Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA - FARMAKOKINETIKA

Nama : Novan Dwi Tama

NIM : 08061381823091

Kelas/Kelompok :A/4

Dosen Pembimbing : Apt. Dina Permata Wijaya, M.Si.

Apt. Herlina, M.Kes.

PERCOBAAN IV : KECEPATAN DISOLUSI OBAT

LABORATORIUM BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2020
LAPORAN PRAKTIKUM
BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA
KECEPATAN DISOLUSI OBAT

I. TUJUAN
1. Melakukan uji disolusi terhadap sediaan obat.
2. Mengetahui pengaruh pH, viskositas dan ukuran partikel terhadap laju
disolusi obat.
3. Memahami konsep analisis disolusi obat.

II. DASAR TEORI


Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju
bioabsorbsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini
seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada
dalam pelepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi
sistemik (Martin dkk, 1993).Pelarutan merupakan proses dimana suatu bahan kimia
atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologi pelarutan obat
dalam media “aqueous” merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi sistemik.
Laju pelarutan obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat
yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi
sistemik obat (Shargel dkk., 2005).
Disolusi juga merupakan salah satu kontrol kualitas yang sangat penting untuk
sediaan farmasi. Disolusi merupakan suatu kontrol kualitas yang dapat digunakan
untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagai
pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen. Sifat disolusi suatu obat berhubungan
langsung dengan aktivitas farmakologinya. Hubungan kecepatan disolusi in vitro dan
bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (invitroinvivo-correlation).
Sediaan tablet mungkin akan atau mungkin juga tidak mengalami disintegrasi bila
berinteraksi dengan cairan gastrointestinal ketika diberikan per oral (Sulaiman, 2007).
Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut (Shargel, 2004). Disolusi secara singkat didefinisikan
sebagai proses melarutnya suatu solid. Bentuk sediaan farmasetik padat terdispersi
dalam cairan setelah dikonsumsi seseorang kemudian akan terlepas dari sediaannya
dan mengalami disolusi dalam media biologis, diikuti dengan absorpsi zat aktif ke
dalam sirkulasi sistemik dan akhirnya menunjukkan respons klinis (Siregar, 2010).
Proses absorpsi obat melibatkan transport melewati membran sel sebelum
obat mencapai jaringan atau organ. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat
antara lain, kecepatan disolusi obat, kecepatan disolusi ini dipengaruhi oleh luas
permukaan obat. Kedua, Ukuran partikel, untuk obat yang sukar larut dalam air,
ukuran partikel sangat mempengaruhi karena obat-obat dengan ukuran partikel kecil
relatif mudah larut dalam cairan dibandingkan partikel dengan ukuran yang
besar.Ketiga, kelarutan dalam lipid atau air, sebagian besar media absorpsi berupa air
sedangkan membran sel lebih bersifat lipofilik, oleh karena itu suatu obat harus dapat
larut dalam air maupun lipid (Nugroho, 2012).
Laju pelarutan obat adalah tahapan yang membatasi atau tahap yang
mengontrol laju absorpsi obat-obat yang mempunyai kelarutan yang rendah, karena
tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan
yang ada dalam pelepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam
sirkulasi sistemik (Martin, 1990). Kelarutan dan laju disolusi obat dapat ditingkatkan
dengan berbagai metode yang telah banyak dilaporkan seperti pembuatan dispersi
padat, pembuatan prodrug, kompleks inklusi obat dengan pembawa dan modifikasi
senyawa menjadi bentuk garam dan solvat, kokristal (Zaini, 2011).
Laju disolusi dipengaruhi oleh difusi molekul-molekul zat terlarut melalui
lapisan difusi ke dalam bahan dari larutan tersebut. Persamaan di atas mengemukakan
bahwa laju disolusi dari suatu obat bisa ditingkatkan dengan memperbesar luas
permukaan dengan meningkatkan kelarutan obat dalam lapisan dengan faktor-faktor
yang diwujudkan dalam konstanta laju disolusi. Tetapan kecepatan disolusi termasuk
intensitas pengadukan pelarut dan koefisien difusi dari obat yang melarut (Higuchi,
1963).
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat
– sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat – sifat fisikokimia produk
obat. Umumnya, produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian
proses, meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat, disolusi obat
dalam media aqueous, dan absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.
Dalam ketiga proses tersebut di atas, kecepatan obat mencapai sirkulasi ditentukan
oleh tahapan yang paling lambat dalam rangkaian yang disebut tahap penentu
kecepatan (Shargel dan Kanfer, 2005).
Uji disolusi merupakan suatu metode fisika yang penting sebagai parameter
dalam pengembangan mutu sediaan obat yang didasarkan pada pengukuran kecepatan
pelepasan dan pelarutan zat aktif dari sediaanya. Uji disolusi digunakan untuk uji
bioavailabilitas secara in vitro, karena hasil uji disolusi berhubungan dengan
ketersediaan hayati obat dalam tubuh (Banakar,1992). Uji disolusi bertujuan untuk
memprediksi korelasi bioavailabilitas in vivo dari produk obat. Uji disolusi penting
sebagai petunjuk untuk pengembangan formulasi dan produk obat, kontrol kualitas
selama proses produksi memastikan kualitas bioekivalen in vitro antar batch dan
regulasi pemasaran produk obat (Allen dkk., 2005).
Uji disolusi terbanding dapat digunakan untuk memastikan kualitas dan sifat-
sifat produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau pembuatan setelah
izin pemasaran. BPOM memberikan ketentuan untuk uji disolusi terbanding yaitu
dengan melihat nilai f2 (faktor kemiripan) antara produk uji dengan produk
pembanding.Uji disolusi terbanding dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk
mengetahui pengaruh dari proses formulasi dan fabrikasi terhadap profil disolusi
dalam memperkirakan bioavailabilitas dan bioekivalensi antara produk uji dan
pembanding. Uji disolusi terbanding dapat juga digunakan untuk memastikan 17
kemiripan kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor dalam
formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran obat (BPOM, 2004).
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting
dalam meramalkan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat yang mempunyai
kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali menunjukkan ketersediaan
hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap penentu (rate limiting step)
pada proses absorpsi obat (Auzal halim, 2012).
Berbagai metode untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi senyawa
obat telah banyak dilakukan antara lain dengan metode mikronisasi, pembuatan
dispersi padat, pembentukan prodrugs, kompleks inklusi obat dengan pembawa dan
modifikasi senyawa menjadi bentuk garam dan solvat. Salah satu metode menarik
dan sederhana yang baru-baru ini dikembangkan untuk meningkatkan laju pelarutan
dan ketersediaan hayati obat yang sukar larut, adalah teknik penggilingan bersama
(co-grinding) dengan polimer yang mudah larut air (Auzal halim, 2012).
Uji disolusi sendiri merupakan suatu metode fisika-kimia yang digunakan
dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan obat. Berdasarkan
pengukuran parameter kecepatan pelepasan dan melarut zat berkhasiat dari
sediaannya yang menentukan bioavailabilitas obat. Bioekivalensi diterapkan untuk
sediaan padat untuk membandingkan bioavailabilitas obat produk dengan nama
generik dan merek dagang yang berbeda (Ansel, 1989).
Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam
larutan suatu medium untuk mengetahui jumlah zat aktif yang terlarut dan memberi
efek terapi di dalam tubuh. Uji disolusi terbanding (uji ekivalensi) adalah uji
bioavailabilitas komparatif yang dirancang untuk menunjukkan ekivalensi antar
produk uji dengan produk obat pembanding. Pengujian dilakukan untuk menjamin
bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan (FI V, 2014).
Sifat–sifat fisikokimia zat aktif memiliki peranan dalam pengendalian
disolusinya dari bentuk sediaan. Kelarutan zat aktif dalam air diketahui sebagai salah
satu dari berbagai faktor yang menentukan laju disolusi. Faktor ini meliputi : Efek
kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air 14 merupakan faktor utama dalam
menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang
cepat. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas
permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi meningkat
(Siregar, 2010).
Faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi bentuk sediaan padat dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 kategori utama yaitu: sifat fisika kimia obat, formulasi
produk obat, proses pembuatan sediaan, dan kondisi uji disolusi. Beberapa faktor
eksternal yang terkait dengan kondisi percobaan dalam uji disolusi dapat
mempengaruhi kecepatan disolusi, antara lain: intensitas pengadukan, macam dan
komposisi medium, suhu, dan model alat disolusi yang digunakan (Fudholi, 2013).
Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas. Salah satu metode untuk
meningkatkan laju disolusi obat adalah dengan pembentukan dispersi obat yang sukar
larut dalam pembawa polimer. Salah satu pembawa polimer yang akan dapat
digunakan adalah polivinilpirolidon (PVP) (Sutriyo dkk,2005).
Disolusi adalah proses melarutnya suatu obat. Uji disolusi merupakan uji
secara in vitro yang mengukur lama pelepasan obat dan berapa banyak obat yang
mampu dilepaskan dalam jangka waktu tertentu. Uji disolusi ini berguna untuk
mengetahui kelarutan obat dalam tubuh. Uji disolusi secara in vitro ini umumnya
dilakukan pada tablet atau kapsul (Yudistirawati dkk, 2015).
Disolusi in vitro diakui sebagai suatu elemen penting dalam pengembangan
obat. Uji disolusi dilakukan sebagai tahap awal untuk mengetahui ketersediaan hayati
suatu bentuk sediaan sebelum uji pelepasan obat secara in vivo dilakukan. Korelasi
antara data in vitro dan in vivo sering digunakan selama pengembangan bentuk
sediaan dengan tujuan untuk efisiensi waktu dan mendapatkan formula optimal
(Cardot dkk., 2007).
Peningkatan disolusi dapat juga dilakukan dengan teknik kristalisasi khusus
dengan cara mempengaruhi habit dan permukaan kristal. Cara lain peningkatan
disolusi adalah dengan pembentukan kompleks zat aktif – siklodekstrin, akan tetapi,
pembuatannya memiliki beberapa kekurangan, seperti muatan zat aktif sangat kecil,
hanya cocok untuk obat yang bisa masuk ke lubang siklodekstrin dan memiliki
konstanta kompleks yang tinggi. Struktur molekul, kepolaran, ukuran dan
kemungkinan untuk berinteraksi dengan siklodekstrin adalah faktor penting penentu
keberhasilan pembuatan kompleks dengan siklodekstrin (Rasenack dan Muller 2002).
III. ALAT DAN BAHAN
A. ALAT
1. Alat uji disolusi (stirrer, paddle) 1 buah
2. Spektrofotometer 1 buah
3. Waterbath dengan pengatur suhu 1 buah
4. Gelas beker 5 buah
5. Tabung reaksi 5 buah
6. Pipet volume dan mikropipet 7 buah
7. Kuvet 2 buah
8. Stopwatch 1 buah
9. Program DDSolver 1 buah

B. BAHAN
1. Sediaan tablet konvensional, tablet salut, Secukupnya
dan kapsul
2. Tablet aspirin dan parasetamol Secukupnya
3. Aquadest, SIF, SGF Secukupnya
4. Buffer asetat 0,05 M pH 3; 4,5; dan 6 Secukupnya
5. Buffer fosfat pH 5,8 dalam air ; Secukupnya
6. Buffer fosfat pH 5,8 dalam metil selulosa ; Secukupnya
7. Buffer fosfat pH 5,8 dalam sirup simplex Secukupnya
8. Zat aktif murni (baku pembanding) Secukupnya
IV. CARA KERJA
1. Penetapan Kurva baku

Seri konsentrasi baku murni

dibuat

Dalam pelarut sesuai

dibaca

Spektrofotometri

dilakukan

Scanning panjang gelombang

ditentukan

Panjang gelombang maksimal dan persamaan regresi linier

2. Uji disolusi sediaan obat

Bobot sediaan digunakan

Ditimbang, dimasukkan

500 ml disolusi, beaker glass

diletakkan

Gelas ukur dalam waterbath, 37o ± 1oC


dimasukkan

Stirer pada posisi tengah beaker

dimasukkan

Sediaan yang ditimbang ke beaker

dinyatakan

Stirrer sembari aktif stopwatch

diambil

5 ml cairan sampel setiap ke-0; 5; 10; 15; 30; 45; 60

dikembalikan

5 ml cairan media disolusi ke dalam gelas beaker, sint

diamati

Spektrofotometri

dihitung

Kadar obat terdisolusi


3. Efek pH dalam disolusi obat

Masukkan tablet aspirin dalam alat uji disolusi paddle

direndam

Bejana

diuji

Dengan kecepatan 50 rpm pada suhu 37o±0,5oC dalam 500 ml


media buffer asetat 0,05 M pH 4,5; pH6, dan 3

diambil

1 ml sampel pada tiap interval waktu 5, 10,15, 20, 25, dan 30


menit

diganti

Sampel yang diambil dengan 1 ml buffer asetat

Disimpan

Dalam beaker glass pada suhu 37o±0,5o

diencerkan
1 ml sampel ke dalam 5,10,20, atau 25 ml dengan buffer asetat
dalam tabung reaksi

dihitung

Nilai absorbansi pada panjang gelombang maksimal 265 nm3

dihitung

Konsentrasi obat yang dilepaskan

didapat

Kurva disolusi, lalu tentukan waktu yang dibutuhkan 80% obat


untuk terlepas

didapat

Waktu yang dibutuhkan obat untuk terlepas


4. Efek viskositas dalam pelepasan obat

Tablet PCT dalam alat uji disolusi paddle

ditempatkan;diuji

Bejana, kecepatan 50 rpm pada suhu 37o± 0,5oCdalam 900


mL media bufferfosfat pH 5,8 dalam air; dalam metil
selulosa; dan dalam sirup simplex.

diambil

1 mL cairan sampel pada tiap interval waktu 5, 10, 15,


20, 25, dan 30 menit.

dikembalikan

1 mL cairan media disolusi ke dalam beker

diencerkan

1 mL sampel yang telah dikumpulkan ke dalam 20 atau 25 mL


(faktor pengenceran = 1:20, atau 1:25) dengan buffer fosfat
segar

dicampurkan

Dalam labu ukur

dibaca

Sampel yang telah diencerkan pada panjang gelombang


maksimal 243 nm
dihitung

Konsentrasi obat yang dilepaskan

5. Pengaruh ukuran partikel dalam pelepasan obat

Tablet aspirin dalam alat uji disolusi paddle

ditempatkan;diuji

Bejana, kecepatan 50 rpm pada suhu 37 o± 0,5oCdalam 500


mL media buffer asetat 0,05 M pH 4,5

diambil

1 mL cairan sampel pada tiap interval waktu 5, 10, 15,


20, 25, 30, dan 45 menit dalam tabuung reaksi

diganti;diambil

1 mL buffer asetat segar yang disimpan pada suhu 37o±


0,5oCke dalam beker untuk menjaga kondisi sink

diencerkan

Encerkan 1 mL sampel yang telah dikumpulkan ke dalam 5,


10, 20 atau 25 mL (faktor pengenceran = 1:5, 1:10, 1:20, atau
1:25) dengan buffer asetat segar di dalam labu ukur,
homogenkan
dibaca
Baca absorbansi untuk sampel yang telah diencerkan pada
panjang gelombang maksimal 265 nm

dihitung

Konsentrasi obat yang dilepaskan


V. DATA HASIL PENGAMATAN
Kurva baku :

Konsentrasi Abs
10 ppm 0,406
20 ppm 0,477
30 ppm 0,532
40 ppm 0,641
50 ppm 0,692

Tablet aspirin = 500 mg

volume medium = 900 mL

volume sampling = 5 mL

y = a + bx

a = 0,3288

b = 0,00736

r = 0,99

pH 3

Jumlah
Jumlah %
Men Replik Absorba total
Kadar terdisol fk pelepas AUC
it asi nsi terdisol
usi an
usi
0,270 0,00015
0 1 2,321 243,63 243,631 48,726 0
7 04
0,270 0,00150
2 2,32 243,45 243,453 48,69 0
5 3
0,267 0,00148
3 2,301 241,11 241,111 48,222 0
9 8
0,288 0,00310 251,2
5 1 2,453 259,74 259,743 51,95
6 1 5
0,288
2 2,451 259,47 0,00866 259,479 51,89 259,6
3
0,289 259,9
3 2,459 260,46 0,1027 260,47 52,09
4 5
240,2
10 1 2,132 0,245 220,5 0,02339 220,523 44,105
12
220,5
2 2,132 0,245 220,5 0,02475 220,52 44,104
2
0,246 221,1
3 2,143 221,85 0,02612 221,876 44,375
5 98
0,300
15 1 2,543 270,72 0,3030 271,023 54,205 246
8
0,305 273,1
2 2,577 274,95 0,3085 275,26 55,052
5 43
0,303 274,1
3 2,560 272,79 0,3140 273,104 54,62
1 12
0,242 736,9
30 1 2,111 217,89 0,3143 218,204 43,64
1 87
657,7
2 2,128 0,244 219,96 0,3198 220,279 44,055
1
0,242 658,8
3 2,117 218,61 0,3253 218,935 43,787
9 15
0,315 56,854 755,1
45 1 2,651 283,95 0,3234 284,273
5 6 12
0,315 853,0
2 2,652 284,087 0,3289 284,416 56,883
6 32
0,315 853,5
3 2,654 284,331 0,3344 284,665 56,93
9 9
0,341 890,4
60 1 2,840 307,076 0,3344 307,410 61,48
1 84
0,341 923,1
2 2,845 307,687 0,3399 308,027 61,605
87 52
0,341 923,7
3 2,843 307,443 0,3454 307,778 61,558
6 22

AUC % = % pelepasan obat x t max

= 6000%

DE60 = total rata rata auc/6000 x 100%

= 3166,194/6000 x 100%

= 52,77 %
pH 4,5
Jumlah
Jumlah %
Men Replik Absorba Kad total AU
terdisolu fk pelep
it asi nsi ar terdisolus C
si asan
i
0,28 259,019 0,00 250,0206 51,80
0 1 2,447 0
77 0 15 2 4
0,28 259,508 0,00 259,5097 51,90
2 2,451 0
83 1 16 5 2
0,28 259,630 0,00 259,6320 51,92
3 2,452 0
84 4 16 3 6
0,34 313,312 0,00 313,3160 62,66 286,
5 1 2,891
81 5 35 3 3 351
0,34 313,801 0,00 62,76 313,
2 2,895 313,8071
86 6 54 1 561
0,34 310,377 0,00 62,07 312,
3 2,867 310,3851
48 7 73 7 096
0,34 314,902 0,00 62,98 313,
10 1 2,904 314,9095
98 1 74 1 706
0,35 315,458 0,00 63,09 315,
2 2,911 315,4675
08 1 93 3 188
0,35 315,024 0,01 63,00 315,
3 2,905 315,0357
00 4 13 7 251
0,33 297,782 0,01 59,55 122,
15 1 2,764 297,7919
08 6 11 8 585
0,33 299,739 0,01 298,
2 2,780 299,7921 59,95
30 1 30 772
0,33 299,005 0,01 59,80 299,
3 2,774 299,0203
22 4 48 4 385
0,28 257,184 0,01 51,43 834,
30 1 2,432 257,1994
57 7 46 9 080
0,28 257,184 0,01 51,44 771,
2 2,432 257,2009
57 7 62 0 600
0,28 259,141 0,01 51,83 774,
3 2,448 259,1591
79 3 78 1 540
0,35 323,461 0,01 64,64 871,
45 1 2,974 323,4801
94 9 82 6 999
0,35 323,951 0,02 64,79 970,
2 2,979 323,0212
99 0 02 4 8
0,35 323,951 0,02 64,79 971,
3 2,978 323,9732
99 0 22 4 91
0,34 311,845 0,02 62,37 953,
60 1 2,879 311,8692
64 1 21 3 515
0,34 311,355 0,02 62,27 934,
2 2,875 311,3800
59 9 40 6 873
0,34 311,845 0,02 62,37 934,
3 2,879 311,8710
64 1 59 4 876

AUC100 % = % pelepasan obat x t max


= 100% X 60
=6000%
DE60 = total rata rata auc/6000 x 100%
= 3531.5757/6000 x 100%
= 58, 86 %
pH 6
Jumlah
%
Men Replik Absorba Kad Jumlahte total AU
fk pelep
it asi nsi ar rdisolusi terdisol C
asan
usi
0,39 354,888 0,002 354,890 70,97
0 1 3,231 0
43 5 1 7 8
0,39 0,002 355,502 71,10
2 3,236 355,5 0
5 1 1 0
0,39 356,111 1,978 358,089 71,61
3 3,241 0
56 4 3 8 7
0,27 243,611 2,014 245,625 49,12 241,
5 1 2,321
06 4 2 6 5 804
0,27 244,100 2,015 246,116 49,22 246,
2 2,325
12 5 7 3 3 116
0,27 243,978 2,017 245,995 49,19 246,
3 2,324
10 2 2 5 9 053
0,40 365,894 2,818 367,912 73,58 306,
10 1 3,321
65 0 0 0 2 912
0,40 366,383 2,020 368,403 73,68 368,
2 3,325
70 1 6 7 0 157
0,40 2,022 246,000 73,72 307,
3 3,328 366,75
75 1 9 0 202
0,37 341,682 2,022 343,704 68,33 334,
15 1 3,123
96 0 3 4 6 560
0,37 341,804 2,024 343,828 68,36 341,
2 3,124
97 3 4 8 0 743
0,37 341,192 2,026 343,219 68,23 341,
3 3,119
91 9 5 5 8 192
0,39 354,888 2,026 356,915 71,38 1047
30 1 3,231
43 5 6 2 3 ,69
0,39 353,421 2,028 355,450 71,09 1068
2 3,219
26 1 8 0 0 ,547
0,39 355,866 2,031 357,897 71,57 1070
3 3,239
54 8 0 8 9 ,021
0,37 2,030 1075
45 1 3,110 34,0092 36,0399 72,07
7 7 ,65
0,37 341,070 2,049 343,120 68,62 1055
2 3,118
89 6 6 3 4 ,205
0,36 327,741 2,067 329,809 65,96 1009
3 3,009
41 8 9 7 1 ,387
0,41 376,654 23,36 400,023 80,00 1116
60 1 3,409
85 8 83 2 4 ,667
0,42 378,122 23,13 401,511 80,30 1202
2 3,421
01 2 89 6 2 ,302
0,41 377,633 23,41 401,043 80,20 1203
3 3,417
95 1 03 5 8 ,832

AUC % = % pelepasan obat x t max


= 100% X 60
= 6000%
DE60 = total rata rata auc/6000 x 100%
= 4194,347/6000 x 100%
= 69,906 %
VI. PEMBAHASAN
Praktikum Biofarmasetika – Farmakokinetika kali ini membahas mengenai
kecepatan disolusi obat. Tujuan dilakukannya praktikum kali ini untuk mengetahui
kemampuan senyawa aktif untuk larut dalam pelarut dan faktor faktor yang
mempengaruhi laju disolusi obat serta mengetahui pengaruh kecepatan pengadukan
terhadap laju disolusi obat dan memahami konsep disolusi obat. Faktor yang diamati
pada percobaan kali ini berupa perbedaan pH pada tablet yang akan mempengaruhi
kecepatan disolusi.

Bentuk sediaan yang digunakan untuk praktikum kali ini menurut video di e
learning maupun di cara kerja modul berupa tablet paracetamol tetapi diberika data
dari asisten praktikum biofarmasetika – farmakokinetika berupa tablet aspirin. Salah
satu parameter penting yang diamati berupa uji disolusi obat dengan alat disolusi
tester. Uji ini dilakukan untuk mengetahui banyaknya zat aktif berupa paracetamol
yang dapat memberikan efek terhadap tubuh.

Paracetamol termasuk golongan obat analgetik non opoid sangat banyak


digunakan. Paracetamol tidak menghambat agregasi trombosit dan tidak
menyebabkan pendarahan lambung. Mekanisme kerja paracetamol dengan cara
menghambat enzim cox atau siklooksigenase yang bekerja. Enzim siklooksigenase ini
berperan dalam pembentukan prostaglandin ( senyawa sumber rasa nyeri). Jumlah
prostaglandin dalam sistem saraf pusat berkurang dengan penghambatan enzim ini
sehingga respon tubuh terhadap rasa nyeri pun berkurang.

Aspirin atau asam asteil salisilat ( asetosal) termasuk suatu jenis obat dari
keluarga salisilat yang sering digunakan sebagai analgesik,anitpirestik, dan anti-
inflamasi. Aspirin juga memiliki efek antikoagulan dan digunakan dalam dosis
rendsh dalam tempo lama untuk mencegah serangan jantung. Aspirin cepat
dideasetilasi oleh esterase dalam tubuh, menghasilkan salisilat yang mempunyai efek
anti-inflamasi, antipiretik atau analgesik. Efek antipiretik dan anti-inflamasi salisilat
terjadi karena penghambatan sintesis prostaglandin dipusat pengaturan panas dalam
hipotalamus dan perifer didaerah target.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi obat yaitu temperatur,


viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisa, dan sifat permukaan
zat. Secara umum mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet yaitu tablet
yang ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan dipecah,
mengalami disintegrasi menjadi granul-granul yang kecil yang terdiri dari zat-zat
aktif dan zat-zat tambahan yang lain. Granul selanjutnya dipecah menjadi serbuk dan
zat-zat aktifnya akan larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung di mana tablet
tersebut harus bekerja.
Uji disolusi dapat digunakan untuk menentukan persentasi ketersediaan obat
dalam sirkulasi sistemik pada waktu tertentu, hal ini berhubungan dengan bio-
availabilitas yang dapat menjadi parameter efikasi (kemanjuran) dan mutu suatu
produk obat. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya
karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut
melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya
larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak
dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak
menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang
ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih
banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi
obat atau kompleksasi.
Mekanisme disolusi suatu sediaan dari bentuk tablet yang umumnya dimulai
dari tablet yang ditelan masuk ke dalam lambung akan mengalahkan pemecahan atau
disintegrasi menjadi partikel granul yang lebih kecil. Granul ini terdiri dari zat aktif
eksipien akan larut dalam cairan lambung atau usu. Tergantung tempat kerja nya dari
tablet yang dibuat. Langkah pertama kali sebelum uji disolusi dilakukan pembuatan
kurva baku paracetmaol dan diukur absorbansinya dengan panjanag gelombang
maksimum sebesar 243 nm.

Kurva baku yang dibuat menggunakana laurtan paracetamol dengan


konsentrasi sebesar 10 ppm, 20 ppm,30 ppm, 40 ppm, dan 50 ppm. Hal ini dilakukan
agar kadar aspirin yang telah melalui uji disolusi yang dilakukan dapat diketahui
persamaan regresi linear yang diperoleh dari kurva yang dibuat berupa y = 0,0280 +
0,177x. Kurva baku ini diukur dengan bantuan alat spektrofotometri Uv –vis. Nilai
regresi dari persamaaan yang didapatkan sebesar 0,96171.

Pengujian laju atau kecepatan disolusi tablet aspirin dilkakukan dengan


melarutkan tablet aspirin kedalam media disolusi aquadsest dengan mengatur ukuran
tablet sehingga dapat melihat pengaruh ukuran partikel obat terhadap kecepatan
disolusi obat. Kelarutan tidaak dipengaruhi oleh proses pengadukan, karena
pengadukannya hanya mempengaruhi proses melarutnya zat itu. Obat atau bahan obat
yang memerlukan solven banyak untuk larut, berarti kelarutannya kecil, begitu juga
sebaliknya. Dapat dinyatakan bahwa pH mempengaruhi kelarutan, asam – asam
dengan kelarutan rendah akan mengendap (dalam ukran kecil) tetapi akan terjadi
redisolusi yang cepat terlarut.

Sampel dimasukkan kedalam media dan dihomogenkan oleh alat dayung pada
alat disolution tester dan suhu biasanya digunakan sebesar 37 o C. Suhu sebesar 37o C
dipilih untuk digunakan pada alat disolusi karena suhu ini sama dengan suhu tubuh
manusia. Proses pengambilan sampling dilakukan dalam waktu yang berbeda tiap 0,
5, 10, 15, 30, 45, dan 60 menit. Perbedaan waktu ini untuk melihat zat yang telah
terdisolusi dalam tiap waktu dan untuk melihat kapan tablet aspirin terdisolusi secara
optimal dalam media pelarut. Pengambilan sampel diikuti juga dengan penambahan 5
mlaquadest lagi kedalam media disolusi. Hal ini dilakukan untuk menjaga kondisi
sink agar larutan atau media disolusi tidak menjadi jenuh. Cairan sampel yang
diambil dianalisis menggunakan spektrofotometri uv-vis.
Parameter yang dilihat dari percobaan ini berupa jumlah total obat yang
terdisolusi dan persen pelepasan obat serta nilai total AUC. Persen pelepasan obat
dihitung pada setiap sampling dengan interval waktu setiap menit dimulai dari menit
ke 0 sampai menit ke 60. Semakin ringgi persen pelepasan obat maka semakin
banyak obat tersebut terdisokusi ke dalam medium pembawanya.

Dari data yang telah didapat, untuk mengetahui seberapa besar obat dapat
terdisolusi, maka dilakukan perhitungan persen pelepasan obat pada pengamata
disolusi menurut efek pH tablet aspirin pada pH 3 tabel perrtama, dimana didapatkan
hasil sebesar 48,546% pada menit ke 0 ; 51,98 pada menit ke 5 ; 43,865 pada menit
ke 10 ; 54,626% pada menit ke 15 ; 43,827% pada menit ke 30 ; 56,889% pada
menit ke 45 ; 61,548% pada menit terakhir yaitu menit ke 60.Total AUC yang di
peroleh sebesar 3166,194. Persen pelepasan obat meningkat setiap menit waktunya
walaupun ada di beberapa menit yang menurun tetapi pada menit ke 45 dan menit ke
60 mendapatkan persen pelepasan obat yang maksimum. Hal ini menyatakan bahwa
obat tablet aspirin terdisolusi dengan baik kedalam medium pembawanya. Hal
tersebut sesuai dengan teorinya.

Perbedaan yang sangat fluktuatif pada data persen pelepasa obat yang
diperoleh mungkin disebebkan karena perbedaan perlakuan masing – masing
percobaan atau perlakuan tiap replikasi, misalnya dari faktor – faktor kecepatan
penadukan atau faktor suhu pada percobaan. Nilai AUC menggambarkan sejauh
mana bioavailabilitas dapat dicapai suatu obat. Pengamatan selanjutnya terhadap
persen pelepasan obat pada tablet aspirin pada pengataman kecepatan disolusi
terhadap efek pH. pH yang diamati adalah pH 4,5. Didapatkan hasilnya sebesar
51,877% pada menit ke 0; 62,500 pada menit ke 5; 63,027 pada menit ke 10; 59,771
pada menit ke 15; 51,57 pada menit ke 30; 64,745 pada menit ke 45; dan 62,341
pada menit ke terakhir yaitu pada menit ke 60.

Nilai total AUC di pengamatan pada pH 4,5 ini didapatkan sebesar


3531.5757. Dari data yang diperoleh, dapat diamati bahwa nilai persen pelepasan
obat pada tablet aspirin pada pH 4,5 lebih besar dari pada nilai persen pelepasan obat
pada tablet aspirin pada pH 3. Hal ini sesusai dengan teori yang ada, dimana
dinyatakan bahwa semakin tinggi pH maka obat dapat dengan lebih baik terdisolusi
kedalam mediumnya sehingga kecepatn disolusi juga semakin meningkat.

Pengamatan persen pelepasan obat pada tablet aspirin dengan pengamatan


pada efek pH 6 didapatkan peningkatan persen pelepasan obatnya dari menit ke 0
sampai ke menit ke 60. Hasil yang didapatkan pada menit ke 0 didapatkan persen
pelepasan sebesar 71,232 ; 48,908 pada menit ke 5; 73,661 pada menit ke 10; 68,311
pada menit ke 15; 71,351 pada menit ke 30; 68,885 pada menit ke 45; dan 80,1771
pada menit ke 60. Nilai total AUC yang diperoleh juga meningkat menjadi sebesar
4194,347. Dari data diatas peningkatan persen pelepasan obat disebabkan
pengamatan dengan pH yang lebih besar dari kedua pengamatan sebelumnya yaitu
pH 6. Hal ini sesusai dengan teori yang ada, dimana dinyatakan bahwa semakin
tinggi pH maka obat dapat dengan lebih baik terdisolusi kedalam mediumnya
sehingga kecepatn disolusi juga semakin meningkat.

Dari ketiga pengamatan yang telah diselesaikan, penagamatan dengan 3 pH


yang berbeda yaitu pH 3, pH 4,5 dan pH 6 dapat disimpulkan bahwa pengamatan
dengan faktor pH yang tinggi dapat meningkat kecepatan disolusi obat. Ini
ditunjukkan pada pengamatan dengan efek pH 6 menghasilkan proses disolusi yang
cepat dan pelepasan obatnya juga semakin meningkat karena pH yang diguanakan
tinggi sehingga pelepasan obatnya nya juga semakin meningkat. Pelepasan obat yang
tinggi atau meningkat akan menghasilkan bioavailabilitas yang tinggi juga, sehingga
aka mempermudah efek dari obat untuk bekerja secara maksimal.

Disolusi obat digunakan sebagai suatu proses larutnya obat senyawa aktif dari
bentuk sediaan padat ke media pelarut. Cara menentukan kinetika dari disolusi obat
dengan menggunakan aplikasi DD solver, dengan membandingkan parameter dari
tiap orde dan modelling. Tetapi pada pengamata kali ini tidak dilakukan karena
perlakuan ini dibuat untuk praktikum selanjutnya.
VII. KESIMPULAN
1.) Praktikum kali melakukan pengamatan mengenai kecepatan disolusi obat
terhadap efek pH.
2.) Berdasarkan pengamatan mengenai kecepatan disolusi dengan pengaruh pH 3,
ph 4,5 dan pH 6 didapatkan persen pelepasan obat yang meningkat.
3.) Semakin besar pH maka akan meningkatkan kelarutan suatu bahan sehingga
laju disolusi semakin meningkat
4.) Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi obat yaitu temperatur,
viskositas, pH pelarut, pengadukan, dan ukuran partikel.
5.) Berdasarkan pengamatan diatas didapatkan nilai DE 60 yaitu pH 3 didapatkan
52,77%, pH 4,5 didapatkan 58,86%, dan pada pH 6 didapatkan 69,906 %.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, dkk. 2005, Ansel’s Pharmaceutical Dosage Form and Drug Delivery System,
Eight Edition, Philadelphia, USA.

Ansel, C.H. 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta, Indonesia.

Auzal Halim. 2012, Peningkatan Laju Disolusi Trimetropin dengan Teknik Co


Grinding Menggunakajn Polimer Polivinilpirolidon K-30, Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia, Vol 11 1-6.

Banakar, U.V., 1992, Pharmaceutical Dissolution Testing, Marcel Dekker Inc., New
York, USA.

BPOM. 2004, Pedoman Uji Bioekivalensi, BPOM RI, Jakarta, Indonesia.

Cardot, dkk. 2007, In Vitro–In Vivo Correlation: Importance of Dissolution in


IVIVC. Dissolution Technologies, February: 15–19.

Fudholi, A. 2013. Disolusi dan Pelepasan Obat in Vitro, Pustaka Pelajar,


Yogyakarta, Indonesia.

Martin, dkk.1990, Physical Pharmacy 1st and 2nd edition. Lea & Febiger:
Philadelphia, Indonesia.

Martin, dkk. 1993. Physical Pharmacy: Physical Chemical Principles in the


Pharmaceutical Sciences, 4th ed. Lea & Febiger, Philadelphia, USA.

Nugroho dkk. 2012, Prinsip Aksi dan Nasib Obat dalam Tubuh. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, Indonesia.

Rasenack N dan Muller BW. 2002, Properties of Ibuprofen Crystallized Under


Various Conditions: A Comparative Study, Drug Dev. Ind. Pharm. 1077-
1089.

Shargel, L,. dan Kanfer, I.2005, Generic Drug Product, Marcel Dekker Inc, New
York, USA.

Sutriyo, dkk. 2005, Pengaruh Polivinil Pirolidon Terhadap Laju Disolusi Furosemid
Dalam Sistem Dispersi Padat, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol II 30-42.

Zaini, dkk. 2011, Peningkatan Laju Pelarutan Trimetoprim Melalui Metode Ko-
Kristalisasi dengan Nikotinamida, Jurnal Farmasi Indonesia
Vol.5,205,209,210.
PERTANYAAN PASCA PRAKTIKUM
1. Apa yang dimaksud disolusi dan jelaskan faktor-faktor yang menentukan laju
disolusi obat!

Jawab :

Disolusi adalah suatu proses pelepasan suatu senyawa aktif dari bentuk sediaan padat
kedalam media pelarut. Faktor-faktor yang menentukan laju disolusi obat diantaranya
suhu, pH, viskositas, dan kecepatan pengadukan.

 Suhu, smakin tinggi suhu maka semakin cepat juga laju disolusinya.
 Pengadukan , semakin cepat pengadukan maka semakan cepat juga laju
disolusinya
 pH sangat memengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun
basalemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada
pada suasana asam sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada
pada suasana basa.
 Turunnya viskositas suatu pelarut juga akan memperbesar kelarutan suatuzat.
 Makin kecil ukuran partikel maka zat aktif tersebut akan cepat larut.

2. Sebutkan jenis-jenis alat uji disolusi sesuai USP!

Jawab :

1. Alat uji pelepasan obat berupa keranjang (basket).


2. Alat uji pelepasan obat berupa dayung (paddle).
3. Alat uji pelepasan obat berupa reciprocating cylinder.
4. Alat uji pelepasan obat berupa flow through cell.
5. Alat uji pelepasan obat berupa paddle over disk.
6. Alat uji pelepasan obat berupa silinder (cylinder).
7. Alat uji pelepasan obat berupa reciprocating holder.
3. Jelaskan perbedaan antar model pelepasan obat (dependent model)!

Jawab :

 Model orde 0 : model yang ideal pelepasan obat dalam rangka mencapai aksi
farmakologi kinetic berkepanjangan. Qt = Qo + kt

 Model orde 1 : luas perukaan terpapar dan tablet menurun, secara eksperensial
dengan t selama proses disolusi yang menunjukkan bahwa pelepasan obat dari
sebagian besar tablet lepas lambat, dijelaskan oleh kinetika orde 1. LogQt =
LogQo + kt/2,303

 Model higuchi : ketergantungan linear dari fraksi aktif yang dilepaskan per
unit (Q) dari akar kuadrat waktu. Q + ka.t1/2

 Model Hixson-Crowell + Luas permukaan partikekl sebanding dengan akar


kubik volume

 Model Korfmeyer-peppas : hubungan yang menggambarkan pelepasan obat


sistem polimer.

4. Apa yang dimaksud dengan larutan SIF dan SGF dan bagaimana cara
pembuatannya?

Jawab :

 Larutan SIF (Simulated Intestinal Fluid) adalah larutan yang dibuat mirip
dengan cairan di usus dengan pH 6,8. Cara membuatnya yaitu larutkan
KH2PO4 sebanyak 6,805 g dalam aquadest dan larutkan NaOH sebanyak
0,896 g dalam aquadest. Lalu campurkan kedua larutan dalam labu ukur dan
ad 1 L aquadest.
 Larutan SGF (Simulated Gastric Fluid) adalah larutan yang dibuat mirip
dengan cairan di lambung dengan pH 1,2. Cara membuatnya yaitu larutkan
KCl sebanyak 7,4 g dalam aquadest dan larutkan HCl sebnayak 8,64 mL
dalam aquadest. Lalu campurkan kedua larutan kedalam labu ukur dan ad
aquadest 1L.

5. Jelaskan apakah DDsolver? Sebutkan minimal 5 aplikasi lain yang serupa dengan
DDsolver!

Jawab :

DD Solver merupakan suatu software yang digunakan sebagai teknik untuk


membandingkan data pelepasan obat (disolusi), termasuk analisis eksplorasi data,
univariate ANOVA, dan sebagainya yang dapat digunakan untuk menyelesaikan data
disolusi. DD Solver merupakan software gratis yang tersedia untuk microsoft
excel,untuk mengetahui kegunaan lebih lanjut dari DD Solver ini untuk memodelkan
pelepasan obat.
Aplikasi =, SPSS, , S.plus, Excel, Winsaam, Mini tab.
LAMPIRAN

Pritest Acc DHP Post Test

Diskusi setelah menonton video praktikum biofar

Anda mungkin juga menyukai