2.5 Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23
Untuk beberapa jenis withholding tax seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal 25 dapat
diajukan Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi
kriteria dibawah ini. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan
Pajak Penghasilan tidak berlaku terhadap pemotongan dan atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan diberikan
Dirjen Pajak melalui Surat Keterangan Bebas. (PER Dirjen Pajak No.1/PJ/2011).
Beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh wajib pajak adalah:
1. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berialan dapat membukti tidak akan
terutang Pajak Penghasilan karena:
a. Waiib pajak yang mengalami kerugian fiskal berhak melakukan
kompensasi kerugian fiskal.
b. Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari pajak
penghasilan yang akan terutang, dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
2. Wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final.
3. Surat Keterangan Bebas diberikan kepada:
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak
akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal
dalam hal:
1) Wajib pajak baru berdiri dan masih dalam tahap investasi.
2) Wajib pajak belum sampai pada tahap produksi komersial.
3) Wajib pajak mengalami peristiwa yang berada di luar
kemampuannya (force majeur).
b. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak
akan terutang Pajak Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi
kerugian fiskal dengan memperhitungkan besarnya kerugian tahun -
tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang
tercantum dalam SPT Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak.
c. Wajib pajak yang dapat membuktikan Pajak Penghasilan yang telah dan
akan dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
d. Wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat
final.
Berdasarkan analisis tersebut, bila suku bunga pinjaman bank + provisi lebih rendah
dari bunga pajak, seperti terlihat di atas, maka akan lebih efisien bila kita menggunakan
pinjaman bank untuk melunasi langsung SKPKB tersebut.
2.7 Rekonsiliasi/Equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT Lainnya dan Laporan
Keuangan (Fiskal)
Sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan untuk melakuan
prosedur pengecekan dengan menggunakan teknik rekonsiliasi/equalisasi secara
periodik antara elemen - elemen yang terdapat di SPT Badan dan laporan keuangan
(hskal) perusahaan dengan elemen - elemen yang terdapat di SPT PPh Pasal 21, SPT
PPh Pasal 23 dan SPT Masa PPN. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kantor Pelayanan
Pajak atas semua SPT bulanan dan tahunan yang disampaikan perusahaan. Kegagalan
perusahaan dalam melakukan hal ini berpotensi menimbulkan ajak kurang bayar serta
tambahan sanksi atau denda. Jika ditemukan adanya perbedaan, maka perbedaan
tersebut harus ditelusuri dan segera dikoreksi, bila diperlukan segera dibuatkan
pembetulan SPT nya.
a. Rekonsiliasi/equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN
Rekonsiliasi dilakukan atas transaksi pembelian dan penjualan serta PPN yang
mengikutinya, yakni PPN masukan dari transaksi pembelian dan PPN keluaran
dari omzet penjualan, apakah kedua SPT tersebut telah menunjukkan angka
yang sama atau belum. Bagi perusahaan, yang tidak kalah pentingnya adalah
melakukan equalisasi antara buku/ledger pembelian dan buku/ledger penjualan
dengan SPT Masa PPN, apakah kedua ledger tersebut dan SPT Masa PPN telah
menunjukkan angka yang sama atau belum. Omzet penjualan yang tercantum
dalam SPT PPh badan dengan SPT PPN bisa berbeda, disebabkan beberapa hal
berikut:
1) Omzet penjualan di SPT PPh Badan bisa lebih besar dari omzet
penjualan di SPT PPN karena pernjualan di SPT PPh Badan menganut
akrual basis sehingga atas penjualan kredit, jika barangnya telah
diserankan, penjualan sudah dilaporkan, sedangkan pada SPT PPN,
penjualan kredit bisa dibuat faktur paiaknya pada akhir bulan setelah
bulan penyerahan barang.
2) Omzet penjualan di SPT PPh Badan lebih kecil daripada omzet
penjualan di SPT PPN, karena penerimaan uang atas penjualan sudah
harus dibuat faktur pajaknya meskipun barangnya belum diserahkan,
sementara penjualan tersebut baru dilaporkan setelah penyerahan barang.
b. Rekonsiliasi atau ekualisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21
Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah prosedur
pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap Jumlah Biaya Gaji dan
Tunjangan serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya
yang berkaitan dengan hubungan kerja, yang tercantum dalam SPT PPh Badan,
dengan Jumlah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang tercantum dalam SPT PPh
Pasal 21. Dasar Pengenaan Pajak ini terdiri dari gaji dan tunjangan yang
dibayarkan kepada karyawan dan penghasilan lain yang dibayarkan kepada
pihak perorangan lainnya yang menjadi objek PPh Pasal 21, apakah jumlahnya
telah sama.
3. Bunga Pinjaman
Pada dasarnya bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya, sepanjang
pinaman tersebut digunakan oleh wajib pajak untuk kegiatan operasional
perusahaan.
Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 18 ayat 1 memberi wewenang
kepada Menteri Keuangan untuk memutukan besarnya perbandingan antara
utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan
penghitungan pajak. Dalam dunia usaha, terdapat tingkat perbandingan tertentu
yang wajar antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan
antara utang dan modal sangat besar, melebihi batas kewajaran, biasanya
perusahaan dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, dalam
penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang PPh menentukan
adanya modal terselubung. Pengertian "kewajaran atau kelaziman usaha" adalah
adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang
sehat dalam dunia usaha.