ABSTRAK
Berdasarkan fakta, pembelajaran Bahasa Indonesia di lembaga pendidikan belum
dapat mencapai hasil sesuai harapan kurikulum. Dalam Standar Isi (KTSP) pembelajaran
Bahasa Indonesia pada dasarnya diarahkan agar siswa memiliki kompetensi komunikatif
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Persoalan tersebut dapat diantisipasi dengan
uapaya meningkatkan profesionalisme guru. Upaya peningkatan profesionalisme guru
tersebut salah satunya adalah penerapan metode pembelajaran yang tepat sasaran dan
menarik pada saat pembelajaran di kelas. Metode yang dapat dijadikan alternatif adalah
metode e-learning yang pada penerapannya memanfaatkan media ICT (Information and
Communucation Technology). Penerapan metode e-learning dapat dilakukan pada aspek
pembelajaran mendengarkan, menulis, membaca, dan berbicara, ditambah dengan
pembelajaran sastra. Meskipun tampak sempuna, metode ini juga memiliki kelemahan-
kelemahan.
Pengertian E-learning
Istilah E-Learning sebenarnya merupakan frasa yang tersusun dari dua unsur, yaitu unsur E
yang merupakan kependekan dari elektronik, dan unsur learning yang berarti
pembelajaran. Dengan demikian e-learning memiliki pengertian " Pembelajaran dengan
memakai atau memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. Jaya Kumar C. Koran
(dalam Andi Afifudin, 2007) mendifinisikan e-learning sebagai kegiatan pembelajaran
yang prosesnya menggunakan media elektronik (LAN, WAN, dan internet). Senada
dengan pengertian tersebut, Tim Multimedia SMPN 3 Jember mendefinisikan e-learning
sebagai suatu proses belajar yang memanfaatkan teknologi informasi berupa komputer
yang dilengkapi dengan alat telekomunikasi (internet, intranet, ekstranet) dan multimedia
(grafis, audio, video). Akan tetapi, beberapa pendapat lebih menekankan bahwa e-learning
adalah pembelajran yang memanfaatkan internet sebagai media belajar dan penyedia bahan
belajar. Mengacu pada pengertian tersebut, maka pembelajaran bahasa Indonesia pun
diarahkan untuk memanfaatkan internet sebagai sumber dan sarana belajar bahasa.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang sangat nyata
antara pembelajaran tradisional dan pembelajaran dengan metode e-learning. Jika
pembelajaran tradisional masih menganggap guru sebagai sumber informasi utama dan
satu-satunya, maka pembelajaran dengan metode e-learning menekankan adanya model
pembelajaran mandiri (mengarahkan, memotivasi, dan mengatur dirinya sendiri dalam
pembelajaran) oleh siswa. Suasana pembelajaran dengan metode e-learning akan memaksa
siswa untuk bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pembelajarannya sendiri. Siswa
dituntut berperan lebih aktif dan berinisiatif dalam membuat rancangan dan materi
pembelajarannya. Menurut Tim Multimedia SMPN 3 Jember (2008), setidaknya ada empat
komponen yang harus diperhatikan dalam konteks budaya belajar semacam ini. Empat
komponen tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
1. Siswa dituntut selalu mandiri, tidak sepenuhnya bergantung pada guru atau siswa lain.
2. Guru mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, memfasilitasi
pembelajaran, memahami belajar dan hal-hal yang dibutuhkan dalam pembelajaran
3. Tersedianya infrastruktur yang memadai.
4. Administrator yang kreatif dan selalu siap menyiapkan infrastriktur yang dibutuhkan
dalam pembelajaran.
Namun demikian, meskipun dalam pembelajaran e-learning guru seolah-olah tidak lagi
memiliki peran penting sebagai sumber informasi utama, kehadiran guru tetap mutlak
diperlukan. Dalam konteks ini, guru lebih berperan sebagai fasilitator dan pengontrol
kegiatan belajar siswa. Sebagai konsekuensinya, guru harus memiliki kompetensi dalam
mengopersikan internet, mampu memilih bahan belajar yang sesuai dengan latar belakang
sosiologis dan psikologis siswa, sekaligus memiliki alat kontrol yang jelas untuk
mengarahkan dan mengukur keberhasilan belajar siswa. Selain itu guru harus menyusun
perencanaan pembelajaran (RPP) dengan sangat matang (identifikasi materi pembelajaran,
penentuan indicator dan kerangka materi, penyajian materi, evaluasi, dan pengayaan).
Simpulan
E-lerning tentu saja bukan satu-satunya metode pembelajaran yang mampu
menciptakan hasil belajar yang optmal. Ini hanya salah satu alternatif model pembelajaran
yang bisa digunakan oleh guru bahasa untuk memvariasikan pembelajaran bahasa di kelas.
Tidak dalam setiap pertemuan, guru menerapkan pembelajaran e-learning ini. Pemaduan
antara e-learning dan face to face learning (blanded learning) justru akan menghindarkan
siswa dari situasi belajar yang membosankan. Bukankah transferisasi ilmu hanya akan
terjadi jika siswa dan guru berada pada kondisi pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif,
inovatif, dan menyenangkan?
Daftar Rujukan
Afifuddin, Andi. 2007. Penggunaan Metode E-learning dalam proses Belajar Mengajar
TIK di SMP. Batang: tidak diterbitkan.
Syafi’i, Imam. 1995. Pendekatan Whole Language dalam Pembelajaran Bahasa. Bahasa
dan Seni. XXIII (2), hlm. 142—152.