Anda di halaman 1dari 15

PENGEMBANGAN MEDIA BERBASIS IT

(Keterampilan Membaca; Karya Sastra Drama)

Dosen Pengampu: Dr. Kundharu Saddhono, S.S, M. Hum

Disusun Oleh:
Rahayu Prasetyowati
K1217062
Pendidikan Bahasa Indonesia/B

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA 2017


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
PENGEMBANGAN MEDIA BERBASIS IT
(Keterampilan Membaca; Karya Sastra Drama)

1. Pengertian Drama
Drama merupakan salah satu dari bentuk karya sastra yang menggambarkan atau
mengilustrasikan kehidupan dengan menyampaikan konflik dengan melalui dialog.
Kennedy (dalam Gani, 1988:262) menyebut kata drama berasal dari kata Yu-nani;
dran, artinya melakukan sesuatu. Dari akar kata Yunani ini dapat dihimpun beberapa
definisi, antara lain: “komposisi literer yang menyampaikan sebuah cerita, umumnya
mengenai konflik kemanusiaan, dengan menggunakan dialog dan gerak se-bagai alat,
untuk dipertunjukkan oleh para aktor di atas pentas”.
Drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus
melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku (Hasanuddin, 1996:2).
Sebagaimana Kamus Webster’s News Dictionary se-bagaimana yang dikutip
Rahmanto (dalam Mardianto, 2012:152) dijumpai kata “dra-ma”. Drama diartikan
sebagai a literary composition that tell a story, usually of hu-man conflict, by means
of dialogue and ac-tion, to be performed bay actor atau ‘suatu karangan yang
mengisahkan suatu cerita yang mengandung konflik yang disajikan dalam bentuk
dialog atau laga, dan diper-tunjukkan oleh para aktor di atas pentas’.
Drama adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan
mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog (Gemtou, 2014). Drama
seperti sebuah gambaran kehidupan masyarakat yang diceritakan lewat pertunjukan.
Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak, drama adalah menyaksikan
kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung (Hasanuddin, 1996:2).
Thompson (2010:9) menyampaikan bahwa drama dan teater tidak dibedakan dalam
praktik, namun secara teoritis dan sejarah, keduanya harus dibedakan. Dra-ma
dipentaskan di sebuah teater sehingga teater merupakan bagian yang dibutuhkan oleh
drama. Drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus
melahirkan kehendak manusia denga action dan perilaku. Lain halnya dengan drama,
drama diciptakan untuk dipentaskan dan dinik-mati secara bersama-sama (Dewojati,
2012:16).
2. Jenis-Jenis Drama
Istilah drama ada dua macam, yaitu drama naskah dan drama pentas. Drama naskah
adalah salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa. Sedangkan
drama pentas adalah adalah jenis kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara
berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis, seni kostum, seni rias,
dan sebagainya (Waluyo, 2002 dalam Saddhono dkk, 2016)). Ada yang berpendapat
lain, yaitu jenis-jenis drama antara lain drama ajaran, drama baca, drama pentas,
drama busana, drama masa, drama duka, drama ria, drama dukaria, drama riadi,
drama riang, drama riantik, drama romantik, drama santun, drama sebabak, drama
wiraan, drama puitik, drama liris, drama simbolis, drama monolog, drama rakyat,
drama tradisional, drama modern, drama absurd, drama problema, drama sejarah,
drama liturgi, dan dramaturgi (Satoto, 2012).
Ada beberapa jenis drama tergantung dari dasar yang dipakainya. Menurut
Putra (2012:13-24) ada beberapa jenis drama yang dikenal yaitu jenis drama
berdasarkan penyajian lakon tragedi, sarana pertunjukkan dan ada tidaknya naskah.
Tragedi atau duka merupakan drama yang menceritakan kisah yang penuh dengan
kesedihan. Tragedi juga disebut drama duka. Pelaku utama dalam drama tragedi
dari awal sampai akhir pertunjukkan selalu menemui kegagalan dalam
memperjuangkan nasibnya. Drama tragedi diakhiri dengan kedukaan yang
mendalam atas apa yang menimpa pelakunya (sad ending) misalnya Komedi,
Tradekomedi, Melodrama, Farce (Dagelan), Opera, Tablo, Sendratari. Komedi
disebut juga drama sukacita. Komedi merupakan drama ringan yang sifatnya
menghibur. Dalam cerita komedi terdapat dialog kocak yang sifatnya menyindir
dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan (happy ending). Tragekomedi
merupakan perpaduan antara drama tragedi dan komedi. Isi drama tragekomedi
penuh dengan kesedihan, tetapi juga mengandung hal-hal yang menggelikan dan
menimbulkan tawa. Melodrama merupakan drama yang menampilkan lakon tokoh
sentimentil, mendebarkan hati, dan mengharukan. Cerita-cerita dalam melodrama
terkesan berlebihan sehingga kurang meyakinkan penonton. Dagelan merupakan
jenis drama yang memiliki lakon lucu. Dagelan bersifat entertain sehingga tujuan
utamanya yaitu menghibur. Opera adalah drama yang dialognya berupa nyanyian
dengan iringan musik. Lagu yang dinyanyikan antara pemain satu dan pemain lain
berbeda. Opera lebih mementingkan nyanyian dan musiknya daripada lakonnya.
Tablo merupakan jenis drama yang mengutamakan gerak jalan cerita dapat
dimengerti melalui gerakan-gerakan yang dilakukan para tokoh. Sendratari adalah
gabungan antara seni drama dan seni tari. Rangkaian cerita dan adegannya
diwujudkan dengan gerakan dalam bentuk tarian yang diiringi musik.
Jenis drama berdasarkan Sarana Pertunjukkan meliputi; Drama Panggung,
Drama Radio. Drama Televisi, Drama Film dan Wayang. Drama panggung
dimainkan oleh para pemain di panggung pertunjukkan. Penonton berada di sekitar
panggung dan dapat menikmati drama secara langsung. Drama radio merupakan
jeis drama yang disiarkan di radio. Berbeda dengan drama panggung yang dapat di
tonton saat dimainkan, drama radio tidak dapat ditonton. Drama Televisi bersifat
visual dan auditif. Drama televisi dapat ditayangkan secara langsung atau direkam
dahulu. Drama film hampir sama dengan drama televisi. Jika drama televisi
ditampilkan di layar kaca, drama film ditampilkan menggunakan layar lebar dan
biasanya dipertunjukkan di bioskop. Wayang, ciri khas tontonan drama adanya
cerita dan dialog. Oleh karena itu, banyak anggapan yang menyatakan semua
bentuk yang menggunakan cerita disebut drama. Berdasarkan ada tidaknya naskah
yaitu drama tradisional atau drama tanpa naskah dan drama modern atau drama
lengkap menggunakan naskah (Satrianingsih, 2016 dalam Saddhono dkk, 2018)).
Drama Tradisional adalah drama yang berkembang pada zaman dahulu dan masih
terpengaruh kuat dengan alat. Drama tradisional sering ditampilkan dengan lakon
tanpa naskah. Drama Modern, sering berkembangnya zaman, kesenian drama
semakin berkembang sehingga muncul berbagai jenis drama modern. Drama
modern mampu mengalahkan keberadaan drama tradisional karena struktur dan
unsur drama modern lebih lengkap.

3. Unsur Drama
Di dalam drama juga memiliki unsur yang harus dipenuhi, supaya drama dapat
berjalan dengan baik. Karya sastra juga memiliki beberapa struktur yang bersistem,
berkaitan, dan saling menentukan satu sama lain (Eryanti, Rahman, dan Permana,
2015). Unsur-unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam atau karya itu sendiri
(Weisberg dan Goodstein, 2009), sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang
membangun karya sastra dari luar (Kemal, 2013). Drama dikelompokkan sebagai
karya sastra karena menggunakan media bahasa (Tsai, Chang, dan Huang, 2016).
Sebagai salah satu genre sastra, drama dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik drama, meliputi: 1) tokoh, peran, dan karakter; 2) motif, peristiwa,
konflik, dan alur; 3) latar dan ruang; 4) penggunaan bahasa; 5) tema dan amanat
(Hasanuddin W.S., 1996). Tokoh merujuk pada orang atau pelaku cerita, sedangkan
watak dan karakter merujuk pada sifat dan sikap para tokoh dan lebih merujuk pada
kualitas pribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 1994:165). Konflik adalah sesuatu
dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan
menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan.
Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diharapkan (Fitriana, 2013). Gaya bahasa adalah tingkah laku pengarang dalam
menggunakan bahasa (Tappe dan Hara, 2013). Tema adalah suatu gagasan sentral
atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang dengan
topiknya tadi (Semi, 1988). Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai
kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro,
1995).

4. Ciri-Ciri Drama
Drama mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan karya sastra lain yaitu di
antaranya; harus ada konfliks, harus ada aksi, harus dilakonkan, tempo masa kurang
daripada 3 jam dan tiada ulangan dalam satu masa. Berbicara mengenai drama,
Hasanudin (1996:7) mengatakan “Drama mempunyai ciri khusus, yaitu berdimensi
sastra pada satu sisi dan berdimensi pertunjukan pada sisi yang lain”. Namun, di
dalam penelitian ini, peneliti hanya membatasi drama sebagai dimensi karya sastra.
Dengan begitu, penelliti akan meneliti drama sebagai dimensi karya sastra. Peneliti
akan melakukan pemisahan drama sebagai dimensi karya sastra dan drama sebagai
dimensi seni pertunjukkan (teater). Hal ini dilakukan, sebab unsur-unsur yang
membangun drama berbeda antara dimensi karya sastra dengan dimensi seni
pertunjukan (teater). Drama akan dikaji secara tekstual (bersifat otonom atau
objektif), kembali kepada teks karya sastra itu sendiri.
5. Struktur Drama
Drama dibangun dari Struktur fisik maupun struktur batin yang mana keduanya sama-
sama membangun sebuah drama. Dalam kaitannya sebagai struktur yang membangun
teks drama, Hasanudin (1996:76) memilah-milah menjadi lima bagian, yakni: 1)
Tokoh, peran, dan karakter; 2) Motif, konflik, peristiwa, dan alur; 3) Latar dan ruang;
4) Penggarapan bahasa; dan 5) Tema (premisse) dan amanat. Waluyo (2002:6)
mengungkapkan bahwa sebagai salah satu genre sastra, drama naskah dibangun oleh
struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (se-mantik, makna). Selanjutnya
Waluyo menjelaskan bahwa bagian-bagian itu meli-puti plot atau kerangka cerita,
penokohan dan perwatakan, dialog, setting/landasan/tempat kejadian, tema/nada dasar
cerita, amanat/pesan pengarang, dan petunjuk teknis (2002: 8-30). Secara singkat,
struktur drama tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Plot atau Kerangka Cerita


Plot adalah alur atau jalan cerita. Plot merupakan jalinan cerita atau ke-rangka
dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang
berlawanan (Waluyo, 2002: 8). Gustaf Freytag memberikan unsur-unsur plot lebih
lengkap meliputi hal-hal berikut ini: (1) exposition atau pelukisan awal, yakni
pengenalan tokoh; (2) komplikasi atau pertikaian awal; (3) klimaks atau titik puncak
cerita; (4) resolusi atau penyelesaian atau falling action; (5) catas-trophe atau
denounment atau keputusan (Waluyo, 2002: 8-11). Namun, urutan ini tidak menutup
kemungkinan berubah yang akan berimbas pada jenis pengaluran.

2. Penokohan dan Perwatakan


Penokohan mempunyai hubungan erat dengan perwatakan. Penokohan dan
perwatakan adalah dua hal yang sangat penting dalam sebuah drama. Penokohan dan
perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat karena kedua unsur terse-but
berada pada objek yang sama, yaitu tokoh atau suatu peran.
Sejalan dengan pendapat di atas, Waluyo (2002: 17-18) juga mengatakan
bahwa watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional).
Penggambaran itu berdasarkan (1) keadaan fisik (meliputi umur, jenis kelamin, ci-ri-
ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku bangsa, raut muka,
kesukaan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, suka senyum/cemberut, dan sebagainya); (2)
keadaan psikis (meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, tempe-ramen,
ambisi, kompleks psikologis yang dialami, keadaan emosinya, dan seba-gainya); dan
(3) keadaan sosiologis (meliputi jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi,
dan sebagainya).

3. Dialog
Ciri khas sebuah drama adalah naskah berbentuk dialog. Jalan cerita dalam
drama diwujudkan melalui dialog dan gerak yang dilakukan para pemain. Dialog ialah
bagian dari naskah drama yang berupa percakapan antara satu tokoh dengan yang lain
(Endraswara, 2011: 21). Saddhono dan Slamet (2014:71) mengatakan bertukar pikiran
baru dapat dikatakan berdiskusi apabila (1) ada masalah yang dibicarakan, (2) ada
seseorang sebagai anggota diskusi, (3) ada peserta sebagai anggota diskusi, (4) setiap
anggota mengemukakan pendapatnya dengan teratur, dan (5) kalau ada simpulan atau
keputusan harus disetujui oleh semua anggota. Dialog dalam drama harus bersifat
komunikatif karena pada hakikatnya drama adalah tiruan kehidupan nyata. Naskah
drama yang bermutu menggunakan ragam bahasa yang estetis dan juga komunikatif.
Percakapan yang terjadi antarpetutur seringkali mengandung maksud-maksud tertentu
yang berbeda dengan struktur bahasa yang digunakan. Pendapat Grice (dalam Wijana
1996:37) seperti yang dikutip oleh menyatakan bahwa preposisi yang diimplikasikan
dalam tuturan yang bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Ragam
bahasa yang digunakan dalam dialog harus mencerminkan bahasa yang digunakan di
kehidup-an sehari-hari. Waluyo menegaskan bahwa percakapan yang ditulis
pengarang da-lam naskah drama harus pantas untuk diucapkan di atas panggung
(2002: 20). Waluyo menambahkan bahwa keindahan bahasa itu tidak boleh
mengganggu makna yang terkandung dalam naskah, artinya walaupun indah tetap
komunikatif (2002: 22).

4. Setting/Landasan/Tempat Kejadian
Di dalam dalam latar atau setting merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan.
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta
yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton,
2007: 35). Waluyo membagi setting dalam tiga dimensi, yaitu tempat, ruang, dan
waktu (2002:23). Setting ruang ini dapat berarti ruang dalam rumah ataupun di luar
rumah. Makin mendetail penulis menggambarkan setting ruang, akan makin
mempermudah pementasannya. Hampir senada dengan Waluyo, Sato-to (2012: 55)
membagi setting ke dalam tiga aspek, yaitu aspek ruang, aspek wak-tu, dan aspek
suasana. Aspek suasana ini, misalnya suasana gembira, berkabung, hiruk pikuk, sepi
mencekam, dan sebagainya.

5. Tema/Nada Dasar Cerita


Tema berhubungan de-ngan premis dari drama tersebut yang berhubungan pula
dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh
pengarangnya. Tema adalah istilah yang sulit untuk didefinisikan. Stanton (dalam
Nurgi-yantoro, 2005: 70) mengemukakan bahwa tema yaitu makna sebuah cerita yang
secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa tema kurang lebih dapat bersinonim
dengan ide utama dan tujuan utama suatu karya sastra. Berkaitan dengan drama,
Waluyo (2002: 24) mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan pokok yang
terkandung dalam drama.
6. Amanat/Pesan Pengarang
Amanat adalah pesan yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Menurut
Waluyo, tema karya sastra berhubungan dengan arti, sedangkan amanat berhu-bungan
dengan makna dari karya sastra tersebut. Tema bersifat sangat lugas, ob-jektif, dan
khusus, sedangkan amanat bersifat kias, subjektif, dan umum (2002: 28). Amanat
dalam sebuah drama akan lebih tersampaikan kepada penikmat karya sastra apabila
drama tersebut dipentaskan. Pesan yang terdapat dalam drama ter-sebut secara praktis
akan lebih mudah diterima oleh penikmat. Jadi, dapat disim-pulkan bahwa amanat
adalah pesan yang ingin di sampaikan pengarang kepada pembaca baik secara tersurat
maupun tersirat.

7. Petunjuk Teknis
Sebuah naskah drama juga memerlukan adanya petunjuk teknis, yang se-ring
pula disebut dengan teks samping. Petunjuk teknis ini berguna untuk mem-permudah
pembaca ataupun sutradara dalam memahami naskah. Petunjuk teknis yang semakin
lengkap akan memudahkan sutradara dalam menafsirkan naskah. Waluyo (2002: 29)
menjelaskan bahwa teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh,
waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar masuknya aktor atau aktris, keras
lemahnya dialog, warna suara, perasaan yang mendasari dialog, dan sebagainya
(2002: 29). Biasanya petunjuk teknis ditulis dengan tulisan yang berbeda dari dialog,
misalnya dengan huruf miring atau huruf kapital. Berdasar-kan uraian di atas
disimpulkan bahwa petunjuk teknis adalah teks.

8. Nilai Pendidikan Karakter Dalam Drama


Di dalam drama juga mempunyai nilai pendidikan karakter. Pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (felling), dan tindakan (action) (Wibowo, 2012: 33). Pendidikan karakter
juga diartikan sebagai sebuah upaya mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
mereka dapat memberikan kontribusi yang positip kepada lingkungan (Megawangi
dalam Saddhono dkk, 2012: 5). Nilai pendidikan karakter ini biasanya terkandung di
dalam drama itu sendiri sebagai sebuah pembelajaran yang bisa diambil untuk
diterapkan dalam kehipan sehari-hari. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku
yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik
adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan
tiap akibat dari keputus-an yang ia buat (Suyanto, 2010: 1). Di lain pihak, Sudrajat
(dalam Suwandi, 2011: 2) mengemukakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, ling-kungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
karma, budaya dan adat istiadat.
Lebih lanjut Sudrajat (2010: 2) menjelaskan bahwa pendidikan karakter ada-lah
suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesa-ma, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Dalam pen-didikan karakter di
sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, ter-masuk komponen-
komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan ma-ta pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan
sarana prasarana, pembiayaan dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Karakter, dipandang sebagai penentu bahwa seseorang sebagai pribadi
(character is personality evaluated). Karakter terbentuk dari tiga macam bagian yang
saling berkaitan yakni pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral
(Lickona, 2012: 72 dalam Saddhono, 2013). Untuk menyikapi permasalahan di atas
tentunya dibutuhkan kepedulian dan kerja nyata dari seluruh pihak, baik orang tua,
lingkungan masyarakat, lembaga pendidikan maupun para steak holder yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA

Andyani, N., Saddhono, K., & Mujyanto, Y. (2016). Peningkatan Kemampuan


Menulis Teks Eksplanasi Dengan Menggunakan Media Audiovisual Pada
Siswa Sekolah Menengah Pertama. Basastra Jurnal Penelitian Bahasa,
Sastra Indonesia Dan Pengajarannya, 4(2), 161–174.

Bodie, G. (2009). Evaluating Listening Theory: Development and Illustration of Five


Criteria. International Journal of Listening, 23(2), 81–103.
https://doi.org/10.1080/10904010903014434

Dewojati, Cahyaningrum. (2012). Drama: Sejarah, Teori, dan Penerapannya.


Yogyakarta: Penerbit Javakarsamedia.

Eryanti, W. N., Rahman, R., dan Permana, R. (2015). Analisis Struktur dan Nilai
Moral dalam Kumpulan Naskah Drama “Kalangkang Urang” Karya Arthur
S. Nalan. Dangiang Sunda 3(2), 1-7.

Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,


Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama.

Fitriana, Y. (2013). Struktur dan Simbol-Simbol dalam Teks Drama “Orang-Orang


Kalah” Karya Hang Kafrawi. Atavisme, 16(1), 109-118.

Gani, Rizanur. 1988. Pengajaran Sastra Indonesia: Respon dan Analisis. Padang:
Dian Dinamika Press.

Gemtou, E. (2014). Exploring The Possibilities of Postdramatic Theater as


Educational Means. International Journal of Education & The Arts, 15(12),
1-16.

Hasanuddin W. S. (1996). Drama Karya dalam Dua Dimensi Kajian Teori, Sejarah
dan Analisis. Bandung: Angkasa.
Hasanuddin WS. 1996. Drama Karya dalam Dua Dimensi Kajian Teori,
Sejarah Dan Analisis. Bandung: Angkasa.

Hastuti, Sri., Yanuri Natalia., kundharu saddhono. 2014. “ Tinjauan Struktural dan
Nilai Pendidikan Novel Bidadari-Bidadari Surga Karya Tere Liye:
(Rellevansinya dalam Pembelajaran Di Sekolah Menengah Atas)”. Jurnal
Basastra. Vol 1 no 3. Issn 12302-6405

Kemal, I. (2013). Peningkatan Kemampuan Menganalisis Unsur Intrinsik Teks


Drama Dengan Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share.
Metamorfosa, 1(1), 45-55.

Lilik Herawati, Dewi Kusuma dan Tato Nuryanto. Analisis Struktural Naskah Drama
Raja Galau. Indonesian Language Education and Literature e-ISSN: 2502-
2261 http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/jeill/ Vol. 3, No. 2, Juli
2018, 171 – 180. http://doi: 1.0.24235/ileal.V3i2.21.75

Mardianto, Herry (ed.). 2012. Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan:


Bergelut dengan Fakta dan Fiksi. Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.

Nurgiyantoro, B. (1995). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.

Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Teori Pembagian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.Satoto, S. (2012).

Wulandari R., Saddhono K., Rohmadi M. (2014). Analisis Buku Humor Politik Pak
Presiden, Buatlah Rakyat Atres Karya Edy Aumartono: Kajian Pragmatik
dan Nilai-Nilai Pendidikan. BASASTRA Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra
Indonesia dan Pengajarannya. Volume 2 Nomor 3, Agustus 2014, ISSN
I2302-6405
Saddhono Kundharu, Slamet. 2014. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

Saddhono, Kundharu dan St. Y. Slamet. (2012). Meningkatkan Keterampilan


Berbahasa Indonesia (Teori dan Aplikasi). Bandung: Karya Putra Darwati.

Saddhono, Kundaru. 2013. “Pendekatan Scientific pada Mata Pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dalam Kurikulum 2013”.
Proceeding Seminar Internasional: Pengembangan Peran Bahasa dan Sastra
Indonesia untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter. Surakarta: PIBSI
XXXV.

Satrianingsih. (2016). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted


Individualization untuk Meningkatkan Hasil Belajar Menulis Kreatif Naskah
Drama Satu Babak Siswa Kelas VIII MTS Swasta Labiba. Jurnal Humanika,
1(16), 1-17. https://doi.org/10.14710/humanika.22.2.92-102

Satria, G. (2017). Meningkatkan Keterampilan Menyimak Melalui Pendekatan


Saintifik pada Anak Kelas IV Jakarta Barat. Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru
Sekolah Dasar, 10(2), 114–120. https://doi.org/10.31326/jipgsd.v3i1.294

Satoto, Soediro. (2012). Analisis Drama dan Teater Bagian 1. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.

Satoto, S. (2012). Analisis Drama Dan Teater Bagian 2. Yogyakarta: Penerbit


Ombak.

Semi, M. A. (1988). Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Sudrajat, Ajat. (2010). Mengapa Pendidikan Karakter dalam Jurnal Pendidikan


Karakter. Tahun I, Nomor 1.
Suwandi, Sarwiji. (2011). Peran Sastra dalam Pendidikan Karakter bagi Peserta
Didik. Makalah Seminar Nasional Sastra dalam Rangka Pekan Sastra
Himprobsi FKIP UNS

Suyanto. (2010). Urgensi Pendidikan Karakter (Online). Tersedia dalam


http://www.mandikdasmen. depdiknas. go. id.

Supriyono, S., Nugraheni E. W., Saddhono. K. (2017). Pendidikan Karakter Berbasis


Sastra Sejarah Dalam Puisi “Aku Tidak Bisa Menulis Puisi Lagi” Karya
Subagio Sastrowardoyo. Jurnal Artefak: History and Educationn, Vol.4 No.2
September 2017. http://dx.doi.org/10.25157/ja.v4i2.835

Stanton, Robert. (2007). Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tappe, H. dan Hara, A. (2013). Language Specific Narrative Text Structure Elements
in Multilingual Children. Stellenbosch Papers in Linguistics Plus, 42, 297-
331. doi: 10.5842/42-0-160

Tsai, S.T., Chang, T. C., dan Huang, Y. F. (2016). An Intelligent Recommendation


System for Animation Scriptwriters’ Education. Eurasia Journal of
Mathematics, Science & Technology Education, 12(5), 1139-1151.
doi:10.12973/eurasia.2016.1502a

Thompson, H. 5 Desember, 2010. Perspe-ktif Bermain Drama dan Teater. Harian


Analisa, hlm. 9.

Waluyo, Herman J. (2002). Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta:


Hanindita Graha Widya.

Weisberg, D. S. dan Goodstein, J. (2009). What Belongs in a Fictional World?


Journal of Cognition and Culture, 9, 69-78. doi:
10.1163/156853709X414647.
Yahya, M., Andayani, Saddhono, K. 2018. Studi Kesalahan Penulisan Kalimat dalam
Karangan Pelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Jurnal
Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 5(1), 1-20

Anda mungkin juga menyukai