Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK KEPERAWATAN DASAR


KEBUTUHAN ELIMINASI

Disusun Oleh :
Nama : Nabilah Syafitri
Nim : 200114138
Prodi : S1 Keperawatan A Tingkat 2
Dosen Pembimbing : Ns. Eli Indrawati S.kep., M.Kep

STIKES ABDI NUSANTARA JAKARTA


PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2020/2021

1
2
A. Konsep dasar Eleminasi Fekal
1. Pengertian
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.
Pembuangan dapat melalui urine ataupun bowel (Tarwoto Wartonah Edisi 4).
Eliminasi fekal atau defekasi merupakan proses pembuangan sisa metabolisme
yang tidak terpakai. Eliminasi yang teratur penting untuk fungsi tubuh normal.
Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada GI dan bagian tubuh
lain, karena sisa-sisa produk adalah racun. Pola defekasi bersifat individual,
bervariasi dari beberapa kali sehari sampai berapa kali seminggu. Jumlah feses
yang dikeluarkanpun bervariasi jumlahnya tiap individu.
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa
feses (bowel). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini
juga disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat
bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya
feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses
kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan
individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek yang
penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan
masalah pada system gastrointestinal dan system tubuh lainya. Karena fungsi usus
bergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola dan kebiasaan eliminasi
bervariasi di antara individu. Namun, telah terbukti bahwa pengeluaran feses yang
sering, dalam jumlah besar dan karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus
dengan rendahnya insiden kanker kolorektal (Robinson dan Weigley,1989 dalam
Potter & Perry Edisi 4)

2. Fisiologi Defekasi.
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum, sedangkan
fisiologi defekasi adalah mekanisme perjalanan makanan hingga akhirnya keluar
menjadi feses melalui anus dalam proses defekasi. Frekuensi defekasi sangat
bersifat individual, yang beragam dari beberapa kali sehari hingga dua atau tiga
kali seminggu. Jumlah yang dikeluarkan juga bervariasi pada setiap orang. Jika

3
gelombang peristaltic menggerakkan feses ke kolon sigmoid dan rektum, saraf
sensorik di rektum di stimulasi dan individu menjadi ingin defekasi. Jika sfingter
anal internal relaks, maka feses akan bergerak menuju anus. Setelah individu di
dudukkan pada toilet, sfingter anal eksternal akan berelaksasi secara volunter.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot abdomen dan diagfragma, yang
meningkatkan tekanan abdomen dan oleh kontraksi otot dasar panggul, yang
memindahkan feses ke saluran anus. Berikut ini akan dibahas secara singkat
organ-organ yang berperan dalam sistem pencernaan beserta fungsinya.
a. Mulut
Proses pertama dalam sistem pencernaan berlangsung di mulut. Makanan akan
dipotong, diiris, dan dirobek dengan bantuan gigi. Makanan yang masuk ke
mulut dipotong menjadi bagian yang lebih kecil agar mudah di telan dan untuk
memperluas permukaan makanan yang akan terkena enzim. Setelah makanan
dipotong menjadi bagian yang lebih kecil, maka selanjutnya makanan akan
diteruskan ke faring dengan bantuan lidah.
b. Faring
Faring adalah rongga dibelakang tenggorokan yang berfungsi dalam sistem
pencernaan dan pernafasan. Dalam sistem pencernaan, faring berfungsi
sebagai penghubung antara mulut dan esofagus.
c. Esofagus
Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus yang terbentang antara
faring dan lambung. Pada saat menelan, makanan akan dipicu oleh gelombang
peristaltik yang akan mendorong bolus menelusuri esofagus dan masuk ke
lambung.

d. Lambung
Lambung adalah organ yang terletak antara esofagus dan usus halus. Di dalam
lambung makanan yang masuk akan disimpan lalu disalurkan ke usus halus.
Sebelum makanan masuk ke usus halus, makanan terlebih dahulu akan
dihaluskan dan dicampurkan kembali sehingga menjadi campuran cairan
kental yang biasa disebut dengan kimus. Lambung menyalurkan kimus ke

4
usus halus sesuai dengan kapasitas usus halus dalam mencerna dan menyerap
makanan dan biasanya satu porsi makanan menghabiskan waktu dalam
hitungan menit.
e. Usus halus
Usus halus adalah tempat sebagian besar pencernaan dan penyerapan
berlangsung.
f. Usus besar
Usus besar adalah organ pengering dan penyimpan makanan. Kolon
mengekstrasi H2O dan garam dari isi lumennya untuk membentuk masa padat
yang disebut feses. Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan feses
sebelum defekasi. Kolon terdiri dari 7 bagian, yaitu sekum, kolon asendens,
kolon transversal, kolon desendens, kolon sigmoid, rektum dan anus. Usus
besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh mukosa. Serat otot yang
dilapisi oleh membrane mukosa. Serat otot berbentuk sikular dan longitudinal
yang memungkinkan usus membesar dan berkontraksi melebar dan
memanjang. Otot longitudinal lebih pendek dibandingkan kolon, oleh karena
itu usus besar membentuk kantung atau yang biasa disebut dengan haustra.
Kolon juga memberi fungsi perlindungan karena mensekresikan lendir. Lendir
ini berperan untuk melindungi usus besar dari trauma akibat pembentukan
asam di dalam feses dan berperan sebagai pengikat yang akan menyatukan
materi fekal. Lendir ini juga akan melindungi usus besar dari aktifitas bakteri.
Di dalam usus besar terdapat 3 tipe pergerakan yaitu gerakan haustral
churning, peristalsis kolon, peristalsis masa. Gerakan haustral churning akan
menggerakan makanan ke belakang dan ke depan yang berperan untuk
menyatukan materi feses, membantu penyerapan air dan untuk menggerakan
isi usus kedepan. Gerakan peristalsis kolon adalah gerakan yang menyerupai
gelombang yang akan mendorong isi usus kedepan. Gerakan ini sangat lambat
dan diduga sangat sedikit menggerakan materi feses tersebut disepanjang usus
besar. Yang ketiga adalah gerakan peristalsis massa. Gerakan ini melibatkan
suatu gerakan kontraksi yang sangat kuat sehingga menggerakkan sebagian
besar kolon. Biasanya gerakan ini terjadi setelah makan, distimulasi oleh

5
keberadaan makanan di dalam lambung dan usus halus. Gerakan peristalsis
massa hanya terjadi beberapa kali dalam sehari pada orang dewasa.

g. Rektum dan Anus


Rektum pada orang dewasa biasanya memiliki panjang 10 – 15 cm sedangkan
saluran anus memiliki panjang 2,5 – 3 cm. Di dalam rektum terdapat lipatan-
lipatan yang dapat meluas secara vertical. Setiap lipatan vertikal berisi sebuah
vena dan arteri. Diyakini bahwa lipatan ini membantu menahan feses di dalam
rektum. Jika vena mengalami distensi seperti yang dapat terjadi jika terdapat
tekanan berulang. Saluran anus diikat oleh otot sfingter internal dan eksternal.
Sfingter internal berada dibawah kontrol involunter dan dipersarafi oleh
sistem saraf otonom, sedangkan sfingter eksternal berada di bawah kontrol
volunter dan dipersarafi ooleh sistem saraf somatik.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal


Pada defekasi bertahap dalam kehidupan yang berbeda. Keadaan diet,
asupan dan haluran cairan, aktivitas, faktor psikologis, gaya hidup, pengobatan
dan prosedur medis, serta penyakit juga mempengaruhi defekasi.

a. Perkembangan
Bayi yang baru lahir, batita, anak – anak,dan lansia adalah kelompok yang
anggotanya memiliki kesamaan dalam pola eliminasi.
1) Bayi yang baru lahir

6
Mekonium, adalah materi feses pertama yang dikeluarkan oleh bayi baru lahir,
normalnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir. Bayi sering
mengeluarkan feses, sering kali setiap sesudah makan. Karena usus belum
matur, air tidak diserap dengan baik dan feses menjadi lunak, cair, dan sering
dikeluarkan. Apabila usus telah matur, flora bakteri meningkat. Setelah
makanan padat diperkenalkan, feses menjadi lebih keras dan frekuensi
defekasi berkurang.
2) Batita
Sedikit kontrol defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1 ½ sampai 2 tahun.
Pada saat ini anak – anak telah belajar berjalan dan sistem saraf dan sistem
otot telah terbentuk cukup baik untuk memungkinkan kontrol defekasi.
Keinginan untuk mengontrol defekasi di siang hari dan untuk menggunakan
toilet secara umum dimulai pada saat anak menyadari ketidaknyamanan yang
disebabkan oleh popok yang kotor dan sensasi yang menunjukkan kebutuhan
untuk defekasi. Kontrol di siang hari umumnya diperoleh pada usia 2 ½ tahun.,
setelah sebuah proses pelatihan eliminasi.
3) Anak usia sekolah dan remaja
Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan defekasi yang sama dengan
kebiasaan mereka saat dewasa. Pola defekasi beragam dalam hal frekuensi,
kuantitas, dan konsistensi. Beberapa anak usia sekolah dapat menunda
defekasi karena aktivitas seperti bermain.
4) Lansia
Konstipasi adalah masalah umumpada populasi lansia. Ini, sebagian, akibat
pengurangan tingkat aktivitas, ketidakcukupan jumlah asupan cairan dan serat,
serta kelemahan otot. Banyak lansia percaya bahwa “keteraturan” berarti
melakukan defekasi setiap hari. Mereka yang tidak memenuhi kriteria ini
sering kali mencari obat yang dijual bebas untuk meredakan kondisi yang
mereka yakini sebagai konstipasi. Lansia harus dijelaskan bahwa pola normal
eliminasi fekal sangat beragam.
Bagi beberapa orang dapat setiap dua hari sekali bagi orang lain, dua kali dalam
satu hari. Kecukupan serat dalam diet, kecukupan latihan, dan asupan cairan 6
sampai 8 gelas sehari merupakan upaya pencegahan yang essensial terhadap

7
konstipasi. Berespons terhadap refleks gastrokolik (peningkatan peristalsis kolon
setelah makanan memasuki lambung) juga merupakan pertimbangan yang sangat
penting. Individu paruh baya harus diperingatkan bahwa penggunaan laksatif
secara konsisten akan menghambat refleks defekasi alamiah dan diduga
menyebabakan konstipasi dan bukan menyembuhkannya.
b. Diet
Bagian massa (selulosa, serat) yang besar di dalam diet dibutuhkan untuk
memberikan volume fekal. Diet lunak dan diet rendah serat berkurang memiliki
massa dan oleh karena itu kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk
menstimulasi refleks defekasi. Makanan tertentu sulit atau tidak mungkin untuk
dicerna oleh beberapa orang. Ketidakmampuan ini menyebabkan masalah
pencernaan dan dalam beberapa keadaan dapat menghasilkan feses yang encer.
c. Cairan
Bahkan jika asupan cairan atau haluaran (misalnya urine atau muntah) cairan
berlebihan karena alasan tertentu, tubuh terus akan menyerap kembali cairan dari
kime saat bergerak di sepanjang kolon. Kime jadi lebih lebih kering dibandingkan
normal, menghasilkan feses yang keras. Selain itu pengurangan asupan cairan
memperlambat perjalanan kime disepanjang usus, makin meningkatkan
penyerapan kembali cairan dari kime.
d. Aktivitas
Aktivitas menstimulasi peristalsis, sehingga memfasilitasi pergerakan kime
disepanjang kolon. Otot abdomen dan panggul yang lemah sering kali tidak
efektif dalam meningkatkan tekanan intra abdomen selama defekasi atau dalam
mengontrol defekasi.
e. Faktor psikologis
Beberapa orang yang merasa cemas atau marah mengalami peningkatan
aktivitas peristaltik dan selanjutnya mual dan diare. Sebaliknya, beberapa orang
yang mengalami depresi dapat mengalami perlambatan motilitas usus, yang
menyebabkan konstipasi. Bagaimana seseorang berespons terhadap keadaan
emosional ini adalah hasil dari perbedaaan individu dalam respons sistem saraf
enterik terhadap vagal dari otak.
f. Kebiasaan defekasi

8
Pelatihan defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan defekasi pada waktu
yang teratur. Banyak orang yang melakukan defekasi setelah sarapan, saat refleks
gastrokolik menyebabkan gelombang peristaltik massa di usus besar.
g. Obat-obatan
Beberapa orang memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi
normal. Beberapa obat menyebabkan diare: obat lain seperti obat penenang
tertentu dalam dosis besar dan pemberian morfin dan kodein secara berulang,
menyebabkan konstipasi karena obat tersebut menurunkan aktivitas
gastrointestinal melalui kerjanya pada sistem saraf pusat.
h. Proses diagnostik
Sebelum prosedur diagnostik tertentu seperti visualisasi kolon, klien dilarang
mengomsumsi makanan atau minuman. Bilas enema dapat dilakukan pada klien
sebelum pemeriksaan. Dalam kondisi ini, defekasi normal biasanya tidak akan
terjadi sampai klien mengomsumsi makanan kembali.
i. Anastesia dan pembedahan
Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti atau
melambat dengan menghambat stimulasi saraf parasimpatis ke otot kolon. Klien
yang mendapatkan anastesia regional atau spinal kemungkinan lebih jarang
mengalami masalah ini. Pembedahan yang melibatkan penanganan usus secara
langsung dapat menyebabkan penghentian pergerakan usus secara sementara.
Kondisi ini disebut ileus. DIARE
j. Kondisi patologis
Cedera medula spinalis dan cedera kepala dapat menurunkan stimulasi
sensorik untuk defekasi. Hambatan mobilitas dapat membatasi kemampuan klien
untuk merespons terhadap desakan defekasi dan klien dapat mengalami
konstipasi, atau seorang klien dapat mengalami inkontinensia fekal karena
buruknya fungsi sfingter anal.
k. Nyeri
Klien yang tidak mengalami ketidaknyamanan saat defekasi sering menekan
keinginan akibat defekasinya untuk menghindari nyeri. Akibatnya klien tersebut
dapat mengalami konstipasi. Klien yang meminum analgesik narkotik untuk

9
mengatasi nyeri dapat juga mengalami konstipasi sebagai efek samping obat
tersebut.

4. Pohon masalah
a. Diare (Nanda International2012).

Hipersekresi Pergeseran air Hiperperistaltik


air dan dan elektrolit menurun
elektrolit ke rongga usus kesempatan usus
(meningkat isi menyerap makanan
rongga usus)

DIARE

b. Konstipasi dan Risiko konstipasi (Nanda International2012).

Diet rendah serat, asupan cairan Penggunaan obat-obatan tertentu


kurang, kondisi psikis, kondisi (seperti, gol. Opiat)dan
metabolik, dan penyakit yang di derita mengandung AL dan Ca

Absorbsi cairan dan elektrolit 10 Memperpanjang waktu transit di kolon

Memperpanjang waktu transit di kolon Memberi efek pada segmen usus


Diperlukan
rangsangan yang
lebih kuat untuk
mendorong feses
Spasme setelah
makan nyeri kolik RISIKO
pada abdomen bawah KONSTIPASI

Kolon kehilangan tonus Tidak responsif terhadap KONSTIPASI


rangsangan normal

5. Masalah-masalah Yang Terjadi Pada Eliminasi Fekal


Berikut ini adalah masalah umum yang terkait dengan eliminasi fekal, yaitu:
a. Konstipasi

11
Konstipasi dapat didefinisikan sebagai defekasi kurang dari tiga kali per
minggu. Ini menunjukkan pengeluaran feses yang kering, keras atau tanpa
pengeluaran feses. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai penurunan defekasi
normal yang disertai pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta feses kering
(SDKI, 2016). Konstipasi terjadi jika pergerakan feses di usus besar berjalan
lambat, sehingga memungkinkan bertambahnya waktu reabsorpsi cairan di
usu besar. Konstipasi mengakibatkan sulitnya pengeluaran feses dan
bertambahnya upaya atau penekanan otot-otot volunter defekasi.
Namun, sangat penting untuk mendefinisikan konstipasi terkait dengan
pola eliminasi regular sesorang. Beberapa orang secara normal melakukan
defekasi hanya beberapa kali seminggu; sementara orang lain melakukan
defekasi lebih dari satu kali sehari. Pengkajian cermat mengenai kebiasaan
seseorang dibutuhkan sebelum diagnosa konstipasi dibuat. Contoh Batasan
Karakter Konstisipasi
a. Penurunan frekuensi defekasi
b. Feses keras, kering, memiliki bentuk
c. Mengejan saat defekasi; defekasi terasa nyeri
d. Melaporkan tentang rasa penuh pada rektum atau mengejan atau
mengeluarkan feses secara tidak komplet.
e. Nyeri abdomen, kram, atau distensi
f. Penggunaan laksatif
g. Penurunan nafsu makan
h. Sakit kepala
Banyak penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi, yaitu:
a. Ketidakcukupan asuran serat
b. Ketidakcukupan asuran cairan
c. Ketidakcukupan aktivitas atau imobilitas
d. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur
e. Perubahan rutinitas harian
f. Kurangn privasi
g. Penggunaan laksatif atau enema kronis
h. Gangguan emosional seperti depresi atau kebingungan mental

12
i. Medikasi seperti opiat atau garam zat besi.
Konstipasi dapat berbahaya bagi beberapa klien. Mengejan akibat
konstisipasi seringkali disertai dengan menahan napas. Manuver Valsava ini
dapat menyebabkan masalah serius pada penderita penyakit jantung, cedera
otak, atau penyakit pernapasan. Menahan napas meningkatkan tekanan
intratoraks dan intrakranial.
b. Impaksi Fekal
Impaksi fekal adalah suatu massa atau pengumpulan fese yang keras
didalam lipatan rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi
fekal yang berkepanjangan. Pada impaksi berat, feses terakumulasi dan meluas
sampai ke kolon sigmoid dan sekitarnya. Impaksi fekal dapat dikenali dengan
keluarnya rembesan cairan fekal (diare) dan tidak ad feses normal. Cairan
feses merembes sampai keluar dari massa yang terimpaksi. Impaksi dapat juga
dikaji dengan pemeriksaan rektum menggunakan jari tangan, yang sering kali
dapat mempalpasi massa yang mengeras.
Seiring dengan pembesaran cairan feses dan konstipasi, gejala meliputi
keinginan yang sering namun bukan keinginan yang produktif untuk
melakukan defeksi dan sering mengalami nyeri rektal. Muncul perasaan
umum menalami suatu penyakit; klien anoreksik, abdomen menjadi
terdistensi, dan dapt terjadi mual dan muntah. Penyebab impaksi fekal
biasanya adalah kebiasaan defekasi yang bukruk dan konstipasi. Penggunaan
barium dalam pemeriksaan radiologi pada saluran pencernaanatas dan bawah
juga menjasi sebuat faktor penyebab. Oleh karena itu, setelah pemeriksaan ini,
laksatif atau enema biasanya digunakan untuk memastikan pengeluaran
barium.
Pemeriksaan impaksi menggunakan jari di rektum harus dilakukan secara
lembut dan hati-hati. Walaupun pemeriksaan digital (jari tangan) berada dalam
ruang lingkup praktik keperawatan, beberapa kebijakan lembaga memerlukan
impaksi fekal secara digital.
Walaupun impaksi fekal secara umum dapat dicegah, kadng kala
dibutuhkan terapi untuk feses yang mengalami impaksi. Jika dicurigai adanya
impaksi fekal, klien sering kali diberikan suatu minyak sebagai enema retensi,

13
lalu diberikan enema pembersih pada 2 sampai 4 jam kemudian, dan enema
pembersih tambahan setiap hari, supositoria, atau pelunak feses setiap hari.
Jika upaya ini gagal, sering kali dibutuhkan pengeluaran feses secara manual.
c. Diare
Diare menunjuk pada pengeluaran feses encer dan peningkatan frekuensi
defekasi. Diare merupakan kondisi yang berlawanan dengan konstipasi dan
terjadi akibat cepatnya pergerakan isi fekal di usus besar. Cepatnya pergerakan
kime mengurangi waktu usus besar untuk menyerap kembali air dan elektrolit.
Beberapa orang mengeluarkan feses dengan frekuensi sering, tetapi diare tidak
terjadi kecuali feses relatif tidak terbentuk dan mengandung cairan yang
berlebihan.
Seseorang yang mengalami diare sering kali merasa sulit atau tidak
mungkin mengendalikan keinginan defekasi dalam waktu yang sangat lama.
Diare dan ancaman inkontinensia merupakan sumber kekhawatiran dan rasa
malu. Sering kali kram spasmodik dikaitkan dengan diare. Bising usus
meningkat. Dengan diare persisten, biasanya terjadi iritasi di dareah anus yang
meluas ke perineum dan bokong. Keletihan, kelemahan, lelah dan emasiasi
(kurus dan lemah) merupakan akibar dari diare yang berkepanjangan.
Apabila penyebab diare adalah karena adanya iritan di saluran usus, diare
diduga sebagai suatu mekanisme pembilasan pelindung. Namun, diare dapat
mengakibatkan kehilangan cairan dan elektrolit berat di dalam tubuh, yang
dapat terjadi dalam periode waktu singkat yang menakutkan, terutama pada
bayi, anak kecil, dan lansia. Penyebab utama diare dan respon fisiologi tubuh:

Penyebab Efek Fisiologis


Stress psikologis Meningkatkan motilitas usus dan sekresi
(mis.,ansietas) lendir
Obat-obatan
Inflamasi dan infeksi mukosa akibat
Antibiotik pertumbuhan mikroorganisme usus yang
berlebihan
Zat Besi Iritasi mukosa usus

14
Katartik Iritasi mukosa usus
Alergi terhadap makanan, Pencernaan makann atau cairan yang tidak
cairan, obat-obatan komplet
Intoleransi terhadap makanan
Peningkatan motilitas usus dan sekresi lendir
atau cairan
Penyakit kolon (mis., Penurunan cairan absorpsi
Sindrom malabsorpsi Inflamasi mukosa sering kali menyebakan
penyakit Crohn) pembentukan tukak
Feses bersifat asam dan mengandug enzim pencernaan yang sangat
mengiritasi kulit. Oleh karena itu, area di sekitar area anus harus dijaga tetap
bersih dan kering dan dilindungi dengan zink oksida atau salep lain. Selain itu,
pengumpul fekal dapat digunakan
d. Inkontinensia Alvi
Inkontinensia alvi (bowel), atau disebut juga inkontinensia fekal, adalah
hilangnya kemampuan volunter untuk mengontrol pengeluaran fekal dan gas
dari spingter anal. Inkontinensia dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu,
seperti setelah makan, atau dapat terjadi secara tidak teratur. Dua tipe
inkontinensia alvi digambarkan: parsial dan mayor. Inkontinensia parsial
adalah ketidakmampuan untuk mengontrol flatus atau mencegah pengotoran
minor. Inkontinensia mayor adalah ketidakmampuan untuk mengontrol feses
pada konsistensi normal.
Inkontinensia fekal secara umum dihubungkan dengan gangguan fungsi
sfingter anal atau suplai sarafnya, seperti beberapa penyakit neuromuskular,
trauma medula spinalis, dan tumor pada otot sfingter anal eksternal.
Inkontinensia fekal adalah masalah yang membuat distres emosional yang
pada akhirnya dapat menyebabkan isolasi sosial. Penderita dapat menarik diri
ke dalam rumahnya, atau jika di rumah sakit, mereka tetap berada di dalam
kamar mereka meminimalkan rasa malu akibat pengotoran oleh fekal.
Beberapa prosedur bedah digunakan untuk penatalaksanaan inkontinensia
fekal. Penatalaksanaan ini meliputi perbaikan sfingter dan disversi fekal atau
kolostomi.
e. Flatulens

15
Terdapat tiga sumber utama flatus:
1) Kerja bakteria dalam kime di usus besar.
2) Udara yang tertelan
3) Gas yang berdifusi di antara aliran darah dan usus.
Sebagian besar gas yang tertelan akan dikeluarkan melalui mulut dengan
sendawa. Namun, sejumlah gas dapat terkumpul di perut, yang menyebabkan
distensi lambung. Gas yang terbentuk di usus besar terutama diabsobsi melalui
kapiler usus ke sirkulasi. Flatulens adalah keberadaan flatus yang berlebihan
di usus dan menyebabkan peregangan dan inflasi usus (distensi usus).
Flatulens dapat terjadi di kolon akibat beragam penyebab, seperti makanan
(mis., kol, bawang merah), bedah abdomen, atau narkotik.
Apabila gas dikeluarkan dengan meningkatkan aktivitas kolon sebelum
gas tersebut dapat diabsobsi, gas dapat dikeluarkan melalui anus. Apabila gas
yang berlebihan tidak dapat dikeluarkan melalui anus, mungkin perlu
memasukkan slang rektal untuk mengeluarkannya.

6. Penatalaksanaan medis
a. Diare
Abnormalitas berupa kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang
abnormal (lebih dari 3 kali/hari) serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 g/hari)
dan konsistensi (feses cair) disebut dengan diare (Brunner & Suddarth, 1996).
Penatalaksanaan medis diarahkan pada pengendalian atau pengobatan penyakit
dasar. Obat tertentu dapat mengurangi beratnya diare dan penyakit (cari dosis obat
diare). Dalam penatalaksanaan untuk diare ringan, cairan oral harus segera
ditingkatkan dan glukosa oral serta larutan elektrolit dapat diberikan untuk
rehidrasi pasien.
Pada diare sedang sebagai akibat dari sumber non-infeksius, obat tidak
spesifik seperti difenoksilat (Lomotil) dan loperamid (Imodium) diberikan untuk
menurunkan motilitas. Bila diare sangat berat atau preparat infeksius
teridentifikasi maka preparat antimikrobial diberikan. Untuk hidrasi yang cepat,
mungkin diperlukan juga terapi cairan intravena (biasanya pada anak kecil atau
lansia). Adapun penatalaksanaan pada diare akut menurut (Sudoyo & Setiyohadi,
2006) terdiri dari rehidrasi, diet, obat anti-diare dan obat antimikroba.

16
1) Rehidrasi
Jika pasien pada keadaan umum baik dan tidak dehidrasi maka asupan cairan
yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah, dan sup. Jika
pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi maka penatalaksanaan
yang dilakukan leibh agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan
cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula atau starch harus diberikan.
Untuk memberikan rehidrasi, perlu dinilai dulu derajat dehidrasi. Dehidrasi
terdiri dari dehidrasi ringan, sedang dan berat. Dehidrasi ringan jika pasien
mengalami kekurangan cairan 2-5 % dari berat badan. Sedang jika 5-8% dan
berat jika 8-10%. Dalam menentukan jumlah cairan yang akan diberikan
sesuai yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Ada beberapa
macam pemberian cairan:
a) BJ plasma

b) Metode Pierce
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x Berat badan (kg)
Dehidarasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x berat badan (kg)
Dehidrasi berat, kebutuhan cairan= 10% berat badan (kg)
c) Metode Daldiyono
Jika skor < 3 dan tidak ada syok maka hanya diberikan cairan peroral
(sebanyak mungkin sedikit demi sedikit). Jika skor lebih atau sama 3 disertai
syok diberikan cairan per intravena. Pemberian cairan rehidrasi dapat melalui
oral, enteral melalui selang nasogastrik atau intravena.
Jika dehidrasi ringan/sedang pasien dapat diberikan cairan per oral atau
selang nasogastrik kecuali bila kontra indikasi atau oral/saluran cerna atas tak
dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik
dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g Natrium Bikarbonat dan 1,5
g KCl tiap liter. Contohnya oralit generik, renalyte, pharolit, dll. Pemberian
cairan terbagi atas:

17
a) Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial)  jumlah total kebutuhan cairan
pada rumus BJ plasma/Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam agar
rehidrasi optimal.
b) 1 jam berikut/jam ke-3 (tahap 2)  pemberian berdasarkan kehilangan
cairan selama 2 jam pemberian rehidrasi inisial sebelumnya. Jika tidak
syok atau skor Daldiyono < 3 dapat diganti cairan per oral.
c) Jam selanjutnya cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan Jika
dehidrasi sedang/berat maka sebaiknya pasien diberikan cairan melalui
infus pembuluh darah.
2) Diet
Jika tidak muntah-muntah hebat maka pasien diare tidak dianjurkan puasa.
Susu sapi harus dihindarkan karena adanya defisiensi laktase transien yang
disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Minuman berkafein dan alkohol
juga harus dihindari karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus.
3) Obat anti-diare
Woodley & Whelan menyebutkan bahwa obat anti diare non spesifik
umumnya digunakan secara berlebihan. Pada diare akut tidak diperlukan. Obat
anti peristaltik bisa mencetuskan megacolon toxica pada pasien dengan infeksi
balterial invasif. Obat diare non spesifik terdiri dari agensia pebentuk tinja
yang mempat (bulk forming), absorben dan agensia opioid (berhati-hati pada
pasien dengan asma, penyakit paru kronis, hipertrofi prostat benigna dan
glaucoma akut bersudut sempit. Adapun obat yang dapat mengurangi gejala.
1) paling efektif  derival opioid (loperamide, difenoksilat-atropin dan tinkur
opium). Bismuth subsalisilat dapat digunakan terapi kontraindikasi pada
pasien HIV karena dapat menimbulkan ensefalopati bismuth. Obat
antimotilitas harus hati-hati pada pasien disentri yang panas (e.g infeksi
Shigella) bila tanpa anti mikroba karena dapat memperlama penyembuhn
penyakit. 2) obat yang mengeraskan tinja: atapulgite 4 x 2 tab/hari, smectite 3
x 1 saset diberikan tiap diare encer sampai diare berhenti. 3) obat anti
sekretorik/anti enkephalinase: Hidrasec 3 x 1 tab/hari.
4) Obat antimikroba.

18
Pengobatan empirik diindikasikan pada pasien yang diduga mengalmi infeksi
bakteri invasif, diare turis, atau imunosupresif. Obat pilihan yaitu kuinolon
(misal siprofloksasin 500 mg 2x/hari selama 5 – 7 hari). Obat ini baik untuk
bakteri patogen invarsif (Campylobacter, Shigella, Salmonella, yersinia dan
Aeromonas species). Alternatif lain yaitu kontrimoksazol
(trimetoprim/sulfametoksazol, 160/800 mg 2x/hari atau eritromisin 250 – 500
mg 4x/hari), Metronidazol 250 mg 3x/hari selama 7 hari diberikan bagi yang
dicurigai giardiasis.
b. Konstipasi
Konstipasi merupakan tidak teraturnya defekasi dan abnormal, selain itu
juga terjadi pengerasan feses yang tidak normal dan membuat pasasenya sulit dan
kadang menimbulkan nyeri (Brunner & Suddarth, 1996). Penatalaksanaan medis
konstipasi ditujukan pada penyebab dasar konstipasi. Salah satunya adalah
penghentian penyalahgunaan laksatif. Laksatif dipakai untuk mengeluarkan feses
(Kee & Hayes, 1993). Adapun penatalaksanaan lain meliputi anjuran memasukan
serat dalam diet dengan peningkatan asupan cairan dan pembuatan program
latihan rutih untuk memperkuat otot abdomen. Hasilnya dapat berupa dampak
biologis berupa teknik yang dapat digunakan untuk membantu pasien belajar
merelaksasi mekanisme sfingter untuk pengeluaran feses. Dalam program diet
sangatlah dianjurkan untuk menambahkan 6 sampai 12 sendok teh penuh sekam.
Hal ini untuk memunculkan gerakan yang cepat pada kolon dan feses dalam
jumlah banyak dan lembut, konseling diet harus menganjurkan diet tinggi sisa.
Jika penggunaan laksatif diperlukan, salah satu dari hal berkut ini dapat
dilakukan: preparat pembentuk bulk, preparat salin dan osmotik, lubrikan,
stimulan atau pelunak feses. Osmotik laktasif mecakup garam atau salin, laktulose
dan glieserin. Garam hiperosmolar menarik air ke kolon dan meningkatkan air di
dalm tinja untuk menambah bentuk sehingga meningkatkan peristaltik (Kee &
Hayes, 1993). Laksatif pembentuk bulk merupakan bahan-bahan berserat yang
meningkatkan ukuran tinja dengan menyerap air ke dalam usus, meningkatkan
ukuran tinja dan peristaltik. Defekasi biasanya timbul dalam 6-24 jam (Kee &
Hayes, 1993). Untuk konstipasi, enema dan supositoria rektal secara umum tidak
dianjurkan dan harus diberikan untuk pengobatan pada impaksi atau persiapan

19
usus untuk pembedahan atau prosedur diagnostik. Jika penggunaan laksatif
jangka panjang benar-benar diperlukan maka preparat pembentuk-bulk diberikan
dalam kombinasi dengan laksatif osmotik. Selain itu, diperlukan juga terapi obat-
obatan khusus yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi motorik
instrinsik usus. Sebagai contoh penggunaan preparat prokinetik seperti Cisaprinde
dapat menigkatkan frekuensi defekasi.
Menurut Sudoyo et. All (2006), pengobatan untuk konstipasi idiopatik
berupa diet tinggi serat 20-30 gram per hari, banyak minum, jika mungkin
hentikan laksatif dan obat-obat tidak penting (**lihat penjelasan sebelumya
mengenai laksatif). Jika hal ini tidak berhasil, lakkan pemeriksaan motilitas
(manometri anus dan tes transit kolon). Pada keadaaan ini baru dapat dipakai
laksatif berupa laktulosa, serat. Obat-obat prokinetik seperti cisapride, tegaserod
dapat dipakai.
Sjamsuhidayat & Jong dalam Buku Ajar Ilmu Bedah menyatakan bahwa
diperlukan juga pemeriksaan rektum digital (rectal toucher) jika konstipasi
merupakan gangguan. Jika penyumbatan feses diteruskan harus dikeluarkan
secara digital bahkan proses sedasi ataupun anestesi mungkin diperlukan.
Penyumbatan feses yang letaknya agak tinggi dapat dibantu dengan minyak
enema.
Shrock dalam Handbook of Surgery menyebutkan bahwa penyeluaran
feses yang tertumpuk di rektum dapat memperbesar kemungkinan terjadinya
hemoroid, fisura anus dan tukak.
c. Obstipasi
Obstipasi merupakan konstipasi berat dimana biasanya disebabkan karena
pergerakan feses dalam usus terhalang (adanya obstruksi usus). Obstipasi
disebabkan karena obstruksi intestinal. Beberapa penatalaksanaannya meliputi:
Perawatan Medis. Resustasi untuk mengoreksi cairan dan elektrolit tubuh,
pengobatan untuk mencegah parahnya sakit dan nasograstis decompression pada
obstruksi parah untuk mencegah muntah dan aspirasi.

1) Operasi

20
Obstipasi obstruksi total bersifat sangat urgent untuk dilakukan tindakan
operasi karena jika terlambat akan terjadi perforasi usus akibat tekanan tinggi.
2) Diet
Pada obstruksi total dianjurkan untuk tidak makan apa-apa. Pada obstruksi
parsial dapat diberikan makanan cair dan obat-obatan. Tjay & Rahardja (2007)
mengemukakan bahwa pengobatan untuk obstipasi disesuaikan dengan
penyebabnya. Obstipasi insidentil (dikarenakan tinja keras) ditangani dengan
penggunaan laksans dengan daya melunakkan (gliserol dan bisakodil).
Obstipasi kronis diatasi dengan laksansia dengan daya memperbesar isi usus
(laktulosa & Psyllium). Pilihan lainnya adalah garam-garam anorganik
(MgSO4, Mg-Oksida). Obat-obat ini paling aman, jika masih tidak bisa
diatasi, bisa diberikan bisakodil. Jika obstipasi tidak diatasi maka akan
menyebabkan tinja membatu, wasir, fisura bahkan inkontinensi tinja.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Untuk mengkaji pola eliminasi dan menentukan adanya kelainan, perawat
melakukan pengkajian riwayat keperawatan, pengkajian fisik abdomen,
menginspeksi karikteristik feses, dan meninjau kembali hasil pemeriksaan yang
berhubungan
a. Identitas pasien dan penanggung jawab
Mengkaji mengenai identitas pasien dan keluarga untuk kelengkapan berkas
pasien.
b. Riwayat keperawatan
Banyak riwayat keperawatan dapat dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor
yang mempengaruhi eliminasi.
1) Penentuan pola eliminasi klien yang biasa, termasuk frekuensi dan waktu
defekasi dalam sehari.
2) Identifikasi rutinitas yang dilakukan untuk meningkatkan eliminasi
normal. Contoh rutinitas tersebut adalah konsumsi cairan panas,
penggunaan laksatif, pengonsumsian makanan tertentu, atau mengambil
waktu untuk defekasi selama kurun waktu tertentu dalam satu hari.

21
3) Gambaran setiap perubahan terbaru dalam pola eliminasi
4) Deskripsi klien tentang karakteristik feses. Perawat menentukan wama
khas feses, konsistensi feses yang biasanya encer atau padat atau lunak
atau keras
5) Riwayat diet. Perawat menetapkan jenis makanan yang klien inginkan
dalam sehari. perawat menghitung penyajian buah-buahan, sayur-sayuran,
sereal, dan roti
6) Gambaran asupan cairan setiap hari. Hal ini meliputi tipe dan jumlah
cairan
7) Riwayat olahraga. perawat meminta klien menjelaskan tipe dan jumlah
olahraga yang dilakukannya setiap hari secara spesifik
8) Pengkajian penggunaan alat bantuan buatan di rumah. Perawat mengkaji
apakah klien menggunakan enema, laksatif, atau makanan khusus sebelum
defekasi.
9) Riwayat pembedahan atau penyakit yang mempengaruhi saluran GI.
Informasi ini seringkali dapat membantu menjelaskan gejala-gejala yang
muncul.
10) Keberadaan dan status diversi usus. Apabila klien memiliki ostomi,
perawat mengkaji frekuensi drainase feses, karakter feses, penampilan dan
kondisi stoma
11) Riwayat pengobatan. Perawat menanyakan apakah klien mengonsumsi
obat-obatan (seperti laksatif, antasid, suplemen zat besi, dan analgesik)
yang mungkin mengubah defekasi atau karakteristik feses.
12) Status emosional. Emosi klien dapat mengubah frekuensi defekasi secara
bermakna. Selama pengkajian, observasi emosi klien, nada suara, dan
sikap yang dapat menunjukkan perilaku penting yang mengindikasikan
adanya stres.
13) Riwayat sosial. Klien mungkin memiliki banyak aturan dalam
kehidupannya. Tempat klien tinggal dapat mempengaruhi kebiasaan klien
dalam defekasi dan berkemih.

22
14) Mobilitas dan ketangkasan. Mobilitas dan ketangkasan klien perlu
dievaluasi untuk menentukan perlu tidaknya peralatan atau personel
tambahan untuk membantu klien.
c. Pola fungsional Gordon
Menurut pola fungsi Gordon 1982, terdapat 11 pengkajian pola fungsi
kesehatan sebagai berikut (Potter, 1996) :
1) Pola persepsi - Managemen kesehatan
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan keseshatan, persepsi
terhadap arti kesehatan dan penatalaksanaan kesehatan, kemampuan
menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktek kesehatan.
2) Pola Nutrisi – Metabolik
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan elektrolit, nafsu makan,
pola makan, diet, fluktuasi BB dalam 6 bulan terakhir, kesulitan menelan,
mual/muntah, kebutuhan jumlah zat gizi, masalah/penyembuhan luka pada
kulit, maknan kesukaan.
3) Pola Eliminasi
Menjelaskan pola fungsi eksresi, kandung kemih dan kulit kebiasaan defekasi,
ada tidaknya masalah defekasi, masalah miksi (oliguri, disuri, dll),
penggunaan kateter, frekuensi defekasi dan miksi, karakteristik urine dan
feses, pola input cairan, infeksi saluran kemih, masalah bau badan perspitasi
berlebih, dll.
URINE
Jumlah dalam 24 jam : 1.200 – 1.500 ml
Warna : Kuning, jernih
Konsistensi : Cairan jernih
Bau : Aroma khas
Sterilitas : Tidak ada mikroorganisme
pH : 4,5 – 8
Berat jenis : 1,003 – 1.030
Glukosa : Negative
Badan keton (aseton) : Negative
Darah : Negative

23
FESES
Warna : Cokelat
Konsistensi : Lembap, berbentuk
Bau : Aromatik (dipengaruhi oleh makanan)
Frekuensi : Bervariasi (1-3 kali sampai setiap kali tiap 3 hari)
Bentuk : Silindris
Jumlah : 100-400 g setiap hari (tergantung, sesuai diet)
Kandungan lemak : <69/24 jam
Mukus : Negative
Darah : Negative
Pus : Negative
Parasit : Negative
(Hidayat, 2010)
4) Pola Latihan – Aktivitas
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan dan sirkulasi.
Pentingny latihan / gerak dalam keadaan sehat dan sakit, gerak tubuh dan
kesehatan berhubungan satu sama lain kemampuan klien dalam menata diri
apabila tingkat kemampuan :
0 : mandiri
1 : dengan alat bantu
2 : dibantu orang lain
3 : dibantu orang dan alat
4 : tergantung dalam melakukan ADL, kekuatan otot dan ROM, riwayat
penyakit jantung, frekuensi, irama dan kedalaman nafas, bunyi nafas, riwayat
penyakit paru.
5) Pola Kognitif Preseptual
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi
pengkajian fungsi penglihatan, pendengaran, perasaan, pembau dan
komponensasinya terhadap tubuh. Sedangkan pola kognitif di dalamnya
mengandung kemampuan daya ingat klien terhadap peristiwa yang telah lama
terjadi dan atau baru terjadi dan kemampuan orientasi klien terhadap waktu,
tempat, dan nama (orang, atau benda yang lain), tingkat pendidikan, persepsi

24
nyeri dan penanganan nyeri, kemampuan untuk mengikuti, menilai nyeri skala
1-10, pemakaian alat bantu dengar, melihat, kehilangan bagian tubuh atau
fungsinya, tingkat kesadaran orientasi pasien, adakah gangguan penglihatan,
pendengaran, persepsi sensori (nyeri), penciuman, dll.
6) Pola Istirahat – Tidur
Menggambarkan pola tidur, istirahatdan persepsi tentang energy. Jumlah jam
tidurpada siang dan malam, masalah selama tidur, insomnia atau mimpi buruk,
penggunaan obat, mengeluh letih.
7) Pola Konsepsi diri – Persepsi diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan-
kemampuan konsep diri antara lain gambaran diri, peran, identitas dan ide diri
sendiri. Manusia sebagi sistem terbuka dimana keseluruhan bagian manusia
akan berinteraksi dengan lingkungannya. Disamping sebagai sistem terbuka,
manusia juga sebagai makhluk bio-psiko-sosio-kultural spiritual dan dalam
pandangan secara holistic. Adanya kecemasan, ketakutan atau penilaian
terhadap diri, dampak sakit terhadap diri, kontak mata, asetif atau passive,
isyarat non verbal, ekspresi wajah, merasa tak berdaya, gugup/relaks.
8) Pola peran dan hubungan
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota
keluarga dan masyarakat tempat tinggal klien, pekerjaan, tempat tinggal, tidak
punya rumah, tingkah laku passive/agresif terhadap orang lain, masalah
keuangan, dll.
9) Pola reproduksi / seksual
Menggambarkan kepuasan atau masalah yang aktual atau dirasakan dengan
seksualitas, dampak sakit terhadap seksualitas, riwayat penyakit hubungan
sex, pemeriksaan genital.
10) Pola pertahanan diri (koping – toleransi stres)
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres dan penggunaan system
pendukun, penggunaan obat untuk menanggani stres, interaksi dengan orang
terdekat, menangis, kontak mata, metode koping yang biasa digunakan , efek
penyakit terhadap tingkat stres.

25
11) Pola keyakinan dan nilai
Menggambarkan dan menjelaskan pola nilai, keyakinan termasuk spiritual.
Menerangkan sikap dan keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang
dipeluk dan onsekuensinya. Agama, kegiatan keagamaan dalam budaya,
berbagi dengan orang lain, bukti melaksanakan nilai dan kepercayaan, mencari
bantuan spiritual dan pantangan dalam agama selama sakit
d. Pengkajian fisik
Perawat melakukan pengkajian fisik system dan fungsi tubuh yang
kemungkinan dipengaruhi oleh adanya masalah eliminasi.
1) Mulut.
Pengkajian meliputi inspeski gigi, lidah, dan gusi klien. Gigi yang buruk
atau struktur gigi yang buruk mempengaruhi kemampuan mengunyah.
2) Abdomen.
a) Perawat menginspeksi keempat kuadran abdomen untuk melihat warna,
bentuk,kesimetrisan, dan warna kulit. Inspeksi juga mencakup memeriksa
adanya masa, gelombang peristaltik, jaringan parut, pola pembuluh darah
vena, stoma, dan lesi. Dalam kondisi normal, gelombang peristalis tidak
terlihat. Namun, gelombang peristaltik yang terlihat dapat merupakan
tanda adanya obstruksi usus
b) Perawat mengauskultasi abdomen dengan menggunakan stetoskop untuk
mengkaji bising usus di setiap kuadran. Bising usus normal terjadi setiap 5
sampai 15 detik dan berlangsung selama ½ sampai beberapa detik. Sambil
mengauskultasi, perawat. Memperhatikan karakter dan frekuensi bising
usus. Peningkatan nada hentakan pada bising usus atau bunyi "tinkling"
(bunyi gemerincing) dapat terdengar, jika terjadi distensi. Tidak adanya
bising usus atau bising usus yang hipoaktif (bising usus kurang dari lima
kali per menit) terjadi jika klien menderita ileus paralitik, seperti yang
terjadi pada klien setelah menjalani pembedahan abdomen. Bising usus
yang bernada tinggi dan hiperaktif (bising usus 35 kali atau lebih per
menit) terjadi pada obstruksi usus dan gangguan inflamasi.
c) Perawat mempalpasi abdomen untuk melihat adanya masa atau area nyeri
tekan. Penting bagi klien untuk rileks. Ketegangan otot-otot abdomen

26
mengganggu hasil palpasi organ atau masa yang berada di bawah abdomen
tersebut
d) Perkusi mendeteksi lesi, cairan, atau gas di dalam abdomen.
3) Rektum
Perawat menginspeksi daerah di sekitar anus untuk melihat adanya lesi,
perubahan warna, inflamasi, dan hemoroid. Untuk memeriksa rektum, perawat
melakukan palpasi dengan hati-hati. Setelah mengenakan sarung tangan sekali
pakai, perawat mengoleskan lubrikan ke jari telunjuk. Kemudian perawat
meminta klien mengedan dan saat klien melakukannya, perawat memasukkan
jari telunjuknya ke dalam sfingter anus yang sedang relaksasi menuju
umbilikus klien. Sfingter biasanya berkonstriksi mengelilingi jari perawat.
Perawat harus mempalpasi semua sisi dinding rektum klien dengan metode
tertentu untuk mengetahui adanya nodul atau tekstur yang tidak teratur.
Mukosa rektum normalnya lunak dan halus.
4) Feses, amati feses pasien dan catat konstitensi, bentuk bau, warna, dan
jumlahnya.
Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan
Penyebab

Warna Orang dewasa : Seperti tanah liat Tidak ada pigmen


Coklat atau putih empedu
(obstruksi
empedu);studi
diagnostik
menggunakan
barium

Bayi : kuning Hitam atau seperti Obat (mis : zat


ter besi ); perdarahan
dari saluran
pencernaan atas
(mis: lambung
usus halus); diet

27
tinggi daging
merah dan
sayuran hijau tua
(mis ., bayam )

Merah Perdarahan dari


saluran
pencernaan
bawah
(mis.,rektum);
beberapa
makanan (mis.,
bit)

Pucat Malabsorpsi
lemak; diet tinggi
susu dan produk
susu serta rendah
daging

Jingga atau hijau Infeksi usus

Konsistensi Memiliki bentuk, Keras, kering Dehidrasi :


lunak, penurunan
semipadat, berair motilitas usus
yang terjadi
akibat kekurangan
serat dalam diet,
kurang olahraga,
kesedihan
emosional,
penyalahgunaan

28
laksatif.

Diare Peningkatan
motilitas usus
(mis., karena
iritasi kolon oleh
bakteria)

Bentuk Silindris (kontur Feses berdiameter Kondisi obstruksi


rektum) dengan kecil, seperti pada rektum
diameter sekitar pensil, atau
2,5 cm pada menyerupai
orang dewasa benang

Jumlah Beragam sesuai


dengan diet
(sekitar 100-400
g per hari)

Bau Aroma : Berbau tajam Infeksi darah


dipengrauhi oleh
makanan yang
dimakan dan
flora bakteri
yang dimiliki
oleh orang itu
sendiri.

Kandungan Sejumlah kecil Nanah Infeksi bakteria


dari bagian kasar Lendir Kondisi
makanan yang Parasit peradangan
tidak tercerna, Darah Perdarahan
bakteri mati dan Lemak dalam gastrointestinal
sel epitel yang jumlah jumlah Malabsorpsi
meluruh, lemak,

29
protein, unsur banyak Tidak sengaja
kering dari asam Benda asing tertelan
lambung (mis.,
pigmen empedu,
zat inorganik)

e. Pemeriksaan lab
1) Tes Guaiak, yaitu pemeriksaan darah samar di feses (fecal occult blood
testing, FOBT), yang menghitung jumlah darah mikroskopik di dalam feses.
Tes guaiak membantu memperlihatkan darah yang tidak terdeteksi secara
visual
2) Visualisasi langsung, Instrumen yang dimasukkan ke dalam
mulut_(memperlihatkan saluran Gllagian atas atau upper GI, UGI) atau
rektum (memperlihatka-n saluran GI bagian bawah) memungkinkan dokter
menginspeksi integritas lendir, pembuluh darah; dan bagian orgun tubuh
3) Endoskop fiberoptik merupakan sebuah instrumen optic yang dilengkapi
dengan lensa pengamat, selang fleksibel yang panjang, dan sebuah sumber
cahaya pada bagian ujungnya. Alat ini memungkinkun penempatan struktur
pada ujung selang dan pemasukkan instrumen khusus untuk biopsi.
4) Visualisasi tidak langsung, apabila visualisasi tidak memungkinkan (seperti
struktur GI yang lebih dalam), dokter mengandalkan pemeriksaan sinar-X
tidak langsung. Klien menelan media kontras atau media diberikan sebagai
enema Salah satu media yang paling umum digunakan adalah barium, suatu
substansi radioopaq berwarna putih menyerupai kapur, yang diminumkan ke
klien seperti milkshake. Barium digunakan dalam pemeriksaan UGI dan
barium enema.
5) Media kontras biasanya dilengkapi dengan penyedap rasa agar rasanya lebih
baik.

30
2. Diagnosa Keperawatan
Contoh diagnose keperawatan menurut SDKI :
a. Diare
1) Definisi : Pengerluaran feses yang sering, lunak dan tidak berbentuk
2) Penyebab
Fisiologis : Inflamasi gastrointestinal, Iritasi gastrointestinal, Proses infeksi
dan Malabsorbsi.
Psikologis : Kecemasan dan Tingkat stress tinggi
Situasional : Terpapar kontaminan, Terpapar toksin, Penyalahgunaan laktasif,
Penyalahgunaan zat, Program pengobatan (agen tiroid, analgesic, pelunak
feses, ferosulfat, antasida, cimetidinie dan antibiotic), Perubahan air dan
makanan serta Adanya bakteri pada air.
3) Gejala dan tanda mayor
Subjektif : Tidak tersedia
Objektif : Defekasi lebih dari tiga kali dalam 24 jam, Feses lembek atau cair.
4) Gejala dan tanda minor
Subjektif : Urgency, Nyeri/kram abdomen
Objektif : Frekuensi peristaltic meningkat, Bising usus hiperaktif.
5) Kondisi klinis terkait
Kanker kolon, Diverticulitis, Iritasi usus, Crohn’s disease, Ulkus peptikum.
b. Inkontinensia fekal
1) Definisi : Perubahan kebiasaan buang air besar dari pola normal yang ditandai
dengan pengeluaran feses secara involunter (tidak disadari)
2) Penyebab : Kerusakan saraf motoric bawah, Penurunan tonus otot, Gangguan
kognitif, Penyalahgunaan laksatif, kehilangan fungsi pengendalian sfingter
rectum, Pasca operasi pulthrough dan penutupan kolosomi, Ketidakmampuan
mencapai kamar kecil, Diare kronis dan Stres berlebihan.
3) Gejala dan tanda mayor
Subjektif : Tidak mampu mengontrol pengeluaran feses, Tidak mampu
menunda defekasi
Objektif : Feses keluar sedikit-sedikit dan sering

31
4) Gejala dan tanda minor
Subjektif : Tidak tersedia
Objektif : Bau feses, Kulit perianal kemerahan.
5) Kondisi klinis terkait
Spina bifida, Atresia ani, Penyakit hirschsprung.
c. Konstipasi
a. Definisi : Penurunan defekasi normal yang disertai pengeluaran feses sulit dan
tidak tuntas serta fese kering dan banyak.
b. Penyebab
Fisiologis : Penurunan mortilitas gastrointestinal, Ketidakadekuatan
pertumbuhan gigi, Ketidakcukupan diet, Ketidakcukupan asupan serat,
Ketidakcukupan asupan cairan, Aganglionik (mis. Penyakit hircsprung) dan
Kelemahan otot abdomen.
Psikologis : Konfusi, Depresi dan Gangguan emosional
Situasional : Perubahan kebiasaan makan (mis. Jenis makanan, jadwal
makan), Ketidakadekuatan toileting, Aktivitas fisik harian kurang dari yang
dianjurkan, Penyalahgunaan laktasif, Efek agen farmakologis,
Ketidakteraturan kebiasaan defekasi, Kebiasaan menahan dorongan defekasi
dan Perubahan lingkungan.
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif : Defekasi kurang dari 2 kali seminggu, Pengeluaran feses lama dan
sulit.
Objektif : Feses keras, Peristaltik usus menurun.
d. Gejala dan tanda minor
Subjektif : Mengejan saat defekasi
Objektif : Distensi absomen, Kelemahan umum, Teraba masa pada rektal
e. Kondisi klinis terkait
Lesi/cedera pada medulla spinalis, Spina bifida, Stroke, Sklerosis multiple,
Penyakit parkinson, Demensia, Hiperparatiroidisme, Hipoparatiroidisme,
Ketidakseimbangan elektrolit, Hemoroid, Obesitas, Pasca operasi obstruksi
bowel, Kehamilan, Pembesaran prostat, Abses rektal, Fisura anorectal,
Striktura anorectal, Prolaps rektal, Ulkus rektal, rektokel, Tumor, Penyakit
hircsprung dan Impaksi feses.

32
d. Risiko konstipasi
1) Definisi : Berisiko mengalami penurunan frekuensi normal defekasi disertai
kesulitan dan pengeluaran feses tidak lengkap.
2) Faktor risiko
Fisiologis : Penurunan mortilitas gastrointestinal, Ketidakadekuatan
pertumbuhan gigi, Ketidakcukupan diet, Ketidakcukupan asupan serat,
Ketidakcukupan asupan cairan, Aganglionik (mis. Penyakit hircsprung) dan
Kelemahan otot abdomen.
Psikologis : Konfusi, Depresi dan Gangguan emosional
Situasional : Perubahan kebiasaan makan (mis. Jenis makanan, jadwal
makan), Ketidakadekuatan toileting, Aktivitas fisik harian kurang dari yang
dianjurkan, Penyalahgunaan laktasif, Efek agen farmakologis,
Ketidakteraturan kebiasaan defekasi, Kebiasaan menahan dorongan defekasi
dan Perubahan lingkungan.
3) Kondisi klinis terkait
Lesi/cedera pada medulla spinalis, Spina bifida, Stroke, Sklerosis multiple,
Penyakit parkinson, Demensia, Hiperparatiroidisme, Hipoparatiroidisme.

33
3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Luaran dan Kriteria Hasil Keperawatan Intervensi Keperawatan
1. Diare Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen Diare
a. Definisi : Pengerluaran feses selama …..x…. jam diharapkan
Tindakan Observasi
yang sering, lunak dan tidak Eliminasi Fekal
 Identifikasi penyebab diare (mis. inflamasi
berbentuk Dengan kriteria hasil :
b. Penyebab  Konsistensi feses normal gastrointestinal, iritasi gastrcintertinal, prose
Fisiologis :  Frekuensi BAB normal infeksi, malabsorpsi, ansietas, stres, efek
 Inflamasi gastrointestinal  Peristaltic usus normal
obat-obatan, pemberian botol susu)
 Iritasi gastrointestinal  Nyeri abdomen menurun
 Proses infeksi  Identifikasi riwayat pemberian makanan
 Malabsorbsi  Identifikasi gejala invaginasi (mis. tangisan
Psikologis :
keras, kepucatan pada bayi)
 Kecemasan dan
 Tingkat stress tinggi  Monitor warna, volume, frekuensi, dan

Situasional : konsistensi tinja


 Terpapar kontaminan,
 Monitor tanda dan gejaia hypovolemia (mis.
 Terpapar toksin,
takikardia, nadi teraba lemah, tekanan darah

34
 Penyalahgunaan laktasif, turun, turgor kulit turun, mukosa muiut
 Penyalahgunaan zat, kering, CRT melambat, BB menurun)
 Program pengobatan (agen
 Monitor iritasi dan ulserasi kulit di daerah
tiroid, analgesic, pelunak
feses, ferosulfat, antasida, perianal
cimetidinie dan antibiotic),  Monitor jumlah pengeluaran diare
 Perubahan air dan makanan
 Monitor keamanan penyiapan makanan
 Adanya bakteri pada air.
c. Gejala dan tanda mayor Terapeutik
Subjektif : Tidak tersedia  Berikan asupan cairan oral (mis. larutan
Objektif :
garam gula, oralit, pedialyte, renalyte)
 Defekasi lebih dari tiga kali
dalam 24 jam,  Pasang jalur intravena
 Feses lembek atau cair.
 Berikan cairan intravena (mis. ringer asetat,
d. Gejala dan tanda minor
ringer laktat), jika perlu
Subjektif :
 Urgency,  Ambil sampel darah untuk pemeriksaan
 Nyeri/kram abdomen darah lengkap dan elektrolit

35
Objektif :  Ambil sampel feses untuk kultur, jika pertu
 Frekuensi peristaltic
Edukasi
meningkat,
 Anjurkan makanan porsi kecil dan sering
 Bising usus hiperaktif.
e. Kondisi klinis terkait secara bertahap urken menghindari makanan
 Kanker kolon,
pembentuk gas, pedas dan mengandung
 Diverticulitis,
laktosa
 Iritasi usus,
 Crohn’s disease,  Anjurkan melanjutkan pemberian ASI

 Ulkus peptikum. Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian obat

antispasmodic/spasmolitik (mis. papaverin,

ekstak belladonna. Kolaborasi pemberian-

obat pengeras feses (mis. atapulgit, smektit,

kaolin-pektin)

 Kolaborasi pemberian obat antimotilitas

36
(mis. loperamide, difenoksilat) mebeverine)

Pemantauan Cairan

Tindakan Observasi

 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi

 Monitor frekuensi napas

 Monitor tekanan darah

 Monitor berat badan

 Monitor waktu pengisian kapiler

 Monitor elastisitas atau turgor kulit

 Monitor jumlah, warna dan berat jenis urine

 Monitor kadar albumin dan protein total

 Monitor hasil pemeriksaan serum (mis.

osmolaritas serum, hematokrit, natrium,

kalium, BUN) Monitor intake dan output

37
cairan

 Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis.

frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,

tekanan darah menurun, tekanan nadi

menyempit, turgor kulit menurun, membran

mukosa kering, volume urin menurun,

hematokrit meningkat, haus, lemah,

konsentrasi urine meningkat, berat badan

menurun dalam waktu singkat)

 Identifikasi tanda-tanda hipervolemia (mis.

dispnea, edema perifer, edema anasarka. JVP

meningkat, CVP meningkat, refieks

hepatojugular positif, berat badan menurun

dalam waktu singkat)

38
 Identifikasi faktor risiko ketidakseimbangan

cairan (mis. prosedur pembedahan mayor,

trauma/perdarahan, luka bakar, aferesis,

obstruksi intestinal, peradangan pankreas,

penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi

intestinal)

Terapeutik

 Atur interval waktu pemantauan sesuai

dengan kondisi pasien

 Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

2. Inkontinensia fekal Setelah diberikan asuhan keperawatan Latihan Eliminasi Fekal

39
a. Definisi : Perubahan kebiasaan selama …..x…. jam diharapkan Tindakan Observasi
Kontinensia Fekal
buang air besar dari pola normal  Monitor peristaltik usus secara teratur
Dengan kriteria hasil :
yang ditandai dengan
 Kemampuan mengontrol pengeluaran Terapeutik
pengeluaran feses secara feses meningkat  Anjurkan waktu yang konsisten untuk buang

involunter (tidak disadari)  Kemampuan menunda pengeluaaran


air besar
feses meningkat
b. Penyebab :  Berikan privasi, kenyamanan dan posisi yang
 Frekuensi BAB menurun
 Kerusakan saraf motoric meningkatkan proses defekasi
bawah,
 Gunakan enema rendah, jika perlu
 Penurunan tonus otot,
 Gangguan kognitif,  Anjurkan dilatasi rektal digital, jika perlu

 Penyalahgunaan laksatif,  Ubah program latihan elimanisi fekal, jika


kehilangan fungsi
perlu
pengendalian sfingter rectum,
 Pasca operasi pulthrough dan Edukasi

penutupan kolosomi,  Anjurkan mengkonsumsi makanan tertentu,


 Ketidakmampuan mencapai
sesuai program atau hasil konsultasi

40
kamar kecil,  Anjurkan asupan cairan yang adekuat sesuai
 Diare kronis dan Stres
kebutuhan
berlebihan.
 Anjurkan olah raga sesuai toleransi
c. Gejala dan tanda mayor

Subjektif : Kolaborasi

 Tidak mampu mengontrol  Kolaborasi penggunaan supositoria, jika

pengeluaran feses, perlu


 Tidak mampu menunda
defekasi
Perawatan Inkontinensia Fekal
Objektif :
Tindakan Observasi
 Feses keluar sedikit-sedikit
dan sering  Identifikasi penyebab inkontinensia fekal
d. Gejala dan tanda minor baik fisik maupun psikologis (mis. gangguan
Subjektif : Tidak tersedia saraf motorik bawah, penurunan tonus otot,
Objektif : gangguan sfingter rektum, diare kronis,
 Bau feses, gangguan kognitif, stress berlebihan)

41
 Kulit perianal kemerahan.  Identifikasi perubahan frekuensi defekasi dan
e. Kondisi klinis terkait
konsistensi feses
 Spina bifida,
 Monitor kondisi kulit perianal
 Atresia ani,
 Monitor keadekuatan evakuasi feses
 Penyakit hirschsprung.
 Monitor diet dan kebutuhan cairan

 Monitor efek samping pemberian obat

Terapeutik

 Bersihkan daerah perianal dengan sabun dan

air Jaga kebersihan tempat tidur dan pakaian

 Laksanakan program latihan usus (bowel

training), jika pertu

 Jadwalkan BAB di tempat tidur, jika perlu

 Berikan celana pelindung/pembalut/popok,

42
sesuai kebutuhan

 Hindari makanan yang menyebabkan diare

Edukasi

 Jelaskan definisi, jenis inkontinensia,

penyebab inkontinensia fekal

 Anjurkan mencatat karakteristik feses

Kolaborasi Kolaborasi pemberian obat diare

(mis. loperanmide, atropin)

3. Konstipasi Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen eliminasi fekal


a. Definisi : Penurunan defekasi selama …..x…. jam diharapkan
Tindakan Observasi
Eliminasi Fekal
normal yang disertai pengeluaran
 Identifikasi masalah usus dan penggunaan
Dengan kriteria hasil :
feses sulit dan tidak tuntas serta
 Konsistensi feses normal

43
fese kering dan banyak.  Frekuensi BAB normal obat pencahar

b. Penyebab  Peristaltic usus normal  Identifikasi pengobatan yang berefek pada


 Nyeri abdomen menurun
Fisiologis : kondisi gastrointestinal

 Penurunan mortilitas  Monitor buang air besar (mis. warna,

gastrointestinal, frekuensi, konsistensi, volume)

 Ketidakadekuatan  Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi,

pertumbuhan gigi, atau impaksi

 Ketidakcukupan diet, Terapeutik

 Ketidakcukupan asupan serat,  Berikan air hangat setelah makan

 Ketidakcukupan asupan  Jadwalkan waktu defekasi bersama pasien

cairan,  Sediakan makanan tinggi serat

 Aganglionik (mis. Penyakit Edukasi

hircsprung)  Jelaskan jenis makanan yang membantu

 Kelemahan otot abdomen. meningkatkan keteraturan peristallik usus

44
Psikologis :  Anjurkan mencatat warna, frekuensi,

 Konfusi, konsistensi, volume feses

 Depresi dan  Anjurkan meningkatkan aktifilas fisik, sesuai

 Gangguan emosional toleransi

Situasional :  Anjurkan pengurangan asupan makanan

 Perubahan kebiasaan makan yang meningkatkan pembentukan gas

(mis. Jenis makanan, jadwal  Anjurkan mengkonsumsi makanan yang

makan), mengandung tinggi serat

 Ketidakadekuatan toileting,  Anjurkan meningkatkan asupan cairan, jika

 Aktivitas fisik harian kurang tidak ada kontraindikasi

dari yang dianjurkan, Kolaborasi

 Penyalahgunaan laktasif,  Kolaborasi pemberian obat supositoria anal,

jika perlu.
 Efek agen farmakologis,

 Ketidakteraturan kebiasaan

45
defekasi, Manajemen konstipasi
Tindakan Observasi
 Kebiasaan menahan
 Periksa tanda dan gejala konstipasi
dorongan defekasi dan
 Periksa pergerakan usus, karakteristik feses
 Perubahan lingkungan.
(konsistensi, bentuk, volume, dan warna)
c. Gejala dan tanda mayor
 Identifikasi faktor risiko konstipasi (mis.
Subjektif :
obat-obatan, tirah baring, dan diet rendah
 Defekasi kurang dari 2 kali
seral)
seminggu,
 Monitor tanda dan gejala ruptur usus
 Pengeluaran feses lama dan
dan/atau peritonitis
sulit.
Terapeutik
Objektif :
 Anjurkan diet tinggi serat
 Feses keras,
 Lakukan masase abdomen, jika perlu
 Peristaltik usus menurun.
 Lakukan evakuasi feses secara manual, jika
d. Gejala dan tanda minor

46
Subjektif : perlu

 Mengejan saat defekasi  Berikan enema atau irigasi, jika perlu

Objektif : Edukasi

 Distensi absomen,  Jelaskan etiologi masaiah dan alasan

 Kelemahan umum, tindakan

 Teraba masa pada rektal  Anjurkan peningkatan asupan cairan, jika

e. Kondisi klinis terkait tidak ada kontraindikasi

 Lesi/cedera pada medulla  Latih buang air besar secara teratur

spinalis,  Ajarkan cara mengatasi konstipasi/impaksi

 Spina bifida, Kolaborasi ·

 Stroke,  Konsultasi dengan tim medis tentang

 Sklerosis multiple, penurunan/peningkatan frekuensi suara usus

 Penyakit parkinson,  Kolaborasi penggunaan obat pencahar, jika

perlu.

47
 Demensia,

 Hiperparatiroidisme,

 Hipoparatiroidisme,

 Ketidakseimbangan

elektrolit,

 Hemoroid,

 Obesitas,

 Pasca operasi obstruksi

bowel,

 Kehamilan,

 Pembesaran prostat,

 Abses rektal,

 Fisura anorectal,

48
 Striktura anorectal,

 Prolaps rektal,

 Ulkus rektal,

 Rektokel,

 Tumor,

 Penyakit hircsprung dan

 Impaksi feses.

4. Risiko konstipasi Setelah diberikan asuhan keperawatan Pencegahan Konstipasi


a. Definisi : Berisiko mengalami selama …..x…. jam diharapkan
Tindakan Observasi
Eliminasi Fekal
penurunan frekuensi normal
 Identifikasi faktor risiko konstipasi (mis.
Dengan kriteria hasil :

49
defekasi disertai kesulitan dan  Konsistensi feses normal asupan serat tidak adekuat, asupan cairan

pengeluaran feses tidak lengkap.  Frekuensi BAB normal tidak adekuat, aganglionik, kelemahan otot
 Peristaltic usus normal
b. Faktor risiko abdomen, aktivitas fisik kurang)
 Nyeri abdomen menurun
Fisiologis :
 Monitor tanda dan gejala konstipasi (mis.
 Penurunan mortilitas
defekasi kurang 2 kali seminggu, defekasi
gastrointestinal,
lama/sulit, feses keras, peristaltik menurun)
 Ketidakadekuatan
 Identifikasi status kognitif untuk
pertumbuhan gigi,
mengkomunikasikan kebutuhan Identifikasi
 Ketidakcukupan diet,
penggunaan obat-obatan yang menyebabkan
 Ketidakcukupan asupan serat,
konstipasi
 Ketidakcukupan asupan
Terapeutik
cairan,
 Batasi minuman yang mengandung kafein
 Aganglionik (mis. Penyakit
dan alkohol
hircsprung)
 Jadwalkan rutinitas BAK

50
 Kelemahan otot abdomen.  Lakukan massage abdomen

Psikologis :  Berikan terapi akupresur


 Konfusi,
Edukasi
 Depresi dan
 Jelaskan penyebab dan faktor risiko
 Gangguan emosional konstipasi
Situasional :  Anjurkan minum air putih sesuai dengan
 Perubahan kebiasaan makan
kebutuhan (1500-2000 mL/hari)
(mis. Jenis makanan, jadwal
 Anjurkan mengkonsumsi makanan berserat
makan),
(25-30 gram/hari)
 Ketidakadekuatan toileting,
 Anjurkan meningkatkan aktivitas fisik sesuai
 Aktivitas fisik harian kurang
kebutuhan
dari yang dianjurkan,
 Anjurkan berjalan 15-20 menit 1-2 kali/hari
 Penyalahgunaan laktasif,
 Anjurkan berjongkok untuk memfasilitasi
 Efek agen farmakologis,

51
 Ketidakteraturan kebiasaan proses BAB

defekasi, Kolaborasi

 Kebiasaan menahan  Kolaborasi dengan ahli gizi, jika perlu

dorongan defekasi dan

 Perubahan lingkungan.

c. Kondisi klinis terkait


 Lesi/cedera pada medulla

spinalis,

 Spina bifida,

 Stroke,

 Sklerosis multiple,

 Penyakit parkinson,

 Demensia,

 Hiperparatiroidisme,

52
 Hipoparatiroidisme

53
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah ditetepkan.

5. Evaluasi Keperawatan
a. Evaluasi Formatif
Merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap klien, terhadap
respon langsung pada intervensi keperawatan.
b. Evaluasi Sumatif
Merefleksikan rekapitulasi dan sinopsi dan analisis mengenai status
kesehatan klien terhadap waktu

54
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2010. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi


Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Kee, J.L & Hayes, E. R. (1993). Pharmacology: A Nursing Process Approach.
W.B Saunder Company.
Nanda International. (2012). Diagnosis Keperawatan 2012-2014. Jakarta. EGC
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. PPNI: Jakarta.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat
PPNI: Jakarta Selatan.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Denifisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta Selatan
Potter & Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2 Edisi 4.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (1996). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-
Surgical Nursing. 8 Ed. Vol 2. [Terj. Endah Pakaryaningsih & Monica Ester].
EGC: Jakarta.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Idrus, A. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Tarwoto & Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses
Keperawatan. Edisi 4. Salemba Medika. Jakarta
Woodley, M & Whelan, A. Manual of Medical Therapeutics. 27th Edition. [Terj.
Dr. Ahmad H. Asdie, DSPD-KE). Yayasan Essentia Medica & Andi Offset:
Yogyakarta.
Sjamsuhidayat, R & Jong, W.D. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. EGC: Jakarta.
Schrock, T.R. Handbook of Surgery. 7th Ed. [Terj. Adji Dharma, Petrus
Lukmanto, Gunawan]. EGC: Jakarta.
Tjay, T.H & Rahardja, K. (2007). Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan
Efek-efek sampingnya. Elek Media Komputindo: Jakarta.

55

Anda mungkin juga menyukai