Anda di halaman 1dari 19

Jurnal Kompilasi Hukum Volume Volume 5 No.

1, Juni 2020 E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-5333


open access at :
Publisher Magister of Law, Faculty of Law Mataram University
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License

KONseP PerTaNggUNgjawabaN PIDaNa


KOrPOrasI
(CORPORATe CRIme) DaLaM sIsTeM HUKUM PIDaNa
INDONesIa
CORPORATe CRImInAL ReSPOnSIBLITY In InDOneSIA
CRImInAL JUSTICe SYSTem
rodliyah, any suryani dan Lalu Husni
Fakultas Hukum Universitas Mataram
corresponding email : rodliyah_fhunram@unram.ac.id

abstract
Crimes developed as human development, not only type or method of the crimes, but also subject
or criminal offender. Crimes conducted by the corporation cause broad and width consequences
and victims. For example, a forest fire which conducted by corporation cause a tremendous
impact. Type of this research is normative legal research, which focus on analyze of binding law
implementation. Corporation as criminal actors based on three theory, namely strict liability
theory, vicarious liability and identification theory. In addition, in Indonesia criminal legal
system, corporation is a subject can be held responsibility before the law.
Keywords: Responsibility, Corporation, Indonesia Criminal Justice System

abstrak
Kejahatan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, tidak hanya terhadap
jenis dan metode kejahatan, melainkan juga subjek atau pelaku kejahatan itu sendiri.
Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi menimbulkan akibat yang lebih luas dan
korbannya lebih banyak walaupun terkadang bukan korban secara langsung. Misalnya,
kebakaran hutan yang dilakukan korporasi jelas dampak yang ditimbulkan sungguh luar
biasa. Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif (legal
research), yakni penelitian yang difokuskan untuk mengaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana
didasarkan pada tiga teori, yaitu Teori Strict Liability, Vicarious Liability dan Teori
Identification. Selain itu, bahwa dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
korporasi adalah subjek yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya dihadapan
hukum.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Korporasi, Sistem Hukum Pidana Indonesia

PeNDaHULUaN

Kejahatan itu tidak statis tetapi sangat dinamis, artinya kejahatan berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Kendati hakikat dari kejahatan sejak
dulu hingga sekarang adalah tetap sama, yaitu merugikan berbagai kepentingan dan
kerugian yang ditumbulkan tidak sama. Kejahatan yang sifatnya konvensional, baik
pelaku, modus operandi, maupun hasil yang didapat tidak sebanding dngan resiko yang
ditanggng oleh pelaku, demikian juga dengan keberpihakan hukum.

https://doi.org/10.29303/jkh.v5i1.43
Jurnal Kompilasi Hukum hlm, 192~206
Dalam satu adagium semakin miskin bangsa semakin tinggi tingkat kejahatan yang
terjadi rupanya sudah tidak berlaku lagi saat ini. Sekarang adagium itu hanya berlaku
untuk kejahatan-kejahatan konvensional seperti perampokan, pencurian, penipuan,
penggelapan. Hal ini disebabkan karena ditemukan fakta bahwa semakin tinggi tingkat
perekonomian suatu bangsa, maka jenis kejahatan yang ada semakin beragam dan
semakin canggih.
Berbeda halnya apabila kejahatan itu dilakukan oleh korporasi atau sebut saja
kejahatan korporasi, dilihat dari aspek penegakan hukum, maka hukum seringkali
murah senyum sehingga ratu keadilan yang semula matanya tertutup rapat menjadi
tidak rapat lagi. Demikian juga dengan pedang yang ada ditangannya menjadi tumpul
serta timbangan yang ada di tangan kirinya menjadi berat sebelah.
Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi menimbulkan akibat yang lebih luas dan
korbannya lebih banyak walaupun terkadang bukan korban secara langsung.
Kebakaran hutan yang dilakukan korporasi jelas dampak yang ditimbulkan sungguh
luar biasa. Masyarakat menjadi terhambat beraktifitas karena asap yang menganggu
penglihatan dan pernafasan. Bukan hanya dialami oleh satu negara, Kebakaran
hutan yang tejadi di Indonesia asapnya sampai ke negara tetangga. Belum lagi
kerusakan lingkungan yang terjadi karenanya. Penerbangan terganggu dan
mengakibatkan kerugian triliunan. Tidak mungkin dampak yang timbul menjadi sangat
luas apabila hanya dilakukan oleh satu orang saja.
Konsep white collar crime ini menurut Gottfrdson dan Travis Hirchi 1mempunyai
dua konsekuensiyang diinginkan. Pertama penyangkalan atas teori bahwa terjadinya
kejahatan karena faktor kemiskinan, yakni bahwa kejahatan dapat juga dilakukan
oleh golongan atas dan kekebalannya terhadap hukum. Selanjutnya bahwa white collar
crime merupakan bidang pengembangan yang penting bagi penelitian kriminolgi dan
sekarang banyak penelitian dan pemikiran yang tercurah kepada bidang tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya White collar crime cenderung menjadi terorganisasi
dan bersifat transnasional. Kejahatan korporasi kemudian masuk dalam golongan
white collar crime ini.
Dalam abad ini kita telah mengetahui telah terjadi ledakan yang luar biasa dalam
jumlah dan ukuran korporasi. Hal ini sebenarnya semua kegiatan ekonomi, sosial dan
politik sebagian besar dipengaruhi oleh perilaku korporasi Korporasi ini memang tidak

1
Dalam Arief Amrullah, 2006, Kejahatan Korporasi The hunt for mega profit and Attack on democracy,
Bayumedia Publishing, Malang. Hlm. 21

1
E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-

nampak berjalan dan hidup disekitar kita, namun perbuatan hukum dan akibatnya
dapat kita rasakan, bahkan perbuatan korporasi yang termasuk dalam ranah pidana.
Sebagaimana diketahui KUHP tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum.
Salah satu indikasi yang dipakai adalah adanya Pasal 59 dalam buku I KUHP yang
menyatakan “Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus,
anggota salah satu pengurus, atau komisari, mak hukuman tidak dijatuhkan atas
pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi di luar
tanggungannya”
Jadi dalam pasal tersebut tidak mengancamkan pidana kepada orang yang tidak
melakukan tindak pidana. Artinya walaupun dia melakukan itu untuk korporasi atau
badan hukum tersebut, korporasi tidak dapat dikenakan pidana.
Selain hal tersebut KUHP menganut asas tiada pidana tanpa kesalahan. Ini
sebagimana dimaksudkan dalam Pasal 44 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana”. Jadi
yang diutamakan dalam pasal ini adalah jiwanya. Sementara korporasi tidak
mempunyai jiwa. Hanya manusia yang mempunyai jiwa. Pasal 44 dan Pasal 59
terdapat dalam buku I ketentuan umum, maka jelas dimaksudkan dalam Buku I ini
bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHP tidak diperuntukkan untuk korporasi.
Namun dalam kenyataannya korporasi juga melakukan tindak pidana. Untuk itu
perlu dipikirkan bagaimana korporasi harus dikenakanakan pertanggungjawaban
pidananya. Beberapa aturan tindak pidana di luar KUHP mengatur tentang korporasi
sebagai subjek hukum pidana; seperti Undang-undang Darurat No.7 Tahun 1965
tentang tindak pidana ekonomi, Undang-undang No.33 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang No. 20 Tahun 2001 dan undang-undang lainnya.
Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan tindak pidana yang relatif baru di
Indonesia, walaupun dalam praktek bentuk- bentuk pencucian uang sudah lama
dilakukan. Pencucian uang ini merupakan tindak pidak pidana ganda. Sebuah
perbuatan yang didahului dengan tindak pidana yang lain yang biasa disebut dengan
tindak pidana asal (predicate offence). Secara sederhana tindak pidana pencucian uang
diartikan sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crime) atau disebut
sebagai uang kotor ke dalam bentuk yang tampak sah agar dapat digunakan.
Tindak Pidana pencucian uang tidak mungkin dilakukan dengan serta merta,
diperlukan perencanaan yang matang dalam melakukannya, Kejahatan tindak pidana
pencucian uang juga termsuk jenis kejahatan yang sulit untuk dilakukan sendirian.

1
Jurnal Kompilasi Hukum hlm, 194~206
Proses yang harus dilalui dalam tindak pidana pencucian uang cukup rumit, proses
pembuktian dipengadilanpun rumit. Apalagi yang melakukan korporasi. Dengan
jaringan yang luas dan orang-orang yang terorganisir cukup sulit untuk membuktikan
bagaimana korporasi dapat dikatakan terlibat dalam tindak pidana.
Pelaku tindak pidana adalah orang maka untuk pertanggungjawaban pidananya
haruslah dibuktikan dan dicari terlebih dahulu unsur kesalahannya, tentu saja ini tidak
mudah. Apalagi jika yang melakukan adalah korporasi yang sulit diukur kemampuan
pertanggungjawabannya seperti manusia. Hal ini lah yang menjadi latar belakang
peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Konsep Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi (Corporate Crime) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia”.
Masalah pertanggungjawaban korporasi masih menjadi perdebatan walaupun
beberapa perundang-undangan di luar KUHP sudah mencantumkan korporasi sebagai
subejk tindak pidana. Hal ini berkaitan dengan asas kesalahan (geen starf zonder schuld),
batas kemampuan bertanggungajawab dan bentuk pertanggungjawaban pidana. Dalam
tindak pidana korporasi muncul permasalahan yang lebih kompleks mengingat bahwa
Tindak pindana korporasi adalah tindak terorganisir. Untuk itu penelitian ini akan
mencari jawaban atas permasalahan “ Bagiamana pertanggungjawaban pidana
korporasi sebagai pelaku tindak pidana korporasi? “

PeMBaHasaN

Definisi Korporasi dan Kejahatan oleh Korporasi

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana
dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain khususnya dalam
bidang perdata sebagai badan hukum atau dalam Bahasa Belanda disebut
rechtpersoon.
Dalam hukum pidana positif konsep korporasi mempunyai makna yang lebih luas
dari pengertian badan hukum. Dalam tindak pidana pencucian uang korporasi diartikan
sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum. Pengertian tersebut berarti lebih luas dari
pengertian badan hukum dalam konsep hukum perdata. Atau dapat dikatakan bahwa
setiap badan hukum merupakan korporasi, tetapi tidak semua korporasi merupakan
badan hukum, karena ada korporasi-korporasi yang bukan merupakan badan hukum
yaitu kumpulam yang terorganisir dari orang dan atau kekayaan yang bukan
merupakan badan hukum, misalnya perseroan firma.
Korporasi sebagai subjek hukum pidana masih terbatas dalam ketentuan undang-
undang di LUar KUHP. Ketentuan-ketentuan tersebut mempunyai konsep korporasi
19
E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-

sebagai kumpulan terorganisir dari orang dan atau kekayaan , baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum. Ketidaksamaan dan ketidaksempurnaan
dalam perundang-undangan tentang makna korporasi tidak menjadi halangan untuk
menyatakan keberadaan korporasi terutama jika korporasi tersebut dudah berfungsi
bagi kehidupan dalam masyarakat dan dari sudut kemasyarakatan korporasi tersebut
memang diperlukan.
Munculnya fenomena kejahatan tidak hanya dilakukan oleh orang pribadi namun
juga dilakukan badan hukum atau dalam bentuk korporasi menjadi perhatian
internasional. Pertemuan tingkat dunia dalam kongres ke empat PBB (United nations)
pada Tahun 1970 tentang pencegahan kejahatan di Genewa dibicarakan juga
perubahan bentuk dan dimensi kejahatan yang salah satunya adalah dalam bentuk
Crime and Bussines yaitu kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan
material melalui kegiatan dalam bidang usaha (buissines) atau industri yang pada
umumnya dilakukan secara terorganisasi dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai
kedudukan terpandang dalam masyarakat. Yang termasuk dalam kejahatan ini antara
lain berhubungan dengan pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen dan dalam
bidang perbankan, disamping kejahatan-kejahatan lainnya yang bisa dikenal dengan
“organized crime; white collar crime”.2
Kejahatan yang dilakukan korporasi begitu professional dengan struktur organisasi
yang begitu luas, menjadi ruang yang potensial munculnya kejahatan sehingga sulit
untuk diberikan batasan apakah yang dilakukan korporasi sebagai kejahatan ataukah
tidak. Hal ini di ungkapkan oleh Michael B. Blankenskip ;
“…….to examine systematically the problem of corporate criminality, specifically ad-
dressing theevolution and liminations involved in understanding this genre of crime. The
study of corporate criminality also provides us whit the opportunity to explore larger is-
sues, such as social justice. The weight of the evidence stongly suggests that the notion of
the rule of law as a prevailing principle of justice as a cruel euphemism for hegemony”. 3
Dalam perkembangannya kejahatan dilakukan secara terorganisir dalam
perwujudan
korporasi, banyak istilah atau pengertian kejahatan korporasi sering terjadi kerancuan
dalam membedakan mana sebenarnya kejahatan korporasi baik dari pelaku maupun
karakteristik dari kejahatan tersebut. Maka untuk memperjelas masalah tersebut, bisa

2
B.N.Arif; 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan
Penerbit UNDIP, Semarang. hal.13.
3
Michael B. Blankenskip; 1993, Understanding Corporate Criminality, Garland Publishing, New
York. hal. xx.
19
Jurnal Kompilasi Hukum hlm, 196~206
dijelaskan dengan beberapa batasan pengertian kejahatan kaitannya dengan korporasi
diantaranya adalah;
1. Crime for Corporation
Merupakan kejahatan korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi
itu sendiri bukan untuk kepentingan individu atau pelaku. Ini dilakukan oleh organ
korporasi (pengurus) semata-mata hanya untuk keuntungan korporasi.
2. Crime Againt Corporation
Kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan individu yang sering dilakukan
oleh pekerja korporasi (employee crime) terhadap korporasi tersebut, misalnya
penggelapan dana perusahaan oleh pejabat atau karyawan dari korporasi itu sendiri.
3. Criminal Corporation
Korporasi yang sengaja dikendalikan untuk melakukan kejahatan, kedudukan
korporasi disini hanya sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, korporasi hanya
sebagai topeng dari tujuan jahatnya. 4
Pembedaan diatas semakin menunjukkan ternyata, kejahatan tidak hanya dilakukan
secara personal akan tetapi sudah begitu profesional dalam suatu wadah organisasi,
crime for corporation adalah merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi dengan tujuan semata-mata untuk mencari keuntungan ekonomi, atas dasar
motif ekonomi ini maka korporasi sering melakukan pelanggaran hukum.
Tindak pidana kejahatan dewasa ini perkembangannya tidak hanya dilakukan dari
mereka yang memiliki penyakit sosial dan penyakit pribadi, akan tetapi mereka juga
dari kalangan pelaku bisnis yang terorganisir dalam suatu korporasi, E.H. Sutherland
menyatakan bahwa :
In contrast to those theories, my theory was that criminal behavior is learned just as any
other behavior is learned, and that personal and social pathologies play no essential part
in the causation of crime. I believed that this thesis could be substantiated by a study
of the violation of law by businessmen. Businessmen are generally not poor, are not
feeble- minded, do not lack arganized recreational facilities, and do not suffer from
the other social and personal pathologies, commit many crimes, then such pathologies
can not be used as the explanation of the crime of other classes.5
Demikian parahnya perilaku kejahatan yang dilakukan secara terorganisir, telah
banyak merugikan masyarakat secara kolektif bahkan negara. Dalam kongres PBB di

4
H.Setiyono; 2002, Kejahatan Korporasi-Analisa Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Averroes Press, Malang. hal. 16-18.
5
E.H.Sutherland; 1977, Crime of Corporation, dalam Geis dan Meier. White Collar Crime, offences in
Bussines, Politics, and the Professions. The Free Press, New York. hal. 79.

19
E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-

Caracas dengan mengambil tema sentral mengenai “crime prevention and quality of life”
memandang kejahatan telah membahayakan lingkungan hidup, antara lain dinyatakan :
Menimbang bahwa fenomena kejahatan, melalui pengaruhnya terhadap masyarakat,
mengganggu seluruh pembangunan bangsa-bangsa, merupakan kesejahteraan rakyat
baik spiritual maupun material, membahayakan martabat kemanusiaan dan
menciptakan
suasana takut dan kekerasan yang merongrong kualitas lingkungan hidup.6
Kejahatan menjadi keniscayaan sejarah, fenomena ini seolah menjadi masalah abadi
di dalam tata kehidupan manusia. Tindak pidana kejahatan telah menyebar secara
global mengikuti perkembangan zaman. Kejahatan ini tidak hanya menjadi masalah
pribadi korban, akan tetapi lebih luas menjadi masalah kolektif masyarakat, negara,
bahkan sudah mencakup ruang transnasional sebagai kejahatan internasional.
Pergeserannya tidak hanya dilakukan secara konvensional tapi lebih dari itu, banyak
tindakan mereka yang sulit sekali diketahui apakah sebagai kejahatan ataukah tidak.
Padahal korban sudah demikian banyak baik masyarakat atau juga negara yang
menanggung beban kerugian akibat kejahatan tersebut.
Kenyataan bahwa korporasi telah melakukan berbagai macam kejahatan sudah lama
terjadi, tahun 1932 sebuah hasil penelitian terhadap 70 korporasi besar di Amerika
Serikat jelas memperlihatkan bagaimana korporasi telah melakukan berbagai macam
kejahatan, dari hasil penelitiannya tersebut E.H. Sutherland menyatakan bahwa :
I wish to report specially on a part of my study of white collar crimes. I selected the
70 largest industrial and commercial corporatios in the United States, not including
pub- lic utilities and petroleum corporatins. I have attempted to collect all the records of
vio- latins of law by each of these corporations, so far as these violations have been
decided officiallyby courts and commissions. I have included the laws regarding restrain of
trade, misrepresentation in advertising, infringement of patents, copyrights, and
trademark, rebates, unfair labor practices as prohibited by the national Labor Relations
Law, finan- cial fraud, violations of war regulations, and small miscellaneous group of the
other laws.7 Dalam perkembangan kejahatan korporasi ini, dapat di inventarisir
beberapa bentuk kejahatan dan korban kejahatan korporasi antara lain, pelanggaran
terhadap konsumen, pencemaran lingkungan, pelanggaran adminisratif, finansial,
perburuhan, manufakturing serta persaingan dagang yang tidak sehat. Oleh karena
itu kejahatan korporasi menurut pandangan Marshall B. Clinard dan Peter C.
Yeagar menyatakan
bahwa;

19
Jurnal
6 Kompilasi
B.N.Arif; 1994, Op.Hukum hlm, 198~206
cit, hal. 15.
7
E.H.Sutherland, Op. cit, hal. 79-80.

19
E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-

A Corporate crime is any act commited by corporation that punished by the state, regar-
dies or whether is it punished under administrative, or crimina law. 8
Gejala pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi seperti diatas mempunyai
dampak negatif yang resikonya sangat luas terhadap kehidupan sosial, atas dasar ini
maka badan hukum mulai menjadi sorotan perhatian para pakar hukum agar badan
hukum tidak hanya menjadi subjek hukum perdata akan tetapi juga dapat menjadi
subjek hukum pidana sehingga dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana.
Perekonomian dunia mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Banyak
sekali perusahaan perusahaan didirikan, bukan hanya perusahaan milik pemerintah
namun juga perusahaan milik swasta. Perusahaan-perusahaan bergerak diberbagai
bidang yang satu sama lain terkadang bersinggungan baik di bidang usaha yang mereka
geluti maupun dalam hasil yang ingin diharapkan. Semua perusahaan ini mengingnkan
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Seperti halnya manusia perusahaan-perusahaan yang masing-masing memiliki
kepentingan tersebut haruslah diatur agar kepentingan-kepentingan tersebut tidak
saling bertabrakan dan merugikan. Maka, diperlukanlah hukum untuk mengatur
kepentingan-kepentingan tersebut. Namun, walaupun sudah ada hukum seringkali
perusahaan-perusahaan itu melanggarnya hingga menimbulkan kerugian baik bagi
masyakat luas maupun bagi perusahaan yang lain. Jika sudah menyangkut arena publik
dan merugikan banyak orang maka diperlukanlah hukum pidana untuk mengatasi hal
tersebut.
Ciri khas yang membedakan hukum pidana dengan hukum yang lain adalah terletak
pada sanksi yang diancamkan. Sanksi yang diberikan oleh hukum pidana bersifat
menyakiti, karena hal itulah hukum pidana seharusnya dijadikan alternatif terakhir
dalam penggunannya bila dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain. Muncul
permasalahan apabila yang melakukan perbuatan yang dianggap merugikan
masyarakat luas atau perusahaan lain adalah sebuah perusahaan yang pada hakekatnya
bukan orang. Bagaimana mereka harus mempertanggungjawabkannya dan
menyelesaikan hal tersebut dengan hukum pidana, sementara perusahaan tidak bisa
dipenjara atau dipidana mati sebagimana bentuk sanksi yang dipergunakan untuk
memberikan sanksi kepada orang. Hal inilah yang pada awalnya menimbulkan
permsalahan tersendiri di masyarakat.
Di dalam hukum perdata dikenal adanya dua subjek hukum yakni orang dan badan
hukum. Sementara hukum pidana mengalami perdebatan apakah badan hukum
termasuk

19
Jurnal Kompilasi Hukum hlm, 200~206
Clinard, Marshall B & Peter C.Yeagar; 1980, Corporate Crime, The Free Press, New York. hal.16.
8

20
E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-

dalam subjek hukum. Indonesia sendiri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tidak mengenal adanya badan hukum sebagai subjek hukum pidana. KUHP
hanya mengenal orang sebagai subjek hukum pidana. Jadi perusahaan-perusahaan
yang berbadan hukum dalam KUHP tidak termasuk dalam subjek hukum pidana.

Korporasi sebagai subjek Hukum Pidana

Dalam hukum dikenal pengertian subjek hukum yang dalam istilah Belanda meliputi
“Persoon” dan “Rechtpersoon”. “Persoon” adalah manusia atau orang yang memiliki
kewenangan untuk bertindak dalam lapangan hukum, khususnya hukum perdata.
“Rechtpersoon” ialah badan hukum yang diberi kewenangan oleh Undangundang
untuk dapat bertindak sebagaimana orang yang masuk dalam golongan “persoon”. Di
Indonesia, badan hukum dapat berupa: Perum, Persero, Perseroan Terbatas, Yayasan
dan Koperasi, serta Maskapai Andil Indonesia yang telah dihapus sejak tanggal 7 Maret
1998. Di antara organisasi-organisasi tersebut, Perseroan Terbatas (PT) adalah yang
paling populer dan yang paling banyak digunakan sebagai alat oleh para pengusaha
untuk melakukan kegiatan di bidang ekonomi.
Landasan hukum bagi berdirinya sebuah PT, sebelumnya diatur oleh UU No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dimana pasal 1 angka 1 menyebutkan :
“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
Suatu PT kemudian disebut Perseroan Terbuka apabila modal dan jumlahpemegang
sahamnya memenuhi kriteria tertentu, atau perseroan yang telah melakukan
penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal. Menurut pasal 2 Undang-undang tersebut, kegiatan yang dilakukan oleh
perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang- undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan. Dalam
perkembangannya, ditetapkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas untuk menggantikan UU No. 1 Tahun 1995, dimana pada Pasal 1
angka 1 disebutkan: ” Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham
dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.”

20
Jurnal Kompilasi Hukum hlm, 202~206
Pengertian korporasi diambil dari istilah dalam bahasa Inggris “Corporation” yang
berarti badan hukum atau sekelompok orang yang oleh Undang-undang diperbolehkan
untuk melakukan perbuatan sebagaimana seorang individu sebagai subjek hukum,
berbeda dengan para pemegang sahamnya. Istilah dalam kamus Belanda untuk
korporasi ialah “corpora’tie” yang berarti perhimpunan, perkumpulan atau persatuan.
Dalam Kamus World Book 1999, disebutkan bahwa korporasi adalah sekelompok orang
yang mendapat kewenangan untuk bertindak sebagai orang pribadi. Selain itu,
korporasi dapat pula diberi pengertian sebagai sekelompok orang yang diberi
kewenangan untuk bertindak sebagai individu dalam kaitan dengan tujuan-tujuan
bisnis. Oleh karena sasarannya adalah mencari keuntungan bagi pemegang saham dan
perusahaan itu sendiri, maka korporasi, baik itu dalam bentuk PT. Persero maupun
Perseroan Terbuka, selalu bersifat ekspansif dan penuh dinamika dalam mengikuti
perkembangan ekonomi yang demikian cepat. Salah satu ciri dari korporasi yang
demikian adalah selalu memerlukan investasi untuk menunjang ekspansi bisnis yang
ditargetkan.
Menurut David J. Rachman dalam bukunya “Business Today 6’th edition”, secara
umum korporasi memiliki lima ciri penting, yaitu:
1. merupakan subjek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum khusus;
2. memiliki jangka waktu hidup yang tak terbatas;
3. memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu;
4. dimiliki oleh pemegang saham;
5. tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas
saham yang dimilikinya.

Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

1. Teori strict Liability

Dalam konsepsi tersebut, korporasi dianggap bertanggungjawab atas perbuatan


yang secara fisik dilakukan oleh pemegang saham, pengurus, agen, wakil atau
pegawainya. Di bidang hukum pidana, “strict liability” berarti niat jahat atau “mens
rea” tidak harus dibuktikan dalam kaitan dengan satu atau lebih unsur yang
mencerminkan sifat melawan hukum atau “actus reus”, meskipun niat, kecerobohan
atau pengetahuan mungkin disyaratkan dalam kaitan dengan unsurunsur tindak
pidana yang lain.
Menurut prof. Barda Nawawi, teori tersebut dapat disebut juga dengan doktrin
pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang atau “Strict liability”
Kerangka pemikiran ini merupakan konsekuensi dari korporasi sebagai subjek
20
E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-
hukum, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban tertentu

20
Jurnal Kompilasi Hukum hlm, 204~206
yang disyaratkan oleh undang-undang, maka subjek hukum buatan tersebut harus
bertanggungjawab secara pidana. Hal yang penting dari teori ini adalah subjek hukum
harus bertanggungjawab terhadap akibat yang timbul, tanpa harus dibuktikan adanya
kesalahan atau kelalaiannya.
Pelanggaran kewajiban atau kondisi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan
istilah “strict liability offences”. Contoh dari rumusan Undang-undang yang menetapkan
sebagai suatu delik bagi korporasi adalah dalam hal :
a. korporasi yang menjalankan usahanya tanpa izin;
b. korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang
ditentukan dalam izin itu;
c. korporasi yang mengoperasikan kendaraan yang tidak diasuransikan di jalan
umum.

2. Teori Vicarious Liability

Berdasarkan terori ini, maka secara umum dapat dikatakan bahwa atasan harus
bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya. Sebagaimana
didefinisikan bahwa prinsip hukum “vicarious liability” adalah seseorang
bertanggungjawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ketika keduanya
termasuk dalam suatu bentuk kegiatan gabungan atau kegiatan bersama. Doktrin
tersebut secara tradisional merupakan konsepsi yang muncul dari sistem hukum
“common law”, yang disebut sebagai “respondeat superior”, yaitu tanggung jawab
sekunder yang muncul dari “doctrine of agency”, dimana atasan bertanggungjawab
atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya.
Di antara para ahli yang mengkaji teori ini, dengan bertolak dari hubungan pekerjaan
dalam kaitannya dengan “vicarious liability”, Peter Gillies membuat beberapa pemikiran
sebagai berikut :
a. Suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia sebagai pelaku/pengusaha)
dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh
karyawan/agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik
yang mampu dilakukan secara vicarious.
b. Dalam hubungannya dengan “employment principle”, delik-delik ini sebagian’ besar
atau seluruhnya merupakan “summary offences” yang berkaitan dengan peraturan
perdagangan.
c. Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah
relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai
korporasi maupun secara alami tidak telah mengarahkan atau memberi
petunjuk/perintah
20
E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-

pada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (Bahkan,


dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap majikan walaupun
karyawan melakukan perbuatan bertentangan dengan instruksi, berdasarkan
alasan bahwa perbuatan karyawan dipandang sebagai telah melakukan perbuatan
itu dalam ruang lingkup pekerjaannya). Oleh karena itu, apabila perusahaan
terlibat, pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa
menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan. Perlu dikemukakan bahwa
doktrin ini dapat
berlakudengandidasarkanpadaprinsippendelegasianwewenangatau“thedelegation
principle”. Jadi, niat jahat atau “mens rea” atau “a guilty mind” dari karyawan dapat
dihubungkan ke atasan apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban
yang relevan menurut Undang-undang.

3. Teori Identification

Pertanggungjawaban pidana langsung atau “direct liability” (yang juga berarti


nonvicarious), menyatakan bahwa para pegawai senior korporasi, atau orang-orang
yang mendapat delegasi wewenang dari mereka, dipandang dengan tujuan tertentu dan
dengan cara yang khusus, sebagai korporasi itu sendiri, dengan akibat bahwa
perbuatan dan sikap batin mereka dipandang secara langsung menyebabkan
perbuatan-perbuatan tersebut, atau merupakan sikap batin dari korporasi. Ruang
lingkup tindak pidana yang mungkin dilakukan oleh korporasi sesuai dengan prinsip
ini lebih luas, dibanding dengan apabila didasarkan pada doktrin “vicarious”. Teori
tersebut menyatakan bahwa perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” (senior
officer) diidentifikasi sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Konsepsi ini disebut
juga doktrin “alter ego” atau “teori organ”.
Dalam pandangan Prof. Dr. Barda Nawawi, pengertian “pejabat senior” korporasi
dapat bermacam-macam. Meskipun pada umumnya, pejabat senior adalah orang yang
mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama, yang biasa disebut
“para direktur dan manajer”. Sementara di Amerika Serikat, teori ini diartikan lebih
luas yaitu tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen di bawahnya. Hal
tersebut tergambar dalam pendapat para pakar maupun praktisi hukum berikut ini.

4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), belum dikenal


adanya ketentuan pidana yang menetapkan subjek hukum buatan (rechtpersoon)
atau korporasi, sebagai subjek yang dapat dikenakan pidana. Hal ini terlihat dalam
ketentuan umum KUHP yang menyebutkan berlakunya peraturan perundang-
20
Jurnal Kompilasi Hukum hlm, 206~206
undangan Indonesia bagi setiap orang. Terminologi lain yang dipakai dalam KUHP,
adalah “warga negara” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 KUHP, yang pada intinya
menetapkan berlakunya peraturan perundang-undangan Indonesia bagi warga negara
Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu, di luar wilayah Indonesia. Namun
demikian, dalam perkembangannya, korporasi kemudian menjadi subjek hukum dalam
rumusan ketentuan pidana. Berikut ini adalah contoh dimana suatu undang-undang
khusus, mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana, tetapi yang dapat
dipertanggungjawabkan hanya pengurusnya :
a. Undang~Undang Nomor 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Kerja);
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan);

c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan Perbu-


ruhan);

d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (UndangUndang Senjata Api);

e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apo-


tek);

f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 (UndangUndang Penyelesaian Perbu-


ruhan);

g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan Tenaga


Asing);

h. Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (UndangUndang Penerbangan);

i. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-Undang Telekomunikasi;


berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989);

j. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang Wajib Lapor Ke-


tenagakerjaan);

k. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (Undang-Undang Metrologi Legal);

l. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib Lapor Perusa-


haan).

m. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (Perbankan; diganti Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 1998).
Ketetapan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam bentuk
pertanggungjawaban pengurusnya juga dapat dilihat pada ketentuan Pasal 46 ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992:

20
E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-

“ Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan
hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka
penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan
dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.”
Dari rumusan pasal tersebut, jelas bahwa para pengurus yang berwenang untuk
memberikan perintah kepada bawahannya dalam korporasi perbankan tersebut, yang
nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

KesIMPULaN

Korporasi bukan fiksi, ia benar-benar ada dan menduduki posisi penting dalam
masyarakat dan berkemampuan untuk menimbulkan kerugian bagi pihak lain dalam
masyarakat seperti halnya manusia. Memperlakukan korporasi seperti manusia
(natural person) dan membebani pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dibuat
korporasi adalah sejalan dengan asas hukum bahwa siapapun sama dihadapan hukum
(principle of equality before the law). Korporasi yang dapat memberikan dampak besar
bagi kehidupan sosial, seharusnya diwajibkan juga untuk menghormati nilai-nilai
fundamental dari masyarakat kita yang ditentukan oleh hukum pidana. Korporasi
berbuat dan bertindak atas kepentingan dari korporasi melalui struktur kepengurusan
yang tersistematisasi, atas dasar pandangan tersebut dan dengan didukung beberapa teori
seperti Strict Liability dan Vicarious Liability maka korporasi dapat dikenakan pidana.
Korporasi dipidana sebagai pertanggungjawaban karena tanpa pertanggungjawaban
pidana korporasi, perusahaan bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari
peraturan pidana dan bukan hanya pegawainya yang dituntut tetapi juga direksi,
komisaris, pemegang saham karena telah melakukan tindak pidana yang sebenarnya
merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan. Termasuk
apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang
illegal (pencucian uang atau money laundering), maka seharusnya perusahaan (direksi,
komisaris, pemegang saham) itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah
dilakukan, bukan hanya pegawai perusahaan itu saja.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang adalah apabila dipenuhi semua unsur-unsur atau syarat-
syarat sebagai berikut: a. Tindak pidana itu (baik dalam bentuk comission maupun
omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang di dalam
struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi; b.
Tindak pidana tersebut

20
Jurnal Kompilasi Hukum hlm, 208~206
dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi; c.Tindak pidana dilakukan oleh
pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi; d.
Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi;
e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf
untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana; f. Bagi tindak-tandak pidana yang
mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea),
kedua unsur tersebut (actus reus dan mens rea) tidak harus terdapat pada satu orang
saja.
Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan tindak pidana yang kompleks. Bisa
dilakukan oleh korporasi dan atau perseorangan. Untuk itu perlu dipikirkan aturan
yang mengatur bagaimana apabila pelakumya adalah perpaduan antara orang dan
korporasi, sehingga pemidanaan yang diberikan lebih tepat.

DaFTar PUsTaKa

Atmasasmita, Romli, 2010, Globalisasi & Kejahatan Bisnis, Jakarta: Kencana.


Barda Nawawi Arief, 1998, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Eisenberg, Melvin Aron, 1991, The nature of the Common Law, Massachusetts: Harvard
University Press.
Ganarsih, Yenti, 2009, Kriminalisasi Pencucian Uang (money Laundering), Jakarta:
FHUI.
Gillies, Peter (Penyunting: Barda Nawawi Arief), 1990, Criminal Law, Jakarta.
Harris, Freddy dan Teddy Anggoro, 2010, Hukum Perseroan Terbatas: Kewajiban
Pemberitahuan oleh Direksi, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hyman Gross, 1979, A Theory of Criminal Justice, Oxford University Press, New York.
Muladi, 1998, “Pembaruan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia”, Makalah Dalam
rangka HUT FH UNDIP.
Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung.
Mulyati, Sri. 2003, 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Cet. 1.
Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum.
Rusmana,SH, 2006, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Perikanan,
Artikel, Jakarta.
Sjahdeini , Sutan Remy, 2003, ”Pencucian Uang: Pengertian, Sejarah, Faktor-faktor
Penyebab dan Dampaknya Bagi masyarakat,” Jurnal Hukum Bisnis Volume
22. No.3, Tahun

20
E-ISSN 2598-6414, P-ISSN 2502-

Siahaan, N.H.T., 2002, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, cet.1, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan,.
Susanto I.S., 1995, Kejahatan Korporasi, BP-Undip, Semarang.
Saprudin,Yusuf, 2006 ,money Laundering. Pensil 234, Jakarta.
Undang-Undang RI No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang. Undang-Undang RI No.8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang

20

Anda mungkin juga menyukai