Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan
dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang
peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa
sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam
membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran
dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi,
tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung
menghindari kewajiban tersebut.

Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa
bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau
lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan
bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula
pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi
wajib pajak yang nakal.

Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya
Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan mengingat
obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja dasar-dasar hukum perpajakan di indonesia?

2. Bagaimanakah Sengketa pajak dan cara penyelesaiannya?

3. Seberapa efketifkah pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar-Dasar Hukum Perpajakan Di Indonesia

Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan negara,
meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri.

Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan
tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak dicantumkan dalam Pasal
23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.”
Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu, redaksi kalimat konstitusi
pascaamandemen menunjukkan ketegasannya dalam mengatur hal perpajakan.

Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) yang telah
direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena
merupakan saat dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983 disebut sebagai
tahun reformasi pajak.

Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di negara ini
mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut “Tri Dharma Perpajakan”. Ketiga asas tersebut
adalah sebagai berikut.

a. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek perpajakan.
Sifatnya universal atau nondiskriminatif.

b. Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu bahwa
sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang terlebih dahulu.

c. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada waktunya, aritinya
pada saat orang memiliki uang (asas conveniency dan efisiensi).

Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku sebagai undang-undang pajak nasional, asasasas
perpajakan yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti di bawah ini.

a. Kesederhanaan (simplification of law) Bahwa undang-undang tentang perpajakan agar disusun


sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya.

b. Kegotong-royongan nasional Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.
c. Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan kepada wajib pajak sendiri, maksud
pemberian kepercayaan diharapkan agar warga sadar akan kewajiban kenegaraan karena Negara sudah
memberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya sendiri.
Kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat disebut self assessment.

d. Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.

e. Kepastian dan jaminan hokum Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus dihormati
adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga tak bersalah. Artinya, wajib pajak belum dinyatakan
bersalah apabila belum ada bukti-bukti nyata.

Pengertian Dan Sistematika Hukum Pajak

Hukum pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat
dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur
hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang
berkewajiban membayar pajak. Hukum Pajak mengatur siapa subjek dan wajib pajak, obyek pajak,
kewajiban wajib pajak kepada pemerintah, timbul/hapusnya hutang pajak, cara penagihan pajak dan
cara megajukan keberatan/banding serta pengadilan pajak.

Hukum Pajak secara sistematis dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum
Pajak Formal (Formal tax law):

Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang
dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan
berapa yang harus dibayar. Hukum pajak material membuat norma-norma yang menerangkan keadaan-
keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa
yang harus dikenakan pajak ini, berapa besar pajaknya, dengan kata lain segala sesuatu tentang
timbulnya, besarnya, dan hapusnya hutang pajak dan pola hubungan hukum antara pemerintah dan
wajib pajak.

Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan
hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil
berisi ketentuanketentuan tentang siapa, apa, berapa dan bagaimana. Dengan demikian, hukum pajak
formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil
menjadi kenyataan. Yang termasuk hukum pajak formal adalah peraturan-peraturan mengenai cara-cara
untuk menjelmakan hukum material tersebut diatas menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum ini
memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan suatu utang pajak, kontrol oleh pemerintah
terhadap penyelenggaranya, kewajiban para wajib pajak (Sebelum dan sesudah menerima surat
ketetapan pajak), kewajiban pihak ketiga, dan prosedur dalam pemungutanya. Maksud hukum formal
adalah untuk melindungi, baik Fiskus maupun wajib pajak. Jadi untuk memberi jaminan bahwa hukum
materialnya akan dapat diselenggarakan setepat-tepatnya. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan,
bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas
bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah
mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.

Sanksi Pajak
Pemberian sanksi atau hukuman mempunyai empat buah latar belakang falsafah yakni:

a. Retribution sebagai falsafah tertua dengan semboyan an eye for an eye yang berbasis balas
dendam; narapidana harus membayar utang mereka kepada masyarakat melalui hukuman yang sesuai
dengan kejahatannya.

b. Deterrence yang bertujuan, bahwa pemberian hukuman berfungsi sebagai contoh yang akan
menghalangi mereka yang berniat melakukan kejahatan (general deterrence) dan meyakinkan
narapidana untuk tidak berbuat perbuatan pidana lainnya (specific deterrence).

c. Incapacitation; pemberian hukuman melalui penahanan atau membuat narapidana tidak berdaya,
bermaksud supaya narapidana diasingkan dari masyarakat sehingga mereka tidak akan lagi merupakan
ancaman atau bahaya bagi yang lainnya.

d. Rehabilitation yang berupaya mengintegrasikan kembali narapidana ke dalam masyarakat melalui


program koreksi dan layanan.

Wajib Pajak

Wajib Pajak, sering disingkat dengan sebutan WP adalah orang pribadi atau badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Wajib pajak bisa berupa wajib
pajak orang pribadi atau wajib pajak badan. Wajib pajak pribadi adalah setiap orang pribadi yang
memiliki penghasilan diatas pendapatan tidak kena pajak. Di Indonesia, seiap orang wajib mendaftarkan
diri dan mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP), kecuali ditentukan dalam undang-undang.

Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua
kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Menurut pengamatan penulis ada dua
macam kepatuhan yakni kepatuhan formal dan kepatuhan materiil. Yang dimaksud dengan kepatuhan
formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai
dengan ketentuan formal dalam undang-undang perpajakan. Sedangkan kepatuhan materiil adalah
suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif/hakikat memenuhi semua ketentuan materiil
perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan materiil meliputi juga
kepatuhan formal.

Upaya-upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengurangi tax evasion telah lama diadakan. Untuk
Indonesia, pada tahun 1972 melalui SGATAR (Study Group on Asian Tax Administration and Research)
telah disidangkan di Jakarta dengan salah satu tema utama adalah Some Aspects of Income Tax
Avoidance or Evasion. Upaya untuk mengurangi tax evasion lebih dini pada tingkat yang lebih
mengglobal telah diadakan oleh IFA pada tahun 1980 di Paris dengan tema yang lunak yakni The
Dialogue between the tax administration and the taxpayer up to the filing of the tax return.
Ketidakpatuhan secara bersamaan dapat menimbulkan upaya menghindarkan pajak secara melawan
hukum atau tax evasion.

Perilaku Wajib Pajak yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya oleh Bernard P.
Herber, dibedakan menjadi tiga yakni tax evasion, tax avoidance dan tax delinquency:

Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tax evasion adalah perbuatan melanggar undang-undang.
Misalnya menyampaikan di dalam SPT jumlah penghasilan yang lebih rendah daripada yang sebenarnya
(understatement of income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang
sebenarnya (overstatement of the deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion yang lebih parah adalah
apabila Wajib Pajak sama sekali tidak melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Perbuatan
ini melanggar baik jiwa atau semangat maupun kalimat-kalimat dalam undang-undang perpajakan. Di
Indonesia perbuatan yang termasuk dalam tax evasion diancam dengan hukuman pidana fiscal yang
diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP 2000.

Dalam tax avoidance Wajib Pajak memanfaatkan peluang-peluang (loopholes) yang ada dalam undang-
undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah. Perbuatannya ini secara harfiah
tidak melanggar undangundang perpajakan, tapi dari segi jiwa undang-undang perpajakan termasuk
perbuatan yang melanggar. Misalnya pada bulan Desember 2000 Wajib Pajak A akan menerima
penghasilan sebesar Rp 25.000.000,- yang akan terkena tarif Pajak Penghasilan sebesar 10%.

Adapun cara-cara mencegah Wajib Pajak melakukan tax evasion antara lain dapat berupa pemeriksaan
pajak (tax audit); sistem informasi yaitu dialog dan saling tukar pandangan antara Wajib Pajak dan fiskus
harus tetap diadakan; administrasi pajak dalam arti sebagai prosedur meliputi antara lain tahap-tahap
pendaftaran Wajib Pajak, penetapan, dan penagihan.; kemungkinan ketahuan dan penegakan hukum
(probability of detection and level of penalties). Hal ini pada hakikatnya terkait dengan penegakan
hukum pajak atau tax law enforcement serta tingginya tarif pajak, rasa keadilan yang tak terpenuhi dan
pemanfaatan dana pajak.

Subyek Pajak

Subyek Pajak adalah orang yang dituju oleh UU untuk dikenakan pajak. Subyek pajak berkenaan dengan
penghasilan yang diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek pajak meliputi orang pribadi, warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha tetap. Yang dimaksud dengan Bentuk
Usaha Tetap (BUT atau dalam bahasa Inggris: permanent establishment) adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu
fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.Tempat usaha
tersebut bersifat Permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari
Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak
bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat
dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau Perantara
yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya
bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan Asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai
bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran Premi
Asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di
Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko
tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat
tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Menurut Undang-Undang Perpajakan
Indonesia, bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak Luar Negeri untuk menjalankan usaha
ataumelakukan kegiatan di Indonesia, dapat dikatakan sebagai BUT yang dapat berupa: tempat
kedudukan manajemen; cabang perusahaan; kantor perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel;
pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi
pertambangan; perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; proyek konstruksi,
instalasi, atau proyek perakitan; pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang
lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan; orang atau badan yang
bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; dan agen atau pegawai dari perusahaan asuransi
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.

B. Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya

Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak berbanding lurus dengan
tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui
aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan.

Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan
lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada
badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707)
dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang
kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan
Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya
memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak
daerah. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang
sah dan tidak bertentangan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14
Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi sebagai
berikut.

“Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap
keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.” Selanjutnya, ayat
(2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut. “Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak,
yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”

Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP
dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa pajak. Oleh sebab itu,
pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif
dan dibentuk melalui undang-undang. Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak
sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan serta memberikan putusan hukum atas sengketa
pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang
perpajakan sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan
keadilan bagi semua pihak.

Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya adalah sebagai berikut.

a. BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa:

· banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;

· gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan.

b. Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan hokum
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

c. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak
dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan keadilan pengenaan pajak,
wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur sebagai berikut.

a. Jalur keberatanpajak dan banding ke BPSP.

b. Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

c. Jalur melalui peradilan umum.

Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya untuk menyelesaikan sengketa
administratif, yaitu dari segi perhitungan dan akuntansi, bukan mengenai pidana pajak.

Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP pada kenyataannya belum
merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu
pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus
mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.

Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang


Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak
dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.”

C. Dasar Hukum Pengadilan Pajak

Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan Pajak dibentuk melalui UU Nomor 14 Tahun
2002. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memutus perkara mengenai sengketa pajak. Pasal 1 butir
5 undang-undang ini menyebutkan pengertian sengketa pajak seperti di bawah ini.
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau
penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang- Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”

Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam memeriksa dan
memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan pajak tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan
Pengadilan Pajak.

Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi semua jenis
sengketa pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang
dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2002 menimbulkan kesan adanya dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan
Pajak berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. Namun, hal
tersebut dapat ditepis karena UU Nomor 14 Tahun 2002 secara jelas menyatakan bahwa Pengadilan
Pajak merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di bidang pemeriksaan dan pemutusan
sengketa di bidang perpajakan. Kasus sengketa pajak yang sampai pada

tingkat kasasi menjadi kompetensi dari Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha
Negara. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa, “Dengan
undangundang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan di ibukota Negara,” maka Pengadilan
Pajak hanya ada di ibukota Jakarta. Sama halnya dengan Tax Court di Amerika Serikat, yang hanya
berkedudukan di Washington D.C. sebagai ibukota negara tersebut. Hal ini berlaku pula di lembaga
peradilan pajak di negara-negara lainnya.

Oleh karena karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak harus in persona (para
pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang diperiksa hanyalah dokumen, yaitu berupa
laporan keuangan, rekening bank, data transaksi, mengenai omzet, dan sebagainya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan pada bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:

1. Dasar hukum bidang perpajakan Indonesia yang utama adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Sedangkan dasar hukum
pembentukan dan pelaksanaan Pengadilan Pajak adalah Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002).

2. Sejak 1959, pemerintah telah memiliki badan peradilan pajak, yaitu Majelis Pertimbangan Pajak
(MPP) yang selanjutnya diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) pada 1997. Akan
tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah
Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan peradilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan
kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hokum
dalam penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak pada 2002.

3. Pelaksanaan Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan peradilan sengketa pajak yang independen
belum sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat, dasar hukum yang menjadi landasan
Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak. Selain itu,
beberapa pasal juga dikhawatirkan belum sesuai dengan amanat UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA

Handoko, Rukiah. Pengantar Hukum Pajak: Seri Buku Ajar. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2000.

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, No. 14 Tahun 2002

Anda mungkin juga menyukai