Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1
Nasional Yogyakarta. Adapun sisi menarik lainnya yang dapat ditelaah pada
daerah ini yakni merupakan jejak dimana pada masa lampau pernah terjadi
penunjaman kerak yang melewati Pulau Jawa dengan orientasi Timur laut – Barat
daya yang berlangsung jutaan tahun yang lalu yang dikenal sebagai pola Meratus.
Pola ini yang membentuk banyak fenomena geologi yang ada disepanjang selatan
pantai Jawa hingga menerus ke Borneo.
Pemetaan geologi pada dasarnya adalah menggambarkan data pada peta
dasar topografi yang menghasilkan cerminan kondisi geologi pada skala yang
diinginkan. Kondisi geologi yang dijumpai di lapangan berupa penyebaran batuan,
struktur geologi, dan kenampakan morfologi bentang alam. Pengamatan kondisi
geologi dilapangan harus dilakukan dengan baik dan benar supaya kita
mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di tempat itu pada beberapa juta tahun
yang lalu sehingga kita dapat merekonstruksi apa yang sebenarnya terjadi di masa
lalu sesuai dengan semboyan “the present is they key to the past”.
Pemetaan ini dimaksudkan untuk mengetahui keadaan geologi pada daerah
pemetaan yang terletak di daerah Semali dan sekitarnya Kecamatan Sempor,
Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Keadaan geologi yang dimaksud
meliputi kondisi geomorfologi yang berdasarkan atas bentuk alam yang terlihat
oleh peneliti, kedudukan stratigrafi yang berdasarkan atas variasi litologi yang
tersingkap, dan struktur geologi yang terbentuk akibat adanya gaya yang bekerja
pada daerah tersebut. Dari data-data tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan
sejarah geologi sekaligus potensi geologi yang berkaitan dengan sumberdaya alam
pada daerah Semali dan sekitarnya.
Hasil yang diperoleh dari pemetaan geologi tersebut diharapkan dapat
mendukung atau menambahkan data yang sudah ada sebelumnya, sehingga dapat
berguna untuk perencanaan pembangunan serta pendayagunaan sumberdaya alam
pada daerah tersebut. Peta geologi berskala 1:25.000 ini diharapkan bisa menjadi
referensi oleh pemerintah, masyarakat dan peneliti untuk mengetahui tatanan
geologi daerah Semali dan sekitarnya Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen.
2
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan geologi
permukaan serta mempelajari dan mengumpulkan data geologi pada daerah
penelitian yaitu mencakup pemerian data geologi yang tersingkap di permukaan
bumi berupa geomorfologi, pengelompokan batuan menjadi satuan batuan
maupun stratigrafi, sejarah geologi dan geologi lingkungan, berdasarkan data
lapangan serta di dukung oleh data sekunder dari penelitian sebelumnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi
daerah penelitian yang meliputi Geomorfologi, Stratigrafi, Struktur Geologi, dan
Geologi Tata Lingkungan. Dari data tersebut ditampilkan dalam peta geologi
(detail) daerah penelitian dengan skala 1 : 25.000. Peta tersebut disajikan
dalam bentuk peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi dan
naskah laporan akhir. Peta tersebut diharapkan dapat digunakan untuk
kepentingan di bidang ilmu kebumian maupun sebagai acuan penelitian geologi
selanjutnya.
4
dengan kendaraan bermotor roda dua.
1.4. Permasalahan
Permasalahan yang didapati oleh penulis sewaktu penelitian usulan skripsi
berupa masalah geologi secara umum yang mencakup pengelompokkan sebaran
satuan litologi berdasarkan konsep lithostratigrafi dimana kurangnya data
sekunder dari peneliti terdahulu sehingga perlu adanya pemecahan masalah
geologi termasuk didalamnya meliputi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi
yang berkembang. Lebih lanjut adalah menghubungkan semua data tersebut untuk
menceritakan sejarah geologi daerah tersebut mengenai mekanisme dan
perkembangan proses pembentukan tiap batuan pada daerah penelitian dalam
ruang dan waktu geologi.
5
1. Bagaimana pengelompokkan satuan geomorfologi daerah penelitian
berdasarkan faktor pengontrol morfometri maupun morfogenesa serta
bagaimana kaitannya dengan stadia daerah penelitian ?
2. Bagaimana mengidentifikasi serta mengelompokkan satuan litologi penyusun
di daerah penelitian berdasarkan lithostratigrafi sesuai dengan Sandi Stratigrafi
Indonesia ?
3. Bagaimana kontrol struktur geologi (pola, kedudukan dan dimensi struktur
geologi) di daerah penelitian dalam hal ini kaitannya dengan litologi penyusun
dan dalam konteks ruang dan waktu ?
6
BAB II
METODE PENELITIAN
7
2.2. Metode Penelitian Laboratorium dan Studio
Metode penelitian laboratorium dan studio dilakukan dengan
menganalisa data yang telah didapat baik data primer maupun data sekunder.
Penelitian di laboratorium dilakukan dengan mengkomparasikan kedua data
tersebut yakni menganalisa data di lapangan dengan mengacu pada konsep dari
para peneliti terdahulu yang merupakan konsep-konsep dasar dalam ilmu geologi
dan telah banyak diakui maupun disepakati oleh kalangan ahli geologi.
Penelitian laboratorium merupakan penelitian yang dilakukan tidak di
lapangan, dimana sampel maupun data yang didapat dijauhkan dari variabel
pengganggu sebab dapat mempengaruhi hasil dari pengujian. Analisis yang
dilakukan dilaboratorium yaitu berupa analisis petrografi dan analisis
mikropaleontologi.
Dalam penelitian studio dilakukan untuk pembuatan peta geomorfologi,
analisis struktur, peta geologi dan penyususnan naskah. Dalam hal ini tujuan
analisis yang dilakukan di laboratorium maupun studio adalah untuk mendukung
hasil penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenaran maupun
keabsahannya.
8
dengan pengamatan, pengukuran kedudukan perlapisan batuan, pengambilan
contoh batuan, dan sketsa langsung di lapangan. Dalam melakukan pengamatan,
dilakukan dengan pengambilan data selengkap-lengkapnya dengan melintasi
daerah-daerah yang mungkin dapat dijumpai singkapan. Setelah itu dilakukan
perhitungan morfometri, interpretasi awal daerah penelitian dan penyusunan
laporan usulan skripsi yang hasilnya berupa peta lokasi pengamatan hasil
reconnaissance, peta geomorfologi interpretasi, peta geologi interpretasi dan draft
laporan usulan skripsi.
Tahapan selanjutnya merupakan pemetaan detail dan disertai penelitian
mengenai masalah khusus pada daerah penelitian yang dikerjakan pada Tugas
Akhir 2. Secara umum pada tahapan tersebut terdiri dari input berupa pemetaan
rinci (perapatan data lapangan, pengukuran unsur - unsur struktur geologi dan
pengambilan contoh batuan), pekerjaan studio (identifikasi data geomorfologi,
stratigrafi dan data struktur geologi) dan pekerjaan laboratorium (sayatan tipis,
preparasi fosil). Proses dari skripsi ini meliputi penelitian mengenai kondisi
geologi rinci, analisis geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi, pengukuran
ketebalan dan perhitungan volume komposisi batuan, pengelompokan satuan
batuan, analisis fosil dan petrografi serta penyusunan laporan skripsi.
9
daerah penelitian dan hasil analisis tersebut merupakan analisis sementara
yang diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui gambaran umum tentang
keadaan geologi daerah penelitian.
10
Gambar 2.1. Diagram alir penelitian.
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
12
Zona Serayu Utara memiliki lebar 30 – 50 km. Di selatan Tegal, zona ini
tertutupi oleh produk gunungapi kuarter dari G. Slamet. Di bagian tengah
ditutupi oleh produk vulkanik kuarter G. Rogojambangan, G. Ungaran dan G.
Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan batas
antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis
di sebelah barat G. Slamet, sedangkan ke arah timur membentuk Zona
Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak di selatan Dataran Aluvial
Jakarta berupa antiklinorium dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dan
terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas antara Gunung
Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan berumur
Oligosen-Miosen Bawah yang diwakili oleh Formasi Pelang.
6. Zona Serayu Selatan.
Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengahyang
membentuk kubah dan pegunungan. Di bagian barat dari pegunungan Serayu
Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk anticlinorium yang
berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua di Pulau Jawa, yaitu
daerah Luk Ulo, Kebumen.
7. Zona Pegunungan Selatan.
Zona Pegunungan Selatan Jawa membentang dari Yogyakarta hingga ke Jawa
Timur. Zona ini memiliki morfologi tinggian, sehingga menciptakan
perbedaan morfologi yang signifikan dengan Zona Depresi Jawa Tengah yang
berada di sisi baratnya. Morfologi zona ini mencerminkan bentukan plato
sebagai hasil proses pengangkatan (uplifted peneplain) terhadap batuan
berumur Miosen. Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga sub-
zona, yaitu: Sub-zona Baturagung, sub-zona Wonosari dan sub-zona Gunung
Sewu.
13
Lokasi penelitian
Gambar 3.1. Fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (modifikasi dari Van
Bemmelen, 1994).
14
3.1.2.3. Formasi Waturanda (Tmw)
Terdiri dari berbagai jenis batuan seperti Batupasir Kasar, breksi dan tuf.
Gambar 3.2. Peta geologi lembar Kebumen daerah penelitian (Asikin, dkk 1992).
15
Tabel 3.1. Kolom stratigrafi regional daerah penelitian (Asikin, dkk 1992).
16
arah baratdaya ke daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar
Cimandiri (Jawa Barat).
- Pola Sunda, berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun
yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah
yang paling dominan di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-
sesar yang dalam dan menerus sampai Sumatra. Pola ini merupakan pola
yang berumur lebih muda sehingga keberadaannya mengaktifkan kembali
Pola Meratus.
- Pola Jawa, berarah timur-barat (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu
sampai sekarang (Oligosen Akhir-Resen).Pola ini adalah pola termuda yang
mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya.
Struktur regional menurut Van Bemmelen bahwa G. Ungaran, G. Seropati-
Telomoyo, G. Sumbing, G. Merbabu dan G.Merapi adalah gunungapi yang
muncul di sebuah sesar besar yang menjadi batas timur bagian sempit Jawa
Tengah. Sesar ini berarah utara –baratlaut dan Selatan–Tenggara. Struktur
Geologi yang berkembang Yaitu struktur rim kaldera dan sesar –sesar normal
berarah baratdaya- timurlaut yang terbentuk akibat aktivitas G.Soropati-
Telomoyo, serta sesar-sesar mendatar berarah relative utara-selatan dan baratlaut-
tenggara yang merupakan struktur regional dan sebagian sudah ditutupi oleh
produk yang lebih muda.
Tabel 3.2. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van
Zuidam& Cancelado, 1979).
Beda
No Relief Kemiringan Tinggi
1 Topografi dataran 0–2 <5
2 Topografi dataran bergelombang lemah 3–7 5 – 50
3 Topografi dataran bergelombang lemah - 8 – 13 25 – 75
dataran bergelombang kuat
4 perbukitan
Topografi perbukitan – perbukitan tersayat 21 – 55 200 – 500
5 kuat
Topografi perbukitan tersayat kuat – 56 – 140 500 – 1000
6 pegunungan
18
3.2.2. Klasifikasi Morfogenesa
Pembagian morfogenesa didasarkan pada faktor pengontrol utama
proses geologi, hal tersebut mengacu pada klasifikasi van Zuidam (1983) yang
membagi satuan geomorfologi menjadi 8 satuan (Tabel 3.3), untuk setiap satuan
dicantumkan kode huruf dan untuk sub satuan dengan penambahan angka di
belakang. Untuk klasifikasi unit geomorfologi memakai dua klasifikasi yakni
klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal denudasional (Tabel 3.4) dan
Klasifikasi unit geomorfologi bentuk asal Fluvial (Tabel 3.5). Dengan
memperhatikan pada klasifikasi bentuk muka bumi yakni unit geomorfologi
bentuk lahan asal tersebut maka dapat membantu menganalisa morfogenesis untuk
mengetahui karakteristik dari masing – masing jenis unit pada satuan
geomorfologinya.
Tabel 3.3. Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem pewarnaan
(van Zuidam, 1983).
Genesa Pewarnaan
19
Tabel 3.4. Klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal denudasional (D), (van
Zuidam, 1983).
20
Kode Unit Karakteristik Umum
D11 Area with several mass Tidak teratur, lereng menengah curam,
topografi bergelombang-berbukit, tersayat
movement menengah (slides, slump, and flows).
Tabel 3.5. Klasifikasi unit geomorfologi menurut Van Zuidam, 1983, bentukan
asal Fluvial (F).
21
Kode Unit Karakteristik Umum
F10 Fluvial deltaic and basin Topografi datar hingga agak datar, banjir
teratur hingga jarang, Akumulasi lumpur
oleh kegiatan sungai , danau.
22
3.3. Jenis Pola Pengaliran
Pola pengaliran (drainage pattern) merupakan suatu pola dalam kesatuan
ruang yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang
saling berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969).
Perkembangan dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain adalah kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan, proses vulkanik
kuarter, serta sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage
basin). Pola yang paling menonjol menunjukan proses geologi yang dominan
yang berkembang dilokasi penelitian.
Beberapa pola aliran dasar yang mengacu pada pola pengaliran dasar dan
ubahan dari Howard (1967) adalah sebagai berikut (gambar 3.4):
1. Dendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon (pohon oak), dan cabang-
cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk
sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen
dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur. Contoh pada batuan beku
atau lapisan horisontal.
2. Paralel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada
daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada
daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini mempunyai
kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis. Contoh: Pada
lereng- lereng gunungapi atau sayap antiklin.
3. Trellis, menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang
sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan daerah
pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.
4. Rectangular, pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai yang
membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor kekar kekar
yang saling berpotongan dan juga sesar.
5. Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari satu
titik pusat berasosiasi pada kubah, tubuh gunungapi dan pada tipe-tipe bukit
kerucut yang terisolasi.
23
6. Annular, bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang
tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe
subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.
7. Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan-cekungan atau
danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau topografi karst.
8. Contorted, merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang terlihat
ada pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang bertekstur
kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki resistensi yang
sama.
9. Subdendritic, merupakan pola modifikasi dari pola aliran dendritic yang
secara umum dipengaruhi oleh struktur geologi.
10. Pinnate, merupakan pola modifikasi dari pola aliran dendritic yang dicirikan
oleh jarak yang berdekatan, banyaknya anak sungai yang memasuki induk
sungai dengan sudut tajam. Pola ini terlihat seperti bulu atau daun pakis. Pola
ini berkembang baik pada tekstur halus dan material yang mudah tererosi.
11. Anastomatic, merupakan pola modifikasi dari pola aliran dendritic yang
dicirikan oleh jaringan saluran yang saling menyambung, rawa dan oxbow
lake yang dapat ditemukan pada daerah dataran banjir, delta dan daerah rawa
pasang surut (tidal marshes).
12. Distributary, merupakan pola modifikasi dari pola aliran dendritic. Pola ini
ditemukan pada daerah kipas alluvial dan delta.
13. Subparallel, merupakan pola modifikasi dari pola aliran parallel. Pola ini
dipengaruhi oleh sedikit kontrol struktur geologi, kemiringan morfologi
menengah umumnya mempunyai batuan dengan resistensi yang seragam
terhadap erosi.
14. Colinear, merupakan pola modisikasi dari pola aliran parallel yang dicirikan
oleh kesejajaran aliran yang sungguh lurus yang kadang hilang dan muncul
lagi. Pola ini dapat ditemukan pada daerah linear loess dan sand ridges.
15. Recurved trellis, merupakan pola modifikasi dari pola aliran trellis. Pola ini
terbentuk pada daerah sekitar hidung dari plunging folds.
24
16. Directional trellis, merupakan pola modifikasi dari pola aliran trellis. Pola ini
umumnya dapat ditemukan pada daerah yang mempunyai lapisan homoclin.
Gambar 3.4. Jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967).
25
1. Stadia Muda
Stadia ini dicirikan dengan sungai sangat aktif dan erosi berlangsung cepat,
erosi vertikal lebih besar daripada erosi lateral, lembah berbentuk V, tidak
terdapat dataran banjir, gradien sungai curam, ditandai dengan adanya jeram
dan air terjun, arus sungai deras, bentuk sungai relatif lurus.
2. Stadia Dewasa
Stadia ini dicirikan oleh kecepatan aliran berkurang, gradien sungai sedang,
dataran banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi
kesamping lebih kuat dibanding erosi vertikal pada tingkat ini sungai
mencapai kedalaman paling besar lembah berbentuk U
3. Stadia Tua
Stadia ini dicirikan oleh kecepatan aliran makin berkurang, pelebaran
lembah lebih kuat dibanding pendalaman sungai, dataran banjir lebih lebar
dibanding sabuk meander, lembah berbentuk U, danau tapal kuda, tanggul
alam lebih umum dijumpai daripada ketika sungai bertingkat dewasa.
26
muda lagi apabila terjadi peremajaan ulang (rejuvenation) atas suatu bentang
alam. Proses peremajaan ulang (rejuvenation) terbentuk apabila pada daerah yang
sudah mengalami stadia tua terjadi suatu proses epirogenesis atau orogenesis,
maka daerah dengan stadia tua tersebut terangkat kembali. Daerah yang terangkat
ini akan tersayat atau tertoreh lagi oleh proses eksogenik maupun oleh sungai-
sungai yang mengalir di daerah tersebut. Dari proses tersebut mengakibatkan
perubahan bentukan stadia morfologi menjadi stadia muda dengan tingkat erosi
daerah muda lagi.
3.6. Stratigrafi
Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan, hubungan
dan kejadian (genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu
sedangkan dalam arti sempit ialah ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan.
27
3.6.1. Hubungan Stratigrafi
Stratigrafi yang berkembang pada suatu lapisan batuan biasanya memiliki
suatu hubungan antar satuan yang ada. Hubungan ini umumnya menggambarkan
proses yang dikontrol oleh waktu, litologi, erosi, dan posisi antar stratigrafi.
Hubungan antara suatu lapisan dengan lapisan lain baik vertikal maupun
horizontal dikenal dengan dua istilah yaitu ketidakselarasan dan keselarasan.
3.6.1.1. Keselarasan
Keselarasan (conformity) merupakan hubungan antara satu lapis batuan
dengan lapis batuan lainnya di atas atau di bawahnya yang bersifat kontinyu
(terus- menerus), tidak terdapat selang waktu pengendapan atau sedimentasi.
Secara umum jika di lapangan dapat ditunjukkan dengan kedudukan lapisan
(strike/dip) yang sama atau hampir sama. Selain itu keselarasan umumnya
menunjukan suatu gradasional dalam perlapisan batuan dilapangan (menerus).
3.6.1.2. Ketidakselarasan
Ketidakselarasan adalah hubungan antara satu lapis batuan dengan lapis
batuan lainnya (batas atas atau batas bawah) yang tidak kontinyu (tidak menerus).
Hal tersebut disebabkan oleh adanya rongga atau ruang saat pengendapan.
Ketidakselarasan dapat dikenali dari adanya umur yang berbeda (tidak menerus),
terdapat bidang erosional, dan perlapisan yang menyudut. Dalam ilmu geologi
dikenal 3 jenis ketidakselarasan:
1. Non-conformity merupakan ketidakselarasan yang terjadi di mana terdapat
fenomena lapisan batuan beku atau batuan metamorf yang di bawahnya
terdapat lapisan sedimen.
2. Paraconformity disebut juga dengan keselarasan semu, yaitu hubungan antara
dua lapisan sedimen yang terdapat suatu ketidakselarasan yang sejajar dengan
lapisan sedimen lainnya. Pada kasus tersebut, sulit sekali untuk melihat batas
ketidakselarasannya karena tidak ada batas bidang erosi. Cara yang
digunakan untuk melihat keganjilan antara lapisan tersebut adalah dengan
melihat fosil di tiap lapisan yaitu analisis Paleontologi yaitu dengan memakai
atau menghitung
28
kisaran umur fosil. Karena setiap sedimen memiliki umur yang berbeda dan
fosil yang terkubur di dalamnya pasti berbeda jenis pula.
3. Ketidakselarasan bersudut (angular unconformity) merupakan salah satu
jenisketidakselarasan yang wujudnya menunjukan suatu lapisan yang telah
terlipat dan terjadi erosi, kemudian di atas lapisan tersebut terdapat endapan
lapisan lainnya.
4. Disconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang terdapat
hubungan antara lapisan batuan sedimen yang dipisahkan oleh bidang erosi.
Fenomena ini terjadi karena sedimentasi terhenti dalam beberapa waktu dan
mengakibatkan lapisan paling atas tererosi sehingga menimbulkan lapisan
kasar.
3.6.2. Konsep Penyusunan Stratigrafi
Menurut Sandi Stratigrafi Indonesia (1996) terdapat beberapa konsep dalam
penyusunan stratigrafi antara lainl ithostratigrafi, vulkanostratigrafi,
kronostratigrafi, biostratigrafi, dan sikuenstratigrafi. Setiap konsep satuan
memiliki perbedaan dalam penyusunan stratigrafi yang ada.
29
hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai alasan berakhirnya
penyebaran lateral (pelamparan) suatu satuan.
3.7.1. Kekar
Kekar (joint) adalah struktur rekahan dalam batuan yang belum
mengalami pergeseran, merupakan hal yang umum bila terdapat pada batuan dan
bisa terbentuk pada setiap waktu. Pada batuan sedimen, kekar bisa terbentuk
mulai pada saat pengendapan atau terbentuk setelah pengendapan, dalam batuan
beku bisa terbentuk akibat proses pendinginan maupun setelah pendinginan.
Dalam proses deformasi, kekar bisa terjadi pada saat mendekati proses akhir atau
bersamaan dengan terbentuknya struktur lain, seperti sesar atau lipatan. Selain itu
kekar bisa terbentuk sebagai struktur penyerta dari struktur sesar maupun lipatan
yang diakibatkan oleh tektonik.
Pemodelan dan analisis kekar menggunakan pendekatan klasifikasi
Billings (1974) yang menerangkan mengenai struktur geologi pada batuan sebagai
akibat adanya gaya kompresi yang disebabkan oleh tektonik (Gambar 3.7).
Berdasarkan cara terjadinya kekar dapat dikelompokan menjadi kekar tekanan
dan kekar tarikan berdasarkan klasifikasi Twiss dan Moore, 1992 (Tabel 3.6. dan
Gambar 3.6).
Tabel 3.6. Jenis dan karakteristik kekar berdasarkan cara terjadinya (Twiss
dan Moore, 1992).
30
Jenis Kekar Karekteristik
Gambar 3.6. Jenis (mode) rekahan pada batuan (Twiss dan Moore,1992).
31
Gambar 3.7. Jenis kekar berdasarkan genesa (Billings, 1974).
3.7.2. Sesar
Sesar atau patahan terjadi ketika suatu batuan mengalami retakan terlebih
dahulu yang kejadian ini berkaitan erat dengan tekanan dan kekuatan batuan yang
mendapatkan gaya sehingga timbul adanya retakan (fracture). Tekanan yang
diberikan mampu memberikan perubahan pada batuan dengan waktu yang sangat
lama dan hingga memberikan gerakan sebesar seperseratus sentimeter dan bahkan
sampai beberapa meter. Suatu sesar dapat berupa bidang sesar (Fault Plain) atau
rekahan tunggal. Tetapi sesar dapat juga dijumpai sebagai semacam jalur yang
terdiri dari beberapa sesar minor.
Jalur sesar atau jalur penggerusan, mempunyai dimensi panjang dan lebar
yang beragam, dari skala minor sampai puluhan kilometer. Kekar yang
memperlihatkan pergeseran bisa juga disebut sebagai sesar minor. rekahan yang
cukup besar akibat regangan, amblesan, longsor, yang disebut fissure, tidak
termasuk dalam definisi sesar. Beberapa indikasi umum adanya sesar adalah
kelurusan pola pengaliran sungai, pola kelurusan punggungan, kelurusan gawir,
32
gawir dengan triangular facet, keberadaan mata air panas, keberadaan zona
hancuran, keberadaaan kekar, keberadaan lipatan seret (Dragfold), keberadaan
bidang gores garis (Slicken Side) dan slicken line dan adanya tatanan stratigrafi
yang tidak teratur.
Penentuan jenis sesar dan orientasi sesar ditentukan oleh parameter bidang
sesar (Gambar 3.8) yang terdiri dari:
Strike (𝜑) : Adalah sudut yang dibentuk oleh jurus sesar dengan arah utara.
Strike diukur dari arah utara kearah timur searah dengan jarum jam hingga
jurus patahan (0° ≤ 𝜑 ≤ 360°).
Dip (𝛿) : Adalah sudut yang dibentuk oleh bidang sesar dengan bidang
horizontal dan diukur pada bidang vertikal dengan arahnya tegak lurus
jurus patahan (0° ≤ 𝛿 ≤ 90°).
Rake (𝜆) : Adalah sudut yang dibentuk arah slip dan jurus patahan. Rake
berharga positif pada patahan naik (Thrust Fault) dan negatif pada patahan
turun (Normal Fault) (−180° ≤ 𝜆 ≤ 180°).
33
Plunge (p) : Adalah sudut yang dibentuk oleh struktur garis tersebut
dengan bidang horizontal, diukur pada bidang vertikal. Trend (β) : Adalah
arah dari proyeksi struktur garis ke bidang horizontal (Gambar 3.9).
Gambar 3.9. Gambar ilustrasi parameter bidang sesar plunge dan trend (Gok,
2008).
34
1. Sesar normal (normal fault) terbentuk apabila 𝑆𝑣 merupakan principle
stress maksimum, 𝑆ℎ𝑚𝑎𝑥 adalah principle stress menegah, dan
𝑆ℎ𝑚𝑖𝑛 merupakan principle stress minimum.
2. Sesar naik (reverse fault) terbentuk apabila 𝑆ℎ𝑚𝑎𝑥 merupakan principle
stress maksimum, 𝑆ℎ𝑚𝑖𝑛 adalah principle stress menegah, dan 𝑆𝑣
adalah principle stress minimum.
3. Sesar mendatar (strike-slip fault) terbentuk apabila 𝑆ℎ𝑚𝑎𝑥 merupakan
principle stress maksimum, 𝑆𝑣 adalah principle stress menegah, dan
𝑆ℎ𝑚𝑖𝑛 merupakan principle stress minimum. Sesar mendatar terbagi atas:
a. Sesar Mendatar Sinistral, yaitu sesar mendatar yang blok batuan
kirinya lebih mendekati pengamat.
b. Sesar Mendatar Dextral, yaitu sesar mendatar yang blok batuan
kanannya lebih mendekati pengamat.
Gambar 3.10. Jenis sesar dan principal stress pembentukannya. P berarti pressure
(zona kompresi/tekanan), T berarti tension (zona regangan), dan B
adalah titik tengah. (Anderson, 1951).
35
3.7.3. Kinematika Sesar
Analisa kinematika merupakan analisa rekonstruksi dari pergerakan yang
terjadi pada saat proses deformasi batuan yang terjadi disemua skala. Analisis
kinematika merupakan salah satu metode analisis sesar yang menggunakan
parameter orientasi struktur geologi, dan sudut geser dalam batuan yang
diproyeksikan pada stereonet.
Klasifikasi menurut Rickard (1972) secara sederhana menjelaskan sesar
berdasarkan faktor besaran pergeseran dan pergrakan dari bidang sesar, besaran
nilai ini dinotasikan sebagai Net slip, yang dapat diperoleh dilapangan dari
perpotongan struktur garis gores garis atau cermin sesar dengan bidang sesar.
Klasifikasi sesar menurut Rickard (1972) mengacu pada nilai pitch/rake dari Net
slip dan nilai dip dari bidang sesar, yang dituangkan dalam suatu diagram untuk
menentukan jenis sesar dengan nilai pitch dan dip tertentu (Gambar 3.11).
36
fracture. Jika tidak terdapat gash fracture maka pergerakan didekati dengan σ2
yang merupakan titik perpotongan 2 shear dengan asumsi dalam kondisi satu
tegangan (gambar 3.12). Perbedaan yang paling mendasar dari model Moody dan
Hill, dengan Harding adalah arah gaya pembentuknya. Jika Moody dan Hill lebih
meyakini pure shear sebagai gaya penyebab terbentuknya shear. Sedangkan
konsep Harding lebih condong ke simple shear.
3.7.5. Lipatan
Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk suatu bahan yang yang bersifat
plastis, dan tidak mudah untuk patah, oleh karena itu lipatan pada batuan biasanya
terjadi sebelum terbentuknya patahan pada batuan, ditunjukkan sebagai
lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di dalam
bahan tersebut (Gambar 3.14). Lipatan merupakan salah satu tipe struktur geologi
yang paling biasa terdapat. Ukurannya sangat bervariasi, dan mempengaruhi tipe
permukaan batuan yang berbeda: stratifikasi, belahan (cleavage), schistosity,
sesar, joints. Lipatan muncul di beberapa lingkungan geologi yang berbeda tapi
merupakan hasil yang paling tipikal dari deformasi intensif suatu busur orogenik
Pembentukan lipatan dapat dapat terjadi melalui proses:
Buckling, yaitu karena proses penekanan lateral dari suatu bidang planar.
Proses pelengkungan terjadi pada kedua sisi selama terjadi pemendekan.
Bending, yaitu karena pengaruh gerakan vertikal pada suatu lapisan, misalnya
38
penurunan lapisan, pergeseran pada jalur gerus, atau pelengseran suatu masa
batuan pada bidang yang tidak rata.
39
Gambar 3.15. Unsur – unsur lipatan (Fleuty, 1964;dalam Ragan, 1973).
40
Langkah pertama dalam rekonstruksi penampang dengan menggunakan
arc methode (metode busur lingkar) yaitu menyajikan data kedudukan lapisan dan
data batas satuan stratigrafi sebagai data dasar. Kemudian membuat garis – garis
tegak lurus terhadap kemiringan lapisan pada setiap lokasi pengukuran. Garis –
garis tersebut akan saling berpotongan di titik “O” (Gambar 3.16). titik “O”
tersebut merupakan pusat lingkaran untuk membuat busur sebagai rekonstruksi
lipatan.
Gambar 3.16. Rekonstruksi lipatan dengan metode busur lingkar (arc methode)
(Busk, 1928).
41
BAB IV
INTERPRETASI AWAL GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
4.1. Geomorfologi
Aspek-aspek yang akan dikaji dalam pembahasan geomorfologi di daerah
penelitian yaitu meliputi: satuan geomorfologi, pola pengaliran, stadia sungai,
stadia daerah, dan proses geomorfologi (morfogenesis). Pembagian satuan
geomorfologi daerah penelitian dibagi dengan berdasarkan klasifikasi bentuk
muka bumi (BMB) van Zuidam (1983). Klasifikasi bentuk muka bumi memiliki
prinsip dasar pembagian satuan geomorfologi dengan mengacu pada proses-
proses geologi baik endogen maupun eksogen dengan mempertimbangkan pula
aspek lainnya. Namun dalam proses pengklarifikasian bentang alam pada daerah
penelitian menjadi satuan-satuan bentang alam bernama berdasarkan klarifikasi
bentuk muka bumi dirasa terdapat beberapa kekurangan terutama pada aspek
morfometri. Klasifikasi bentuk muka bumi pada pengaplikasiannya tidak dapat
memberikan gambaran secara kuantitatif sehingga pada penelitian ini peneliti juga
mengacu kepada klasifikasi morfometri van Zuidam (1983) dan van Zuidam &
Cancelado (1979) sebagai data pendukung atau pelengkap pemerian masing-
masing satuan geomorfologi.
42
penelitian, maka Satuan geomorfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi
beberapa satuan yang terdiri atas: Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Kuat
Struktural (S9), Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat dan Perbukitan
Denudasional (D1), Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Kuat Denudasional
(D2), Satuan Geomorfologi Danau (waduk) (F2), dan Satuan Geomorfologi
Dataran Fluvial (F1).
43
4.1.1.2. Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat-Perbukitan Denudasional
Satuan geomorfologi ini menempati +/- 20% dari total keseluruhan luas
daerah penelitian serta terletak dibagian tengah dari lokasi penelitiam yang
ditandai dari relief kontur yang relatif renggang. Satuan ini tersebar di bebrapa
lokasi yang meliputi desa Kedungjati, desa Pohkumbang, desa Grenggeng dan
sebagian desa Pekuncen. Satuan ini memiliki kemiringan lereng rata-rata 17.9%
dengan beda tinggi rata-rata 58 meter. Pola pengaliran yang berkembang pada
satuan ini yaitu rectangular dan bagian selatan dendritik. Satuan geomorfologi ini
tersusu oleh litologi batulempung dan batupasir . Tata guna lahan pada satuan
geomorfologi terdiri atas permukiman dan tegalan. (Gambar 4.2).
44
Satuan ini merupakan tubuh air yang terbentuk dari proses pembendungan sungai.
Satuan geomorfologi ini tersusun oleh litologi berupa Breksi andesit. Satuan
geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai sumber irigasi, tempat wisata dan sarana
transportasi air. (Gambar 4.3).
Gambar 4.3. Satuan Geomorfologi Danau waduk foto diambil pada koordinat
UTM 335750 mT dan 9165858 mU, lensa kamea menghaap arah
Utara.
45
Gambar 4.4. Satuan Geomorfologi Dataran Fluvial lensa kamera mengadap arah
Selatan foto diambil pada koordinat UTM 336376 mT dan 9165676
mU, lensa kamera menghadap arah Selatan.
46
pengaliran di daerah penelitian terdapat 4 jenis pola pengaliran yaitu Pola
pengaliran dendritic, pola pengaliran rectangular, pola pengaliran Sub Paralel, dan
pola pengaliran sub dendritic. (Gambar 4.5).
48
ada maka stadia Sungai Pogung menurut Thornbury (1969) adalah masuk kategori
stadia dewasa.
Gambar 4.6. Stadia sungai dewasa Sungai Pogung foto diambil pada koordinat
UTM 337327 mT dan 9160502 mU, lensa kamera menghadap
arah Utara.
49
Gambar 4.7. Stadia daerah penelitian.
Gambar 4.8. Satuan Tuf Waturanda foto diambil pada koordinat UTM 336376
mT dan 9165676 mU, lensa kamera menghaap arah Barat.
51
penampang A – B (Lampiran lepas 3 peta geologi interpretasi) diperkirakan +/-
1175 meter.
Gambar 4.9. Kenampakan singkapan Tuf Waturanda foto diambil pada koordinat
UTM 336790 mT dan 9164804 mU, lensa kamera menghadap
arah Timur.
4.2.1.3. Umur
Secara regional satuan ini masuk pada anggota Waturanda. Berdasarkan
pada peta geologi regional lembar Kebumen oleh Asikin dkk., (1992), anggota
Waturanda mempunyai umur miosen awal.
52
4.2.2. Satuan Batuan Breksi Andesit Waturanda
Satuan ini tersusun oleh breksi andesit yang mana satuan ini hanya
didominasi oleh satu litologi yaitu breksi andesit. Berdasarkan ciri fisik di
lapangan secara megaskopis breksi andesit memiliki karakteristik warna segar
abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat kemerahan, ukuran butir kerakal -
berangkal didominasi ukuran berangkal, bentuk butir menyudut, sortasi buruk,
kemas terbuka. Adapun fragmen penyusunya berupa andesit dengan warna segar
abu-abu kehitaman derajat kristalisasi hipokristalin, granularitas afanitik,
komposisi plagioklas dan kuarsa struktur yang dijumpai berupa masif dan satuan
ini menjadi sebagai sayap antiklin pada lokasi penelitian.
Berdasarkan pada ciri-ciri litologi yang dapat diamati dilapangan satuan ini
dapat dinamakan sebagai satuan breksi andesit. Berikut kenampakan dari satuan
breksi andesit Waturanda yang berada dilokasi penelitian (gambar 4.10).
Gambar 4.10. Satuan Breksi Andesit Waturanda foto diambil pada koordinat
UTM 336675 mT dan 9164004 mU, lensa kamerah menghadap
arah Timur.
53
geomorfologi perbukitan tersayat kuat denudasional (D2). Ketebalan dari satuan
ini berdasarkan pada kedudukan batuan yang tercermin pada penampang A – B
(Lampiran lepas 3 peta geologi interpretasi) diperkirakan +/- 1325 meter.
Gambar 4.11. Kenampakan litologi Breksi Andesit Waturanda foto diambil pada
koordinat UTM 336047 mT dan 9163228 mU, lensa kamera
menghadap arah Selatan.
4.2.2.3. Umur
Secara regional satuan ini masuk pada Formasi Waturanda. Berdasarkan
pada peta geologi regional lembar Kebumen oleh Asikin dkk., (1992), Formasi
Waturanda mempunyai umur miosen awal.
54
4.2.2.4. Hubungan Stratigrafi
Hubungan stratigrafi satuan Breksi Andesit Waturanda dengan satuan tuf
Waturanda yang diendapkan dibawahnya adalah menjari.
55
4.2.3.1. Penyebaran dan ketebalan
Satuan batulempung karbonatan Penosogan ini menempati kurang lebih
20% dari luas daerah penelitian, meliputi daerah Pohkumbang, Kedungjati, dan
Sebagian berada di desa Jatinegara. Di daerah penelitian satuan ini menempati
satuan geomorfologi bergelombang kuat dan perbukitan denudasional (D1).
Ketebalan dari satuan ini berdasarkan pada kedudukan batuan yang tercermin
pada penampang A – B (Lampiran lepas 3 peta geologi interpretasi) diperkirakan
+/- 700 meter.
56
2. Batupasir Karbonatan
Secara megaskopis batupasir karbonatan pada daerah penelitian memiliki
karakteristik. Batupasir karbonatan memiliki warna putih kekuningan, warna
lapuk kuning kecoklatan, ukuran butir pasir sedang, sortasi baik, kemas tertutup
dan semen karbonat (gambar 4.14).
4.2.3.3. Umur
Secara regional satuan ini masuk pada Formasi Penosogan. Berdasarkan
pada peta geologi regional lembar Kebumen oleh Asikin dkk., (1992), Formasi
Penosogan mempunyai umur miosen tengah.
Gambar 4.15. Satuan batupasir karbonatan halang foto diambil pada koordinat
UTM 335712 mT dan 9161864 mU, lensa kamera menghadap
arah Timur.
4.2.4.3. Umur
Secara regional satuan ini masuk pada Formasi Halang. Berdasarkan
pada peta geologi regional lembar Kebumen oleh Asikin dkk., (1992), Formasi
Penosogan mempunyai umur miosen akhir.
59
Pogung. Satuan ini banyak diendapkan di pinggiran Sungai Pogung dengan
ukuran bervariasi mulai pasir sampai kerakal. Dibeberapa bagian nampak ukuran
berangkal akan tetapi yang mendominasi adalah ukuran pasir-kerakal.
Berdasarkan pada ciri-ciri yang dapat diamati dilapangan dengan
pendekatan litostratigrafi maka satuan ini dapat dinamakan sebagai satuan
endapan pasir-kerakal. Berikut kenampakan dari endapan pasir-kerakal Aluvium
(gambar 4.17).
Gambar 4.17. Satuan pasir-kerakal yang berada di sepanjang aliran sungai, garis
berwarna merah menunjukan pelamparan endapan pasir-kerakal.
Foto diambil pada koordinat UTM 337452 mT dan 9160491 mU
lensa kamera menghadap arah Utara.
60
4.2.5.2. Litologi Penyusun
Satuan ini tersusun oleh material lepas berupa endapan pasir-kerakal
yang dihasilkan dari aktivitas Sungai Pogung. Satuan ini membentuk suatu
endapan yang belum mengalami litifikasi dan tersebar disepanjang Sungai
Pogung.
4.2.5.3. Umur
Secara regional satuan ini masuk pada endapan Aluvium. Berdasarkan
pada peta geologi regional lembar Kebumen oleh Asikin dkk., (1992), endapan
Aluvium mempunyai umur kuarter.
61
utara- selatan.
62
2. Arah umum Barat – Timur, arah umum ini pada daerah penelitian
berkaitan dengan pola lipatan berupa antiklin, sinklin dan sesar naik
berdasarkan peta geologi regional.
63
4.3.1. Lipatan Antiklin
64
BAB V
JADWAL PELAKSANAAN DAN RANCANGAN ANGGARAN BIAYA
65
Tabel 5.2. Perkiraan Anggaran Biaya Penelitian.
Peralatan
66
Konsumsi selama 14 hari untuk 2 orang @ Rp. 80.000-
2 1.120.000
/hari
Analisis Laboratorium
Lain-Lain
Biaya Keseluruhan
67
2 Peralatan 895.000
5 Lain-lain 2.100.000
68
BAB VI
RENCANA LINTASAN
69
Wonosigro, Kedungjati, semali, dan Kenteng. Waktu yang diperlukan untuk
lintasan ini sekitar 3 hari.
70