun penelitian ini membuktikan bahwa status tidak anemia lebih banyak

dibandingkan dengan anemia, namun terdapat pertentangan dengan beberapa

penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Salman (2013) dan Bani

(2016) yang menunjukkan ada hubungan antara asupan pangan zat besi dengan

anemia pada remaja. Sedangkan, penelitian ini yang dilakukan oleh Matayane

(2014) dan Lestari (2017) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

bermakna antara konsumsi pangan zat besi dengan kejadian anemia.

Salah satu upaya Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi angka anemia

gizi besi adalah fortifikasi pangan. Fortifikasi adalah proses penambahan zat gizi

kedalam pangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari pangan tersebut

serta meningkatkan status gizi masyarakat. Dalam kasus anemia, fortifikasi pangan

merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan asupan zat besi dalam tubuh

melalui makanan (Ardiyanti, 2014).

Tepung terigu memenuhi syarat untuk dijadikan vehicle (pangan pembawa) zat

gizi mikro dalam program fortifikasi pangan sebagai strategi mengatasi masalah

anemia gizi besi di Indonesia (Hardinsyah, 2007). Pada tahun 1998, SK Kemenkes

Nomor 632/MENKES/SK/VI/1998 mewajibkan seluruh tepung terigu yang beredar


74

di Indonesia harus difortifikasi. Kemudian pada tahun 2001, Standar Nasional

Indonesia (SNI) mewajibkan tepung terigu difortifikasi dengan zat besi, seng,

vitamin B1, dan vitamin B2. Penetapan pemberlakuan SNI tepung terigu ini sesuai

dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 49/M-IND/PER/7/2008 tentang

pemberlakuan SNI tepung terigu sebagai bahan makanan secara wajib.

Konsumsi pangan olahan tepung terigu dihitung berdasarkan hasil dari lembar

food frequency questionnaire (FFQ) zat besi. Dari 11 jenis pangan olahan tepung

terigu yang termasuk dalam tabel konversi SUSENAS, jenis pangan olahan terigu

yang dipakai dalam penelitian ini hanya lima jenis pangan, yaitu roti tawar, mie

instan, mie basah, kue kering, dan gorengan. Data jenis makanan dalam FFQ zat

besi ini dibuat berdasarkan hasil food record 3x24 jam ketika melakukan studi

pendahuluan pada 33 SMP di Tangerang Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi pangan olahan terigu

per hari pada remaja di SMP Muhamadiyah Serpong yang paling tinggi adalah

konsumsi kue kering (13,02 g) dengan rata-rata zat besi dalam kue kering adalah

sebesar 0,65 mg, sedangkan yang paling rendah adalah konsumsi gorengan (2,16 g/

hari) dengan rata-rata zat besi dalam gorengan sebesar 0,11 mg. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Ardiyanti dan Sijabat (2014) yang menyatakan

bahwa pangan olahan terigu dengan berat konsumsi paling tinggi dan sering

dikonsumsi adalah kue kering karena mudah didapatkan dan harga yang relatif

murah. Namun, hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian Ardiyanti

(2014) lainnya yang menyatakan bahwa konsumsi pangan olahan terigu yang paling
75

rendah adalah makaroni. Dalam penelitian ini, jenis pangan makaroni tidak

dicantumkan dalam lembar FFQ zat besi.

Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Hardinsyah dan Amalia (2007) yang menunjukkan perbedaan konsumsi pangan

olahan terigu dengan tingkatan yang berbeda. Konsumsi pangan olahan terigu yang

tertinggi adalah mie instan (10,7 g/hari) dan gorengan (10,6 g/hari) sedangkan yang

terendah adalah makaroni (0,2 g/hari). Perbedaan tingkat konsumsi ini

dimungkinkan karena perbedaan kelompok responden yang dipilih. Kelompok

responden dalam penelitian ini adalah remaja SMP yang konsumsi rata-rata kue

kering/biskuit lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi rataan rumah tangga.

Selain itu, ketersediaan kue kering/biskuit yang menjadi jajanan di sekolah juga

mempengaruhi tingginya konsumsi.

Sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk mengkonsumsi makanan yang halal

dan baik. Makanan yang baik adalah makanan yang beragam. Untuk mencukupi

kebutuhan zat besi dalam rangka mencegah anemia, jenis makanan yang dikonsumsi

juga harus beragam. Keragaman pangan merupakan salah satu faktor penting untuk

memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT

dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 168 seperti berikut:


76

Artinya: Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang

terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena

sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah: 168).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam Islam, konsep pemilihan dan

pengaturan jenis makanan telah diatur yaitu makanan yang dikonsumsi manusia

hendaknya adalah makanan yang halal dan tayyib atau baik. Konteks halal yang

dimaksud dapat dilihat dari kandungan zatnya dan juga cara memperolehnya

(Baihaki, 2017).

E. Hubungan Menstruasi dengan Anemia Pada Remaja Putri di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Menstruasi merupakan ciri khas kematangan biologis pada wanita yang

ditandai dengan keluarnya darah dari vagina. Menstruasi menunjukkan salah satu

perubahan pada alat reproduksi sebagai bentuk persiapan kehamilan (Aramico,

2017). Remaja putri beresiko lebih tinggi untuk menderita anemia karena adanya

siklus menstruasi yang mereka alami. Ketika menstruasi, remaja putri rata-rata

kehilangan sekitar 0,56 mg zat besi per hari pada setiap siklusnya (28 hari) (FAO,

2001).

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui lebih banyak remaja putri yang

mempunyai skor kehilangan darah menstruasi yang rendah (53,8%) dibandingkan

dengan skor kehilangan darah menstruasi yang tinggi (46,2%). Dari total 41 remaja

putri yang tidak anemia, sebanyak 22 responden memiliki skor MBL yang tinggi

dan 19 responden lainnya memiliki skor MBL yang rendah. Sementara itu, dari 11
77

remaja putri yang anemia dengan skor MBL tinggi berjumlah 2 orang dan 9

responden lainnya memiliki skor MBL yang rendah.

Berdasarkan hasil analisis skor MBL, rata-rata skor MBL di remaja putri di

SMP Muhammadiyah Serpong adalah 1,54 yang berarti bahwa menstruasi yang

dialami oleh para remaja perempuan tergolong normal atau bukan termasuk

menstruasi yang berlebihan. Hal ini mungkin yang menyebabkan rendahnya angka

prevalensi anemia di SMP Muhamamdiyah Serpong. Selain itu, berdasarkan rata-

rata asupan pangan zat besi pada remaja perempuan diketahui lebih banyak yang

memiliki asupan pangan zat besi cukup dari rata-rata asupan pangan zat besi di

populasi. Sehingga skor kehilangan darah menstruasi pada remaja perempuan

tergolong rendah.

Siklus menstruasi terbagi menjadi 3 fase, yaitu stadium menstruasi, stadium

proliferasi, dan fase sekresi/luteal. Berdasarkan hasil penelitian Chandra (2017),

kadar hemoglobin pada siklus menstruasi paling tinggi berada pada fase luteal,

sedangkan paling rendah berada pada fase menstruasi. Hormon ovarium pada siklus

menstruasi dapat mengontrol volume dan isi pembuluh darah. Perubahan volume

plasma dan peningkatan konsentrasi protein darah berhubungan dengan perubahan

hormone esterogen dan progresteron yang fluktuatif pada siklus mentsruasi.

Konsentrasi haemoglobin karena esterogen, memediasi perubahan volume plasma

dan meningkatkan sintesis protein plasma, dapat menjelaskan alasan tingginya

status zat besi di dalam darah pada saat fase luteal.


78

Pengambilan kadar Hb pada penelitian ini tidak memperhatikan siklus

menstruasi, sehingga mungkin saja hormone esterogen dan progesterone belum

menunjukkan peningkatan secara signifikan dan berpengaruh terhadap volume

plasma dan kadar hemoglobin dalam darah yang memungkinkan mempengaruhi

prevalensi anemia pada remaja perempuan dalam penelitian ini.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktalina (2011)

yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara siklus menstruasi, lama

menstruasi, dan volume menstruasi dengan kejadian anemia pada remaja putri.

Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Briawan

(2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara menstruasi dengan anemia.

Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pengukuran menstruasi yang digunakan.

Pada penelitian Briawan, cara mengukur menstruasi adalah dengan melihat status

menstruasi, frekuensi menstruasi, banyaknya darah, dan lama waktu menstruasi.

Sedangkan, cara mengukur menstruasi dalam penelitian ini adalah menggunakan

kuesioner Toxqui (2014) untuk mengestimasi kehilangan darah saat menstruasi.

F. Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Anemia Pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong Tahun 2018

Penyakit infeksi ditandai dengan meningkatnya kadar leukosit dalam darah.

Leukosit dalam peredaran darah terdiri atas lima jenis sel dengan fungsi yang

berbeda, salah satunya netrofil. Netrofil merupakan jenis leukosit dengan jumlah

paling besar dan memiliki peran penting dalam reaksi tubuh terhadap inflamasi,

karena netrofil merupakan sel pertama yang bertemu dan membunuh bakteri untuk
79

mencegahnya berkembang. Ketika terjadi inflamasi, jumlah leukosit dan netrofil

akan meningkat dalam peredaran darah. (Wardhani, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara riwayat

penyakit infeksi dengan anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong. Hal

ini dapat dikarenakan riwayat penyakit infeksi DBD dan demam tifoid ditanyakan

dalam kurun waktu satu bulan terakhir, dimana terdapat kemungkinan adanya proses

recovery yang cepat pada tubuh remaja dalam kurun waktu tersebut. Hasil penelitian

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2011) yang

menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara penyakit infeksi dengan anemia

pada remaja. Hal ini dapat terjadi karena status imunitas usia anak sekolah masih

baik sehingga tidak ada remaja yang menderita anemia dikarenakan penyakit

infeksi, melainkan karena faktor-faktor lain yang mempengaruhi.

Inflamasi yang terjadi ketika seseorang menderita penyakit infeksi akan

menganggu penyerapan zat besi yang terjadi didalam tubuh. Zat besi berperan dalam

proses terjadinya apoptosis atau kematian sel. Setiap hari, ±10 milyar sel tubuh

mengalami apoptosis. Proses terjadinya apoptosis dibagi menjadi 2 jalur, yaitu jalur

intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik adalah pelepasan sitokrom. Sitokrom adalah

hemoprotein yang mengandung gugus heme dan berfungsi sebagai pengusung

elektron. Zat besi merupakan komponen penting sitokrom, dimana jika cadangan zat

besi kurang, maka akan menghambat proses apoptosis. Ketika tubuh kehilangan

kemampuan apoptosis, maka sel akan membelah diri secara tidak terkendali dalam

jangka panjang (Berrk, 2013).


BAB VII

PENUTUP

A. Simpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui prevalensi anemia pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong adalah 17% dan prevalensi tidak anemia sebesar

83%. Berdasarkan klasifikasi masalah kesehatan masyarakat menurut WHO di

populasi, prevalensi anemia ini termasuk kedalam masalah ringan.

2. Berdasarkan jenis kelamin, lebih banyak remaja perempuan yang mengalami

anemia (21%) dibandingkan dengan remaja laki-laki (9%). Kemudian, status

tidak anemia lebih banyak dialami remaja perempuan (79%) dibandingkan

dengan remaja laki-laki.

3. Status Gizi Obesitas pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong adalah

sebesar 13,6%. Remaja anemia lebih banyak yang memiliki status gizi tidak

obesitas (17,1%).

4. Asupan pangan zat besi yang kurang pada remaja di SMP Muhammadiyah

Serpong adalah sebesar 42%. Pada remaja anemia, lebih banyak yang memiliki

asupan pangan zat besi kurang (60%).

5. Tidak ada hubungan antara status gizi obesitas dengan anemia pada remaja di

SMP Muhammadiyah Serpong (p=1,000).

6. Tidak ada hubungan antara asupan pangan zat besi dengan anemia pada remaja

di SMP Muhammadiyah Serpong (p= 0,208).

80
81

7. Tidak ada hubungan antara menstruasi dengan anemia pada remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong (p= 0,079). Hal ini dikarenakan lebih banyak remaja

putri yang memiliki skor MBL rendah (53,8%).

8. Tidak ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan anemia pada

remaja di SMP Muhammadiyah Serpong (DBD, p= 1,000) (Tifoid, p=1,000).

B. Saran

1. Bagi Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong

a. Disarankan bagi remaja untuk mengingkatkan asupan pangan zat besi heme

(daging, hati, telur, dan ikan) dan non heme (sayuran, buah, dan roti kering)

supaya kebutuhan zat besi dapat terpenuhi.

b. Disarankan bagi remaja untuk mengkonsumsi beraneka ragam makanan

(karbohidrat, protein, lemak, sayur, dan buah) dalam satu kali makan, supaya

zat gizinya dapat sesuai dengan kebutuhan.

2. Bagi SMP Muhammadiyah Serpong

Disarankan pihak sekolah untuk berkoordinasi dengan pihak Puskesmas

untuk mengadakan kegiatan sosialisasi kesehatan khususnya mengenai anemia

remaja secara berkala selama 3 bulan sekali.

3. Bagi Puskesmas

Disarankan pihak Puskesmas melakukan sosialisasi kegiatan pencegahan

dan penanggulangan anemia pada remaja di sekolah secara berkala.


82

4. Bagi Peneliti Lain

Agar peneliti lain dapat meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang

berhubungan dengan anemia yang belum diteliti oleh peneliti seperti aktifitas

fisik dan penyakit kronis.


DAFTAR PUSTAKA

Aeberli, et al. 2009. Overweight Children Have Higher Circulating Hepcidin

Concentrations and Lower Iron Status but Have Dietary Iron Intakes and

Bioavailability Comparable with Normal Weight Children. International

Journal of Obesity. Nature.

Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Aramico, dkk. 2017. Hubungan Asupan Gizi, Aktifitas Fisik, Menstruasi, dan Anemia

dengan Status Gizi pada Siswi MAN Simpang Kiri Kota Sulubussalam. Jurnal

Penelitian Kesehatan Vol. 4 No. 1. Universitas Muhammadiyah Aceh

Ardiyanti, Amalia. 2014. Estimasi Asupan Zat Besi dari Pangan Berbasis Tepung

Terigu pada Mahasiswi TPB IPB. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Aritonang, Irianto. 2015. Gizi Ibu dan Anak: Esensinya Bagi Pembangunan Manusia.

Yogyakarta: Leutika Prio.

Arshad, et al. 2017. Iron Deficiency Anemia and Megaloblastic Anemia in Obese

Patients. The National Center of Biotechnology Information (NCBI).

Auersperger, et al. 2013. Exercised-Induced Changes in Iron Status and Hepcidin

Response in Female Runners. www.plosone.org diakses pada 28 November

2017.

Baihaki, Egi Sukma. 2017. Gizi Buruk dalam Perspektif Islam: Respon Teologis

Terhadap Persoalan Gizi Buruk. Jurnal Shahih Vol. 2, Nomor 2.

83
84

Bani, Rining Nur. 2016. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia pada

Santriwati di Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang. Jurnal

Keperawatan Muhammadiyah.

Brown, Judith, et al. 2013. Nutrition Trough The Life Cycle. Wadsworth: USA.

Cadenas-Sanchez, et al. 2017. Prevalence of Metabolically Healthy but

Overweight/Obese Phenotype and Its Association With Sedentary Time,

Physical Activity, and Fitness. Journal of Adolescent Health. Elsevier.

Crowin J, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi (Handbook of Phatofisiology)

(Nike Budhi Subekti, Alih Bahasa). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

Dwipayana, Suega. 2009. Karakteristik Penderita Anemia pada Penyakit Kronik

dibagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Denpasar Bali.

FAO/WHO, 2001. Human Vitamin and Minerals Requirements: Report of a Joint

FAO/WHO Expert Consultation. Bangkok, Thailand.

Fauziah, Nurizka. 2018. Hubungan Bioavailabilitas Zat Besi dengan Kejadian Anemia

pada Remaja Putri di SMP Cendrawasih II dan Muhammadiyah Serpong

Tahun 2018. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ferawati. 2016. Hubungan Pola Konsumsi Pangan Inhibitor dan Enhancer Fe,

Bioavailabilitas Fe, Status Gizi, dengan Anemia pada Mahasiswi IPB. Skripsi.

IPB.

Fikawati, dkk. 2017. Gizi Anak dan Remaja. Depok: PT Raja Grafindo Persada
85

Gantz, T. 2011. Hepcidin a Key Regulator of Iron Metabolism and Mediator of Anemia

of Inflammation. Blood.

Hamiell, et al. 2013. Greater Prevalence of Iron Deficiency in Overweight and Obese

Children and Adolescents. International Journal of Obesity. Nature.

Hardinsyah. Amalia, Leili. 2007. Perkembangan Konsumsi Terigu dan Pangan

Olahannya di Indonesia 1993-2005. Jurnal Gizi dan Pangan. Maret 2007 2 (1):

8-15.

Harrison L, et al. 2007. Prevalence of Anemia in Cancer Patients Undergoing

Radiation Therapy. Semin Oncol

Huang, et al. 2015. Relationship Between being Overweight and Iron Deficiency in

Adolescents. Elsevier.

Indartanti, Dea. 2014. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja

Putri. Journal of Nutrition College, Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014,

Halaman 33-39.

Kementerian Agama RI. 2011. Tafsir Kementerian Agama Jilid IX. Jakarta:

Kemeterian Agama.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:

Balitbang Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi

Bangsa Indonesia. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Kemenkes RI.


86

Kesumasari, Citra. 2012. Analisis Zat Gizi Terkait Hiperhomosistein Pada Remaja

Obesitas di Indonesia (Analisis Lanjut Riskesdas 2010). Universitas

Hassanudin.

Khan, et al. 2016. Ferritin Is a Marker of Inflammation rather than Iron Deficiency in

Overweight and Obese People. Journal of Obesity.

Kirana, Dian Purwitaningtyas. 2011. Hubungan Asupan Zat Gizi dan Pola Menstruasi

dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di SMAN 2 Semarang.

Semarang: Universitas Diponegoro.

Kordas, et al. 2013. Being Overweight or Obese Is Associated with Lower Prevalence

of Anemia among Colombian Women of Reproductive Age. The Journal of

Nutrition.

Lestari, Istya Putri, dkk. 2017. Hubungan Konsumsi Zat Besi dengan Kejadian Anemia

pada Murid SMP Negeri 27 Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.

Mahan, L Kathleen, et al. 2017. Krause’s Food & The Nutrition Care Process.

Elsevier.

Masthalina, dkk. 2015. Pola Konsumsi (Faktor Enhancer Fe) terhadap Status Anemia

Remaja Putri. Jurnal Kesehatan Masyarakat.

McClung, James P. 2012. Iron Status and the Female Athlete. Journal of Trace

Elements in Medicine and Biology. Elsevier


87

Nursari, Dilla. 2009. Gambaran Kejadia Anemia pada Remaja Putri SMP Negeri 18

Kota Bogor Tahun 2009. Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta.

Nusa, Karla. 2015. Hubungan Ratio Neutrofil dan Limfosit Pada Penderita Penyakit

Infeksi Virus Dengue. Jurnal e-Clinic Volume 3 Nomor 1. Universitas Sam

Ratulangi Manado.

Peeling, et al. 2008. Atheletic Induced Iron Deficiency: New Insights Into the Role of

Inflammation, Cytokines, and Hormones. European Journal of Physiology

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 88. 2014. Standar Tablet

Tambah Darah bagi Wanita Usia Subur dan Ibu Hamil. Jakarta: Kemenkes

RI.

Permaesih, Dewi. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anemia Pada Remaja.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Volume 33 No. 4: 162-171.

Putri, Addila Aginsha. 2018. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Anemia Pada

Remaja Putri di SMP Muhammadiyah Serpong dan SMPN 11 Tangerang

Selatan Tahun 2018. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Rahmawati, Kristanti Dwi. 2011. Analisis Faktor Penyebab Kejadian Anemia Gizi Besi

Pada Remaja Putri Di SMAN 2 Kota Bandar Lampung Tahun 2011. Skripsi.

Depok: Universitas Indonesia.

Ridha, Nadirah Rasyid. 2014. Hubungan Kadar Hepcidin dengan Status Besi pada

Inflamasi Akibat Obesitas. Sari Pediatri: Departemen Ilmu Kesehatan Anak

FK Universitas Hasanuddin Makassar.


88

Rosinta, Lena, dkk. 2015. Hubungan Durasi Demam Dengan Kadar Leukosit pada

Penderita Demam Tifoid Anak Usia 5-10 Tahun yang Dirawat Inap di Rumah

Sakit Al-Ihsan Periode Januari-Desember Tahun 2014. Prosiding Pendidikan

Dokter. Bandung: Universitas Islam Bandung.

Ross, A Catharine, et al. 2016. Modern Nutrition Health and Disease. Wolters Kluwer

Health.

Royblat, Leonid, et al. 2000. Raised Interleukin-6 Levels in Obese Patients. Obesity

Research Vol. 8 No. 9. Ben-Gurion University of the Negev. Israel.

Salman, dkk. 2014. Asupan Zat Besi, Protein, dan Vitamin C Sebagai Faktor Resiko

Terjadinya Anemia pada Siswi di MTs Al-Amin Martapura Kabupaten Banjar

Tahun 2013. Jurnal Kesehatan STIKES Husada Borneo.

Savitri, Wulan. 2015. Hubungan Body Image, Pola Konsumsi, dan Aktifitas Fisik

dengan Status Gizi Siswa SMAN 63 Jakarta Tahun 2015. Skripsi. Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shara, dkk. 2014. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri

di SMAN 2 Sawahlunto Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Andalas.

Siahaan, Nashty Raptauli. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Atatus

Anemia pada Remaja Putri di Wilayah Kota Depok Tahun 2011. Depok.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.


89

Sijabat, Richardson. 2014. Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari Pangan

Berbasis Tepung Terigu pada Siswi SMA di Kota Bogor. Skripsi, Institut

Pertanian Bogor.

Taiyeb, A. Mushawwir, dkk. 2012. Pengaruh Suplementasi Zat Besi (Fe) Terhadap

Kadar Ferritin Darah Atlet Wanita Saat Menstruasi. Jurnal Bionature. Vol 13

No. 1. Page 48-51.

Toxqui, Laura. 2014. A Simple and Feasible Questionnaire to Estimate Menstrual

Blood Loss: Relationship with Hematological and Gynecological Parameters

in Young Women. BMC Women’s Health 14 (2014): 71. PMC.

Triyonate, Eriska. 2015. Faktor Determinan Anemia Pada Wanita Dewasa. Journal of

Nutrition College, Volume 4, Nomor 2, Tahun 2015, Halaman 259-263.

Wardhani, Puspa, dkk. 2016. Angka Banding Netrofil/Limfosit Di Populasi Dewasa

Muda. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol.

22 No. 22: 105-108.

WHO. 2008. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005. Geneva: World Helath

Organization

WHO. 2011a. Hemoglobin Concentration for the Diagnosis of Anaemia and

Assessment of Severity. Geneva: World Health Organization

WHO. 2011b. Prevention of Iron Deficiency Anaemia in Adolescents. India


90

WHO. 2015. The Global Prevalence of Anaemia in 2011. Geneva: World Health

Organization

Wibawa, I Putu Budi. 2012. Hubungan Kadar Interleukin 6 Dengan Kadar Besi Serum

Penderita Anemia Pada Penyakit Kronik. Fakultas Kedokteran Unud Bali.

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). 2013. Angka Kecukupan Gizi yang

Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta: Direktorat Bina Gizi,

Kementerian Kesehatan RI.

Zeid, et al. 2014. Potential Factor Contributing to Poor Iron status with Obesity.

Alexandria Journal of Medicine. Elsevier.


91

LAMPIRAN 1

INFORMED CONSENT

Assalamualaikum wr wb

Perkenalkan, saya Sarah Salsabila Khairani, mahasiswi program studi Kesehatan

Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2014. Saya sedang melakukan penelitian

dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Remaja di SMP

Muhammadiyah Serpong tahun 2018”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

anemia pada remaja di SMP Muhammadiyah Serpong Tahun 2018.

Dalam penelitian ini, saya memohon kesediaan kamu untuk:

1. Diukur berat badan dan tinggi badan

2. Diambil sampel darah dibagian lengan

3. Mengisi lembar food frequency questionnaire

Partisipasi dalam penelitian ini bersifat sukarela sehingga kamu boleh tidak bersedia

dalam diambil sampel darahnya. Kuesioner ini akan dijaga kerahasiaannya dan hanya diketahui

oleh peneliti.

Apabila kamu bersedia, silahkan menandatangani lembar persetujuan dibawah ini yang

menyatakan bahwa kamu telah mendapat informasi mengenai penelitian ini dan secara sukarela

bersedia untuk berpartisipasi.

Jika ada hal yang ingin ditanyakan lebih lanjut, kamu dapat menghubungi saya, Sarah

(087874855903). Terima kasih atas kesediaan waktu dan partisipasinya.


92

Pernyataan Persetujuan

Nama :

Alamat :

Kelas :

No. Telp :

Dengan ini saya menyatakan untuk bersedia berpartisipasi sebagai responden penelitian

yang dilakukan oleh Sarah Salsabila Khairani mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul penelitian “Faktor-faktor yang berhubungan dengan

Anemia pada Remaja di SMP Muhammadiyah Serpong Tahun 2018”

Saya memahami penelitian ini tidak berakibat negatif terhadap diri saya dan kerahasiaan

akan dijaga oleh karena itu saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Tangerang Selatan,………………………2018

Menyetujui,

( )
93

LAMPIRAN 2

IDENTITAS RESPONDEN

A. Identitas Responden

A1 Nama Lengkap

A2 Jenis Kelamin

A3 Kelas

A4 Tanggal lahir

A5 Alamat

A6 No. Hp

A7 No. Hp Orang Tua

B. Status Gizi

B1 Berat Badan 1………..kg

2………..kg

B2 Tinggi Badan 1………..cm

2………..cm

C. Kadar Hb …………..mg/dl

D. Kadar Leukosit …………..mm3

E. Riwayat Penyakit (1 bulan terakhir)

E1 DBD 1. Ya 2. Tidak

E2 Tipus 1. Ya 2. Tidak

E3 Malaria 2. Ya 2. Tidak
94

LAMPIRAN 3

FORMULIR FOOD FREQUENCY QUESTIONNAIRE (FFQ) ZAT BESI

Nama :

Kelas :

Berilah tanda ceklis (√) pada kolom frekuensi waktu pada jenis bahan makanan

yang paling mendekati kebiasaan kamu dalam satu bulan terakhir!

Frekuensi Konsumsi
Jenis Berat
No URT Porsi
Makanan (g) Harian Mingguan Bulanan TP
1x ≥2x 1-2x 3-4x 5-6x 1x 2-3x
1 Nasi Putih 100 2 ctg rice
cooker
2 Bihun 100 1 piring
3 Kentang 75 1 bh kecil
4 Roti tawar 80 4 slice
5 Jagung 35 1 ptg
6 Daging sapi 50 1 ptg
7 Ayam 50 1 ptg
8 Telur ayam 60 1 btr
9 Telur puyuh 50 5 btr
10 Hati ayam 30 1 ptg
11 Cumi-cumi 30 1 ekor
sdg
12 Udang 50 5 ekor
sdg
13 Ikan sarden 70 1 ptg sdg
14 Ikan tongkol 60 1 ptg sdg
15 Ikan kembung 60 1 ptg sdg
16 Ikan teri 30 3 sdm
17 Tahu 100 1 bj sdg
95

18 Tempe 50 2 ptg sdg


19 Kacang tanah 25 2,5 sdm
20 Kacang hijau 25 2,5 sdm
21 Buncis 50 5 sdm
22 Bayam 50 5 sdm
23 Kangkung 50 5 sdm
24 Daun singkong 50 5 sdm
25 Wortel 50 5 sdm
26 Sawi hijau 10 1 sdm
27 Kacang 50 5 sdm
panjang
28 Tomat 75 1 bh sdg
29 Alpukat 65 ½ bh sdg
30 Jeruk 100 1 bh sdg
31 Apel 100 1 bh sdg
32 Pir 120 1 bh
33 Semangka 100 1 ptg
34 Teh 2 1 ktg kcl
35 Susu cair 200 1 gls
36 Sosis 20 1 bh
37 Bakso 20 4 bj kcl
38 Nugget 20 1 bh
39 Kornet 25 1 sdm
40 Mie instan 68 1 bks
41 Biskuit 40 4 bh
42 Eskrim 40 1 ptg
Suplementasi
43 Zat besi (TTD,
sangobion,
tonikum bayer,
dll)
44 Vitamin C
(uc1000,
hemaviton
c1000, dll)
96

LAMPIRAN 4

KUESIONER MENSTRUASI

B1. Kapan kamu menstruasi? ……………………………….. (tanggal/bulan/tahun)

B2. Berapa hari kamu menstruasi? ………………………. hari

B3. Jumlah hari kehilangan darah banyak: ………………… hari

B4. Tunjukkan jumlah dan jenis pembalut yang digunakan pada saat hari yang paling

berat ketika menstruasi, baik siang maupun malam

Jumlah Pembalut
Mini/pantyliner Normal Super Malam/superplus
Siang
Malam
Total MBL
97

LAMPIRAN 5
ETIK PENELITIAN
98

LAMPIRAN 6
SURAT IZIN PENELITIAN
99

LAMPIRAN 7 OUTPUT SPSS

Anemia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Anemia 15 17.0 17.0 17.0

Tidak Anemia 73 83.0 83.0 100.0

Total 88 100.0 100.0

Kategori IMT

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Obesitas 12 13.6 13.6 13.6

Tidak Obesitas 76 86.4 86.4 100.0

Total 88 100.0 100.0

Kategori MBL

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tinggi 24 27.3 46.2 46.2

Rendah 28 31.8 53.8 100.0

Total 52 59.1 100.0


Missing System 36 40.9
Total 88 100.0

Status_Fe
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 37 42.0 42.0 42.0

Cukup 51 58.0 58.0 100.0

Total 88 100.0 100.0


100

PI_DBD
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ya 1 1.1 1.1 1.1

Tidak 87 98.9 98.9 100.0


Total 88 100.0 100.0

PI_Tifoid

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 2 2.3 2.3 2.3

Tidak 86 97.7 97.7 100.0


Total 88 100.0 100.0

Anemia – Status Gizi

Kategori IMT * Anemia Crosstabulation

Anemia

Anemia Tidak Anemia Total

Kategori IMT Obesitas Count 2 10 12

% within Kategori IMT 16.7% 83.3% 100.0%

Tidak Obesitas Count 13 63 76

% within Kategori IMT 17.1% 82.9% 100.0%


Total Count 15 73 88

% within Kategori IMT 17.0% 83.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .001a 1 .970
b
Continuity Correction .000 1 1.000
Likelihood Ratio .001 1 .970
Fisher's Exact Test 1.000 .667
N of Valid Cases 88

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.05.
101

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Kategori IMT


.969 .190 4.954
(Obesitas / Tidak Obesitas)
For cohort Anemia =
.974 .250 3.791
Anemia
For cohort Anemia = Tidak
1.005 .765 1.321
Anemia
N of Valid Cases 88

Anemia – Asupan Zat Besi

Status_Fe * Anemia Crosstabulation


Anemia

Anemia Tidak Anemia Total

Status_Fe Kurang Count 9 28 37

% within Status_Fe 24.3% 75.7% 100.0%


Cukup Count 6 45 51

% within Status_Fe 11.8% 88.2% 100.0%


Total Count 15 73 88

% within Status_Fe 17.0% 83.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value Df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 2.392a 1 .122


b
Continuity Correction 1.586 1 .208
Likelihood Ratio 2.363 1 .124
Fisher's Exact Test .155 .104
Linear-by-Linear Association 2.365 1 .124
N of Valid Cases 88

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.31.
b. Computed only for a 2x2 table
102

Risk Estimate
95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Status_Fe


2.411 .774 7.505
(Kurang / Cukup)
For cohort Anemia =
2.068 .806 5.305
Anemia
For cohort Anemia = Tidak
.858 .696 1.056
Anemia
N of Valid Cases 88

Anemia – Menstruasi

Kategori MBL * Anemia Crosstabulation

Anemia

Anemia Tidak Anemia Total


Kategori MBL Tinggi Count 2 22 24

% within Kategori MBL 8.3% 91.7% 100.0%

Rendah Count 9 19 28

% within Kategori MBL 32.1% 67.9% 100.0%


Total Count 11 41 52

% within Kategori MBL 21.2% 78.8% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 4.392a 1 .036


b
Continuity Correction 3.081 1 .079
Likelihood Ratio 4.730 1 .030
Fisher's Exact Test .046 .037
Linear-by-Linear Association 4.308 1 .038
N of Valid Cases 52

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.08.
b. Computed only for a 2x2 table
103

Risk Estimate
95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Kategori


.192 .037 1.000
MBL (Tinggi / Rendah)
For cohort Anemia =
.259 .062 1.085
Anemia
For cohort Anemia = Tidak
1.351 1.019 1.791
Anemia
N of Valid Cases 52

Anemia – Riwayat Penyakit Infeksi DBD

PI_DBD * Anemia Crosstabulation


Count
Anemia

Anemia Tidak Anemia Total

PI_DBD Ya 0 1 1

Tidak 15 72 87
Total 15 73 88

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value Df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .208a 1 .648
b
Continuity Correction .000 1 1.000
Likelihood Ratio .376 1 .540
Fisher's Exact Test 1.000 .830
Linear-by-Linear Association .205 1 .650
N of Valid Cases 88

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .17.
b. Computed only for a 2x2 table
104

Risk Estimate
95% Confidence Interval

Value Lower Upper

For cohort Anemia = Tidak


1.208 1.098 1.330
Anemia
N of Valid Cases 88

Anemia – Riwayat Penyakit Infeksi Tifoid

PI_Tifoid * Anemia Crosstabulation


Count

Anemia

Anemia Tidak Anemia Total


PI_Tifoid Ya 0 2 2

Tidak 15 71 86
Total 15 73 88

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value Df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .421a 1 .517


b
Continuity Correction .000 1 1.000
Likelihood Ratio .757 1 .384
Fisher's Exact Test 1.000 .687
Linear-by-Linear Association .416 1 .519
N of Valid Cases 88

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .34.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

For cohort Anemia = Tidak


1.211 1.099 1.335
Anemia
N of Valid Cases 88

Anda mungkin juga menyukai