Anda di halaman 1dari 92

FORMULASI DAN UJI EFEKTIVITAS KRIM KOMBINASI

EKSTRAK KUNYIT DAN LIDAH BUAYA TERHADAP


PENYEMBUHAN LUKA BAKAR

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai


derajat Strata 1 Program Studi Sarjana Farmasi

Oleh:

ELISABET BERNADETA FALLO


NIM 154111007

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


UNIVERSITAS CITRA BANGSA
KUPANG
2019
FORMULASI DAN UJI EFEKTIVITAS KRIM KOMBINASI
EKSTRAK KUNYIT DAN LIDAH BUAYA TERHADAP
PENYEMBUHAN LUKA BAKAR

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai


derajat Strata 1 Program Studi Sarjana Farmasi

Oleh:

ELISABET BERNADETA FALLO


NIM 154111007

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


UNIVERSITAS CITRA BANGSA
KUPANG
2019

i
ii
iii
iv
v
PERSEMBAHAN

Hidupkanlah dalam hatimu,

Sebuah proses adalah jalan menuju sebuah hal yang kamu raih

Hidupkanlah dalam pikiranmu,

Bahwa proses adalah suatu hal yang harus lebih kamu hargai

Hidupkanlah dalam tindakanmu,

Bahwa kamu berhak untuk berproses menjadi lebih baik lagi

(Anonim)

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan rahmat-Nya kepadaku

Bapa Gabriel Fallo, Mama Mery Fallo-Kadja yang selalu mendoakan,


mendukung dan menuntunku dengan penuh kasih sayang

Kakakku terkasih Hendrik Fallo yang selalu memberikan semangat dan


dukungan kepadaku

Teman-teman seperjuanganku di Prodi Farmasi Angkatan I Universitas


Citra Bangsa Kupang Khususnya Farmasi A

Almamaterku, Universitas Citra Bangsa Kupang

vi
KATA PENGANTAR
UCAPAN TERIMA KASIH

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
”FORMULASI DAN UJI EFEKTIVITAS KRIM KOMBINASI EKSTRAK
KUNYIT DAN LIDAH BUAYA TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA
BAKAR”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi (S.Farm.) di Universitas Citra Bangsa Kupang.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi,
penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil,
sehingga skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan. Oleh karena itu, dengan ketulusan
hati yang paling dalam, penulis menyampaikan terima kasih yang begitu besar kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat, rahmat dan perlindungan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. drg Jeffrey Jap, M. Kes., selaku Rektor Universitas Citra Bangsa
Kupang.
3. Ibu Novi Winda Lutsina, S.Farm., M.Si., Apt., selaku Ketua Program Studi
Sarjana Farmasi Universitas Citra Bangsa Kupang, yang telah mendukung dan
memberikan nasihat dalam proses penelitan hingga penyelesaian penyusunan
skripsi ini.
4. Ibu Maria Philomena Erika Rengga, S.Farm, M.Farm-Klin., Apt., selaku
Sekretaris Program Studi Sarjana Farmasi Universitas Citra Bangsa Kupang
sekaligus selaku Dosen Wali yang selalu memberikan motivasi dan dukungan
kepada penulis dalam proses penelitian hingga penyelesaian penyusunan skripsi.
5. Ibu Christin Aprillian Beama, S.Farm., M.Farm., Apt., selaku Dosen Pembimbing
I yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing, memberikan ilmu
serta motivasi kepada penulis selama proses penelitian dan penyelesaian
penyusunan skripsi.

vii
6. Ibu Nur Oktavia, S. Farm., M.Farm-Klin., Apt., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing, memberikan ilmu serta
motivasi kepada penulis selama proses penelitian dan penyelesaian penyusunan
skripsi.
7. Bapak Kornelis R.R.R. Naja, S.Farm., M.Farm., Apt., selaku penguji yang telah
meluangkan waktu untuk mengarahkan penulis serta memberikan masukan demi
kesempurnaan penyusunan skripsi ini.
8. Ibu Desi Apriana Tagi, S.Pd., selaku Laboran Laboratorium Farmasi Universitas
Citra Bangsa Kupang yang telah membantu dan mendukung penulis selama proses
penelitian di Laboratorium Universitas Citra Bangsa Kupang.
9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Sarjana Farmasi Universitas Citra Bangsa
Kupang, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
ilmu bagi penulis dalam proses penelitian hingga penyusunan skripsi ini.
10. Bapak Dr. Ir. Damianus Adar, M. Ec, selaku Dekan Fakultas Pertanian, beserta
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang yang
telah membantu mengidentifikasi tanaman yang digunakan pada penelitian ini.
11. Keluargaku tercinta, Bapa Gabriel Fallo dan Mama Mery Fallo-Kadja, ka
Hendrik, ka Linda, ka Yanti, ka Ida, ka Ina, ka Ody, ka Nella, Mama Ani, Bapa
Ani, serta keponakanku tersayang Rein, Felicia, Ezra, Carwyn, Dirga, yang selalu
memberikan kasih sayang, doa, dukungan, motivasi serta hiburan selama
penelitian hingga penyusunan skripsi ini.
12. Teman-teman seperjuangan Ochan, Yunni, Fidelia, Younike, Ricko, Aldo, Vicky,
Hendro, Deni, Habel terima kasih untuk dukungan, canda tawa, bantuan dan
kerjasamanya selama proses penelitian hingga penyusunan skripsi ini.
13. Saudariku terkasih Mega Ndoi dan Karmelita Pertiwi yang telah memberikan
dukungan, semangat, dan motivasi selama proses penelitian hingga penyusunan
skripsi ini.
14. Teman-teman seperjuanganku Farmasi Angkatan I Universitas Citra Bangsa
Kupang khususnya teman-teman kelas Farmasi A: Yuyun, Amel, Aty, Deni, Didi,
Aldo, Ancy, Fidel, Epy, Hendro, Riko, Tiwi, Elisa, Marlen, Any, ka Vony, Sintya,

viii
Yuni, Mega, Rahelin, Siska, Ensy, Yuchan, Vany, dan Nay yang selalu
memberikan dukungan dan motivasi selama proses penelitian hingga penyusunan
skripsi ini.
15. Sahabatku Rina, Shinta, Rhya yang telah mendukung dan memberikan semangat
selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Semoga Tuhan membalas budi baik semua pihak yang telah memberi
kesempatan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis
sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap bahwa
skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi Farmasi.

Kupang, 17 September 2019

Penulis

ix
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN DEPAN ...................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI SKRIPSI ................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
ABSTRAK ...................................................................................................... xvi
ABSTRACT .................................................................................................... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 5
A. Tanaman...................................................................................... 5
1. Kunyit..................................................................................... 5
2. Lidah Buaya .......................................................................... 7
B. Ekstraksi...................................................................................... 10
C. Kulit ............................................................................................ 14
D. Luka Bakar .................................................................................. 17
E. Krim ............................................................................................ 22
F. Hewan Coba Kelinci ................................................................... 25
x
G. Salep Mebo ................................................................................. 26
H. Uraian Bahan .............................................................................. 26
1. Setil Palmitat .......................................................................... 26
2. Propilenglikol ......................................................................... 27
3. Vitamin E ............................................................................... 27
I. Landasan Teori ........................................................................... 28
J. Hipotesis ..................................................................................... 31
BAB III. METODE PENELITIAN .............................................................. 32
A. Jenis dan Rancangan Penelitian .................................................. 32
1. Jenis Penelitian ....................................................................... 32
2. Rancangan Penelitian ............................................................. 32
B. Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................... 32
C. Sampel ........................................................................................ 33
D. Variabel Penelitian ...................................................................... 34
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ................................... 34
F. Alat dan Bahan............................................................................ 34
G. Prosedur Penelitian ..................................................................... 35
1. Persiapan Sampel ................................................................... 35
2. Ekstraksi Sampel .................................................................... 36
3. Pembuatan Sediaan Krim ....................................................... 36
a. Rancangan Formula ........................................................... 36
b. Pembuatan Formula ........................................................... 36
4. Evaluasi Sediaan .................................................................... 37
5. Pengujian Penyembuhan Luka Bakar .................................... 37
6. Pengukuran Diameter Luka Bakar ......................................... 38
H. Pengumpulan dan Analisis Data ................................................. 38
I. Alur Penelitian ............................................................................ 39
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 40
A. Pembuatan Ekstrak Rimpang Kunyit .......................................... 40
B. Pembuatan Krim ......................................................................... 41

xi
C. Evaluasi Sediaan Krim................................................................ 42
D. Pengukuran Diameter Luka Bakar .............................................. 44
E. Analisis Statistik Penurunan Diameter Luka Bakar ................... 48
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 50
A. Kesimpulan.................................................................................... 50
B. Saran ............................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 51

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Tanaman Kunyit ........................................................................... 5
Gambar 2.2 Tanaman Lidah Buaya ................................................................. 8
Gambar 2.3 Struktur Epidermis Kulit .............................................................. 14
Gambar 2.4 Penyusun Epidermis Kulit............................................................ 15
Gambar 2.3 Struktur Dermis Kulit ................................................................... 16
Gambar 2.3 Struktur Subkutan Kulit ............................................................... 17
Gambar 4.1 Diagram Penurunan Diameter Luka Bakar .................................. 45

xiii
DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 3.1 Rancangan Sediaan Krim Kombinasi Ekstrak Kunyit dan


Lidah Buaya..................................................................................... 34
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Rendemen Ekstrak Kunyit ................................. 40
Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Sediaan ..................................................................... 41
Tabel 4.3 Rata-rata Penurunan Diameter Luka Bakar ..................................... 44

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Surat Determinasi Tanaman Kunyit dan Lidah buaya........................ 60
Lampiran 2. Persen Rendemen Ekstrak Etanol 70% Kunyit ................................. 62
Lampiran 3. Penimbangan Bahan Pembuatan Krim ........................................ 63
Lampiran 4. Penyiapan Sampel .......................................................................... 64
Lampiran 5. Pembuatan Sediaan ...................................................................... 66
Lampiran 6. Evaluasi Sediaan .......................................................................... 68
Lampiran 7. Pengujian Luka Bakar ................................................................. 70
Lampiran 8. Tabel Rata-rata Diameter Luka bakar ......................................... 72
Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik ................................................................ 72

xv
ABSTRAK

FALLO, ELISABET BERNADETA. 2019. Formulasi dan Uji Efektivitas Krim


Kombinasi Ekstrak Kunyit dan Lidah Buaya Terhadap Penyembuhan
Luka Bakar
Pembimbing I : Christin Aprillian Beama, S.Farm., M.Farm., Apt
Pembimbing II : Nur Oktavia, S.Farm., M.Farm-Klin., Apt

Kunyit (Curcuma longa) dan Lidah buaya (Aloe vera) merupakan tanaman
tradisional yang telah dikenal berkhasiat dalam menyembuhkan luka. Kunyit dan lidah
buaya mengandung kurkumin dan glukomanan yang memiliki aktivitas terhadap
proses penyembuhan luka bakar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
efektivitas kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya yang diformulasi dalam bentuk
sediaan krim terhadap penyembuhan luka bakar. Jenis penelitian ini merupakan
penelitian eksperimental yang terdiri dari 3 kelompok perlakuan yaitu kelompok
kontrol positif yang diberikan Salep MEBO, kontrol negatif yang tidak diberikan
pengobatan, serta kelompok perlakuan yang diberikan krim kombinasi ekstrak kunyit
dan lidah buaya. Parameter yang diamati yaitu penurunan diameter luka bakar dari hari
ke-1 hingga hari ke-14 yang diukur menggunakan jangka sorong digital. Analisis
statistik penurunan diameter luka bakar dilakukan dengan menggunakan uji One Way
Anova dengan nilai signifikan p<0,05 dan dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil analisis
statistik menyatakan bahwa terdapat perbedaan penurunan diameter luka bakar yang
signifikan antara 3 kelompok uji krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya
mempunyai efektivitas terhadap penyembuhan luka bakar. Krim kombinasi ekstrak
kunyit dan lidah buaya memercepat penyembuhan luka bakar.

Kata kunci: Kunyit (Curcuma longa), Lidah buaya (Aloe vera), Luka Bakar,
Penyembuhan Luka Bakar

xvi
ABSTRACT

FALLO, ELISABET BERNADETA. 2019. Formulation and Effectiveness Test of


Cream Combination of Turmeric Extract and Aloe Vera Against Burn
Wound Healing
Advisor I : Christin Aprillian Beama, S.Farm., M.Farm., Apt
Advisor II : Nur Oktavia, S.Farm., M.Farm-Klin., Apt

Turmeric (Curcuma longa) and Aloe vera (Aloe vera) are traditional plants that
have been known to be efficacious in healing wounds. Turmeric and aloe vera contain
curcumin and glucomannan have activity on the process of healing burns. The purpose
of this study was to determine the effectiveness of a combination of turmeric extract
and aloe vera formulated in the form of cream preparations for burn healing. This type
of research is an experimental study consisting of 3 treatment groups namely a positive
control group given MEBO Ointment, a negative control that was not given treatment,
and a treatment group that was given a combination of turmeric and aloe vera extract
cream. The observed parameter was the decrease in burn diameter from day 1 to day
14 which was measured using a digital calipers. Statistical analysis of the reduction in
burn diameter was performed using the One Way Anova test with a significant value
of p <0.05 and continued with the LSD test. The results of the statistical analysis stated
that there were significant differences in the reduction in burn diameter between the 3
groups of turmeric and aloe vera extract combination cream test which had the
effectiveness of burn healing. The combination cream of turmeric and aloe vera extract
accelerates the decrease in burns wound healing.

Keywords: Turmeric (Curcuma longa), Aloe vera (Aloe vera), Burns, Burns Wound
Healing

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Luka bakar merupakan kecelakaan yang sering terjadi pada kehidupan
sehari-hari. Luka bakar terjadi akibat sentuhan atau kontak langsung kulit dengan
sumber panas seperti api, cairan panas, radiasi, radioaktivitas, listrik atau bahan
kimia (WHO, 2014). Kondisi ini akan mengakibatkan trauma serta menimbulkan
rasa sakit dan tidak nyaman. Kulit dengan luka bakar tidak hanya mengalami
kerusakan pada epidermis, tetapi menyebabkan kerusakan jaringan yang
mengaktifkan respon inflamasi kemudian menyebabkan efek patofisiologis secara
lokal ataupun sistemik. Efek lokal terjadi pada kulit dan jaringan subkutan,
sedangkan efek sistemik yang ditimbulkan tergantung pada kedalaman dan luas dari
jaringan yang rusak akibat luka bakar (Brodie et al., 2013)
Menurut World Health Organization, luka bakar menjadi cedera paling
umum ketujuh di dunia yang menyebabkan lebih dari 7,1 juta cedera dan 265.000
kematian setiap tahun diseluruh dunia. Besarnya kematian akibat luka bakar
diperkirakan menjadi 5% dari semua cedera, yang hampir seperempat kematian
karena kecelakaan lalu lintas (WHO, 2014). Di Indonesia, luka bakar menyebabkan
sekitar 195.000 kematian setiap tahun (WHO, 2012). Riset Kesehatan Dasar,
prevalensi luka bakar pada tahun 2013 menduduki peringkat keenam dalam
kecelakaan yang tidak disengaja di Indonesia dengan total sebesar 0,7%
(RISKESDAS, 2013). Kemudian pada tahun 2018, prevalensi luka bakar di
Indonesia sebesar 1,3%, sedangkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur prevalensi
luka bakar menduduki urutan terbesar ketiga dari beberapa jenis cedera yaitu
sebesar 1,1% (RISKESDAS, 2018).
Tindakan yang dapat dilakukan pada luka bakar adalah dengan memberikan
terapi lokal yang bertujuan mencegah terjadinya infeksi, memacu pembentukan
jaringan kolagen serta mengupayakan agar sisa-sisa sel epitel dapat berkembang
dan menutup permukaan luka (Wirastuty, 2016). Proses penyembuhan luka bakar
umumnya sama dengan penyembuhan luka lainnya yaitu dibagi menjadi tiga fase

1
2

meliputi fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi (Maryunani, 2015).
Penggunaan tumbuhan dan bahan alam lainnya sebagai obat untuk
mengurangi rasa sakit, menyembuhkan, dan mencegah penyakit tertentu telah
dikenal masyarakat sejak zaman dahulu. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun
2018, pemanfaatan tanaman obat di Indonesia mencapai 24,6%, sedangkan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur, pemanfaatan tanaman obat mencapai 55,1%
(RISKESDAS, 2018). Tanaman tradisional yang mudah ditemui serta dianggap
mampu menyembuhkan luka antara lain adalah kunyit dan lidah buaya. Menurut
Prasetyo et al (2010), kecepatan dari penyembuhan luka dapat dipengaruhi dari zat-
zat yang terdapat dalam obat yang diberikan, jika obat tersebut mempunyai
kemampuan untuk meningkatkan proses penyembuhan dengan cara merangsang
pertumbuhan sel-sel baru pada kulit dengan lebih cepat.
Kunyit (Curcuma domestica Val) mengandung senyawa kurkumin yang
berperan dalam penyembuhan luka dan regenerasi kulit (Tangapazham et al., 2013).
Kandungan kurkumin pada kunyit memiliki sifat antioksidan (He .Y et al., 2015).
Sebagai antiinflamasi, kurkumin akan menghambat enzim cyclo-oxygenase-2
(COX-2), sitokin pro-inflamasi dan menghambat aktivasi nuclear factor kappa B
(NFkB) sehingga akan mempercepat proses penyembuhan luka (Arshad et al.,
2018). Sedangkan tanaman lidah buaya (Aloe vera) mengandung glukomanan yaitu
karbohidrat yang terdiri dari manosa dan glukosa yang mempunyai kemampuan
meningkatkan sintesis kolagen melalui stimulasi fibroblas faktor pertumbuhan
(FGFs) dan meningkatkan aktivitas proliferasi sel. Hal ini akan merangsang
produksi dan sekresi kolagen pada luka sehingga tanaman lidah buaya dapat
digunakan sebagai salah satu tanaman yang dapat menyembuhan luka (Seyyed et
al., 2015). Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuri (2013)
bahwa kunyit dan lidah buaya dapat menyembuhkan luka insisi pada tikus putih.
Paula (2013) juga telah melakukan penelitian bahwa dengan konsentrasi 25%
ekstrak etanol kunyit dapat menyembuhkan luka pada mukosa mulut tikus.
Kemudian Rini et al (2016) melakukan penelitian menggunakan lidah buaya
dengan konsentrasi 25% menunjukkan aktivitas penyembuhan luka sayat pada
mencit.
3

Meningkatnya kemajuan teknologi di Indonesia khususnya Industri Farmasi


dalam mengembangkan produk obat herbal yang diperoleh dari tanaman, maka
dibuatlah sediaan dengan pertimbangan bahwa pemanfaatan tanaman sebagai zat
aktif obat di nilai lebih aman karena efek samping yang ditimbulkan relatif lebih
kecil apabila dibandingkan dengan obat berbahan kimia (Dwisatyadini, 2017).
Krim merupakan bentuk sediaan topikal umumnya dengan tujuan lokal. Bentuk
sediaan krim mudah menyebar rata pada kulit, tidak lengket dan mudah digunakan
(Ansel, 2008). Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Formulasi dan uji efektivitas sediaan krim dari kombinasi
ekstrak kunyit dan lidah buaya terhadap penyembuhan luka bakar”.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang timbul berdasarkan latar belakang diatas:
1. Bagaimana formulasi krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya?
2. Bagaimana efektivitas krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya dalam
menyembuhkan luka bakar?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Membuat formulasi krim dari kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya
2. Mengetahui efektivitas dari krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya
dalam menyembuhkan luka bakar
4

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan serta gambaran kepada pembaca tentang cara
membuat formulasi sediaan krim dari kombinasi ekstrak kunyit dan lidah
buaya terhadap penyembuhan luka bakar
2. Diharapkan dapat menjadi bukti empirik tentang efektivitas krim kombinasi
ekstrak kunyit dan lidah buaya terhadap penyembuhan luka bakar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman
1. Kunyit
a. Taksonomi
Dalam taksonomi tumbuhan, kunyit dikelompokkan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Sub-Divisio : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Lilliopsida
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma longa Linn.
(Roshan & Gaur, 2017)
b. Morfologi

Gambar 2.1 Tanaman Kunyit


Kunyit merupakan jenis rumput-rumputan, tingginya sekitar 1 meter
dan bunganya muncul dari pucuk batang semu dengan panjang sekitar 10-15
cm dan berwarna putih (Hartati & Balittro, 2013). Kunyit memiliki batang
semu yang tersusun dari kelopak atau pelepah daun yang saling menutupi.
Batang kunyit bersifat basah karena mampu menyimpan air dengan baik,
berbentuk bulat dan berwarna hijau keunguan (Depkes, 1977). Tinggi

5
6

batang kunyit mencapai 0,75–1 m (Winarto, 2004). Daun kunyit tersusun dari
pelepah daun, gagang daun dan helai daun berwarna hijau atau hanya bagian
atas dekat tulang utama berwarna agak keunguan, panjang 28-85 cm, lebar 10
cm sampai 25 cm (Depkes, 1977). Bunga kunyit berbentuk kerucut runcing
berwarna putih atau kuning muda dengan pangkal berwarna putih. Setiap
bunga mempunyai tiga lembar kelopak bunga, tiga lembar tajuk bunga dan
empat helai benang sari (Winarto, 2004).
Bagian utama dari tanaman kunyit adalah rimpangnya yang berada
didalam tanah. Rimpang utama biasanya ditumbuhi tunas yang tumbuh
kearah samping, mendatar, atau melengkung. Warna kulit rimpang jingga
kecoklatan atau berwarna terang agak kuning kehitaman. Warna daging
rimpangnya jingga kekuningan dilengkapi dengan bau khas yang rasanya
agak pahit dan pedas. Rimpang cabang tanaman kunyit akan berkembang
secara terus menerus membentuk cabang-cabang baru dan batang semu,
sehingga berbentuk sebuah rumpun. Lebar rumpun mencapai 24,10 cm,
panjang rimpang bisa mencapai 22,5 cm, tebal rimpang yang tua 4,06 cm dan
rimpang muda 1,61 cm (Winarto, 2004).
c. Kandungan Kimia
Komponen kimia yang terdapat dalam rimpang kunyit diantaranya
protein, lemak, mineral, karbohidrat, pelembab, minyak esensial (Rathaur et
al., 2012). Senyawa kimia utama yang terkandung dalam rimpang kunyit
adalah zat warna kurkuminioid dan minyak atsiri. Kandungan kurkuminoid
berkisar antara 1,8-5,4% yang terdiri dari kurkumin dan turunannya yaitu
demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin (Mohanta et al., 2015).
Senyawa tersebut memberikan fluoresensi warna kuning, jingga, sampai
jingga kemerahan. Menurut Winarto (2004), kandungan kurkumin pada
rimpang kunyit adalah 3 gram per 100 gram kunyit. Sedangkan kandungan
minyak atsiri pada rimpang kunyit berkisar antara 2,5-7,2% (Mohanta et al.,
2015). Rimpang kunyit juga mengandung senyawa lain seperti pati, lemak,
protein, kamfer, resin, damar, gom, kalsium, fosfor, dan zat besi (Hartati &
Balittro, 2013).
7

d. Manfaat
Tanaman kunyit di Indonesia sering digunakan sebagai bumbu,
pengawet makanan dan pewarna. Dalam pengobatan herbal, rimpang kunyit
sering digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit seperti
penyembuhan luka, gangguan pencernaan, penyakit kuning, hepatitis, kanker,
ateroskleresis, osteoartritis, masalah menstruasi pada wanita, infeksi bakteri,
sinusitis dan gangguan mata (Roshan & Gaur, 2017). Kandungan kurkumin
pada kunyit telah terbukti memiliki sifat antioksidan dan dapat mengobati
inflamasi kronis (He .Y et al., 2015). Sebagai antiinflamasi, kurkumin akan
menghambat enzim cyclooxygenase-2 (COX-2), sitokin pro-inflamasi dan
menghambat aktivasi nuclear factor kappa B (NFkB) (Arshad et al., 2018).
Senyawa kurkumin diduga berkhasiat sebagai penyembuhan luka dengan
menekan produksi TNF-α dan IL-1 oleh makrofag. Selain itu, kurkumin juga
merupakan penghambat potensial fosforilasa kinase (PhK) dan aktivasi NFkB
(Ahmed & Saeid, 2017).

2. Lidah Buaya
a. Taksonomi
Secara taksonomi lidah buaya diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Sub-Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Class : Lilliopsida
Ordo : Liliales
Family : Aloaceae
Genus : Aloe
Spesies : Aloe vera
(Sahu et al., 2013)
8

b. Morfologi

Gambar 2.2 Tanaman Lidah Buaya


Lidah buaya merupakan tumbuhan yang menyerupai kaktus yang
dapat tumbuh dalam berbagai iklim termasuk daerah beriklim sedang dan
subtropis (Manvitha & Bidya, 2014). Lidah buaya dapat tumbuh hingga
ketinggian 80-100 cm (Burlando et al., 2010). Daun tanaman lidah buaya
biasa berjumlah 12 hingga 16 daun. Daunnya berdaging tebal, tidak
bertulang, berwarna hijau keabu-abuan, bersifat sukulen (banyak
mengandung air) dan banyak mengandung getah atau lendir (gel). Bentuk
daunnya meruncing, permukaan daun dilapisi lilin. Panjang daun dapat
mencapai 20-30 cm dan lebar 3-10 cm (Ahlawat & Khatkar, 2011). Bunga
lidah buaya berupa pipa yang mengumpul, keluar dari ketiak daun dan
berwarna kuning atau kemerah-merahan. Bunga berukuran kecil, tersusun
dalam rangkaian berbentuk tandan, dan panjangnya bisa mencapai 1 meter.
Akar tanaman lidah buaya berupa akar serabut yang pendek menyebar ke
samping di bagian bawah tanaman. Panjang akar berkisar antara 50-100 cm
(Satya, 2013).
c. Kandungan kimia
Tingginya kandungan gel di dalam lidah buaya menyebabkan daun
lidah buaya tampak gemuk dan tebal (Yu et al., 2009). Gel lidah buaya
mengandung polisakarida (glukomanan) yang menyebabkan daun lidah
buaya menjadi lembab. Gel ini merupakan bagian lidah buaya yang memiliki
banyak manfaat baik secara biologis maupun fisiologis, seperti kemampuan
9

dalam mempercepat penyembuhan luka bakar maupun luka sayat pada kulit,
mencegah keriput pada kulit, menghambat pertumbuhan bakteri dan
mikroorganisme lainnya, meningkatkan resistensi tubuh terhadap proliferasi
sel kanker, serta menstimulasi sistem pertahanan tubuh dikarenakan adanya
senyawa antrakuinon (Efferpi et al., 2010). Kandungan glukomanan dalam
lidah buaya adalah 0,268 gram per 100 gram lidah buaya (Femenia et al.,
2003). Lidah buaya juga mengandung hormon giberelin (hormon
pertumbuhan) yang apabila berinteraksi dengan reseptor hormon
pertumbuhan pada fibroblas dapat menstimulasi aktivitas proliferasi sel serta
dapat meningkatkan sintesis kolagen (Michael & Gary, 2016). Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa tanaman lidah buaya memiliki
kandungan antioksidan yang berguna menjaga sel dari kerusakan oksidasi
(Jose et al., 2014).
d. Manfaat
Penggunaan lidah buaya dalam bidang kecantikan pada umumnya
digunakan dalam konsentrasi yang bervariasi. Lidah buaya atau Aloe vera
telah dikenal sebagai tanaman herbal yang mampu menjaga kelembaban kulit
dalam jangka waktu yang cukup lama. Lidah buaya biasa digunakan sebagai
penyubur rambut, penyembuhan luka, dan perawatan kulit (Indriaty et al.,
2016). Tanaman ini bermanfaat sebagai bahan baku, industri farmasi dan
kosmetik, serta sebagai bahan baku makanan dan minuman kesehatan,
maupun obat-obatan yang tidak mengandung bahan pengawet kimia (Natsir,
2013). Lidah buaya telah memberikan inovasi kepada industri makanan
sebagai produk makanan, minuman, susu atau es krim selain penggunaannya
sebagai pelapis yang dapat dimakan untuk buah-buahan (Benítez et al., 2013).
Dengan tingginya kadar senyawa glukomanan pada tanaman lidah
buaya menyebabkan tanaman ini dapat diguanakan secara terapeutik untuk
penyembuhan luka baik secara sistemik maupun topikal (Fahmi, 2012).
Kandungan glukomanan pada lidah buaya akan menstimulasi fibroblas faktor
pertumbuhan (FGFs) dan meningkatkan aktivitas proliferasi sel. Hal ini
kemudian akan merangsang produksi dan sekresi kolagen pada luka.
10

Glukomanan meningkatkan ekspresi gen endotel vaskular faktor


pertumbuhan (VEGF) dan TGF 𝛽-1 di daerah luka. Dalam hal ini, TGF-𝛽1
akan merangsang fibroblas untuk memproduksi matriks ektraseluler yang
lebih baik di tempat luka lebih dari sebelumnya (Seyyed et al., 2015).

B. Ekstraksi
1. Pengertian
Ekstraksi adalah suatu proses penyaringan zat aktif dari bagian tanaman
obat yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam bagian
tanaman obat tersebut dengan cara pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut tertentu (Marjoni, 2016). Pemilihan teknik ekstraksi
tergantung pada bagian tanaman yang akan diekstraksi dan bahan aktif yang
diinginkan. Teknik ekstraksi yang ideal adalah teknik ekstraksi yang mampu
mengekstraksi bahan aktif yang diinginkan sebanyak mungkin, cepat, mudah
dilakukan, murah dan ramah lingkungan (Andri, 2015).
Proses ekstraksi pada dasarnya adalah proses perpindahan massa dari
komponen zat padat yang terdapat pada simplisia ke dalam pelarut organik yang
digunakan. Pelarut organik akan menembus dinding sel dan selanjutnya akan
masuk ke dalam rongga sel tumbuhan yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan
terlarut dalam pelarut organik pada bagian luar sel untuk selanjutnya berdifusi
masuk ke dalam pelarut. Proses ini terus berulang sampai terjadi keseimbangan
konsentrasi zat aktif di luar sel (Marjoni, 2016)
Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode dan cara yang sesuai
dengan sifat dan tujuan ekstraksi itu sendiri. Simplisia yang akan diekstraksi
dapat berbentuk simplisia segar ataupun simplisia yang telah dikeringkan.
Umummnya sampel yang digunakan adalah sampel segar karena penetrasi
pelarut akan berlangsung lebih cepat. Selain itu penggunaan simplisia segar
dapat mengurangi kadar air yang terdapat di dalam simplisia, sehingga dapat
mencegah kemungkinan rusaknya senyawa akibat aktivitas antimikroba
(Marjoni, 2016).
11

2. Jenis-jenis ekstraksi
a. Berdasarkan bentuk substansi dalam campuran
1) Ekstraksi padat-cair
Proses ekstraksi padat-cair ini merupakan proses ekstraksi yang
paling banyak ditemukan dalam mengisolasi suatu substansi yang
terkandung di dalam suatu bahan alam. Proses ini melibatkan substan yang
berbentuk padat di dalam campurannya dan memerlukan kontak yang
sangat lama antara pelarut dan zat padat. Kesempurnaan proses ekstraksi
sangat ditentukan oleh sifat dari bahan alam dan sifat dari bahan yang akan
diekstraksi (Marjoni, 2016)
2) Ekstraksi cair-cair
Ekstraksi ini dilakukan apabila substansi yang akan diekstraksi
berbentuk cairan di dalam campurannya (Marjoni, 2016).
b. Berdasarkan penggunaan panas
1) Ekstraksi secara dingin
Metode ekstraksi secara dingin bertujuan untuk mengekstrak
senyawa-senyawa yang terdapat dalam simplisia yang tidak tahan terhadap
panas atau bersifat termolabil (Marjoni, 2016). Ekstraksi secara dingin
dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut ini:
a) Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang dilakukan dengan cara
merendam simplisia dalam satu atau campuran pelarut dalam bejana
tertutup pada suhu kamar sekurang-kurangnya 3 hari dengan
pengadukan berkali-kali sampai semua bagian tanaman yang dapat larut
melarut dalam cairan pelarut. Campuran ini kemudian disaring dan
ampas yang diperoleh diperas untuk memperoleh bagian cairnya saja.
Cairan yang diperoleh kemudian dijernihkan dengan penyaringan atau
dekantasi setelah dibiarkan selama waktu tertentu (Andri, 2015).
12

b) Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara dingin dengan cara
mengalirkan pelarut secara kontinu pada simplisia selama waktu
tertentu (Marjoni, 2016).
2) Ekstraksi secara Panas
Metode panas digunakan apabila senyawa-senyawa yang
terkandung dalam simplisia sudah dipastikan tahan panas (Marjoni, 2016).
Metode ekstraksi yang membutuhkan panas diantaranya:
a) Seduhan
Merupakan metode ekstraksi paling sederhana hanya dengan
merendam simplisia dengan air panas selama waktu tertentu (5-10
menit) (Marjoni, 2016).
b) Coque (penggodokan)
Merupakan proses penyarian dengan cara menggodok simplisia
menggunakan api langsung dan hasilnya dapat langsung digunakan
sebagai obat baik secara keseluruhan termasuk ampasnya atau hanya
hasil godokannya saja tanpa ampas (Marjoni, 2016).
c) Infusa
Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari
simplisia nabati dengan air pada suhu 90° selama 15 menit. Kecuali
dinyatakan lain, infusa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
“Simplisia dengan derajat kehalusan tertentu dimasukan kedalam panci
infusa, kemudian ditambahkan air secukupnya. Panaskan campuran di
atas penangas air selama 15 menit, dihitung mulai suhu 90°C sambil
sesekali diaduk. Serkai selagi panas menggunakan kain flanel,
tambahkan air panas secukupnya melalui ampas sehingga diperoleh
volume infus yang dikehendaki” (Marjoni, 2016).
d) Refluks
Merupakan proses ekstraksi dengan pelarut pada titik didih
pelarut selama waktu dan jumlah pelarut tertentu dengan adanya
pendingin balik (kondensor). Proses ini umumnya dilakukan 3-5 kali
13

pengulangan pada residu pertama, sehingga termasuk proses ekstraksi


yang cukup sempurna (Marjoni, 2016).
e) Soxhletasi
Proses soxhletasi merupakan proses ekstrasi panas
menggunakan alat khusus berupa ekstraktor soxhlet (Marjoni, 2016).
Bagian tanaman yang sudah digiling halus dimasukkan ke dalam
kantong berpori (thimble) yang terbuat dari kertas saring yang kuat dan
dimasukkan ke dalam ruang ekstraksi pada alat soxhlet. Pelarut yang
berada pada labu soxhlet dipanaskan dan uapnya akan mengembun
pada kondensor. Embunan pelarut ini akan menetes turun menuju
kantong berpori yang berisi bagian tanaman yang akan diekstrak.
Kontak antara embunan pelarut dan bagian tanaman ini menyebabkan
bahan aktif terekstrak (Andri, 2015).
c. Berdasarkan proses pelaksanaan
1) Ektraksi berkesinambungan (continous extraction)
Pada proses ektraksi ini, pelarut yang sama dipakai berulang-ulang
sampai proses ekstraksi selesai (Marjoni, 2016).
2) Ekstraksi bertahap (bath extraction)
Dalam ekstraksi ini pada setiap tahap ekstraksi selalu dipakai
pelarut yang selalu baru sampai proses ekstraksi selesai (Marjoni, 2016).
d. Berdasarkan metode ekstraksi
1) Ekstraksi tunggal
Merupakan proses ekstraksi dengan cara mencampurkan bahan
yang akan diekstrak sebanyak 1 kali dengan pelarut. Sebagian dari zat aktif
pada ekstraksi ini akan terlarut dalam pelarut sampai mencapai suatu
kesimbangan. Kekurangan dari ekstraksi dengan cara seperti ini adalah
rendahnya rendemen yang dihasilkan (Marjoni, 2016).
2) Ekstraksi multi tahap
Merupakan suatu proses ekstraksi dengan cara mencampurkan
bahan yang akan diekstrak beberapa kali dengan pelarut yang baru dalam
jumlah yang sama banyak. Ekstrak yang di hasilkan dengan cara ini
14

memiliki rendemen lebih tinggi dibandingkan ekstraksi tunggal, karena


bahan yang diekstrak mengalami beberapa kali pencampuran dan
pemisahan (Marjoni, 2016).

C. Kulit
1. Pengertian
Kulit merupakan organ tubuh terluar yang memiliki peranan penting
sebagai barier atau pelindung tubuh sehingga kontinuitasnya harus selalu dijaga.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung tubuh terluar, organ kulit
menjadi lebih berisiko memperoleh trauma dari luar. Kulit biasanya membentuk
15-20% berat badan total, memiliki luas permukaan sebesar 1,5-2 m2 dan juga
merupakan orang tunggal terberat di tubuh. Kulit terdiri atas tiga lapisan yaitu
epidermis (lapisan epitel yang berasal dari ektoderm), dermis (lapisan jaringan
ikat yang berasal dari mesoderm), dan subkutan (jaringan ikat longgar yang
terdiri atas sel-sel adiposit) (Mescher, 2014).
2. Struktur Kulit
a. Lapisan Epidermis

Epidermis

Gambar 2.3 Struktur Epidermis Kulit


Lapisan epidermis adalah lapisan terluar kulit dan tersusun atas sel-
sel epidermal. Lapisan ini berfungsi untuk mempertahankan integritas kulit;
sebagai barier fisik terhadap benda-benda asing termasuk yang berukuran
kecil seperti mikroorganisme, serta untuk mengendalikan hidrasi (kandungan
air) dengan menjaga kelembaban kulit (Wasiatmadja, 2001). Sel epidermis
memiliki tebal antara 0,4-1,5 mm dengan kreatinosit sebagai sel penyusun
15

terbesar dan terselip diantaranya adalah sel langerhans, melanosit, dan


kadang-kadang sel markel dan limfosit. Lapisan keratinosit yang tersusun
membentuk beberapa lapisan, yaitu stratum basalis, stratum spinosum,
stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum (Rihatmadja,
2015).

Stratum korneum
Stratum lucidum
Stratum granulosum

Stratum spinosum

Stratum basale

Gambar 2.4 Penyusun Epidermis Kulit


1) Stratum korneum
Lapisan korneum merupakan lapisan yang letaknya paling atas yang
berfungsi melindungi tubuh dari infeksi mikroorganisme, bahan-bahan
kimia berbahaya, kotoran serta polutan lingkungan. Stratum korneum
terdiri atas 15-20 lapis sel gepeng berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma
yang dipenuhi keratin filamen birefrigen (Mescher, 2014). Pada lapisan ini
banyak sel-sel yang telah mati, tidak berinti, berbentuk pipih serta
sitoplasmanya telah digantikan oleh keratin (Kalangi, 2013).
2) Stratum lusidum
Lapisan lusidum merupakan lapisan yang bersifat translusen dan
hanya ditemukan pada bagian kulit tertentu yang seperti pada telapak
tangan dan telapak kaki (Mescher, 2014)
3) Stratum granulosum
Lapisan granulosum merupakan lapisan yang mengandung sel-sel
bergranuladan berpartisipasi langsung dalam proses keratinisasi
(Rihatmadja, 2015)
16

4) Stratum spinosum
Lapisan spinosum merupakan lapisan yang terdiri dari sel-sel
keratinosit yang semakin membesar sehingga lapisan ini merupakan
lapisan paling tebal dari epidermis. Struktur ini memberi kekuatan pada
epidermis untuk menahan trauma fisis di permukaan kulit. Pada stratum
spinosum dan granulosum terdapat sel langerhans (SL), sel dendritik yang
merupakan sel penyaji antigen yang berperan penting dalam pertahanan
imunologik (Rihatmadja, 2015)
5) Stratum germinativum-stratum basalis
Lapisan basalis merupakan lapisan kulit yang letaknya paling dalam
pada epidermis terdiri atas selapis sel kuboid atau kolumnar basofilik yang
berada di atas membran basal pada perbatasan epidermis dan dermis. Pada
stratum basal terdapat beberapa sel punca yang memproduksi keratinosit
dan bertanggung jawab atas regenerasi sel-sel epidermis secara
berkesinambungan (Mescher, 2014).
b. Lapisan Dermis

Dermis

Gambar 2.5 Struktur Dermis Kulit


Lapisan dermis terdiri dari pembuluh darah, pembuluh limfe, folikel-
folikel rambut, kelenjar sebasea (kelenjar minyak), kelenjar eccrine (kelenjar
sudorifera atau kelenjar keringat) dan kelenjar apocrine (kelenjar bau)
(Wasiatmadja, 2001). Dermis sebagian besar dibentuk oleh serabut kolagen
bersama dengan serabut elastik yang memberikan kekuatan dan elastisital
kulit. Keduanya terdapat dalam matriks (ground subtances) yang dibentuk
oleh proteoglikans (PG) dan glikos-aminoglikans (GAG). PG dan GAG
17

berfungsi menyerap dan mempertahankan air pada kulit dalam jumlah yang
besar sehingga berperan dalam pengaturan cairan (Kalangi, 2013).
c. Jaringan Subkutan

Subkutan

Gambar 2.6 Struktur Subkutan Kulit


Jaringan subkutan juga disebut dengan lapisan hipodermis atau fascia
superficialis. Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit
secara longgar pada organ-organ yang berada di bawahnya, yang
memungkinkan pergeseran kulit di atasnya. Lapisan subkutan mengandung
banyak lemak yang jumlahnya bervariasi pada setiap area tubuh (Mescher,
2014).

D. Luka bakar
1. Pengertian
Luka bakar merupakan kerusakan dan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan oleh kontak kulit dengan sumber yang bersuhu lebih tinggi dari
suhu normal kulit yang dapat dirasakan misalnya; sentuhan atau kontak
langsung kulit dengan sumber panas seperti api, cairan panas, radiasi,
radioaktivitas, listrik atau bahan kimia (WHO, 2014).
2. Klasifikasi
Klasifikasi luka bakar menurut kedalaman:
a. Luka bakar derajat I (Superficial)
Kerusakan hanya terjadi di permukaan kulit yaitu epidermis dengan
tingkatan nyeri sedang hingga berat. Manifestasi klinisnya berupa kulit
tampak kemerahan, lembab, melepuh atau mungkin dapat ditemukan bula,
18

dan nyeri (Barbara et al., 2013). Penyembuhan dapat berlangsung 3-5 hari
(Toussaint & Singer, 2014).
b. Luka bakar derajat II (Partial thickness)
Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagian
lapisan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi.
Manifestasi yang muncul pada kulit berupa kemerahan, terdapat bula,
edema, dan nyeri berat. Luka bakar ini dapat sembuh dalam waktu 7-21
hari. Luka bakar derajat II dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1) Derajat II Dangkal
Luka bakar ini biasanya disebabkan oleh cairan panas, kimia
asam atau alkali. Pada luka bakar derajat II ini hanya mengenai
sebagian atau parsial (papilari) dermis. Gambaran klinis pada kulit
berupa kemerahan, terdapat gelembung pada kulit (Evers, 2010).
Apabila epidermis terlepas, terlihat dasar luka berwarna kemerahan
(Moenadjat, 2009).
2) Derajat II dalam
Luka bakar ini biasanya disebabkan oleh api, kimia, listrik,
cairan panas dengan viskositas tinggi yang mengenai bagian lebih
dalam lapisan dermis yaitu reticular dermis dengan gambaran klinis
pada kulit tampak putih, kering, dan kehilangan lapisan dermis (Evers,
2010).
c. Luka bakar derajat III (Full thickness burn)
Pada luka bakar derajat ini terjadi kerusakan semua lapisan kulit,
termasuk tulang tendon, saraf dan jaringan otot. Manifestasi klinisnya
berupa tampilan luka yang beragam dari warna putih, merah muda hingga
merah tua, mungkin ditemukan bula berdinding tipis, terdapat nyeri,
penyembuhan luka terjadi sangat lambat (Barbara et al., 2013).
3. Patofisiologi
Ketika suhu yang lebih dari 44⁰C mengenai kulit, protein mengalami
perubahan sehingga menyebabkan kerusakan sel dan jaringan (Tintinalli, 2010).
Panas tersebut tidak hanya mengakibatkan kerusakan lokal tetapi memiliki efek
19

sistemik. Karena efek panas, terdapat perubahan sistemik peningkatan


permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan plasma bocor keluar dari kapiler ke
luar interstisial. Peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma
maksimal muncul dalam 8 jam pertama dan berlanjut sampai 48 jam. Setelah 48
jam permeabilitas kapiler kembali normal atau membentuk trombus yang
menjadikan tidak adanya aliran sirkulasi darah. Hilangnya plasma merupakan
penyebab syok hipovolemik pada penderita luka bakar. Jumlah kehilangan
cairan tergantung pada luasnya luka bakar (Tiwari, 2012)
Saat terjadi kontak antara sumber panas dengan kulit, tubuh akan
merespon untuk mempertahankan homeostatis dengan adanya proses kontraksi,
retraksi dan koagulasi pembuluh darah. Jackson pada tahun 1947
mengklasifikasikan 3 zona respon lokal akibat luka bakar yaitu:
a. Zona koagulasi merupakan zona pada bagian tengah yang paling banyak
mengalami kerusakan dan terjadi denaturasi, degradasi dan koagulasi protein
yang luas sehingga menimbulkan nekrosis pada jaringannya (Rowan et al.,
2015). Pada zona ini terdiri dari jaringan eschar atau nekrosis dan terletak
paling dekat pada sumber panas (Cameron et al., 2010).
b. Zona statis, merupakan zona yang mengelilingi zona koagulasi, terjadi
kerusakan jaringan sedang dan sedikit edema (Cameron et al., 2010). Pada
zona ini terjadi penurunan perfusi organ. Dapat terjadi hipoksia dan iskemia
yang apabila tidak di terapi dalam 48 jam dapat menyebabkan nekrosis
jaringan (Rowan et al., 2015).
c. Zona hiperemis, merupakan zona yang mengelilingi zona stasis, kerusakan
sel minimal dan terjadi peningkatan aliran darah karena terjadi vasodilatasi
dan inflamasi yang akan menghasilkan pemulih spontan kecuali terjadi
infeksi atau luka lainnya (Rowan et al, 2015; Cameron et al., 2010).
4. Penyembuhan Luka
Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak adalah
penyembuhan luka tersebut. Proses penyembuhan luka bakar mempunyai
persamaan dalam fase penyembuhan luka pada umumnya. Penyembuhan luka
20

secara umum akan melalui tiga proses penyembuhan luka yaitu fase inflamasi,
fase proliferasi, dan fase maturasi atau remodeling (Maryunani, 2015).
a. Fase inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari
ke-5 pasca trauma. Fase ini pada umumnya terjadi hemostasis, dengan aktivasi
trombosit menghasilkan pembentukan gumpalan, yang pada dasarnya bertindak
sebagai mekanisme penutupan luka sementara (Portou et al., 2015). Pada luka
bakar terjadi vasodilatasi lokal dengan ekstravasasi cairan. Dalam luka bakar
yang luas, adanya peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan ekstravasasi
plasma yang cukup banyak dan membutuhkan penggantian cairan.
Proses koagulasi akibat panas menyebabkan di lepaskannya faktor
kemotaktik seperti faktor pertumbuhan yang diturunkan dari platelet (PDGF),
TGF-β dan fibroblast growth factor (FGF) sehingga terjadi migrasi neutrofil
menuju lokasi cedera (Portu et al., 2015). Neutrofil bertindak sebagai pertahanan
lini pertama terhadap invasi mikroba dan benda asing, yang dibersihkan oleh
fagositosis. Sel natural killer (NK) juga menginfiltrasi luka pada awal
peradangan bersama dengan neutrofil dan mengatur produksi sitokin monosit
(Schneider et al., 2011).
Makrofag juga akan mengikuti netrofil menuju luka setelah 48-72 jam
dan menjadi sel predominan setelah hari ketiga pasca trauma. Debris dan bakteri
akan difagositosis oleh makrofag (Gurtner, 2007). Sel-sel inflamasi tersebut
akan membantu proses fagositosis, pembersihan jaringan yang mati dan racun
yang dikeluarkan oleh jaringan yang terbakar. Neutrofil dan makrofag juga
berperan dalam eliminasi bakteri dengan cara memproduksi dan melepaskan
beberapa proteinase dan reactive oxygen species (ROS). ROS melalui sifat
radikal bebasnya penting dalam mencegah infeksi bakterial, namun tingginya
kadar ROS secara berkepanjangan juga akan menginduksi kerusakan sel tubuh
lainnya. ROS juga mengaktivasi dan mempertahankan kaskade asam arakidonat
yang akan memicu ulang timbulnya berbagai mediator inflamasi lagi seperti
prostaglandin dan leukotrien, sehingga proses inflamasi akan menjadi
berkepanjangan (Lima et al., 2009).
21

b. Fase proliferasi
Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi (hari ke-6 sampai akhir
minggu ke-3). Pada fase ini luka dipenuhi oleh sel radang. Fibroblas dan kolagen
membentuk jaringan berwarna kemerahan dan mudah berdarah dengan
permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi (Moenadjat,
2009). Pada luka bakar derajat II, migrasi keratinosit pada tepi luka mulai
bekerja beberapa jam pasca trauma dan menginduksi terjadinya re-epitelisasi
sehingga luka akan menutup dalam 5-7 hari. Setelah re-epitelisasi, membran
basalis terbentuk antara epidermis dan dermis. Pembentukan kembali dermis
dibantu oleh proses angiogenesis dan fibrogenesis. Pada fase ini matriks fibrin
yang didominasi oleh platelet dan makrofag secara gradual digantikan oleh
jaringan granulasi yang tersusun dari kumpulan fibroblas, makrofag dan sel
endotel yang membentuk matriks ekstraseluler dan neovaskular (Gurtner, 2007).
Fibroblas memiliki peran yang sangat penting dalam fase ini. Fibroblas
memproduksi matriks ekstraselular yang akan mengisi kavitas luka dan
menyediakan landasan untuk migrasi keratinosit. Matriks ekstraselular
merupakan komponen yang paling nampak pada skar di kulit. Makrofag
mengeluarkan sitokin pro-inflamasi termasuk TNF-α dan IL-1, yang pada
akhirnya akan mengaktifkan rilisnya nuklir-faktor (NF-κB), sitokin pro-
inflamasi dan pelepasan matriks metalloproteinase (MMP). MMP menurunkan
sel yang rusak dan juga melepaskan faktor pertumbuhan dari matriks
ekstraseluler. Selain membuat keadaan mikro pro-inflamasi, makrofag juga
melepaskan faktor pertumbuhan termasuk faktor pertumbuhan endotel vaskular
(VEGF), TGF-β, FGF dasar (bFGF), PDGF, dan faktor pertumbuhan keratinosit
(KGF), yang menginduksi keratinosit dan migrasi fibroblast, proliferasi, dan
angiogenesis (Rodero & Khosrotehrani, 2010).
Matriks ekstraselular akan digantikan oleh kolagen tipe III yang juga
diproduksi oleh fibroblas dengan berjalannya waktu (Rodero & Khosrotehrani,
2010). Selanjutnya kolagen tipe III akan digantikan oleh kolagen tipe I pada fase
maturasi (Schultz, 2007). Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag
seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), fibroblas growth factor
22

(FGF)-2, angiopoietin-1 dan thrombospondin akan menstimulasi sel endotel


membentuk neovaskular melalui proses angiogenesis (Gurtner, 2007). Proses ini
baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan
luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan
pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses
pematangan dalam fase penyudahan.
c. Fase remodeling
Fase remodeling terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya grafitasi, dan
akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini segera dimulai
segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan granulasi, proses re-epitelialisasi
usai, dan setelah kolagen menggantikan matriks temporer (Gurtner, 2007). Pada
fase ini terjadi maturasi luka dan graft (Tiwari, 2012). Fase ini dapat berlangsung
berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir jika semua tanda radang sudah tidak
muncul. Udem dan sel radang diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap
dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini
dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas, serta mudah digerakkan
dari dasar. Pada akhir fase ini perupaan kulit mampu menahan regangan kira-
kira 80% dari kemampuan kulit normal. (Sjamsuhidajat, 2004).

E. Krim
1. Pengertian
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat, mengandung satu atau lebih
bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Depkes,
1995)
Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung
tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Untuk membuat
krim digunakan zat pengemulsi (Anief, 2007).
Krim adalah cairan kental atau emulsi setengah padat baik bertipe air
dalam minyak atau minyak dalam air. Krim biasanya digunakan sebagai
emollient atau pemakaian obat pada kulit (Ansel, 2008).
23

2. Penggolongan Krim
Berdasarkan fase dispersinya, krim dibedakan menjadi :
a. Tipe A/M
Tipe A/M atau W/O adalah air yang terdispersi dalam minyak
(Syamsuni, 2006). Krim tipe ini tidak mudah di bilas dengan air karena
fase eksternalnya bukan air. Obat bersifat hidrofobik lebih mudah di
formulasi dalam krim tipe air dalam minyak. Krim air dalam minyak juga
lebih melembabkan karena memberikan pelindung berminyak sehingga
mengurangi kehilangan air dari stratum korneum, dan banyak digunakan
sebagai krim dingin dimana fase minyak membentuk lapisan pelindung
dan mencegah hilangnya kelembapan berlebihan dari kulit di musim
dingin (Alekha et al., 2014). Contohnya cold cream. Cold cream adalah
sediaan kosmetika yang digunakan untuk memberi rasa dingin dan nyaman
pada kulit (Syamsuni, 2006).
b. Tipe M/A
Tipe M/A atau O/W adalah minyak yang terdispersi dalam air.
Krim tipe ini dapat dengan mudah dibilas dengan air karena fase
eksternalnya adalah air. Krim tipe minyak dalam air baik dan sangat cocok
untuk penggunaan topikal, seperti pada luka karena dapat menyerap air
(Alekha et al., 2014). Contohnya vanishing cream. Vanishing cream
adalah sediaan kosmetik yang digunakan untuk membersihkan,
melembabkan dan sebagai alas bedak (Syamsuni, 2006).
3. Kelebihan sediaan krim
a. Mudah menyebar rata dan praktis.
b. Lebih mudah dibersihkan atau dicuci dengan air, untuk tipe M/A (minyak
dalam air).
c. Tidak lengket dan tidak berminyak, untuk tipe M/A.
d. Cara kerja berlangsung pada jaringan setempat
e. Memberikan rasa dingin (cold cream) berupa tipe krim A/M
f. Digunakan sebagai kosmetik
g. Bahan yang diabsorpsi tidak cukup beracun
24

(Ansel, 2008)
4. Bahan-bahan penyusun krim
Menurut Lachman (1994), bahan-bahan penyusun krim antara lain:
a. Zat Aktif
b. Fase minyak
Fase minyak atau basis hidrokarbon terdiri dari bahan yang
mengandung minyak. Basis hidrokarbon memberikan sifat emolien,
melindungi, dan menetap di kulit pada waktu yang lama (Wiley, 2008).
Berbagai lemak dan minyak digunakan dalam krim, misalnya petrolatum,
minyak nabati atau sintetis, dan lilin (Bakker et al., 2012)
c. Fase air
Adalah bahan bersifat basa yang larut dalam air dan tidak
mengandung minyak. Air umumnya digunakan sebagai fase hidrofilik
dalam krim. Humektan di tambahkan pada fase air untuk mencegah
penguapan air. Bahan-bahan seperti gliserol, propilen glikol atau sorbitol
sering ditambahkan sebagai humektan (Bakker et al, 2012)
d. Emulgator
Emulgator atau zat pengemulsi merupakan zat yang berguna untuk
mengemulsikan atau mencampurkan zat-zat yang tidak bercampur.
Emulgator membantu menstabilkan sediaan yang terdiri dari dua zat-zat
yang tidak bercampur. Pemilihan zat pengemulsi harus disesuaikan dengan
tipe dan sifat krim yang dikehendaki (Widodo & Nurdjanah, 2007)
e. Bahan tambahan :
1) Pengawet
Penambahan pengawet bertujuan untuk mencegah kontaminasi
dan pertumbuhan mikroorganisme pada krim (Jones, 2008)
2) Pendapar
Dapar digunakan dalam produk farmasi untuk mengontrol pH
produk yang diformulasikan sehingga dapat mengoptimalkan kinerja
fisikokimia produk. Penambahan dapar dimaksudkan agar menjaga
kelarutan zat terapeutik (Jones, 2008)
25

3) Antioksidan
Antioksidan merupakan solusi farmasi untuk meningkatkan
stabilitas sediaan yang rentan terhadap degradasi kimia karena adanya
proses oksidasi (Jones, 2008). Oksidasi menyebabkan sediaan menjadi
tengik (Samal et al., 2017). Biasanya antioksidan merupakan molekul
sistem redoks yang menunjukkan potensi oksidatif lebih tinggi daripada
agent terapi atau sebagai senyawa alternatif untuk menghambat
dekomposisi obat yang diinduksi radikal bebas. Dalam larutan air,
antioksidan teroksidasi (dan karenanya terdegradasi) lebih disukai
daripada agen terapi, sehingga melindungi obat dari dekomposisi
(Jones, 2008).

F. Hewan Coba Kelinci


Berdasarkan taksonominya, klasifikasi kelinci yang digunakan pada penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum: Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Logomorpha
Family : Leporidae
Genus : Oryctolagus
Species : Oryctolagus cuniculus
(Effendy, 2016)
Kelinci merupakan mamalia yang sering digunakan dalam penelitian
karena beberapa sistem organ secara biologi mirip dengan manusia (Anonim,
2016). Berat badan kelinci saat lahir dapat mencapai 30-80 g. Ketika dewasa,
berat badan badan kelinci sekitar 2-6 kg. Tingkat pertumbuhan kelinci 15-20 g
per hari hingga 8 minggu. Kelinci mempunyai suhu badan 38-40ºC. Penggunaan
kelinci juga dikarenakan efektivitas biaya, kemudahan pemeliharaan,
kemampuan pengembangbiakan, dan kemudahan untuk digunakan dalam
26

berbagai penelitian, sedangkan volume darahnya yang tinggi, lebih mirip secara
filogenetik (paling dekat dengan manusia setelah primata), hemodinamik dan
histologis dengan manusia dan ukurannya yang lebih besar cocok dengan kriteria
keunggulan mamalia besar. Kelinci juga memiliki siklus vital pendek yang
membuatnya nyaman untuk diperiksa dalam rentang waktu penelitian yang lebih
kecil (Dutta & Pallav, 2018)

G. Salep Mebo
Moist Exposed Burn Ointment atau yang dikenal dengan MEBO merupakan
salep yang komposisinya terdiri beberapa bahan herbal seperti Radix Scutellaria,
Cortex Phellodendri and Rhizoma Coptidis yang mengandung minyak wijen
(sesame oil), lilin lebah (beeswax), 18 asam amino, 4 asam lemak, 7
polysaccharides dan vitamin yang berfungsi untuk membantu kulit melakukan re-
epitelisasi, memberikan nutrisi dan membantu mempercepat bersihan jaringan
nekrotik selain itu juga yang berfungsi mempermudah pengelupasan jaringan mati
pada luka bakar (liquefaction), memicu proses regenerasi, sekaligus berperan
sebagai nutrisi untuk proses penyembuhan luka. (Hindy, 2009). Kandungan lainnya
juga terdapat beta-sisterol dan berberine sebagai antiinflamasi, antibakteri, dan
memberikan kelembaban pada lingkungan kulit untuk proses terjadinya regenerasi
epitel dan mempercepat penyembuhan luka bakar (Li et al., 2017).

H. Uraian bahan
1. Setil Palmitat
Setil palmitat adalah derivat ester dari asam palmitat dan setil alkohol.
Setil palmitat merupakan cairan spermaceti yang apabila di dinginkan,
spermaseti akan membentuk hablur (Sumardjo, 2008). Setil palmitat melebur
pada suhu 44-52˚C. Setil palmitat tidak hanya berfungsi sebagai emolien, tetapi
juga melindungi tubuh dan teksturnya yang spesifik pada kebanyakan produk
krim dan lotion. Setil palmitat juga berfungsi sebagai bahan dasar dalam
pembuatan krim, salep, dan supositoria (Rowe et al., 2009). Setil palmitat pada
sediaan krim dapat digunakan dengan konsentrasi 9,45% (Niazi, 2009).
27

2. Propilen glikol

Propilen glikol telah digunakan dalam dalam berbagai macam produk


kosmetik karena relatif tidak beracun. Propilen glikol mendidih pada suhu
188˚C. Selain sebagai humektan, propilen glikol biasa digunakan sebagai
pengawet antimikroba, desinfektan, plasticizer, pelarut, zat penstabil, kosolvent
larut air (Rowe et al., 2009). Propilen glikol merupakan cairan kental, jernih,
tidak berwarna, dan tidak berbau (FI IV, 1995). Propilen glikol memiliki
kelebihan yaitu tidak toksik, tidak menyebabkan iritasi lokal ketika diaplikasikan
di membran mukosa dan subkutan, tidak menyebabkan reaksi hipersensitifitas
(Loden, 2001). Propilen glikol pada sediaan topikal biasa digunakan sebagai
humektan dengan konsentrasi hingga 15%. (Rowe et al., 2009). Propilen glikol
dapat digunakan dengan konsentrasi hingga 8% untuk pembuatan krim (Niazi,
2009).
3. Tween 80
Tween 80 adalah ester asam lemak polioksitilen sorbitan, dengan nama
kimia polioksitilen 20 sorbitan monooleat. Tween 80 merupakan surfaktan
nonionik yang bersifat hidrofilik. Tween 80 digunakan secara luas sebagai zat
pengemulsi untuk emulsi tipe minyak dalam air. Tween 80 berfungsi sebagai zat
pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan. Sebagai emulgator, tween 80
dapat digunakan dengan konsentrasi 1-15% (Rowe et al, 2009).
4. Vitamin E
Vitamin E merupakan salah satu antioksidan yang dapat membantu tubuh
melawan radikal bebas. Vitamin E memiliki banyak manfaat untuk kulit antara
lain, melindungi tubuh dan kulit dari berbagai kerusakan yang disebabkan oleh
radikal bebas, membantu melembabkan kulit, memperbaiki elastisitas kulit, dan
mengurangi munculnya keriput (Achroni, 2012). Vitamin E juga disebut dengan
vitamin pelindung dan digunakan dalam industri kosmetika sebagai antioksidan
28

untuk kulit ataupun formulasi. Vitamin E juga dapat membantu menghaluskan


kulit dan mengurangi kondisi kulit yang kering (Salvador dan Chisvert, 2007).
Vitamin sering digunakan pada bahan berlemak sebagai pengawet (Samal et al.,
2017). Vitamin E dapat digunakan dengan konsentrasi 0,002% (Niazi, 2009).
Namun pada konsentrasi vitamin E antara 0,1%-1,0% umumnya dianggap aman
dan efektif untuk meningkatkan kadar vitamin E di kulit, tetapi tingkat vitamin
E yang lebih tinggi telah digunakan dan tidak menunjukkan efek samping
(Thiele, 2007).

I. Landasan Teori
Kulit merupakan organ tubuh terluar yang memiliki peranan penting yaitu
sebagai barier pelindung tubuh sehingga kontinuitasnya harus selalu dijaga. Dalam
menjalankan fungsinya sebagai pelindung tubuh yang letaknya terluar, organ kulit
menjadi lebih berisiko memperoleh trauma dari luar. Kulit terdiri atas tiga lapisan
yaitu lapisan epidermis (lapisan epitel yang berasal dari ektoderm) yang berfungsi
untuk mempertahankan integritas kulit; sebagai barier fisik terhadap benda-benda
asing dari luar termasuk yang berukuran kecil seperti mikroorganisme, serta untuk
mengendalikan hidrasi (kandungan air) dengan menjaga kelembaban kulit
(Wasiatmadja, 2001); lapisan dermis (lapisan jaringan ikat yang berasal dari
mesoderm), dan subkutan (jaringan ikat longgar yang terdiri atas sel-sel adiposit)
(Mescher, 2014).
Luka bakar merupakan kecelakaan yang sering terjadi pada kehidupan
sehari-hari. Luka bakar terjadi akibat sentuhan atau kontak langsung kulit dengan
sumber panas seperti api, cairan panas, radiasi, radioaktivitas, listrik atau bahan
kimia (WHO, 2014). Panas yang mengenai tubuh tidak hanya mengakibatkan
kerusakan lokal tetapi memiliki efek sistemik. Karena efek panas, terdapat
perubahan sistemik peningkatan permeabilitas kapiler. Saat terjadi kontak antara
sumber panas dengan kulit, tubuh akan merespon untuk mempertahankan
homeostatis dengan adanya proses kontraksi, retraksi dan koagulasi pembuluh
darah yang kemudian akan terjadi proses penyembuhan pada luka tersebut.
29

Luka bakar merusak fungsi barier kulit terhadap invasi mikroba serta adanya
jaringan nekrotik dan eksudat menjadi media pendukung pertumbuhan
mikroorganisme, sehingga beresiko untuk menjadi infeksi (Mawarsari, 2015).
Kecepatan dari penyembuhan luka dapat dipengaruhi dari zat-zat yang terdapat
dalam obat yang diberikan, jika obat tersebut mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan penyembuhan dengan cara merangsang lebih cepat pertumbuhan sel-
sel baru pada kulit. Salah satu upaya terapi luka bakar adalah dengan pemberian
bahan yang efektif mencegah inflamasi sekunder. Prinsip penanganan dalam
penyembuhan luka bakar antara lain mencegah infeksi sekunder, memacu
pembentukan jaringan kolagen dan mengupayakan agar sisa-sisa sel epitel dapat
berkembang sehingga dapat menutup permukaan luka (Balqis et al, 2016).
Kunyit dan lidah buaya merupakan tanaman yang telah dikenal masyarakat
dapat menyembuhkan luka. Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yuri (2013) bahwa ekstrak rimpang kunyit dan gel lidah buaya dapat
menyembuhkan luka inisisi pada tikus putih. Kunyit (Curcuma longa Linn),
merupakan jenis rumput-rumputan, tingginya sekitar 1 meter dan bunganya muncul
dari puncuk batang semu dengan panjang sekitar 10–15 cm dan berwarna putih
(Hartati & Balittro, 2013). Kunyit mengandung senyawa kurkuminoid berkisar
antara 1,8-5,4% yang terdiri dari kurkumin dan turunannya yaitu
demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin (Mohanta et al, 2015). Senyawa
kurkumin ini, berperan sebagai antiinflamasi yang akan menghambat enzim
cyclooxygenase-2 (COX-2), sitokin pro-inflamasi dan menghambat aktivasi
nuclear factor kappa B (NFkB) (Arshad et al, 2018). Lidah buaya (Aloe vera)
merupakan tanaman dengan daun meruncing, permukaan daun dilapisi lilin.
Panjang daun dapat mencapai 20-30 cm dan lebar 3-10 cm (Ahlawat & Khatkar,
2011). Lidah buaya mengandung senyawa glukomanan yang dapat menstimulasi
fibroblastfaktor pertumbuhan (FGFs) dan meningkatkan aktivitas proliferasi sel
sehingga akan merangsang produksi dan sekresi kolagenpada luka.
Penyembuhan luka secara umum akan melalui tiga proses penyembuhan
luka yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi/remodeling
(Maryunani, 2015). Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-
30

kira hari ke-5 pasca trauma, fase proliferasi berlangsung dari akhir fase inflamasi
(hari ke-6 sampai akhir minggu ke-3) sedangkan fase remodeling dapat berlangsung
berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir jika semua tanda radang sudah tidak
muncul.
Ekstraksi adalah suatu proses penyaringan zat aktif dari bagian tanaman
obat yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam bagian
tanaman obat tersebut dengan cara pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut tertentu (Marjoni, 2016). Proses ekstraksi pada dasarnya
adalah proses perpindahan massa dari komponen zat padat yang terdapat pada
simplisia ke dalam pelarut organik yang digunakan (Marjoni, 2016). Maserasi
adalah proses ekstraksi sederhana yang dilakukan dengan cara merendam simplisia
dalam satu atau campuran pelarut dalam bejana tertutup pada suhu kamar selama
sekurang-kurangnya 3 hari dengan pengadukan berkali-kali sampai semua bagian
tanaman yang dapat larut melarut dalam cairan pelarut. Campuran ini kemudian
disaring dan ampas yang diperoleh dipress untuk memperoleh bagian cairnya saja.
Cairan yang diperoleh kemudian dijernihkan dengan penyaringan atau dekantasi
setelah dibiarkan selama waktu tertentu (Andri, 2015).
Ekstrak kunyit dan lidah buaya dibuat dalam sediaan krim karena sediaan
ini mempunyai kelebihan yaitu: mudah menyebar rata dan praktis, lebih mudah
dibersihkan atau dicuci dengan air (tipe M/A), tidak lengket dan tidak berminyak
(tipe M/A), cara kerja berlangsung pada jaringan setempat (Ansel, 2008). Krim
adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak kurang dari
60% air, di maksudkan untuk pemakaian luar (Anief, 2007). Krim biasanya
digunakan sebagai emolient atau pemakaian obat pada kulit (Ansel, 2008). Krim
dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe minyak dalam air (M/A) dan tipe air dalam
minyak (A/M) (Syamsuni, 2006).
31

J. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka sebagai jawaban sementara
penulis membuat hipotesa: “Kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya dalam
bentuk sediaan krim dapat meningkatkan efektivitas penyembuhan luka bakar”
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni
2. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang akan dilakukan yaitu meliputi:
a. Penyiapan bahan
b. Pembuatan ekstrak etanol kunyit dan lidah buaya
c. Formulasi krim dari kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya
d. Evaluasi organoleptik, pH dan daya sebar dari krim kombinasi ekstrak
kunyit dan lidah buaya
e. Uji efektivitas krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya terhadap
lama waktu penyembuhan luka bakar pada hewan uji kelinci dengan 3
perlakuan. Adapun perlakuan tersebut sebagai berikut:
1) K1 : Perlakuan yang diolesi dengan salep MEBO (kontrol positif)
2) K2 : Perlakuan tidak yang tidak diberikan pengobatan (kontrol
negatif)
3) K3 : Perlakuan yang diolesi dengan krim ekstrak kunyit dan lidah
buaya
f. Pengukuran diameter luka bakar pada punggung kelinci menggunakan
jangka sorong.
g. Pengumpulan dan analisis data menggunakan ANOVA (Analysis of
Variant)
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan selama bulan Juli sampai September 2019 di Laboratorium
Farmasi STIKes Citra Husada Mandiri Kupang

32
33

Tabel 3.1 Rincian Waktu dan Jadwal Penelitian


Bulan
No Kegiatan Juli 2019 Agts 2019 Sept 2019
1. Persiapan sampel
2. Jalannya penelitian
3. Pengumpulan dan analisis
data

C. Sampel
1. Sampel Tanaman
Sampel tanaman dalam penelitian ini adalah kunyit yang diperoleh dari Desa
Baun, Kupang dan lidah buaya yang diperoleh dari Kelurahan Nunbaun Sabu,
Kota Kupang.
1. Kriteria Inklusi
1) Kunyit
a. Rimpang kunyit berwarna kuning kecoklatan
b. Rimpang kunyit segar
2) Lidah buaya
a. Lidah buaya berwarna hijau
b. Lidah buaya segar
2. Kriteria Ekslusi
Tanaman kunyit dan lidah buaya yang busuk dan terdapat ulat
2. Sampel Hewan
Sampel hewan dalam penelitian ini adalah kelinci yang diperoleh dari
Kelurahan Walikota, Kecamatan Kota Raja.
1. Kriteria Inklusi
1) Kelinci Jantan
2) Usia 8-12 minggu
3) Berat Badan 2500-3000 gram
2. Kriteria Ekslusi
Terdapat infeksi pada bagian kulit punggung
34

D. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah krim kombinasi ekstrak kunyit dan
lidah buaya.
2. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah lama penyembuhan luka bakar
pada hewan uji.

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian


Definisi operasional variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel Bebas
Krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya adalah sediaan krim yang
dibuat dengan mengkombinasi ekstrak rimpang kunyit dan lidah buaya. Kunyit
dan lidah buaya memiliki kandungan kurkumin dan glukomanan yang dapat
memacu produksi kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka. Alat
ukur yang digunakan adalah timbangan. Hasil pengukuran yaitu 50 gram sediaan
krim.
2. Variabel terikat
Lama penyembuhan luka bakar merupakan waktu yang di butuhkan
dalam penyembuhan luka bakar dengan mengukur diameter luka bakar hari ke-
1, hari ke-3, hari ke-6, hari ke-9, hari ke-12 dan hari ke-14. Alat ukur yang
digunakan adalah jangka sorong dan hasil pengamatan dicatat dalam lembar
pengamatan.

F. Alat dan Bahan Penelitian


1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Alumninum foil
b. Botol kaca
c. Gelas ukur
d. Cawan porselin
35

e. Batang pengaduk
f. Timbangan analitik
g. Kaca arloji
h. Kertas saring
i. Magnetic stirer
j. Pot salep
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Kunyit
b. Lidah buaya
c. Etanol 70%
d. Setil palmitat
e. Tween 80
f. Propilenglikol
g. Vitamin E
h. Aquades.

G. Prosedur Penelitian
1. Persiapan Sampel
a. Kunyit
Sampel kunyit yang diambil rimpangnya, dibersihkan, dikuliti kulitnya
dan dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran-kotoran pada
rimpang. Rimpang kunyit yang sudah bersih diiris tipis lalu kering anginkan
selama 1 minggu. Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk kasar
lalu disimpan dalam botol kaca.
b. Lidah Buaya
Sampel lidah buaya diambil kemudian dikuliti kulitnya dan diambil bagian
daging (gel). Daging lidah buaya kemudian dibilas dengan air. Daging (gel)
yang sudah bersih diblender hingga halus lalu disimpan dalam botol kaca.
36

2. Ekstraksi Sampel
a. Ektraksi Rimpang Kunyit dengan Metode Maserasi
Serbuk rimpang kunyit ditimbang sebanyak 200 gram, kemudian
dimaserasi dengan pelarut etanol 70% dengan perbandingan 1:10 selama
3x24 jam sambil sesekali diaduk. Hasil maserasi kemudian disaring dengan
menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh di uapkan semalam sampai
seluruh etanol menguap sehingga diperoleh ekstrak yang kental.
3. Pembuatan Sediaan Krim
a. Rancangan Formula
Tabel 3.1 Rancangan sediaan krim kombinasi ekstrak kunyit dan gel lidah buaya
Bahan Konsentrasi Kegunaan
(gram)
Ekstrak Kunyit 12,5 Bahan aktif
Lidah buaya 12,5 Bahan aktif
Setil Palmitat 3,5 Fase minyak
Tween 80 2,5 Emulgator
Propilenglikol 5,0 Humektan
Vitamin E 0,5 Antioksidan
Aquadest ad 50 ml Fase air

b. Pembuatan Formula
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Fase minyak dibuat dengan melebur setil palmitat, tween 80 dan
vitamin E pada suhu 70⁰C termometer diatas penangas air
3. Fase air dibuat dengan melarutkan propilen glikol dalam aquades, pada
suhu 70⁰C termometer diatas penangas air
4. Kemudian fase minyak dimasukkan ke dalam fase air
5. Kedua fasa tersebut diletakkan pada magnetic stirer, diaduk hingga
membentuk massa krim
6. Setelah basis dingin, masukkan zat aktif ekstrak kunyit dan lidah buaya
diaduk menggunakan magnetic stirer hingga krim benar-benar
homogen.
37

4. Evaluasi Sediaan Krim


a. Pengamatan Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik sediaan krim terdiri dari pemeriksaan bentuk,
warna dan bau (DepKes RI, 1985).
b. Pemeriksaan pH
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat Indikator pH Universal.
Pemeriksaan pH dilakukan dengan mencelupkan Universal Indikator pH
ke dalam krim dan dibiarkan beberapa detik, lalu warna pada kertas
dibandingkan dengan pembanding pada kemasan (Rahmawati et al, 2010).
pH sediaan krim yang dihasilkan diharapkan memenuhi rentang pH
sediaan topikal yang tidak menimbulkan iritasi kulit dan mendekati pH
kulit normal yakni tidak kurang dari 4 dan tidak lebih dari 8 (Paudel et al,
2010).
c. Uji Daya Sebar
Krim ditimbang 1 g lalu diletakkan diatas kaca arloji, biarkan 1 menit,
ukur diameter sebar krim, kemudian ditambah beban 50 g, beban
didiamkan 1 menit, lalu diukur diameter sebarnya. Hal tersebut dilakukan
hingga beban 200 g (Rahmawati et al, 2010).
5. Pengujian Penyembuhan Luka
Pengujian efektivitas luka bakar dilakukan pada 4 ekor kelinci yang sebelumnya
rambut pada bagian punggung kelinci dicukur menggunakan pisau cukur.
Kemudian dibuat kotak perlakuan sebanyak 3 buah dengan masing-masing luas
kotak 8 cm2 (4 cm x 4 cm). Kotak perlakuan diberi batas menggunakan spidol
permanen untuk membedakan antara letak perlakuan yang satu dengan lainnya.
Selanjutnya dibuat 3 luka bakar dengan menginduksi kulit punggung kelinci
menggunakan lempeng logam dengan diameter 2 cm yang telah dipanaskan
selama 5 menit pada nyala api, kemudian ditempelkan pada punggung kelinci
selama 5 detik yang sebelumnya telah dianastesi dengan menyemprotkan etil
klorida pada punggung kelinci yang telah dicukur bulunya. Perawatan luka
dilakukan dengan cara pengolesan sediaan dua kali sehari, pada pagi dan sore
hari selama 14 hari. Pengamatan luka dimulai sejak hari ke-1. Pengamatan yang
38

diamati meliputi perubahan luka bakar dari hari ke-1, hari ke-3, hari ke-6, hari
ke-9, hari ke-12 dan hari ke-14.
6. Pengukuran Diameter Luka
Diameter luka pada punggung kelinci diukur menggunakan jangka
sorong. Jangka sorong yang digunakan ialah jangka sorong digital sehingga ssat
kelinci akan diukur panjang luka, jangka sorong cukup ditempel pada bagian
punggung kelinci lalu geser scroll bawah sepanjang luka pada kelinci, layar
jangka sorong akan memperlihatkan angka panjang dari luka tersebut.

H. Pengumpulan dan Analisis Data


Data yang diperoleh dari setiap pengujian dianalisis menggunakan One Way
ANOVA (Analysis of Variant) untuk dilihat dan membandingkan efektivitas
sediaan krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya dengan kelompok kontrol
dalam menyembuhkan luka bakar.
39

I. Alur Penelitian

Penyiapan Sampel

Ekstraksi Sampel

Ekstrak Kunyit Gel Lidah buaya

Pembuatan Krim
Penyiapan formula Kombinasi Ekstrak Kunyit
krim dan Lidah buaya

Evaluasi Sediaan

Pengujian Krim Kombinasi


Penyiapan
Ekstrak Kunyit dan Lidah
Hewan Coba buaya

Pengukuran Diameter
Luka Bakar

Pengumpulan dan
Analisis Data
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembuatan Ekstrak Rimpang Kunyit


Serbuk simplisia kunyit dimaserasi menggunakan pelarut etanol 70%
dengan perbandingan 1:10. Sebanyak 200 gram serbuk kunyit dimaserasi
dengan pelarut etanol 70% sebanyak 2 liter dalam botol cokelat yang
digunakan sebagai bejana maserasi. Etanol digunakan sebagai pelarut ekstraksi
karena etanol memiliki tingkat kepolaran tinggi yang cocok untuk semua jenis
zat aktif (universal) karena disamping menarik senyawa yang bersifat polar,
pelarut polar juga tetap menarik senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran
lebih rendah (Marjoni, 2016). Proses penyarian dengan metode maserasi
dilakukan selama 5 hari sambil sesekali digojog, kemudian dipekatkan dengan
menggunakan oven pada suhu 40˚C selama kurang 14 hari. Hasil maserat yang
didapat sebanyak 28,41g. Hasil perhitungan rendemen ekstrak kunyit disajikan
dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil perhitungan rendemen ekstrak kunyit
Berat serbuk (g) Berat ekstrak kental (g) Rendemen (%)
277,53 28,41 10,24

Berdasarkan Tabel 4.1, rendemen ekstrak kunyit yang dihasilkan yaitu


10,24%. Menurut Nurhayati et al (2009) semakin tinggi nilai rendemen,
semakin banyak komponen bioaktif yang terkandung di dalamnya. Salah satu
faktor yang mempengaruhi rendemen adalah kadar air. Semakin tinggi kadar
air sampel, maka semakin tinggi rendemen ekstrak sampel tersebut. Penelitian
ini menggunakan etanol 70% sebagai pelarut. Etanol 70% merupakan etanol
yang terdiri dari 30% kandungan air, dan 70% kandungan etanol. Air bersifat
polar sehingga dapat mengekstraksi senyawa-senyawa yang bersifat polar,
sedangkan etanol mempunyai dua gugus yang berbeda kepolarannya, yaitu
gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus alkil yang bersifat nonpolar.
Adanya kandungan air pada pelarut etanol menambah kepolaran pelarut yang
digunakan sehingga akan menarik senyawa yang bersifat polar dan senyawa
yang memiliki tingkat kepolaran berbeda (Susanti, 2009) .

40
41

B. Pembuatan Krim
Sediaan krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya yang digunakan
pada penelitian ini dibuat dengan menambahkan 25% ekstrak kunyit dan 25%
lidah buaya. Kunyit dan lidah buaya diformulasi dalam bentuk sediaan krim
karena sederhana dalam pembuatannya, bentuknya menarik, mudah
diaplikasikan, memiliki daya serap yang baik, dapat digunakan pada kulit
dengan luka yang basah serta terdistribusi merata (Depkes RI, 1995).
Formulasi dan pemilihan basis yang tepat pada pembuatan sediaan krim akan
mempengaruhi jumlah dan kecepatan zat aktif yang akan diabsorpsi maupun
daya sebar dan pH dari sediaan. Basis dan pembawa harus mudah diaplikasikan
pada kulit, tidak mengiritasi dan nyaman digunakan pada kulit.
Pemilihan setil palmitat sebagai fase minyak karena sifatnya sebagai
emolien dan tidak mengiritasi kulit sehingga baik digunakan untuk formulasi
krim. Pembuatan sediaan krim dimulai dengan meleburkan fase minyak dan
fase air pada suhu 70˚C. Komponen yang tidak bercampur dengan air seperti
minyak dan lilin dicairkan bersama-sama di penangas air pada suhu 70-75˚C,
sementara itu semua larutan berair yang tahan panas, komponen yang larut
dalam air dipanaskan pada suhu yang sama dengan komponen lemak (Akmal,
2019). Pencampuran pada suhu yang sama bertujuan untuk mencegah
terjadinya pemisahan antara fase minyak dan fase air (Rowe et al., 2009).
Selain itu, peleburan pada suhu 70˚C jauh diatas titik lebur setil palmitat
sehingga dapat mencegah setil palimat memadat ketika di tuang ke dalam fase
air.
Fase minyak yang dileburkan kemudian ditambahkan tween 80.
Penambahan tween 80 bertujuan untuk mencampurkan zat-zat yang tidak
bercampur seperti minyak dengan air karena tween 80 merupakan surfaktan
nonionik yang stabil untuk emulsi M/A dan aman bagi tubuh. Sedangkan pada
fase air, ditambahkan propilen glikol. Propilen glikol merupakan ko-surfaktan
yang dapat membantu absorpsi obat. Penambahan propilen glikol sebagai ko-
surfaktan dalam formulasi krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya
dapat membantu surfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan air dan
42

minyak, meningkatkan disolusi dari zat aktif, serta memperbaiki dispersibilitas


dan absorpsi zat aktif (Rowe et al., 2009).
Pencampuran fase minyak dan fase air dilakukan dengan menggunakan
stirrer hot plate hingga terbentuk masa krim yang homogen. Pengadukan
menggunakan kecepatan 1500 rpm. Semakin tinggi kecepatan pengadukan,
semakin kecil ukuran partikel yang dihasilkan. Semakin kecil ukuran partikel,
memberikan kestabilan secara fisik sehingga tidak menyebabkan partikel
saling beragregasi (Avadi, 2010; Rahmawanty, 2014). Setelah terbentuk basis
krim, ekstrak kunyit 25% dan gel lidah buaya 25% dimasukkan kedalam basis
kemudian digerus dalam mortir dalam keadaan panas, hingga terbentuk krim
yang homogen.

C. Evaluasi Sediaan Krim


Hasil evaluasi sediaan krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya
meliputi uji organoleptik, pH dan daya sebar. Hasil evaluasi sediaan disajikan
dalam Tabel 4.2
Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Sediaan Krim Kombinasi Ekstrak Kunyit dan Gel Lidah
Buaya
Evaluasi Hari ke 1 Hari ke 7 Hari ke 14
Warna Orange Orange Orange
kecoklatan kecoklatan kecoklatan
Organoleptik Bentuk Setengah padat Setengah padat Setengah padat
Bau Khas Khas Khas
pH 6 6 6
Daya sebar 4,8 4,225 4,2

Evaluasi sediaan krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya


bertujuan untuk memastikan mutu sediaan yang akan diaplikasikan pada luka
bakar. Sediaan krim dipilih karena krim tidak lengket, dan tidak berminyak
serta lebih mudah dibersihkan atau dicuci dengan air (Ansel, 2008). Evaluasi
sediaan krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah secara organoleptis bertujuan
untuk melihat sifat fisik sediaan. Hasil evaluasi berdasarkan tabel 4.2
didapatkan bentuk krim yang setengah padat, dengan warna orange kecoklatan
43

karena warna ekstrak kunyit lebih dominan dibandingkan dengan warna lidah
buaya. Warna ekstrak kunyit yang lebih dominan dikarenakan kunyit
mengandung kurkumin yang memberikan fluoresensi warna kuning, jingga,
sampai jingga kemerahan.
Hasil evaluasi pH sediaan menunjukkan sediaan krim yang dibuat
memiliki pH 6, dari hari ke-1 hingga hari ke-14. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tidak terjadi perubahan pH pada sediaan krim. Kestabilan pH pada
sediaan dikarenakan adanya penambahan vitamin E yang mencegah degradasi
kimia karena adanya proses oksidasi ada fase minyak (Jones, 2008). Sediaan
krim yang dihasilkan memenuhi rentang pH sediaan topikal yang tidak
menimbulkan iritasi pada kulit, optimal untuk absorbsi sediaan melalui kulit.
Nilai pH yang terlalu rendah dapat menyebabkan iritasi, sedangkan pH terlalu
tinggi dapat menyebabkan kulit bersisik (Anggreani, 2008). pH kulit normal
yakni tidak kurang dari 4 dan tidak lebih dari 8 (Paudel et al, 2010).
Uji daya sebar dilakukan untuk mengetahui kemampuan penyebaran
krim pada kulit. Kemampuan menyebar krim yang baik akan memberikan
kemudahan pengaplikasian pada permukaan kulit. Selain itu penyebaran zat
aktif pada kulit akan lebih meratas sehingga efek yang dihasilkan menjadi lebih
optimal. Semakin besar daya sebar krim semakin baik karena semakin luas juga
kontak antara kulit dengan krim sehingga zat aktif yang terkandung dapat
menyebar dengan baik dan merata. Hasil evaluasi daya sebar krim pada tabel
4.2 menunjukkan kemampuan daya sebar sediaan hampir mendekati
persyaratan daya sebar yang baik yaitu 5-7 cm (Garg et al., 2002). Daya sebar
krim mengalami penurunan pada hari ke-7 hingga hari ke-14. Hal ini
menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh terhadap daya sebar
sediaan (Agitya et al., 2018). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yulias et al (2007) menunjukkan bahwa semakin lama waktu
penyimpanan beberapa daya sebar krim menurun. Hal ini bisa disebabkan
karena pengaruh konsistensi krim. Karena adanya kandungan minyak dan
disimpan di tempat dengan kelembaban cukup tinggi, sehingga konsistensi
krim menurun dan kemampuan penyebarannya menurun selama penyimpanan.
44

D. Pengukuran Diameter Luka Bakar


Salah satu cara untuk mengamati efek penyembuhan luka bakar pada
hewan penelitian yakni dengan cara pengukuran diameter luka bakar pada
hewan percobaan. Kelinci uji yang akan diberi perlakuan dicukur bulunya pada
daerah punggung. Kelinci uji diberi anastesi dengan menyemprotkan etil
klorida pada bagian punggung yang telah dicukur bulunya. Pemberian anastesi
bertujuan untuk mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan saat diinduksi luka
bakar. Induksi luka bakar dilakukan menggunakan logam dengan diameter 2
cm yang dipanaskan pada nyala api kemudian diinduksi pada punggung kelinci
selama 5 detik. Induksi luka bakar selama 5 detik bertujuan agar luka bakar
yang terbentuk merupakan luka bakar derajat II dangkal yang ditandai dengan
adanya kerusakan pada bagian epidermis dan sebagian dermis (Tiara et al.,
2013).
Uji efektivitas krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya
dilakukan dengan mengoleskan krim pada punggung yang telah diinduksi luka
bakar. Parameter yang diamati berupa penuruan diameter luka bakar pada hari
ke-1, hingga hari ke-14. Pengaplikasian krim dilakukan setiap hari pagi dan
sore hari. Kelompok kontrol positif diberikan pengobatan salep MEBO,
kelompok kontrol negatif tidak diberikan pengobatan dan kelompok perlakuan
diberikan pengobatan menggunakan krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah
buaya. Salep MEBO digunakan karena bentuk sediaannya untuk penggunaan
topikal dan diindikasikan pada pengobatan luka bakar serta kandungan salep
MEBO juga terdiri dari beberapa bahan herbal. Penentuan penurunan diameter
luka bakar dilakukan dengan membandingkan rata-rata diameter luka hari ke-
1 (H-1) dikurangi rata-rata diameter luka luka hari ke-14 (H-14).
Berdasarkan data rata-rata penurunan diameter luka bakar,
menunjukkan adanya perubahan diameter luka bakar pada kelompok kontrol
positif, kontrol negatif maupun kelompok perlakuan. Rata-rata diameter awal
untuk setiap perlakuan adalah 20 mm (H1) dan terjadi penurunan diameter luka
bakar dengan rata-rata K3 sebesar 11,43333 mm, K1 sebesar 9,4 mm dan K2
45

sebesar 8,333333. Hasil perhitungan rata-rata penurunan diameter luka bakar


disajikan dalam Tabel 4.3
Tabel 4.3 Rata-rata Penurunan Diameter Luka Bakar
Kelompok Rata-rata penurunan diameter luka bakar (mm)
H-1 H-14 (H1-H14)
K1 Positif 20 10,6 9,4
K2 Negatif 20 11,6667 8,333333
K3 KKEKLB 20 8,56667 11,43333

Berdasarkan Tabel 4.3, penurunan diameter luka bakar disajikan dalam bentuk
diagram pada Gambar 4.1.

Penurunan Diameter Luka Bakar


25

20

15

10

0
K1 Positif K2 Negatif K3 KKEKLB

Diameter Luka Awal Penurunan Diameter Luka bakar

Gambar 4.1 Diagram Penurunan Diameter Luka bakar

Diagram penurunan diameter luka bakar tersebut menunjukkan adanya


perbedaan rata-rata tiap kelompok uji pada hari ke-14. Penurunan diameter
luka bakar kelompok perlakuan menunjukkan rata-rata penurunan paling besar
yaitu 11,43333 mm, sedangkan kelompok kontrol positif dan kelompok
negatif menunjukkan rata-rata penurunan sebesar 9,4 mm dan 8,333333 mm.
Salah satu parameter yang menunjukkan terjadinya penyembuhan luka
bakar adalah dengan mengukur penuruan diameter luka bakar (Ghofroh, 2017).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khorashani et al (2009) pemberian
ekstrak lidah buaya tunggal dengan konsentrasi 0,5% dapat menyembuhkan
luka bakar selama 15,9 hari. Penelitian lain juga dilakukan oleh Rizky et al
(2013) penggunaan krim lidah buaya dapat menyembuhkan luka bakar pada
10-14 hari, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mehrabani et al (2014)
46

pemberian ekstrak kunyit tunggal dengan konsentrasi 2% dapat


menyembuhkan luka bakar derajat III selama 21 hari. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kunyit dan lidah buaya memberikan pengaruh terhadap
penyembuhan luka bakar.
Penelitian ini menunjukkan penurunan diameter pada kelompok
perlakuan lebih besar dibandingkan dengan penurunan diameter pada
kelompok kontrol pada hari ke-14. Kelompok kontrol negatif memberikan
penyembuhan luka bakar paling lama dilihat dari diameter luka jika
dibandingkan dengan diamter luka bakar kelompok lainnya. Hal ini
dikarenakan kelompok kontrol negatif tidak diberi pengobatan untuk
membantu proses penyembuhan luka bakar. Kelompok kontrol negatif yang
diberikan pengobatan dengan salep MEBO memberikan efek penyembuhan
yang lebih cepat dibandingkan dengan kontrol negatif karena salep MEBO
memiliki kandungan yang dapat membantu dalam proses penyembuhan luka
bakar.
Proses penyembuhan luka terdiri dari 3 fase yaitu fase inflamasi, fase
proliferasi, dan fase penyembuhan. Fase inflamasi berfungsi untuk mengontrol
perdarahan, mencegah masuknya bakteri, menghilangkan kotoran dari jaringan
yang luka dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan. Berdasarkan
penelitian ini, fase inflamasi ditandai dengan tidak terjadinya perdarahan pada
kelompok kontrol positif, kontrol negatif maupun kelompok perlakuan. Luka
bakar pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya infeksi dari hari ke-1
dimulainya fase inflamasi hingga hari ke-5. Hal tersebut menunjukkan bahwa
terjadinya migrasi neutrofil pada luka bakar kelompok kontrol positif, kontrol
negatif maupun kelompok perlakuan selama fase inflamasi sehingga
membantu proses fagositosis, pembersihan jaringan yang mati dan racun yang
dikeluarkan oleh jaringan yang terbakar.
Tahap penyembuhan secara proliferasi yang ditandai dengan
pembentukan jaringan granulasi pada luka. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi (hari ke-6 sampai akhir minggu ke-3). Pada fase ini matriks fibrin
yang didominasi oleh platelet dan makrofag secara gradual digantikan oleh
47

jaringan granulasi yang tersusun dari kumpulan fibroblas, makrofag dan sel
endotel yang membentuk matriks ekstraseluler dan neovaskular (Gurtner,
2007). Fibroblas memproduksi matriks ekstraselular yang akan mengisi kavitas
luka dan menyediakan landasan untuk migrasi keratinosit. Ketika makrofag
mengeluarkan sitokin pro-inflamasi termasuk TNF-α dan IL-1, yang pada
akhirnya akan mengaktifkan rilisnya nuklir-faktor (NF-κB), kandungan
kurkumin pada kunyit akan menghambat aktivasi nuclear factor kappa B
(NFkB) serta menekan produksi TNF-α dan IL-1 Selain membuat keadaan
mikro pro-inflamasi, makrofag juga melepaskan faktor pertumbuhan termasuk
faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), TGF-β, FGF dasar (bFGF),
PDGF, dan faktor pertumbuhan keratinosit (KGF), sehingga kandungan
glukomanan pada lidah buaya akan meningkatkan ekspresi gen endotel
vaskular faktor pertumbuhan (VEGF) dan TGF 𝛽-1 di daerah luka. Dalam hal
ini, TGF-𝛽1 akan merangsang fibroblas untuk memproduksi matriks
ektraseluler yang lebih baik di tempat luka lebih dari sebelumnya
Fase proliferasi dimulai dengan adanya pembentukan jaringan
granulasi. Pembentukan jaringan granulasi ditunjukkan dengan terbentuknya
keropeng pada luka (Agustina, 2011). Di bawah keropeng, sel epitel berpindah
dari luka ke tepi, sel epitel membantu sebagai barier antara tubuh dengan
lingkungan. Keropeng akan menebal hingga terbentuk jaringan baru dan
terlepas sendiri ketika proses pembentukan jaringan baru selesai (angiogenesis)
dan tepi-tepi luka mulai tertarik ke tengah (Aponno et al., 2014).
Kelompok kontrol positif dan kontrol negatif menunjukkan
terbentuknya keropeng pada luka bakar, sedangkan kelompok perlakuan tidak
menunujukkan adanya pembentukan keropeng pada luka bakar. Penyebab
terbentuknya keropeng adalah kondisi luka yang kering. Kelompok kontrol
positif dan negatif menunjukkan kondisi luka yang kering dibandingkan
dengan kelompok perlakuan. Lingkungan luka kering tersebut akan
menyebabkan terbentuknya krusta (keropeng) pada luka akibat dehidrasi
jaringan luka sehingga menghambat granulasi (pembentukan jaringan baru dari
lapisan bawah ke atas) dan epitelisasi (migrasi sel epitel dari tepi luka ke tengah
48

permukaan luka) (Andre & Dies, 2017). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pertumbuhan jaringan granulasi pada kelompok perlakuan krim kombinasi
kunyit dan lidah buaya lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol positif dan
negatif dilihat dari terbentuknya keropeng pada luka bakar kelompok kontrol
positif dan kontrol negatif, sedangkan tidak terbentuknya keropeng pada
kelompok perlakuan krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya. Dapat
disimpulkan bahwa krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya membantu
pembentukan jaringan granulasi dan migrasi sel epitel ke tengah permukaan
luka bakar sehingga terjadi penurunan diameter luka bakar.

E. Analisis Statistik Penurunan Diameter Luka Bakar


Data penurunan diameter luka bakar dianalisis dengan One Way Anova.
One Way Anova digunakan untuk menguji perbedaan rata-rata lebih dari dua
kelompok. Sebelum dilakukan uji One Way Anova, perlu dilakukan uji
normalitas untuk melihat apakah data yang diuji terdistribusi normal atau tidak.
Dikatakan terdistribusi normal apabila nilai signifikan >0,05, sedangkan data
yang dikatakan tidak terdistribusi normal apabila nilai signifikan <0,05.
Berdasarkan hasil evaluasi uji Shapiro Wilk, data rata-rata penurunan diameter
luka bakar terdistribusi normal dengan nilai signifikan p>0,05. Selanjutnya
dilakukan uji homogenitas untuk melihat apakah data terdistribusi homogen
atau tidak. Dikatakan homogen apabila nilai signifikan >0,05, sedangkan data
yang dikatakan tidak terdistribusi homogen apabila nilai signifikan <0,05.
Berdasarkan hasil evaluasi uji homogenitas, data rata-rata penurunan diameter
luka bakar terdistribusi homogen dengan nilai signifikan p>0,05.
Data penurunan diameter luka bakar kemudian dianalisis menggunakan
uji One Way Anova untuk melihat adanya perbedaan antara kelompok kontrol
dan kelompok uji. Dikatakan berbeda jika nilai signifikan p<0,05. Hasil uji One
Way Anova menunjukkan data rata-rata penurunan diameter luka bakar
terdapat perbedaan dengan nilai signifikan p<0,05. Selanjutnya dilakukan uji
LSD (Least Significant Different) untuk melihat perbedaan antara tiap
kelompok uji. Hasil analisis LSD disajikan dalam Tabel 4.4
49

Tabel 4.4 Uji Post Hoc dengan LSD Terhadap Rata-rata Penurunan Diameter Luka bakar
Mean
(I) Difference Std. Lower Upper
Kelompok (J) Kelompok (I-J) Error Sig. Bound Bound
K1 Positif K2 Negatif 1,0667* ,2293 ,003 ,506 1,628
K3 KKEKLB -2,0333* ,2293 ,000 -2,594 -1,472
K2 Negatif K1 Positif -1,0667* ,2293 ,003 -1,628 -,506
*
K3 KKEKLB -3,1000 ,2293 ,000 -3,661 -2,539
*
K3 K1 Positif 2,0333 ,2293 ,000 1,472 2,594
*
KKEKLB K2 Negatif 3,1000 ,2293 ,000 2,539 3,661

Berdasarkan hasil uji LSD tersebut, nilai signifikan p<0,05


menunjukkan adanya perbedaan signifikan setiap kelompok perlakuan.
Perbedaan terlihat pada kelompok kontrol positif dengan kelompok kontrol
negatif (0,003<0,05) dan kelompok KKEKLB (0,000<0,05), kelompok kontrol
negatif dengan kelompok positif (0,003<0,05) dan kelompok KKEKLB
(0,000<0,05), serta kelompok KKEKLB dengan kelompok positif
(0,000<0,05) dan kelompok negatif (0,000<0,05). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok
kontrol positif, kontrol negatif maupun kelompok perlakuan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian uji efektivitas krim kombinasi ekstrak
kunyit dan lidah buaya terhadap penyembuhan luka bakar diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kombinasi ekstrak kunyit dengan konsentrasi 25% dan lidah buaya dengan
konsentrasi 25% dapat di formulasi dalam bentuk sediaan krim.
2. Krim kombinasi ekstrak kunyit dan lidah buaya memberikan efektivitas
terhadap penyembuhan luka bakar
3. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol positif,
kontrol negatif dan kelompok perlakuan

B. Saran
Adapun saran untuk penelitian lebih lanjut yaitu perlu dilakukan variasi dosis
kombinasi ekstrak kunyit dengan lidah buaya untuk mendapatkan dosis yang
efektif terhadap penyembuhan luka bakar

50
DAFTAR PUSTAKA

Achroni K. 2012. Semua Rahasia Kulit Cantik Dan Sehat Ada Disini. PT Buku
Kita:Jakarta
Agitya RE, Dika D, Stefan AK. 2018. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap
Sediaan Fisik Krim Daun Alpukat (Persea Americana Mill) dan daun sirih
hijau (Piper betle Linn). Indonesian Journal of Pharmacy and Natural
Product Vol 01:01
Agustina DR. 2011. Pengaruh Pemberian Secara Topikal Kombinasi Rebusan Daun
Sirih Merah (Piper ef. fragile, Benth.) dan Rebusan Herba Pegagan
(Centella asiatica (L.) Urban) Terhadap Penyembuhan Luka Tikus Putih
Jantan Yang dibuat Diebetes. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Program Sarjana Farmasi Universitas Indonesia
Ahlawat KS, Khatkar BS. 2011. Processing, food applications and safety ofaloe
vera products: A review. Journal of Food Science and Technology. 48,525-
533.
Ahmed S, Saeid AN. 2017. The Role of Phytochemicals in the Inflammatory Phase
of Wound Healing. International Journal of Molecular Science. 4
Akmal B. 2019. Sediaan Krim (Cream): Uraian dan Penjelasan Lengkap.
Universitas Hassanudin. Makasar. Di akses 18 september 2019 dari
https://biofar.id/krim/
Alekha KD, Singh S, Justin T. 2014. Handbook of Pharmaceutics; Basic Principles
and Application to Pharmacy Practice. London: Academic Press is an
imprint of Elsevier. 262
Andri M, Dies S. 2017. Efektivitas Sediaan Salep yang Mengandung Ekstrak Ikan
Gabus (Channa striata) pada Proses Penyembuhan Luka Akut Stadium II
Terbuka pada Tikus Jantan Galur Wistar. Fakultas Kedokteran, Universitas
Tanjungpura, Pontianak 78124, Indonesia
Andri CK. 2015. Teknologi Ekstraksi Senyawa Bahan Aktif dari Tanaman Obat.
Yogyakarta: Plantaxia.

51
52

Anggreani, AC. 2008. Pengaruh Bentuk Sediaan Krim, Gel dan Salep Terhadap
Penetrasi Aminofilin Sebagai Antiselulit Secara In Vitro Menggunakan Sel
Difusi Franz
Anief M. 2007. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Anonim. 2016. Animal Use Training Session Rabbit Lab Handout. University of
Washigton. 5
Ansel HC. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV; Alih bahasa Ibrahim,
F. Jakarta: UI Press
Appono JV, Paulina VYY, Hamidah SS. 2014. Uji Efektivitas Sediaan Gel Ekstrak
Etanol Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn) Terhadap Penyembuhan
Luka yang Terinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus Pada Kelinci
(Oryctolagus cumiculus). PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi-
UNSTRAT Vol.3 No.3
Arshad HR, Mohammed AA, Salah MA, Masood AK, Yousef HA. 2018. Role of
Curcumin in Disease Prevention and Treatment. Advanced Biomedical
Research
Avadi M. 2010. Preparation and Characterization Of Insulin Nanoparticles Using
Chitosan and Arabic Gum With Ionic Gelation Method. Nanomed:
Nanotech, Biol Med.
Bakker P, Herman W, et al. 2012. Dermatological Preparations for The Tropics; A
formulary of dermatological preparations and background information on
therapeutic choicesm production and dispensing 2nd revised edition.
University of Groningen. The Netherlands. 76-77
Barbara AB, Glen G, Marjorie S. 2013. Willard and Spackman's Occupational
Therapy. 12nd Edition. Philadephia: Wolters Kluwer Health
Benitez S, Isabel A, Francesc S, Montserrat P. 2013. Aloe Vera Based Coatings
Improve The Quality Of Minimally Processed Hayward Kiwifruit.
Postharvest Biology And Technology.
Brodie L, Brodribb RK, Dickson D, Farey N, Mandeno D, Leitch I, et al. 2013.
Emegency Management of Severe Burns (EMBS). The Australian and New
Zealand burn association. 17
53

Burlando B, Luisella V, Cornara L, Elisa BM. 2010. Herbal Principles in


Cosmetics: Properties and Mecanisms of Action. London: CRC Press. 55
Cameron AM, Ruzehaji N, Cowin AJ. 2010. Burn wound management: a surgical
perspective. Wound Practice and Reasearch. 18(1):35-40.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia: Dirjen Pengawasan Obat dan
Makanan. Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta
Depkes RI. 1977. Materia Medika Indonesia, Jilid I. Jakarta: Dirjen Pengawasan
Obat dan Makanan.47
Dutta S, Pallav S. 2018. Rabbits and men: relating their ages. J Basic Clin Physiol
Pharmacol. 1-3
Dwisatyadini, Mutimanda. 2017. Pemanfaatan Tanaman Obat untuk Pencegahan
dan Pengobatan Penyakit Degeneratif: Optimalisasi Peran Sains dan
Teknologi untuk Mewujudkan Smart City. 237
Effendy MY. 2016. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Pertumbuhan Kelinci
Flemish Giant Lepas Sapih di Kaliurang Yogyakarta. Yogyakarta: UGM.
Efferpi V, Christaki, Panagiota C. Florou P. 2010. Aloe vera: a plant for many uses.
Journal of Food, Agriculture& Environmental. 8(2):245-9
Evers LH, Bhavsar D, Maila P. 2010. The biology of burn injury. Experimental
Dermatology. 19(9):777–783.
Fahmi MF, 2012. Uji Efektivitas Salep dan Jus Lidah Buaya (Aloe vera L.)
Terhadap Waktu Kesembuhan dan Gambaran Makroskopik Luka Bakar
Kimiawi Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Diabete Melitus Diinduksi
Streptozotocin.
Femenia A., Garcia PP., Simal S, Rosello C. 2003. Effect of Heat Treatment and
Dehydration on Bioactive Polysaccharide Glucomannan and Cell Wall
Polymers from Aloebarbadensis Miller”. Carbohydrate Polymer. 51: 397-
405.
Garg A, Aggarwal D, Garg S, Sigla AK. 2002. Spreading of Semi Solid
Formulation : An Update. Pharm. Technol. 84–102.
54

Gurtner GC, et al, 2007. Wound healing, normal and abnormal. Grabb and Smith’s
Plastic Surgery, 6Th edition. Lippincott Williams And Wilkins,
Philadelphia.15-22.
Gofroh AA. 2017. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Kitolod (Isotoma
longiflora) Terhadap Percepatan Penyembuhan Luka Bakar (Combustio)
Derajat II A pada Mencit (Mus musculus)
Hartati SY, Balittro. 2013. Khasiat Kunyit Sebagai Obat Tradisional dan Manfaat
Lainnya. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Jurnal
Puslitbang Perkebunan.19 : 5-9
He Y, Yue Y, Zheng X, Zhang K, Chen S, Du Z, et al. 2015. Curcumin,
inflammation, and chronic diseases: Molecules.20:9183–213.
Hindy A. 2009. Carboxymethyl-cellulose silver, moist exposed burn ointment, and
saline-soaked dressing for treatment of facial burns. Animal Burn Fire
Disaster. 22(3):131–137.
Indriaty S, Indrawati T, Taurhesia S. 2016. Uji Aktivitas Kombinasi Ekstrak Air
Lidah Buaya (Aloe vera L.) Dan Akar Manis (Glycyrrhiza glabra L.)
Sebagai Penyubur Rambut. Pharmaciana. 6(1): 55-62.
Jones D. 2008. Handbook of Pharmaceutic Dosage Form and Design. London :
Pharmaceuticals Press.
Jose MAS, Massimiliano G, Tamara Y, Luca M., Francesca G. 2014. The
composition and biological activity of honey: a focus on Manuca honey. J
of Foods. (3):420-432
Kalangi SJR. 2013. Histofisiologi kulit. Jurnal Biomedik. 5(3):12–20.
Khorasani G. (2009). Aloe Versus Silver Sulfadiazine Creams for Second-Degree
Burns: A Randomized Controlled Study. Surgery Today, 58-591
Lachman L, Herbert AL, Joseph LK., 1994. Theory and Practice Industry
Pharmacy. London: Pharmaceutical Press.
Li W, Ma Y, Yang Q, Pan Y, Meng Q. 2017. Moist exposed burn ointment for
treating pressure ulcers. Medicine. 96(29):1-8.
Lima CC, et al. 2009. Ascorbic Acid for The Healing of Skin Wounds in Rats.Braz
J Bio. l69(4): 1195-1201.
55

Loden M. 2001. Hydrating Substance in Paye, A.O. Barel, H.I. Maibach, M.,
Handbook of Cosmetic Science and Technology, Marcel Dekker, Inc., New
York. 354.
Manvitha K, Bidya B. 2014. Aloe vera: A wonder plant its history, cultivationand
medicinal uses. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry .2(5): 85-
88.
Marjoni R. 2016. Dasar-Dasar Fitokimia. Cetakan Pertama. Jakarta : CV. Trans
Info Media.
Maryunani A. 2015. Perawatan Luka Modern (Modern Woundcare). Bogor: In
Media
Mawarsari T. 2015. Uji Aktivitas Penyembuhan Luka Bakar Ekstrak Etanol Umbi
Talas Jepang (Colocasia esculenta L.) Schott Putih (Rattus norvegicus)
Jantan Galur Sprague Dawley [Skripsi]. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Mehrabani D. et al. 2014. The Healing Effect of Curcumin on Burn Wounds in Rat.
Departement of Medical Pharmacology
Mescher AL. 2014. Histologi dasar juqueira teks dan atlas. Edisi ke-12. Jakarta:
EGC.
Michael M, Gary T. 2016. Wound healing with apitherapy: a review of the effects
of honey. J Apither. 1(1): 29-32
Moenadjat Y. 2009. Luka Bakar Masalah dan Tata Laksana. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Mohanta S, Swain PK, Sial P, Rout GR. 2015. Morphological and Molecular
Screening of Turmeric (Curcuma longa L.) Cultivars for Resistance against
Parasitic Nematode, Meloidogyne incognita. J Plant Pathol Microb. 1
Natsir N. 2013. Pengaruh Ekstrak Daun Lidah Buaya (Aloe vera) Sebagai
Penghambat Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus. Prosiding
FMIPA Universitas Pattimura. ISBN: 978-602-97522-0-5.
Niazi SK. 2009. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulation:
Semisolid Product. CRC Press. 4: 163
Nurhayati TD, Aryanti, Nurjanah. 2009. Kajian Awal Potensi Ekstrak Spons
Sebagai Antioksidan. Jurnal Kelautan Nasional. 2(2):43-51
56

Paudel KS, Mikolaj M, Courtney LS, Nicole KB, et al. 2010. Challenges and
opportunities in dermal or transdermal delivery.
Paula P. 2013. Pengaruh Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma domestica
Val.) Terhadap Waktu Penutupan Luka Mukosa Rongga Mulut (Studi
Eksperimental Pada Tikus Wistar). Undergraduate thesis. Universitas
Kristen Maranatha. 40
Portou, MJ, Baker D, Abraham D, Tsui, J. 2015. The innate immune system, toll-
like receptors and dermal wound healing: A review. Vascul. Pharmacol. 71,
31–36
Prasetyo BFI, Wientarsih, dan Priosoeryanto. 2010. Aktivitas sediaan gel ekstrak
batang pohon pisang ambon dalam proses penyembuhan luka pada mencit.
J. Veteriner. 11(2):70-73.
Rahmawati D. Sukmawati A. Indrayudha P. 2010. Formulasi krim minyak atsiri
rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val & Zijp): uji sifat fisik dan
daya antijamur terhadap Candida albicans secara in vitro
Rahmawanti D, Effionora A, Anton B. 2014. Formulasi Gel Menggunakan Ikan
Haruan (Channa striatus) Sebagai Penyembuh Luka. Media Farmasi. 11(1):
29-40
Rathaur P, Raja W, Ramteke PW, Suchit AJ. 2012. Turmeric The Golden Spice of
Life. International Journal of Pharmaceutical Science and Research. 3(7):
1988
Rihatmadja R. 2015. Anatomi dan faal kulit. Dalam: Menaldi SL. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: FK UI.
Rini P, Sunyoto, Muschon A. 2016. Efektivitas Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera L.)
terhadap penyembuhan luka sayat pada mencit jantan (Mus muscullus) galur
Swiss.1-6
Riset Kesehatan Dasar. 2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Riset Kesehatan Dasar. 2018. Laporan Nasional Rikesdas. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
57

Rizky AW, Latifah, Winarni P. 2013. Formulasi Krim Ekstrak Lidah Buaya (Aloe
vera) sebagai Alternatif Penyembuh Luka Bakar. Indonesian Journal of
Chemical Science. Universitas Negeri Semarang
Rodero, MP, Khosrotehrani K. 2010. Skin wound healing modulation by
macrophages.Int. J. Clin. Exp. Pathol. 3, 643–653
Roshan, PY dan Gaur T. 2017. Versatility of turmeric: A review the golden spice
of life.Journal Of Pharmacognosy and Phytochemistry. 43
Rowan MP, Cancio LC, Elster EA, Burmeister DM, Rose LF, Natesan S, et al.
2015. Burn wound healing and treatment: review and advancements.
Critical Care. 7(12):1–12.
Rowe RC, Sheskey P.J, Queen, ME. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th
Edition. London: Pharmaceutical Press.
Sahu PK, Giri, DD, Singh R., Pandey P, Gupta S, Shrivastava AK, et al.
2013.Therapeutic and medicinal uses of aloe vera: A review. Pharmacology
and Pharmacy. 4, 599-610.
Samal D, Gouda S, Jayanta KP. 2017. Food Preservatives and Their Uses; Short
Report. Asian Journal of Biology. 4(1): 3
Salvador A, Chisvert A. 2007. Analysis of Cosmetic Products.1st. Italy: Elsevier
B.V. 367-368.
Satya B. 2013. Koleksi Tumbuhan Berkhasiat. Yogyakarta: Rapha Publishing
Schneider DF, Palmer JL, Tulley JM, Speicher JT, Kovacs, EJ, Gamelli RL, Faunce
DE. 2011. A novel role for NKT cells in cutaneous wound repair. J. Surg.
Res. 168, 325–333
Schultz GS, 2007. The Physiology of Wound Bed Preparation. In Granick MS,
Ganelli RL, (Eds). Surgical Wound Healing and Management. Informa
Healthcare USA Inc. New York.1-5.
Setiabudi WA. 2009. Lidah buaya. Artikel. Diakses 28 oktober 2018, dari
http://soulkeeper28.files.wordpress.com/2009/01/artikel-lidah-buaya.pdf
Seyyed AH, Seyyed AM, Saeid A. 2015. The Review on Properties of Aloe Vera
in Healing of Cutaneous Wounds. Biomed Research International. 4
Sjamsuhidajat R, Nim de jong. 2004. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC
58

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Penerbit Alfabeta


Sumardjo, Damin. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksata. Jakarta: EGC. 264
Susanti, Ai. 2009. Inhibisi Ekstrak Air dan Etanol Daun Asam Jawa dan Rimpang
Kunci Pepet Terhadap Lipase Pankreas Secara In Vitro. Institut Pertanian
Bogor. Fakultas Pertanian dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi, Jakarta: EGC,. 29-31.
Tangapazham RL, Shashwat S, Maheshwari RK. 2013. Phytochemicals in Wound
Healing. New York. 5: 232
Thiele JJ, Ekanayake MS. 2007. Vitamin E in human skin: organ-specific
physiology and considerations for its use in dermatology. Mol Aspects Med.
28(5-6):646-667.
Tiara M, Hosea JE, Novel K. 2013. Formulasi Gel Ekstrak Daun Sasaladahan
(Peperomia pellucida (L.) H.B.K) dan Uji Efektivitasnya Terhadap Luka
Bakar Pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus). Jurnal Ilmiah Farmasi. 2: 51
Tintinalli, Judith E. 2010. Emergency Midicine: A Comperhensive Study Guide.
New York: McGraw-Hill Companies
Tiwari VK. 2012. Burn Wound: How It Differs From Other Wounds. Indian Journal
Of Plactic Surgery. 45: 364-373
Toussaint J, Singer AJ. 2014. The evaluation and management of thermal injuries.
Clinical and Experience Emergency Medicine. 1(1):8–18.
Wasiatmadja SM. 2001. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-3. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
WHO. 2014. WHO Health Estimates 2014 Summary Tables. 2014 Deaths and
Global Burden of Disease.
WHO. 2012. WHO biennal report 2010/2011: violence, injury and disability: 20
Widodo, Nurdjanah. 2007. Pembuatan Basis Krim VCO (Virgin Coconut Oil)
Menggunakan Microwave Oven. International Symposium and Seminar of
Indonesian Medicinal Plants
Wiley J Sons. 2008. Pharmaceutical Manufacturing Handbook; Production and
Processes. Wiley Interscience. Canada. 267-269
59

Winarto WP. 2004. Khasiat & manfaat kunyit, Jakarta: Agro Media Pustaka.2-7,
11
Wirastuty RY. 2016. Uji Efektifitas Gel Ekstrak Etanol Kulit Batang Kayu Jawa
(Lannea coromandelica) pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) Sebagai
Obat Penyembuhan Luka Bakar. Journal of Pharmaceutical Science and
Herbal Technolog. 1(1)
Yulias NW, Diah PW, Mimik MM. 2007. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Ekstrak
Etanolik Umbi Bengkuang (Pachyrrhizus erosus, Urb) Dalam Sediaan
Krim Terhadap Sifat Fisiknya. Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik. 4(3)
Yu ZH, Jin C, Xin M, Jian Min. 2009. Effect of Aloe vera polysaccharides on
immunity and antioxidan activities in oral ulcer animal models. Carbohyd.
Polym. 75
Yuri S. 2013. Perbedaan Kecepatan Kesembuhan Luka Inisisi antara Olesan Gel
Lidah Buaya (Aloe vera) dan Olesan Ekstrak Etanolik Rimpang Kunyit
(Curcuma longa linn) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
52

L
A
M
P
I
R
A
N
60

Lampiran 1. Surat Determinasi Tanaman Kunyit dan Lidah buaya


61
62

Lampiran 2. Persen Rendemen Ekstrak Etanol 70% Kunyit


Berat serbuk (g) Berat ekstrak kental (g) Rendemen (%)
277,53 28,41 10,24

Berat ekstrak kental


Rendemen (%) = Berat serbuk
𝑥 100
28,41
Rendemen (%) = 𝑥 100
277,53
Rendemen (%) = 10,24%
63

Lampiran 3. Penimbangan Bahan Pembuatan Krim

25
1. Ekstrak Kunyit 25% = 100 𝑥 50 gram

= 12,5 gram
25
2. Lidah Buaya 25% = 100 𝑥50 gram

= 12,5 gram
8
3. Setil Palmitat 7% = 100 𝑥50 gram

= 3,5 gram
8
4. Tween 80 5% = 100 𝑥50 gram

= 3,5 gram
15
5. Propilenglikol 15% = 100 𝑥50 gram

= 7,5 gram
1
6. Vitamin E 1% = 100 𝑥50 gram

= 0,5 gram

7. Aquadest ad 50 gram = 50 gram – (12,5+12,5+3,5+2,5+7,5+0,5) gram

= 11 gram
64

Lampiran 4. Penyiapan Sampel

Tanaman Kunyit Tanaman Lidah buaya


(koleksi pribadi)

Sampel Kunyit Sampel Lidah buaya

Serbuk Kunyit yang sudah di blender Gel Lidah buaya yang sudah diblender
65

Maserasi Kunyit

Penyaringan kunyit

Ekstrak Kunyit
66

Lampiran 5. Pembuatan Sediaan

Ekstrak Kunyit Ekstrak Lidah buaya

Setil Palmitat Tween 80

Propilenglikol
Aquades
67

Peleburan fase minyak dan fase air

Krim Kombinasi Ekstrak Kunyit dan Lidah buaya


68

Lampiran 6. Evaluasi Sediaan


Evaluasi Hasil
Hari 1 Hari 7 Hari 14

Organoleptik

pH

Daya Sebar
69
70

Lampiran 7. Pengujian Luka Bakar


Kelompok Perubahan Luka Bakar
Hari 1 Hari 3 Hari 6
Kontrol
Positif

Kontrol
Negatif

KKEKLB
71

Kelompok Perubahan Luka Bakar


Hari 9 Hari 12 Hari 14
Kontrol
Positif

Kontrol
Negatif

KKEKLB
72

Lampiran 8. Tabel Rata-rata Diameter Luka bakar


Rata-rata diameter luka bakar
Kelompok
Hari 1 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 14
K1 Positif 20 19,6667 20,33333 20,1333 18,9 10,6
K2 Negatif 20 19,5 18,56667 17,7 17,3333 11,6667
K3 KKEKLB 20 19,2667 18,33333 17,1 16,6667 8,56667

Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik Penurunan Diameter Luka Bakar


1. Uji Normalitas
Jika nilai signifikansi > 0,05, maka data rata-rata penyembuhan luka bakar
terdistribusi normal
Jika nilai signifikansi < 0,05, maka data rata-rata penyembuhan luka bakar
tidak terdistribusi normal

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Rata-rata diameter K1 Positif ,175 3 . 1,000 3 1,000
luka bakar K2 Negatif ,253 3 . ,964 3 ,637
K3 KKEKLB ,292 3 . ,923 3 ,463
a. Lilliefors Significance Correction

Data rata-rata penyembuhan luka bakar terdistribusi normal (p>0,05)

2. Uji Homogenitas
Jika nilai signifikansi > 0,05, maka data rata-rata penyembuhan luka bakar
terdistribusi homogen
Jika nilai signifikansi < 0,05, maka data rata-rata penyembuhan luka bakar
tidak terdistribusi homogen

Test of Homogeneity of Variances


Rata-rata diameter luka bakar
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2,336 2 6 ,178

Data rata-rata penyembuhan luka bakar terdistribusi homogen (p>0,05)


73

3. Uji one-way Anova

ANOVA
Rata-rata diameter luka bakar
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 14,882 2 7,441 94,324 ,000
Within Groups ,473 6 ,079
Total 15,356 8

4. Uji Multiple Comparisons Tipe LSD (Least Significant Different)


Jika nilai signifikansi > 0,05, maka data rata-rata penyembuhan luka bakar
tidak berbeda signifikan
Jika nilai signifikansi < 0,05, maka data rata-rata penyembuhan luka bakar
berbeda signifikan

Multiple Comparisons
Dependent Variable: Rata-rata diameter luka bakar
LSD
(I) Mean 95% Confidence Interval
Kelompok (J) Kelompok Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
K1 Positif K2 Negatif 1,0667* ,2293 ,003 ,506 1,628
K3 KKEKLB -2,0333* ,2293 ,000 -2,594 -1,472
K2 Negatif K1 Positif -1,0667* ,2293 ,003 -1,628 -,506
K3 KKEKLB -3,1000* ,2293 ,000 -3,661 -2,539
K3 KKEKLB K1 Positif 2,0333* ,2293 ,000 1,472 2,594
K2 Negatif 3,1000* ,2293 ,000 2,539 3,661
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Data rata-rata penyembuhan luka bakar berbeda signifikan (p<0,05)

Anda mungkin juga menyukai