Anda di halaman 1dari 13

Optimalisasi Pembayaran Pajak Untuk Menghemat Pajak

2.1 Optimalisasi Pembayaran Pajak


Optimalisasi pembayaran pajak ini merupakan suatu langkah pengamanan yang
harus dilakukan wajib pajak terkait transaksi dengan pihak ketiga dan penjagaan cash
flow perusahaan, yang tujuannya adalah untuk mendatangkan penghematan pajak.
Optimalisasi pembayaran pajak dapat dilakukan seperti diuraikan di bawah ini:
1. Pengamanan kontrak - kontrak bisrnis dari potensi pemotongan withholding tax.
2. Optimalisasi pengkreditan Paiak Penghasilan yang telah dibayar.
3. Pengajuan permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25.
4. Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23.
5. Mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
6. Rekonsiliasi atau Ekualisasi SPT PPh badan dengan SPT PPh Pasal 21, PPh
Pasal 23/26 dan SPT Masa PPN.

2.2 Pengamanan Kontrak - Kontrak Bisnis dari Potensi Pemotongan Withholding


Tax
Dalam praktik bisnis banyak terjadi kasus pemungutan atau pemotongan pajak
dari pihak ketiga, di mana yang membuat kontrak bisnis misalnya kontrak jual
beli/kontrak jasa konstruksi/kontrak sewa kurang memahami atau mengabaikan aspek
perpajakannya secara detail dan sesuai dengan ketentuan perpajakan, sehingga saat
pemeriksaan oleh fiskus, perusahaan dikenai kewajiban untuk membayar withholding
tax ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Belum lagi bila vendor tidak bersedia dipotong pajaknya karena pembayarannya
mengacu pada kontrak yang telah disetujui sebelumnya, sehingga bila perusahaan
pembeli atau pemilik proyek tidak memotong withholding tax (PPh Pasal 21, Pasal 22,
Pasal 23, PPh final, PPh Pasal 26 dsb), perusahaan pembeli atau pemilik proyek mau
tidak mau dikenai kewajiban untuk membayar withholding tax ke kas negara berikut
sanksi perpajakannya. Ada dua pilihan perlakuan perpajakan atas transaksi tersebut
diantaranya, yaitu:
1. Jika mau withholding tax tersebut dibiayakan dalam Laporan Keuangan Fiskal,
maka nilai transaksi dalam kontrak yang akan dibayar tersebut di gross up,
sehingga jumlah transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus
dipungut. Atas jumlah pajak yang dibayarkan boleh dibebankan sebagai biaya
(kecuali untuk PPh final dan dividen), dan selain itu perusahaan masih bisa
menghemat pajak.
2. Pilihan lain adalah bila perusahaan membayarkan withholding tax. Dalam hal ini
withholding tax yarng dibayarkan ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh
perusahaan karena tidak di gross up.
Contoh:
Perusahaan akan menyewa lahan pergudangan dari Saudara Badu sebesar
Rp180.000.000 untuk 4 tahun. Badu tidak bersedia dipotong pajak sebesar 10%
final atas sewa lahan pergudangan tersebut.
 Apabila PPh fnal sebesar 10% atau sebesar Rp 18.000.000 tersebut
dibayar oleh perusahaan, maka perusahaan tersebut tidak boleh
membebankan pajak tersebut sebagai biaya. Dengan demikian, untuk
transaksi ini perusahaan harus mengeluarkan uang sebesar Rp 180 juta +
Rp Rp 18 juta = Rp 198 juta.
 Perusahaan dapat melakukan gross-up atas sewa lahan pergudangan
tersebut menjadi: 100/90 X Rp 180 juta = Rp 200 juta.
PPh Final atas sewa lahan pergudangan 10% dari Rp 200 juta Rp
20 juta. Jumlah yang harus dibayar adalah: Rp 180 juta + Rp 20 juta Rp
200 juta.
Penghematan pajak (tax saving) dari PPh badan sebesar 25% x
Rp 20 juta = Rp 5 juta (asumsi laba perusahaan di atas Rp 200 juta).
Bila di gross up, pengeluaran perusahaan
untuk pajak Rp18 juta
Bila tidak di gross up, pengeluaran
perusahaan untuk pajak Rp15 juta
Rp 20 juta (PPh final) - Rp 5 juta (PPh badan) Rp15 juta
Penghematan Pajak dengan cara gross up Rp 3 juta

2.3 Optimalisasi Pengkreditan yang Telah Dibayar


Kredit Pajak merupakan jumlah pembayaran pajak yang dibayar oleh wajib
pajak sendiri, setelah ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak
lain (yang sifatnya tidak final) dan dikurangkan dari seluruh pajak yang terutang pada
akhir tahun pajak yang bersangkutan termasuk apabila ada jumlahj pajak atas
penghasilan yang terutang di luar negeri.
Contoh:
Pajak Penghasilan yangg terutang Rp 80.000.000
Kredit pajak:
Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000
Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000

Jumlah Pajak Penghasilan yang


dapat dikreditkan Rp 45.000.000 (-)
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000

PPh yang dapat dikreditkan, dapat berupa:


 PPh Pasal 21 dari pekerjaan (sebagai kredit pajak di SPT PPh WPOP)
 PPh Pasal 22 atas impor, PPh Pasal 22 atas pembelian BBM dari Pertamina
untuk selain penyalur, dan lain-lain.
 PPh Pasal 23 atas bunga dari non bank, royalti, jasa profesional, dan jasa teknik,
jasa manajemen, dan jasa lainnya.
 PPh Pasal 24 yang dipotong di luar negeri.
 PPh fiskal luar negeri karyawan (setoran atas nama karyawan qq Perusahaan
berikut NPWP perusahaan).
 PPh atas pengalihan tanah/bangunan bagi perusahaan yang tidak bergerak di
bidang real estate.
Optimalisasi kredit pajak dapat dilakukan langkah - langkah sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan administrasi harus tertata dengan baik dan tertib, baik dalan hal
pencatatannya maupun kelengkapan dokumentasinya.
b. Untuk memenuhi kelengkapan formal, terutama pada saat pemeriksaan
berlangsung, setiap kali dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak oleh
pihak lain sebaiknya langsung diminta Bukti Pemotongan atau Pemungutan nya.
Penundaan permintaan tersebut cukup berisiko seperti kelupaan atau kehilangan
dokumen yang akan menyita waktu dan tenaga, sehingga tidak perlu menunggu
sampai akhir tahun pajak untuk memintanya.

2.4 Pengajuan Permohonan Penurunan Angsuran PPh Pasal 25


Bila SPT PPh badan pada akhir tahun buku atau fiskal menunjukkan terjadinya
kelebihan pembayaran pajak, maka dapat dipastikan, terhadap wajib pajak tersebut akan
dilakukan pemeriksaan pajak. Strategi terbaik adalah jangan sampai penyampaian SPT
PPh Badan tersebut membuka peluang untuk diperiksa fiskus dengan alasan lebih bayar
pajak, karena berdasarkan pengalaman, setiap pemeriksaan pajak berpotensi timbulnya
kurang bayar pajak yang lebih besar.
Untuk mengantisipasi hal itu, sesuai Keputusan Dirjen Pajak No.31/PJ/2000,
wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan
Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar dengan disertai proyeksi laba pada akhir tahun dan alasan terjadinya penurunan
laba, dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Apabila sesudah 3 (tiga) bulan atau lebih berjalannya tahun pajak, wajib pajak
dapat menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun
pajak tersebut kurang dari 75%% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak
Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25.
b. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Paiak Pasal 25 harus disertai
dengan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang
berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan
besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan - bulan yang tersisa dari tahun
pajak yang bersangkutan.

Bila Wajib pajak mengurangi angsuran pajak tanpa melalui mekanisme


permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 atau tidak melakukan pernyetoran
SSP PPh Pasal 25 di bulan - bulan terakhir mendekati akhir tahun fiskal (dengan tujuan
untuk menghindari lebih bayar pajak), maka Dirjen Pajak akan menerbitkan Surat
Tagihan Pajak (STP) atas kekurangan bayar pajak berikut sangsinya, dan STP tersebut
juga harus dikreditkan oleh wajib pajak pada PPh badan yang terutang pada akhir tahun
sehingga masalah lebih bayar pajak akhirnya juga tidak dapat dihindari.

2.5 Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23
Untuk beberapa jenis withholding tax seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal 25 dapat
diajukan Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi
kriteria dibawah ini. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan
Pajak Penghasilan tidak berlaku terhadap pemotongan dan atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan diberikan
Dirjen Pajak melalui Surat Keterangan Bebas. (PER Dirjen Pajak No.1/PJ/2011).
Beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh wajib pajak adalah:
1. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berialan dapat membukti tidak akan
terutang Pajak Penghasilan karena:
a. Waiib pajak yang mengalami kerugian fiskal berhak melakukan
kompensasi kerugian fiskal.
b. Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari pajak
penghasilan yang akan terutang, dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
2. Wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final.
3. Surat Keterangan Bebas diberikan kepada:
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak
akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal
dalam hal:
1) Wajib pajak baru berdiri dan masih dalam tahap investasi.
2) Wajib pajak belum sampai pada tahap produksi komersial.
3) Wajib pajak mengalami peristiwa yang berada di luar
kemampuannya (force majeur).
b. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak
akan terutang Pajak Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi
kerugian fiskal dengan memperhitungkan besarnya kerugian tahun -
tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang
tercantum dalam SPT Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak.
c. Wajib pajak yang dapat membuktikan Pajak Penghasilan yang telah dan
akan dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
d. Wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat
final.

2.6 Mengangsur atau Menunda Pembayaran Pajak


Wajib pajak diberi hak mengajukan permohonan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak untuk semua jenis ketetapan pajak, baik berupa SKP maupun STP.
Pasal 19 ayat (1) KUP No. 28 tahun 2007 mengatur pengenaan sanksi administrasi
berupa bunga, dalam hal apa wajib pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.
Alternatif mana yang lebih menguntungkan wajib pajak, langsung melunasi,
mengangsur, atau menunda pembayaran pajaknya? Itu tergantung pada wajib pajak,
seperti terlihat dalam contoh berikut ini.
Contoh:
Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPRB) sebesar
Rp1.120.000 yang diterbitkan pada 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal
1 Februari 2009. Wajib pajak diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak
dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp 224.000.
Diasumsikan suku bunga pinjaman bank (bank loan interest rate) adalah 1,5% per
bulan, dan provisi bank 1%.
Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut:
angsuran ke-1: 2% x Rp 1.120.000 = Rp 22.400
angsuran ke-2: 2% x Rp 896.000 = Rp 17.920
angsuran ke-3: 2% x Rp 672.000 = Rp 13.440
angsuran ke-4: 2% x Rp 448.000 = Rp 8.960
angsuran ke-5: 2% x Rp 224.000 = Rp 4.480
Waiib Pajak diperbolehkan menunda pembayaran pajak sampai tanggal 30 Juni 2009.
Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan P'ajak
Kurang Bayar tersebut besarnya 5 x 2% x Rp 1.120.000 Rp 112.000.
Selanjutnya kita menganalisis secara komparatif perhitungan bunga dengan
bernchmarking suku bunga pinjaman bank:
BUNGA
No. Pembayaran Pinjaman Bank Diangsur Bunga Ditunda Bunga
Bunga 1,5%/bln 2%/bln 2%/bln
1 224.000 16.800 22.400
2 224.000 13.440 17.920
3 224.000 10.080 13.440
4 224.000 6.720 8.960
5 224.000 3.360 4.480
1.120.000 50.400 67.200 112.000
Provisi bank 1% 11.200
TOTAL 61.600 67.200 112.000

Berdasarkan analisis tersebut, bila suku bunga pinjaman bank + provisi lebih rendah
dari bunga pajak, seperti terlihat di atas, maka akan lebih efisien bila kita menggunakan
pinjaman bank untuk melunasi langsung SKPKB tersebut.

2.7 Rekonsiliasi/Equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT Lainnya dan Laporan
Keuangan (Fiskal)
Sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan untuk melakuan
prosedur pengecekan dengan menggunakan teknik rekonsiliasi/equalisasi secara
periodik antara elemen - elemen yang terdapat di SPT Badan dan laporan keuangan
(hskal) perusahaan dengan elemen - elemen yang terdapat di SPT PPh Pasal 21, SPT
PPh Pasal 23 dan SPT Masa PPN. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kantor Pelayanan
Pajak atas semua SPT bulanan dan tahunan yang disampaikan perusahaan. Kegagalan
perusahaan dalam melakukan hal ini berpotensi menimbulkan ajak kurang bayar serta
tambahan sanksi atau denda. Jika ditemukan adanya perbedaan, maka perbedaan
tersebut harus ditelusuri dan segera dikoreksi, bila diperlukan segera dibuatkan
pembetulan SPT nya.
a. Rekonsiliasi/equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN
Rekonsiliasi dilakukan atas transaksi pembelian dan penjualan serta PPN yang
mengikutinya, yakni PPN masukan dari transaksi pembelian dan PPN keluaran
dari omzet penjualan, apakah kedua SPT tersebut telah menunjukkan angka
yang sama atau belum. Bagi perusahaan, yang tidak kalah pentingnya adalah
melakukan equalisasi antara buku/ledger pembelian dan buku/ledger penjualan
dengan SPT Masa PPN, apakah kedua ledger tersebut dan SPT Masa PPN telah
menunjukkan angka yang sama atau belum. Omzet penjualan yang tercantum
dalam SPT PPh badan dengan SPT PPN bisa berbeda, disebabkan beberapa hal
berikut:
1) Omzet penjualan di SPT PPh Badan bisa lebih besar dari omzet
penjualan di SPT PPN karena pernjualan di SPT PPh Badan menganut
akrual basis sehingga atas penjualan kredit, jika barangnya telah
diserankan, penjualan sudah dilaporkan, sedangkan pada SPT PPN,
penjualan kredit bisa dibuat faktur paiaknya pada akhir bulan setelah
bulan penyerahan barang.
2) Omzet penjualan di SPT PPh Badan lebih kecil daripada omzet
penjualan di SPT PPN, karena penerimaan uang atas penjualan sudah
harus dibuat faktur pajaknya meskipun barangnya belum diserahkan,
sementara penjualan tersebut baru dilaporkan setelah penyerahan barang.

b. Rekonsiliasi atau ekualisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21
Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah prosedur
pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap Jumlah Biaya Gaji dan
Tunjangan serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya
yang berkaitan dengan hubungan kerja, yang tercantum dalam SPT PPh Badan,
dengan Jumlah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang tercantum dalam SPT PPh
Pasal 21. Dasar Pengenaan Pajak ini terdiri dari gaji dan tunjangan yang
dibayarkan kepada karyawan dan penghasilan lain yang dibayarkan kepada
pihak perorangan lainnya yang menjadi objek PPh Pasal 21, apakah jumlahnya
telah sama.

c. Rekonsiliasi/ekualisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23


Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23 berkaitan dengan
prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap jumlah biaya sewa,
bunga, dividen, royalti, dan jasa lainnya yang harus dipotong PPh Pasal 23 pada
SPT PPh Badan dengan jumlah Dasar Pengenaan Pajak SPT PPh Pasal 23,
apakah jumlahnya telah sama. Jika terdapat material yang bukan objek PPh
Pasal 23, perlu dilakukan pemisahan antara nilai jasa dan materialnya.

2.8 Kebijakan Perpajakan Lainnya untuk Penghematan PPh atas Transaksi


Tertentu
Perlakuan perpajakan PPh badan yang berkaitan dengan transaksi tertentu:
1. Revaluasi aktiva tetap
2. Utang/piutang kepada pemegang sahan
3. Bunga pinjaman
4. Pencadangan/penghapusan piutang tidak tertagih
5. Biaya pendirian perusahaan/biaya pra-operasi
6. Reimbursement
7. Pembukuan dalam valuta asing
8. Transaksi dalam valuta asing
9. Rekonsiliasi Fiskal

1. Penilaian Kembali (Revaluasi) Aktiva Tetap


Revaluasi aktiva tetap di tahun 2008 mengalami perubahan yang sangat berarti.
Peraturan perpajakan terbaru itu diatur dalam Peraturan Menkan
No.79/PMK.03/2008 tanggal 23 Mei 2008, yang mencabut Keputusan Menkeu
No. 486/KMK.03/2002 tanggal 28 November 2002 jo. KEP-519
PJ/2002 jo. SE-03/PJ.31/2002. Dalam ketentuan tersebut antara lain diatur:
1) Wajib pajak badan dalam negeri dan BUT (tidak termasuk perusahaan
yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa
Inggris dan mata uang dolar AS) dapat melakukan penilaian kembali
aktiva tetap perusahaan yang berada di Indonesia, dengan syarat telah
memenuhi semua kewajiban pajak sampai dengan masa pajak terakhir,
sebelum masa pajak diberlakukannya penilaian kembali dan mengajukan
permohonan ke Dirjen Pajak.
2) Aktiva tetap yang dinilai kembali adalah: (a). Seluruh aktiva tetap
berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna
bangunan; atau, (b). Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah,
yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki dan diergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan
Objek Pajak.
3) Penilaian kembali dilakukan oleh perusahaan penlia diakui pemerintah.
Apabila nilainya tidak mencerminkan nilai sebenarnya, maka Dirjen
Pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai waiar aktiva yang
bersangkutan. Dan Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun seiak tanggal laporan
perusahaan jasa penilai atau ahli penilai.
4) Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai
sisa buku fiskal semula, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebesar 10% (sepuluh persen).
5) Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan
untuk melunasi sekaligus pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat
final yang terutang dalam rangka penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan untuk tujuan perpajakan, dapat mengajukan permohonan
pembayaran secara angsuran paling lama untuk 12 (dua belas) bulan
kepada Kepala Kantor Wilayah DJP.
6) Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh
persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian
kembali.
b) Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi
masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut.
7) Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan.
8) Untuk bagian tahun pajak, sampai dengan bulan sebelum bulan
dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a) Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan
fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan.
b) Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal
pada awal tahun pajak yang bersangkutan.
9) Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.
10) Bagi wajib pajak badan yang telah mendapatkan persetujuan penilaan
kembali aktiva tetap, apabila menjual aktiva tetap yang telah direvaluasi
sebelum berakhirnya masa mantaat baru sejak dilakukan. nya penilaian
kembali: (a). Aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan 2 (dua) yang telah
memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa
manfaat yang baru; atau (b). Aktiva tetap kelompok 3 (tiga), 4 (empat),
bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian
kembali sebelum lewat jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, maka atas
selisih lebih penilaian kembali nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan
tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif
tertinggi PPh WP badan dalam negeri yang berlaku pada saat pernilaian
kembali dikurangi 10% (sepuluh persen).
11) Ketentuan sanksi di atas tidak berlaku untuk: (a). Pengalihan aktiva tetap
perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau
kebijakan pemerintah atau keputusan pengadilan; (b). Pengalihan aktiva
tetap perusahaan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau
pemekaran usaha yang mendapat persetujuan; atau (c). penarikan aktiva
tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat
yang tidak dapat diperbaiki lagi.
12) Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap dapat dikapitalisasi menjadi
modal saham, dan saham tersebut dapat dibagikan kepada pemegang
saham berupa saham bonus.
13) Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal
dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap yang dibagikan
kepada pemegang saham, bukan merupakan dividern, sehingga tidak
dikenakan Pajak Penghasilan (Pasal 1 PP. 138/2000).

2. Utang/Piutang Kepada Pemegang Saham


Pada dasarnya semua pinjaman yang diberikan oleh pemegang saham kepada
perusahaan akan terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar, kecuali untuk
pinjaman (tanpa bunga) dari pemegang saham yang diterima oleh wajib pajak
berbentuk perseroan terbatas diperkenankan bila dipenuhi syarat sebagai berikut:
a) Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri
dan bukan berasal dari pihak lain.
b) Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman
telah disetor seluruhnya.
c) Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
d) Perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan
keuangan untuk kelangsungan usahanya.

3. Bunga Pinjaman
Pada dasarnya bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya, sepanjang
pinaman tersebut digunakan oleh wajib pajak untuk kegiatan operasional
perusahaan.
Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 18 ayat 1 memberi wewenang
kepada Menteri Keuangan untuk memutukan besarnya perbandingan antara
utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan
penghitungan pajak. Dalam dunia usaha, terdapat tingkat perbandingan tertentu
yang wajar antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan
antara utang dan modal sangat besar, melebihi batas kewajaran, biasanya
perusahaan dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, dalam
penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang PPh menentukan
adanya modal terselubung. Pengertian "kewajaran atau kelaziman usaha" adalah
adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang
sehat dalam dunia usaha.

4. Pencadangan/Penghapusan Piutang Tak Tertagih


Berbeda dengan akuntansi komersil atau PSAK yang membolehkan setiap
perusahaan mencadangkan penghapusan piutang tak tertagih setiap tahunnya
untuk mengantisipasi kerugian piutang tidak tertagih atau kerugian lainnya
dengan menggunakan metode tertentu untuk dibukukan menjadi biaya dalam
perhitungan rugi labanya, dari segi fiskus, penyisihan atau pencadangan
pernghapusan piutang tak tertagih hanya diperbolehkan untuk jenis perusahaan
tertentu saja. Sesuai dengan ketentuan UU PPh 2008 Pasal 9 (1) huruf c, jenis
jasa yang diperkenankan menyisihkan cadangan diperluas.

Anda mungkin juga menyukai