Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS OPEN

FRAKTUR SHAFF FEMUR DI RUANGAN TERATAI RSUD


UNDATA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH

DISUSUN OLEH :
SARTINA
NIM: 2022031032

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ira Martini, S.Kep.,Ns Ns. Elifa Ihda Rahmayanti, S.Kep.,


NIP: 198403242010012008 M.Kep
NIK: 20120901025

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2022

LAPORAN PENDAHULUAN

OPEN FRAKTUR SHAFF FEMUR

A. Tinjauan teori Open Fraktur Shaff Femur


1. Anatomi fisiologi
a. Tulang femur merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar
didalam tulang kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan
dengan asetabulum membentuk kepala sendi yang disebut kaput
femoris. Disebelah atas dan bawah dari kolumna femoris
terdapat laju yang disebut trokanter mayor dan trokanter minor.
Dibagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat 2 buah
tonjolan yang disebut kondilus lateralis, diantara kedua kondilus
ini terdapat lekukan tempat letaknya tulang tempurung lutut
(patella)yang disebut fosa kondilus.
b. Sistem muskular pada tulang femur, yaitu otot anterior, otot
medial, dan otot posterior, diantaranya :
1) Otot anterior femur

Gambar 1. Anatomi otot femur

 Quardriceps femoris
 Rektus femoris
 Vastus lateralis
 Vastus medialis
 Vastus intermedius
 Pectineus
 Sartorius
 Iliopsoas
2) Otot medial femur

 Adduktor longus
 Adduktor brevis
 Adduktor magnus
 Gracilis
 Osturator eksternus
3) Otot posterior
 Semi
memb
ranous
us
a) Semitendinos
us
b) Bisep femoris
Sistem persyarafan yang berada pada tulang femur (Moffat & Faiz,
2002), antara lain:
1. Syaraf anterior femur, yaitu nervus femoralis adalah saraf yang
mensuplai otot fleksor paha dan kulit pada paha anterior, regia
panggul, dan tungkai bawah atau nervus yang menginnervasi
muskulus anterior.
2. Syaraf medial femur, yaitu nervus obturatorius adalah saraf
perifer utama dari ekstremitas bawah yang berfungsi
menginnervasi muskulus adduktor
3. Syaraf posterior femur, yaitu nervus iskiadikus adalah saraf
yang terbesar dalam tubuh manusia yang mempersarafi regio
cruralis dan pedis serta otot-otot bagian di bagian dorsal regio
femoris, seluruh otot pada crus dan pedis, serta seluruh
persendian pada ekstremitas inferior.
Sistem perdarahan pada tulang femur, antara
lain:
1. Arteri digluteal dan posterior daerah
paha
a. Arteri glutealis
b. Arteri glutealis inferior
c. Arteri pudenda interna
2. Arteri anterior dan medial paha
a. Arteri femoralis
b. Arteri profunda femoris
c. Arteri femoralis sirkumfleksa lateral
d. Arteri femoralis medial sirkumfleksa
e. Arteri obturtor
3. Vena pada tulag femur
a. Vena saphena besar
b. Vena femoralis

a. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya (Brunner & Suddarth, 2001). Fraktur
merupakan salah satu gangguan atau masalah yang terjadi pada sistem
muskuloskeletal yang menyebabkan perubahan bentuk dari tulang
maupun otot yang melekat pada tulang. Fraktur dapat terjadi di
berbagai tempat dimana terdapat persambungan tulang maupun tulang
itu sendiri. Salah satu contoh dari fraktur adalah yang terjadi pada
tulang femur.
Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya
kontinuitas tulang pangkal paha yang disaebabkan oleh trauma
langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang
atau osteoporosis (Muttaqin, 2008). Fraktur femur terbagi menjadi :
1) Fraktur batang femur
Fraktur femur mempunyai insiden yang cukup tinggi, diantara
jenis-jenis patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada
batang femur 1/3 tengah. Fraktur femur lebih sering terjadi
pada laki-laki dari pada
perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau kecelakaan.
2) Fraktur kolum femur
Fraktur kolum femur dapat terjadi langsung ketika pasien
terjatuh dengan posisi miring dan trokanter mayor langsung
terbentur pada benda keras seperti jalan. Pada trauma tidak
langsung, fraktur kolum femur terjadi karena gerakan eksorotasi
yang mendadak dari tungkai bawah. Kebanyakan fraktur ini
terjadi pada wanita tua yang tulangnya sudah mengalami
osteoporosis (Mansjoer, 2000).
Dua tipe fraktur femur adalah sebagai berikut:
1) Fraktur interkapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi,
panggul, dan melalui kepala femur (fraktur kapital).
2) Fraktur ekstrakapsular
a) Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokanter femur
yang lebih besar / lebih kecil/ pada daerah intertrokanter.
b) Terjadi di bagian distal menuju leher femur, tetapi tidak
lebih dari 2 inci di bawah trokanter minor.
Klasifikasi fraktur femur (Muttaqin, 2008) terbagi menjadi:
1) Fraktur leher femur
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering
ditemukan pada orang tua terutama wanita usia 60 tahun ke atas
disertai tulang yang osteoporosis. Fraktur leher femur pada anak
anak jarang ditemukan fraktur ini lebih sering terjadi pada anak
laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3:2.
Insiden tersering pada usia 11-12 tahun.
2) Fraktur subtrokanter
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, biasanya
disebabkan trauma yang hebat. Pemeriksaan dapat menunjukkan
fraktur yang terjadi dibawah trokanter minor.
3) Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang
femur. Fraktur daerah troklear adalah semua fraktur yang terjadi
antara trokanter mayor dan minor. Frkatur ini bersifat
ekstraartikular dan sering terjadi
pada klien yang jatuh dan mengalami trauma yang bersifat
memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan
minor tempat fragmen proksimal cenderung bergeser secara
varus. Fraktur dapat bersifat kominutif terutama pada korteks
bagian posteomedial.
4) Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada daerah femur pada
setiap usia dan biasanya karena trauma hebat, misalnya
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.
5) Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal
kondilus femur dan batas metafisis dengan diafisis femur.
Trauma yang mengenai femur terjadi karena adanya tekanan
varus dan vagus yang disertai kekatan aksial dan putaran
sehingga dapat menyebabkan fraktur pada daerah ini.
Pergeseran terjadi karena tarikan otot.

b. Klasifikasi Fraktur Secara Umum


1) Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
b) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
karena adanya perlukaan kulit.
2) Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur.
a) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh
penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti
terlihat pada foto.
b) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
c) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
d) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
e) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan
angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

3) Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan


mekanisme trauma.
a) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma
angulasijuga.
c) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma
tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang
4) Berdasarkan jumlah garis patah.
a) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
dan saling berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak berhubungan.
c) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama.
5) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap
ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih
utuh.
b) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen
tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
c) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
d) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
e) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
6) Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a) 1/3 proksimal
b) 1/3 medial
c) 1/3 distal
7) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
8) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa
ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio
jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.

c. Epidemiologi
Fraktur femur yang terbagi dalam beberapa klasifikasi misalnya
saja pada fraktur subtrochanter femur ini banyak terjadi pada wanita tua
dengan usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami
osteoporotik, trauma yang dialami oleh wanita tua ini biasanya ringan
(jatuh terpeleset di kamar mandi) sedangkan pada penderita muda
ditemukan riwayat mengalami kecelakaan. Sedangkan fraktur batang
femur, fraktur suprakondilar, fraktur interkondilar, fraktur kondilar
femur banyak terjadi pada penderita laki – laki dewasa karena
kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Sedangkan fraktur batang
femur pada anak terjadi karena jatuh waktu bermain dirumah atau
disekolah.

d. Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup
mempunyai kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan.
Penyebab fraktur batang femur antara lain (Muttaqin, 2011):
1) Fraktur femur terbuka
Fraktur femur terbuka disebabkan oleh trauma langsung pada paha.
2) Fraktur femur tertutup
Fraktur femur tertutup disebabkan oleh trauma langsung atau
kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang (osteoporosis) dan
tumor atau keganasan tulang paha yang menyebabkan fraktur
patologis.

e. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala fraktur femur (Brunner & Suddarth, 2001) terdiri atas:
1) Nyeri
Nyeri yang terjadi terus menerus dan bertambah beratnya
sampai fragmen tulang dimobilisasi. Spasme otot yang
menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen
pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas
ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas tak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot..
3) Pemendekan tulang
Terjadi pada fraktur panjang karena kontraksi otot yang melekat
di atas dan dibawah tempat fraktur.
Leg length discrepancy (LLD) atau perbedaan panjang tungkai
bawah adalah masalah ortopedi yang biasanya muncul di masa
kecil, di mana dua kaki seseorang memiliki panjang yang tidak
sama. Penyebab dari masalah Leg length discrepancy (LLD),
yaitu osteomielitis, tumor, fraktur, hemihipertrofi, di mana satu
atau lebih malformasi vaskular atau tumor (seperti hemangioma)
yang menyebabkan aliran darah di satu sisi melebihi yang lain.
Pengukuran Leg length discrepancy (LLD) terbagi menjadi,
yaitu true leg length discrepancy dan apparent leg length
discrepancy.True leg length discrepancy adalah cara megukur
perbedaan panjang tungkai bawah dengan mengukur dari spina
iliaka anterior superior ke maleolus medial dan apparent leg
length discrepancy adalah
cara megukur perbedaan panjang tungkai bawah dengan
mengukur dari xiphisternum atau umbilikus ke maleolus

medial.

Gambar 3. Cara mengukur Leg length discrepancy (LLD)

4) Krepitus tulang (derik tulang)


Krepitasi tulang terjadi akibat gerakan fragmen satu dengan yang
lainnya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna tulang
Pembengkakan dan perubahan warna tulang terjadi akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi
setelah beberapa jam atau hari.

f. Patofisiologi
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma,
tergantung dimana fraktur tersebut mengalami trauma, begitu juga
dengan fraktur femur ada dua faktor penyebab fraktur femur, faktor-
faktor tersebut diantaranya, fraktur fisiologis merupakan suatu
kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga
fisik, olahraga, dan trauma dan fraktur patologis merupakan kerusakan
tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur (Rasjad, 2007).
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh
trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan
fisik, gangguan metabolik dan patologik. Kemampuan otot
mendukung tulang turun, baik
yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan
mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP atau
curah jantung menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan.
Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edema
lokal maka terjadi penumpukan didalam tubuh. Disamping itu fraktur
terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat
terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan
jaringan lunak yang akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup.
Baik fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang
dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat
mengenai tulang sehingga akan terjadi masalah neurovaskuler yang
akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Pada
umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan
immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.

g. Tahapan Bone Healing

Setiap tulang yang mengalami cedera, misalnya fraktur karena


kecelakaan, akan mengalami proses penyembuhan. Fraktur tulang
dapat mengalami proses penyembuhan dalam 5 tahap yaitu:
1. Fase hematoma
Apabila tejadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh
darah kecil yang melewati kanalikuli dalam system haversian
mengalami robekan dalam daerah fraktur dan akan membentuk
hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar
diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan
mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi
sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah kedalam jaringan
lunak.
Osteosit dengan lakunannya yang terletak beberapa millimeter
dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan
menimbulkan suatu daerah cincin avaskular tulang yang mati
pada sisi – sisi fraktur segera setelah trauma.
Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2
– 3 minggu.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai
suatu reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena
adanya sel – sel osteogenik yang berproliferasi dari periosteum
untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum
membentuk kalus interna sebagi aktivitas seluler dalam kanalis
medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum,
maka penyembuhan sel berasal dari diferansiasi sel
– sel mesenkimal yang berdiferensiasi kedalam jaringan lunak.
Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi
penambahan jumlah dari sel – sel osteogenik yang memberi
penyembuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang
sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Jaringan seluler tidak
terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah
fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan
membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik.
Pada pemeriksaan radiologist kalus belum mengandung tulang
sehingga merupakan suatu daerah radioluscen. Pada fase ini
dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan
berakhir pada minggu ke 4 – 8.
3. Fase pembentukan kalus (Fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang tumbuh dari setiap
fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblast dan kemudian
pada kondroblast membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas
diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan
polisakarida oleh garam – garam kalsium pembentuk suatu
tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut moven bone. Pada
pemeriksaan radiolgis kalus atau woven bone sudah terlihat dan
merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan
fraktur.
4. Fase konsolidasi (Fase union secara radiology)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan
– lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas
osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus
akan di resorpsi secara bertahap.
Pada fase 3 dan 4 dimulai pada minggu ke 4 – 8 dan berakhir
pada minggu ke 8 – 12 setelah terjadinya fraktur.
5. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru akan
membentuk bagian yang meyerupai bulbus yang meliputi tulang
tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini
perlahan – lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetapi
terjadi osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara
perlahan – lahan menghilang. Kalus intermediet berubah
menjadi tulang yang kompak dan berisi system haversian dan
kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk
membentuk susmsum.
Pada fase terakhir ini, dimulai dari minggu ke 8 – 12 dan
berakhir sampai beberapa tahun dari terjadinya fraktur.

h. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur
femur (Muttaqin, 2008), antara lain:
1) Fraktur leher femur
Komplikasi yang bersifat umum adalah trombosis vena, emboli
paru, pneumonias, dan dekubitus. Nekrosis avaskular terjadi
pada 30% klien fraktur femur yang disertai pergeseran dan 10%
fraktur tanpa pergeseran. Apabila lokasi fraktur lebih ke
proksimal, kemungkinan terjadi nekrosis avaskular lebih besar.
2) Fraktur diafisis femur
Komplikasi dini yang biasanya terjadi pada fraktur diafisis
femur adalah sebagai berikut:
a) Syok terjadi perdarahan sebanyak 1-2 liter walapun fraktur
bersifat tertutup.
b) Emboli lemak sering didapatkan pada penderita muda dengan
fraktur femur.
c) Trauma pembuluh darah besar. Ujung fragmen tulang
menembus jaringan lunak dan merusak arteri femoralis
sehingga menmyebakan kontusi dan oklusi atau terpotong
sama sekali.
d) Trauma saraf pada pembuluh darah akibat tusukan fragmen
dapat disertai kerusakan saraf yang bervariasi dari
neuropraksia sampai ke aksonotemesis. Trauma saraf dapat
terjadi pada nervus iskiadikus atau pada cabangnya, yaitu
nervus tibialis dan nervus peroneus komunis.
e) Trombo emboli. Klien yag mengalami tirah baring lama,
misalnya distraksi di tempat tidur dapat mengalami
komplikasi trombo-emboli.
f) Infeksi terjadi pada fraktur terbuka akibat luka yang
terkontaminasi. Infeklsi dapat pula terjadi setelah dilakukan
operasi.
Komplikasi lanjut pada fraktur diafisis femur yang sering terjadi
pada klien dengan fraktur diafisis femur adalah sebagai berikut:
a) Delayed Union, yaitu fraktur femur pada orang dewasa
mengalami union dalam empat bulan.
b) Non union apabila permukaan fraktur menjadi bulat dan sklerotik.
c) Mal union apabila terjadi pergeseran kembali kedua ujung
fragmen. Mal union juga menyebabkan pemendekan tungkai
sehingga dipelukan koreksi berupa osteotomi.
d) Kaku sendi lutut. Setelah fraktur femur biasanya terjadi
kesulitan pergerakan pada sendi lutut. Hal ini dapat dihindari
apabila fisioterapi yang intensif dan sistematis dilakukan
lebih awal.
e) Refraktur terjadi pada mobilisasi dilakukan sebelum union yang
solid.

i. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur,
trauma, dan jenis fraktur.
2) Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat
keparahan fraktur, juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan
linak.
3) Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada multipel trauma) peningkatan
jumlah SDP adalah proses stres normal setelah trauma.
5) Kretinin : trauma otot meningkatkan beban tratinin untuk klien
ginjal.
6) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilingan darah,
tranfusi mulpel atau cedera hati (Lukman & Ningsih, 2009).

j. Penatalaksanaan
1) Fraktur femur terbuka harus dinilai dengan cermat untuk
mengetahui ada tidaknya kehilangan kulit, kontaminasi luka,
iskemia otot, cedera pada pembuluh darah dan saraf. Intervensi
tersebut meliputi:
a) Profilaksis antibiotik
b) Debridemen
Pembersihan luka dan debridemen harus dilakukan dengan
sedikit mungkin penundaan. Jika terdapat kematian jaringan
yang mati dieksisi dengan hati-hati. Luka akibat penetrasi
fragmen luka yang tajam juga perlu dibersihkan dan dieksisi.
c) Stabilisasi dilakukan pemasangan fiksasi interna atau eksterna.
2) Fraktur femur tertutup
Pengkajian ini diperlukan oleh perawat sebagai peran
kolaboratif dalam melakukan asuhan keperawatan.
a. Fraktur diafisis femur, meliputi:
1. Terapi konservatif
2. Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum
dilakukan terapi definitif untuk mengurangi spasme otot.
3. Traksi tulang berimbang denmgan bagian pearson pada
sendi lutut. Indikasi traksi utama adalah faraktur yang
bersifat kominutif dan segmental.
4. Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah union
fraktur secara klinis.
3) Terapi Operasi
1. Pemasangan plate dan screw pada fraktur proksimal diafisis
atau distal femur
2. Mempengaruhi k nail, AO nail, atau jenis lain, baik dengan
operasi tertutup maupun terbuka. Indikasi K nail, AO nail
terutama adalah farktur diafisis.
3. Fiksassi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur
kominutif, infected pseudoarthrosis atau fraktur terbuka
dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat.
4) Fraktur suprakondilar femur, meliputi:
1. Traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan
penahan lutut Pearson, cast bracing, dan spika panggul.
2. Terapi operatif dilakukan pada fraktur yang tidak dapat
direduksi secara konservatif. Terapi dilakukan dengan
mempergunakan nail- phorc dare screw dengan berbagai tipe
yang tersedia (Muttaqin, 2011).

k. Prinsip Penanganan Fraktur Secara Umum


Prinsip penanganan fraktur ada 4, yaitu: rekognisi, reduksi,
retensi dan rehabilitasi.
1) Rekognisi, mengenal jenis fraktur, lokasi dan keadaan secara
umum; riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi
kejadian oleh pasien, menentukan kemungkinan tulang yang
patah dan adanya krepitus.
2) Reduksi, mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis
normal untuk mencegah jarinagn lunak kehilangan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Reduksi ada 3
(tiga), yaitu:
a) Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/
manipulasi, dengan tarikan untuk menggerakan fragmen
tulang/ mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-
ujungnya saling berhubungan)
b) Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imobilisasi, dimana beratnya traksi di sesuaikan dengan
spasme otot. Sinar X digunakan untuk memantau reduksi
fraktur dan aproksimasi fragmen tulang
c) Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk
mempertahankan pergerakan, yaitu fiksasi internal (kawat,
sekrup, plat, nail dan batang dan implant logam) dan fiksasi
ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi kontinue, pin dan
tehnik gips
Jenis-jenis Traksi, yaitu:
1) Traksi kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol sepasme kulit dan
memberikan imobilisasi . Traksi kulit apendikuler ( hanya
pada ektermitas digunakan pada orang dewasa) termasuk “
traksi ektensi Buck, traksi russell, dan traksi Dunlop”.
a) Traksi buck
Ektensi buck ( unilateral/ bilateral ) adalah bentuk traksi
kulit dimana tarikan diberikan pada satu bidang bila
hanya imobilisasi parsial atau temporer yang diinginkan
. Digunakan untuk memberikan rasa nyaman setelah
cidera pinggulsebelum dilakukan fiksasi bedah
(Smeltzer & Bare,2001 ).
Traksi buck merupakan traksi kulit yang paling
sederhana, dan paling tepat bila dipasang untuk anak
muda dalam jangka waktu yang pendek. Indikasi yang
paling sering untuk jenis traksi ini
adalah untuk mengistirahatkan sendi lutut pasca trauma
sebelum lutut tersebut diperiksa dan diperbaiki lebih
lanjut (Wilson, 1995 ).
b) Traksi Russell
Dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong
lutut yang fleksi pada penggantung dan memberikan
gaya tarik horizontal melalui pita traksi balutan elastis
ketungkai bawah. Bila perlu, tungkai dapat disangga
dengan bantal agar lutut benar- benar fleksi dan
menghindari tekanan pada tumit (Smeltzer & Bare, 2001
).
c) Traksi Dunlop
Adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal
diberikan pada lengan bawah dalam posisi fleksi.
d) Traksi kulit bryant
Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak kecil
yang mengalami patah tulang paha. Traksi Bryant
sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak yang berat
badannya lebih dari 30 kg. kalau batas ini dilampaui
maka kulit dapat mengalami kerusakan berat.
2) Traksi skelet
Traksi skelet dipasang langsung pada tulang. Metode traksi
ini digunakan paling sering untuk menangani fraktur femur,
tibia, humerus dan tulang leher.
a) Traksi rangka seimbang
Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk
merawat patah tulang pada korpus femoralis orng
dewasa. Sekilas pandangan traksi ini tampak komplek,
tetapi sesunguhnya hanyalah satu pin rangka yang
ditempatkan tramversal melalui femur distal atau tibia
proksimal. Dipasang pancang traksi dan tali traksi utama
dipasang pada pancang tersebut. Ektermitas pasien
ditempatkan dengan posisi panggul dan lutut membentuk
sekitar 35°.
b) Traksi 90-90-90
Traksi 90-90-90 sangat berguna untuk merawat anak-
anak usia 3 tahun sampai dewasa muda. kontrol
terhadap fragmen – fragmen
pada fraktur tulang femur hamper selalu memuaskan
dengan traksi 90-90-90 penderita masih dapat bergerak
dengan cukup bebas diatas tempat tidur.
3) Reposisi, setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di
imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi penyatuan yang
tepat. Imobilisasi dapat dilakukan dengan cara fiksasi internal
dan eksternal.
a) fiksasi internal
fragmen tulang dapat diikat dengan skrup,pen, atau paku
pengikat,plat logam yang diikat dengan skrup,paku
intramedular yang panjang (dengan atau tanpa skrup
pengunci) , ciscumferential bands, atau kombinasi dari
metode ini.
b) fiksasi eksternal
fraktur dipertahankan dengan skrup pengikat atau kawat
penekan yang melalui tulang diatas dan dibawah fraktur, dan
dilekatkan pada suatu kerangka luar.
4) Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan,
bagian yang mengalami operasi yaitu 1/3 distal femur pasien
dalam keadaan dielevasikan sekitar 30˚
a) Static Contraction
Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot
dan tanpa gerakan pada sendi (Kisner,1996). Latihan ini
dapat meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah, vena
yang tertekan oleh otot yang berkontraksi menyebabkan
darah di dalam vena akan terdorong ke proksimal yang dapat
mengurangi oedem, dengan oedem berkurang, maka rasa
nyeri juga dapat berkurang.
b) Passive Movement
Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh
adanya kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas
(Priatna,1985). Passive movement ada 2, yaitu :
(1) Relaxed Passive Movement
Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri.
Bila pasien sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak
sendi tertentu, maka gerakan dihentikan (Priatna,1985).
(2) Forced Passive Movement
Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah
lingkup gerak sendi. Tekniknya hampir sama dengan
relaxed passive movement, namun di sini pada akhir
gerakan diberikan penekanan sampai pasien mampu
menahan rasa nyeri (Priatna,1985).
c) Active Movement
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak
tubuh pasien itu sendiri (Kisner,1996). Pada kondisi oedem,
gerakan aktif ini dapat menimbulkan “pumping action” yang
akan mendorong cairan bengkak mengikuti aliran darah ke
proksimal. Latihan ini juga dapat digunakan untuk tujuan
mempertahankan kekuatan otot, latihan koordinasi dan
mempertahankan mobilitas sendi. Active Movement terdiri
dari :
(1) Free Active Movement
Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat
meningkatkan sirkulasi darah sehingga oedem akan
berkurang, jika oedem berkurang maka nyeri juga dapat
berkurang. Gerakan ini dapat menjaga lingkup gerak
sendi dan memelihara kekuatan otot.
(2) Assisted Active Movement
Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan
terapis memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti
sling, papan licin ataupun tangan terapis sendiri. Latihan
ini dapat mengurangi nyeri karena merangsang relaksasi
propioseptif.
(3) Ressisted Active Movement
Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang
dilakukan oleh pasien sendiri, namun ada penahanan saat
otot berkontraksi. Tahanan yang diberikan bertahap
mulai dari minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat
meningkatkan kekuatan otot.
d) Hold Relax
Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang
mengkontraksikan otot kelompok antagonis secara isometris
dan diikuti relaksasi otot tersebut. Kemudian dilakukan
penguluran otot antagonis tersebut. Teknik ini digunakan
untuk meningkatkan lingkup gerak sendi ( Kisner,1996).
e) Latihan Jalan
Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar
pasien dapat kembali ke aktivitas sehari-hari. Latihan
transfer dan ambulasi di sini yang penting untuk pasien
adalah latihan jalan. Mula-mula latihan jalan dilakukan
dengan menggunakan dua axilla kruk secara bertahap
dimulai dari non weight bearing atau tidak menumpu berat
badan sampai full weight bearing atau menumpu berat
badan. Metode jalan yang digunakan adalah swing, baik
swing to ataupun swing through dan dengan titik tumpu,
baik two point gait, three point gait ataupun four point gait.
Latihan ini berguna untuk pasien agar dapat mandiri
walaupun masih menggunakan alat bantu.
3. Clinical Pathways

Trauma pada tulang (Kecelakaan) Tekanan yang berulang (Kompresi) Kelemahan tulang abnormal (osteoporosis)

Fraktur femur

Patah tulang tertutup Patah tulang terbuka Resiko tinggi infeksi

Kerusakan struktur tulang


Kemampuan pergerakan Pembedahan Ansietas
otot sendi menurun
Patah tulang merusak jaringan
Hambatan
mobilitas fisik Trauma jaringan post
Perubahan
Terputusnya kontinuitas jar. pembedahan
permeabilitas
kapiler
Menekan saraf perasa nyeri
Kerusakan integritas kulit

Stimulus neurotransmitter
nyeri
Kehilangan cairan ekstra sel ke
jaringan yang rusak
Pelepasan mediator
prostaglandin
Resiko syok hipovolemik
Respon nyeri hebat dan akut
Nyeri akut
4. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pada tahap pengkajian dapat dilakukan anamnesa/wawancara
terhadap pasien dengan fraktur femur yaitu :
1) Identitas pasien
a) Nama : Nama pasien
b) Usia : usia lebih dari 60 tahun dimana tulang
sudah mengalami osteoporotik, penderita muda ditemukan
riwayat mengalami kecelakaan, fraktur batang femur pada
anak terjadi karena jatuh waktu bermain dirumah atau
disekolah
c) Suku : Suku pasien
d) Pekerjaan : Pekerjaan pasien
e) Alamat : Alamat pasien
2) Riwayat keperawatan
a) Riwayat perjalanan penyakit
1. Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan
kesehatan : nyeri pada paha
2. Apa penyebabnya, waktu : kecelakaan atau trauma,
berapa jam/menit yang lalu
3. Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
4. Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
5. Kehilangan fungsi
6. Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b) Riwayat pengobatan sebelumnya
1. Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan
jenis kortikosteroid dalam jangka waktu lama
2. Apakah klien pernah menggunakan obat-obat
hormonal, terutama pada wanita
3. Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
4. Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
3) Pemeriksaan fisik
Mengidentifikasi tipe
fraktur
a) Inspeksi daerah mana yang terkena
1. Deformitas yang nampak jelas
2. Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
3. Laserasi
4. Perubahan warna kulit
5. Kehilangan fungsi daerah yang cidera
b) Palpasi
1. Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
2. Krepitasi
3. Nadi, dingin
4. Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
4) Pemeriksaan Penunjang
a) Foto Rontgen
1. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara
langsung
2. Mengetahui tempat dan tipe fraktur
b) Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi
dan selama proses penyembuhan secara periodik
c) Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
d) Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
b. Diagnosa keperawatan
1) Pre operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan
sekunder pada fraktur
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera
jaringan sekitar/fraktur
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan
kerusakan jaringan lunak
d. Ansietas berhubungan dengan prosedur pengobatan atau
pembedahan
2) Intra operasi
Resiko syok hipovolomik berhubungan dengan perdarahan
akibat pembedahan
3) Post operasi
a. Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma
jaringan post pembedahan
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi
c. Perencanaan keperawatan

1) Pre operatif
Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Nyeri akut NOC NIC
berhubungan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri
dengan spasme otot 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Mengetahui karakteristik
dan kerusakan 3. Tingkat kenyamanan komprehensif termasuk lokasi, nyeri secara menyeluruh
sekunder pada Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, untuk menentukan
fraktur 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu kualitas dan faktor presipitasi intervensi selanjutnya
penyebab nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal dari 2. Mengetahui
menggunakan tehnik ketidaknyamanan perkembangan respon
nonfarmakologi untuk 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri nyeri
mengurangi nyeri, mencari 4. Ajarkan tentang teknik non 3. Mengurangi peningkatan
bantuan) farmakologi nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 4. Meniminalkan nyeri yang
berkurang dengan 6. Kolaborasikan dengan dokter jika dirasakan
menggunakan manajemen nyeri ada keluhan dan tindakan nyeri 5. Mengetahui keefektifan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, tidak berhasil intervensi
intensitas, frekuensi dan tanda 6. Pengobatan medis untuk
nyeri) mengurangi nyeri
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
2. Hambatan NOC NIC
mobilitas fisik 1. Gerakan: aktif Latihan Kekuatan
berhubungan 2. Tingkat mobilitas 1. Ajarkan dan berikan dorongan 1. Pasien dapat termotivasi
dengan cedera 3. Perawatan diri: ADL pada klien untuk melakukan untuk melakukan program
jaringan Kriteria Hasil : program latihan secara rutin latihan
sekitar/fraktur 1. Klien meningkat dalam aktivitas Latihan untuk ambulasi 2. Mencegah resiko cedera
fisik 1. Ajarkan teknik ambulasi & 3. Memudahkan pasien
2. Mengerti tujuan dari peningkatan perpindahan yang aman kepada untuk melakukan
mobilitas klien dan keluarga. mobilisasi
3. Memverbalisasikan perasaan 2. Sediakan alat bantu untuk klien 4. Pasien terus termotivasi
dalam meningkatkan kekuatan dan seperti kruk, kursi roda, dan untuk tetap melakukan
kemampuan berpindah walker ambulasi
4. Memperagakan penggunaan 3. Beri penguatan positif untuk 5. Klien dan keluarga
alat Bantu untuk mobilisasi berlatih mandiri dalam batasan memahami mobilisasi
(walker) yang aman. dengan benar
Latihan mobilisasi dengan kursi 6. Klien termotivasi untuk
roda memperkuat anggota
1. Ajarkan pada klien & keluarga tubuh
tentang cara pemakaian kursi roda 7. Klien tidak akan
& cara berpindah dari kursi roda mengalami kekakuan
ke tempat tidur atau sebaliknya. sendi dan keluarga dapat
2. Dorong klien melakukan latihan membantu klien untuk
untuk memperkuat anggota tubuh mobilisasi
3. Ajarkan pada klien/ keluarga
tentang cara penggunaan kursi
roda
3. Resiko tinggi NOC : NIC :
infeksi 1. Status imun Kontrol infeksi 1. Untuk mencegah infeksi
berhubungan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah yang ditularkan oleh
dengan fraktur Kriteria Hasil : dipakai pasien lain pasien lain
terbuka dan 1. Klien bebas dari tanda dan gejala 2. Gunakan sabun antimikrobia 2. Memotong rantai infeksi
kerusakan jaringan infeksi untuk cuci tangan 3. Memotong rantai infeksi
lunak 2. Menunjukkan kemampuan untuk 3. Cuci tangan setiap sebelum dan 4. Tenaga kesehatan dapat
mencegah timbulnya infeksi sesudah tindakan keperawatan mencegah infeksi
3. Jumlah leukosit dalam batas 4. Gunakan baju, sarung tangan nosokomial
normal sebagai alat pelindung 5. Resiko infeksi tidak
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat 5. Pertahankan lingkungan aseptik terjadi
selama pemasangan alat 6. Diet makanan tinggi
6. Tingktkan intake nutrisi protein untuk
7. Berikan terapi antibiotik bila mempercepat
perlu penyembuhan luka
7. Untuk mencegah atau
mengobati infeksi
4. Ansietas NOC NIC
berhubungan Kontrol ansietas Penurunan kecemasan 1. Kecemasan tidak
dengan prosedur Kriteria hasil: 1. Tenangkan klien meningkat
pengobatan atau 1. Monitor intensitas kecemasan 2. Berikan informasi tentang 2. Pasien dapat
pembedahan 2. Menyikirkan tanda kecemasan diagnosa prognosis dan tindakan memahami terkait
3. Mencari informasi untuk 3. Kaji tingkat kecemasan dan reaksi keadaannya
menurunkan kecemasan fisik pada tingkat kecemasan 3. Mengetahui tingkat
4. Merencanakan strategi koping 4. Gunakan pendekatan dan kecemasan untuk
5. Menggunakan teknik relaksasi sentuhan menentukan intervensi
untuk menurunkan kecemasan 5. Temani pasien untuk mendukung selanjutnya
4. Empati petugas kesehatan
6. Melaporkan penurunan durasi keamanan dan penurunan rasa dapat dirasakan pasien
dan episode cemas takut 5. Kecemasan tidak
7. Melaporkan tidak adanya 6. Sediakan aktifitas untuk meningkat
manifestasi fisik dan menurunkan ketegangan 6. Pengalihan terhadap
kecemasan 7. Intruksikan kemampuan klien kecemasan yang dirasakan
8. Tidak adaa manifestasi perilaku untuk menggunakan teknik pasien
kecemasan relaksasi 7. Mengurangi kecemasan
pasien

2) Intra operatif
Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Resiko syok NOC NIC
hipovolomik Deteksi resiko Manajemen syok :volume 1. Mengetahui perkembangan
berhubungan dengan Kriteria hasil: 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan pasien
perdarahan akibat 1. Kenali tanda dan gejala perdarahan yang konsisten 2. Resiko syok hipovolemik
pembedahan yang mengindikasikan risiko 2. Cegah kehilangan darah (ex : tidak terjadi
2. Cari validasi dari risiko yg melakukan penekanan pada 3. Memenuhi kebutuhan
dirasakan tempat terjadi perdarahan) cairan pasien
3. Pertahankan info terbaru tentang 3. Berikan cairan IV 4. Mengetahui perubahan
riwayat keluarga 4. Catat Hb/Ht sebelum dan sesudah komponen darah
4. Pertahankan info terbaru tentang kehilangan darah sesuai indikasi 5. Keseimbangan kebutuhan
riwayat pribadi 5. Berikan tambahan darah (ex : darah
5. Gunakan sumber informasi platelet, plasma) yang sesuai
tentang risiko potensial
3) Post operatif

Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Nyeri NOC NIC 1. Mengetahui karakteristik
berhubungan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri nyeri secara menyeluruh
dengan proses 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri untuk menentukan
pembedahan 3. Tingkat kenyamanan secara komprehensif termasuk intervensi selanjutnya
Kriteria Hasil : lokasi, karakteristik, durasi, 2. Mengetahui
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu frekuensi, kualitas dan faktor perkembangan respon
penyebab nyeri, mampu presipitasi nyeri
menggunakan tehnik nonfarmakologi 2. Observasi reaksi nonverbal 3. Mengurangi peningkatan
untuk mengurangi nyeri, mencari dari ketidaknyamanan nyeri
bantuan) 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri 4. Meniminalkan nyeri yang
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 4. Ajarkan tentang teknik non dirasakan
dengan menggunakan manajemen farmakologi 5. Mengetahui keefektifan
nyeri 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri intervensi
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 6. Kolaborasikan dengan dokter jika 6. Pengobatan medis untuk
intensitas, frekuensi dan tanda ada keluhan dan tindakan nyeri mengurangi nyeri
nyeri) tidak berhasil
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
2. Kerusakan NOC : NIC 1. Tidak ada tekanan pada
integritas kulit Intergritas jaringan: kulit and membran Manajemen tekanan luka
berhubungan mukus 1. Anjurkan pasien untuk 2. Mencegah terbentuknya
dengan trauma Kriteria Hasil : menggunakan pakaian yang luka yang baru
jaringan post 1. Integritas kulit yang baik bisa longgar 3. Terhindar dari infeksi
pembedahan dipertahankan 2. Hindari kerutan pada tempat tidur 4. Mencegah terjadinya
2. Melaporkan adanya gangguan sensasi 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap dekubitus
atau nyeri pada daerah kulit yang bersih dan kering 5. Mengetahui perkembangan
mengalami gangguan 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi mobilisasi pasien
3. Menunjukkan pemahaman dalam pasien) setiap dua jam sekali 6. Mengetahui nutrisi yang
proses perbaikan kulit dan 5. Monitor kulit akan adanya dikonsumsi pasien
mencegah terjadinya sedera kemerahan 7. Pasien tetap terjaga
berulang 6. Monitor aktivitas dan mobilisasi perawatan dirinya
4. Mampumelindungi kulit dan pasien
mempertahankan kelembaban kulit 7. Monitor status nutrisi pasien
dan perawatan alami 8. Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
3. Resiko tinggi NOC : NIC : 1. Untuk mencegah
infeksi 1. Status imun Kontrol infeksi infeksi yang ditularkan
berhubungan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah oleh pasien lain
dengan luka Kriteria Hasil : dipakai pasien lain 2. Memotong rantai infeksi
operasi 1. Klien bebas dari tanda dan 2. Gunakan sabun antimikrobia 3. Memotong rantai infeksi
gejala infeksi untuk cuci tangan 4. Tenaga kesehatan
2. Menunjukkan kemampuan untuk 3. Cuci tangan setiap sebelum dan dapat mencegah infeksi
mencegah timbulnya infeksi sesudah tindakan keperawatan nosokomial
3. Jumlah leukosit dalam batas normal 4. Gunakan baju, sarung tangan 5. Resiko infeksi tidak
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat sebagai alat pelindung terjadi
5. Pertahankan lingkungan aseptik 6. Diet makanan tinggi
selama pemasangan alat protein untuk
6. Tingktkan intake nutrisi mempercepat
7. Berikan terapi antibiotik bila penyembuhan luka
perlu 7. Untuk mencegah atau
mengobati infeksi
d. Discharge Planning
a) Persiapan Perawatan Rumah
Klien membutuhkan orang terdekat klien yang akan membantu
perawatan atau proses penyembuhan di rumah. Hal – hal yang
perlu diperhatikan, yaitu mencegah kemungkinan jatuh harus
dihilangkan, ruangan harus bebas atau minimal perabot untuk
memudahkan pergerakan klien dengan menggunakan kruk atau alat
bantu lain.
b) Edukasi Klien dan Keluarga
Klien dengan fraktur biasanya dipulangkan kerumah dalam
keadaan memakai pembalut / bandage, splint, gips atau fiksasi
eksternal. Perawat harus menyiapkan instruksi verbal / tertulis
untuk klien dan keluarga tentang mengkaji dan merawaqt luka
untuk meningkatkan penyembuhan dan pencegahan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.


Jakarta: EGC.

Lukman, N & Ningsih, N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien


Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica


Aesculpalus.

Moffat, D & Faiz, O. 2002. At a Glance Series Anatomi. Jakarta: PT.


Glora Aksara Pratama.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan


Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:EGC.

Muttaqin, A. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada


Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta:EGC.

Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif


Watampone.

Siddiqui, Z. 2015. Rehabilitations Following Intramedullary Nailing Of


Femoral Shaft Fracture: A Case Report. International Journal of
Physical Therapy & Rehabilitation Science. Vol 1 (1): 30-35.

Anda mungkin juga menyukai