Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER:
STROKE NON HEMORAGIK

DISUSUN OLEH:
ABDUSSALAM
NIM.201133001

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN KEPERAWATAN PONTIANAK
PRODI PROFESI NERS
TAHUN 2020/2021
VISI DAN MISI

PROGRAM STUDI NERS KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK

VISI
"Menjadi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Terapan Dan Profesi sebagai
Rujukan Nasional Berkualitas Global"

MISI
1. Menyelenggarakan Kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi Terapan dan
Profesi Kesehatan yang Berkualitas Global.
2. Menghasilakn Lulusan yang Berintelektualitas Tinggi, Berbudi Luhur dan
Mampu Bersaing Secara Global.
3. Mengembangkan Tata Kelola Perguruan Tinggi yang Mandiri Transparan
dan Akuntabel
4. Berperan Aktif dalam Kerjasama Pengembangan dan Peningkatan Sistem
Pendidikan Tinggi Kesehatan di Tingkat Global

i
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
SISTEM KARDIOVASKULER: STROKE NON HEMORAGIK

Telah Mendapatkan Persetujuan dari Pembimbing Klinik dan Dosen


Pembimbing Praktek Klinik Keperawatan Medikal Bedah

Pontianak, 29 Maret, 2021


Mahasiswa

Abdussalam
NIM. 201133001

Pontianak, ,2021
Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik/CI

Ns. Puspa Wardhani, M.kep Ns. Vonny Pratiwidilaga, S.Kep


NIP. 19711030619992032011

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas Kuasa-Nya
yang telah memberikan segala nikmat dan kesempatan sehingga penyusunan
Laporan Pendahuluan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Kardiovaskuler: Stroke Non Hemoragik” dapat terselesaikan.
Dalam penyusunan Laporan Pendahuluan ini penulis telah melibatkan bantuan
moril dan material dari banyak pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas ini.
Dengan terselesaikannya Laporan Pendahuluan ini, perkenankan pula
saya untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Didik Hariyadi, S.Gz M.Si., selaku Direktur Poltekkes Kemenkes
Pontianak.
2. Ibu Ns. Nurbani, M.Kep., selaku Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Pontianak.
3. Ibu Ns. Puspa Wardhani, M.Kep., selaku Ketua Prodi Profesi Ners Poltekkes
Kemenkes Pontianak.
4. Ibu Ns. Vonny Pratiwidilaga, S.Kep selaku pembimbing klinik.
5. Seluruh Dosen, Instruktur dan Staf Prodi Sarjana Terapan Keperawatan
Pontianak serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Pendahuluan ini
masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu kritik dan saran dari
pembaca sangat diperlukan demi kesempurnaan Laporan Pendahuluan ini.
Semoga Laporan Pendahuluan ini bagi pembaca khususnya Mahasiswa
Poltekkes Kemenkes Pontianak dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran
mahasiswa di Prodi Profesi Ners Poltekkes Kemenkes Pontianak.
Pontianak, 29 Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
VISI DAN MISI...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................................iv
DAFTAR TABEL..........................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................vii

BAB I KONSEP DASAR...............................................................................1


A. Konsep Dasar Dislokasi.......................................................................1
1. Definisi...........................................................................................1
2. Etiologi..........................................................................................2
3. Klasifikasi.....................................................................................2
4. Manifestasi Klinis.........................................................................2
5. Komplikasi....................................................................................3
6. Pemeriksaan Diagnostik..............................................................4
7. Penatalaksanaan Medis...............................................................5

BAB II WEB OF CAUSATION (WOC)........................................................5


A. Web Of Causation................................................................................5
B. Patofisiologi.......................................................................................10

BAB III PROSES KEPERAWATAN.........................................................11


A. Pengkajian..........................................................................................11
B. Diagnosa keperawatan.......................................................................13
C. Perencanaan keperawatan..................................................................14
D. Intervensi keperawatan......................................................................14
E. Aplikasi Pemikiran Kritis dalam Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah (Pengaruh Terapi Guided Imagery Terhadap Nyeri Pada Pasien
Post Operasi Fraktur)...............................................................................17

iv
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................21

v
DAFTAR TABEL

HalamanTabel 3.1 Perencanaan Keperawatan.....................................................14


Tabel 3.2 Intervensi Keperawatan............................................................. ……..14

DAFTAR GAMBAR

vi
HalamanGambar 2.1 Pathway Post Operasi Dislokasi..........................................9

vii
1

BAB I
KONSEP DASAR

A. Konsep Dasar Dislokasi


1. Definisi
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan
defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi
sirkulasi saraf otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik
untuk menjelaskan infark serebrum (Nurarif & Hardhi, 2015).
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan
di peredaran darah diotak yang menyebabkan terjadinya kematian
jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan
atau kematian (Fransisca, 2012).
Stroke adalah disfungsi neurologis akut yang disebabkan oleh
gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan
gejala sesuai dengan daerah fokal pada otak yang terganggu (WHO,
2012).
Stroke non hemoragik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan
jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga
mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak. Stroke
nonhemoragik dapat disebabkan oleh trombosis dan emboli, sekitar 80-
85% menderita penyakit stroke non-hemoragik dan 20% persen sisanya
adalah stroke hemoragik yang dapat disebabkan oleh pendarahan
intraserebrum hipertensi dan perdarahan subarachnoid (Wilson & Price,
2016).
Stroke non hemoragik adalah terjadinya sumbatan pada pembuluh
darah sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan
otak, trombosis otak, aterosklerosis, dan emboli serebral yang
merupakan penyumbatan pembuluh darah yang timbul akibat
pembentukkan plak sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah yang
dikarenakan oleh penyakit jantung, diabetes, obesitas, kolesterol,

1
2

merokok, stress, gaya hidup, rusak atau hancurnya neuron motorik atas
(upper motor neuron), dan hipertensi (Murtaqib, dalam Hartanti, 2020).

2. Etiologi
Stroke non hemoragik terjadi karena tersumbatnya pembuluh
darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan
terhenti. Hal ini disebabkan oleh aterosklerosis yaitu penumpukan
kolesterol pada dinding pembuluh darah atau bekuan darah yang telah
menyumbat suatu pembuluh darah ke otak (Pudiastuti, dalam
Sulistiyawati, 2020).
Stroke non hemoragik terjadi pada pembuluh darah yang
mengalami sumbatan sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah
pada jaringan otak, thrombosis otak, aterosklerosis dan emboli serebral
yang merupakan penyumbatan pembuluh darah yang timbul akibat
pembentukan plak sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah yang
dikarenakan oleh penyakit jantung, diabetes, obesitas, kolesterol,
merokok, stress, gaya hidup, rusak atau hancurnya neuron motorik atas
(upper motor neuron) dan hipertensi (Muttaqin, dalam Sulistiyawati,
2020).
Menurut Fransisca (2012), Stroke dapat disebabkan karena factor-
faktor berikut ini:
a. Penyumbatan pembuluh darah gumpalan darah (thrombus atau
embolus).
b. Robek atau pecahnya pembuluh darah.
c. Adanya penyakit-penyakit pada pembuluh darah.
d. Adanya gangguan susunan komponen darah
e. Kurangnya suplai oksigen yang menuju ke otak Faktor-faktor yang
menyebabkan stroke seperti usia, jenis kelamin, keturunan, dan
fakrot yang dapat diubah seperti hpertensi, penyakit jantung,
kolestrol tinggi, obesitas, diabetes mellitus, poliseternia, merokok
peminum alohol, obat-obatan terlarang, aktivitas yang kurang.

2
3

3. Klasifikasi
a. Stroke Haemorhagic (SH)
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan
subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada
daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas
atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran
pasien umumnya menurun.
b. Stroke Non Haemorhagic (SNH)
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi
hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang
menimbulkan hipoksia dan selanjutnyadapat timbul edema sekunder

4. Manifestasi Klinis
Jenis stroke yang berbeda bisa menyebabkan gejala yang sama
karena masing-masing mempengaruhi aliran darah diotak. Satu-satunya
cara untuk menentukan jenis stroke yang mungkin dihadapi adalah
dengan mendapatkan pertolongan medis seperti dilakukan CT-Scan
untuk membaca keadaan otak. National Stroke Association
merekomendasikan metode FAST untuk membantu mengindentifikasi
tanda dan gejala stroke
a. F (face/wajah) saat tersenyum, apakah satu sisi wajah turun kebawah
(senyum mencong) / ada rasa baal disekitar mulut?
b. A (Arms/lengan) bila mengakat kedua lengan, apakah satu lengan
terkulai lemas jatuh kebawah?
c. S (speech/bicara) apakah ucapan tidak jelas, suara
pelo/parau/cadel/sengau, apakah ada perubahan dari volume suara,
apakah sulit untuk bicara.
d. T (Time/waktu) jika mengalami gejala ini segera pergi kerumah
sakit terdekat, hal ini diperlukan agar dapat menerima perawatan
diunit stroke rumah sakit dalam waktu 3 jam sejak kedatangan.

3
4

Gejala tambahan yang tidak sesuai dengan deskripsi FAST


meliputi: kebingungan tiba-tiba, seperti kesulitan memahami apa yang
seseorang katakan, kesulitan berjalan, pusing tiba-tiba, atau kehilangan
keseimbangan, sakit kepala mendadak dan parah yang tidak diketahui
penyebabnya, mual dan muntah, kesulitan melihat dari salah satu atau
kedua mata, pengihatan kabur, ganda atau kehilangan penglihatan,
kesadaran menurun/ hilag kesadaran, sakit saat menggerakan mata,
kelemahan yang mungkin memepengaruhi salah satu anggota gerak,
setengah bagian dari tubuh, atau keempat anggota gerak (lengan dan
kaki).

5. Komplikasi
Menurut Satyanegara (2011) komplikasi berdasarkan waktu
terjadinya stroke sebagai berikut:
a. Dini (0-48 jam pertama)
Dapat menyebabkan Edema Serebri. Defisit neurologis cenderung
memberat, dapat mengakibatkan peningkatan TIK, herniasi dan
akhirnya menimbulkan kematian. Infark miokard adalah penyebab
kematian mendadak pada stroke stadium awal.
b. Jangka Pendek (1-14)
Pneumonia akibat mobilisasi lama, Infark miokard, Emboli paru,
cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, sering kali terjadi pada saat
penderita mulai mobilisasi, Stroke rekuren : dapat terjadi setiap saat
c. Jangka panjang (>14hari)
Stroke rekuren, Infark Miokard, Gangguan Vaskuler lain: penyakit
vaskuler perifer

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Fransisca (2013), pemeriksaan yang dapat dilakukan pada
pasien stroke sebagai berikut:

4
5

a. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara


spesifik misalnya pertahankan atau sumbatan arteri.
b. Scan tomografi komputer (computer tomography scan-CT).
Mengetahui adanya tekanan normal dan adanya trombosis, emboli
serebral, dan tekanan intrakranial (TIK). Peningkatan TIK dan cairan
yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan
subarakhnoid dan perdarahan intrakranial. Kadar protein total
meningkat, beberapa kasus trombosis disertai proses inflamasi.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Menunjukan daerah infark, pendarahan, malformasi arteriovenosa
(AVM)
d. Ultrasonografi doppler
USG doppler mengidentifikasi penyakit arteriovera (masalah sistem
arteri karotis [aliran darah atau timbulnya plak]) dan arteriosklerosis.
e. Elektroensefalogram
Electroencephalogram mengindentifikasi masalah pada gelombang
otak dan memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
f. Sinar tengkorak menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal
daerah yang berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis
interna terdapat pada trombosis serebral kalsifikasi parsial dinding
aneurisma pada pendarahan subarakhnoid.

7. Penatalaksanaan Medis
a. Non pembedahan
1) Terapi antikoagulan Kontra indikasi pemberian terapi
antikoagulan pada klien dengan riwayat ulkus, eremia dan
kegagalan hepar. Sodium heparin diberikan secara subkutan atau
melalui IV drip.
2) Phenytonin (Dilantin) dapat digunakan untuk mencegah kejang.
3) Enteris-coated, misalnya aspirin dapat digunakan untuk lebih
dulu menghancurkan trombotik dan embolik.

5
6

4) Epsilon-aminocaproic acid (Amicar) dapat digunakan untuk


menstabilkan bekuan diatas anuarisma yang ruptur.
5) Calcium channel blocker (Nimodipine) dapat diberikan untuk
mengatasi vasospasme pembuluh darah.
b. Pembedahan
1) Karotid endarteretomi untuk mengangkat plaque atherosclerosis
2) Superior temporal arteri-middle serebra arteri anatomisis dengan
melalui daerah yang tersumbat dan menetapkan kembali aliran
darah pada daerah yang dipengaruhi.

6
BAB II
WEB OF CAUSATION (WOC)
A. Web Of Causation

Gambar 2.1 Pathway Stroke Non Hemoragik


Sumber: Modifikasi dari aplikasi diagnosa keperawatan Nanda NIC NOC, 2015

9
B. Patofisiologi
Setiap kondisi yang meyebabkan perubahan perfusi darah pada otak
yang menyebabkan keadaan hipoksia. Hipoksia yang berlangsung lama dapat
menyebakan iskemik otak. Iskemik yang terjadi dalam waktu yang singkat
kurang dari 10-15 menit dapat menyebabkan defisit sementara dan bukan
defisit permanen. Sedangkan iskemik yang terjadi dalam waktu lama dapat
menyebabkan sel mati permanen dan mengakibatkan infark pada otak.
Setiap defisit fokal permanen akan bergantung pada daerah otak mana
yang terkena. Daerah otak yang terkena akan menggambarkan pembuluh
darah otak yang terkena. Pembuluh darah yang paling sering mengalami
iskemik adalah arteri serebral tengah dan arteri karotis interna. Defisit fokal
permanen dapat diketahui jika klien pertama kali mengalami iskemik otak
total yang dapat teratasi.
Jika aliran darah ke tiap bagian otak terhambat karena trombus atau
emboli, maka mulai terjadi kekurangan suplai oksigen ke jaringan otak.
Kekurangan okigen dalam satu menit dapat menunjukan gejala yang dapat
pulih seperti kehilangan kesadaran. Sedangkan kekurangan oksigen dalam
waktu yang lebih lama menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron.
Area yang mengalami nekrosis disebut infark.
Gangguan peredaran darah otak akan menimbulkan gangguan pada
metabolisme sel-sel neuron, dimana sel-sel neuron tidak mampu menyimpan
glikogen sehingga kebutuhan metabolisme tergantung dari glukosa dan
oksigen yang terdapat pada arteri-arteri menuju otak. Perdarahan intrakranial
termasuk perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau ke dalam jaringan otak
sendiri. Hipertensi mengakibatkan timbulnya penebalan dan degeneratif
pembuluh darah yang menyebabkan rupturnya arteri serebral sehingga
perdarahan menyebar dengan cepat dan menimbulkan perubahan setempat
serta iritasi pada pembuluh darah otak. Perdarahan biasanya berhenti karena
pembentukan trombus oleh fibrin trombosit dan oleh tekanan jaringan.
Setelah 3 minggu, darah mulai direabsorbsi.

12
13

Ruptur ulangan merupakan resiko serius yang terjadi sekitar 7-10 hari
setelah perdarahan pertama. Ruptur ulangan mengakibatkan terhentinya aliran
darah kebagian tertentu, menimbulkan gegar otak dan kehilagan kesadaran,
peningkatan tekanan cairan serebrospinal (CSS), dan menyebabkan gesekan
otak (otak terbelah sepanjang serabut). Perdarahan mengisi ventrikel atau
hematoma yang merusak jaringan otak. Perubahan sirkulasi CSS, obstruksi
vena, adanya edema dapat meningkatkan tekanan intrakranial yang
membahayakan jiwa dengan cepat. Peningkatan tekanan intrakranial yang
tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebellum. Disamping itu,
terjadi bradikardia, hipertensi sistemik, dan gangguan pernafasan. Darah
merupakan bagian yang merusak dan bila terjadi hemodialisa, darah dapat
mengiritasi pembuluh darah, menigen, dan otak. Darah dan vasoaktif yang
dilepas mendorong spasme arteri yang berakibat menurunnya perfusi serebral.
Spasme serebri atau vasospasme biasa terjadi pada hari ke-4 sampai ke-10
setelah terjadinya perdarahan dan menyebabkan vasokonstriksi arteri otak.
Vasospasme merupakan kompikasi yang mengakibatkan terjadinya penurunan
fokal neurologis, iskmik otak dan infark (Fransisca B. Batticaca, 2008).
14

BAB III
PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata
Meliputi: Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
diagnosa medis, no register dan tanggal MRS.
2. Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak,
pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala,
mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan
separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan
atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam
intracranial.Keluahan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit dapat terjadi letargi, tidak responsive dan koma.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang
lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif dan kegemukan. Pengkajian obat-obatan yang sering digunakan
klien seperti pemakaian obat anti hipertensi, anti lipidemia, penghambat
beta dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alcohol dan
penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan
data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
15

Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes


mellitus atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6. Pengkajian psikososiospiritual Pengkajian psikologis klien stroke meliputi
beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif dan perilaku klien.
Dalam pola tata nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan
ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak stabil dan
kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh Perawat juga
memasukkan pengkajian tehadap fungsi neurologis dengan dampak
gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah:
keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya
dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu
7. Pengkajian Aktivitas Istirahat
Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia). Merasa mudah lelah, susah
untuk beristirahat (nyeri/ kejang otot). Tanda: gangguan tonus otot
(flaksid, spastis); paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan umum.
Gangguan penglihatan dan gangguan tingkat kesadaran.
8. Pengkajian Sirkulasi
Gejala: adanya penyakit jantung (MCI/Myocard Infarct, penyakit jantung
vaskuler), GJK (Gagal Jantung Kongestif), endokarditis bakterial,
polisitemia, riwayat hipotensi postural. Tanda: hipertensi arterial
sehubungan dengan adanya embolisme/ malformasi vaskuler. Nadi:
frekuensi dapat bervariasi (karena ketidakstabilan fungsi jantung/kondisi
jantung, obat-obatan, efek stroke pada pusat vasomotor), distritmia,
perubahan EKG, desiran pada karotis, femoralis dan arteri iliaka/aorta
yang abnormal.
16

9. Integritas Ego
Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa.
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan
gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
10. Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urine, anuria.
Distensi abdomen (distensi kandung kemih berlebihan), bising usus
negatif (ileus paralitik)
11. Makanan/cairan
Gejala: nafsu makan hilang, mual munta selama fase akut (peningkatan
TIK), kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, dan tenggorokkan,
disfagia, adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.
Tanda: esulitan menelan (gangguan pada reflek palatum dan faringeal),
obesitas (faktor risiko).
12. Neurosensori
Pemeriksaan 12 Saraf kranial:
a. Saraf Olfaktorius (N. I)
Fungsi: saraf sensorik, untuk penciuman
Cara pemeriksaan: anjurkan klien menutup mata dan uji satu persatuan
hidung klien kemudian anjurkan klien untuk mengidentifikasi
perbedaan bau-bauan yang diberikan. (seperti teh atau kopi).
b. Saraf Optikus (N. II)
Fungsi: saraf sensorik, untuk penglihatan.
Cara pemeriksaan: dengan snellen cart pada jarak 5-6 meter dan
pemeriksaan luas pandang dengan cara menjalankan sebuah benda
dari samping ke depan (kanan dan kiri, atas kebawah).
c. Saraf Okulomotorius (N. III)
Fungsi: saraf motorik, untuk mengangkat kelopak mata dan kontraksi
pupil.
17

Cara pemeriksaan: anjurkan klien menggerakkan mata dari dalam


keluar, dan dengan menggunakan lampu senter uji reaksi pupil dengan
memberikan rangsangan sinar kedalamnya.
d. Saraf troklearis (N. IV)
Fungsi: saraf motorik, untuk pergerakan bola mata.
Cara pemeriksaan: anjurkan klien melihat kebawah dan kesamping
kanan-kiri dengan menggerakkan tangan pemeriksa.
e. Saraf Trigeminalis (N. V)
Fungsi: saraf motorik, gerakan mengunyah, sensasi wajah, lidah dan
gigi, reflek kornea dan reflek berkedip.
Cara pemeriksaan : Dengan menggunakan kapas halus sentuhan pada
kornea klien perhatikan reflek berkedip klien, dengan kapas sentuhkan
pada wajah klien, uji kepekan lidah dan gigi, anjurkan klien untuk
menggerakkan rahang atau menggigit.
f. Saraf Abdusen (N. VI)
Fungsi: saraf motorik, pergerakan bola mata kesamping melalui otot
lateralis.
Cara pemeriksaan: anjurkan klien melirik kanan dan kiri.
g. Saraf Fasialis (N. VII)
Fungsi: saraf motorik, untuk ekspresi wajah.
Cara pemeriksaan: dengan cara menganjurkan klien tersenyum,
mengangkat alis, mengerutkan dahi, uji rasa dengan menganjurkan
klien menutup mata kemudian tempatkan garam/gula pada ujung lidah
dan anjurkan mengidentifikasi rasa tersebut.
h. Saraf Vestibulokoklear (N. VIII)
Fungsi: saraf sensorik, untuk pendengaran dan keseimbangan.
Cara pemeriksaan: tes rine weber dan bisikan, tes keseimbangan
dengan klien berdiri menutup mata.
i. Saraf Glosofaringeus (N. IX)
18

Fungsi: saraf sensorik dan motorik, untuk sensasi rasa. Cara


pemeriksaan: dengan cara membedakan rasa manis dan asam dengan
menggembungkan mulut.
j. Saraf Vagus (N. X)
Fungsi: saraf sensorik dan motorik, reflek muntah dan menelan.
Cara pemeriksaan: dengan menyentuh faring posterior, klien menelan
saliva disuruh mengucapkan kata ah.
k. Saraf Asesorius (N. XI)
Fungsi: saraf motorik, untuk menggerakan bahu.
Cara pemeriksaan: anjurkan klien untuk menggerakan bahu dan
lakukan tahanan sambil klien melawan tahanan tersebut.
l. Saraf Hipoglosus (N. XII)
Fungsi: saraf motorik, untuk menggerakan lidah. Cara pemeriksaan:
dengan cara klien disuruh menjulurkan lidah dan menggerakan dari
sisi ke sisi

B. Diagnosa keperawatan
1. D.0017 Pola Nafas Tidak Efektif
2. D.0054 Gangguan mobilitas fisik
3. D.0017 Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
4. Defisit Nutrisi

C. Perencanaan keperawatan
Tabel 3.1 Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Luaran
SLKI
1. D.0077 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan
berhubungan dengan diharapkan tingkat nyeri menurun dan kontrol
agen pendera fisik nyeri meningkat dengan kriteria hasil:
(prosedur operasi) 1. Tidak mengeluh nyeri
2. Tidak meringis
3. Tidak bersikap protektif
4. Tidak gelisah
5. Tidak mengalami kesulitan tidur
6. Frekuensi nadi membaik
19

7. Tekanan darah membaik


8. Melaporkan nyeri terkontrol
9. Kemampuan mengenali onset nyeri
meningkat
10. Kemampuan mengenali penyebab nyeri
meningkat
11. Kemampuan menggunakan teknik non-
farmakologis

2. 0054 Gangguan Setelah dilakukan asuhan keperawatan maka


mobilitas fisik diharapkan gangguan mobilitas fisik teratasi
berhubungan dengan dengan kriteria hasil:
nyeri, pembengkakan, 1. Nyeri menurun
prosedur bedah, 2. Kecemasan menurun
immobilisasi 3. Gerakan terbatas menurun
4. Kelemahan fisik menurun

3. D.0129 Gangguan Setelah dilakukan intervensi maka integritas


integritas kulit kulit dan jaringan meningkat dengan kriteria
berhubungan dengan hasil:
luka Post Operasi 1. Elasitas meningkat
2. Kerusakan jaringan menurun
3. Perdarahan menurun
4. Kerusakan lapisan menurun
5. Sensasi membaik
6. Tekstur membaik.

D. Intervensi keperawatan
Tabel 3.2 Intervensi Keperawatan
Intervensi
Diagnosa Keperawatan
SIKI
Menejemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
(I. 06198)
Observasi
1. Identifikasi penyebab peningkatan
TIK (mis. Lesi, gangguan metabolisme, edema
serebral)
2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis.
Tekanan darah meningkat, tekanan nadi
melebar, bradikardia, pola napas ireguler,
kesadaran menurun)
3. Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
4. Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika
perlu
5. Monitor PAWP, jika perlu
6. Monitor PAP, jika perlu
7. Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika
tersedia
20

8. Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)


9. Monitor gelombang ICP
10.Monitor status pernapasan
11.Monitor intake dan output cairan
12.Monitor cairan serebro-spinalis (mis. Warna,
konsistensi)
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari maneuver Valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEEP
6. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
7. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
8. Pertahankan suhu tubuh normal

Edukasi
1. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
Dukungan Nyeri Akut:
Manajemen Nyeri
Observasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respons nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(mis. suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
21

pemilihan strategi meredakan nyeri


Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetic

0054 Gangguan Dukungan Ambulasi


mobilitas fisik Observasi
berhubungan dengan 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
nyeri, pembengkakan, lainnya.
prosedur bedah, 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi.
immobilisasi 3. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi.
4. Anjurkan melakukan ambulasi dini.
5. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. Berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar
mandi, berjalan sesuai toleransi).
Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas ambilasi dengan alat bantu
(mis. tongkat, kruk)
2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi.
Edukasi
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
2. Sediakan materi, media dan alat bantu jalan
(mis.tongkat, walker, kruk)
3. Jelaskan prosedur dan tujuan ambulasi tanpa alat
bantu.
4. Ajarkan berdiri dan ambulasi dalam jarak
tertentu.

D.0129 Gangguan Perawatan integritas kulit


integritas kulit Observasi
berhubungan dengan 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
luka Post Operasi Edukasi
2. Anjurkan minum air yang cukup
3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
4. Perawatan luka
Observasi
1. Monitor karakteristik luka (warna, ukuran, bau)
2. Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
1. Pertahankan teknik steril saat melakukan
22

perawatan luka
2. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotik

E. Aplikasi Pemikiran Kritis dalam Asuhan Keperawatan Medikal Bedah


(Pengaruh Terapi Guided Imagery Terhadap Nyeri Pada Pasien Post
Operasi Fraktur)

1. Definisi
Guided imagery adalah metode relaksasi untuk menghayalkan
tempat dan kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi yang
menyenangkan. Khayalan tersebut memungkinkan klien memasuki
keadaan atau pengalaman relaksasi. Guided imagery menggunakan
imajinasi seseorang dalam suatu yang dirancang secara khusus untuk
mencapai efek positif tertentu. Imajinasi bersifat individu dimana individu
menciptakan gambaran mental dirinya sendiri, atau bersifat terbimbing
(Astuti, 2018).
Guided imagery adalah program mengarahkan pikiran dengan
memandu imajinasi seseorang terhadap situasi santai, fokus pada kondisi
untuk mengurangi stres dan meningkatkan kenyamanan dan suasana hati
(Gail W. Stuart, 2016).

2. Etiologi
Guided imagery atau imajinasi terbimbing merupakan penciptaan
khayalan pasien dengan tuntunan dari pemberian pelayanan keperawatan
untuk mendorong pasien memvisualisasikan atau memikirkan
pemandangan atau situasi yang disenangi pasien. Tehnik guided imagery
(imajinasi terbimbing) dapat membantu pasien menstimulasi produksi
endorfin dalam sistem descending control. Sistem descending control
adalah suatu sistem serabut yang berasal dari otak bagian bawah dan
bagian tengah (terutama perlaqueductal gray matter) dan berakhir pada
23

serabut interneuronal inhibitor dalam kornu dorsalis dari medula spinalis.


Endorfin merupakan zat kimiawi endogen yang berstruktur serupa dengan
opiat atau narkotik yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi
nyeri (Astuti, 2018).
Endorfin dapat memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri di
dalam otak dan medulla spinalis melalui gerbang penghambat (Ulya &
Jamaludin, 2017). Kadar endorfin berbeda pada setiap orang, hal ini
menjelaskan mengapa rasa nyeri berbeda tiap individu. Individu dengan
kadar endorfin tinggi akan merasakan nyeri lebih ringan (Lusianah dkk,
2012). Sistem saraf pusat memproduksi endorfin, zat yang terjadi secara
alamiah yang meredakan nyeri. Endorfin dilepaskan setelah melakukan
olahraga dan bentuk stimulasi fisik lain. Sayangnya, endorfin menghilang
dengan cepat. Beberapa pihak percaya bahwa aktivitas selain olahraga,
seperti tertawa, juga meningkatkan produksi endorfin. Ahli teori yakin
bahwa asupan zat kimia dan makanan tertentu, termasuk kafein, nikotin,
alcohol, garam dan gula, menurunkan produksi endorfin (Rosdahl dan
Kowalski, 2017 dalam Widiarti dkk, 2012).
Guided imagery merupakan imajinasi yang dirancang secara khusus
untuk mencapai efek positif. Dengan membayangkan hal-hal yang
menyenangkan maka akan terjadi perubahan aktifitas motorik sehingga
otot-otot yang tegang menjadi relaks, respon terhadap bayangan menjadi
semakin jelas. Hal tersebut terjadi karena rangsangan imajinasi berupa
hal-hal yang menyenangkan akan dijalankan ke batang otak menuju
sensor thalamus untuk diformat. Sebagian kecil rangsangan itu
ditransmisikan ke amigdala dan hipokampus, sebagian lagi dikirim ke
korteks serebri. Sehingga pada korteks serebri akan terjadi asosiasi
pengindraan. Pada hipokampus hal-hal yang menyenangkan akan diproses
menjadi sebuah memori. Ketika terdapat rangsangan berupa imajinasi
yang menyenangkan memori yang tersimpan akan muncul kembali dan
menimbulkan suatu persepsi. Dari hipokampus rangsangan yang telah
mempunyai makna dikirim ke amigdala yang akan membentuk pola
24

respon yang sesuai dengan makna rangsangan yang diterima. Sehingga


subjek akan lebih mudah untuk mengasosiasikan dirinya dalam
menurunkan sensasi nyeri yang dialami (Novarenta, 2013).

3. Dampak Terapi Guided Imagery


Teknik guided imagery dapat mengurangi kecemasan, stress dan
nyeri dengan menggunakan imajinasi seseorang yang melibatkan alat
indera visual, sentuhan, pendengaran, pengecap dan penciuman, dengan
tujuan pasien menjadi lebih tenang dan rileks. Selama latihan relaksasi
seseorang dipandu untuk rileks dengan situasi yang tenang dan sunyi. Hal
itu karena teknik imajinasi terbimbing dapat mengaktivasi sistem saraf
parasimpatis (Potter & Perry, 2006). Melalui guided imagery pasien akan
terbantu untuk mengalihkan perhatian dari nyeri yang dirasakan dengan
membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Hal ini sehingga secara
bertahap dapat menurunkan persepsi klien terhadap nyeri yang dirasakan
(Astuti, 2018).

4. Kelebihan dari Terapi Guided Imagery


Kelebihan guided imagery terbukti dapat mempengaruhi nyeri lebih
cepat dibandingkan dengan hanya diberikan analgesik. Penurunan nyeri
ini dapat membantu efek penyembuhan kondisi umum. Efek samping dari
penggunaan analgesik juga dapat dikurangi karena terdapat pengaruh
antara terapi guided imagery pada pasien post operasi fraktur sehingga
direkomendasikan untuk penurunan dosis konsumsi analgesik (Astuti,
2018).
25

REFERENSI

Astuti, N. D., & Respati, C. A. (2018). Pengaruh Terapi Guided Imagery


Terhadap Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur Di Ruang Bougenvil
RSUD Dr. R. Koesma Tuban. Jurnal Midpro, 10(2), 52-63.
Gail W. Stuart, B. A. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa
Stuart. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Novarenta, A. (2013). Guided Imagery untuk Mengurangi Rasa Nyeri saat
Menstruasi. Jurnal kesehatan, 01(02): 187
Rosdahl,C., B., Kowalski, M., T. (2017). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Ulya Khikmatul Nur & Jamaludin. (2017). Pengaruh Terapi Guided Imagery Dan
Iringan Musik Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Dengan Post
Apendiktomi Hari 1 Di Ruang Cempaka RSUD Sunan Kalijaga Demak.
jurnal.akperkridahusada.ac.id.
26

DAFTAR PUSTAKA

A.Mark Thomas. 2011. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur. Jakarta: EGC


Asikin.M,dkk. 2016. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta: Erlangga
Kneale, J., & Davis, P. (2011). Keperawatan ortopedik dan trauma. Jakarta.
EGC.
Melti Suriya, S. Kep, Ners, M. Kep, Zuriati, S. Kep, Ners, M. K. (2019).
ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL APLIKASI NANDA NIC & NOC. Pustaka Galeri
Mandiri.
Mutaqin Arif .2013. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi Pada Praktik
Klinik Keperawatan. Jakarta: EGC
NANDA, N. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
Nanda Nic Noc
Noor Zairin. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
Medika
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2014). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit (edisi 6 volume 2). Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T. O. H., & Rudiman, R.
(2011). Buku ajar ilmu bedah sjamsuhidajat-de jong. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC, 706-22.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. 8th. Jakarta:
EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan.
Tim Pokja SLKI PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.Jakarta
Selatan.
Wahid Abdul. 2013. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : Trans Info Media
27

Anda mungkin juga menyukai