Anda di halaman 1dari 70

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kabupaten Kebumen adalah salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi
Jawa Tengah. Kabupaten Kebumen terletak diantara beberapa kabupaten dan kota,
yaitu di sebelah Timur: Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo, di
sebelah Utara: Kabupaten Banjarnegara, di sebelah Barat: Kabupaten Banyumas
dan Kabupaten Cilacap, sebelah selatan: Samudra Hindia. Kota Kebumen. Secara
geografis Kabupaten Kebumen terletak pada posisi 109 ̊ 33 – 109 ̊ 50 Bujur Timur
dan 7 ̊ 27 – 7 ̊ 50 Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Kebumen
sekitar 39.748,00 hektar. Secara administratif, Kabupaten Kebumen dibagi
menjadi 26 kecamatan, terdiri dari 11 Kelurahan dan terdiri dari 449 desa.
Secara Fisiografis daerah penelitian masuk ke dalam Zona Pegunungan
Serayu Selatan (van Bemmelen, 1949), yang kemudian dipetakan oleh Asikin, dkk
(1992). Daerah ini belum dilakukan penelitian geologi lebih detail baik dari
sebaran batuannya, hingga hubungan antar satuan batuan dan juga keterkaitan
dengan proses pembentukannya hingga sekarang. Hal ini menjadi sebuah topik
yang menarik untuk dibahas oleh penulis sebagai bahan Skripsi dengan judul
“Geologi Daerah Semali dan Sekitarnya, Kecamatan Sempor, Kabupaten
Kebumen, Provinsi Jawa Tengah.
Daerah Semali ini dipilih sebagai tempat untuk pembahasan pada Skripsi
yang diajukan karena dari segi geologi merupakan bagian dari lantai dasar
samudera yang tersingkap dipermukaan, yaitu Daerah Karangsambung yang juga
berada di Kabupaten Kebumen. Sehingga bila ditelusuri lebih lanjut mungkin
dapat ditemukan beragam fakta menarik serta dapat memberikan informasi yang
berkaitan dengan geologi yang belum ditemukan atau belum dipublikasikan.
Kemudian penelitian geologi pada daerah ini merupakan salah satu syarat wajib
yang harus diselesaikan oleh mahasiswa yang telah mengajukan Tugas Akhir di
Fakultas Teknologi Mineral, Program Studi Teknik Geologi, Institut Teknologi

1
Nasional Yogyakarta. Adapun sisi menarik lainnya yang dapat ditelaah pada
daerah ini yakni merupakan jejak dimana pada masa lampau pernah terjadi
penunjaman kerak yang melewati Pulau Jawa dengan orientasi Timur laut – Barat
daya yang berlangsung jutaan tahun yang lalu yang dikenal sebagai pola Meratus.
Pola ini yang membentuk banyak fenomena geologi yang ada disepanjang selatan
pantai Jawa hingga menerus ke Borneo.
Pemetaan geologi pada dasarnya adalah menggambarkan data pada peta
dasar topografi yang menghasilkan cerminan kondisi geologi pada skala yang
diinginkan. Kondisi geologi yang dijumpai di lapangan berupa penyebaran batuan,
struktur geologi, dan kenampakan morfologi bentang alam. Pengamatan kondisi
geologi dilapangan harus dilakukan dengan baik dan benar supaya kita
mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di tempat itu pada beberapa juta tahun
yang lalu sehingga kita dapat merekonstruksi apa yang sebenarnya terjadi di masa
lalu sesuai dengan semboyan “the present is they key to the past”.
Pemetaan ini dimaksudkan untuk mengetahui keadaan geologi pada daerah
pemetaan yang terletak di daerah Semali dan sekitarnya Kecamatan Sempor,
Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Keadaan geologi yang dimaksud
meliputi kondisi geomorfologi yang berdasarkan atas bentuk alam yang terlihat
oleh peneliti, kedudukan stratigrafi yang berdasarkan atas variasi litologi yang
tersingkap, dan struktur geologi yang terbentuk akibat adanya gaya yang bekerja
pada daerah tersebut. Dari data-data tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan
sejarah geologi sekaligus potensi geologi yang berkaitan dengan sumberdaya alam
pada daerah Semali dan sekitarnya.
Hasil yang diperoleh dari pemetaan geologi tersebut diharapkan dapat
mendukung atau menambahkan data yang sudah ada sebelumnya, sehingga dapat
berguna untuk perencanaan pembangunan serta pendayagunaan sumberdaya alam
pada daerah tersebut. Peta geologi berskala 1:25.000 ini diharapkan bisa menjadi
referensi oleh pemerintah, masyarakat dan peneliti untuk mengetahui tatanan
geologi daerah Semali dan sekitarnya Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen.

2
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan geologi
permukaan serta mempelajari dan mengumpulkan data geologi pada daerah
penelitian yaitu mencakup pemerian data geologi yang tersingkap di permukaan
bumi berupa geomorfologi, pengelompokan batuan menjadi satuan batuan
maupun stratigrafi, sejarah geologi dan geologi lingkungan, berdasarkan data
lapangan serta di dukung oleh data sekunder dari penelitian sebelumnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi
daerah penelitian yang meliputi Geomorfologi, Stratigrafi, Struktur Geologi, dan
Geologi Tata Lingkungan. Dari data tersebut ditampilkan dalam peta geologi
(detail) daerah penelitian dengan skala 1 : 25.000. Peta tersebut disajikan
dalam bentuk peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi dan
naskah laporan akhir. Peta tersebut diharapkan dapat digunakan untuk
kepentingan di bidang ilmu kebumian maupun sebagai acuan penelitian geologi
selanjutnya.

1.3. Lokasi dan Kesampaian Daerah


Daerah penelitian berada di daerah Semali dan Sekitarnya, Kecamatan
Sempor, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Secara administratif, daerah
penelitian termasuk dalam empat kecamatan yakni Kecamatan Sempor meliputi
Desa Donorejo, Desa Somagede, Desa Kenteng Desa Kedungwringin, Desa
Sempor, Desa Jatinegara, Desa Bonosari, Desa Semali, Desa Kedungjati, Desa
Bejiruyung, Desa Pekuncen. Kecamatan Karang Gayam meliputi Desa Penimbun,
Desa Binangun. Kecamatan Karanganyar meliputi Desa phokumbang, Desa
Grenggeng. Kecamatan Gombong meliputi Desa Wonosigro, Desa Sidayu, Desa
Semanding, Desa Klopogodo, Desa Gombong, Desa Wero, Desa Kedung Puji.
Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Daerah penelitian termasuk dalam
Peta Geologi Lembar Kebumen dengan skala 1:100.000. Dengan titik koordinat
UTM ZONE 49 S 340800 – 334800 mT 9168000 - 9159000 mU.
Daerah penelitian dapati ditempuh dari Yogyakarta menuju ke daerah
penelitian melalui jalur darat yaitu melalui Yogyakarta - Bantul - Purworejo -
Kebumen dengan jarak tempuh ± 129 km selama 2 jam 51 menit dengan
kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Lokasi pengamatan
3
dapat dicapai

4
dengan kendaraan bermotor roda dua.

Gambar 1.1. Kesampaian daerah (google maps 2021).

1.4. Permasalahan
Permasalahan yang didapati oleh penulis sewaktu penelitian usulan skripsi
berupa masalah geologi secara umum yang mencakup pengelompokkan sebaran
satuan litologi berdasarkan konsep lithostratigrafi dimana kurangnya data
sekunder dari peneliti terdahulu sehingga perlu adanya pemecahan masalah
geologi termasuk didalamnya meliputi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi
yang berkembang. Lebih lanjut adalah menghubungkan semua data tersebut untuk
menceritakan sejarah geologi daerah tersebut mengenai mekanisme dan
perkembangan proses pembentukan tiap batuan pada daerah penelitian dalam
ruang dan waktu geologi.

1.5. Rumusan Masalah


Dari hasil kajian awal geologi daerah penelitian, maka permasalahan
geologi dapat disusun sebagai berikut:

5
1. Bagaimana pengelompokkan satuan geomorfologi daerah penelitian
berdasarkan faktor pengontrol morfometri maupun morfogenesa serta
bagaimana kaitannya dengan stadia daerah penelitian ?
2. Bagaimana mengidentifikasi serta mengelompokkan satuan litologi penyusun
di daerah penelitian berdasarkan lithostratigrafi sesuai dengan Sandi Stratigrafi
Indonesia ?
3. Bagaimana kontrol struktur geologi (pola, kedudukan dan dimensi struktur
geologi) di daerah penelitian dalam hal ini kaitannya dengan litologi penyusun
dan dalam konteks ruang dan waktu ?

1.6. Batasan Masalah


Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dibatasi pada pemetaan geologi
permukaan dengan mengumpulkan data singkapan di lapangan berupa
pengamatan, penafsiran, pengukuran, penggambaran, dokumentasi dan
pengambilan data geologi permukaan. Selain itu, peneliti mencoba memberikan
gambaran secara umum tentang sebaran batuan di daerah penelitian berdasarkan
data sekunder yang sudah ada dan penulis batasi berdasarkan konsep
lithostratigrafi dan analisis laboratorium berupa analisis petrografi.

6
BAB II
METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah cara untuk menyelesaikan permasalahan-


permasalahan geologi yang dihadapi, baik di lapangan maupun di laboratorium
dan studio. Analisis laboratorium meliputi analisis geomorfologi, paleontologi,
petrografi, stratigrafi, dan struktur geologi yang dijumpai di lapangan maupun
data yang diambil dari lokasi penelitian. Secara umum metode penelitian yang
dilakukan peneliti dibagi menjadi dua yakni metode penelitian lapangan dan
metode penelitian laboratorium.

2.1. Metode Penelitian Lapangan


Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti di lapangan
menggunakan metode pemetaan geologi permukaan. Metode ini meliputi
pengamatan, pemerian, dan pengukuran langsung di lapangan pada kenampakan
data - data dan kondisi geologi yang tersingkap di permukaan bumi yang berupa
data singkapan batuan, struktur geologi, sesumber, dan bencana alam. Dalam
melakukan pengamatan, arah lintasan diusahakan sedapat mungkin tegak lurus
dengan arah jurus perlapisan batuan, sedangkan untuk pengambilan contoh
batuan dilakukan pada singkapan - singkapan yang segar dan dapat mewakili
kondisi sebenarnya di lapangan dan dapat diamati di laboratorium.
Metode pengelompokan lapisan - lapisan batuan hasil pemetaan geologi
di daerah penelitian dilakukan berdasarkan konsep lithostratigrafi yaitu untuk
menggolongkan batuan di bumi secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama
yang bersendi pada ciri-ciri litologi. Pada Satuan Litostratigrafi penentuan satuan
didasarkan pada ciri-ciri batuan yang dapat diamati di lapangan. Penentuan batas
penyebaran tidak tergantung kepada batas waktu. Sistem penamaan satuan
batuan yang digunakan pada lokasi penelitian adalah sistem penamaan satuan
tidak resmi yang tercantum dalam Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia 1996.

7
2.2. Metode Penelitian Laboratorium dan Studio
Metode penelitian laboratorium dan studio dilakukan dengan
menganalisa data yang telah didapat baik data primer maupun data sekunder.
Penelitian di laboratorium dilakukan dengan mengkomparasikan kedua data
tersebut yakni menganalisa data di lapangan dengan mengacu pada konsep dari
para peneliti terdahulu yang merupakan konsep-konsep dasar dalam ilmu geologi
dan telah banyak diakui maupun disepakati oleh kalangan ahli geologi.
Penelitian laboratorium merupakan penelitian yang dilakukan tidak di
lapangan, dimana sampel maupun data yang didapat dijauhkan dari variabel
pengganggu sebab dapat mempengaruhi hasil dari pengujian. Analisis yang
dilakukan dilaboratorium yaitu berupa analisis petrografi dan analisis
mikropaleontologi.
Dalam penelitian studio dilakukan untuk pembuatan peta geomorfologi,
analisis struktur, peta geologi dan penyususnan naskah. Dalam hal ini tujuan
analisis yang dilakukan di laboratorium maupun studio adalah untuk mendukung
hasil penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenaran maupun
keabsahannya.

2.3. Tahap Peneltian


Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam suatu sistem alur yang telah
ditetapkan oleh jurusan maupun pihak kampus yang penulis rangkum secara
sistematis (Gambar 2.1). Secara umum penelitian ini meliputi Input, Proses dan
Hasil. Alur penelitian ini secara umum di bagi menjadi dua tahap yang terdiri dari
usulan skripsi dan skripsi. Usulan skripsi meliputi Input yang terdiri dari
pendahuluan (studi pustaka, penyiapan peta dasar dan perijinan) dan
reconnaissance (pengenalan medan dan mengetahui keadaan singkapan) yang
bertujuan mengetahui kondisi geologi daerah penelitian secara umum. Proses ini
dimulai dari pengurusan surat izin ke Pemda Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten
Magelang, Kecamatan Kajoran dan Desa Madukoro. Setelah itu melakukan studi
pustaka, digitasi peta, dan survei awal. Dalam penentuan keadaan geologi secara
umum pada daerah penelitian digunakan metode pemetaan geologi permukaan

8
dengan pengamatan, pengukuran kedudukan perlapisan batuan, pengambilan
contoh batuan, dan sketsa langsung di lapangan. Dalam melakukan pengamatan,
dilakukan dengan pengambilan data selengkap-lengkapnya dengan melintasi
daerah-daerah yang mungkin dapat dijumpai singkapan. Setelah itu dilakukan
perhitungan morfometri, interpretasi awal daerah penelitian dan penyusunan
laporan usulan skripsi yang hasilnya berupa peta lokasi pengamatan hasil
reconnaissance, peta geomorfologi interpretasi, peta geologi interpretasi dan draft
laporan usulan skripsi.
Tahapan selanjutnya merupakan pemetaan detail dan disertai penelitian
mengenai masalah khusus pada daerah penelitian yang dikerjakan pada Tugas
Akhir 2. Secara umum pada tahapan tersebut terdiri dari input berupa pemetaan
rinci (perapatan data lapangan, pengukuran unsur - unsur struktur geologi dan
pengambilan contoh batuan), pekerjaan studio (identifikasi data geomorfologi,
stratigrafi dan data struktur geologi) dan pekerjaan laboratorium (sayatan tipis,
preparasi fosil). Proses dari skripsi ini meliputi penelitian mengenai kondisi
geologi rinci, analisis geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi, pengukuran
ketebalan dan perhitungan volume komposisi batuan, pengelompokan satuan
batuan, analisis fosil dan petrografi serta penyusunan laporan skripsi.

2.3.1. Tahap Persiapan


Tahap ini merupakan tahap paling awal dalam melakukan penelitian,
antara lain meliputi :
a. Pengajuan lembar peta topografi daerah penelitian yang akan dipetakan.
b. Pengajuan permohonan pembimbingan dari Ketua Program Studi Teknik
Geologi kepada Dosen Pembimbing.
c. Pengurusan Surat Tugas dari Rektor ITNY untuk Dosen Pembimbing.
d. Studi literatur, yang relevan dengan kondisi geologi daerah yang akan
diteliti dengan melakukan pengumpulan buku - buku pedoman dan mengkaji
satu - persatu sehingga dapat memperoleh suatu pendekatan yang dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian masalah.
e. Penyusunan dan pengajuan usulan Tugas Akhir kepada Dosen Pembimbing.
Dalam penyusunan proposal ini dilakukan juga interpretasi peta topografi

9
daerah penelitian dan hasil analisis tersebut merupakan analisis sementara
yang diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui gambaran umum tentang
keadaan geologi daerah penelitian.

2.3.2. Tahap Penelitian Lapangan Rinci


Tahap penelitian lapangan ini terdiri dari:
a) Pemetaan geologi detail, dilakukan dengan cara melewati lintasan yang melalui
singkapan-singkapan batuan dan pengambilan contoh batuan secara
sistematis. Pemetaan geologi detail ini bertujuan untuk mendapatkan data
secara langsung di lapangan yang meliputi unsur litologi dan penyebarannya,
struktur geologi, keadaan dan pola singkapan yang dapat diketahui, pola
penyebaran batuan dan geologi lingkungan yang ada di daerah penelitian.
b) Checking lapangan dengan dosen pembimbing yang bertujuan untuk
memeriksa hasil kerja lapangan yang dilakukan peneliti.
c) Re-mapping atau pengecekan ulang oleh peneliti untuk melengkapi data.

2.3.3. Tahap Penelitian Laboratorium dan Studio


Pada tahap ini dilakukan analisis petrografi, analisis mikropaleontologi
dan struktur geologi. Hal tersebut untuk menunjang analisis data yang diperoleh
secara langsung dari lapangan penelitian.

2.3.4. Tahap Penyusunan Laporan


Tahap penyusunan laporan ini meliputi,
a) Penggambaran peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi dan peta geologi.
b) Penyelesaian penampang geologi dan penampang geomorfologi.
c) Penyelesaian / pengetikan naskah laporan.

2.3.5. Tahap Presentasi


Tahap ini merupakan tahap presentasi laporan hasil penelitian yang telah
dilakukan untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitian dihadapan dosen
pembimbing dan dosen penguji.

10
Gambar 2.1. Diagram alir penelitian.

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Geologi Regional


3.1.1. Fisiografi
Secara fisiografi, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah – Jawa
Timur dengan tujuh zona (Gambar 3.1), dari utara ke selatan yaitu:
1. Zona Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa.
Dataran Aluvial Utara Jawa di Jawa Tengah membentang dari timur Cirebon
sampai ke Pekalongan. Kemudian dimulai lagi dari sekitar Kendal sampai
Semarang dan dari Semarang dataran alluvial ini melebar sampai di daerah
sekitar Gunung Muria.
2. Zona Rembang.
Zona ini merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat-timur,
mulai dari sebelah timur Semarang hingga Pulau Madura. Zona ini memiliki
lebar rata-rata 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala tektonik
Tersier Akhir. Zona ini terdiri atas sikuen mulai dari Eosen hingga Pliosen
yang berupa sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada zona
ini terdapat suatu tinggian (Tinggian Rembang) yang dibatasi oleh sesar
mayor berarah ENE-WSW.
3. Zona Depresi Tengah Jawa/zona Solo dan Zona Randublatung.
Zona Depresi Jawa Tengah memiliki morfologi yang relatif landai. Zona ini
menempati bagian tengah hingga selatan dari wilayah Jawa Tengah dan
menerus ke bagian utara pada Zona Randublatung.
4. Zona Gunungapi Kuarter.
Zona Gunungapi Kuarter memanjang dari sisi barat hingga timur pulau Jawa
dan terbentuk akibat aktivitas vulkanik berumur Kuarter. Di Jawa Tengah,
Zona Gunungapi Kuarter ini terdiri dari G. Slamet, G. Merbabu, G. Merapi,
G. Sindoro, G. Muria, G. Ungaran, G.Dieng dan G. Sumbing.
5. Zona Antiklinorium Bogor - Serayu Utara - Kendeng.

12
Zona Serayu Utara memiliki lebar 30 – 50 km. Di selatan Tegal, zona ini
tertutupi oleh produk gunungapi kuarter dari G. Slamet. Di bagian tengah
ditutupi oleh produk vulkanik kuarter G. Rogojambangan, G. Ungaran dan G.
Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan batas
antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis
di sebelah barat G. Slamet, sedangkan ke arah timur membentuk Zona
Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak di selatan Dataran Aluvial
Jakarta berupa antiklinorium dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dan
terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas antara Gunung
Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan berumur
Oligosen-Miosen Bawah yang diwakili oleh Formasi Pelang.
6. Zona Serayu Selatan.
Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengahyang
membentuk kubah dan pegunungan. Di bagian barat dari pegunungan Serayu
Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk anticlinorium yang
berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua di Pulau Jawa, yaitu
daerah Luk Ulo, Kebumen.
7. Zona Pegunungan Selatan.
Zona Pegunungan Selatan Jawa membentang dari Yogyakarta hingga ke Jawa
Timur. Zona ini memiliki morfologi tinggian, sehingga menciptakan
perbedaan morfologi yang signifikan dengan Zona Depresi Jawa Tengah yang
berada di sisi baratnya. Morfologi zona ini mencerminkan bentukan plato
sebagai hasil proses pengangkatan (uplifted peneplain) terhadap batuan
berumur Miosen. Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga sub-
zona, yaitu: Sub-zona Baturagung, sub-zona Wonosari dan sub-zona Gunung
Sewu.

13
Lokasi penelitian

Gambar 3.1. Fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (modifikasi dari Van
Bemmelen, 1994).

3.1.2. Stratigrafi Regional


Beberapa Peneliti terdahulu sudah melakukan beberapa penelitian yang
membahas stratigrafi regional daerah penelitian. Peneliti tersebut antara lain
adalah Asikin, dkk (1992) yang telah melakukan penelitian geologi terkait dengan
pemetaan yang mengahasilkan peta geologi regional lembar Kebumen dimana
daerah penelitian masuk didalam lembar peta tersebut, sehingga peneliti
menjadikan hasil penelitian tersebut sebagai acuan penelitian.
Berdasarkan peta geologi Lembar Kebumen daerah penelitian masuk
kedalam beberapa formasi. Formasi yang terdapat di daerah penelitian dari tua ke
muda adalah Formasi Karangsambung (Teok), Anggota Tuf Formasi Waturanda
(Tmwt), Formasi Waturanda (Tmw) Formasi Penosogan (Tmp) Formasi Halang
(Tmph) Aluvium (Qa). (Gambar 3.2).

3.1.2.1. Formasi Karangsambung (Teok)


Terdiri dari berbagai jenis batuan seperti Batulempung bestruktur sisik
dengan bongkah batugamping, konglomerat, batupasir, batugamping.

3.1.2.2. Anggota Tuf Formasi Waturanda (Tmwt)


Terdiri dari berbagai jenis batuan seperti Perselingan tuf kaca, Batupasir
Gampingan, dan Napal tufan.

14
3.1.2.3. Formasi Waturanda (Tmw)
Terdiri dari berbagai jenis batuan seperti Batupasir Kasar, breksi dan tuf.

3.1.2.4. Formasi Penosogan (Tmp)


Terdiri dari berbagai jenis batuan seperti Perselingan Batupasir
Gampingan, Batulempung, tuf, napal dan kalkarenit.

3.1.2.5. Formasi Halang (Tmph)


Terdiri dari berbagai jenis batuan seperti Perselingan Batupasir,
Batugamping, Napal, Tuf dan Sisipan Breksi.

3.1.2.6. Aluvium (Qa)


Terdiri dari Kerakal, kerikil, Pasir, Lanau, sepanjang sungai yang besar
dan dataran pantai.

Gambar 3.2. Peta geologi lembar Kebumen daerah penelitian (Asikin, dkk 1992).

15
Tabel 3.1. Kolom stratigrafi regional daerah penelitian (Asikin, dkk 1992).

3.1.3. Struktur Geologi


Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa tidak terlepas dari
teori tektonik lempeng. Kepulauan Indonesia merupakan titik pertemuan antara
tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Samudera
Pasifik yang bergerak relatif kearah baratlaut, dan Lempeng Indo-Australia yang
relatif bergerak ke arah utara (Hamilton, 1979). Van Bemmelen (1949) membagi
Pulau Jawa menjadi dua elemen struktur, yaitu Geosinklin Jawa Utara dan
Geantiklin Jawa Selatan. Kedua elemen tersebut memanjang berarah barat-timur.
Geosinklin Jawa Utara dikenal dengan nama Cekungan Jawa Timur Utara.
Struktur-struktur yang berkembang tersebut diakibatkan oleh pengangkatan yang
terjadi pada kala Intra Miosen dan pada kala Plio-Pleistosen (van Bemmelen,
1949). Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur
dominan yang berkembang di Pulau Jawa adalah (Gambar 3.3) :
- Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentuk pada 80
sampai 53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal).Pola ini
ditunjukkan oleh Tinggian Karimunjawa di kawasan Laut Jawa yang
diperkirakan menerus ke

16
arah baratdaya ke daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar
Cimandiri (Jawa Barat).
- Pola Sunda, berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun
yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah
yang paling dominan di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-
sesar yang dalam dan menerus sampai Sumatra. Pola ini merupakan pola
yang berumur lebih muda sehingga keberadaannya mengaktifkan kembali
Pola Meratus.
- Pola Jawa, berarah timur-barat (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu
sampai sekarang (Oligosen Akhir-Resen).Pola ini adalah pola termuda yang
mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya.
Struktur regional menurut Van Bemmelen bahwa G. Ungaran, G. Seropati-
Telomoyo, G. Sumbing, G. Merbabu dan G.Merapi adalah gunungapi yang
muncul di sebuah sesar besar yang menjadi batas timur bagian sempit Jawa
Tengah. Sesar ini berarah utara –baratlaut dan Selatan–Tenggara. Struktur
Geologi yang berkembang Yaitu struktur rim kaldera dan sesar –sesar normal
berarah baratdaya- timurlaut yang terbentuk akibat aktivitas G.Soropati-
Telomoyo, serta sesar-sesar mendatar berarah relative utara-selatan dan baratlaut-
tenggara yang merupakan struktur regional dan sebagian sudah ditutupi oleh
produk yang lebih muda.

Gambar 3.3. Tektonik regional (Pulunggono, 1994).


17
3.2. Geomorfologi
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kenampakan atau
roman muka bumi beserta proses-proses yang menyebabkannya. Dalam hal ini
ada 3 unsur yang penting dalam geomorfologi, yaitu material, proses, dan relief.
Unsur- unsur ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam penentuan
suatu bentukan geomorfologi umumnya terdapat beberapa aspek pendekatan salah
satunya adalah morfometri dan morfogenesa.

3.2.1. Klasifikasi Morfometri


Morfometri merupakan nilai aspek geomorfologi daerah, seperti
kemiringan lereng, titik ketinggian, panjang relief, dan kekerasan relief. Van
Zuidam (1979) telah membagi kelas relief berdasarkan kelerengan dan perbedaan
ketinggian (Tabel 3.2).

Tabel 3.2. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van
Zuidam& Cancelado, 1979).
Beda
No Relief Kemiringan Tinggi
1 Topografi dataran 0–2 <5
2 Topografi dataran bergelombang lemah 3–7 5 – 50
3 Topografi dataran bergelombang lemah - 8 – 13 25 – 75
dataran bergelombang kuat

Topografi dataran bergelombang kuat – 14 – 20 50 – 200

4 perbukitan
Topografi perbukitan – perbukitan tersayat 21 – 55 200 – 500

5 kuat
Topografi perbukitan tersayat kuat – 56 – 140 500 – 1000

6 pegunungan

7 Topografi pegunungan > 140 > 1000

18
3.2.2. Klasifikasi Morfogenesa
Pembagian morfogenesa didasarkan pada faktor pengontrol utama
proses geologi, hal tersebut mengacu pada klasifikasi van Zuidam (1983) yang
membagi satuan geomorfologi menjadi 8 satuan (Tabel 3.3), untuk setiap satuan
dicantumkan kode huruf dan untuk sub satuan dengan penambahan angka di
belakang. Untuk klasifikasi unit geomorfologi memakai dua klasifikasi yakni
klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal denudasional (Tabel 3.4) dan
Klasifikasi unit geomorfologi bentuk asal Fluvial (Tabel 3.5). Dengan
memperhatikan pada klasifikasi bentuk muka bumi yakni unit geomorfologi
bentuk lahan asal tersebut maka dapat membantu menganalisa morfogenesis untuk
mengetahui karakteristik dari masing – masing jenis unit pada satuan
geomorfologinya.

Tabel 3.3. Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem pewarnaan
(van Zuidam, 1983).
Genesa Pewarnaan

1 Denudasional (D) Coklat

2 Struktural (S) Ungu

3 Vulkanik (V) Merah

4 Fluvial (F) Biru tua

5 Marine (M) Hijau

6 Karst (K) Jingga

7 Glasial (G) Biru muda

8 Eolian (E) Kuning

19
Tabel 3.4. Klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal denudasional (D), (van
Zuidam, 1983).

Kode Unit Karakteristik Umum

D1 Denudational slopes and hills Lereng landai-curam menengah


(topografi bergelombang kuat), tersayat
lemah- menengah.

D2 Denudational slopes and hills Lereng curam menengah-curam


(topografi bergelombang kuat-berbukit),
tersayat menengah tajam.

D3 Denudational hills and Lereng berbukit curam-sangat curam


mountain hingga topografi pegunungan, tersayat
menengah tajam.

D4 Residual hills Lereng berbukit curam-sangat curam,


tersayat menengah. Monadnocks :
memanjang, curam, bentukan yang tidak
teratur.

D5 Paneplains Hampir datar, topografi bergelombang


kuat, tersayat lemah-menengah.

D6 Upwarped paneplains Hampir datar, topografi bergelombang


plateau kuat, tersayat lemah-menengah.

D7 Footslopes Lereng relatif pendek, mendekati


horisontal hingga landai, hampir datar,
topografi berge-lombang normal-tersayat
lemah.

20
Kode Unit Karakteristik Umum

D8 Piedmonts Lereng landai menengah, topografi


berge-lombang kuat pada kaki atau
perbukitan dan zona pegunungan yang
terangkat, tersayat menengah.

D9 Scarps Lereng curam-sangat curam, tersayat


lemah-menengah.

D10 Scree slopes and fans Landai-curam, tersayat lemah-menengah

D11 Area with several mass Tidak teratur, lereng menengah curam,
topografi bergelombang-berbukit, tersayat
movement menengah (slides, slump, and flows).

D12 Badlands Topografi dengan lereng curam-sangat


curam, tersayat menengah.

Tabel 3.5. Klasifikasi unit geomorfologi menurut Van Zuidam, 1983, bentukan
asal Fluvial (F).

Kode Unit Karakteristik Umum

F1 River beds Hampir datar, topografi tidak teratur


dengan garis batas permukaan air yang
bervariasi mengalami erosi dan bagian
yang terakumulasi.

F2 Lakes Tubuh air.

21
Kode Unit Karakteristik Umum

F3 Flood plains Hampir datar, topografi tidak teratur


lemah, banjir musiman.

F4 Fluvial levees, alluvial ridges Topografi dengan lereng landai,


and point bar berhubungan erat dengan peninggian dasar
oleh akumulasi fluvial.

F5 Swamps, fluvial basin Topografi landai – hampir landai


(swamp tree vegetation).

F6 Fluvial terraces Topografi dengan lereng hampir datar –


landai, terajam lemah – menegah.

F7 Active alluvial fans Lereng landai – curam menengah, biasanya


banjir dan berhubungan dengan peninggian
dasar oleh akumulasi fluvial.

F8 Inactive alluvial fans Lereng landai – curam menengah, jarang


banjir dan pada umumnya terajam lemah –
menengah.

F9 Fluvial-deltaic Topografi datar tidak teratur lemah, oleh


karena banjir dan peninggian dasar oleh
fluvial, dan pengaruh marine.

F10 Fluvial deltaic and basin Topografi datar hingga agak datar, banjir
teratur hingga jarang, Akumulasi lumpur
oleh kegiatan sungai , danau.

F11 Delta Hampir datar, topografi pematang atau


teras, banjir teratur atau jarang.

22
3.3. Jenis Pola Pengaliran
Pola pengaliran (drainage pattern) merupakan suatu pola dalam kesatuan
ruang yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang
saling berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969).
Perkembangan dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain adalah kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan, proses vulkanik
kuarter, serta sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage
basin). Pola yang paling menonjol menunjukan proses geologi yang dominan
yang berkembang dilokasi penelitian.
Beberapa pola aliran dasar yang mengacu pada pola pengaliran dasar dan
ubahan dari Howard (1967) adalah sebagai berikut (gambar 3.4):
1. Dendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon (pohon oak), dan cabang-
cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk
sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen
dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur. Contoh pada batuan beku
atau lapisan horisontal.
2. Paralel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada
daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada
daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini mempunyai
kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis. Contoh: Pada
lereng- lereng gunungapi atau sayap antiklin.
3. Trellis, menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang
sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan daerah
pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.
4. Rectangular, pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai yang
membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor kekar kekar
yang saling berpotongan dan juga sesar.
5. Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari satu
titik pusat berasosiasi pada kubah, tubuh gunungapi dan pada tipe-tipe bukit
kerucut yang terisolasi.

23
6. Annular, bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang
tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe
subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.
7. Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan-cekungan atau
danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau topografi karst.
8. Contorted, merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang terlihat
ada pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang bertekstur
kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki resistensi yang
sama.
9. Subdendritic, merupakan pola modifikasi dari pola aliran dendritic yang
secara umum dipengaruhi oleh struktur geologi.
10. Pinnate, merupakan pola modifikasi dari pola aliran dendritic yang dicirikan
oleh jarak yang berdekatan, banyaknya anak sungai yang memasuki induk
sungai dengan sudut tajam. Pola ini terlihat seperti bulu atau daun pakis. Pola
ini berkembang baik pada tekstur halus dan material yang mudah tererosi.
11. Anastomatic, merupakan pola modifikasi dari pola aliran dendritic yang
dicirikan oleh jaringan saluran yang saling menyambung, rawa dan oxbow
lake yang dapat ditemukan pada daerah dataran banjir, delta dan daerah rawa
pasang surut (tidal marshes).
12. Distributary, merupakan pola modifikasi dari pola aliran dendritic. Pola ini
ditemukan pada daerah kipas alluvial dan delta.
13. Subparallel, merupakan pola modifikasi dari pola aliran parallel. Pola ini
dipengaruhi oleh sedikit kontrol struktur geologi, kemiringan morfologi
menengah umumnya mempunyai batuan dengan resistensi yang seragam
terhadap erosi.
14. Colinear, merupakan pola modisikasi dari pola aliran parallel yang dicirikan
oleh kesejajaran aliran yang sungguh lurus yang kadang hilang dan muncul
lagi. Pola ini dapat ditemukan pada daerah linear loess dan sand ridges.
15. Recurved trellis, merupakan pola modifikasi dari pola aliran trellis. Pola ini
terbentuk pada daerah sekitar hidung dari plunging folds.

24
16. Directional trellis, merupakan pola modifikasi dari pola aliran trellis. Pola ini
umumnya dapat ditemukan pada daerah yang mempunyai lapisan homoclin.

Gambar 3.4. Jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967).

3.4. Stadia Sungai


Stadia sungai dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : tingkat
erosi, baik erosi vertikal maupun erosi horizontal, jenis batuannya, kemiringan
lereng, kedalaman, iklim, aktivitas organisme dan waktu. Menurut Thornbury
(1969), tingkat stadia sungai dapat dibagi menjadi tiga stadia yaitu :

25
1. Stadia Muda
Stadia ini dicirikan dengan sungai sangat aktif dan erosi berlangsung cepat,
erosi vertikal lebih besar daripada erosi lateral, lembah berbentuk V, tidak
terdapat dataran banjir, gradien sungai curam, ditandai dengan adanya jeram
dan air terjun, arus sungai deras, bentuk sungai relatif lurus.
2. Stadia Dewasa
Stadia ini dicirikan oleh kecepatan aliran berkurang, gradien sungai sedang,
dataran banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi
kesamping lebih kuat dibanding erosi vertikal pada tingkat ini sungai
mencapai kedalaman paling besar lembah berbentuk U
3. Stadia Tua
Stadia ini dicirikan oleh kecepatan aliran makin berkurang, pelebaran
lembah lebih kuat dibanding pendalaman sungai, dataran banjir lebih lebar
dibanding sabuk meander, lembah berbentuk U, danau tapal kuda, tanggul
alam lebih umum dijumpai daripada ketika sungai bertingkat dewasa.

3.5. Stadia Daerah


Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dibagi menjadi empat dan
mempunyai ciri tersendiri (Gambar 3.5), yaitu stadia muda, stadia dewasa, stadia
tua dan rejuvenation. Stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih tinggi
dengan lembah sungai yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan,
gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah berbentuk V, terkadang dijumpai
air terjun dan danau, kondisi geologi masih orisinil atau umumnya belum
mengalami proses deformasi. Stadia dewasa akan dicirikan oleh lembah sungai
yang membesar dan dalam dari sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam,
gradien sungai sedang aliran sungai berkelok-kelok, terdapat meander, umumnya
tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal. berimbang dengan erosi
lateral, lembahnya berbentuk
U. Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak berpola, sungai
berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai, terbentuk pulau-pulau
tapal kuda, arus sungai tidak kuat dan litologi relatif seragam. Urutan proses mulai
dari stadia muda sampai stadia tua dapat kembali berulang menjadi seperti stadia

26
muda lagi apabila terjadi peremajaan ulang (rejuvenation) atas suatu bentang
alam. Proses peremajaan ulang (rejuvenation) terbentuk apabila pada daerah yang
sudah mengalami stadia tua terjadi suatu proses epirogenesis atau orogenesis,
maka daerah dengan stadia tua tersebut terangkat kembali. Daerah yang terangkat
ini akan tersayat atau tertoreh lagi oleh proses eksogenik maupun oleh sungai-
sungai yang mengalir di daerah tersebut. Dari proses tersebut mengakibatkan
perubahan bentukan stadia morfologi menjadi stadia muda dengan tingkat erosi
daerah muda lagi.

Gambar 3.5. Stadia daerah menurut Lobeck (1939).

3.6. Stratigrafi
Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan, hubungan
dan kejadian (genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu
sedangkan dalam arti sempit ialah ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan.
27
3.6.1. Hubungan Stratigrafi
Stratigrafi yang berkembang pada suatu lapisan batuan biasanya memiliki
suatu hubungan antar satuan yang ada. Hubungan ini umumnya menggambarkan
proses yang dikontrol oleh waktu, litologi, erosi, dan posisi antar stratigrafi.
Hubungan antara suatu lapisan dengan lapisan lain baik vertikal maupun
horizontal dikenal dengan dua istilah yaitu ketidakselarasan dan keselarasan.

3.6.1.1. Keselarasan
Keselarasan (conformity) merupakan hubungan antara satu lapis batuan
dengan lapis batuan lainnya di atas atau di bawahnya yang bersifat kontinyu
(terus- menerus), tidak terdapat selang waktu pengendapan atau sedimentasi.
Secara umum jika di lapangan dapat ditunjukkan dengan kedudukan lapisan
(strike/dip) yang sama atau hampir sama. Selain itu keselarasan umumnya
menunjukan suatu gradasional dalam perlapisan batuan dilapangan (menerus).

3.6.1.2. Ketidakselarasan
Ketidakselarasan adalah hubungan antara satu lapis batuan dengan lapis
batuan lainnya (batas atas atau batas bawah) yang tidak kontinyu (tidak menerus).
Hal tersebut disebabkan oleh adanya rongga atau ruang saat pengendapan.
Ketidakselarasan dapat dikenali dari adanya umur yang berbeda (tidak menerus),
terdapat bidang erosional, dan perlapisan yang menyudut. Dalam ilmu geologi
dikenal 3 jenis ketidakselarasan:
1. Non-conformity merupakan ketidakselarasan yang terjadi di mana terdapat
fenomena lapisan batuan beku atau batuan metamorf yang di bawahnya
terdapat lapisan sedimen.
2. Paraconformity disebut juga dengan keselarasan semu, yaitu hubungan antara
dua lapisan sedimen yang terdapat suatu ketidakselarasan yang sejajar dengan
lapisan sedimen lainnya. Pada kasus tersebut, sulit sekali untuk melihat batas
ketidakselarasannya karena tidak ada batas bidang erosi. Cara yang
digunakan untuk melihat keganjilan antara lapisan tersebut adalah dengan
melihat fosil di tiap lapisan yaitu analisis Paleontologi yaitu dengan memakai
atau menghitung

28
kisaran umur fosil. Karena setiap sedimen memiliki umur yang berbeda dan
fosil yang terkubur di dalamnya pasti berbeda jenis pula.
3. Ketidakselarasan bersudut (angular unconformity) merupakan salah satu
jenisketidakselarasan yang wujudnya menunjukan suatu lapisan yang telah
terlipat dan terjadi erosi, kemudian di atas lapisan tersebut terdapat endapan
lapisan lainnya.
4. Disconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang terdapat
hubungan antara lapisan batuan sedimen yang dipisahkan oleh bidang erosi.
Fenomena ini terjadi karena sedimentasi terhenti dalam beberapa waktu dan
mengakibatkan lapisan paling atas tererosi sehingga menimbulkan lapisan
kasar.
3.6.2. Konsep Penyusunan Stratigrafi
Menurut Sandi Stratigrafi Indonesia (1996) terdapat beberapa konsep dalam
penyusunan stratigrafi antara lainl ithostratigrafi, vulkanostratigrafi,
kronostratigrafi, biostratigrafi, dan sikuenstratigrafi. Setiap konsep satuan
memiliki perbedaan dalam penyusunan stratigrafi yang ada.

3.6.2.1. Konsep Lithostratigrafi


Pembagian Litostratigrafi dimaksud untuk menggolongkan batuan di bumi
secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama yang bersendi pada ciri-ciri
litologi. Pada Satuan Litostratigrafi penentuan satuan didasarkan pada ciri-ciri
batuan yang dapat diamati di lapangan. Penentuan batas penyebaran tidak
tergantung kepada batas waktu. Batas satuan litostratigrafi ialah sentuhan antara
dua satuan yang berlainan ciri litologi, yang dijadikan dasar pembeda kedua
satuan tersebut. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata, batasnya
merupakan bidang yang diperkirakan kedudukannya (batas arbitrer). Satuan-
satuan yang berangsur berubah atau menjari-jemari, peralihannya dapat
dipisahkan sebagai satuan teresendiri apabila memenuhi persyaratan Sandi.
Penyebaran suatu satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh kelanjutan
ciri-ciri litologi yang menjadi ciri penentunya. Dari segi praktis, penyebaran suatu
satuan litostratigrafi dibatasi oleh batas cekungan pengendapan atau aspek
geologi lain. Batas-batas daerah

29
hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai alasan berakhirnya
penyebaran lateral (pelamparan) suatu satuan.

3.7. Struktur Geologi


Struktur geologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan
unsur-unsur struktur geologi dan hasil analisis dari data-data pengukuran di
lapangan. Struktur geologi pada batuan merupakan sebagai akibat adanya gaya
kompresi yang disebabkan oleh tektonik. Struktur tersebut dapat berupa kekar,
sesar, ataupun lipatan. Secara geometri, unsur struktur geologi dianggap sebagai
bidang-bidang dan garis-garis.

3.7.1. Kekar
Kekar (joint) adalah struktur rekahan dalam batuan yang belum
mengalami pergeseran, merupakan hal yang umum bila terdapat pada batuan dan
bisa terbentuk pada setiap waktu. Pada batuan sedimen, kekar bisa terbentuk
mulai pada saat pengendapan atau terbentuk setelah pengendapan, dalam batuan
beku bisa terbentuk akibat proses pendinginan maupun setelah pendinginan.
Dalam proses deformasi, kekar bisa terjadi pada saat mendekati proses akhir atau
bersamaan dengan terbentuknya struktur lain, seperti sesar atau lipatan. Selain itu
kekar bisa terbentuk sebagai struktur penyerta dari struktur sesar maupun lipatan
yang diakibatkan oleh tektonik.
Pemodelan dan analisis kekar menggunakan pendekatan klasifikasi
Billings (1974) yang menerangkan mengenai struktur geologi pada batuan sebagai
akibat adanya gaya kompresi yang disebabkan oleh tektonik (Gambar 3.7).
Berdasarkan cara terjadinya kekar dapat dikelompokan menjadi kekar tekanan
dan kekar tarikan berdasarkan klasifikasi Twiss dan Moore, 1992 (Tabel 3.6. dan
Gambar 3.6).

Tabel 3.6. Jenis dan karakteristik kekar berdasarkan cara terjadinya (Twiss
dan Moore, 1992).

Jenis Kekar Karakteristik

30
Jenis Kekar Karekteristik

 Bidangnya licin/ rata


 Memotong seluruh batuan
 Memotong butir – butir komponen
Tekanan/ Gerus pada konglomerat
(Compression/ Shear  Berpasangan
Joints)  Memotong bidang perlapisan dengan
sudut tertentu
 Pada batuan metamorf akan memotong
foliasi.
 Tertutup
 Bentuk terbuka
 Bidang yang tidak teratur.
Tarikan (Tension  Mengelilingi butir konglomerat rata
joints/ Extension
dan butir pola kekar komponen tidak
Joints)
pada
 Umumnya tidak berpasangan

Gambar 3.6. Jenis (mode) rekahan pada batuan (Twiss dan Moore,1992).

31
Gambar 3.7. Jenis kekar berdasarkan genesa (Billings, 1974).

3.7.2. Sesar
Sesar atau patahan terjadi ketika suatu batuan mengalami retakan terlebih
dahulu yang kejadian ini berkaitan erat dengan tekanan dan kekuatan batuan yang
mendapatkan gaya sehingga timbul adanya retakan (fracture). Tekanan yang
diberikan mampu memberikan perubahan pada batuan dengan waktu yang sangat
lama dan hingga memberikan gerakan sebesar seperseratus sentimeter dan bahkan
sampai beberapa meter. Suatu sesar dapat berupa bidang sesar (Fault Plain) atau
rekahan tunggal. Tetapi sesar dapat juga dijumpai sebagai semacam jalur yang
terdiri dari beberapa sesar minor.
Jalur sesar atau jalur penggerusan, mempunyai dimensi panjang dan lebar
yang beragam, dari skala minor sampai puluhan kilometer. Kekar yang
memperlihatkan pergeseran bisa juga disebut sebagai sesar minor. rekahan yang
cukup besar akibat regangan, amblesan, longsor, yang disebut fissure, tidak
termasuk dalam definisi sesar. Beberapa indikasi umum adanya sesar adalah
kelurusan pola pengaliran sungai, pola kelurusan punggungan, kelurusan gawir,

32
gawir dengan triangular facet, keberadaan mata air panas, keberadaan zona
hancuran, keberadaaan kekar, keberadaan lipatan seret (Dragfold), keberadaan
bidang gores garis (Slicken Side) dan slicken line dan adanya tatanan stratigrafi
yang tidak teratur.
Penentuan jenis sesar dan orientasi sesar ditentukan oleh parameter bidang
sesar (Gambar 3.8) yang terdiri dari:
 Strike (𝜑) : Adalah sudut yang dibentuk oleh jurus sesar dengan arah utara.
Strike diukur dari arah utara kearah timur searah dengan jarum jam hingga
jurus patahan (0° ≤ 𝜑 ≤ 360°).
 Dip (𝛿) : Adalah sudut yang dibentuk oleh bidang sesar dengan bidang
horizontal dan diukur pada bidang vertikal dengan arahnya tegak lurus
jurus patahan (0° ≤ 𝛿 ≤ 90°).

 Rake (𝜆) : Adalah sudut yang dibentuk arah slip dan jurus patahan. Rake
berharga positif pada patahan naik (Thrust Fault) dan negatif pada patahan
turun (Normal Fault) (−180° ≤ 𝜆 ≤ 180°).

Gambar 3.8. Ilustrasi parameter bidang sesar (Gok, 2008).

33
 Plunge (p) : Adalah sudut yang dibentuk oleh struktur garis tersebut
dengan bidang horizontal, diukur pada bidang vertikal. Trend (β) : Adalah
arah dari proyeksi struktur garis ke bidang horizontal (Gambar 3.9).

Gambar 3.9. Gambar ilustrasi parameter bidang sesar plunge dan trend (Gok,
2008).

Menurut klasifikasi Anderson (1951) jenis sesar dibagi berdasarkan atas


principle stress. Principle stress adalah stress yang bekerja tegak lurus bidang
sehingga nilai komponen shear stress pada bidang tersebut adalah nol. Bidang
tersebut dikenal sebagai bidang utama. Terdapat tiga principal stress yaitu 𝑆1, 𝑆2,
dan 𝑆3, dimana 𝜎1(𝑆1) > 𝜎2(𝑆2) > 𝜎3(𝑆3). Dari tiga sumbu tersebut dipisahkan
menjadi dua sumbu berdasarkan orientasi sumbu, yaitu sumbu horizontal (𝑆ℎ) dan
sumbu vertikal (𝑆𝑣), dimana 𝑆ℎ terdiri dari dua sumbu yaitu sumbu horizontal
maksimum (𝑆ℎ𝑚𝑎𝑥) dan sumbu horizontal minimum (𝑆ℎ𝑚𝑖𝑛), sedangkan 𝑆𝑣 hanya
memiliki satu sumbu saja. Sumbu inilah yang mengontrol terbentuknya klasifikasi
sesar (Gambar 3.10) yaitu:

34
1. Sesar normal (normal fault) terbentuk apabila 𝑆𝑣 merupakan principle
stress maksimum, 𝑆ℎ𝑚𝑎𝑥 adalah principle stress menegah, dan
𝑆ℎ𝑚𝑖𝑛 merupakan principle stress minimum.
2. Sesar naik (reverse fault) terbentuk apabila 𝑆ℎ𝑚𝑎𝑥 merupakan principle
stress maksimum, 𝑆ℎ𝑚𝑖𝑛 adalah principle stress menegah, dan 𝑆𝑣
adalah principle stress minimum.
3. Sesar mendatar (strike-slip fault) terbentuk apabila 𝑆ℎ𝑚𝑎𝑥 merupakan
principle stress maksimum, 𝑆𝑣 adalah principle stress menegah, dan
𝑆ℎ𝑚𝑖𝑛 merupakan principle stress minimum. Sesar mendatar terbagi atas:
a. Sesar Mendatar Sinistral, yaitu sesar mendatar yang blok batuan
kirinya lebih mendekati pengamat.
b. Sesar Mendatar Dextral, yaitu sesar mendatar yang blok batuan
kanannya lebih mendekati pengamat.

Gambar 3.10. Jenis sesar dan principal stress pembentukannya. P berarti pressure
(zona kompresi/tekanan), T berarti tension (zona regangan), dan B
adalah titik tengah. (Anderson, 1951).

35
3.7.3. Kinematika Sesar
Analisa kinematika merupakan analisa rekonstruksi dari pergerakan yang
terjadi pada saat proses deformasi batuan yang terjadi disemua skala. Analisis
kinematika merupakan salah satu metode analisis sesar yang menggunakan
parameter orientasi struktur geologi, dan sudut geser dalam batuan yang
diproyeksikan pada stereonet.
Klasifikasi menurut Rickard (1972) secara sederhana menjelaskan sesar
berdasarkan faktor besaran pergeseran dan pergrakan dari bidang sesar, besaran
nilai ini dinotasikan sebagai Net slip, yang dapat diperoleh dilapangan dari
perpotongan struktur garis gores garis atau cermin sesar dengan bidang sesar.
Klasifikasi sesar menurut Rickard (1972) mengacu pada nilai pitch/rake dari Net
slip dan nilai dip dari bidang sesar, yang dituangkan dalam suatu diagram untuk
menentukan jenis sesar dengan nilai pitch dan dip tertentu (Gambar 3.11).

Gambar 3.11. Klasifikasi sesar (Rickard, 1972).

3.7.4. Model Harding


Model Harding (1973) menjelaskan tentang hubungan struktur penyerta
dengan sesar utamanya, arah pergerakan sesar akan menuju sudut lancip dari gash

36
fracture. Jika tidak terdapat gash fracture maka pergerakan didekati dengan σ2
yang merupakan titik perpotongan 2 shear dengan asumsi dalam kondisi satu
tegangan (gambar 3.12). Perbedaan yang paling mendasar dari model Moody dan
Hill, dengan Harding adalah arah gaya pembentuknya. Jika Moody dan Hill lebih
meyakini pure shear sebagai gaya penyebab terbentuknya shear. Sedangkan
konsep Harding lebih condong ke simple shear.

Gambar 3.12. Model simple shear (Harding, 1973).

Simple shear merupakan deformasi yang terjadi pada sumbu yang


parallel dan memiliki arah gaya yang berlawanan. Pada simple shear terjadi suatu
rotasi. Model Riedel muncul di dalam sepasang sesar mendatar yang saling
sejajar. Di dalam zona sesar tersebut akan berkembang struktur– struktur geologi
sebagai berikut (gambar 3.13).
1. Sesar mendatar Riedel ditandai dengan adanya sepasang Riedel Shear (R dan
R1) yang berarah 300 terhadap tegangan maksimum (σ1) Pergerakan dalam
Riedel Shear terhadap R disebut sebagai synthetic faults yang relatif sejajar
dengan Major Faults. R1 merupakan arah berikutnya setelah terjadi R yang
disebut sebagai antithetic faults dengan pergerakan memotong major faults.
Dalam
37
suatu sistem yang lain akan timbul pula synthetic P dan X sebagai antithetic
faults.
2. Tegangan utama σ1 membentuk sudut 450 terhadap major faults.
3. Sesar mendatar synthetic dan antithetic muncul dan berkembang selama Simple
Shear dapat pula menentukan pola patahan lainnya.

Gambar 3.13. Pemodelan Simple Shear (Riedel, 1929).

3.7.5. Lipatan
Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk suatu bahan yang yang bersifat
plastis, dan tidak mudah untuk patah, oleh karena itu lipatan pada batuan biasanya
terjadi sebelum terbentuknya patahan pada batuan, ditunjukkan sebagai
lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di dalam
bahan tersebut (Gambar 3.14). Lipatan merupakan salah satu tipe struktur geologi
yang paling biasa terdapat. Ukurannya sangat bervariasi, dan mempengaruhi tipe
permukaan batuan yang berbeda: stratifikasi, belahan (cleavage), schistosity,
sesar, joints. Lipatan muncul di beberapa lingkungan geologi yang berbeda tapi
merupakan hasil yang paling tipikal dari deformasi intensif suatu busur orogenik
Pembentukan lipatan dapat dapat terjadi melalui proses:
 Buckling, yaitu karena proses penekanan lateral dari suatu bidang planar.
Proses pelengkungan terjadi pada kedua sisi selama terjadi pemendekan.
 Bending, yaitu karena pengaruh gerakan vertikal pada suatu lapisan, misalnya

38
penurunan lapisan, pergeseran pada jalur gerus, atau pelengseran suatu masa
batuan pada bidang yang tidak rata.

Gambar 3.14. Mekanisme gaya penyebab terbentuknya suatu lipatan (Twiss


and Moore, 1992).

Lipatan dapat dijumpai dalam berbagai bentuk (geometri), yang disebut


sebagai “fold style” dan ukuran. Variasi geometri lipatan terutama tergantung
pada sifat dan keragaman bahan, dan asal kejadian mekanik pada saat proses
perlipatan. Beberapa titik pada profil permukaan dideskripksikan antara lain
(Gambar 3.15):
a. Hinge point adalah titik maksimun pelengkungan pada lapisan yang terlipat
b. Crest adalah titik tertinggi pada pelengkungan
c. Trough adalah titik terendah pada pelengkungan
d. Inflection point adalah titik batas dari dua pelengkungan yang berlawanan
e. Fold axis (sumbu lipatan/ hinge line) adalah garis maksimum pelengkungan
pada suatu permukaan bidang yang terlipat
f. Axial plane (bidang sumbu) adalah bidang yang dibentuk melalui garis-garis
sumbu pada suatu lipatan. Bidang ini tidak selalu berupa bidang lurus
(planar), tetapi dapat melengkung yang umum disebut sebagai axial surface.
g. Fold limb (sayap lipatan) adalah sisi-sisi dari bidang yang terlipat yang
berada diantara daerah pelengkungan (hinge zone) dan batas pelengkungan
(inflection line).

39
Gambar 3.15. Unsur – unsur lipatan (Fleuty, 1964;dalam Ragan, 1973).

Lipatan merupakan struktur tiga dimensi, dan setiap lipatan biasanya


mempengaruhi banyak sekali permukaan batuan sehingga bentuk lengkap suatu
lipatan bisa sangat kompleks. Deskripsi sebuah lipatan melibatkan geometri
(bentuk, ukuran) dan orientasi, ditentukan oleh keterangan dari penampakan
geometri sampai koordinat geografi (Fleuty, 1964).
Dalam rekontruksi lipatan dilakukan berdasarkan hasil pengukuran
kedudukan lapisan dari lapangan, atau pembuatan penampang dari peta geologi.
Metode yang digunakan adalah metode busur lingkar (arc methode), dasar dari
metode ini adalah anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk busur dari suatu
lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara sumbu – sumbu kemiringan
yang berdekatan.
Rekontruksi lipatan bisa dilakukan dengan menghubungkan busur
lingkaran secara langsung apabila data yang ada hanya kemiringan dan batas
lapisan hanya setempat (Busk, 1928, dalam Prastistho, 1993). Apabila batas –
batas lapisan dijumpai berulang pada lintasan yang akan direkonstruksi, maka
pembuatan busur lingkaran dilakukan dengan metode interpolasi, yaitu
berdasarkan data yang telah didapat di lapangan ataupun dengan menggunakan
metode rekontruksi lainnya (Prastistho, 1993). Penggunaan arc methode (metode
busur lingkar) dalam restorasi penampang seimbang sangat berperan penting
karena memudahkan dalam perhitungan panjang lapisan dan luas area lapisan.

40
Langkah pertama dalam rekonstruksi penampang dengan menggunakan
arc methode (metode busur lingkar) yaitu menyajikan data kedudukan lapisan dan
data batas satuan stratigrafi sebagai data dasar. Kemudian membuat garis – garis
tegak lurus terhadap kemiringan lapisan pada setiap lokasi pengukuran. Garis –
garis tersebut akan saling berpotongan di titik “O” (Gambar 3.16). titik “O”
tersebut merupakan pusat lingkaran untuk membuat busur sebagai rekonstruksi
lipatan.

Gambar 3.16. Rekonstruksi lipatan dengan metode busur lingkar (arc methode)
(Busk, 1928).

41
BAB IV
INTERPRETASI AWAL GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Interpretasi awal geologi daerah penelitian merupakan tahap interpretasi


peneliti pada daerah penelitian meliputi aspek-aspek geologi yang berkembang di
daerah penelitian. Pada tahapan awal ini dilakukan suatu analisis serta sintesa
awal pada daerah penelitian. Interpretasi awal tersebut didasarkan pada hasil data
penelitian awal (reconnaissance) dan data sekunder yang diperoleh sehingga
peneliti memiliki gambaran awal terhadap aspek-aspek geologi yang terdapat pada
daerah penelitian. Aspek-aspek geologi tersebut terdiri atas geomorfologi,
stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi dari daerah penelitian.

4.1. Geomorfologi
Aspek-aspek yang akan dikaji dalam pembahasan geomorfologi di daerah
penelitian yaitu meliputi: satuan geomorfologi, pola pengaliran, stadia sungai,
stadia daerah, dan proses geomorfologi (morfogenesis). Pembagian satuan
geomorfologi daerah penelitian dibagi dengan berdasarkan klasifikasi bentuk
muka bumi (BMB) van Zuidam (1983). Klasifikasi bentuk muka bumi memiliki
prinsip dasar pembagian satuan geomorfologi dengan mengacu pada proses-
proses geologi baik endogen maupun eksogen dengan mempertimbangkan pula
aspek lainnya. Namun dalam proses pengklarifikasian bentang alam pada daerah
penelitian menjadi satuan-satuan bentang alam bernama berdasarkan klarifikasi
bentuk muka bumi dirasa terdapat beberapa kekurangan terutama pada aspek
morfometri. Klasifikasi bentuk muka bumi pada pengaplikasiannya tidak dapat
memberikan gambaran secara kuantitatif sehingga pada penelitian ini peneliti juga
mengacu kepada klasifikasi morfometri van Zuidam (1983) dan van Zuidam &
Cancelado (1979) sebagai data pendukung atau pelengkap pemerian masing-
masing satuan geomorfologi.

4.1.1. Satuan Geomorfologi


Berdasarkan hasil perhitungan beda tinggi dan kelerengan (morfometri)
(Lampiran 3) pada peta topografi serta melihat morfogenesa yang ada di daerah

42
penelitian, maka Satuan geomorfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi
beberapa satuan yang terdiri atas: Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Kuat
Struktural (S9), Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat dan Perbukitan
Denudasional (D1), Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Kuat Denudasional
(D2), Satuan Geomorfologi Danau (waduk) (F2), dan Satuan Geomorfologi
Dataran Fluvial (F1).

4.1.1.1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Kuat Struktural


Satuan geomorfologi ini menempati +/- 55% dari total keseluruhan luas
daerah penelitian serta terletak dari bagian tengah dari lokasi penelitian. Satuan ini
dicirikan dengan pola sungai sub dendritic sampai trelis yang mengindikasikan
adanya struktur geologi yang berkembang. Satuan ini tersebar di bebrapa lokasi
yang meliputi desa Bonosari, desa Jatinegara, desa Sempor, desa Semali, desa
Penimbun, desa Donorejo, desa Somagede, desa Binangun dan sebagian berada di
desa Kedungwringin. desa kenteng, sebagian desa binangun, sebagian desa
semali, sebagian desa kedungwringi dan sebagian desa sempor. Satuan ini
tersusun atas dominasi litologi tuf dan breksi yang dikontrol oleh proses struktur
geologi berupa lipatan antiklin. Berdasarkan perhitungan nilai sayatan lereng,
satuan ini memiliki kemiringan lereng rata-rata 30,5% dengan beda tinggi rata-
rata 82,5 meter.(Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Kuat Struktural foto


diambil pada koordinat UTM 339350 mT dan 9165201 mU, lensa
kamera menghadap arah Utara.

43
4.1.1.2. Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat-Perbukitan Denudasional
Satuan geomorfologi ini menempati +/- 20% dari total keseluruhan luas
daerah penelitian serta terletak dibagian tengah dari lokasi penelitiam yang
ditandai dari relief kontur yang relatif renggang. Satuan ini tersebar di bebrapa
lokasi yang meliputi desa Kedungjati, desa Pohkumbang, desa Grenggeng dan
sebagian desa Pekuncen. Satuan ini memiliki kemiringan lereng rata-rata 17.9%
dengan beda tinggi rata-rata 58 meter. Pola pengaliran yang berkembang pada
satuan ini yaitu rectangular dan bagian selatan dendritik. Satuan geomorfologi ini
tersusu oleh litologi batulempung dan batupasir . Tata guna lahan pada satuan
geomorfologi terdiri atas permukiman dan tegalan. (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat-Perbukitan Denudasional


foto diambil pada koordinat UTM 338137 mT dan 9163536 mU,
lensa kamera menghadap arah Timur.

4.1.1.3. Satuan Geomorfologi Danau (Waduk)


Satuan geomorfologi ini menempati +/- 10% dari total keseluruhan luas
daerah penelitian terletak dibagian barat dari lokasi penelitian. Satuan
geomorfologi ini tersebar yang meliputi desa Kedungwringin tepatnya pada
waduk sempor.

44
Satuan ini merupakan tubuh air yang terbentuk dari proses pembendungan sungai.
Satuan geomorfologi ini tersusun oleh litologi berupa Breksi andesit. Satuan
geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai sumber irigasi, tempat wisata dan sarana
transportasi air. (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Satuan Geomorfologi Danau waduk foto diambil pada koordinat
UTM 335750 mT dan 9165858 mU, lensa kamea menghaap arah
Utara.

4.1.1.4. Satuan Geomorfologi Dataran Fluvial


Satuan geomorfologi ini menempati +/- 15 dari total keseluruhan luas
daerah penelitian terletak dibagian selatan dari lokasi penelitian. Satuan
geomorfologi ini tersebar meliputi desa Kedungpuji, desa Wero, desa Gombong,
desa Wonokiryo, desa Semanding, desa Sidayu, desa Wonosigro, desa
Bejiruyung, desa pekuncen dan desa Klopogodo. Satuan geomorfologi ini
memiliki kemiringan rata-rata 2% dengan beda tinggi rata-rata 4 meter. Satuan
geomorfologi ini tersusu oleh endapan aluvium. Tata guna lahan pada satuan
geomorfologi terdiri atas permukiman. (Gambar 4.4).

45
Gambar 4.4. Satuan Geomorfologi Dataran Fluvial lensa kamera mengadap arah
Selatan foto diambil pada koordinat UTM 336376 mT dan 9165676
mU, lensa kamera menghadap arah Selatan.

4.1.2. Pola Pengaliran


Pola pengaliran (drainage pattern) merupakan suatu pola dalam
kesatuan ruang yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu
sungai yang saling berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury,
1969). Pola pengaliran merupakan bagian penting dari tahapan geomorfologi yang
berhubungan erat dengan topografi dan sistem hidrologi daerah penelitian yang
hubunganya dengan curah hujan dan merupakan sifat-sifat yang paling penting
untuk klasifikasi bentang alam Perkembangan dari pola pengaliran dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah kemiringan lereng, perbedaan
resistensi batuan, proses vulkanik Kuarter, sejarah geologi, dan stadia
geomorfologi dari cekungan pola pengaliran (drainage basin). Pembagian jenis
pola pengaliran didasarkan atas data alur sungai dan lembah pada peta topografi
maupun citra DEMNas maupun pengamatan lapangan. Pola pengaliran di daerah
penelitian berdasarkan jenis-jenis pola aliran sungai menurut klasifikasi
(Howard,1967). Berdasarkan pengamatan peta topografi maupun pengamatan
di lapangan, pola

46
pengaliran di daerah penelitian terdapat 4 jenis pola pengaliran yaitu Pola
pengaliran dendritic, pola pengaliran rectangular, pola pengaliran Sub Paralel, dan
pola pengaliran sub dendritic. (Gambar 4.5).

Gambar 4.5. Peta pola pengaliran daerah penelitian.

1. Pola Pengaliran Dendritik


Pola Aliran dendritik adalah pola aliran yang percabangannya menyerupai
struktur pohon. Pada umumnya, pola aliran dendritik dikontrol oleh litologi
batuan yang homogen. Pola aliran dendritik dapat memiliki tekstur/kerapatan
sungai yang dikendalikan oleh jenis batuannya. Pola pengaliran ini tersebar
dibagian selatan
47
pada lokasi penelitian. Pola pengaliran ini meliputi +/- 35 % dari luas total daerah
penelitian.
2. Pola Pengaliran Rectangular
Pola rectangular umumnya berkembang pada batuan yang resistensi terhadap
erosi yang mendekati seragam, namun dikontrol oleh kekar atau struktur geologi
pada lokasi penelitian. Pola pengaliran ini tersebar dibagian Tengah dari lokasi
penelitian. Pola pengaliran ini meliputi +/- 15 % dari luas total daerah penelitian.
3. Pola Pengaliran Sub Paralel
Pola pengaliran ini merupakan pola pengaliran ubahan dari pola aliran utama
paralel. Pada umumnya berkembang pada morfologi dengan kemiringan
menengah, dikontrol oleh lereng, litologi, dan struktur, lapisan batuan relatif
seragam resistensinya. Pola pengaliran ini tersebar dibagian utara dari lokasi
penelitian dan berkembang pada morfologi lereng curam-landai. Pola pengaliran
ini meliputi +/- 20 % dari luas total daerah penelitian.
4. Pola Pengaliran Sub Dendritik
Pola pengaliran sub dendritik merupakan pola pengaliran ubahan dari pola
pengaliran utama dendritik yang sudah mulai berkembang proses-proses struktur.
Pola ini dipengaruhi oleh sedikit kontrol topografi, kemiringan morfologi
menengah, umumnya mempunyai batuan dengan resistensi yang seragam.
Umumunya pola pengaliran ini berkembang pada batuan yang homogen. Pola
pengaliran ini meliputi +/- 30 % dari luas total daerah penelitian.

4.1.3. Stadia Sungai


Berdasarkan pengamatan lapangan terdapat 1 sungai utama yang mengalir
melalui lokasi penelitian yaitu sungai pogung yang berhulu di Desa Binangun.
Sungai Pogung mengalir melewati Desa Kenteng, Semali, Kedung jati, Pekuncen,
Wonosigro, Klopogodo, Kedung puji, dan Glenggeng berupa Alluvial Stream.
Karakteristik lembah di lapangan menunjukan kenampakan seperti “U” yang
menandakan tingkat erosional horizontal relatif dominan dan proses inilah yang
membentuk morfologi bentukan asal fluvial disekitar Desa Wonosigro,
Klopogodo, Pekuncen, dan Kedung Puji (Gambar 4.6). Berdasarkan ciri dan
karakteristik yang

48
ada maka stadia Sungai Pogung menurut Thornbury (1969) adalah masuk kategori
stadia dewasa.

Gambar 4.6. Stadia sungai dewasa Sungai Pogung foto diambil pada koordinat
UTM 337327 mT dan 9160502 mU, lensa kamera menghadap
arah Utara.

4.1.4. Stadia Daerah


Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa
jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. stadia daerah dapat
ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan kondisi sungai yang
terdapat di daerah tersebut. Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi,
struktur geologi dan morfologi (proses) baik proses endogen maupun proses
eksogen.
Berdasarkan keadaan morfologi serta intensitas proses eksogenik dan bukti
- bukti lain di lapangan yaitu berupa proses penelanjangan akibat denudasioal
yang mengontrol suatu bentukan morfologi sangat dominan pada lokasi
penelitian. Berbagai tempat pada lokasi penelitian masih menunjukan
kenampakan morfologi lembah sungai yang sangat terjal dan curam. Hal ini juga
sangat tercermin pada kontur yang sangat rapat. Berdasarkan ciri dan
karakteristik yang ada kemudian membandingkan terhadap model tingkat stadia
menurut Lobeck (1939), maka dapat disimpulkan secara umum stadia daerah
penelitian termasuk kedalam stadia dewasa (Gambar 4.7).

49
Gambar 4.7. Stadia daerah penelitian.

4.2. Stratigrafi Daerah Penelitian


Stratigrafi daerah penelitian secara regional masuk kedalam Peta Geologi
Regonal Lembar Kebumen (Asikin,dkk 1992). Secara regional daerah penelitian
tersusun atas 5 formasi yang berbeda berturut-turut dari tua ke muda: Anggota
Waturanda (TMWT), Formasi Waturanda (TMW), Formasi Penosogan (TMP),
Formasi Halang (TMPH), serta Endapan kuarter (QA).
Penyusunan stratigrafi pada daerah penelitian mengacu pada pembagian
litostratigrafi tidak resmi, penamaan satuan batuan berdasarkan ciri fisik litologi
yang dominan menyusun satuan tersebut dan diikuti nama formasinya. Untuk
penentuan umur dan hubungan antar satuanya peneliti mengacu pada Peta Geologi
Regional Lembar Kebumen (Asikin dkk 1992). Dalam penamaan satuan batuan
tersebut mengacu pada Sandi Stratigrafi Indonesia (1996). Berdasarkan hasil
pemetaan awal (recognize), satuan stratigrafi batuan daerah penelitian tersusun
atas satuan dengan urutan tua ke muda yaitu: Satuan Batuan Tuf Waturanda,
Satuan Batuan Breksi Andesit Waturanda, Satuan Batuan Batulempung
Karbonatan
50
Penosogan, Satuan Batuan Batupasir karbonatan Halang, Satuan Batuan Endapan
Pasir-kerkal.

4.2.1. Satuan Batuan Tuf Waturanda


Satuan ini tersusun oleh litologi berupa tuf. Secara megaskopis memiliki
karakteristik warna putih keabuan, ukuran butir sedang, kemas tertutup. Struktur
berupa perlapisan yang sangat baik. Satuan ini merupakan bagian dari puncak
antiklin pada lokasi penelitian.
Berdasarkan pada ciri-ciri litologi yang dapat diamati dilapangan dengan
pendekatan litostratigrafi maka satuan ini dapat dinamakan sebagai satuan tuf
waturanda. Berikut kenampakan dari satuan tuf Waturanda (gambar 4.8).

Gambar 4.8. Satuan Tuf Waturanda foto diambil pada koordinat UTM 336376
mT dan 9165676 mU, lensa kamera menghaap arah Barat.

4.2.1.1. Penyebaran dan Ketebalan


Satuan tuf Waturanda ini menempati kurang lebih 20% dari luas daerah
penelitian, meliputi daerah Kenteng, Kedungwringi, Binangun. Di daerah
penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi perbukitan tersayat kuat
Struktural (S9). Ketebalan dari satuan ini berdasarkan pada kedudukan batuan
yang tercermin pada

51
penampang A – B (Lampiran lepas 3 peta geologi interpretasi) diperkirakan +/-
1175 meter.

4.2.1.2. Litologi Penyusun


Satuan batuan ini tersusun oleh litologi tuf. Secara megaskopis tuf memiliki
warna putih keabuan, sortasi baik, kemas tertutup dan komposisi mineral berupa
litik dan glas (gambar 4.9).

Gambar 4.9. Kenampakan singkapan Tuf Waturanda foto diambil pada koordinat
UTM 336790 mT dan 9164804 mU, lensa kamera menghadap
arah Timur.

4.2.1.3. Umur
Secara regional satuan ini masuk pada anggota Waturanda. Berdasarkan
pada peta geologi regional lembar Kebumen oleh Asikin dkk., (1992), anggota
Waturanda mempunyai umur miosen awal.

4.2.1.4. Hubungan Stratigrafi


Hubungan stratigrafi satuan tuf Waturanda dengan satuan breksi andesit
waturanda adalah menjari. Berdasrkan pada peta geologi kedua satuan tersebut
menunjukan umur yang sama (miosen awal).

52
4.2.2. Satuan Batuan Breksi Andesit Waturanda
Satuan ini tersusun oleh breksi andesit yang mana satuan ini hanya
didominasi oleh satu litologi yaitu breksi andesit. Berdasarkan ciri fisik di
lapangan secara megaskopis breksi andesit memiliki karakteristik warna segar
abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat kemerahan, ukuran butir kerakal -
berangkal didominasi ukuran berangkal, bentuk butir menyudut, sortasi buruk,
kemas terbuka. Adapun fragmen penyusunya berupa andesit dengan warna segar
abu-abu kehitaman derajat kristalisasi hipokristalin, granularitas afanitik,
komposisi plagioklas dan kuarsa struktur yang dijumpai berupa masif dan satuan
ini menjadi sebagai sayap antiklin pada lokasi penelitian.
Berdasarkan pada ciri-ciri litologi yang dapat diamati dilapangan satuan ini
dapat dinamakan sebagai satuan breksi andesit. Berikut kenampakan dari satuan
breksi andesit Waturanda yang berada dilokasi penelitian (gambar 4.10).

Gambar 4.10. Satuan Breksi Andesit Waturanda foto diambil pada koordinat
UTM 336675 mT dan 9164004 mU, lensa kamerah menghadap
arah Timur.

4.2.2.1. Penyebaran dan ketebalan


Satuan breksi andesit Waturanda ini menempati kurang lebih 30% dari
luas daerah penelitian, meliputi daerah Somagede, Donorejo, Bonosari, Semali,
Penimbun dan Binangun. Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan

53
geomorfologi perbukitan tersayat kuat denudasional (D2). Ketebalan dari satuan
ini berdasarkan pada kedudukan batuan yang tercermin pada penampang A – B
(Lampiran lepas 3 peta geologi interpretasi) diperkirakan +/- 1325 meter.

4.2.2.2. Litologi Penyusun


Satuan breksi andesit secara megaskopis breksi andesit memiliki warna
segar abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat kemerahan, ukuran butir bervariasi
dari kerakal sampai berangkal dan umumnya didominasi ukuran berangkal,
bentuk butir menyudut, matriks pasir sedang, sortasi buruk, kemas terbuka.
Adapun fragmen penyusunya berupa andesit dengan warna segar abu-abu
kehitaman derajat kristalisasi hipokristalin, granularitas afanitik, komposisi
plagioklas dan kuarsa (gambar 4.11).

Gambar 4.11. Kenampakan litologi Breksi Andesit Waturanda foto diambil pada
koordinat UTM 336047 mT dan 9163228 mU, lensa kamera
menghadap arah Selatan.

4.2.2.3. Umur
Secara regional satuan ini masuk pada Formasi Waturanda. Berdasarkan
pada peta geologi regional lembar Kebumen oleh Asikin dkk., (1992), Formasi
Waturanda mempunyai umur miosen awal.

54
4.2.2.4. Hubungan Stratigrafi
Hubungan stratigrafi satuan Breksi Andesit Waturanda dengan satuan tuf
Waturanda yang diendapkan dibawahnya adalah menjari.

4.2.3. Satuan Batuan Batulempung Karbonatan Penosogan


Satuan ini tersusun oleh batulempug karbonatan, serta terdapat perselingan
batupasir karbonatan pada bagian bawah satuan ini didominasi oleh batulempung
karbonatan. Batulempung karbonatan memiliki karakteristik warna putih keabuan,
ukuran butir lempung, sortasi baik, kemas baik dan semen karbonatan. Struktur
yang berkembang berupa perselingan dengan batupasir karbonatan. Batupasir
karbonatan memiliki warna putih kekuningan, warna lapuk kuning kecoklatan,
ukuran butir pasir sedang, sortasi baik, kemas tertutup dan semen karbonatan.

Berdasarkan pada ciri-ciri litologi yang dapat diamati dilapangan dengan


pendekatan litostratigrafi maka satuan ini dapat dinamakan sebagai satuan
batulempung karbonatan. Berikut kenampakan dari satuan batulempung
karbonatan Penosogan yang berada dilokasi penelitian (gambar 4.12).

Gambar 4.12. Satuan Batulempung karbonatan Penosogan foto diambil pada


koordinat UTM 335626 mT dan 9162953 mU, lensa kamera
menghadap arah Utara.

55
4.2.3.1. Penyebaran dan ketebalan
Satuan batulempung karbonatan Penosogan ini menempati kurang lebih
20% dari luas daerah penelitian, meliputi daerah Pohkumbang, Kedungjati, dan
Sebagian berada di desa Jatinegara. Di daerah penelitian satuan ini menempati
satuan geomorfologi bergelombang kuat dan perbukitan denudasional (D1).
Ketebalan dari satuan ini berdasarkan pada kedudukan batuan yang tercermin
pada penampang A – B (Lampiran lepas 3 peta geologi interpretasi) diperkirakan
+/- 700 meter.

4.2.3.2. Litologi Penyusun


Satuan batulempung karbonatan Penosogan tersusun oleh dua litologi
yaitu batulempung karbonatan dan batupasir karbonatan. Satuan ini di dominasi
oleh litologi batulempung karbonatan.
1. Batulempung Karbonatan
Secara megaskopis batulempung karbonatan pada daerah penelitian memiliki
karakteristik warna putih keabuan, ukuran butir lempung, sortasi baik, kemas baik
dan semen karbonatan. (gambar 4.13).

Gambar 4.13. Kenampakan singkapan Batulempung karbonatan Penosogan foto


diambil pada koordinat UTM 3339648 mT dan 9161400 mU,
lensa kamera menghadap arah Barat.

56
2. Batupasir Karbonatan
Secara megaskopis batupasir karbonatan pada daerah penelitian memiliki
karakteristik. Batupasir karbonatan memiliki warna putih kekuningan, warna
lapuk kuning kecoklatan, ukuran butir pasir sedang, sortasi baik, kemas tertutup
dan semen karbonat (gambar 4.14).

Gambar 4.14. Kenampakan ciri litologi batupasir karbonatan dengan sisipan


batulempung karbonatan yang menunjukan struktur pelapisan
sejajar foto diambil pada koordinat UTM 340960 mT dan 9161714
mU, lensa kamera menghadap arah Utara.

4.2.3.3. Umur
Secara regional satuan ini masuk pada Formasi Penosogan. Berdasarkan
pada peta geologi regional lembar Kebumen oleh Asikin dkk., (1992), Formasi
Penosogan mempunyai umur miosen tengah.

4.2.3.4. Hubungan Stratigrafi


Hubungan stratigrafi satuan batulempung karbonatan Penosogan dengan
satuan breksi andesit Waturanda adalah selaras.

4.2.4. Satuan Batuan Batupasir Karbonatan Halang


Satuan ini tersusun oleh batupasir karbonatan yang mana satuan ini hanya
tersusun oleh satu litologi yaitu batupasir karbonatan. Secara megaskopis
batupasir
57
karbonatan ini memiliki warna segar kuning keabuan, warna lapuk kuning
kecoklatan, sortasi baik, kemas tertutup, bentuk butir membundar, komposisi
mineral berupa litik. semen karbonatan. Struktur yang berkembang dibeberapa
tempat menunjukan suatu perlapisan yang baik dengan arah relatif ke selatan.

Berdasarkan pada ciri-ciri litologi yang dapat diamati dilapangan dengan


pendekatan litostratigrafi maka satuan ini dapat dinamakan sebagai satuan
batupasir karbonatan. Berikut kenampakan dari satuan batupasir karbonatan
Halang yang berada dilokasi penelitian (gambar 4.15).

Gambar 4.15. Satuan batupasir karbonatan halang foto diambil pada koordinat
UTM 335712 mT dan 9161864 mU, lensa kamera menghadap
arah Timur.

4.2.4.1. Penyebaran dan ketebalan


Satuan batupasir karbonatan Halang ini menempati kurang lebih 20%
dari luas daerah penelitian, meliputi daerah Grenggeng, sebagaian berada di desa
Klopogodo, dan sebagaian berada di desa Pekuncen. Di daerah penelitian satuan
ini menempati satuan geomorfologi bergelombang kuat dan perbukitan
denudasional (D1). Ketebalan dari satuan ini berdasarkan pada kedudukan batuan
yang tercermin pada penampang A – B (Lampiran lepas 3 peta geologi
interpretasi) diperkirakan
+/- 150 meter.
58
4.2.4.2. Litologi Penyusun
Satuan batuan ini disusun oleh litologi berupa batupasir karbonatan.
Secara megaskopis litologi ini memiliki warna segar kuning keabuan, warna lapuk
kuning kecoklatan, sortasi baik, kemas tertutup, bentuk butir membundar,
komposisi mineral berupa litik (gambar 4.16).

Gambar 4.16. Kenampakan singkapan Batupasir karbonatan Halang foto diambil


pada koordinat UTM 337157 mT dan 9161207 mU, lensa kamera
menghadap arah Barat.

4.2.4.3. Umur
Secara regional satuan ini masuk pada Formasi Halang. Berdasarkan
pada peta geologi regional lembar Kebumen oleh Asikin dkk., (1992), Formasi
Penosogan mempunyai umur miosen akhir.

4.2.4.4. Hubungan Stratigrafi


Hubungan stratigrafi satuan batupasir karbonatan Halang dengan satuan
batulempung karbonatan Penosogan yang diendapkan dibawahnya adalah selaras.

4.2.5. Satuan Batuan Endapan pasir–kerakal


Satuan ini tersusun atas material lepas berukuran pasir-kerakal. Secara
umum satuan ini berupa material lepas hasil akumulasi dan aktivitas Sungai

59
Pogung. Satuan ini banyak diendapkan di pinggiran Sungai Pogung dengan
ukuran bervariasi mulai pasir sampai kerakal. Dibeberapa bagian nampak ukuran
berangkal akan tetapi yang mendominasi adalah ukuran pasir-kerakal.
Berdasarkan pada ciri-ciri yang dapat diamati dilapangan dengan
pendekatan litostratigrafi maka satuan ini dapat dinamakan sebagai satuan
endapan pasir-kerakal. Berikut kenampakan dari endapan pasir-kerakal Aluvium
(gambar 4.17).

Gambar 4.17. Satuan pasir-kerakal yang berada di sepanjang aliran sungai, garis
berwarna merah menunjukan pelamparan endapan pasir-kerakal.
Foto diambil pada koordinat UTM 337452 mT dan 9160491 mU
lensa kamera menghadap arah Utara.

4.2.5.1. Penyebaran dan Ketebalan


Satuan yang tersusun oleh endapan pasir-kerakal Aluvium ini menempati
kurang lebih 15% dari luas daerah penelitian, meliputi daerah Kedungpuji, Wero,
Wonosigro, Sidayu, Gombong, Wonokiryo, Semanding, dan Bejiruyung. Di
daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi landau fluvial (F1).
Ketebalan dari satuan ini berdasarkan pada kedudukan batuan yang tercermin
pada penampang A – A’ (Lampiran lepas 3 peta geologi interpretasi) diperkirakan
+/- 25 meter.

60
4.2.5.2. Litologi Penyusun
Satuan ini tersusun oleh material lepas berupa endapan pasir-kerakal
yang dihasilkan dari aktivitas Sungai Pogung. Satuan ini membentuk suatu
endapan yang belum mengalami litifikasi dan tersebar disepanjang Sungai
Pogung.

4.2.5.3. Umur
Secara regional satuan ini masuk pada endapan Aluvium. Berdasarkan
pada peta geologi regional lembar Kebumen oleh Asikin dkk., (1992), endapan
Aluvium mempunyai umur kuarter.

4.2.5.4. Hubungan Stratigrafi


Hubungan stratigrafi satuan endapan pasir-kerakal Aluvium dengan
satuan batupasir karbonatan Halang yang diendapkan dibawahnya adalah tidak
selaras.

4.3. Pola Kelurusan Daerah Penelitian


Dalam menganalisis struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian,
peneliti menginterpretasikan berdasarkan analisis pola kelurusan lembah pada peta
SRTM, peta geologi regional, peta topografi dan data hasil pemetaan awal. Dalam
analisis maupun pengkajian data tersebut, peneliti merasa terdapat beberapa
kesamaan dari data peta SRTM, peta geologi regional dan peta topografi serta
hasil pemetaan awal, yang menghasilkan pola struktur geologi pada daerah
penelitian. Dalam pemberian nama struktur didasarkan pada nama geografis, baik
berupa nama desa maupun nama sungai yang dilewati oleh struktur geologi
tersebut.
Pola kelurusan daerah penelitian berdasarkan analisis kelurusan
sungai/lembah pada Peta SRTM. (Gambar 4.18). Didapatkan 2 arah umum
kelurusan yaitu:
1. Arah umum Baratlaut – Tenggara, arah umum ini pada daerah penelitian
diinterpretasikan berkaitan dengan sesar mendatar kanan dimana
berdasarkan arah umum barat-timur ditemukan lipatan maupun sesar naik
sehingga tegasan utama pada daerah penelitian berupa tegasan utama

61
utara- selatan.

62
2. Arah umum Barat – Timur, arah umum ini pada daerah penelitian
berkaitan dengan pola lipatan berupa antiklin, sinklin dan sesar naik
berdasarkan peta geologi regional.

Gambar 4.18. Peta pola kelurusan daerah penelitian.

63
4.3.1. Lipatan Antiklin

Berdasarkan hasil rekonstruksi pada penampang geologi dengan


menggunakan metode dip interpolasi menunjukan bahwa daerah penelitian
terdapat suatu lipatan antiklin. Lipatan tersebut memanjang dari barat-timur,
dengan jurus dan kemiringan yang berbeda yakni N 95°E/40 dan N 250°E/40.
Dari kenampakan hasil rekonstruksi penampang geologi lipatan tersebut
diakibatkan karena proses tektonik pada masa lampau yang terjadi pada satuan
tuf anggota waturanda yang cenderung memiliki sifat yang elastis (ductile)
sehingga proses penekanan atau pelipatan lebih dipengaruhi oleh gaya lateral
dari suatu bidang planar. Proses pelengkungan terjadi pada kedua sisi selama
terjadi pemendekan. Penamaan lipatan antiklin tersebut mengacu pada penamaan
geografi setempat, sehingga disebut antiklin Kenteng. (Gambar 4.19)

Gambar 4.19. Peta Geologi daerah penelitian menunjukan adanya lipatan


antiklin (ditunjukan dengan kotak berwarna merah).

64
BAB V
JADWAL PELAKSANAAN DAN RANCANGAN ANGGARAN BIAYA

5.1. Jadwal Pelaksanaan


Jadwal pelaksanaan merupakan urutan kegiatan mulai dari tahap awal
atau persiapan hingga tahap akhir, di mana semua kegiatan telah disusun dengan
rapi dan sesuai urutan. Jadwal pelaksanaan disusun dengan tujuan mempermudah
dalam pelaksanaan tugas akhir, sehingga peneliti dapat menyelesaikannya dengan
sistematis dan tepat pada waktunya. Jadwal kegiatan penelitian tugas akhir ini
dirancang dalam bentuk bar – chart pada Tabel 5.1. yang berisi mengenai jadwal
kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan usulan skripsi atau yang dikenal
sebagai Tugas Akhir 1 sampai pada tahap pelaksanaan Tugas Akhir 2 (Skripsi)
dimana pada tahapan ini harus menyelesaikan dan memperbaiki kekurangan yang
ada terhadap tahapan tugas akhir yang pertama atau TA 1.
Tabel 5.1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian.

5.2. Rencana Anggaran Biaya


Sub-bab ini berisi terkait perkiraan biaya penelitian yang merupakan
rancangan keseluruhan anggaran yang dibuat dan dikeluarkan selama penelitian
Tugas Akhir. Pendanaaan ini sendiri berasal dari dana pribadi peneliti yang
rinciannya bisa di lihat pada (Tabel 5.2), di bawah ini.

65
Tabel 5.2. Perkiraan Anggaran Biaya Penelitian.

Bahan Habis Pakai

No Bahan Biaya (Rp)

1 Kertas HVS 5 rim @ Rp. 45.000,-/rim 225.000

2 Tinta printer 400.000

3 Pemetaan awal 1.000.000

4 Pembuatan usulan TA 400.000

Biaya total 2.025.000

Peralatan

No Bahan Biaya (Rp)

Peta RBI lembar Prembun, Wadaslintang, Kutoarjo dan


1 50.000
Bruno

Sewa GPS, palu geologi, kompas, loupe, selama 14 hari


2 700.000
@ Rp. 50.000,-/hari

3 Larutan HCl, 0.1 N 25.000

4 Plastik sampel 20.000

5 Alat tulis dan buku lapangan 100.000

Biaya total Rp. 895.000

Kegiatan Penelitian Lapangan

No Kegiatan Biaya (Rp)

No Kegiatan Biaya (Rp)

1 Transportasi selama 14 hari @ Rp. 50.000,-/hari 700.000

66
Konsumsi selama 14 hari untuk 2 orang @ Rp. 80.000-
2 1.120.000
/hari

3 Cheking lapangan dengan 2 dosen pembimbing 2.000.000

Biaya total Rp. 3.820.000

Analisis Laboratorium

No Analisis Biaya (Rp)

1 Analisis 6 sayatan petrografi @ Rp. 70.000,-/sayatan 420.000

2 Analisis 6 sayatan Mikrofosil @ Rp. 85.000,-/sayatan 510.000

Biaya total Rp. 930.000

Lain-Lain

No Bahan Biaya (Rp)

1 Pembuatan dokumentasi CD 100.000

2 Foto copy, scan, jilid 500.000

3 Ujian pendadaran 300.000

4 Ujian Kolokium 400.000

5 Ujian Yudisium 300.000

6 Biaya tidak terduga 500.000

Biaya total Rp. 2.100.000

Biaya Keseluruhan

No Kegiatan Biaya (Rp)

No Kegiatan Biaya (Rp)

1 Bahan habis pakai 2.025.000

67
2 Peralatan 895.000

3 Kegiatan penelitian lapangan 3.820.000

4 Analisis laboratorium 1.185.000

5 Lain-lain 2.100.000

Total Biaya Keseluruhan Rp. 9.095.000

68
BAB VI
RENCANA LINTASAN

Rencana lintasan merupakan jalur – jalur lintasan semu yang dibuat


berdasarkan pertimbangan hasil dari interpretasi peta geologi sementara, peta
geomorfologi sementara, dan hasil reconnaissance yang telah dilakukan oleh
peneliti. Pembuatan rencana lintasan ini memiliki pertimbangan tertentu dalam
pembuatannya dengan tujuan agar dapat dikumpulkannya data geologi sebanyak
mungkin sebagai dasar penggambaran peta geologi secara mendetail. Dalam
pelaksanaan penelitian ini, peneliti membagi ke dalam 6 jalur rencana lintasan.
Hal yang diperhatikan dalam pembuatan jalur lintasan meliputi memiliki harapan
dapat dijumpainya banyak singkapan serta unsur-unsur geologi lainnya,
kesampaian medan tidak terlalu sulit untuk ditempuh, lintasan diusahakan
melewati semua jenis dan varian litologi, lintasan diusahakan memotong arah
umum jurus perlapisan batuan, dan lintasan diusahakan melalui tempat yang
diduga banyak singkapan misalnya pada tebing perpotongan, tebing sungai.
Tujuan rencana jalur lintasan ini untuk mempermudah dalam melakukan kerja
lapangan dapat mempermudah peneliti dalam melakukan observasi lapangan
secara teliti, detail dan efektif serta efisien.

6.1. Jalur Lintasan 1


Jalur 1 lintasan 1 ini dimaksudkan untuk mendapatkan urutan stratigrafi
rinci pada satuan batuan yang ada pada Formasi Halang serta mencari kontak
antara Formasi Halang dengan Formasi Penosogan Panjang lintasan ini +/-9 km.
Melalui jalan desa Grenggeng, Pohkumbang, dan Penimbun. Waktu yang
diperlukan untuk lintasan ini sekitar 2 hari.

6.2. Jalur Lintasan 2


Lintasan 2 ini dimaksudkan untuk mendapatkan urutan stratigrafi rinci pada
satuan batuan yang ada pada Formasi Halang serta mencari kontak antara Formasi
Halang Dengan Formasi Penosogan, Formasi Waturanda serta Formasi
Krangsambung panjang lintasan +/- 12 km. Lintasan ini melalui jalan desa Wero,

69
Wonosigro, Kedungjati, semali, dan Kenteng. Waktu yang diperlukan untuk
lintasan ini sekitar 3 hari.

6.3. Jalur Lintasan 3


Lintasan 3 ini dimaksudkan untuk mendapatkan urutan stratigrafi rinci pada
satuan batuan yang ada pada Formasi Halang, Formasi Penosogan, Formasi
Waturanda, Anggota Waturanda. Selain itu lintasan ini dipakai untuk mencari
adanya indikasi antiklin yang tercantum pada Peta geologi Regional panjang
lintasan +/- 12 km. Lintasan ini melalui jalan desa Wonokriyo, Semanding,
Bejiruyung, Bonosari, dan Kedungwringin. Waktu yang diperlukan untuk lintasan
ini sekitar 3 hari.

6.4. Jalur Lintasan 4


Lintasan 4 ini dimaksudkan untuk mendapatkan urutan stratigrafi rinci pada
satuan batuan yang ada pada Formasi Karangsambung, Formasi Waturanda
panjang lintasan +/- 5 km. Lintasan ini melalui jalan desa Kenteng dan somagede.
Waktu yang diperlukan untuk lintasan ini sekitar 1 hari.

6.5. Jalur Lintasan 5


Lintasan 5 ini dimaksudkan untuk mendapatkan urutan stratigrafi rinci pada
satuan batuan yang ada pada Formasi Waturanda. Selain itu lintasan ini dipakai
untuk mencari adanya indikasi antiklin pada Formasi Waturanda yang tercantum
pada peta Geologi Regional panjang lintasan +/- 2 km. Lintasan ini melalui jalan
desa Kedungwringin, dan Donorejo waktu yang diperlukan untuk lintasan ini
sekitar 1 hari.

6.6. Jalur Lintasan 6


Lintasan 6 ini dimaksudkan untuk mendapatkan urutan stratigrafi rinci pada
satuan Breksi andesit pada jalur lintasan pada sisi utara lokasi penelitian meliputi
Sebagian Desa Donorejo dan Desa Kenteng. panjang lintasan +/- 2 km dan waktu
diperkirakan 1 hari.

70

Anda mungkin juga menyukai