PERSOALANFILSAFATILMU
PERSOALANFILSAFATILMU
net/publication/284442954
CITATIONS READS
8 102,289
1 author:
Ade Hidayat
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
13 PUBLICATIONS 30 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Ade Hidayat on 23 November 2015.
Ade Hidayat
0
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
PENDAHULUAN
1
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
pikirkan. Jadi, saking luasnya materi pemahaman filsafat, orang dapat saja
tersesat ketika mencoba untuk memahami filsafat.
2
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
3
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
4
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
5
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
6
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
7
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
8
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
9
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
10
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
11
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
kita”. Hal ini terjadi atas dasar pengaruh rasa kagum akan sesuatu yang kita
lihat, dengar, dan rasakan. Namun demikian, setelah kita sadar dengan apa
yang kita miliki atau sadar akan diri kita sendiri, biasanya kita akan mencoba
untuk instropeksi atau meninjau diri kita sendiri. Pertanyaan seperti apakah
kita dan secara umum pertanyaan siapa manusia itu akan terbersit.
Ketika pertanyaan serupa ini muncul, pertanyaan tentang masalah
“penciptaan” akan menghampiri. Karena ada dunia dan manusia, tentu ada
yang menciptakannya. Inilah yang disebut sebagai masalah transenden dalam
filsafat. Kenapa disebut dengan transenden? Ya, ini sebenarnya karena sesuatu
yang berhubungan dengan penciptaan dunia dan manusia itu adalah sesuatu
yang berada di luar pengetahuan manusia. Sementara itu, masalah yang
berhubungan dengan manusia dan dunia seringkali dinamakan dengan
“immanen” (immanence), serta dilawankan dengan pengertian transenden.
Disebut immanen karena ini berhubungan langsung dengan pengalaman
manusia itu sendiri.
Lalu, bagaimana masalah immanen dan transenden ini harus dipahami
dalam kaitannya dengan cabang kajian filsafat?
Dari pemahaman mengenai dunia, kita sebenarnya sedang bergerak
memasuki cabang filsafat yang disebut dengan Kosmologi (Cosmology).
Berasal dari kata Yunani, kosmos (yang berarti dunia atau juga teratur),
Kosmologi adalah cabang filsafat yang mengkaji masalah asal muasal alam
semesta beserta proses terciptanya. Berdasar pada kajian mengenai dunia
inilah juga lahir ilmu-ilmu kealaman, yaitu: Astronomi, Geologi, Fisika, Kimia,
dan Biologi.
Pada kajian mengenai manusia, kita akan menemukan hubungan dengan
berbagai macam cabang filsafat. Ada kajian Filsafat Manusia (Philosophical
Antropology), Filsafat Pengetahuan (Epistemology), Filsafat Nilai (Axiology),
Filsafat Moral atau Etika (Ethics), Filsafat Sosial (Social Philosophy), Filsafat
Akal (Philosophy of Mind), Logika (Logics), Filsafat Ilmu (Philosophy of
Sciences), hingga Filsafat Bahasa (Philosophy of Language). Dari kajian
mengenai manusia pula lahir ilmu-ilmu kemanusiaan (humanity sciences) dan
ilmu-ilmu sosial (social sciences).
Sedangkan pada kajian atas masalah transendensi, ini secara khusus
dikaji dalam cabang filsafat yang disebut dengan Metafisika (Metaphysics).
Namun demikian, kita jangan salah paham dulu dengan istilah Metafisika.
Walaupun Metafisika itu mengkaji sesuatu yang berada di luar wilayah fisik
atau melampaui wilayah fisik, ini tidak kemudian mengandaikan bahwa
Metafisika berurusan dengan klenik ataupun magis. Sebab, Metafisika itu
12
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
13
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
14
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
15
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
sesuatu yang tidak ada (= Ontologi). Baru setelah itu, kita dapat melakukan
sesuatu penilaian atas apa yang kita pahami atau memahami nilai dari apa yang
kita pahami (= Aksiologi).
Nah, dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa empat cabang itu
cukup netral dan bisa dipakai untuk mengkaji masalah-masalah yang
berkaitan dengan dunia, manusia, ataupun Tuhan. Oleh karena itu, empat
cabang filsafat inilah yang bisanya dijadikan dasar untuk masuk dalam cabang-
cabang filsafat lainnya.
Misalnya, “Apakah Nazi-isme (berkaitan dengan partai politik Nazi yang
didirikan oleh Adolf Hitler di Jerman) itu pola pikirnya keliru apa tidak?”
Dalam masalah ini, kita masuk dalam pembahasan Filsafat Politik melalui
Logika.
Contoh lain: “Apakah kita dapat mengetahui awal terciptanya jagat raya?”
Pada soal ini, aspek Epistemologis menjadi dasar untuk memahami Kosmologi.
Begitupun dengan masalah-masalah lain dalam filsafat. Semuanya dapat
dipahami dengan baik asalkan seseorang benar-benar memahami empat
cabang filsafat tersebut.
16
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
LOGIKA
17
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
Komentar ini tidak salah. Sebagian besar yang dipelajari Logika memang
sudah diajarkan dalam pelajaran bahasa. Tetapi, pelajaran bahasa tidak
mengajarkan pada kita untuk menelaah masalah-masalah istilah ataupun
pernyataan dengan pengertian filosofis. Artinya, sesuatu istilah dapat saja
memiliki beragam arti sesuai dengan pandangan orang yang
mendefinisikannya. Untuk lebih jelasnya, kita akan coba bahas istilah “ya”
dalam bahasa Indonesia dari sudut pandang bahasa maupun logika.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1984) yang disusun oleh W.J.S.
Poerwadarminta, istilah “ya” dapat berarti:
(1) kata untuk menyatakan setuju; contoh: Ya, baiklah.
(2) wahai; contoh: Ya tuanku!
(3) bukan; contoh: Ia orang kaya, ya?
(4) gerangan; contoh: Siapa ya yang tadi memanggil namaku?
(5) penguat; contoh: Besok jangan lupa datang ya!
Berdasarkan kelima contoh ini, sebenarnya sudah disebutkan beberapa
alternatif yang cukup luas untuk pengertian istilah “ya”. Walaupun demikian,
kita juga dapat saja menambahkan konteks baru dalam pengertian istilah “ya”.
Misalnya, dalam kalimat:
(6) “Ya, kalau dia setuju. Kalau tidak, bagaimana?”
Di dalam kalimat ini, istilah “ya” mengandung pengertian ‘persetujuan
yang bersyarat’. Artinya, istilah “ya” pada kalimat (6) berbeda pengertiannya
dengan kalimat (1) yang dikutipkan di atas karena persetujuannya tidak
langsung terpenuhi dengan hanya mengatakan “ya”.
Memahami uraian yang menggunakan contoh-contoh di atas, nampak
bahwa apa yang diuraikan oleh Poerwadarminta atas pengertian istilah “ya”
dari segi bahasa tidak dapat merangkum seluruh pengertian istilah “ya” yang
mungkin akan muncul. Termasuk penjelasan yang sebaiknya diberikan untuk
pengertian istilah “ya” dalam pengertian nomor (3). Kenapa istilah “ya” dalam
bahasa Indonesia juga mengandung istilah negatif (‘bukan’)? Padahal, dalam
bahasa Inggris, kita tidak menemukan istilah “yes” yang mengandung istilah
negatif.
Pertanyaan serupa di atas pun tidak akan muncul kalau kita tidak
menggunakan Logika sebagai dasar penalarannya. Oleh karena itu, kita dapat
mengatakan bahwa pada uraian-uraian di muka, Logika mengajarkan kita
memahami suatu istilah dalam berbagai konteks dan situasi. Ini dimungkinkan
18
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
19
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
20
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
Kata “is” ini disebut dengan Kopula (atau mirip dengan lambang “=“ dalam
Matematika).
Kata “itu”, “ini”, atau “adalah” biasa digunakan sebagai Kopula untuk
pernyataan logis dalam bahasa Indonesia.
Lalu bagaimana dengan syarat Materialnya? Bagaimana penjelasannya? Kita
berikan satu contoh lagi di bawah ini agar dapat dibandingkan.
(Contoh 2)
(1.2) Semua manusia itu berumur panjang
(2.2) Kabayan itu manusia
------------------------------------
(3.2) Kabayan itu berumur panjang
Pada contoh terakhir, walaupun sudah memenuhi syarat sesuai dengan
kaidah Formal di atas, kita bisa mengetahui bahwa kesimpulannya keliru.
Contoh 2 ini menyimpulkan bahwa Kabayan itu akan memiliki umur yang
panjang. Padahal, mungkin saja kalau Kabayan ini berumur pendek. Jadi, untuk
contoh 2, kita dapat mengatakan bahwa contoh ini valid/sahih secara formal
tetapi keliru secara material.
Terakhir, mungkin kita masih penasaran dengan dua istilah ini, yaitu:
Induktif dan Deduktif. Untuk istilah Deduktif, sudah diberikan contohnya
dalam contoh 1. Begitulah yang disebut pola pikir Deduktif. Sedangkan untuk
Induktif, inilah contohnya:
(Contoh 3)
(1.3) Kabayan itu akan mati
(2.3) Kabayan itu manusia
------------------------------------
(3.3) Semua manusia itu akan mati
Jadi, kita bisa bandingkan contoh 1 dan contoh 3, semua pernyataannya
sama persis. Hanya saja, dalam contoh 1, pernyataan 3.3 ada dan berlaku
sebagai Premis Mayor. Sedangkan pada contoh di sini, pernyataan tersebut
malah menjadi Konklusi.
Sekarang, mudah-mudahan Anda dapat mempelajarinya dengan baik dan
memahami serba sedikit dari pembahasan Logika beserta model
penerapannya dalam menganalisis kehidupan sehari-hari. Sebagai tambahan
informasi, kaidah Formal yang dimaksud di atas dalam kajian Logika
21
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
22
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
Deduksi:
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
------------------------------------
(1.3) Buncis ini (adalah) putih
Induksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
------------------------------------
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
Abduksi
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
------------------------------------
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
DIALEKTIKA ZENO
Bila dilihat dari sejarahnya, Dialektika ini sebenarnya berasal dari kata
dialegestai (Yunani) yang berarti “percakapan”. Para filsuf sebelum Sokrates
dari Athena (± 469-399 SM), seperti Zeno dari Elea (± 490-430 SM), sudah
menggunakan istilah ini sebagai suatu nama untuk metode berpikir. Ini
dipakai, terutama, ketika Zeno dari Elea berusaha untuk mempertahankan
pandangan sang guru, Parmenides (± 515-440 SM) yang menyatakan bahwa
“alam semesta itu satu adanya dan tidak ada perubahan di dalamnya”.
Pandangan yang demikian ini dikenal sebagai suatu jenis pandangan yang
monistik tentang semesta.
23
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
Membaca masalah di atas, mungkin kita akan sedikit heran, atau malah
bingung. Kok bisa ya filsuf mengemukakan masalah yang ganjil serupa ini? Ya,
saat Achilles dinyatakan tidak bisa menang melawan kura-kura dalam lomba
lari, mungkin ini seperti bualan. Tetapi, kalau boleh disebut, ini bualan yang
paling argumentatif. Sebagai orang Yunani masa itu, Zeno tahu kalau Achilles
adalah seorang pelari yang handal. Bahkan, dalam mitologi Yunani, Achilles
adalah seorang pahlawan pada Perang Troya. Jadi, kalau Achilles harus
bertarung lari dengan seekor kura-kura yang sangat lambat, maka “sungguh
mustahil sekali” kalau kura-kura bisa menang.
Akan tetapi, di balik masalah yang Zeno kemukakan, sebenarnya ada
suatu persoalan pelik yang hanya bisa dipahami menggunakan pendekatan
fisika maupun matematika untuk mengatakan pandangan Zeno itu benar.
Walalupun demikian, ada syarat tertentu yang diandaikan oleh pernyataan ini.
Syarat ini tiada lain adalah kura-kura harus memulai lari lebih dahulu daripada
Achilles. Kenapa harus seperti itu?
Syarat di atas dibutuhkan dalam memahami pernyataan Zeno dari sisi
fisika maupun matematika. Dari segi fisika, pernyataan Zeno mendapatkan
pembenaran kalau hal ini dikaitkan dengan analisis mengenai waktu. Misalnya
Achilles (A) dan kura-kura (K) memulai lomba pada waktu 00.00. Saat lomba
dilaksanakan, K memulainya terlebih dahulu pada 00.01 dan A membiarkannya
sampai K itu melaju cukup jauh. Dengan kecepatan lari yang dimilikinya, A
berlari mengejar K hingga melampauinya dan menunggu K menghampirinya
kembali.
Menilik cerita lomba di atas, tentunya A lebih unggul secara kemampuan
dan dapat dipastikan siapa pemenangnya. Namun, dalam kaitannya dengan
waktu, justru K yang lebih dahulu memimpin. Ini karena K memulai lomba
pada 00.01. Saat kita memahami ini semua dalam kerangka waktu, maka A-lah
yang akan mengalami kekalahan. Ini karena waktu A memulai lomba misalnya
pada 30.00, setelah menunggu K berjalan cukup jauh. Dalam teori mengenai
waktu, tidak ada sesuatu apapun yang dapat melampaui atau mendahului
waktu. Tidak juga kecepatan cahaya.
24
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
25
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
26
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
wahai Meno?”
“Kau memang tidak tahu apa artinya hidup mewah Sokrates. Kranos itu
punya segala-galanya. Budak yang ia punya lebih dari 40 orang. Perempuan
pun suka padanya. Tidak kurang dari belasan perempuan hilir mudik datang
ke rumah Kranos tiap harinya. Merayu untuk menjadi istrinya. Rumah itu
amat megah. Berdiri kokoh dengan tiang granit dan lantai batu pualam.
Tidak cukup sampai di situ, ia, Kranos, juga memiliki 4 kereta dan 10 ekor
kuda. Itu hebat Sokrates. Itu baru namanya hidup.”
“Terus, apa hubungannya antara hidup sangat senang dan hebat? Apakah
kalau kita hidup dengan hebat maka akan hidup dengan sangat senang?”
“Itu betul Sokrates. Kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan
hebat. Makanya aku datang jauh-jauh ke Athena agar bisa belajar dan
mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada Kranos. Aku akan menjadi
lebih hebat dari Kranos tentunya.”
Di tengah percakapan ini, seorang anak kecil bersama ibunya lewat di depan
mereka. Anak itu sangat senang sekali karena ibunya membelikan ia permen
gula. Ia jalan berjingkat-jingkat kecil dengan satu tangan menggenggam
permen gula dan tangan lainnya memegang tangan si ibu.
“Kau lihat anak kecil itu wahai Meno?”
“Ya Sokrates. Memangnya ada apa?”
“Tadi anak kecil itu begitu senangnya. Tidakkah itu juga hebat Meno?”
“Hebat apanya Sokrates? Menurutku, itu wajar saja. Setiap anak yang diberi
permen gula tentu akan merasa sangat senang.”
“Jadi, kau menganggap kalau hebat itu tidak identik dengan rasa senang?”
“Maksudmu apa Sokrates?”
“Tadi kau mengatakan kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup
dengan hebat.
Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa rasa senang itu identik
dengan hebat? Artinya, kalau kita hidup dengan hebat, itu akan membuat
kita hidup senang. Bukankah begitu wahai Meno sahabatku?”
Meno bingung dengan pertanyaan dan kata-kata Sokrates. Ia mulai
kehilangan kata-kata.
“Iya, mungkin, Sokrates.”
“Kenapa mungkin? Kalau rasa senang itu identik dengan hebat, maka anak
27
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
kecil yang tadi mendapat permen gula itu pun bisa kita bilang hebat Meno.
Hanya dengan sebuah permen gula yang kecil, ia bisa merasa sangat senang.”
Meno akhirnya tak mampu berkata-kata. Ia merasa terpojok dengan ucapan
Sokrates. Hanya dengan contoh kecil saja, Sokrates telah membuat
lamunannya yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.
“Aku tidak melarangmu menjadi hebat atau melebihi kehebatannya Kranos,
wahai Meno. Aku ingin kamu menentukan tujuan hidupmu menjadi hebat
bukan semata-mata karena melihat orang lain.”
Setelah itu, Sokrates menepuk pundak Meno, lalu mengajaknya pergi
bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersantap ala kadarnya. Meno
mencari temannya terlebih dahulu, dan mereka bertiga menuju rumah
Sokrates.
Nah, dalam dialog Sokrates dengan Meno di atas, kita dapat melihat
bahwa Sokrates menggunakan Dialektika sebagai satu cara untuk
menyadarkan orang lain itu akan pengertian yang sesungguhnya tentang
makna suatu kata. Dengan contoh-contoh sederhana, Sokrates mampu
mengurai retorika menjadi suatu pembicaraan tanpa isi. Melalui cara inilah ia
dikenal sebagai pembicara ulung dan menjadi sangat disegani di seantero
Athena. Tetapi, ia pun sekaligus menjadi orang yang paling menjengkelkan dan
paling dimusuhi oleh orang-orang yang tidak menyukainya.
Cara seperti ini yang diberi nama oleh Sokrates sebagai maieutike tekhne
(seni kebidanan). Ini karena Sokrates selalu mengganggap dirinya seibarat
“bidan” yang membantu melahirkan pengertian yang benar dalam pikiran
orang lain. Dalam hal ini, ia sangat terinspirasi oleh ibunda yang memang
adalah seorang bidan.
28
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
29
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
mengatakan bahwa: Aku berpikir, maka Aku ada (bahasa latinnya, yaitu:
Cogito ergo sum). Namun, dalam pikiran Fichte, Aku ini tidaklah sendiri. Aku
ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar Aku. Dalam konteks ini,
sesuatu yang di luar Aku dapat berupa Aku yang lain ataupun alam. Sehingga,
dengan pergumulan Aku yang lain ini-lah, Aku menjadi sadar kalau dirinya
terbatas. Begitupun sebaliknya dengan Aku yang lainnya itu. Bahasa
sederhananya, ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar
kalau kita tidak sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun
menjadi sadar kalau kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun
orang lain menjadi tidak bebas.
Dalam model dialektika, pola pikir Fichte terumus demikian: Aku ini
sadar (tesis) – Ada Aku lain (antitesis) – Aku dan Aku lain saling membatasi
(sintesis). Sedangkan pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya
dengan permasalahan identitas. Schelling menolak Fichte yang
mengutamakan Aku atas alam. Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat
subjektif (berciri “roh”) ataupun objektif (berciri “materi”). Aku mengatasi
keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara
sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi. Maka, Aku akan mendapatkan
ciri yang sangat abstrak. Sebab, ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku
yang lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan
manusia yang pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena
keduanya dapat dipandang sebagai Aku.
Dalam model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian: Aku yang
lain atau alam (tesis) – Aku individu atau manusia (antitesis) – Aku yang bukan
materi dan roh (sintesis).
Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu
merumuskan sesuatu yang “sederhana” dibandingkan dua pendapat filsuf itu.
Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan
masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi
yang lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan
bahwa pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa
yang dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan
pemahamannya atas masalah ini menjadi: Idea (tesis), Alam (antitesis), dan
Roh (sintesis)
30
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
yang menjadi unsur pembentuk bahasa. Misalnya, ada kata: “miskin”. Kata ini
akan berarti, hanya jika kata ini digabungkan dengan kata lain atau dengan
tanda bahasa yang mendukung. Misalnya, “Oohh... , miskin ya?” atau,
“Miskin...?”
Pada kalimat pertama, kata miskin bisa berarti dua hal. Hal ini
menunjukkan ungkapan ketidaktahuan seseorang tentang keadaan
sebelumnya yang bersangkutan dengan pengertian “miskin” itu sendiri. Kedua,
ungkapan yang bernada merendahkan dapat menjadi ungkapan seseorang
yang berhadapan dengan keadaan seseorang yang memang “miskin”.
Untuk kalimat kedua, kita akan mengerti kalau kata “miskin” di situ akan
berarti pertanyaan. Juga bisa berarti ungkapan ketidakpercayaan.
Demikianlah, cara kita memahami “miskin” sebagai sebuah kata.
Walaupun begitu, “miskin” juga bisa berarti istilah. Artinya, “miskin”
diberikan pengertian yang bersifat khusus dan akan dipahami secara berbeda
dalam bidang tertentu. Misalnya, dalam Islam, ada ungkapan: “Kemiskinan itu
akan mendekatkan seseorang pada penolakan beragama”. Demikian juga
dalam agama Kristiani, khususnya kaum Protestan, memiliki keyakinan:
“Kemiskinan itu harus ditolak, karena kalau kita kaya di dunia ini, maka kita
akan kaya pula di Surga”. Tetapi tidak begitu dalam Budha. Ini tersirat dalam
keyakinan: “Dengan menjadi pengemis, maka seseorang akan mengerti makna
kehidupan yang sebenarnya”.
Masuk pada bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya, “miskin”
memiliki satu pengertian yang kompleks atau amat luas. Istilah ini dapat
diartikan macam-macam, sesuai dengan “maksud”, “tujuan”, atau
“kepentingan” yang ada dalam penggunaan “miskin” itu. Misalnya, ketika
ditetapkan Millenium Development Goals oleh masyarakat dunia, khususnya
oleh PBB, “kemiskinan itu harus dapat diatasi pada tahun 2015” adalah slogan
yang membawa dampak politis yang luar biasa. Masing-masing negara,
tentunya akan membuat kebijakan ekonomi yang mengarah pada tujuan
tersebut. Begitu juga para politisi akan memakai ini sebagai bagian dari
kampanye.
Selain itu, hal ini juga beraspek budaya, karena “miskin” lalu dikaitkan
dengan sikap hidup manusianya. Pun berhubungan dengan sosial, karena
“miskin” tidak mungkin berada di luar konteks bermasyarakat.
Nah, dengan penjelasan sederhana tersebut, kita mungkin dapat
membayangkan seperti apa bedanya kata dan istilah. Hal ini sebenarnya
terletak pada bagaimana kita mengartikannya, atau bagaimana kita
31
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
32
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
(mendunia atau globalisasi). Bagi yang paham benar dengan pengertian istilah
tersebut, pastilah ia akan memahami kompleksitas pengertiannya. Sebab, ini
bukan hanya menyangkut pada semakin banyaknya orang yang berkunjung
antar negara, tetapi juga berhubungan dengan kasus penyelundupan obat-
obatan terlarang, masalah perusahaan multinasional, hubungan diplomatik,
ataupun kompetisi internasional di bidang pendidikan, tenaga profesional,
hingga teknologi militer.
Ya, globalisasi mengandaikan semuanya itu, dan juga soal-soal yang
belum disebutkan. Kita tidak dapat mereduksi atau memangkas pengertian
istilah ini sebagai sesuatu yang sederhana seperti terkandung dalam
pengertian “mendunia”. Oleh karenanya, menjadi penting bila suatu istilah itu
dipahami dengan baik. Supaya istilah ini dipahami dengan baik, kita harus
mengolahnya dengan baik pula. Lalu, bagaimana caranya suatu istilah itu dapat
diolah dengan baik?
Pengolahan istilah yang baik sebenarnya dilaksanakan dengan cara
“membatasi pengertiannya”. Atau, nama lain untuk pembatasan pengertian
suatu istilah tiada lain daripada yang disebut definition (definisi). Dalam
logika, pemberian definisi suatu istilah dipenuhi oleh dua unsur, yaitu
definiendum (istilah yang hendak dibatasi pengertiannya) dan definiens
(uraian tentang batasan untuk istilah yang dimaksud). Selain dua unsur yang
telah disebutkan, suatu definisi harus memenuhi syarat-syarat seperti terurai
di bawah ini.
1. Suatu definisi tidak boleh lebih atau kurang daripada pengertian dasar
istilah yang didefinisikan.
Misalnya: Manusia adalah hewan.
Definisi istilah manusia ini menjadi salah karena pengertian hewan
melebihi pengertian manusia. Sebab, kata hewan dipakai juga untuk
menyebut jenis yang lainnya dan bukan hanya manusia.
2. Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bahasa yang samar-samar.
Misalnya: Anjing adalah yang berkaki empat.
Definisi istilah anjing di atas masih terlalu samar pengertiannya dan dapat
tertukar dengan pengertian kucing atau kuda yang sama-sama memiliki
empat kaki.
3. Definisi tidak boleh diberi istilah yang didefinisikan atau sinonimnya.
Misalnya: Binatang adalah hewan.
33
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
Istilah binatang merupakan kata lain yang sepadan (atau sinonim) untuk
istilah hewan. Jadi, tidak dapat digunakan untuk membuat pengertian
batasan yang dibutuhkan untuk istilah binatang.
4. Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bentuk negatif apabila masih
mungkin dinyatakan dalam bentuk positif.
Misalnya: Salah adalah tidak benar.
Dalam definisi istilah salah, pengertian tidak benar merupakan pengertian
yang tidak menjelaskan pengertian salah itu sendiri. Kita sudah
mengetahui bila salah akan berarti tidak benar. Jadi, definisi ini merupakan
suatu definisi yang buruk karena tidak memberikan pengertian yang baik
tentang istilah salah.
Catatan: Referensi untuk syarat definisi diambil dari buku Partap Sing Mehra
dan Jazir Burhan, 2001, Pengantar Logika Tradisional, cet. VII, Putra A. Bardin,
Bandung, hal. 27-8.
Apabila suatu definisi memenuhi dua unsur dan keempat syarat yang
telah disebutkan, maka istilah yang didefinisikan menjadi sah dalam pengujian
logika. Untuk memahami lebih jauh penerapannya, kita akan menerapkan
aturan definisi ini dalam membuat suatu pengertian yang baik untuk istilah
globalisasi.
Definiendum Definiens
Globalisasi Proses interaksi antar negara maupun warga negaranya
yang mengakibatkan perubahan mendasar pada budaya
dan orang-orang yang ada pada masing-masing wilayah
negara yang berinteraksi.
34
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
35
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
Misalnya, hakikat dasar manusia adalah berpikir. Maka berpikir adalah definisi
dari manusia.
Selanjutnya, beralih pada istilah genus. Istilah ini memiliki pengertian
sebagai predikat dari sejumlah subjek yang dapat menghadirkan perbedaan
dalam beragam macamnya untuk subjek tersebut. Misalnya, ketika subjeknya
itu adalah manusia, maka genus-nya adalah binatang. (Topica, 102a; 30-5)
Pada konteks ini, binatang menjadi genus manusia serta sekaligus dapat
menjadi genus untuk kera. Ini karena manusia dan kera adalah sama-sama
“subjek”. Namun, manusia dan kera sama-sama menjadi subjek pada konteks
ini adalah karena kita dapat melihat persamaan yang ada di antara keduanya.
Jadi, secara sederhana, genus adalah predikat yang dapat mencakup beberapa
hal dengan melihat kesamaan yang ada di antara beberapa halnya itu.
Pada contoh genus, kita sudah dapat melihat bahwa manusia dan kera
dipertautkan di bawah genus binatang. Kini, menjadi penting untuk
diperhatikan bahwa perbedaan perlu diberikan sebagai predikat yang dapat
memisahkan antara manusia dan kera. Oleh karena itu, diferensia sebagai
suatu predikat, perlu diterapkan dan ditambahkan pada genus (Topica, 101b;
15-20). Ini persis seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa genus dapat
menghadirkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud tiada lain daripada
diferensia. Dalam hubungannya dengan contoh yang diberikan untuk konteks
genus, yaitu binatang, diferensia yang dapat ditambahkan untuk genus
binatang dengan subjek manusia dan subjek kera jelas akan memiliki
kekhususan untuk masing-masingnya. Pada subjek manusia, diferensia yang
dapat ditambahkan adalah “dapat menyusun pengetahuannya secara
sistematis”. Sedangkan untuk subjek kera, diferensianya adalah “dapat
memperoleh pengetahuan melalui naluri, percobaan, dan juga pengalaman”.
Dalam diferensia untuk kera, kita dapat membaca bahwa keterangan yang
serupa ini nampak mendekati pengertian diferensia yang diberikan untuk
manusia. Bedanya itu hanya tipis saja. Pada manusia, diferensia yang diberikan
tekanannya terletak pada istilah “sistematis”. Sedangkan pada kera, titik tekan
diferensia-nya adalah istilah “naluri”. Ini menjadi penting karena manusia
dapat mengembangkan suatu ilmu dengan pengetahuannya yang sistematis,
sedangkan kera tidak dapat mengembangkan pengetahuannya secara lebih
jauh.
Apabila perbedaan yang diberikan masih kurang jelas, masih dapat
diberikan predikat tambahan yang dapat melengkapi keterangan diferensia-
nya. Dengan properti, predikat ini akan dapat melengkapi keterangan secara
lebih jauh. Misalnya, manusia itu “memiliki kemampuan untuk belajar tata
36
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
37
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
Pada tabel di atas ini, kita memang dapat melihat sedikit lebih baik apa
yang sudah disampaikan oleh Aristoteles secara ringkas. Namun, kita juga
masih dibingungkan dengan hubungan antar predikat ini. Bagaimanakah
caranya menggunakan kelima predikat ini dalam membuat suatu definisi yang
baik?
Jawaban atas soal ini diberikan secara sangat baik oleh Porphyrius dari
Tyre (234-305 M). Ia mengadopsi pikiran yang telah dikembangkan madzhab
Peripatetis dalam karyanya yang berjudul Isagoge dan melengkapi apa yang
sudah disampaikan oleh Aristoteles di atas dengan satu predikat tambahan,
yaitu: Species. Ia mengatakan bahwa species adalah predikat yang ada di bawah
atau menjadi anggota dari genus. (Isagoge, P.4-15) Pada contoh sebelumnya,
telah disebutkan bahwa genus untuk manusia adalah hewan. Dalam kaitannya
dengan ini, kita dapat menyebutkan bahwa manusia adalah species dari genus
hewan.
Dengan tambahan satu predikat ini, sebenarnya kita sudah dapat
menyusun pola pendefinisian berdasarkan pada predikat yang telah
dijelaskan. Berikut adalah rumusan definisi dengan menggunakan elemen-
elemen predikat yang dimaksud.
Species Genus Diferensia Properti Aksiden
Manusia Hewan yang dapat menyusun dan melalui pola-pola
pengetahuannya bertata penandaan yang
secara sistematis bahasa khusus
38
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
apa yang dimaksud oleh istilah tersebut. Sedangkan berkenaan dengan sikap
seseorang, ini akan dapat dilihat dalam apa yang diungkapkan melalui
pernyataannya tersebut. Misalnya, ketika seseorang, sebutlah Nita dan Toto
berdiskusi mengenai apa yang disebut dengan katak, maka keduanya akan
melakukan diskusinya kira-kira seperti ini:
Nita : To, apa sih bedanya katak sama kodok? Tahu gak? Aku bingung nih kalo
harus bedain.
Toto : Apa ya bedanya? (Sambil garuk-garuk kepala gak jelas) Mungkin, kalo
katak tuch yang badannya kurus, sedangkan kodok badannya gemuk.
Memang kenapa Nit?
Nita : Ini, lagi ada tugas untuk mendeskripsikan katak dan kodok untuk
pelajaran biologi. Hmmm ... mungkin bener juga ya? Tapi apa sih
perbedaan lainnya?
Toto : Kalo kodok, aku tahunya cuma kulitnya itu totol, agak kasar, terus warna
kulitnya agak gelap. Sedangkan katak, kulitnya licin dan warna kulitnya
agak terang.
Nita : Oh ... begitu ya? Berarti kodok tuh mirip Toto dong. Kan ... kulitnya gelap
gitu. Hihi ...
Toto : Aduh, mentang-mentang aku kulitnya item, kamu samain aku sama
kodok. Awas ya, ta cubit nih ...!
Toto mengejar Nita yang sudah kabur duluan sebelum Toto sempat
mencubitnya.
Ilustrasi di atas ini memperlihatkan beberapa hal yang dapat dikenali
oleh kita sebagai istilah dan juga pernyataan. “Katak” dan “kodok” adalah dua
istilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam diskusi di atas. Sedangkan
pernyataannya, dapat dibaca dalam:
Aku bingung nih kalo harus bedain.
Katak tuch yang badannya kurus, sedangkan kodok badannya gemuk.
Hmmm ... mungkin bener juga.
Aku tahunya cuma kulitnya itu totol, agak kasar, terus warna kulitnya agak
gelap.
Kulitnya licin dan warna kulitnya agak terang.
Berarti kodok tuh mirip Toto dong.
Pernyataan-pernyataan di atas dapat disebut sebagai pernyataan
39
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
40
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
41
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
ONTOLOGI ILMU
PENGERTIAN SINGKAT
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het
zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme,
Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham
ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita
masing masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana
manifestasi kebenaran yang kita cari.
Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat
diuji oleh panca indera manusia, seperti batua-batuan, binatang, tumbuhan,
atau manusia itu sendiri; berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai
manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka
ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan
salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris.
Pengetahuan keilmuan mengenai obyek-obyek empiris ini pada dasarnya
merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu, sebab
kejadian alam yang sesungguhnya begitu kompleks, dengan sampel dari
berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Ilmu tidak bermaksud “memotret”
atau “memproduksikan” suatu kejadian tertentu dan mengabstraksikan dalam
bahasa keilmuan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat
konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis
dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan
orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Ontologi ini
pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris.
Ontologi merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang
menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being),
baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah)
selain itu Ontologi merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat
kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak
42
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
terlepas dari persepektif filsafat tentang apa yang dikaji atau hakikat realitas
yang ada yang memiliki sifat universal.
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”; dari bahasa Yunani on, ontos
(ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Setidaknya ada lima
pengertian dasar mengenai apa itu “ontologi”.
Pertama, ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari Yang
Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada
secara khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’ dalam bentuknya yang sangat
abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti “Apa itu Ada dalam
dirinya sendiri?”
Kedua, ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang filsafat
yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang
menggunakan kategori-kategori seperti: ada dan menjadi, aktualitas dan
potensialitas, esensi, keniscayaan dasar, yang ada sebagai yang ada.
Ketiga, ontologi bisa juga merupakan cabang filsafat yang mencoba
melukiskan hakikat Ada yang terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal
tergantung padanya bagii eksistensinya.
Keempat, Ontologi juga mengandung pengertian sebagai cabang filsafat
yang melontarkan pertanyaan, apa arti Ada dan Berada dan juga menganalisis
bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan Ada.
Kelima, Ontologi bisa juga mengandung pengertian sebuah cabang
filsafat a) menyelidiki status realitas suatu hal misalnya “apakah objek
pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)? “apakah
bilangan itu nyata?” “apakah pikiran itu nyata?” b) menyelidiki apakah jenis
realitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki
bilangan, persepsi, dan pikiran?” dan c) yang menyelidiki realitas yang
menentukan apa yang kita sebut realitas. Dari beberapa pengertian dasar
tersebut bisa disimpulkan bahwa ontologi mengandung pengertian
“pengetahuan tentang yang ada”.
Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu
ungkapan filsafat mengenai yang ada (philosophia entis) digunakan untuk hal
yang sama. Menurut akar kata Yunani, ontologi berarti “teori mengenai ada
yang berada”. Oleh sebab itu, orang biasa menyebut ontologi dengan filsafat
pertama-nya Aristoteles, yang kemudian disebut sebagai metafisika. Namun
pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian pertama metafisika,
yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana
adanya dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut.
43
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
ASUMSI-ASUMSI ILMU
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada
dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika.
Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam
konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal,
menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti
yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus;
menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
44
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
45
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
46
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
47
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
48
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
KONSEP ONTOLOGI
Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi dapat dirangkum
menjadi 5 konsep utama, yaitu: 1) Umum dan tertentu; 2) Kesengajaan
(substance) dan ketidaksengajaan (accident); 3) Abstrak dan kongkrit; 4)
Esensi dan eksistensi; 5) Determinisme dan indeterminisme
1. Umum (universal) dan Tertentu (particular)
Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh
sesuatu, misalnya: karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau
disederhanakan melalui cara-cara tertentu. Sebagai contoh, ada dua buah kursi
yang masing-masing berwarna hijau, maka kedua kursi ini berbagi kualitas
“berwarna hijau” atau “menjadi hijau”.
Tertentu (particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan
waktu. Contohnya, Socrates (guru dari Plato) adalah tertentu (particular),
seseorang tidak dapat membuat tiruan atau kloning dari Socrates tanpa
menambahkan sesuatu yang baru pada tiruannya.
2. Substansi (substance) dan Ikutan (accident)
Substansi adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek,
atau properti yang melekat secara tetap pada sebuah obyek. Jika tanpa
properti tersebut, maka obyek tidak ada lagi.
49
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
Ikutan (accident) dalam filsafat adalah atribut yang mungkin atau tidak
mungkin dimiliki oleh sebuah obyek. Menurut Aristoteles, “ikutan” adalah
kualitas yang dapat digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya: warna, tekstur,
ukuran, bentuk dan sebagainya.
3. Abstrak dan Kongkrit
Abstrak adalah obyek yang “tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu,
tetapi “ada” pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide, permainan tenis
(permainan adalah abstrak, sedang pemain tenis adalah kongkrit).
Kongkrit adalah obyek yang “ada” pada ruang tertentu dan mempunyai
orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya: awan, badan manusia.
4. Esensi dan eksistensi
Esensi adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar
keberadaan sebuah obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari obyek,
jika atribut hilang maka obyek akan kehilangan identitas. Eksistensi (existere:
tampak, muncul. Bahasa Latin) adalah kenyataan akan adanya suatu obyek
yang dapat dirasakan oleh indera.
5. Determinisme dan indeterminisme
Determinisme adalah pandangan bahwa setiap kejadian (termasuk
perilaku manusia, pengambilan keputusan dan tindakan) adalah merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya.
Indeterminisme merupakan perlawanan terhadap determinisme.
Para penganut indeterminisme mengatakan bahwa tidak semua kejadian
merupakan rangkaian dari kejadian masa lalu, tetapi ada faktor kesempatan
(chance) dan kegigihan (necessity). Kesempatan (chance) merupakan faktor
yang dapat mendorong terjadinya perubahan, sedangkan kegigihan (necessity)
dapat membuat sesuatu itu akan berubah atau dipertahankan sesuai asalnya.
50
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
EPISTEMOLOGI
MENGENAL EPISTEMOLOGI
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F.
Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri”
pemaknaan yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup
menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang
berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang
berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya
memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya
juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu
diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna
mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal
iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep
selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-
persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi
belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa
menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar,
hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan
sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan
“jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang
dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak sekali
pemaknaan atau pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam
memberikan pemaknaan terhadap epistemologi, para ahli memiliki sudut
pandang yang berbeda, sehingga memberikan pemaknaan yang berbeda
ketika mengungkapkannya (Qomar, 2005: 2).
Untuk lebih mudah dalam memahami epistemologi, maka perlu
mengetahui pengertian dasarnya terlebih. Secara etimologi, epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran,
percakapan atau ilmu). Ada juga yang mengatakan kalau logos berarti
teori. Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan
tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan
51
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
52
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
MENGAPA EPISTEMOLOGI
Epistemologi merupakan ilmu yang mempelajari dasar-dasar dan
batasan pengetahuan. Oleh karena itu, jika pertarungan terjadi pada tataran
epistemologi, maka bisa dipastikan aman-aman saja. Sebab pada tataran ini
perdebatan masih di sekitar teori pengetahuan Namun, perkembangan kian
rawan apabila dari epistemologi yang kemudian beranjak pada pandangan
tentang alam ini melahirkan berbagai bentuk ideologi. Dan pada tataran
ideologi inilah terjadinya puncak kerawanan, sebab ideologi menyangkut
eksekusi atas deretan perintah dan larangan yang, sudah pasti, berbeda
bahkan bertentangan antara satu ideologi dengan ideologi lainnya. Yang
menjadi pertanyaan, mengapa mesti terjadi perdebatan, mengapa mesti
terjadi perbedaan ideologi? Dan apakah ideologi yang dianut sudah
berpangkal pada epistemologi yang benar? Murthada Muthaharri berupaya
mengupas habis jawaban atas pertanyaan tersebut dan pertanyaan-
pertanyaan filosofis lainnya. Beliau merambah belantara epistemologi dengan
menguraikan berbagai pandangan filsafat dari filosof Barat maupun Islam.
53
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
54
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
namun pertanyaan kemudian yang diajukan kepada kaum emperik adalah dari
mana pengetahuan itu bisa ada kalau tidak ada realitas yang lebih dulu ada, ini
adalah menjadi problem dalam sebuah sains atau pengetahuan yang berdiri di
atas pijakan yang empirisme terutama yang dibangun di Eropa terutama pasca
Fransisco Bacon.
Mazhab Metafisika mencoba menjawab, bahwa ontologilah yang lebih
dulu mempunyai keberadaan, karena tanpa realitas maka mustahil kita bisa
mengetahui sesuatu, dan sesuatu itu akan tetap mempunyai keberadaan tanpa
kita secara subyektif memberikan penilaian tentang keberadaannya, seperti
keberadaan bulan dan bintang adalah sesuatu yang niscaya adanya tanpa kita
memberikan penilaian bahwa dia ada atau tidak, karena memang pada
kenyataannya dia memang sudah mempunyai keberadaan.
Dalam Epistemologi terdiri dari beberapa mazhab pemikiran
diantaranya:
1. Mazhab Empirisme
Adapun doktrin dan landasan penilaiannya adalah sesuai dengan
pengalaman, bahwa sesuatu hanya dikatakan benar ketika dia bersifat material
sehingga keberadaan Tuhan dan yang bersifat non emperik mereka tolak,
tokoh-tokohnya antara lain seperti karl Marx, David Home dan John Look,
mereka mengatakan bahwa ukuran kebenaran adanya sesuatu harus bisa
dibuktikan secara empirik lewat penelitian dan bisa dibuktikan secara ilmiah,
padahal kerangka berpikir yang seperti ini akan membawa kita kepada
paradigma yang meniadakan keberadaan sesuatu yang bersifat non emperik
yang tidak bisa diinderai, dan sebuah konsekwensi logis bila kita memakai
prinsip berpikir seperti ini (kerangka berpikir ilmiah), maka kita akan
meniadakan Tuhan dan hal-hal yang bersifat metafisika. Ada beberapa
pertanyaan yang penulis ingin ajukan kepada kaum emperikal yaitu:
1) kalau memang hanya dengan pengalaman kita bisa mengetahui sesuatu
maka bagaimana kita bisa meyakini bahwa segi tiga tidak sama dengan segi
empat, sedangkan kita tidak mempunyai pengalaman akan hal itu dan
belum pernah melihat secara inderawi.
2. Apakah dengan pengalaman bisa membawa kita kepada sebuah prinsip
yang niscaya kebenarannya yang tidak perlu dibuktikan lagi dengan
pengalaman.
Dari dua pertanyaan di atas penulis mengira cukup mewakili untuk
menguji validitas kebenaran mazhab berpikir emperikal tanpa merasa untuk
menghakimi kaum empirisme, namun penulis hanya ingin mengatakan bahwa
55
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
empirisme bukanlah landasan penilaian dalam menilai sesuatu tapi dia lebih
cenderung hanya sebagai methodologi dalam mengumpulkan data-data dalam
mengambil keputusan yang bersifat emperikal tanpa harus meniadakan
bahwa hal yang sifatnya tidak material juga mempunyai keberadaan hanya saja
keterbatasan indera dalam melihat realitas tersebut.
Jika kaum empirisme menjawab pertanyaan pertama bahwa itu
berdasarkan pengalaman, maka itu akan membawa mereka kepada kesalahan
yang fatal, dan ketika mereka menjawab karena itu rasional, maka dengan
sendirinya mereka telah menggugurkan prinsip berpikir mereka, karena
ukuran kebenaran dan rasional bukan karena berdasarkan inderawi saja tapi
ukuran kebenaran dan rasional sesuatu karena memang dia rasional dan
mempunyai nilai kebenaran itu sendiri sebagaimana tersebut di atas bahwa
kita tidak pernah melihat segi tiga tidak sama dengan segi empat, akan tetapi
kita bisa memberikan penilaian tanpa harus didahului pengalam inderawi
untuk melihat hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang sifatnya niscaya
lagi rasional, bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya dan tidak mungkin
sesuatu itu menjadi bukan dirinya karena dia mustahil keluar dari kediriannya,
dalam artian bahwa sesuatu itu terbatas dalam wujud kediriannya.
Pertanyaan yang kedua adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh
orang yang mempunyai landasan penilaian yang bedasarkan empirisme
karena bagaimanapun pengalaman sifatnya terbatas oleh ruang dan waktu,
dan jika seandainya mereka menjawab bahwa pengalamanlah yang akan
menentukan penilaian kebenaran dan bisa membawa kita kepada suatu
kebenaran yang sifatnya niscaya, maka ini adalah sesuatu yang kontradiksi dari
prinsip mereka sendiri, dimana mereka mengatakan bahwa pengalaman
adalah ukuran dalam menilai sesuatu, sementara kebenaran yang berdasarkan
pada pengalaman akan selalu mengalami perubahan dan tidak menutup
kemungkinan mengandung kesalahan didalam mengambil kesimpulan,
dimana kesimpulannya kemunginan benar, dan mungkin juga salah, yang
menjadi masalah adalah apakah manusia mempunyai keinginan untuk
mengambil suatu keyakinan yang sifatnya relatif, ini adalah sesuatu yang
mustahil karena manusia selalu merindukan kebenaran yang sifatnya pasti
apalagi berkaitan dengan keyakinan dan prinsip hidup. Ini adalah beberapa
kelemahan dalam Mazhab Empirisme (Kerangka berpikir ilmiah), akan tetapi,
tidak bermaksud menghilangkan metode berpikir ilmiah, hanya menempatkan
pada wilayah yang proporsional, bahwa doktrin empirisme dan pengalaman
lebih cenderung pada wilayah metodologi penelitian dalam pengumpulan
data-data yang bersifat empirik, bukan menjadi suatu landasan penilaian yang
akan membawa pada pemahaman yang sifatnya niscaya lagi rasional, karena
56
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
SUMBER PENGETAHUAN
Baik logika deduktif maupun induktif, dalam proses penalarannya tentu
menggunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya
benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pernyataan
“bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan yang benar?”. Pada
dasarnya ada dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar, yakni dengan mendasarkan diri kepada rasio
(rasionalisme) dan mendasarkan diri kepada pengalaman/fakta/empiri
(empirisme).
Seorang filsuf yang dikenal sebagai “bapak filsafat modern”, Cartesius
alias Rene Descartes (1596-1650), pernah mengatakan “De omnibus
dubitandum!” (Segala sesuatu itu harus diragukan). Namun segala yang ada
dalam hidup ini, biasanya dimulai dengan meragukan sesuatu.
Bahkan Hamlet, si peragu, yang berseru kepada Ophelia :
Doubt thou the stars are fire,
Doubt the sun doth move,
Doubt truth to be a liar,
But never doubt I love.
--------------------------------------
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api,
Ragukan bahwa matahari itu bergerak,
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta,
Tapi jangan ragukan cintaku!
57
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
58
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide-ide ini
menurut mereka bukanlah ciptaan pemikiran manusia. Prinsip itu sendiri jauh
sudah ada sebalum manusia memikirkannya. Akhirnya paham semacam ini
kita kenal sebagai paham Idealisme.
Bagi mereka, fungsi pikiran manusia itu hanyalah mengenai prinsip-
prinsip tersebut, yang kemudian menjadi dasar pengetahuannya. Prinsip itu
sendiri sudah ada dan bersifat apriori, dan dapat diketahui oleh manusia lewat
kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman/empiri tidaklah membuahkan
prinsip. Dan justru malah sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang
didapatkan lewat penalaran rasional itulah, maka kita dapat mengerti
kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat, dapat
dikatakan bahwa ide-ide dalam kaum rasionalis ini adalah bersifat apriori. dan
pra-pengalaman yang didapatkan manusia melalui penalaran rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir seperti ini adalah
mengenai “kriteria” untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang
menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Ide yang satu bagi si A
mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya, namun hal itu belum tentu bagi si
B. Mungkin saja si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali tidak
sama dengan sistem pengatahuan si A, karena si B menggunakan ide lain, yang
mungkin bagi si B memang merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya.
Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis ini adalah “evaluasi”
dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif.
Sebab premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang
bersifat abstrak dan terhindar dari pengalaman (empiris), maka evaluasi
semacam ini tak dapat dilakukan.
Oleh sebab itu, maka melalui penalaran rasional akan didapatkan
berbagai macam pengetahuan mengenai suatu obyek tertentu, tanpa adanya
suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini, maka
pemikiran rasional itu cenderung untuk bersifat subyektif dan solipsistik
(hanya benar menurut kerangka pemikiran tertentu dalam benak orang yang
berpikir tersebut).
Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empiris menggunakan metode
induktif dalam menyusun pengetahuannya. Mereka berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang
bersifat abstrak, tetapi lewat fakta/pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala
alamiah menurut kaum empiris ini, adalah bersifat konkrit dan dapat
dinyatakan lewat tangkapan panca-indera manusia. Empiris berasal dari kata
Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Apabila bila dikembalikan kepada kata
59
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
60
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
61
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
62
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
63
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
64
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
JENIS-JENIS PENGETAHUAN
Menurut Burhanuddin Salam (1983), pengetahuan dibagi menjadi
empat, yaitu: 1) Pengetahuan biasa (common sense). 2) Pengetahuan ilmiah
atau ilmu. 3) Pengetahuan filsafat. 4) Pengetahuan agama.
Pengetahuan biasa merupakan pengetahuan yang digunakan terutama
untuk kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-
dalamnya dan seluas-luasnya. Contoh, seseorang yang dulunya belum tahu
tentang cara belajar melalui e-learning, dan setelah melalui suatu proses
seseorang tahu tentang e-learning, maka orang tersebut disebut memiliki
pengetahuan biasa. Dalam bahasa lain disebut sebagai pengetahuan yang
dimiliki dengan kadar sekedar tahu. Memenuhi faktor ketidaktahuannya.
Pengetahuan ilmiah atau Ilmu, diperoleh dengan cara khusus, bukan
hanya untuk digunakan saja tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan luas
mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
Pengetahuan ilmiah atau il\mu (science) pada dasarnya merupakan usaha
untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu
pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan
seksama dengan menggunakan berbagai metode.
Dari pengetahuan tentang e-learning pendidikan yang sekedar tahu,
kemudian menggunakan beberapa langkah dan metode yang jelas untuk
mengetahui lebih dari sekedar tahu, dan dilakukan secara sistematis maka
orang yang mengetahui dan memahami secara mendalam tentang e-learning
pendidikan disebut sebagai pengetahuan ilmiah tentang e-learning.
Dalam batasan ini, seseorang yang memiliki pengetahuan ilmiah atau
ilmu pengetahuan, maka semua proses yang dilewatinya jika dilakukan oleh
orang lain akan memiliki pengetahuan yang sama dengan yang dimilikinya
(syarat ilmiah). Sebagian yang mendefinisikan pengetahuan sebagai sebuah
ilmu. Ilmu merupakan suatu metode berfikir secara objektif yang bertujuan
untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap gejala dan fakta melalui
observasi, eksperimen dan klasifikasi. Ilmu harus bersifat objektif, karena
dimulai dari fakta, menyampingkan sifat kedirian, mengutamakan pemikiran
logik dan netral.
65
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
KEBENARAN PENGETAHUAN
Istilah “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang
konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya
adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang
dikandung dalam suatu pernyataan atau statement (Mintaredja, 1983: 135).
Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia
(subyek yang mengetahui) mengenai obyek. Jadi, kebenran ada pada seberapa
jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan
pengetahuan bersal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian
sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran (Susanto, 2011: 85).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Purwadarminta
menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah:
- Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan
yang sesungguhnya. Misalnya: kebenaran berita ini masih saya ragukan,
kita harus berani membela kebenaran dan keadilan.
66
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
67
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
berperan, maka sifatnya menjadi objektif (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2007:
137).
Selanjutnya, berkaitan dengan kebenaran perlu juga dikemukakan bahwa
ukuran kebenaran dalam filsafat bersifat logis tidak empiris atau logis dan
logis saja, maka ukuran kebenarannya adalah logis tidaknya penegtahuan itu.
Bila logis maka dia pandang benar, dan bila tidak logis maka salah. Sementara
itu dalam ilmu bersifat logis empiris
TEORI KEBENARAN
Dalam perkembangan pemikiran filsafat, perbincangan tentang
kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh
Aritoteles. Sebagaimana dikemukakan oleh filsuf abad XX Jaspers sebagaimana
yang dikutip oleh Hamersma (1985) mengemukakan bahwa sebenarnya para
pemikir sekarang ini hanya melengkapi dan menyempurnakan filsafat Plato
dan Aritoteles (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2007: 138). Teori kebenaran itu
selalu pararel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya. Teori-teori
pengetahuan itu terdiri atas:
1. Teori Korespondensi (Theory of Corespondence)
Teori Korespondensi berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah
benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di
alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu
keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
oleh suatu pendapat dengan fakta. Kebenaran ini seutuhya berpangkal dari
keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan secara inderawi
oleh responden.
Berdasarkan teori ini, suatu pengetahuan dianggap benar jika pengetahuan
tersebut mempunyai hubungan dengan suatu kenyataan yang memang
benar. Teori ini didasarkan pada fakta empiris sehingga pengetahuan
tersebut benar apabila ada fakta-fakta yang mendukung bahwa
pengetahuan tersebut benar. Dengan demikian kebenaran di sini
didasarkan pada kesimpulan induktif.
Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal,
sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena
sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan
harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan
bahwa teori yang diterapkan atau dikemukakan tidak boleh
68
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
69
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
70
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
71
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
72
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
73
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
74
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
HAKEKAT PENGETAHUAN
Maksud dari pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang hadir dan
terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi,
persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya.
Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah, dan
pikiran-pikiran. Ada dua teori yang digunakan untuk mengetahui hakekat
pengetahuan:
1. Realisme, teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam.
Pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam
alam nyata.
2. Idealisme, teori ini menerangkan bahwa pengetahuan adalah proses-
proses mental/psikologis yang bersifat subjektif. Pengetahuan merupakan
gambaran subjektif tentang sesuatu yang ada dalam alam menurut
pendapat atau penglihatan orang yang mengalami dan mengetahuinya.
75
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
76
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
77
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
Singkatnya, kita tidak bisa membayangkan esensi itu sendiri jika kursi itu tidak
ada!
Telah kita ketahui bahwa eksistenisilah satu-satunya realitas yang
fundamental dan bersifat tunggal yang mendasari semua benda objektif. Pada
nokta ini sebagian filosof mengatakan bahwa wujud hanya berlaku bagi Tuhan,
sedangkan selainnya (langit, bumi dan segala isinya) bukanlah wujud.
Menanggapi hal ini, Sadra memberikan sebuah jawaban, bahwa karena wujud
(ADA) merupakan realitas satu-satunya yang real, maka negasi atau lawan dari
wujud itu sendiri adalah tidak ada (not being). Oleh sebab itu, bila segala
sesuatu selain Tuhan itu bukanlah wujud, maka tentulah segala sesuatu itu
tidak mungkin ada. Jelaslah bahwa ini adalah sebuah kontardiksi yang nyata.
(baca Non-Kontradiksi).
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa esensilah yang membuat segala
sesuatunya berbeda. Namun bagi Sadra, perbedaan itu merupakan akibat dari
status ontologis wujud yang bertingkat-tingkat. Keberadaan sesuatu sangat
ditentukan oleh satatus ontologisnya manusia misalnya, untuk mengada
membutuhkan banyak syarat. Berbeda dengan Tuhan, keberadaan-Nya adalah
puncak eksistensi yang tidak bergantung pada sesuatu apapun selain diri-Nya
sendiri. Meskipun demikian, wujud itu sendiri tidaklah berada dalam keadaan
yang statis, melainkan senantisa bergerak (berubah) secara evolutif tanpa
jeda. Gerak yang terdapat dalam tatanan wujud itu sendiri disebabkan oleh
adanya perubahan substansi dari setiap sesuatu. Berbeda dengan sebagian
besar filsuf yang memandang perubahan itu hanya terjadi pada aksiden wujud
saja, Sadra justru meyakini bahwa perubahan pada aksiden atau penampakan
wujud itu tidak mungkin terjadi jika substansinya tidak berubah. Jika kita
mengurai benda material, maka akan ditemukan inti terdalam yang mendasari
sesuatu itu. Oleh karena itu, sesuatu tersebut barulah berubah jika substansi
atau inti keberadaannya juga berubah. Perubahan substansi bukanlah tidak
bertujuan, melainkan selalu mengarah pada derajat wujud yang lebih tinggi,
dimana merupakan sebab final dari gerakan yang terjadi. Jika segala sesuatu
selain manusia berubah secara alamiah, maka tidak demikian dengan manusia.
Perubahan yang terjadi dalam diri manusia selalu memiliki dua makna, yakni
gerak menyempurna (gerak spiritual) dan gerak yang mengarahkan manusia
kepada derajat terendah dalam hirarki eksistensi. Hal ini karena manusia
memiliki kehendak bebas untuk menentukan dirinya sendiri.
Teori Persepsi
Mullah Sadra memiliki defenisi yang menarik tentang epistemologi. Bagi
Sadra, pengetahuan adalah “kehadiran objek yang diketahui didalam yang
78
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
79
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
80
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
81
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
82
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
83
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
84
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
85
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
86
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
87
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
AKSIOLOGI
PENGERTIAN SINGKAT
Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi Berasal dari bahasa Yunani axios
(layak, pantas) dan logos (ilmu). Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari tentang kepantasan (nilai).
Jujun S. Suriasumantri (1999) mengartikan aksiologi sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu
sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita
dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam
(Rakhmat, 2010)
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Aksiologi merupakan ilmu
yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.
PENILAIAN AKSIOLOGI
Bramel (dalam Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi dalam
tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini
melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku,
norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung
jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun
terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan nilai
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar, 2006), nilai itu objektif
ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya;
atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek
yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat
psikis ataupun fisik. Dengan demikian nilai subjekif akan selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia seperti
88
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu mengarah pada
suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan
dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak
ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara
realitas benar-benar ada (Irmayanti Budianto, dalam Bakhtiar, 2006).
Bagian ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan
social politik yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik.
MANFAAT ILMU
Bila ditanya manfaat dari ilmu, jawabannya adalah sudah tidak terhitung
banyaknya manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk hidup secara
keseluruhan. Mulai dari zamannya Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg,
ilmu terus berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi manusia.
Dengan ilmu manusia bisa sampai ke bulan, dengan ilmu manusia dapat
mengetahui bagian-bagian tersembunyi dan terkecil dari sel tubuh manusia.
Ilmu telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban manusia,
tapi dengan ilmu juga manusia dapat menghancurkan peradaban manusia
yang lain.
Mengutip pendapatnya Francis Bacon (Suriasumantri, 1999) yang
mengatakan bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu
akan merupakan berkat atau malapetaka bagi umat manusia, semua itu
terletak pada system nilai dari orang yang menggunakan kekuasaan tersebut.
Ilmu itu bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk, dan si
pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Selanjutnya
Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini
mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun Suria Sumantri
merumuskan ke dalam empat tahapan yaitu:
a. Untuk apa ilmu tersebut digunakan?
b. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral?
c. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral?
d. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral dan
profesional?
89
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
Dari apa yang dirumuskan di atas dapat dikatakan bahwa apapun jenis
ilmu yang ada, seluruhnya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada
di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh
masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan
sebaliknya malah menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan
norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi
ilmuwan yang baik atau belum.
Setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi
ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan
aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi
ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara
detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi
dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik,
justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga
lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem
membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang
lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan
dalam mekanisme pemikiran.
Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri
spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa
(aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling
berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu
terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan
epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi
ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali
dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir
sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
90
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
maka kita pun mengenal istilah Ipteks (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan
Seni). Ilmu pengetahuan bersifat teoretis dan tidak berbentuk sedangkan
teknologi bersifat praktis dan berbentuk. Pada hakikatnya, ilmu pengetahuan
dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia di
bumi. Teknologi dan seni diciptakan untuk meringankan dan membebaskan
manusia dari kesulitan-kesulitan hidupnya yang sarat dengan keterbatasan.
Sebagai sebuah entitas pada dasarnya ilmu pengetahuan bersifat
independen (bebas dari nilai), tetapi di sisi lain sebagai instrumen (alat dan
proses) keberadaannya koheren, tergantung, dan diarahkan. Siapa yang
mengarahkan? jawabannya tidak lain adalah manusia sendiri sebagai subyek
ilmu pengetahuan itu sendiri. Etika memang bukan merupakan bagian dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi penerapan ilmu pengetahuan dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat memerlukan adanya dimensi etis sebagai
alat kontrol bagi pengembangan iptek agar tidak bertentangan dengan nilai-
nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini terjadi
keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggung jawan kepada kepentingan umum,
kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.Adanya tanggung
jawab etis tidak dimksudkan untuk menghambat kemajuan ilmu pengetahuan,
tetapi dengan adanya tanggung jawab etis diharapkan mampu menjadi
inspirasi dan motivasi bagi manusia untuk mengembangkan teknologi yang
nantinya akan mengangkat kodrat dan martabat manusia .
Pada hakikatnya ilmu itu mempunyai nilai netral (nol), dengan
memahami bahwa ilmu itu netral maka ilmu pengetahuan bisa berkembang.
Sehingga tidak tercampuri dengan suatu hal yang dapat menjadikan ilmu atau
itu sendiri menjadi terhambat dalam perkembangannya.
Sedangkan netral itu sendiri ada berbagai pandangan yang pertama
dalam pandangan Ontologi, yakni masalah atau hakikat netral itu sendiri. Yang
mempunyai ruang lingkup tentang baik buruknya ilmu yang telah ada.
Kemudian dalam pandangan secara Epistimologi yaitu masalah
bagaimana mendapatkan ilmu itu. Dan untuk mendapatkannya apakah sesuai
atau malah menyimpang dari metode ilmiah. Ketika seorang ahli jantung ingin
meneliti tentang jantung manusia. Ada suatu kendala apabila Dokter ini
meneliti jantung selain jantung manusia seperti jantung simpanse misalnya,
tentu hasilnya berbeda apabila dokter itu menggunakan jantung manusia itu.
Tetapi masalahnya ada beberapa yang tidak menyetujui hal ini, dikarenakan
telah keluar dari rasa kemanusiaan. Padahal tujuan awal agar data yang
diperoleh valid dan lengkap, tetapi mereka salah memandang hal tersebut.
91
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
92
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
93
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
94
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
95
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
96
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
97
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
98
Persoalan Filsafat Ilmu
______________________________________
DAFTAR PUSTAKA
99