Anda di halaman 1dari 6

Nama : Anggita Wulandari

NIM : F1F019052

TUGAS RESUME THI 2

Keterkaitan antara Perspektif Kritis, Postmodernisme, Postkolonialisme, Global South, dan


Indigeneous Perspective

Studi Hubungan Internasional merupakan bidang studi yang cukup kompleks karena
memiliki banyak perspektif baik itu perspektif arus utama maupun alternatif. Keduanya sama-
sama menyumbangkan pemikiran dan konsep-konsep penting dalam dunia per-HI an sehingga
semua elemen tercakup. Entah itu hubungan antara negara dan negara, negara dan organisasi
internasional, negara dan individu atau perusahaan-perusahaan multinasional dan lain
sebagainya. Resume ini akan dimulai dari perkenalan singkat perspektif kritis yang bisa dibilang
juga tidak begitu bersebrangan dengan pespektif postmodernisme. Lalu setelah itu bagaimana
keterkaitan antara perspektif ini dan perspektif yang lain.

Teori kritis sendiri merupakan teori yang pada intinya adalah menentang sebuah
dominasi pihak-pihak hegemon dan mencoba melepaskan masyarakat dari hal tersebut atau bisa
dibilang berbicara tentang emansipasi, ya tidak jauh juga dengan Marxisme karena pada
dasarnya teori ini juga berangkat dari sana. Tokoh-tokoh teori kritis merupakan tokoh mazhab
Frankfurt yang terdiri dari Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter
Benjamin, Jurgen Habermas, Erich Fromm dan masih banyak lagi. Masing-masing tokoh
tersebut memiliki pandangan dan teorinya masing-masing mengenai relasi yang ada dalam
masyarakat. Beberapa tokoh dari teori kritis ini berpandangan bahwa suatu teori atau ilmu atau
sebuah definisi apapun itu, tidak akan pernah bersifat objektif. Ya, pastilah subjektif karena teori
atau ilmu itu sendiri ada yang menciptakan dan substansi yang ada dalam teori itu pasti tidak
akan jauh-jauh dari ekspektasi dan keterlibatan kepentingan penciptanya. Begitu yang saya
pahami sejauh ini. Teori kritis ini berusaha untuk menyadarkan masyarakat bahwa ada sebuah
entitas yang memegang kendali diluar sana dimana kita adalah pengikutnya. Teori kritis ingin
masyarakat sadar akan hal itu dan bisa bebas merdeka dari keterbelengguan tersebut. Nah,
konsepsi ini tidak jauh berbeda dengan konsep pemikiran perspektif postmodernisme.
Menurut pemahaman saya, perspektif postmodernisme ini sangat mengedepankan
mengenai adanya subjektivitas dalam suatu teori atau ilmu. Menurut para postmodernis yakni
Michael Foucault, Jacques Derrida, Jean Baudrillard, Jean Francois Lyotard, dan yang lainnya,
jika subjektivitas tesebut diimplementasikan pada setiap tindakan para penganutnya, hal itu akan
menciptakan sebuah kondisi yg anarkhis karena masing-masing dari mereka memiliki
argumennya sendiri terhadap suatu hal dan merasa berhak melakukan apa saja yang menurut
mereka benar dan cenderung menentang pihak-pihak yang memiliki perbedaan paham dengan
mereka. Karena mereka memiliki opininya masing2 dan tidak ada satu entitas lain yang
mengatur mereka, mereka jadi semrawut dan justru sangat berpotensi untuk berkonflik. Kondisi
ini lah yang dikhawatirkan oleh perspektif postmodernisme. Perspektif postmodernisme percaya
bahwa suatu teori atau ilmu pasti bersifat subjektif, sama halnya dengan apa yang dicetuskan
tokoh-tokoh teori kritis. Perspektif postmodernisme meyakini bahwa ilmu pengetahuan bahkan
ilmu alam sekalipun tidak terlepas dari hasil konstruksi peciptanya (ilmuwan) yang di dalamnya
pastilah terselip kepentingan-kepentingan mereka. Namun, perspektif postmodernisme ini tidak
bisa dianggap sebagai kelanjutan dari teori kritis (mengingat teori kritis dan tokoh-tokoh mahzab
frankfurt akhirnya mengalami kebuntuan meskipun Habermas juga ikut hadir dalam menjelaskan
bagaimana pencerahan harus dilanjutkan). Ya, teori kritis menganggap bahwa proyek pencerahan
harus dilajutkan dengan kata lain era modernisme harus kembali di rekonstruksi. Di sisi lain,
teori postmodernisme berpendapat bahwa proyek pencerahan telah mengalami kegagalan total
sehingga modernisme harus di dekonstruksi dari dalam (meskipun nantinya postmodernisme
tidak menawarkan solusi atau teori baru untuk menggantikannya).

Postmodernisme memandang bahwa power (kekuasaan) membutuhkan knowledge (ilmu


pengetahuan) dan begitu juga sebaliknya. Disini postmodernisme menyatakan bahwa sebuah
teori/kebenaran/suatu pemahaman akan sesuatu/keyakinan akan sesuatu bisa diciptakan oleh
pihak yang dominan (yang memiliki akses penuh terhadap power dan knowledge). Power yang
dimaksud di sini lebih berupa authority, yakni otoritas untuk menekan pihak lain agar mau
menerima “kebenaran” yang diciptakan oleh pihak yang berkuasa ini. Dengan kata lain,
kebenaran adalah hasil konstruksi sebuah “rezim of truth”. Knowledge tidak bersifat objektif,
knowledge bisa dipercaya dengan adanya power. Power kemudian berpengaruh kepada
sovereignty. Begitulah yang ditekankan perspektif posmodernisme.
Postmodernisme sebenarnya memandang bahwa tidak masalah jika ada definisi tentang
kebenaran, atau ada konsepsi sebuah teori, asalkan semua pihak memiliki akses terhadapnya
(bukan hanya pihak penguasa saja yang bisa mengaksesnya). Nah dari sinilah pemikiran
postmodernisme sedikit berkaitan dengan perspektif postkolonialisme yang mengangkat
pemikiran pihak-pihak yang tidak mendapatkan akses tersebut terhadap banyak entitas entah itu
dibidang ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Postkolonialisme pada dasarnya meneliti
bagaimana sekumpulan masyarakat, pemerintah dan orang-orang di wilayah sebelumya dijajah
di dunia berusaha melakukan hubungan internasional (mereka berusaha bangkit), asumsi
perspektif ini pun terdengar tidak asing karena hampir menyerupai perspektif Global South yang
protes akan kearifan ilmu Hubungan Internasional selama ini berada dalam bayang-bayang
perspektifnya orang-orang Barat. Kita tahu bahwa dalam periode perang baik PD 1 maupun PD
ii atau bahkan pada era Perang Dingin, negara-negara dunia utara dan barat lah yang menjajah
dan negara-negara dunia selatan adalah pihak yang menderita lack of access di berbagai bidang.
Disini kita bisa memahami bahwa perspektif postkolonialisme dan global sotuh berakar dari
kegelisahan yang sama. Hanya saja, perspektif global south lebih mengerucut kepada negara-
negara dunia selatan.

Lalu bagaimana dengan perspektif pribumi (Indigeneous)? Perspektif ini menjelaskan


mengenai perspektifnya orang-orang pribumi yang mengamali diskriminasi dan lagi-lagi, sulit
unutk mendapatkan akses terhadap power maupun knowledge. Perspektif ini mencakup faktor-
faktor seperti identifikasi diri, kesinambungan sejarah, dan keberadaan suatu tempat yang
terhubung ke wilayah tertentu. Selain itu, perspektif ini juga berbicara tentang sistem
pemerintahan, bahasa, pengalaman sejarah dan budaya. Namun yang terpenting, perspektif
pribumi ini menggambarkan komunitas atau kelompok yang berusaha mempertahankan wilayah
mereka dan menyatakan diri mereka sebagai masyarakat yang berbeda terlepas dari keberadaan
mereka dalam suatu negara. Sedangkan pada faktanya, negara dibangun berdasarkan prinsip-
prinsip kedaulatan teritorial dan sistem pemerintahan yang diakui secara hukum dan secara
historis yang berusaha untuk mengontrol, memaksa atau bahkan menghilangkan masyarakat adat
dari eksistensi negara itu sendiri.

Kembali pada bagaimana tatanan politik dan hukum global yang terbentuk saat ini, yang
kebanyakan berpusat pada negara-negara maju (yang sekarang mendominasi sistem global,
sekaligus yang telah memenangkan peperangan di masa silam) dan sejak itu konsep kedaulatan
negara memicu strategi pembangunan yang didasarkan pada negara modern dan, hal tersebut
menyebabkan kehancuran negara-negara Pribumi. Berbicara kepada perjuangan Pribumi atas
upaya pembangunan negara yang mengasingkan masyarakat adat dari tanah dan sumber daya
mereka, perspektif Pribumi menawarkan tiga tantangan khusus pada perspektif yang berpusat
pada negara. Pertama, mereka menantang otoritas tertinggi negara dengan menegaskan otoritas
mereka atas negara, tanah atau perairan, dan alam mereka. Kedua, mereka mengekspos fondasi
kolonial dari sistem yang berpusat pada negara dengan menyoroti pandangan Pribumi yang
menantang dan duduk di luar sistem dominan. Dengan kata lain, negara-negara yang kita kenal
berhutang keberadaannya pada proses penjajahan dan pemukiman yang berakar pada
imperialisme budaya, kekerasan, perusakan, genosida dan pada akhirnya penghapusan identitas
Pribumi. Ketiga, pandangan dunia dan praktik masyarakat adat menantang kita untuk
membayangkan bagaimana rasanya berbagi kekuasaan di dalam dan berpikir di luar batas negara
dan sistem negara global yang berlaku.

Disinilah titik temu antara perspektif pribumi dan perspektif-perspektif sebelumnya.


Persektif pribumi juga sejalan dengan pemikiran teori kritis, postmodernisme, postkolonialisme
dan juga global south yang sama-sama resah akan adanya dominasi power suatu pihak yang
membuat mereka tidak memiliki daya untuk melawan. Ketidakseimbangan kekuatan, dan
perbedaan pandangan antara pihak-pihak yang dominan dan pihak Pribumi tetap ada dalam
sistem internasional kita. Perspektif pribumi menyoroti perjuangan masyarakat adat untuk
mempertahankan keberadaan berbasis tempat mereka sehingga tanah, budaya, komunitas dan
hubungan mereka akan berkembang untuk generasi yang akan datang. Pemahaman adat tentang
hubungan internasional datang dalam berbagai bentuk, baik melalui penyegaran kembali
perjanjian dengan alam, membangun kembali aliansi antara masyarakat adat atau advokasi adat
dalam kegiatan diplomatik dalam forum global. Nah, upaya-upaya ini menantang sistem global
yang dominan yang berpusat pada “pihak hegemon”. Pihak-pihak pribumi ternyata juga menjadi
pihak yang dirugikan dan kesulitan dalam mengakses power ataupun knowledge. Sama halnya
dengan keresahan para tokoh perspektif lain sebelumnya.
Maka dari itu, sebuah teori pasti tidak terlepas dari teori lain ataupun pemikiran-
pemikiran yang telah ada sebelumnya (khususnya dalam ilmu Hubungan Internasional).
Perspektif baru lahir sebagai upaya untuk saling melengkapi, saling mengevaluasi, saling
merekontruksi bahkan menyempurnakan teori sebelumnya. Mereka berevolusi secara terus
menerus dari waktu ke waktu. Itulah mengapa sebagian ilmuwan sering mengaitkan satu teori
dengan teori yang lain. Sebagai contoh adalah perspektif arus utama H.I yakni Marxisme yang
seringkali dipakai sebagai dasar dari terciptanya teori-teori alternatif H.I yang baru. Baik yang
mendukung maupun yang kontra, tetap saja mereka saling terhubung dan memiliki relasi di
beberapa poin tertentu. Sama halnya dengan 5 perspektif yang telah saya jelaskan sebelumnya.
Saya menarik kesimpulan bahwa kelima perspektif ini pada dasarnya berangkat dari keresahan
dan ketidakberdayaan suau pihak dalam mengakses power maupun kowledge sehingga mereka
jatuh pada kondisi dimana mereka “didominasi” atau “dihegemoni” oleh pihak-pihak yang tentu
saja memiliki akses penuh terhadap power dan knowledge.
Referensi
Jeff Corntassel, M. W. (2018, Januari 23). Indigenous Perspectives on International Relations
Theory. Dipetik Desember 12, 2020, dari https://www.e-ir.info:
https://www.e-ir.info/2018/01/23/indigenous-perspectives-on-international-relations-
theory/

Nexon, A. C. (2020, Juli). How Hegemony Ends. Dipetik November 9, 2020, dari
https://www.foreignaffairs.com:
https://www.foreignaffairs.com/articles/united-states/2020-06-09/how-hegemony-ends

Stephen McGlinchey, R. W. (Penyunt.). (2017). International Relations Theory. (A. Mukti,


Penerj.) Bristol: E-International Relation Publishing.

Stephen McGlinchey, R. W. (2019, Juni 3). 17.2: Global South Perspectives on International
Development. Dipetik Desember 13, 2020, dari https://socialsci.libretexts.org/:
https://socialsci.libretexts.org/Bookshelves/Sociology/Book
%3A_International_Relations_Theory_%28McGlinchey_Walters_and_Scheinpflug
%29/17%3A_Global_South_Perspectives/
17.02%3A_Global_South_Perspectives_on_International_Development

Anda mungkin juga menyukai