Anda di halaman 1dari 13

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI BAYI TABUNG

DAN PROBLEMATIKANYA

RESUME
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Biologi Umum
yang Dibina oleh Fuji Astutik, M.Pd.

Oleh:
Kelas : PB 1A
NAMA : ARIYANTI NUR SAFITRI (2108086005)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
DESEMBER 2021
A. PENGERTIAN
Masalah utama dalam rumah tangga yang menyebabkan keresahan dan
kesedihan salah satunya adalah sulitnya memiliki keturunan. Masalah ini jika dilihat
sekilas hanyalah masalah kelainan fisik semata. Namun jika ditelisik dari beberapa sudut
pandang, masalah ini bisa menjadi penyebab tekanan mental dan dapat memicu
pertengkaran bahkan perselingkuhan antara kedua belah pihak.
Di era sekarang banyak dilakukannya pengembangan teknologi salah satunya
teknologi yang membantu mengatasi masalah sulitnya memiliki keturunan bagi
pasangan suami istri. Teknoogi bantuan reproduksi (TBR) atau Assisted Reproductive
Rechnology adalah metode yang mampu membantu mengatasi masalah pada pasangan
yang mengalami infertil. Mengutip dari (Nelwan, Jeini Ester, 2019) berikut beberapa
metode TBR yang paling umum digunakan, yaitu:
1. IVF (In-Vitro Fertilization) atau teknik bayi tabung.
Sering disebut dengan pembuahan diluar tubuh. Metode ini paling efektif
digunakan pada pasangan dengan permasalahan ketika saluran tuba wanita
tersumbat atau sperma yang dihasilkan terlalu sedikit. Tahapan metode ini yaitu
wanita mengkonsumsi obat yang menyebabkan ovarium menghasilkan beberapa
(normalnya hanya satu per ovulasi). Setelah matang, telur tersebut diletakkan
dalam cawan di laboratorium bersama dengan sperma untuk dilakukan pembuahan.
Setelah tiga sampai lima hari, embrio yang layak dan sehat akan ditanamkan dalam
rahim wanita.
2. GIFT (Gamete Intrafallopian Trasfer)
Metode trasfer telur ke tuba falopi, sehingga pembuahannya tidak terjadi di
laboratorium, melainkan dlangsung di tubuh ibunya.
3. ZIFT (Zygote Intrafallopian Trasfer)
Metode ini mirip dengan IVF yaitu pembuahan terjadi di laboratorium, namun
embrio pada metode ini ditanamkan ke tuba falopi, bukan ke rahim.
4. ICSI (Intracytoplasmic Sperm Injection)
Metode ini digunakan untuk yang memiliki masalah serius dengan sperma atau
gagal dengan metode IVF. Metode ini dilakukan dengan menyuntikkan sperma ke
dalam telur yang matang. Kemudian embrio ditrasfer ke dalam rahim atau tuba
falopi sang ibu.
Tingkat kesuksesan pelaksanaan program kehamilan dapat dilihat dari beberapa
faktor meliputi:
 Usia pasangan
 Penyebab infertilitas
 Kacakapan klinik
 Jenis TBR
 Penggunaan sperma segar atau beku
 Menggunakan embrio segar atau beku.
Diantara TBR yang tersebut, yang paling sering digunakan adalah bayi tabung. Bayi
tabung pertama kali dikembangkan oleh Patrick Steptone (spesialis obstetri dan dokter
ginekologi) dan Robert Edward (seorang ilmuwan fisiologi) pada akhir tahun 1970.
Pasien pertama yang mereka tangani bernama Lesley Brown. Wanita ini memiliki
keluhan infertilitas, sehingga belum bisa mengandung setelah selama sembilan tahun
menikah, hingga memutuskan berkonsultasi di rumah sakit umum Oldham di
Manchester, Inggris. Meskipun sempat mengalami beberapa kendala, akhirnya pada 25
Juli 1978 pukul 23.47 lahir bayi perempuan dengan usia kehamilan 38 minggu dan berat
badan 2700 gram melalui proses persalinan operasi sesar. Sejak saat itu, teknik bayi
tabung semakin berkembang dan mulai diminati banyak pasangan yang sulit memiliki
keturunan baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Di Indonesia bayi tabung pertama kali dilakukan di RSAB Harapan Kita, Jakarta tahun
1987, dan berhasil. Keberhasilan program ini dibuktikan dengan lahirnya seorang bayi
yang diberi nama Nugraha Kartyanto. Selanjutnya menyusul tahun 1992 di RSUD Dr
Sutomo Surabaya lahir bayi tabung yang diberi nama Ken Sinarsih.

B. Syarat dan Tahapan Bayi Tabung


Berdasarkan ketentuan yang telah ditetakan Tim Dokter Program Melati Rumah Sakit
Anak dan Bersalin Harapan Kita Jakarta, (Sondakh, Hizkia Rendy, 2015) terdapat dua
syarat agar program bayi tabung dapat terlaksana yaitu:
a. Syarat pasangan diperbolehkan mengikuti program bayi tabung antara lain:
1. Isteri mengalami kerusakan kedua saluran telur (tuba).
2. Lendir leher rahim isteri yang tidak normal.
3. Adanya gangguan kekebalan yaitu adanya zat anti terhadap sperma di dalam tubuh.
4. Tidak kunjung hamil setelah dilakukan bedah saluran telur.
5. Tidak hamil juga setelah dilakukan pengobatan endometriosis.
6. Suami dengan mutu sperma yang kurang baik (oligospermia).
7. Tidak diketahui penyebabnya (unexplained infertility).
b. Syarat-syarat pasangan suami-isteri yang dapat mengikuti pembuahan dan
pemindahan embrio, yaitu:
1. Telah dilakukan pengelolaan infertilitas (kurang subur) secara lengkap.
2. Terdapat alasan yang sangat jelas.
3. Sehat jiwa dan raga pasangan suami isteri.
4. Mampu membiayai prosedur ini, dan kalau berhasil mampu membiayai
persalinannya dan membesarkan bayinya.
5. Mengerti secara umum seluk beluk prosedur fertilisasi in vitro dan pemindahan
embrio (FIV-PE).
6. Mampu memberikan izin kepada dokter yang akan melakukan prosedur FIV-PE
(fertilisasi in vitro dan pemindahan embrio) atas dasar pengertian (informed
consent).
7. Isteri berusia kurang dari 38 tahun.

Bayi tabung merupakan salah satu upaya penyelesaian infertilitas yang


memperhatikan beberapa tahapan prosedur yang cukup rumit dan perlu ketelitian serta
keuletan yang tinggi. Berdasarkan (Sondakh, Hizkia Rendy, 2015) prosedur dari teknik
bayi tabung terdiri dari beberapa tahapan yaitu:
1. Tahap pertama: Pengobatan merangsang indung telur.
Pada tahap ini isteri diberi obat yang merangsang indung telur, sehingga dapat
mengeluarkan banyak ovum dan cara ini berbeda dengan cara biasa, hanya satu
ovum yang berkembang dalam setiap siklus haid. Obat yang diberikan kepada
isteri dapat berupa obat makan atau obat suntik yang diberikan setiap hari sejak
permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang. Pematangan
sel-sel telur dipantau setiap hari dengan pemeriksaan darah isteri dan
pemeriksaan ultrasonografi (USG). Ada kalanya indung telur gagal bereaksi
terhadap obat itu.
Namun ada beberapa indung telur yang gagal bereaksi dengan obat ini. Apabila
demikian, pasangan suami-isteri masih dapat mengikuti program bayi pada
kesempatan yang lain, mungkin dengan obat atau dosis obat yang berlainan.
2. Tahap kedua: Pengambilan sel telur.
Apabila sel telur isteri sudah banyak, maka dilakukan pengambilan sel telur
yang akan dilakukan dengan suntikan lewat vagina di bawah bimbingan USG.
3. Tahap ketiga: Pembuahan atau fertilisasi sel telur.
Setelah berhasil mengeluarkan beberapa sel telur, suami diminta
mengeluarkan sendiri sperma. Sperma akan diproses, sehingga sel-sel sperma
suami yang baik saja yang akan dipertemukan dengan sel-sel telur isteri dalam
tabung gelas di laboratorium. Sel-sel telur isteri dan sel-sel sperma suami yang
sudah dipertemukan itu kemudian dibiak dalam lemari pengeram.
Pemantauan berikutnya dilakukan 18-20 jam kemudian. Pada pemantauan
keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembelahan sel.
4. Tahap keempat: Pemindahan embrio.
Jika terjadi fertilisasi sebuah sel telur dengan sebuah sperma, maka terciptalah
hasil pembuahan yang akan membelah menjadi beberapa sel, yang disebut embrio.
Embrio ini akan dipindahkan melalui vagina ke dalam rongga rahim ibunya 2-3 hari
kemudian.
5. Tahap kelima: Pengamatan terjadinya kehamilan.
Setelah implantasi embrio, maka tinggal menunggu apakah akan kehamilan
terjadi. Apabila 14 hari setelah pemindahan embrio tidak terjadi haid, maka
dilakukan pemeriksaan kencing untuk menentukan adanya kehamilan. Baru
seminggu kemudian dilakukan pemeriksaan kehamilan melalui USG.
Apabila semua tahapan itu sudah dilakukan dan isteri dinyatakan hamil, maka
hanya perlu menunggu proses kelahirannya, yang memerlukan waktu 9 bulan 10
hari. Pada saat kehamilan itu sang isteri tidak diperkenankan untuk bekerja berat,
karena dikhawatirkan terjadi keguguran.
C. JENIS –JENIS PROSES BAYI TABUNG
Menurut (Idris, Muhammad, 2019) bayi tabung dibagi menjadi beberapa jenis
berdasarkan cara pemerolehan sperma dan sel telur dan tempat perkembangan embrio
yang akan digunakan. Berikut jenis-jenis proses bayi tabung:
1) Pembuahan Dipisahkan dari Hubungan Suami-Isteri.
Teknik bayi tabung memisahkan persetubuhan suami-istri dari pembuahan
bakal anak. Dengan teknik tersebut, pembuahan dapat dilakukan tanpa
persetubuhan. Setelah pembuahan berhasil, embrio akan dipindahkan dalam rahim
isteri.
2) Wanita Sewaan untuk Mengandung Anak (Surrogate Mother).
Dalam beberapa kasus ada embrio yang tidak dapat dipindahkan dalam rahim
sang istri, oleh karena ada gangguan kesehatan atau alasan-alasan lain. Dalam kasus
ini, maka diperlukan seorang wanita lain yang disewa untuk mengandung anak bagi
pasangan tadi. Dalam perjanjian sewa rahim ini ditentukan banyak persyaratan
untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait. Wanita yang rahimnya
disewa biasanya meminta imbalan uang yang sangat besar. Suami-istri bisa memilih
wanita sewaan yang masih muda, sehat dan punya kebiasaan hidup yang sehat dan
baik. Praktik seperti ini biasanya belum ada ketentuan hukumnya, sehingga jika
muncul kasus bahwa wanita sewaan ingin mempertahankan bayi itu dan menolak
uang pembayaran, maka pastilah sulit dipecahkan.
3) Sel Telur atau Sperma dari Seorang Donor.
Masalah ini dihadapi kalau salah satu dari suami atau istri mandul (sel telur
istri atau sperma suami tidak mengandung benih untuk pembuahan). Hal ini berarti
benih yang mandul harus dicarikan penggantinya melalui seorang donor. Masalah ini
akan menjadi lebih sulit karena sudah masuk unsur baru, yaitu benih dari orang lain.
Pertama, apakah pembuahan yang dilakukan antara sel telur istri dan sel sperma
dari orang lain sebagai pendonor itu perlu diketahui atau disembunyikan
identitasnya. Kedua, jika wanita tahu orangnya, mungkin ada bahaya untuk mencari
hubungan pribadi dengan orang itu. Ketiga, pria pendonor tersebut perlu tahu atau
tidak seseorang yang menjadi penerima donor benihnya. Masih banyak masalah lain
lagi yang bisa muncul.
4) Bank Sperma.
Pasangan yang mandul bisa mencari benih yang subur dari bank-bank tersebut.
Bahkan orang bisa menjual-belikan benih-benih itu dengan harga yang sangat mahal
misalnya karena benih dari seorang pemenang Nobel di bidang kedokteran,
matematika, dan lain-lain.

D. Kontrofersi Terhadap Perkembangan Teknik Bayi Tabung


Setiap perubahan pasti akan terjadi gejolak begitu pula persoalan bayi tabung. Saat ini
mucul banyak kontroversi terhadap halal atau haramnya program bayi tabung.
Kontroversi tersebut karena adanya variasi dalam pelaksanaan bayi tabung seperti
penggunaan donor sel telur atau sperma, surrogate mother, adanya bank embrio atau
sperma. Belum lagi kontroversi mengenai perkembangan bayi tabung misalnya tentang
seleksi jenis kelamin, kloning manusia, penggunaan embrio beku. Mengutip dari (Baziad,
2007) berikut kontoversi dari berbagai perkembangan mengenai bayi tabung:
a.Embrio beku
Salah satu cara yang gampang dilakukan untuk mendapatkan angka
keberhasilan kehamilan yang tinggi adalah mentransfer embrio lebih dari satu.
Dengan satu embrio, angka kehamilan cuma 17%, dengan dua embrio angka
kehamilan menjadi 44%, namun adari kehamilan tersebut merupakan kehamilan
ganda dengan 1,1% triplet, dan mentransfer lebih dari tiga embrio meningkatkan
kejadian kehamilan ganda sebanyak 43,7%, dan kehamilan triplet hampir 65%. Pada
tahun 1999, data yang dikumpulkan di 22 negara Europa dari 258.460 siklus IVF,
diperoleh 26,3% pasien mendapatkan kehamilan ganda, seperti kembar dua, tiga dan
empat.
Apabila embrio yang diperoleh terlalu banyak, maka embrio itu akan
dibekukan. Tujuan pembekuan embrio yaitu agar embrio tersebut dapat digunakan
kembali buat pasien yang sama di kemudian hari. Akan tetapi, bila tidak digunakan
lagi, lalu akan dilakukan apa, dibuang atau untuk riset kedokteran? atau embrio
tersebut dibiarkan rusak? Di sini mulai timbul masalah, apakah itu masalah etik,
moral ataupun masalah hukum.
Bagi para praktisi Bayi Tabung, yang terpenting mentransfer sebanyak
mungkin embrio demi suatu keberhasilan dan mendapatkan keuntungan ekonomi
sebesar mungkin. Padahal kehamilan multipel merupakan salah satu komplikasi
yang berat bagi ibu dan bayi dari dampak pemberian obat-obat pemicu ovulasi
tersebut, dan tentu dengan sendirinya akan meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas.
Namun bagi ahli hukum, bagi agamawan, maupun bagi sosiolog dan psikolog
kurang setuju dengan teknik embrio beku karena lebih dari separuh embrio yang
dibekukan menjadi rusak, dan bila tidak terjadi pembelahan dalam beberapa jam
kemudian, maka embrio tersebut dikatakan "clinically dead" embrio. Inilah yang
menjadi alasan bagi peneliti untuk melakuan riset stem cells dari embrio. Namun hal
ini juga mendapat pertentangan karena penggunaan embrio untuk stem cells sama
artinya dengan "membunuh" suatu kehidupan, meskipun penelitian stem cells
bertujuan untuk kehidupan umat manusia yang lebih baik. Namun para peneliti
beralasan, bukan mereka yang bersalah merusak/membunuh embrio-embrio
tersebut, tetapi adalah mereka yang berpraktek sebagai ahli Bayi Tabung, yang
sebenarnya "pembunuh". Selain itu, pengambilan "inner cell mass"dari embrio juga
termasuk kategori merusak embrio. Jadi, menyimpan embrio tidak menjadi masalah,
yang menjadi masalah adalah teknik yang digunakan yang dapat merusak,
menggunakannya untuk riset-riset tertentu, atau membuangnya.
Di pihak lain, karena alasan-alasan medis atau teknik tertentu yang tidak dapat
dielakkan untuk menghasilkan embrio dalam jumlah besar, maka dengan
memperhatikan aturan-aturan yang berlaku,sisa embrio seharusnya boleh
digunakan untuk riset stem cells, daripada embrio-embrio tersebut dimusnahkan,
namun tidak dibenarkan melakukan intervensi jenis apapun terhadap embrio yang
sudah berada dalam rahim, kecuali untuk kepentingan medis.
b. PGD/PGS
Bagi pasutri atau siapapun, mendapatkan anak tanpa cacat fisik maupun mental
sangatlah penting. Bagi pasutri yang ingin mendapatkan anak tanpacacat genetik
tidak masalah lagi, karena salah satu teknik untuk mengetahui apakah embrio yang
akanditransfer ke dalam rahim memiliki kelainan genetik atau tidak telah dapat
diketahui sejak awal dengan menggunakan teknik yang dinamakan preimplantation
genetic diagnosis/screening (PGD/PGS).
Tentu dengan sendirinya hanya embrio yang tidak memiliki kelainan genetik saja
yang akan diberikan kesempatan untuk hidup, sedangkan embrio yang memiliki
kelainan genetik tidak diberikan kesempatan untuk hidup, atau barangkali
dimusnahkan, atau diberikan kepada peneliti-peneliti untuk mencari obat-obat baru
buat mengatasi kelainan genetic yang ditemukan. Teknologi PGD/PGS juga
memunculkan pihak yang pro dan yang kontra antara lain:
1. Pihak kontra
Mereka berpendapat, PGD/PGS secara selektif sama saja dengan mengakhiri
kehidupan manusia pada saat awal sekali. Kalangan ahli masih belum banyak
yang sepakat mengenai kapan sebenarnya kehidupan dimulai. Sebagian
agamawan berpendapat bahwa kehidupan telah dimulai begitu gamet
perempuan dan laki bertemu (Zygot), sehingga sejak itu pula manusia sudah
harus memiliki respek, karena sejak itu pula legal aspeknya telah berlaku.
Jadi embrio-embrio tersebut tidak boleh dirusak. Agama-agama tertentu,
seperti islam misalnya, tetap memberikan kesempatan hidup kepada manusia,
meskipun manusia tersebut sakit atau cacat. Oleh karena itu, islam melarang
mengakhiri kehidupan manusia sejak dari awal kehidupan dalam bentuk dan
alasan apapun.
Mereka yang tidak setuju terhadap PGD/PGS berpendapat, bahwa teknik
tersebut dapat disalahgunakan untuk menseleksi gender. Hal ini sudah mulai
terlihat banyak dilakukan di negaranegara tertentu, misalnya hanya untuk
mendapatkan anak laki saja. Tentu hal seperti ini sangat berbahaya, karena akan
dapat merubah tatanan sosial yang sangat dramatik. Dalam pandangan agama
islam, hanya Tuhanlah yang berhak menentukan jeniskelamin.
2. Pihak pro
Menurut pihak yang setuju, PGD/PGS boleh digunakan di luar penelitian ilmiah
dengan lingkup terbatas dan memang dianggap perlu sekali dan selama tidak
membahayakan atau merusak embrio.
Di beberapa Negara di Eropa, tindakan PGD/PGS dibenarkan, namun di
beberapa Negara Eropa yang lain masih menjadi bahan perdebatan, bahkan ada
yang melarang sama sekali. Mereka yang setuju berpendapat, kenapa tindakan
prenatal diagnosis (PND) berikut terminasi kehamilan dibenarkan secara hukum
dan digunakan secara luas.

c. IVM.
Telah dilakukan pengumpulan data dari pusat-pusat bayi tabung seluruh dunia
terhadap dampak pascatindakan bayi abung terhadap ibu maupun bayi yang
dilahirkan dari hasil teknik bayi tabung. Dari laporan tersebut ternyata telah
ditemukan adanya ibu-ibu yang terkena kanker payudara dan kanker ovarium, yang
kemungkinan besar diakibatkan oleh penggunaan obat-obat pemicu ovulasi dosis
tinggi, bahkan bayi yang dilahirkan juga banyak yang terkena kanker
(retinoblastoma), dan dampak negatif tersebut baru terlihat beberapa tahun setelah
tindakan.
Dewasa ini mulai dikembangkan satu cara baru dalam rangka untuk dapat
menurunkan dosis obat-obat pemicu ovulasi. Cara tersebut bukan lagi memakai
teknik in vitro fertilisasi, namun memakai teknik yang dinamakan in vitro maturasi
(IVM). Karena IVM masih merupakan teknik yang sangat baru sekali, maka laporan
tentang keberhasilannya pun masih sedikit.
d. Pria bisa hamil.
Pada saat ditemukannya teknologi di mana bayi tabung, transplantasi rahim,
operasi caesar, dan kloning mulai menjadi nyata. Ada potensi kemungkinan pria
dapat hamil, dan melahirkan dengan cara operasi caesar. Bagaimana bila suatu saat
proyeksi di masa depan di mana wanita sebagai pasangan pria merasa bahwa anak
pertama dia yang hamil, kemudian anak berikutnya dia berkata kepada pria
pasangannya “gantian dong kamu yang hamil”. (Gumelar, Michael Sega, 2017)
Tentu hal ini sangat bertentangan dengan nilai religi dan moral. pria hamil akan
sangat menyalahi kodrat dan mampu menimbulkan masalah lainnya. Salah satu
masalah yang muncul yaitu kasus suka sesama jenis akan semakin marak karena
mereka tidak memiliki masalah jika ingin memiliki keturunan selayaknya pasangan
yang terrdiri dari laki-laki dan perempuan. Selain itu mereka akan merassa sama-
sama punya hak dalam menentukan pasangan dan pilihan.
Selain itu, hal ini juga akan menimbulkan masalah gender equality yang secara
jelas menerangkan bahwa segala identitas serta fungsi yang dapat dilakukan oleh
manusia tanpa dibedakan oleh jenis kelaminnya semakin mendapatkan tempatnya.
Implikasinya adalah membuka ruang yang lebih kepada para LGBT ini, karena
secara penelitian, ada kemungkinan secara genetik seorang pria memiliki gen gay,
atau lesbian bila diperluas untuk wanita. (Gumelar, Michael Sega, 2017)

E. BAYI TABUNG DALAM MUI


Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di Tanah Air telah
menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam fatwanya pada tanggal 13 Juni 1979 menetapkan 4 keputusan terkait
masalah bayi tabung, di antaranya :
1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah
hukumnya mubah (boleh), sebab ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan
kaidahkaidah agama. Asal keadaan suami istri yang bersangkutan benar-benar
memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan
cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
2. Para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suamiistri
yang dititipkan di rahim perempuan lain dan itu hukumnya haram, karena
dikemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya
dengan warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang
mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan
sebaliknya).
3. Bayi Tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah. Sebab, hal ini akan
menimbulkan masalah yang pelik baik kaitannya dengan penentuan nasab maupun
dalam hal kewarisan.
4. Bayi Tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang
sah hal tersebut juga hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan
kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah alias perzinaan.
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah dalam Forum
Munas di Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada 3 keputusan yang ditetapkan
ulama NU terkait masalah Bayi Tabung, diantaranya :
1. Apabila mani yang ditabung atau dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut
ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal
itu didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah
SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan
Allah SWT, dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan
spermanya (berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.”
2. Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara
mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. ManiMuhtaram
adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’.
Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar
hukum dari Kifayatul AkhyarII/113. “Seandainya seorang lelaki berusaha
mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal
tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang
diperbolehkan untuk bersenang-senang.”
3. Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri yang sah dan cara mengeluarkannya
termasuk muhtaram, serta dimasukkanke dalam rahim istri sendiri, maka hukum
bayi tabung menjadi mubah (boleh).Dengan demikian bahwa bayi tabung yang
merupakan usaha di bidang kesehatan untuk mendapatkan keturunan bagi pasangan
suami istri yang tidak dapat mendapat anak dalam islam ada yang haram ada yang
halal tergantung pada perosenya.
Secara hukum dan agama, bayi yang dihasilkan dari inseminasi ini memiliki dua
macam yakni diperbolehkan dengan catatan sperma yang diambil merupakan sperma
yang berasal dari suami istri yang sah, dan ditanam dalam rahim istri tersebut (bukan
rahim orang lain) dan tidak diperbolehkan, jika seperma yang diambil berasal dari
laki-laki lain begitu pula dari wanita lain. Pandangan penulis tentang bayi tabung
bahwa boleh saja asalkan sperma yang diambil merupakan sperma yang berasal dari
suami istri yang sah, dan ditanam dalam rahim istri tersebut (bukan rahim orang lain)
dan juga yang menanganinya adalah dokter yang ahli dari kaum wanita tidak boleh dan
lawan jenis (laki – laki).
Daftar Rujukan
Baziad. 2007. Fertilisasi in vitro (Bayi tabung):Dilema kemajuan yang tak kunjung
usai. Maj Obstet Ginekol Indones , Vol.31 No. 4, halaman 233-234. Dari
http://inajog.com/index.php/journal/article/view/138, diakses pada 11
Desember 2021.
Gumelar, Michael Sega. 2017. Proyeksi Kritis: Kesetaraan Gender di Masa
Depan. Jurnal Studi Kultural , vol. II No. 2, halaman 84. Dari
https://journals.an1mage.net/index.php/ajsk ,diakses pada 11 Desember
2021.
Idris, Muhammad. 2019. Bayi Tabung dalam Pandangan Islam. Al-'Adl , Vol. 12
No.1, halaman 67-68. Dari
https://ejournal.iainkendari.ac.id/al-adl/article/view/1383 , dikses pada 3
Desember 2021.
Nelwan, Jeini Ester. 2019. Epidemiologi Kesehatan Reproduksi. Manado:
Deepublish.
Sondakh, Hizkia Rendy. 2015. Aspek Hukum Bayi Tabung di Indonesia. Lex
Administratum, Vol.III No. 1, halaman 67-69. Dari
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/7053 ,
diakses pada 3 Desember 2021.

Anda mungkin juga menyukai