Anda di halaman 1dari 64

STUDI KASUS UROLITHIASIS PADA KUCING PERSIA JANTAN

DI KLINIK HEWAN MUTIARA BANDUNG

TUGAS AKHIR

HASNA FAUZIAH
O12116001

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
STUDI KASUS UROLITHIASIS PADA KUCING PERSIA JANTAN
DI KLINIK HEWAN MUTIARA BANDUNG

Tugas Akhir Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Dokter Hewan

Disusun dan Diajukan Oleh:

TTD

Hasna Fauziah
O12116001

Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan


Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
18 Desember 2017
PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Hasna Fauziah
NIM : O12116001
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
a. Karya Tugas Akhir saya adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari tugas akhir ini tidak asli atau
plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik
yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 18 Desember 2017

HASNA FAUZIAH
i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penyusunan tugas akhir yang
berjudul “Studi Kasus Urolithiasis Pada Kucing Persia Jantan Di Klinik Hewan
Mutiara Bandung” dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan tugas akhir ini banyak
mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai
pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut
dapat diatasi. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada Drh. Wa Ode Santa Monica, M. Si selaku pembimbing utama
yang telah dengan sabar dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga
kepada penulis selama menyusun tugas akhir ini. Serta kepada dosen penguji Drh.
Mona Kusuma Hapsari F dan Drh. Novi Susanty atas saran dan kritik yang
membangun kepada penulis.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada:


1. Prof. Dr. Andi Asadul Islam Sp.Bs selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
2. Dr. Drh. Dwi Kesuma Sari selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
3. Segenap anggota Tim Panitia Tugas Akhir atas semua bantuan dan
kemudahan yang diberikan kepada penulis.
4. Staf pengajar dan staf administrasi yang telah memberi bantuan dan
bimbingan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di PPDH FK-UH.
5. Keluarga besar Klinik Mutiara Bandung atas pengizinan melakukan
magang kerumahsakitan dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis.
6. Ayahanda tercinta H. Jon Hepni S dan Ibunda tercinta Hj. Anna Farida yang
selalu memberikan dukungan, doa, semangat, dan selalu mengorbankan
segalanya demi kebahagiaan putra-putrinya.
7. Kakak dan adik tercinta yang banyak memberi semangat dalam
penyelesaian Tugas Akhir ini.
8. Sahabat terkasih Gedy Pranajaya atas dukungan dan semangatnya.
9. Seluruh sahabat dekat Hasim Djamil dan Nurizmi Syam yang tak pernah
lelah mendukung dan memberi semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan Tugas Akhir ini.
10. Seluruh sahabat teristimewa Drh. Kuntum Khoirani, Andi Arniati, Aulia Al
Hasanati dan Nurfaizah, S. KH yang selalu memberi semangat pada penulis.
11. Teman-teman seperjuangan di PPDH FK-UH gelombang 01 khususnya
teman kelompok 2 Sante-Sante Reborn dan semua anak-anak Clavata 2011
yang selalu memberi semangat pada penulis.
ii

12. Semua pihak yang telah memberi bantuan secara langsung maupun tidak
langsung sehingga membantu selesainya Tugas Akhir ini. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Tugas Akhir ini tidak
lepas dari kekurangan karena kerterbatasan waktu, tenaga, materi dan
pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dibutuhkan saran dan masukkan
untuk menyempurnakan Tugas Akhir ini. Semoga Tugas Akhir ini
bermanfaat bagi ilmu kedokteran hewan pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya.

Makassar, 18 Desember 2017

HASNA FAUZIAH
iii

ABSTRAK

HASNA FAUZIAH. O12116001. “Studi Kasus Urolithiasis Pada Kucing Persia


Medium Jantan Di Klinik Hewan Mutiara Bandung”. Dibimbing oleh WA ODE
SANTA MONICA
Kucing merupakan salah satu hewan kesayangan yang sering dijadikan
sebagai hewan peliharaan. Hewan kesayangan seperti kucing rentan terkena
penyakit gangguan sistem urinaria. Penyakit gangguan sistem urinaria yang
paling sering muncul adalah urolithiasis. Urolithiasis adalah penyakit yang
disebabkan adanya urolith atau kristal yang berlebihan dalam saluran urinaria.
Faktor resiko terjadinya urolithiasis adanya infeksi traktus urinari, pakan,
pemberian air minum, jenis kelamin, ras, umur, obesitas, lingkungan dan
suplemen. Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui cara mendiagnosa dan
penanganan kasus urolithiasis pada kucing Persia Medium jantan di Klinik
Hewan Mutiara Bandung. Gejala klinis yang ditunjukkan pada pasien
urolithiasis antara lain stranguria, hematuria, periuria dan disuria. Untuk
mendiagnosa pasien urolithiasis dapat dievaluasi secara klinis berdasarkan
perubahan perilaku urinasi, inspeksi terlihat nyeri setiap kali urinasi, palpasi
bagian caudal abdominal menunjukkan adanya rasa nyeri dan vesika urinaria
memiliki ukuran yang besar serta secara labolatoris berdasarkan uji dipstik
untuk menentukan parameter pH dan darah serta berdasarkan pemeriksaan natif
urin untuk menentukan jenis kristal. Berdasarkan uji dipstik memperlihatkan
pasien urolithiasis parameter darah positif dan pH 7,5. Berdasarkan
pemeriksaan natif urin ditemukan eritrosit dan kristal jenis struvit. Kucing ini
merupakan kucing rumahan dan memakan pakan kering komersial. Penanganan
yang diberikan pada pasien urolithiasis menggunakan antibiotik clavet selama
7 hari untuk mencegah infeksi bakteri, cystaid plus selama 10 hari untuk terapi
suportif dan pemberian diet pakan baiknya memiliki kandungan rendah
magnesium, phosphorus, natrium dan kalium untuk urolithiasis jenis kristal
struvit.

Kata Kunci: urolithiasis, kucing, struvite, dipstik, hematuria, disuria, stranguria,


periuria, vesika urinaria
iv

ABSTRACT

HASNA FAUZIAH. O12116001. “Cases Study of Urolithiasis in Cat Persia


Medium Male at Pet Clinic of Mutiara Bandung”. Supervised by WA ODE
SANTA MONICA
Cats are one of the most popular pets. Pet like cats susceptible exposed
of lower urinary tract disease. Feline lower urinary tract disease is the most
common formation of urinary stones, also called urolithiasis. Urolithiasis is a
disease which presence of stones or kalkuli in the urinary tract. Risk factors for
development of urolithiasis vary, include urinary tract infection, feed, drinking
water intake, gender predilections, breed, age predilections, obesity,
environmental conditions and supplements. The purpose of this cases study was
find out how to diagnose and treatment urolithiasis in Cat Persia Medium Male
at Pet Clinic of Mutiara Bandung. Clinical signs showed in patient urolithiasis
was stranguria, hematuria, pyuria and dysuria. Patient urolithiasis evaluated
clinically based on behavior urinary, inspection pain on of urination, palpation
in caudal abdominal region appeared painful and the bladder was of large size
as well as in labolatoris urinary based test parameters for determining pH
dipstik, blood, examination of natif test urine for determine the type of crystal.
Based on a test of dipstik, patients of urolithiasis are having positif blood and
pH 7,5. Examination the natif urine showed eritrosit and crystals struvite. The
cat was housed indoors and was fed a commercial feline dry. Therapy for patient
urolithiasis use of antibiotics to prevent the development of bacterial infections
clavet for 7 days, therapy supportive cystaid plus for 10 days and dietary
management with a low magnesium phosphorus, natrium and kalium for
urolithiasis struvite crystals.

Key Words : urolithiasis, feline, struvite, dipstik, bladder, hematuria,


stranguria,dysuria,polakisuria,pyuria
v

DAFTAR ISI
PRAKATA ......................................................................................................... i
ABSTRAK ......................................................................................................... iii
ABSTRACT ....................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ix
DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... x

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................1


1.1. Latar Belakang ...........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah. .......................................................................................2
1.3. Tujuan ..........................................................................................................2
1.4. Manfaat .......................................................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................3


2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria Kucing ...........................................3
2.1.1. Proses Pembentukan Urin ......................................................................4
2.2. Kristaluria dan Urolithiasis .........................................................................5
2.2.1. Kristaluria ...............................................................................................5
2.2.2. Hubungan Kristaluria dengan Urolithiasis ............................................6
2.2.3. Faktor Resiko Pada Kasus Urolithiasis ..................................................6
2.3. Urolithiasis...................................................................................................8
2.4. Gejala Klinis Urolithiasis ............................................................................9
2.5. Diagnosis Urolithiasis..................................................................................10
2.5.1. Image Diagnostik ...................................................................................10
2.5.2. Pemeriksaan Urinari Dipstik ..................................................................16
2.5.3. Pemeriksaan Sedimentasi Urin ..............................................................18
2.6. Terapi Urolithiasis .......................................................................................23
2.7. Edukasi Klien ...............................................................................................26

BAB III. MATERI DAN METODE ................................................................27


3.1. Waktu dan Tempat ......................................................................................27
3.2. Bahan dan Alat .............................................................................................27
3.2.1. Bahan .....................................................................................................27
3.2.2. Alat .........................................................................................................27
3.2.3. Persiapan Kucing ...................................................................................27
3.2.4. Pengambilan Sampel Urin......................................................................27
3.2.5. Pemeriksaan Metode Dipstik .................................................................27
3.2.6. Pemeriksaan Sedimen Urin ....................................................................27

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................28


4.1. Signalement ..................................................................................................28
4.2. Anamnesis ....................................................................................................28
4.3. Status Present (Keadaan Umum) .................................................................28
4.4. Hasil Pemeriksaan Klinis .............................................................................28
4.5. Bantuan Pemeriksaan Klinis ........................................................................29
vi

4.6. Diagnosis ......................................................................................................30


4.6.1. Defferential Diagnosis ...........................................................................30
4.7. Terapi ...........................................................................................................31
4.7.1. Penanganan Sebelum Ke Klinik Mutiara Bandung ...............................31
4.7.2. Penanganan Selama di Klinik Mutiara Bandung ...................................31

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................33


5.1. Kesimpulan ..................................................................................................33
5.2. Saran .............................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................34
LAMPIRAN .......................................................................................................38
vii

DAFTAR TABEL

1. Pemeriksaan Dipstik Urin dan Mikroskopik ............................................. 29


2. Gambaran Nutrien Standar, A-01, dan A-02 ............................................ 32
viii

DAFTAR GAMBAR
1. Organ Sistem Urinari Kucing............................................................ 4
2. Kucing mengalami Kejang Otot Saat Urinasi .................................. 10
3. Lateral Abdominal terdapat urolith pada ginjal, retroperitoneum
dan vesica urinaria ............................................................................ 11
4. Posisi dan arah transducer ................................................................ 12
5. Sonogram Vesica Urinaria Normal Pada Kucing............................. 14
6. Pengendapan (Sedimentasi) Partikel Mineral Kristal Pada Kucing.. 15
7. Sonogram vesika urinaria kucing terdapat kristal ............................ 15
8. Sonogram VU kucing terdapat urolith .............................................. 16
9. Urinari Dipstik .................................................................................. 16
10. Sel Darah Merah ............................................................................... 20
11. Kristal Struvite .................................................................................. 22
12. Kalsium Oksalat Dihydrate ............................................................... 23
13. Kalsium Oksalat Monohydrate ......................................................... 23
14. Kucing terlihat nyeri setiap urinasi ................................................... 28
15. Pada Gambar A dan B ditemukan Kristal Struvit dan Eritrosit ........ 29
ix

DAFTAR LAMPIRAN
1. Prosedur pemeriksaan urin menggunakan metode dipstik dan
metode sedimentasi urin ..............................................................................38
2. Analisis Dipstik ............................................................................................40
3. Tabel Bentukan Batu Kristal ........................................................................41
4. Karakteristik Sampel Urin ...........................................................................42
5. Observasi Pembentukan Kristal Urin yang dipengarungi Oleh pH .............44
6. Cara handling dan restrain pada kucing untuk pengambilan sampel urin ...45
7. Penentuan Body Score Condition dengan skala 1-9 ....................................47
8. Kumpulan Gambar Image Diagnostik .........................................................48
x

DAFTAR ISTILAH
A : Abnormal
AINS : Anti Inflamasi Non Steroid
A-01 : Pakan Diet Urinary
A-02 : Pakan Diet Urinary
CIN : Contrast Induced Nepropathy
COX : Siklooksigenase
FIC : Feline Intertitial Cystitis
FLUTD : Feline Lower Urinary Tract Disease
GOD : Glukosa Oksidase
HPF : High Power Field
N : Negatif
P : Positif
POD : Peroksidase
USG : Ultrasonografi
UV : Ultraviolet
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kucing merupakan hewan kesayangan yang sering dijadikan sebagai
peliharaan karena memiliki perilaku yang unik dan berbeda dibandingkan dengan
hewan kesayangan lainnya. Perilaku yang dimiliki kucing seperti manja, mandiri
dapat diajak bermain merupakan alasan bagi pecinta kucing untuk memelihara
hewan kesayangan ini. Kucing merupakan karnivora kecil dari famili felidae yang
telah dijinakkan selama ribuan tahun, termasuk dalam keluarga Felidae dan dekat
dengan manusia karena memiliki daya adaptasi yang cukup baik (Suwed dan
Budiana, 2006).
Perkembangan evolusi keluarga kucing terbagi dalam 3 kelompok, yaitu
Panthera, Acinonyx dan Felis. Felis adalah kucing kecil, salah satunya Felis
sylvestris yang kemudian berkembang menjadi kucing modern yang telah
berkembang hingga saat ini. Ras kucing modern yang telah masuk di Indonesia
antara lain Anggora, Persia Medium, Exotic, Himalayan, Birman, American
Sorthair, Maine Coon, Sphynx, Ragdoll, Scottish Fold dan Bengal. Ras kucing
modern relative lebih banyak dikembangkan di Indonesia karena dari segi
keindahan warna rambut, mata dan hidung memiliki daya tarik bagi pecinta hewan
kesayangan di Indonesia.
Pecinta kucing di wilayah Bandung dengan seiring waktu telah bertambah
banyak. Hobi pecinta kucing untuk membudidayakan kucing ras dapat dilihat dari
banyaknya peminat di wilayah Bandung. Kucing yang diikutkan dalam kompetisi
yang diadakan setiap tahun merupakan tempat berkumpulnya kucing ras modern.
Kucing yang dimiliki pecinta hewan kesayangan di wilayah Bandung sebaiknya
diperhatikan dalam hal kesehatannya.
Kucing merupakan hewan kesayangan yang rentan terhadap berbagai
penyakit termasuk gangguan sistem perkencingan bagian bawah biasa disebut
dengan FLUTD meliputi vesika urinaria dan urethra merupakan penyakit yang
sering ditemukan pada kucing. Perubahan perilaku kucing akan membuat pemilik
hewan kesayangan segera datang ke tempat praktek dokter hewan. Pada penyakit
gangguan sistem urinaria yang peling sering muncul dikalangan kucing merupakan
urolithiasis. Berdasarkan penelitian sebelumnya (maryani,2009) data diperoleh
dari Rumah Sakit Hewan Jakarta, Rumah Sakit Hewan IPB, dan Klinik PDHB 24
jam Drh. Cucu Kartini, tercatat kasus urolithiasis meningkat pada tahun 2007-2008
kasus pada jantan lebih banyak dari pada kasus betina, kasus pada anjing 58 kasus
dan pada kucing 13 kasus.
Tingkat kejadian tahunan dalam praktek sekitar 1%. Kejadian tahunan
FLUTD kucing di Inggris dan US mencapai U.K hingga 8%, dengan kemungkinan
kejadian serupa di negara-negara Eropa lainnya. Gejala klinis yang ditujukkan pada
kucing yang mengalami gangguan sistem perkencingan yaitu disuria (hewan
menunjukkan tanda-tanda nyeri pada setiap usaha urinasi), stranguria (susah
kencing), polakisuria (kencing sedikit-sedikit dan sering), periuria merupakan
urinasi di tempat lain selain litter box (urinasi di sembarang tempat), hematuria
(adanya darah dalam urine) dan menjilati daerah perineum atau daerah genital
akibat dari respon nyeri yang dialami. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat dari
adanya gangguan di dalam sistem perkencingan bagian bawah. Gangguan sistem
2

perkencingan bagian bawah dapat dipengaruhi dari berbagai kondisi, penyebabnya


dapat dikaitkan dengan gejala klinis yang timbul. Pemeriksaan lebih lanjut dapat
dilakukan untuk menarik diagnosis (Bovens, 2011).
Deskripsi klinis FLUTD pada kucing telah diketahui berdasarkan gejala
klinis dari penyakit dan sering dilaporkan. Kebanyakan kucing dengan FLUTD
biasanya juga menderita interstitial cystitis, selain itu juga urolithiasis, urinary
tract infection (UTI), malformasi anatomis, neoplasia, kelainan tingkah laku dan
gangguan neurologik. Obstruktif uropathy jarang terjadi pada kucing betina dan
sering ditemukan pada kucing jantan. Gejala FLUTD lebih mudah ditemukan pada
kucing yang dipelihara di dalam rumah atau kucing rumah tangga. Perkiraan
prevalensi FLUTD di USA telah dilaporkan sekitar 1,5%. Berdasarkan studi
institusi mengenai kucing dengan penyakit traktus urinarius nonobstruktif, 2 kasus
utama yang sering ditemukan adalah FIC (55%-69%) dan urolithiasis (13%-28%)
(Hostutler et al., 2005).
Investigasi diagnostik dapat melibatkan penetuan usia pasien, jenis kelamin
jenis kucing dan sejarah lengkap. Kucing dari segala usia, jenis kelamin dan jenis
kucing untuk menentukan FLUTD, FIC terlihat paling sering terjadi akibat
kelebihan berat badan pada kucing jantan dan diberi pakan kering atau komersial.
Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah untuk menentukan apakah vesica
urinaria menjadi besar atau kecil, apakah terjadi atau tidak ada indikasi obstruksi
saluran kencing. Pada semua kasus, bagian abdomen daerah caudal cenderung nyeri
atau sakit pada saat dilakukan palpasi dan pada kucing jantan penis sering
mengalami inflamasi. Kasus FIC pada vesica urinaria biasanya kecil, menebal dan
terjadi reaksi kesakitan pada saat dilakukan palpasi. Obstruksi dapat menyebabkan
besar, penuh, sulit urinasi dan terjadi reaksi kesakitan pada saat dilakukan palpasi
vesica urinaria (Moore, 2009).

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari studi kasus urolithiasis pada kucing
persia jantan di klinik hewan Mutiara Bandung, yaitu bagaimana cara
mendiagnosa dan penanganan kasus urolithiasis pada kucing persia medium
jantan di klinik hewan Mutiara Bandung?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari studi kasus urolithiasis pada kucing persia jantan di
klinik hewan Mutiara Bandung, yaitu untuk mengetahui cara mendiagnosa dan
penanganan kasus urolithiasis pada kucing persia medium jantan di klinik
hewan Mutiara Bandung.

1.4. Manfaat
Diharapkan dalam kegiatan studi kasus ini akan diketahui hubungan
frekuensi kejadian urolitiasis dengan ras, umur, dan diet/pakan apa yang dapat
menyebabkan pembentukkan urolit.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria Kucing


Organ sistem urinaria terdari ginjal, ureter, vesica urinari dan urethra.
Setiap ginjal memiliki pelvis berperan membawa urin sampai ke ureter. Ureter
sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga
pelvis. Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang
mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih. Uretra merupakan saluran sempit
yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar
pada kucing jantan maupun kucing betina (Eldredge et al., 2008).
1. Ginjal
Fungsi ginjal adalah mempertahankan suasana keseimbangan cairan,
sebagai pengeluaran zat-zat toksis atau racun, mempertahankan keseimbangan
kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme
akhir dari protein, ureum, kreatinin dan amoniak. Cairan yang menyerupai plasma
difiltrasi melalui dinding kapiler glomerulus ke tubulus renalis di ginjal. Dalam
perjalanannya sepanjang tubulus ginjal, volume cairan filtrat akan berkurang dan
susunannya berubah akibat proses reabsorpsi tubulus untuk membentuk urin yang
akan disalurkan ke dalam pelvis renalis. Filtrasi glomerulus berdasarkan faktor-
faktor hemodinamik dan osmotik (Eldredge et al., 2008).
2. Ureter
Setiap ginjal memiliki saluran yang disebut ureter terdapat di hilus dan
merupakan saluran berotot yang mengangkut urin dari ginjal menuju vesika
urinaria. Ureter terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan luar fibrosa, lapisan otot tengah
yang dibentuk oleh otot halus dan lapisan dalam epitel transisional. Ureter
merupakan lanjutan dari pelvis renalis. Tiap ureter meninggalkan ginjal di hilus.
Epitel transisional menyebabkan ureter meregang ketika dilewati oleh urin sampai
ke vesika urinaria (Colville, 2002).
Lapisan otot halus pada ureter adalah lapisan yang fungsional,
menggunakan gerak peristaltik untuk memindahkan urin, sama seperti kontraksi
usus. Gerak peristaltik adalah suatu kontraksi gelombang otot untuk menggerakkan
isi saluran dalam satu arah. Dalam hal ini, urin didorong untuk pembukaan bagian
dasar vesika urinaria (Dyce et al., 2002).
3. Vesika Urinaria
Vesika urinaria menampung urin yang diproduksi dan mengeluarkannya
secara periodik dari tubuh. Vesika urinaria memiliki dua bagian yaitu kantung otot
dan leher yang terlihat seperti balon. Ukuran dan posisi vesika urinaria bervariasi
berdasarkan jumlah urin yang terkandung di dalamnya. Vesika urinaria dilapisi
oleh epitel trasisional yang meregang ketika berisi urin. Ketika otot berkontraksi,
vesika urinaria tertekan dan urin akan keluar. Kontraksi dan relaksasi otot sphincter
di bawah kontrol kesadaran, membuka dan menutup jalan urin meninggalkan vesika
urinaria dan memasuki uretra (Colville, 2002).
Leher vesika urinaria merupakan lanjutan caudal dari vesika urinaria
menuju uretra. Pada leher vesika urinaria terdapat otot halus yang bercampur
dengan banyak jaringan elastik yang berfungsi sebagai otot sphincter internal
(Reece, 2006).
4

4. Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang terdiri dari mukosa membran
dengan muskulus yang berbentuk spinkter pada bagian bawah dari kandung kemih.
Uretra berfungsi untuk transport urin dari kandung kemih ke meatus eksterna,
uretra merupakan sebuah saluran yang berjalan dari leher kandung kemih hingga
lubang air (Drobatz, 2009).

Gambar 1. Organ Sistem Urinaria Kucing (Hill’s, 2004).

2.1.1. Proses Pembentukan Urin


Pembentukan urin memiliki tiga proses normalnya untuk membuang sisa
metabolisme, yaitu filtrasi gromerulus, reabsorpsi tubular dan sekresi tubular.
Glomerulus merupakan unit kapiler yang disusun dari tubulus membentuk kapsula
bowman. Glomerulus merupakan tempat terjadi penyerapan darah yang tersaring
adalah bagian cairan darah kecuali protein. Pembuluh darah arteriola afferen yang
membawa darah masuk glomerulus dan pembuluh darah arteriola efferen yang
membawa darah keluar glomerulus. Pada tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh
kapiler, yaitu arteriola yang membawa darah dari dan menuju glomerulus
(Stockham dan Scott, 2008).
Proses pembentukan urin diawali dengan filtrasi atau penyaringan darah.
Filtrasi merupakan perpindahan cairan dari glomerulus menuju ke kapsula bowman
dengan menembus membran filtrasi. Tahap ini merupakan proses pertama dalam
pembentukan urin. Pembuluh darah arteriola afferen yang membawa darah masuk
glomerulus mengandung glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat,
diteruskan ke tubulus ginjal. Akhir filtrasi dari glomerulus disebut filtrat glomerulus
atau primer (Stockham dan Scott, 2008).
Proses selanjutnya adalah resorpsi tubular ini berlangsung melalui
mekanisme transport aktif dan pasif yang nantinya akan membentuk urin, zat yang
difiltrasi didalam gromerulus yaitu elektrolit, non elektrolit dan air. Beberapa
elektrolit yang paling penting adalah natrium (Na⁺), kalium (K⁺), kalsium (Ca⁺⁺),
magnesium (Mg⁺⁺), bikarbonat (HCO3⁻), klorida (Cl⁻) dan fosfat (HPO4⁻).
Sementara non elektrolit yan penting adalah glukosa, asam amino dan metabolit
yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein seperti urea, asam
urat dan kreatinin. Glukosa dan asam amino direabsorpsi seluruhnya disepanjang
5

tubulus proksimal melalui transpor aktif. Air akan diserap kembali melalui proses
osmosis di tubulus dan lengkung henle. Hasil dari reabsorpsi merupakan urin
sekunder biasa disebut filtat tubulus yang kadar ureanya lebih tinggi dari urin
primer. Urin sekunder masuk ke lengkung henle tahap ini terjadi tekanan osmotik
air di lengkung henle desenden sehingga volume urin sekunder berkurang dan
menjadi pekat. Urin sekunder yang mencapai lengkung henle asenden maka dua per
tiga dari natrium dan klorida akan dipompa keluar dari tubulus sehingga urin
menjadi pekat. Urea kemudian berdifusi secara pasif. Rasio konsentrasi urea naik
di sepanjang tubulus karena 40% dari urea kembali direabsorpsi (Kaneko, 2008).
Proses setelah melewati lengkung henle urin sekunder akan memasuki tahap
sekresi tubular yang terjadi di tubulus kontortus distal. Pengeluaran zat sisa oleh
darah seperti, ion H⁺, kalium, ammonia, urea, kreatinin dan zat lain yang tidak
terfiltrasi di glomerulus. Sekresi merupakan proses perpindahan zat dari kapiler
peritubulus kembali ke lumen tubulus yang melibatkan transport transepitel. Ion H⁺
akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai keseimbangan
asam-basa. Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan disekresikan dalam urin dan
kontrol ion K+ tersebut diatur oleh hormone antidiuretik (ADH). Proses sekresi
menghasilkan urin akhir yang sedikit mengandung air. Urin akhir yang
mengandung urea, ammonia, kreatinin dan zat-zat yang berlebihan dalam darah
seperti obat-obatan serta mineral akan menuju duktus kolektivus untuk dibawa
menuju pelvis renalis yang kemudian menuju vesika urinaria melalui ureter proses
akhir urin akan dikeluarkan melalui uretra pada kucing (Stockham dan Scott, 2008).
Ginjal memiliki fungsi untuk mengatur keseimbangan cairan, normalnya
yang ada pada ginjal terdapat cairan berupa glukosa, asam amino, sodium, klorida,
bikarbonat, kalsium, magnesium, kecuali protein dan sebagai sekresi urea,
kreatinin, phosphate, ion H⁺, ammonium, keton, bilirubin, haemoglobin dan
myoglobin (Stockham dan Scott, 2008).

2.2. Kristaluria dan Urolithiasis


2.2.1. Kristaluria
Kristaluria adalah kristal yang ditemukan pada pemeriksaan urine. Berbeda
dengan urolith atau batu perkemihan, kristaluria masih belum kasat mata dan hanya
bisa dilihat di bawah mikroskop. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa semua pakan kering yang diberikan pada kucing
menyebabkan kristaluria (Nash, 2008).
Kristaluria bisa diartikan adanya batu di dalam urine meski belum tampak
secara kasat mata. Adanya kristal di dalam urine akan berisiko menyebabkan batu
saluran kemih, terutama pada kucing jantan yang mempunyai saluran kemih yang
sempit dan panjang. Saluran kemih yang buntu akan menyebabkan kucing tidak
bisa urinasi atau kencing (Nash, 2008).
Faktor utama yang mengatur kristalisasi mineral dan pembentukkan urolit
adalah derajat saturasi urin dengan mineral-mineral tertentu. Saturasi memberikan
energi bebas untuk terbentuknya kristalisasi. Semakin tinggi derajat saturasinya,
semakin besar kemungkinan terjadinya kristalisasi dan perkembangan kristal.
Oversaturasi urin dengan kristal merupakan faktor pembentukkan urolit tertinggi.
Oversaturasi ini dapat disebabkan oleh peningkatan ekskresi kristal oleh ginjal,
reabsorpsi air oleh tubuli renalis yang mengakibatkan perubahan konsentrasi dan
pH urin yang mempengaruhi kristalisasi (Andrew, 2007).
6

Saturasi ditentukan oleh produk dari konsentrasi aktif yang terlarut dalam
urin, misalnya kalsium dan oksalat, yang ditentukan dari konsentrasi absolut,
interaksinya dengan substansi lain di urin, efek dari pH urin, dan keseluruhan
kekuatan afinitas ion dari larutan. Solute activity atau yang dikenal sebagai jumlah
yang bebas untuk bereaksi tidak sama dengan konsentrasi dari larutan karena ion-
ion yang terdapat pada masing-masing individu dapat membentuk kompleks
dengan substansi lain yang ada di larutan. Misalnya, kalsium atau magnesium dapat
membentuk kompleks dengan urate, sitrat, atau sulfat dan menyebabkan
terbentuknya kalsium oksalat atau struvite urolit (Elliot et al., 2007).

2.2.2. Hubungan Kristaluria dengan Urolithiasis


Urolith terbentuk karena banyak kristal-kristal yang saling bergabung
menjadi satu. Saat urin mengalami tigkat kejenuhan yang tinggi, yang disertai
dengan kelarutan garam, garam tersebut mengalami presipitasi dan membentuk
kristal (crystalluria). Jika kristal itu tidak dikeluarkan maka akan terbentuk agregat
yang disebut dengan kalkuli. Terdapat beberapa jenis urolit yang berbeda, di mana
perawatan dan pencegahanya berbeda pula. Urolit merupakan batu yang terbentuk
akibat supersaturasi di urin dengan kandungan mineral-mineral tertentu. Kadar
kalsium yang tinggi di dalam ginjal juga dapat mempengaruhi pembentukan urolit
(Andrew, 2007).

2.2.3. Faktor Resiko Pada Kasus Urolithiasis


Faktor resiko pada kasus urolithiasis sangat bervariasi dimulai dari akibat
pemberian pakan, pemberian air minum, jenis kelamin, breed, umur, lingkungan,
obesitas dan penyakit sistem perkemihan akibat dari infeksi bakteri.
1. Pakan
Lebih dari 92% kucing yang diberikan pakan kering mengalami kristaluria,
sedangkan kucing yang diberi pakan basah (wet food) sama sekali tidak ditemukan
adanya kristaluria. Penelitian yang lebih lama menyatakan bahwa berbagai pakan
kucing kering komersial menunjukkan bahwa lebih dari 71% kucing mengalami
kristaluria (Nash, 2008).
Faktor resiko pada kasus urolithiasis tipe struvite dan kalsium oksalat
apabila kandungan pakan yang tinggi meliputi magnesium, phosphorus, kalsium,
chloride dan serat akan membentuk kristal struvite. Biasanya diikuti dengan adanya
kalsium fosfat dan terbentuk pada pH urin netral-basa (Lulich dan Osborne, 2007).
2. Pemberian Air Minum
Kucing merupakan hewan yang tidak minum banyak. Perilaku makan,
khususnya minum yang hanya sedikit ini diturunkan oleh moyangnya yang dahulu
hidup di gurun yang kesulitan air, sehingga kucing tidak menggantungkan
kecukupan air melalui minum namun juga menggantungkan asupan air dari
mangsanya yang biasanya merupakan mamalia kecil yang kandungan airnya
sekitar 70-80 persen. Konsumsi air minum normalnya pada kucing 20-70
ml/kg/hari. Akibat minum sedikit dan kucing memanfaatkan air di dalam
tubuhnya secara maksimal, dengan cara mengambil kembali sebagian air yang
telah tersaring di dalam ginjal (reabsorbsi), sehingga kucing mempunyai
konsentrasi urine yang pekat (sedikit air) (Nash, 2008).
7

3. Jenis Kelamin
Salah satu penelitian juga mengatakan bahwa, kucing jantan memiliki
faktor resiko mengalami urolithiasis kalsium oksalat sedangkan pada kucing
betina faktor resiko pada urolithiasis struvite. Pada penelitian yang sama, kucing
jantan ataupun kucing betina dapat memiliki faktor resiko mengalami dua tipe
urolithiasis tersebut. Penelitian lainnya, mengatakan, bahwa tidak ada faktor
penyebab dari jenis kelamin untuk kucing yang mengalami urolithiasis kalsium
oksalat (Forrester, 2007).
Faktor predisposisi pada jenis kelamin tidak mempengaruhi terjadinya
urolithiasis tipe struvite. Faktor resiko dari breed kucing yang dapat mengalami
urolithiasis tipe struvite seperti ragdoll, domestik short hair dan Himalaya (Palma
et al., 2009).
4. Breed
Penelitian yang telah dilakukan selama 20 tahun di negara Eropa kasus
kencing batu atau urolithiasis pada kucing dari 16 negara. Negara German
merupakan negara tertinggi mecapai (53%) memiliki riwayat kasus kencing batu
atau urolithiasis, Netherlands (7,8%), Italy (2.9%), Switzerland (2.7%), Finland
(1.8%), Austria (1.7%) dan France (1.5%) (Hesse dan Neiger, 2009).
Faktor resiko dari segi breed pada kasus urolithiasis meliputi Shorthair
(62.3%) dan Persian (25%), selanjutnya Chartreux (1.5%), Siamese (1.4%),
British Shorthair (1.2%), Maine Coon (1.0%) dan Norwegian Forest (1.0%)
(Hesse dan Neiger, 2009).
Kucing ras Foreign shorthair, ragdoll, Chartreux, Oriental shorthair,
Himalayan, Persian dan Siamese memiliki resiko terhadap urolithiasis struvite.
Urolithiasis pada kucing ras selain jenis batu struvite terdapat juga ras yang sama
memiliki resiko terhadap batu jenis kalsium oksalat yaitu kucing Himalayan,
Persian, Siamese, ragdoll, British shorthair, foreign shorthair, Havana brown,
Birman, Chartreux, Scottish fold dan exotic shorthair. Jenis kucing ras lainnya
seperti Egyptian mau, Birman, Siamese, Bengal, European shorthair, Havana
brown, ocicat, oriental, ragdoll, rex, snowshoe dan Sphynx lebih rentan terhadap
urolithiasis dengan memiliki jenis batu urate (Hesse et al., 2012).
Terdapat laporan kasus di jurnal bahwa breed yang memiliki rambut
panjang seperti Himalaya dan Persia mempunyai resiko yang tinggi mengalami
hyperkalsemia. Hyperkalsemia merupakan kondisi ketika kadar kalsium didalam
darah sangat tinggi dapat terjadi pada jenis breed tersebut. Hyperkalsemia yang
tinggi didalam darah dapat mempengaruhi kucing mengalami pembentukan
urolithiasis dengan jenis batu kalsium oksalat (Midkiff et al., 2000).
5. Umur
Kucing muda dibawah umur 4 tahun lebih sering mengalami urolithiasis
jenis struvite. Kucing dewasa yang memiliki umur 4-7 tahun lebih sering
mengalami urolithiasis jenis struvite dan kalsium oksalat. Kucing yang tua
memiliki umur diatas 7 tahun lebih sering mengalami urolithiasis jenis kalsium
oksalat (Cannon et al., 2007).
6. Obesitas
Beberapa penelitian menunjukkan 8.000 kucing di United States, hampir
29% memiliki kelebihan berat badan atau obesitas akibat dari kurangnya aktivitas
pergerakan dari kucing itu sendiri sehingga dapat menyebabkan FLUTD. Kucing
yang memiliki berat badan berlebih atau obesitas akibat dari kurangnya aktivitas
8

yang dilakukan didalam rumah ataupun akibat dari kucing yang sering
dikandangkan. Obesitas pada kucing tersebut mengakibatkan ginjal sangat bekerja
keras dalam memfiltrasi zat-zat ataupun cairan yang ada dalam tubuh kucing
tersebut (Forrester, 2007).
7. Lingkungan
Sejarah sangat penting untuk mengidentifikasi faktor lingkungan sebagai
predisposisi terjadinya FLUTD seperti memiliki banyak kucing dalam satu rumah,
menggunakan litter box, tinggal didalam rumah atau diluar, di luar kandang
ataupun didalam kandang, pakan yang diberikan pakan kering atau pakan basah
dan perubahan pakan. Salah satu faktor penyebab terjadinya FLUTD dari
penggunaan litter box karena apabila litter box kotor dan tidak dibersihkan dari
sisa urin kucing lainnya menimbulkan infeksi bakteri (Bovens, 2011).
8. Infeksi Traktus Urinari
Infeksi bakteri dapat meningkatkan pembentukan struvite urolit karena
bakteri yang menginfeksi memproduksi urease sehingga akan meningkatkan pH
urin menjadi basa. Urease merupakan enzim yang dalam keberadaannya di air
akan menghidrolisis urea dan menghasilkan ion ammonia dan karbonat sehingga
konsentrasi kedua ion tersebut meningkat (Lulich dan Osborne, 2007).
Ammonia bergabung dengan air atau ion hidrogen untuk membentuk ion
ammonium. Ion ammonium di urin akan menyebabkan pH urin yang tinggi.
Ketika pH urin basa, fosfat menjadi lebih tersedia untuk pembentukan kristal
struvite dan struvite menjadi kurang larut. Selain itu, pH urin yang tinggi akan
menurunkan solubilitas magnesium ammonium fosfat dan meningkatkan
terbentuknya presipitasi kristal struvite. Ketika konsentrasi fosfat, magnesium,
dan ammonium meningkat di urin, supersaturasi terjadi dan membentuk kristal
dan urolit (Lulich dan Osborne, 2007).
9. Suplemen
Suplemen vitamin D yang berlebihan dapat berperan penting dalam
pembentukan batu kalsium oksalat. Penurunan serum kalsium dan peningkatan
vitamin D menyebabkan pelepasan kalsium dari tulang, peningkatan penyerapan
kalsium berlebih oleh usus dan reabsorpsi kalsium yang berlebih pada ginjal.
Hiperkalsiuria ini kemudian akan menjadi faktor resiko terhadap pembentukkan
kalsium urolit (Finch, 2016).

2.3.Urolithiasis
Urolithiasis adalah penyakit yang disebabkan adanya urolit (batu) atau
kalkuli atau kristal yang berlebihan dalam saluran urinaria. Polikristal ini terdiri
dari kristal organik atau anorganik (90-95%). Unsur-unsur sedimen dibagi atas 2
golongan : organik, yaitu yang berasal dai suatu organ atau jaringan dan non
organik, tidak berasal dari suatu jaringan. Biasanya unsur organik lebih bermakna
daripada yang non organik. Unsur organik meliputi sel epitel, leukosit, eritrosit
dan silinder. Sedangkan unsur non organik meliputi bahan amorf dan kristal-
kristal yaitu kristal kalsium oksalat, kristal struvit, kristal sistin dan kristal asam
urat (Ramdhany et al., 2012).
Urolithiasis biasa terjadi terutama pada hewan domestik seperti kucing.
Urolit ini terbentuk dalam berbagai bentuk dan jumlah tergantung pada infeksi.
Urolit dapat terbentuk pada bagian manapun dari traktus urinari kucing. Urolit
dengan berbagai komposisi mineral telah ditemukan pada kucing, termasuk
9

struvite, kalsium oksalat, kalsium fosfat, uric acid atau urate dan cystine.
Identifikasi oleh mineral yang menyusun 70% atau lebih dari komposisinya. Batu
dan kristal tersebut dapat ditemukan di ginjal, uretra dan kebanyakan di vesika
urinaria (Brown, 2013).
Akumulasi urolit pada vesika urinaria dapat menyebabkan rupturnya dinding
vesika urinaria dan rupturnya saluran pada uretra. Pecahan urolit atau kalkuli
yang terbawa melalui uretra juga akan mengakibatkan radang sehingga pembuluh
darah pada dinding saluran perkencingan pecah dan memicu keluarnya darah yang
terbawa pada urin. Adanya urolit pada vesika urinaria dan uretra juga dapat
mengakibatkan obtruksi sehingga memicu terjadinya rasa nyeri yang sangat pada
saat hewan melakukan urinasi. Urolitiasis kalsium oksalat merupakan jenis
urolitiasis yang sering terjadi pada kucing (Brown, 2013).
Menurut Birchard dan Sherding (2000), faktor-faktor etiologi
kejadian urolithiasis yaitu sebagai berikut :
a. Infeksi saluran urinaria oleh bakteri hidrolisasi urea (contohnya
Staphylococcus dan Proteus), yang paling umum menyebabkan
struvite urolithiasis pada kucing.
b. Kelainan metabolik yang menyebabkan ekskresi urin secara
berlebihan yang mengandung sedikit bahan terlarut dapat menjadi
faktor predisposisi urate urolithiasis pada kucing.
c. Faktor makanan, misalnya makanan yang mengandung kalsium
dan asupan fosfor secara berlebihan dapat menyebabkan kalsium
fosfat urolith.
d. Kondisi idiophatic sering menyebabkan urolithiasis.

2.4. Gejala Klinis Urolithiasis


Gejala klinis yang sering ditunjukkan pada hewan yang mengalami
urolithiasis antara lain kesulitan urinasi, periuria (kucing sering buang air kecil
tidak pada tempatnya), sering menjilat daerah genital, merejan saat buang air
kecil, serta darah pada urin. Selain itu, kucing dengan Feline Lower Urinary Tract
Disease biasanya tidak nafsu makan. Pada keadaan yang lebih serius kucing jantan
yang mengalami obstruksi uretra komplit akan menunjukkan gejala muntah,
kelemahan, serta perut yang menegang dan sakit (Brown, 2011).

Gambar 2. Kucing mengalami Kejang Otot Saat Urinasi (Bovens, 2011).


10

2.5. Diagnosis Urolithiasis


Diagnosis untuk urolithiasis dapat dilakukan berdasarkan anamnesis yaitu
dengan menanyakan riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan klinis yaitu dengan
cara melakukan palpasi pada abdomen dan pada saat dipalpasi akan terasa adanya
pembesaran vesika urinaria, selain itu dapat pula dilakukan kateterisasi untuk
pengeluaran urin, biasanya ditemukan urolit penyebab urolithiasis dan
pemeriksaan urin untuk mengetahui adanya peradangan di kandung kemih, darah
serta jenis batu atau kristal yang menjadi sumbatan (Jhon, 2000, dalam Syam,
2015).
Tes urine berguna dalam diagnosis penyakit di kucing, termasuk penyakit
saluran kencing, penyakit ginjal, diabetes, dan lain-lain. Tes urine terbagi menjadi
dua bagian: analisis kimia dan pemeriksaan urin sedimen. Strip Uji reagen kimia
yang digunakan untuk memeriksa sampel urin untuk kehadiran beberapa zat,
seperti darah adanya infeksi atau peradangan, glukosa adanya diabetes, bilirubin
adanya penyakit hati dan lainnya (Little,2008).
Selain itu diagnosa penyakit urolithiasis dapat diperoleh juga melalui
urinalisis dengan evaluasi sedimen, pemeriksaan kimia darah seperti kadar ureum
dan kreatinin dan kultur urin (Birchard dan Sherding 2000, dalam Fauziah, 2015).
Pemeriksaan kimia darah kadar ureum normal dalam darah 20-50 mg/dl
dan kreatinin 0,5-2 mg/dl. Pemeriksaan kimia darah kadar ureum dan kreatinin
dapat menggambarkan fungsi dari ginjal yang dapat mempertahankan suasana
keseimbangan cairan, sebagai pengeluaran zat-zat toksis atau racun,
mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh,
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein, ureum, kreatinin dan
amoniak dan menjaga keseimbangan kalsium dan fosfor dikarenakan ginjal
mempunyai peranan dalam metabolisme vitamin D. Kadar ureum dan kreatinin
dalam darah dapat dihubungkan dengan kasus urolithiasis apabila hasil
pemeriksaan meningkat menunjukkan bahwa ginjal mengalami gangguan
sehingga tidak dapat bekerja dengan semestinya sehingga tidak dapat menjaga
keseimbangan kalsium dan fosfor yang ada pada darah sehingga saat cairan yang
di difiltrasi di glomerulus dan kemudian direabsorpsi dan disekresi di sepanjang
nefron dikeluarkan sebagai urin nantinya dapat terbentuknya urolithiasis
(Sarno,2014).
Peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam darah (azotemia) dapat
berhubungan dengan gangguan prerenalis, intrarenalis atau postrenalis. Azotemia
pre-renalis dapat terjadi pada kondisi dehidrasi. Azotemia renalis dapat terjadi
pada kondisi renal disease sedangkan azotemia post-renalis dapat terjadi pada
kasus urolithiasis (Barsanti et al., 2004).

2.5.1. Image Diagnostik


a. Pemeriksaan X-ray
Menurut Gerber (2008), pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
dengan foto rontgen (X-Ray). Pada pemeriksaan radiografi diperlukan persiapan
pasien yang memadai untuk pengamatan terhadap adanya kalkuli dan lesi pada
traktus urinarius. Pada pemeriksaan radiografi sendiri urolith kecil sering tidak
kelihatan, atau dapat terjadi kesalahan dalam interpretasi jika persiapan pasien
tidak memadai, sedangkan tujuan pemeriksaan USG adalah untuk mengetahui ada
11

atau tidaknya urolit pada vesika urinaria. Ultrasonografi dari vesika urinaria
adalah metode yang sensitif untuk mendeteksi urolith (Lulich dan Osborne, 2010).

Gambar 3. Lateral Abdominal terdapat urolith pada ginjal, retroperitoneum dan


vesica urinaria (Harran, 2011).
Pada hasil radiografi foto rontgen (X-Ray) diatas area yang dipapari oleh
sinar-X dengan jumlah sedikit akan ditembus cahaya atau tampak berwarna putih
(radiopaque).
Bahan kontras merupakan zat yang membantu visualisasi beberapa
struktur pada pencitraan diagnosis medik. Bahan kontras bekerja berdasarkan
prinsip dasar penyerapan sinar x. Penggunaan bahan kontras pada pencitraan
dengan sinar x untuk meningkatkan daya atenuasisinar x (bahan kontras positif)
(Pradip, 2005 dalam Ahmad, 2013).
Bahan kontras dapat digunakan pada semua teknik pencitraan untuk
meningkatkan perbedaan yang nampak pada pencitraan jaringan tubuh. Bahan
kontras mengubah respon jaringan pada penerapan elektromagnetik atau
ultrasonik dengan berbagai cara. Bahan kontras yang ideal akan mencapai
konsentrasi yang sangat tinggi di dalam jaringan pengeluaran produksi yang
merugikan (Thomsen, 2006 dalam Ahmad, 2013).
Berbagai jenis bahan kontras yang sering digunakan untuk mengevaluasi
organ adalah barium sulfat, iodixanol, dan iohexol. Barium sulfat digunakan pada
pemeriksaan pencitraan saluran pencernaan, sedangkan iodixanol dan iohexol
digunakan pada pemeriksaan saluran kemih. Penggunaan bahan kontras yang
efektif dan efisien serta cepat dieliminasi tubuh diperlukan untuk mengurangi
resiko komplikasi (Kandynesia, 2012 dalam Ahmad, 2013).
Bahan kontras radiografi yang dapat digunakan iodixanol merupakan
bahan kontras dimer iso-osmolar non-ionic yang mempunyai 6 atom iodin per
molekul, osmolaritasnya mendekati osmolaritas darah yaitu 300 mOsm/l sehingga
menurunkan efek samping. Iodixanol memiliki tingkat toksisitas yang rendah
dibandingkan bahan kontras osmolaritas rendah. Oleh karena itu iodixanol baik
digunakan pada pasien yang beresiko tinggi untuk terjadinya Contrast Induced
Nepropathy (CIN). Iodixanol (dosis 800 mg/kg BB) diinjeksikan dengan metode
rapid injection, high dose, dan tanpa penekanan abdomen. Iodixanol diinjeksikan
kedalam vena cephalica antibrachii dorsalis (Thomsen, 2006 dalam Ahmad,
2013).
Pemberian obat golongan diuretik loop yang dapat menghambat
reabsorpsi natrium dan air pada lengkung henle bagian atas, yang menghasilkan
12

diuresis. Mempunyai aktivitas vasodilatasi, meningkatkan perfusi ginjal dan


menurunkan preload. Obat mengandung furosemida yang dapat diberikan pada
kucing dengan dosis 1-4 mg/kg s8-24j, secara IV, IM, SC dan PO (Wientarsih et
al., 2017).
b. Pemeriksaan Ultrasonografi
Saluran urinaria sangat mudah diperiksa dengan ultrasonografi dan
umumnya dievaluasi ketika tanda-tanda klinis kasus saluran urinaria terdeteksi
atau selama pemeriksaan USG abdomen yang rutin. Ultrasonografi digunakan
untuk memeriksa adanya penyakit saluran urinaria bagian atas (ginjal dan ureter)
dan bagian bawah (vesica urinaria dan uretra). Pemeriksaan USG ginjal, ureter
atau vesica urinaria memberikan informasi mengenai ukuran, bentuk, lokasi,
struktur, marginasi, keragaman echogenisitas dan internal tekstur dari organ
urinaria. Pemeriksaan USG tidak dapat digunakan sebagai pengganti pemeriksaan
fisik, urinalisis maupun radiografi survei. Normal USG organ urinaria pada kucing
Pengambilan gambar USG pada kucing dan anjing yang berukuran kecil dan
untuk struktur superficial direkomendasikan menggunakan transducer dengan
frekuensi 7,5 MHz dan kedalaman 6-8 cm (Widmer et al., 2004, dikutip dalam
Wijayanti, 2008).
Menurut Widmer et al (2004) dalam Wijayanti (2008), pada kucing
normal secara klinis, ketebalan dinding vesica urinaria berkisar antara 1,3-1,7
mm. Apabila hasil suatu gambar sonogram menunjukkan dinding vesica
urinaria mengalami penebalan yang kemungkinan dapat disebabkan oleh cystitis
yang merupakan peradangan pada dinding vesica urinaria yang dapat dikenali
sebagai penebalan merata pada dinding vesica urinaria akibat adanya kristal
yang mengiritasi dinding vesica urinaria (Widmer et al., 2004, dikutip dalam
Wijayanti, 2008).
Teknik Pengambilan gambar
Posisi dan Daerah Orientasi
Vesica urinaria dapat diperiksa dalam keadaan berdiri atau dalam posisi
berbaring dorsal atau lateral. Vesica urinaria dapat dilihat melalui tepi pubis
sampai umbilikal pada garis tengah tubuh (untuk hewan betina) dan pada hewan
jantan sampai preputium (Barr, 1990, dikutip dalam Wijayanti, 2008).
Arah Transducer
Pengambilan gambar vesica urinaria dapat dilakukan melalui arah
transversal (berlawanan arah sumbu tubuh) dan sagital (searah sumbu tubuh).
Vesica urinaria dapat lebih mudah ditemukan pada arah sagittal dengan cara
mengorientasikan transducer dan mendorongnya secara dorsal atau ventral
(Widmer et al., 2004, dikutip dalam Wijayanti, 2008).
13

Gambar 4. Posisi dan arah transducer (A) menunjukkan posisi


dorsal recumbency dan arah transducer sagital, (B) menunjukkan posisi
dorsal recumbency dan arah transducer transversal, (C) menunjukkan posisi
lateral recumbency dan arah transducer transversal, (D) menunjukkan posisi
lateral recumbency dan arah transducer sagital (Syam, 2015).

Menurut Widmer et al. (2004) dalam Fadil (2013), menyatakan ada tiga
jenis ekhogenisitas yang digunakan sebagai prinsip dasar sonogram. Ketiga jenis
tersebut, yaitu hyperechoic atau echogenic berekhogenisitas terang berwarna
putih (tulang, udara, kolagen, dan lemak), hypoechoic atau echopoor
berekhogenisitas sedang berawarna abu-abu (jaringan lunak) dan anechoic tidak
berekhogenisitas berwarna hitam, contohnya cairan.
Pemindaian vesica urinaria mudah dilakukan saat berisi urin penuh,
sehingga sebaiknya pemeriksaan sonogram vesica urinaria dilakukan sebelum
aplikasi kateter urin atau penggunaan kontras radiografi. Jika kantung kemih
kosong, sebaiknya pemindaian dilakukan setelah menunggu terisi secara alami
atau dapat juga diisi dengan kateterisasi larutan isotonik steril 0,9% atau dengan
bantuan diuretikum parenteral (Goddard et al., 1995, dikutip dalam Wijayanti,
2008).
Untuk pemeriksaan vesica urinaria hewan dapat diposisikan berdiri,
berbaring dorsal, atau berbaring lateral. Daerah abdomen bagian ventral dari
umbilikal sampai rongga pelvis dicukur bersih dan kemudian diberikan gel
ultrasound. Transducer diletakkan pada posisi sagital (searah sumbu tubuh) dan
transversal (berlawanan arah sumbu tubuh) pada daerah yang sudah diberikan gel
agar kontak antara transducer dengan jaringan dapat optimal. Pengambilan
gambar USG awal dilakukan untuk memastikan kondisi vesika urinaria.
Pemindaian juga dapat dilakukan pada posisi hewan berdiri dan berbaring lateral
untuk menggerakkan sedimen intraluminal atau kalkuli. Pencitraan dilakukan
dengan pemindaian dari ujung apeks sampai leher vesica urinaria. Pencitraan
sagittal juga perlu dilakukan dari satu sisi ke sisi lainnya untuk memastikan
kesempurnaan evaluasi (Noviana et al., 2008).
Vesica urinaria merupakan organ yang terletak secara superficial. Karena
berisi cairan, maka hanya sedikit atenuasi gelombang ultrasound yang terjadi,
sehingga pencitraan sebaiknya dilakukan dengan nilai gain yang rendah.
Transducer yang disarankan adalah tipe konveks atau linear dengan frekuensi 5-
7,5 MHz atau lebih (Goddard et al., 1995, dikutip dalam Wijayanti, 2008 ).
Untuk melihat struktur intrapelvic melalui ultrasonografi terbatas
meskipun kelainan urethra di bagian proximal bisa dilihat dengan ultrasonografi.
14

Dibagian proximal urethra dapat dilihat dengan mengarahkan ke bagian belakang


urethra dari leher vesica urinaria melalui prostat dalam posisi melintang. Pada
bagian ini, terlihat dinding urethra hypoechoic dan anaechoic pada bagian lumen
dapat dilihat jika terjadi dilatasi urethra. Urethra intrapelvic tidak terlihat kecuali
transducer transrectal yang digunakan kecil dan penggunaan ini membutuhkan
sedasi atau anastesi umum. Urethra ischial dapat terlihat pada penempatan
transducer pada perineum. Pemeriksaan urethra pada kucing melalui
ultrasonografi cukup sulit, kecuali pada bagian tertentu saja seperti pada bagian
proximal (Elliot et al., 2007).
Ketebalan dinding uretra lebih tipis dari pada dinding vesica urinaria
walaupun memiliki struktur jaringan yang hampir serupa. Sifatnya cenderung
lebih tipis dari vesica urinaria yaitu 1,3-1,7 mm maka ketebalan dinding uretra
normal (Fadil, 2013).
Vesica urinaria yang berdistensi mudah terlihat sebagai bentuk oval
dengan dinding batas echogenic dan lumen anechoic yang besar, dapat lihat pada
gambar 5. Ketebalan dinding vesica urinaria bervariasi dan menurun jika terjadi
penambahan distensi vesica urinaria. Pada kucing normal secara klinis, ketebalan
dinding vesica urinaria berkisar antara 1,3-1,7 mm (Widmer et al., 2004, dikutip
dalam Wijayanti, 2008). Vesica urinaria yang penuh pada kucing memiliki batas
yang jelas dan garis luar yang halus (Gambar 5).

Gambar 5. Gambar A dan B merupakan sonogram vesica urinaria normal


pada kucing dengan arah transducer transversal. (a) menunjukkan lumen
vesica urinaria terlihat anechoic. Dinding vesica urinaria terlihat
hyperechoic ditunjukkan oleh (b). Bar (garis putih) = 1 cm (Noviana et all.,
2008).

Gambar 6. Pengendapan (sedimentasi) partikel mineral kristal pada kucing


(Noviana et all., 2008).
15

Pada gambar 6 merupakan sonogram pengendapan (sedimentasi) partikel


mineral kristal pada vesica urinaria kucing. Pemeriksaan dilakukan dengan arah
transducer sagittal. (a) Sedimen mineral yang ditunjukkan oleh garis echogenik.
(b) Lumen vesica urinaria yang ditunjukkan oleh massa hippo-anekhoik. Massa
ini adalah pencampuran antara urin dan partikel mineral. (c) Terbentuknya
acoustic shadowing akibat terhambatnya gelombang suara. Bar= 1 cm (Noviana
et all., 2008).

Gambar 7. Sonogram vesika urinaria kucing terdapat kristal (Fadil,2013).


Pada gambar (A) Sonogram dinding vesika urinaria yang mengalami
penebalan di daerah dorsal korpusnya (dibatasi garis kuning). (B) Sonogram vesika
urinaria posisi transducer transversal. (C) Sonogram vesika urinaria posisi
transducer sagital. (1) Dinding dengan ekhogenisitas hiperekhoik berwarna putih.
(2) Lumen vesika urinaria dengan ekhogenisitas anekhoik berwarna hitam dan
massa berupa kristal dengan ekhogenisitas hipohiperekhoik berwarna abu-abu
(dibatasi garis kuning). (3) Lemak viseral (hiperekhoik) (Fadil,2013).

Gambar 8. Sonogram vesika urinaria kucing terdapat urolith (Fadil, 2013).

Pada gambar (A) Sonogram vesika urinaria yang menggambarkan adanya


tiga urolit. (B) Sonogram vesika urinaria yang memperlihatkan adanya artifact
berupa acoustic shadowing (1) Dinding vesika urinaria dengan ekhogenisitas hipo-
hiperekhoik berwarna abu menuju putih. (2) Lumen vesika urinaria dengan
ekhogenisitas anekhoik berwarna hitam dan terlihat urolit didalamnya dengan
ekhogenisitas hiperekhoik berwarna putih. (3) Jaringan Lemak dengan
ekhogenisitas hiperekhoik berwarna putih. (4) Urolit di dalam lumen vesika
urinaria dengan ekhogenisitas hiperekhoik berwarna putih. (5) Artefact berupa
acoustic shadowing (Fadil, 2013).
16

2.5.2. Pemeriksaan Urinari Dipstik


Penilaian fisik, kimia dan mikroskopis spesimen urin merupakan prosedur
urinalisis. Urinalisis adalah alat diagnostik yang penting di bidang kedokteran
hewan dalam mendiagnosa penyakit yang nyata dengan perubahan dalam
komposisi urin (Galgut, 2013).
Analisis kimiawi urin umumnya dilakukan dengan cara uji dipstick yaitu
suatu tes yang menggunakan stik yang dibuat khusus yang terdiri atas strip untuk
mendeteksi glukosa, protein, bilirubin, urobilinogen, pH, berat jenis, darah, keton,
nitrit dan leukosit. Penggunaan dipstick pada urinalisis tidak memerlukan
keterampilan khusus, selain itu hasilnya bisa didapat hanya dalam waktu beberapa
menit (Utama et al., 2011).

Gambar 9. Urinari Dipstik (Rizzi, 2014).


pH Urin
Range normal pada pH urin kucing yaitu 6-7,5. Pada saat pasien menderita
penyakit, maka pH urin menjadi asam. Pada saat pH urin berubah menjadi asam
merupakan tanda adanya abnormalitas atau kelainan yang terjadi karena ginjal
mengimbangi efek perubahan pH di dalam tubuh. Proses-proses yang mencakup
ekskresi dan reabsorbsi yang dilakukan oleh sistem perkemihan akan
mempengaruhi pH urin. Pada hewan normal, pH urin bervariasi tergantung pada
makanannya. Apabila asupan protein tinggi, maka urin menjadi lebih bersifat
asam, sedangkan apabila asupan makanan banyak mengandung serat tinggi, maka
urin menjadi lebih bersifat alkalis atau netral. Infeksi sistem perkemihan oleh
beberapa mikroorganisme juga dapat membuat suasana menjadi asam. Dengan
demikian, suasa asam dan basa urin dapat dipakai sebagai tolak ukur pertama
kesehatan sistem saluran perkemihan. (Rizzi, 2014).
Menurut Rizzi (2014), yaitu :
• Peningkatan pH pada urin (urin basa) yang dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih akibat adanya infeksi bakteri yang dapat memproduksi
urease sehingga akan meningkatkan pH urin menjadi basa.
• Positif palsu pada pemeriksaan pH urin terjadi ketika sampel tidak
diperiksa dengan keadaan segar atau urin yang baru ditampung.
Spesifik Gravity
Spesifik gravity urin mencerminkan konsentrasi zat terlarut total (elektrolit
dan produk-produk metabolik seperti urea dan kreatinin) dalam urin. Spesifik
gravity urin dapat menunjukkan tingkat konsentrasi spesimen tersebut. Panel
dipstik spesifik gravity urin juga dapat digunakan sebagai gambaran dari fungsi
ginjal yang normal atau mengalami gangguan akibat adanya infeksi atau penyakit
lainnya. Konsentrasi urin zat yang terlarut dimodifikasi oleh penyerapan tubular
atau sekresi solutes dan penyerapan air. Spesifik Gravity atau berat jenis urin
normalnya 1.035 pada saat pemeriksaan dipstick urin. Kucing yang memiliki hasil
17

tes dipstick normal berkisar 1035 akan memiliki urin yang encer. Proteinuria atau
glucosuria akan mengubah spesifik gravity urin protein atau glukosa 1 g/DL (3 +
untuk 4 +). Dipstik spesifik gravity urin memiliki bantalan yang telah terbukti
dapat diandalkan untuk penilaian USG. Pembacaan USG harus diperoleh sebelum
terapi cairan atau obat (Galgut, 2013).
Konsentrasi urin juga dievaluasi disebut spesifik gravity. Spesifik gravity
yang terlalu rendah dapat dikaitkan dengan berbagai penyakit, seperti penyakit
ginjal, diabetes melitus, hipertensi dan lain-lain. Pengukuran berat jenis urin
bertujuan untuk mengetahui fungsi pemekatan atau pengenceran oleh ginjal. Berat
jenis urin 1.001- 1007 disebut hyposthenuria. Hyposthenuria akan menghasilkan
diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan
volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran
zat-zat terlarut dalam air. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke
glomerulus (gumpalan kapiler) yang terletak di bagian luar ginjal (cortex).
Dinding glomerulus inilah yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif
yang dapat di lintasi air, garam, dan glukosa (Little,2008).
Leukosit
Pemeriksaan leukosit kurang sensitif untuk mendeteksi pyuria di anjing
tingkat positif palsu yang tinggi dan kurang spesifik dalam kucing tingkat positif
palsu yang tinggi dengan demikian penggunaannya tidak dianjurkan (Galgut,
2013).
Protein
Biasanya, hanya sebagian kecil protein plasma yang dapat disaring atau
difiltrasi di glomerulus yang akan diserap oleh tubulus ginjal dan diekskresikan
ke dalam urin (Rizzi, 2014).
Proteinuria dalam kucing selalu patologis. Tes protein dipstik jauh lebih
sensitif untuk mendeteksi albumin daripada globulin dan hasil positif palsu dapat
terjadi dalam urin alkali (Galgut, 2013).
Rizzi (2014) menyatakan :
- Apabila positif pada panel protein berkisar (5-20 mg/dL) sampai 4+
(>1000mg/dL).
- Pada panel protein hasilnya bisa eror pada saat pembacaan akibat
warnanya berubah tidak spesifik atau tidak sesuai dengan parameter.
- Proteinuria glomerulus merupakan kasus yang signifikan akibat
berkurangnya albumin dari tubuh.
Darah
Bantalan darah dapat mendeteksi senyawa yang mengandung hemoglobin
dan mioglobin. Eritrosit yang utuh cenderung menyebabkan positif pada bantalan
reagen sedangkan hemoglobin dan mioglobin menyebabkan perubahan warna
menyebar padat. Hematuria, hemoglobinuria dan myoglobinuria dapat dibedakan
oleh pemeriksaan sedimen urin untuk eritrosit yang utuh (hematuria), dan
penilaian kimia CBC darah untuk bukti anemia hemolitik merupakan penyebab
hemoglobinuria atau pneumomediastinum merupakan penyebab myoglobinuria.
Eritrosit yang lisis terdapat pada urin yang encer atau alkali dan tidak dapat dilihat
pada pemeriksaan sedimen urin (Galgut, 2013).
Untuk tes ada tidaknya darah di dalam urin, dibutuhkan alat uji berupa
kertas strip yang dinamakan dengan dipstik. Alat tersebut kemudian dicelupkan
ke dalam sampel urin. Dipstik merupakan kertas yang diisi dengan
18

hydroperoxidase dan tetramethylbenzine. Peroxidase yang aktif dari hemoglobin


mengkatalisis suatu reaksi sehingga menghasilkan perubahan warna. Apabila
kertas tersebut berubah warna, maka mengindikasikan bahwa di dalam urin
terdapat darah (Grauer dan Pohlman, 2016).
Penyebab reaksi darah positif yaitu, hematuria akibat dari trauma maupun
patologis atau iatrogenik, adanya peradangan, adanya urolitiasis, neoplasia,
koagulopati dan penyakit infeksi saluran perkencingan. (Galgut, 2013).
Glukosa
Glukosa yang terdeteksi pada dipstik merupakan hasil yang tidak normal.
Pada dasarnya dipstik digunakan untuk mendeteksi adanya gula dalam urin akan
berubah warna jika bereaksi dengan gula. Perubahan warna yang terjadi
tergantung pada bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan dipstick tersebut
(Rizzi, 2014).
Kebanyakan metode dipstick menggunakan glukosa oksidase (GOD) dan
peroksidase (POD), serta zat warna (kromogen) seperti orto-toluidin yang akan
berubah warna biru jika teroksidasi. Zat warna lain yang digunakan adalah iodide
yang akan berubah warna coklat jika teroksidasi. Reaksi-reaksi enzim akan
melambat atau berkurang jika urin yang digunakan dingin maka negatif palsu hasil
yang dapat diperoleh, oleh karena itu urin harus pada suhu kamar sebelum
dilakukan pemeriksaan dipstick. Reaksi positif palsu dapat disebabkan oleh
penambahan hidrogen peroksida atau pemutih (misalnya jika urin yang
dikumpulkan dari permukaan yang baru saja dibersihkan dengan bahan itu)
(Galgut, 2013).
Bilirubin
Secara normal, bilirubin tidak dijumpai di urin. Bilirubin terbentuk dari
penguraian hemoglobin dan ditranspor ke hati, tempat bilirubin berkonjugasi dan
diekskresi dalam bentuk empedu. Bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk) ini larut
dalam air dan diekskresikan ke dalam urin jika terjadi peningkatan kadar di serum.
Bilirubin tak terkonjugasi (bilirubinindirek) bersifat larut dalam lemak, sehingga
tidak dapat diekskresikan ke dalam urin. Bilirubinuria tidak diharapkan ada pada
kucing adanya bilirubin dalam urin menandakan adanya gangguan patologis pada
hati atau sistem empedunya (Galgut, 2013).
Deteksi bantalan bilirubin dengan garam diazonium (2-6 diclorobenzene-
diazonium floroborat) dalam suasana asam membentuk azobilirubin yang
berwarna merah violet. negatif palsu dapat terjadi dalam sampel urin yang telah
terkena cahaya UV (Galgut, 2013).
Penyebab bilirubinuria adalah penyakit hemolitik, gangguan ekskresi
hepatobilier atau gangguan sistem yang mengatur pengeluaran atau sekresi cairan
empedu yang berasal dari hati dan kandung empedu untuk disekresikan ke dalam
usus halus untuk pencernaan lemak dalam makanan (Galgut, 2013).
2.5.3. Pemeriksaan Sedimentasi Urin
Urinalisis dapat dengan mudah digunakan dalam praktik kedokteran hewan.
Urinalisis lengkap terdiri dari pemeriksaan fisik dan evaluasi kimia urin serta
pemeriksaan sedimen. Evaluasi sedimen urin merupakan bagian penting dari
urinalisis lengkap, bagaimanapun, itu sering tidak dilakukan. Ini mungkin karena
kurangnya pengetahuan, pelatihan atau keyakinan dari personil yang melakukan
evaluasi (Schendel, 2015).
19

Umumnya disarankan bahwa volume urin yang konsisten digunakan ketika


melakukan urinalisis lengkap. Menggunakan volume urin (5ml atau 10ml) yang
konsisten untuk setiap sampel akan mengembangkan pemahaman tentang apa yang
biasanya ditemukan dalam volume urin. Sampel urin harus dicampur secara
menyeluruh dan kemudian ditempatkan dalam tabung conically meruncing untuk
evaluasi (Schendel, 2015).
Setelah penilaian fisik dan kimia sampel urin telah selesai sampel harus
disentrifugasi pada kecepatan rendah (1000-1500 rpm) selama sekitar lima menit.
Sentrifugasi di waktu yang lama atau di kecepatan yang lebih tinggi dapat
menyebabkan sel-sel dan struktur untuk menjadi terdistorsi atau rusak. Setelah
sampel urin telah disentrifugasi supernatant harus hati-hati pada saat pemisahan.
Perlu berhati-hati untuk tidak mengganggu sedimen ketika pemisahan urin dengan
supernatant. Supernatant dapat menjadi tertuang (ketika sampel urin terbalik
supernatant dituangkan dari) atau dapat dengan cermat menggunakan pipet tetes
dengan pipet sekali pakai dan ditempatkan dalam tabung tes berlabel bersih yang
kemudian dapat digunakan untuk pengujian lebih lanjut (contoh : sulfosalicylic acid
test, urin protein: kreatinin rasio) atau dibuang semua tapi, 0.5 mls dari supernatant
urin harus dipisahkan atau di buang. Resuspend sedimen di sisa supernatant diambil
satu tetes campuran ke slide mikroskop dan tempat coverslip di atas cairan
(Schendel, 2015).

Sel
Eritrosit
Hematuria terjadi ketika terdapat eristrosit >5 HPF. Jika eritrosit terlihat
dalam sedimen maka bantalan dipstik mengalami reaksi positif sedangkan
hemoglobin dan mioglobin menyebabkan perubahan warna menyebar padat. Lisis
pada eritrosit dapat terjadi dalam sampel urin yang telah terkonsentrasi atau pada
sampel urin alkali atau basa (Galgut, 2013).
Eritrosit yang ditemukan berbentuk seperti donat, kecil dan cekung
ganda (Rizzi, 2014).

Gambar 10. Sel Darah Merah, Pembesaran 40X (Rizzi, 2014).


Kristal
Kristal yang terdapat dalam sedimen urin dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti pH, temperatur dan spesifik gravity dari urin. Sampel yang didinginkan
mungkin memiliki lebih banyak terdapat kristal dari sampel yang segar. Banyak
kristal yang tidak signifikan, tetapi menemukan beberapa jenis kristal dapat
membantu dalam identifikasi beberapa kelainan. Tidak semua jenis kristal akan
20

dibahas, tetapi beberapa temuan yang lebih umum secara singkat dijelaskan berikut
(Schendel, 2015).
Formasi kristaluria yang terbentuk dapat diindikasikan oleh pH urin. Nilai pH
urin > 7 memudahkan terbentuknya kalsium karbonat, kalsium posfat, struvit,
sedangkan pH urin < 7 cenderung terbentuk kalsium oksalat dehidrat, kalsium
oksalat monohdrat, sistin, sodium urat atau ammonium urat dan xanthin (Stockhom
dan Scot, 2002).
Struvite
Struvite atau dikenal dengan magnesium ammonium fosfat heksahidrat
dengan komposisi kimia Mg NH4 PO4· 6H20. Struvite merupakan tipe urolit yang
paling sering terbentuk yaitu sekitar 50% untuk analisa urolit pada kucing. Namun
pada kucing berkisar sekitar 30%. Biasanya diikuti dengan adanya kalsium fosfat
dan terbentuk pada pH urin netral-basa. Infeksi bakteri dapat meningkatkan
pembentukan struvite urolit karena bakteri yang menginfeksi memproduksi urease
sehingga akan meningkatkan pH urin menjadi basa. Urease merupakan enzim yang
dalam keberadaannya di air akan menghidrolisis urea dan menghasilkan ion
ammonia dan karbonat sehingga konsentrasi kedua ion tersebut meningkat.
Ammonia bergabung dengan air atau ion hidrogen untuk membentuk ion
ammonium. Ion ammonium di urin akan menyebabkan pH urin yang tinggi. Ketika
pH urin basa, fosfat menjadi lebih tersedia untuk pembentukan kristal struvite dan
struvite menjadi kurang larut. Selain itu, pH urin yang tinggi akan menurunkan
solubilitas magnesium ammonium fosfat dan meningkatkan terbentuknya
presipitasi kristal struvite. Ketika konsentrasi fosfat, magnesium, dan ammonium
meningkat di urin, supersaturasi terjadi dan membentuk kristal dan urolit (Lulich
dan Osborne, 2007).
Kucing yang diberi pakan kering secara terus-menerus akan meningkatkan
terjadinya penyerapan Mg dan mineral-mineral lainnya. Pada pakan kering
terkandung ion-ion MgO2 dan MgSO4 yang bersifat basa. Urine yang bersifat basa
akan membuat ion Mg, phospat, dan amonium akan mengkristal membentuk kristal
struvit. Kristal ini yang akan menyebabkan obstruksi vesica urinaria dan kelukaan
pada uretra dan ureter. Hal tersebut dapat menyebabkan keradangan pada vesica
urinaria sehingga membengkak. obstruksi akibat kristal menyebabkan kucing
mengalami disuria hingga hematuria. Obstruksi tersebut juga menyebabkan edema
pada uretra dan vesica urinaria (Nelson, 2003).
Struvite terbentuk dari magnesium, ammonium dan phospat. Kristal ini
terbentuk dalam suasana urin yang alkalis. Beberapa faktor yang mempengaruhi
timbulnya kristal struvit adalah pH urin dan konsumsi air yang rendah. Diet rendah
magnesium dapat membantu penurunan pH urin, sehingga pH menjadi asam. Hal
ini dapat membantu dalam treatment dan pencegahan karena dapat menurunkan
resiko terbentuknya kristal pada urin. Namun, pemberian diet yang berlebihan dapat
memicu timbulnya kristal calcium oxalate (Nash, 2008).
Struvite (Triple fosfat atau Magnesium amonium fosfat kristal) lebih sering
ditemukan dalam urin yang memiliki pH yang bersifat basa sedikit asam. Mereka
tidak berwarna, berbentuk seperti prisma, ukuran kristal yang bervariasi. Mereka
dapat memiliki antara 3 sisi sampai 8, tergantung pada keadaan degradasi atau
pembentukannya. Mereka sering digambarkan memiliki penampilan seperti "Tutup
peti mati". Identifikasi kristal ini ketika sebagian telah dileburkan sebagai kalsium
21

oksalat monohydrate kristal, sehingga perlu diperhatikan untuk memastikan


identifikasi yang benar (Schendel, 2015).
Menurut Smith et al., (2015), jumlah kristal struvit maupun kalsium
oksalat pada urin 0-2/HPF.

Gambar 11. Kristal Struvite, Pembesaran 40X (Rizzi, 2014).


Kalsium Oksalat
Terbentuknya kristal oksalat terjadi pada urin yang bersifat asam dan jika
kucing memiliki kandungan kalsium yang tinggi di dalam darah. Penyebabnya
biasa karena pakan yang tinggi kalsium, protesodium atau vitamin D. Beberapa
penyakit seperti hiperparathiroidism, kanker dapat menyebabkan kristal oksalat
lebih mudah berkembang. Kristal oksalat juga sering terjadi pada kucing dengan
kadar kalsium darah normal (Nash, 2008).
Kalsium oksalat (Dihydrate dan Monohydrate), kalsium oksalat dihydrate
tidak berwarna dan memiliki bentuk persegi dengan X di dalamnya. Dapat juga
digambarkan tampak seperti punggung amplop. Kalsium oksalat monohydrate ini
juga tidak berwarna. Bentuk yang paling umum yang terlihat adalah memanjang, 6
sisi kristal sisi datar, sejajar dengan ujung (Schendel, 2015).
Supersaturasi kalsium dan oksalat dalam urin merupakan syarat terbentuknya
kalsium oksalat. Kekurangan zat yang menghambat agregasi kristal akan
menyebabkan interaksi yang lebih besar antara ion kalsium dan oksalat. Sitrat
merupakan zat penghambat agregasi kalsium dengan oksalat. Sitrat dapat
membentuk kompleks yang soluble dengan oksalat. Defisiensi sitrat dapat
disebabkan oleh adanya defek turunan atau akibat asidosis, yang meningkatkan
penggunaan sitrat di tubuli ginjal (Lulich dan Osborne, 2007).
Selain itu, sitrat mengurangi absorpsi oksalat di usus sehingga urin yang
diproduksi akan bersifat basa. Namun pH urin tidaklah sepenting interaksi fisiko-
kimia antara kalsium dan oksalat didalam urin. Walaupun demikian, pH urin
menggambarkan keseimbangan sistemik asam-basa. Anjing dengan urin yang asam
cenderung membentuk kalsium oksalat urolit. Ini memungkinkan bahwa urin yang
asam adalah gambaran dari kompensasi terhadap asidifikasi kronis akibat diet
(Lulich dan Osborne, 2007).
Diet yang mengandung acidifying yang terus menerus dimakan dapat
menyebabkan pelepasan kalsium dari tulang sebagai respon keseimbangan terhadap
adanya penambahan ion hidrogen (H+). Ginjal kemudian akan menyaring
22

kelebihan kalsium ke dalam urin sebagai usaha agar konsentrasi ion kalsium tetap
normal. Hiperkalsiuria ini kemudian akan menjadi faktor resiko terhadap
pembentukkan kalsium urolit. Hiperkalsiuria dapat terjadi melalui dua mekanisme
yaitu penyerapan kalsium berlebih oleh usus dan reabsorpsi kalsium yang
berkurang di ginjal (Lulich dan Osborne, 2007).
Salah satu penyebab terjadinya kalsium oksalat urolit adalah ketidakcermatan
penggunaan diet disolusi untuk struvite. Diet disolusi untuk struvite membuat urin
menjadi asam, untuk meningkatkan kelarutan kristal struvite dalam urin. Asiduria
ini menaikkan mobilisasi karbonat dan fosfat dari tulang untuk menyeimbangkan
ion hidrogen (H+). Mobilisasi kalsium dari tulang secara bersamaan akan
menyebabkan hiperkalsiuria. Sebagai tambahan, asidosis metabolis pada kucing
berakibat pada terjadinya hipositraturia (Lulich dan Osborne, 2007).
Tidak ada diet khusus untuk disolusi kalsium oksalat. Komponen kalsium
tidak berubah terhadap diet disolusi. Maka dari itu sangat dianjurkan untuk
melakukan tindakan operasi untuk membuang kalsium oksalat urolit karena diet
disolusi tidak memungkinkan. Namun, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan
dalam mengubah komposisi diet untuk mengurangi resiko terbentuknya kembali
kalsium oksalat urolit. Kebanyakan kalsium oksalat urolit dapat muncul kembali.
Angka kejadian kalsium oksalat yang muncul lagi pada kucing setelah dibuang
berkisar antara 25-48% (Lulich dan Osborne, 2007).
Sebenarnya penggunaan magnesium dapat digunakan untuk menangani
kejadian kalsium oksalat urolit tetapi hal ini tidak direkomendasikan karena dapat
meningkatkan resiko terbentuknya struvite urolit. Berdasarkan pemahaman
terhadap kecenderungan perkembangan kalsium oksalat urolit maka perubahan diet
dengan membatasi protein dan penggunaan alkalinizing dalam pakan
direkomendasikan. Namun apakah kalsium sebaiknya ditambahkan atau dibatasi
dalam pakan masih membingungkan. Diet dengan kalsium yang tinggi dapat
berakibat pada sedikitnya jumlah kalsium dan oksalat yang diserap. Namun bila
jumlah kalsium diturunkan maka tubuh akan menyeimbangkan jumlah kalsium
dengan mengambil kalsium dari tulang (Lulich dan Osborne, 2007).

Gambar 12. Kalsium Oksalat Dihydrate, Pembesaran 40X (Rizzi, 2014)


23

Gambar 13. Kalsium Oksalat Monohydrate, Pembesaran 40X (Rizzi, 2014).


2.6. Terapi Urolithiasis
Terapi untuk gangguan pada saluran urinaria seperti urolithiasis dapat
dilakukan katerisasi sehingga terjadi pengeluaran urin dan kristal pada VU,
pemberian obat kolinergik seperti bethanechol dianjurkan untuk mengencangkan
otot-otot vesika urinaria yang mengendur. Pemberian antibiotik juga diperlukan
untuk mencegah kemungkinan terjadinya infeksi sekunder (Tion et al., 2014) serta
analgesik yang mengandung fenazopiridin untuk mengurangi rasa nyeri pada
hewan namun tidak dapat digunakan karena obat ini bersifat toksik terhadap kucing.
Pemberian antibiotik yang mengandung amoxicillin atau clavulanic acid
dapat diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri pada vesika urinaria.
Obat yang mengandung amoxicillin atau clavulanic acid tablet dan diberikan secara
peroral dapat diberikan pada kucing untuk pengobatan penyakit sistem urinaria,
kulit dan infeksi jaringan lunak akibat dari infeksi bakteri. Obat yang mengandung
Clavulanic acid merupakan antibakteri apabila digunakan dalam dosis tunggal
namun apabila digabungkan dengan amoxicillin merupakan kombinasi yang bagus
(Plumb, 2008).
Amoksisilin adalah antibiotik turunan penisilin semisintetis yang
mempunyai spektrum luas. Amoksisilin aktif terhadap bakteri Gram-positif dan
Gram-negatif, bekerja secara bakterisid dengan cara menghambat sintesa dinding
sel bakteri sehingga dinding sel bakteri melemah, plasma sel keluar dan kemudian
pecah (Plumb, 2008).
Asam klavulanat merupakan obat penghambat berbagai tipe enzim β-
laktamase yang diproduksi oleh bakteri-bakteri tertentu. Cara kerja asam klavulanat
adalah berfungsi sebagai competitive inhibitor karena struktur kimia asam
klavulanat mirip sekali dengan penisilin, maka asam klavulanat dapat menempati
bagian yang aktif dari struktur enzim β-laktamase tanpa suatu reaksi kimia. Gugus
β-laktamase karbonil dari asam klavulanat mengubah enzim penisilinase menjadi
enzim asli. Bentuk enzim asli ini tidak aktif lagi terhadap penisilin (Plumb, 2008).
Farmakokinetik obat amoxicillin atau clavulanic acid dimetabolisme
melalui filtrasi glomerulus yang dikeluarkan melalui urin. Interaksi obat
amoxicillin atau clavulanic acid, jika diberikan dengan obat golongan methotrexate
dapat meliki efek toksisitas. Dosis obat yang dapat digunakan untuk penyakit sistem
urinaria pada kucing 62,5 mg (total dosis) PO, q12 untuk 10-30 hari (Plumb, 2008).
Obat golongan agonis kolinergik dapat merangsang reseptor kolinergik
termasuk dalam jenis obat ester sintetik kolin. Sebagian kecil obat ini sangat selektif
terhadap reseptor muskarinik dan nikotinik. Obat yang bekerja tidak langsung
24

menimbulkan efek utamanya dengan menghambat asetilkolinesterase, enzim yang


menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat (Plumb, 2008).
Farmakokinetik pada obat yang mengandung bethanechol pada hewan
belum terdapat informasi mengenai cara absorpsi, distribusi dan metabolisme dari
obat tersebut. Pada manusia farmakokinetik bethanechol kurang aktif di absorpsi
dari sistem pencernaan, sistem kerja obat dimulai setelah pemakaian oral sekitar
30-90 menit. Pemberian secara subkutan dapat memberi efek setelah 5-15 menit.
Pemberian secara subkutan dan oral pada obat ini dapat memberikan efek dapat
merangsang sistem urinari. Agonis muskarinik memacu otot destrusor serta
merelaksasi otot trigonum dan spingter vesika urinaria sehingga memperbanyak
urinasi (Plumb, 2008).
Mekanisme kerjanya merangsang sistem saraf parasimpatis, disebut efek
parasimpatomimetik dapat memodifikasi fungsi organ melalui dua mekanisme
utama. Pertama asitelkolin yang dilepas saraf parasimpatis mengaktifkan reseptor
muskarinik pada sel-sel efektor untuk mengubah fungsi organ secara langsung.
Kedua, astilkolin yang dilepaskan saraf parasimpatis berinteraksi dengan reseptor
muskarinik pada ujung saraf untuk menghambat pelepasan neurotransmiternya.
Melalui mekanisme ini, pelepasan asetilkolin dan sirkulasi agonis muskarinik
secara tidak langsung mengubah fungsi organ dengan memodulasi efek sistem saraf
parasimpatis dan simpatis serta sistem nonadrenergik nonkoligernik. Reseptor
muskarinik dapat merangsang otot polos dan memperlambat denyut jantung.
Farmakodinamik Kolinergik dari obat bethanechol dapat meningkatkan
meningkatkan denyut nadi, meningkatkan kontraksi saluran kemih, terjadi dilatasi
pupil dan antikolinesterase meningkatkan tonus otot (Plumb, 2008).
Obat yang mengandung bethanechol ini biasa disebut obat kolinomimetik
dengan efek muskarinik yang bekerja langsung atau tidak langsung bisa
bermanfaat. Pada kasus penyakit sistem urinaria dosis obat yang digunakan 1,25-
7,5 mg (dosis total) PO, 2-3 kali dalam sehari. Interaksi obat bethanechol ini apabila
penggunaan bersama agen yang dapat memblok ganglionic menyebabkan
hypotensi berat contohnya mecamylamine. Quinidin dan Prokainamid dapat
menahan efek kolinergik. Efek kolinergik tambahan akan terjadi bila digunakan
bersama inhibitor kolinesterase contohnya neostigmine, physostigmine dan
pyridostigmine (Plumb, 2008).
Penggunaan terapi anti-inflamasi dapat mengurangi peradangan dan
ketidaknyamanan pada kucing yang mengalami gangguan saluran urinari bagian
bawah. Obat terapi anti-inflamasi non-steroid, analgesik non opioid, COX-2 yang
digunakan merupakan obat yang mengandung meloxicam dengan dosis
penggunaan 0.05–0.1 mg/kg IV,SC, or PO satu kali sehari (Sabino et al., 2016).
Obat yang mengandung meloxicam merupakan suatu senyawa terbaru dari
golongan antiinflamsi non-steroid, analgesic dan antipiretik yang banyak digunakan
untuk menurunkan aktivitas peradangan, mengurasi rasa sakit, menurunkan
demam, pembengkakan. Secara struktur AINS berbeda tetapi mempunyai
kemampuan untuk menghambat sintesis prostaglandin sehingga AINS mempunyai
efek analgesik, anti inflamasi dan antipiretika. Hambatan terhadap enzim
prostaglandin terjadi pada level molekuler yang dikenal sebagai siklooksigenase
(COX). Seperti diketahui terdapat dua isoform prostaglandin yang dikenal sebagai
COX-1 dan COX-Isoform COX- 2 ekpresinya meningkat pada keadaan inflamasi,
25

sedangkan COX-1 yang konstitutif bersifat mempertahankan mukosa lambung dan


trombosit dalam keadaan yang utuh (Sulistia et al., 2009).
Obat yang mengandung meloxikam merupakan golongan AINS non selektif
khususnya turunan oksikam (fenolat), yang memiliki keunggulan yang spesifik
menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang menyebabkan terjadinya
inflamasi (COX-2) sehingga efek samping terhadap gastrointestinal sangat rendah
dibandingkan obat-obat AINS lainnya. Mekanisme kerja berhubungan dengan
sistem biosintesis Prostaglandin mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dkk
yang memperlihatkan secara in vitro bahwa dosis rendah golongan oksikam
menghambat produksi enzimatik Prostaglandin. Golongan obat yang mengandung
meloxicam dapat menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Meloxicam tergolong prefential COX-2
inhibitor cenderung menghambat COX-2 lebih dari COX-1 tetapi penghambatan
COX-1 pada dosis terapi tetap nyata. Obat yang mengandung meloxicam digunakan
untuk pengobatan inflamasi dan nyeri yang kurang menyebabkan toksisitas saluran
cerna dan perdarahan. Penelitian terbaru menyatakan efek samping meloxicam
terhadap saluran cerna kurang dari piroxicam (Sulistia et al., 2009).
Farmokokinetik obat yang mengandung meloksicam dapat diberikan secara
oral maupun subkutan. Pemberiannya secara oral diabsorpsi dengan baik melalui
gastrointestinal. Obat yang mengandung meloksicam hampir sepenuhnya
dimetabolisme menjadi metabolit aktif di hepar. Interaksi obat meloksicam, jika
digunakan secara bersamaan dengan obat antikoagulan seperti pemberian gabungan
efek warfarin dan NSAID pada perdarahan gastrointestinal adalah sinergis,
sehingga pengguna dari kedua obat bersama-sama memiliki risiko perdarahan
gastrointestinalserius lebih tinggi daripada pengguna obat tunggal sehingga tidak
dianjurkan dan jika obat yang mengandung meloksicam digunakan secara
bersamaan dengan obat yang mengandung aminoglikosida secara parenteral atau
obat yang mengandung amphotericin-B maka akan menyebabkan nephrotoxicity
aditif, jadi sebaiknya obat ini jangan dikombinasikan dengan obat golongan
aminoglikosida (Plumb, 2008).
Operasi pembedahan juga sangat direkomendasikan untuk mengangkat
urolit serta menghilangkan penyumbatan. Untuk pengendalian hal yang perlu
diperhatikan adalah kontrol diet, mengkonsumsi air minum secara cukup, serta
memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kandang, tempat pakan dan minum
hewan juga perlu dilakukan (Bartges dan Kirk, 2006).
Diet/pakan khusus untuk disolusi juga harus mengurangi kadar protein,
fosfor dan magnesium, menambahkan acidifying serta meningkatkan penggunaan
garam. Penggunaan garam agar kesimbangan antara asupan natrium dengan dengan
aliran keluar natrium. Penurunan kadar protein dalam diet diharapkan akan
mengurangi pembentukan urea. Penurunan kadar mineral seperti fosfor dan
magnesium diperuntukkan agar terjadi derajat saturasi yang lebih rendah dari urin
dengan ion yang dapat membentuk struvite. Penggunaan acidifying diharapkan
akan membentuk urin yang asam dan penggunaan garam akan meningkatkan
konsumsi air untuk merangsang urinasi yang lebih banyak sehingga mengurangi
terjadinya presipitasi mineral di urin (Perea dan Davis, 2009).
Pengobatan disolusi dengan menggunakan calculolytic diet yang spesifik
telah terbukti efektif pada kasus struvite urolit pada kucing yang terkait dengan
infeksi bakteri ataupun tidak. Disolusi dari struvite tergantung dari keasaman urin
26

melalui diet/pakan atau urinary acidifier. Maka dari itu, mengubah pH urin menjadi
asam merupakan salah satu kunci dalam mengurangi resiko terbentuknya struvite
urolit, terutama pada kucing (Houston,2002).
Diet/pakan harus diberikan secara eksklusif, tapi hanya dapat diberikan
untuk beberapa bulan karena terkait dengan efek samping yang dapat ditimbulkan.
Efek samping yang ditimbulkan terkait dengan penurunan kadar protein dalam diet.
Konsekuensi yang terjadi akibat penurunan kadar protein dalam diet adalah
berkurangnya urea dan albumin dalam serum kucing, serta adanya peningkatan
aktivitas hepatic alkaline phosphatase dalam serum kucing. Akibat diet rendah
protein, terjadi degenerasi hidropis dari hepatosit. Kontraindikasi untuk diet/pakan
ini adalah gagal jantung, gagal hati, gagal ginjal, pankreatitis, hipertensi, dan
hipoalbuminemia (Houston, 2002).

2.7. Edukasi Klien


Edukasi klien yang dapat diberikan pada diet pakan yang digunakan sangat
berpengaruh dari bentukan kristal urolithiasis. Penurunan kadar mineral seperti
fosfor dan magnesium diperuntukkan agar terjadi derajat saturasi yang lebih rendah
dari urin dengan ion yang dapat membentuk struvite. Konsekuensi yang dapat
ditimbulkan dengan penurunan kadar mineral dalam tubuh sebaliknya dapat
mempengaruhi pH menjadi asam maka akan terbentuknya kristal kalsium oksalat
ketika pemberian pakan diet yang tidak terkontrol. Pemilik sangat berperan penting
dalam pemberian pakan diet terhadap pasien urolithiasis perlu ekstra perhatian dan
perlunya pemeriksaan setiap minggunya di klinik ataupun rumah sakit hewan untuk
mengatahui kondisi pasien. Agar pemberian disolusi diet pakan dapat terjaga.
27

BAB III
MATERI DAN METODE

3.1.Waktu dan Tempat


Dalam studi kasus ini, digunakan pasien kucing yang mengalami
kristaluria di Klinik Hewan Mutiara Bandung pada bulan Mei 2017.

3.2.Bahan dan Alat


3.2.1. Bahan
Bahan yang digunakan adalah urin segar dari pasien (< 1jam).
3.2.2. Alat
Alat yang digunakan adalah mikro pipet, objek glass, cover glass, dipstik
(reagent urinaliysis strips), tabung urin, kateter dan mikroskop.
3.2.3. Persiapan Kucing
Kriteria kucing yang dijadikan studi kasus ini yakni kucing yang
mengalami keluhan gangguan perkencingan yang selanjutnya menjalani prosedur
pemeriksaan klinis meliputi sinyalemen, anamnesa, inspeksi dan palpasi. Data
sinyalemen meliputi umur, ras dan jenis kelamin. Data anamnesa meliputi riwayat
penyakit, volume urin, tingkat urinasi, kebiasaan urinasi, nafsu makan, nafsu
minum, hematuria, pollakiuria, stranguria, pyuria dan disuria. Data pemeriksaan
klinis umum, inspeksi dan palpasi meliputi berat badan, suhu, keaktifan kucing,
rasa sakit vu, ukuran dan konsistensi.
3.2.4. Pengambilan Sampel Urin
Pengambilan sampel urin dilakukan sebelum tindakan terapi. Setelah
sampel urin diambil kemudian dibawa ke laboratorium untuk dilakukan
pemeriksaan dapat dilihat pada Lampiran 6.
3.2.5. Pemeriksaan Metode Dipstik
Pemeriksaan dipstik dilakukan dengan meletakkan satu strip di handuk
atau tissue kertas bersih. Kemudian diteteskan (0,5 ml) urin di atas atau sisi setiap
tes pad (tergantung pada petunjuk produsen) dan hasil pemeriksaan dibaca secara
visual dengan mencocokkan warna pada panel dipstik yang dihasilkan. Apabila
tidak ada perubahan warna pad reagen ditafsirkan sebagai hasil negatif. Prosedur
pemeriksaan urin menggunakan metode dipstik dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.2.6. Pemeriksaan Natif Urin
Pemeriksaan mikroskopis natif urin merupakan urinalisis rutin. Siapkan
urin segar, setelah itu teteskan urin segar diatas objek glass lalu tutup
menggunakan cover glass. Setelah itu amati menggunakan mikroskop pada
pembesaran 40X dan 100X dapat dilihat pada Lampiran 1.
28

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Signalement
Nama : Jessy
Jenis Hewan / Spesies : Kucing
Ras / Breed : Persia
Warna Bulu & Kulit : Red Tabby
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : 1 tahun
Berat Badan : 4,2 kg
Tanda Khusus : Putih pada area kaki

4.2. Anamnesis
Seekor kucing Persia bernama Jessy ditemukan dalam keadaan susah
urinasi, muntah, nyeri pada saat urinasi dan adanya kejang otot pinggang, urinasi
kucing tersebut ditemukan adanya darah dan kucing tersebut urinasi diluar litter box
di rumah owner berdasarkan wawancara yang di dapatkan.

4.3. Status Present (Keadaan Umum)


Habitus pada pasien yang sudah tidak aktif dibawa oleh owner ke klinik
hewan Mutiara Bandung. Body Score Condition 7 dapat dilihat pada Lampiran 7.
dikategorikan dalam obesites karena pasien memiliki postur tubuh yang besar
tulang rusuk sulit diraba (tertutupi lemak) dada tidak terlihat jelas, abdomen tidak
cekung. Suhu tubuh yang di dapatkan pada saat pemeriksaan umum yaitu 39,5℃
dan frekuensi nafas yaitu 40 kali/menit. Frekuensi nafas kucing meningkat akibat
stress susah untuk melakukan urinasi.
Menurut Widodo et al., (2011) kucing sehat memiliki suhu tubuh berkisar
antara 38.0º C – 39.3º C dan frekuensi pernapasan 26-48 kali/menit. Suhu tubuh
pasien yang didapatkan pada pemeriksaan naik akibat adanya respon sistem
kekebalan tubuh menurun karena adanya infeksi atau menurunnya kemampuan
kucing untuk melepaskan panas tubuhnya.

4.4. Hasil Pemeriksaan Klinis


Hasil pemeriksaan klinis pada pasien saat dilakukan inspeksi terlihat nyeri
setiap kali urinasi dan adanya kejang otot pinggang. Pada saat dilakukan
pemeriksaan palpasi bagian caudal abdominal menunjukkan adanya rasa nyeri dan
vesica urinaria (vu) memiliki ukuran yang besar.

Gambar 14. Kucing terlihat nyeri setiap urinasi (Bovens, 2011).


29

4.5. Bantuan Pemeriksaan Laboratorium


Tabel 1. Pemeriksaan Dipstik Urin dan Mikroskopik
Test Dipstik Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Glukosa - 1+ atau >1+ N
Bilirubin - Positif/Negatif N
Keton - 1+ atau >1+ N
Darah + Positif/Negatif P
pH 7.5 6.0-7.5 Basa
Protein +++ ++ - >2++ Periuria
Leukosit 15± Positif/Negatif N
Mikroskopik Struvit 0-1 HPF A
15/>3HPF

Hasil pemeriksaan dipstik urin menunjukkan pH urin dalam keadaan basa


dapat menimbulkan adanya kristal struvit, pada panel protein jumlah protein dalam
urin yang paling tinggi dapat dihubungkan pada temuan klinis sampel yang
mengalami hematuria dan periuria, warna merah, turbiditas agak keruh, terdapat
kristal struvit yang abnormal menyebabkan kucing mengalami hemoragik akibat
dari trauma maupun inflamasi dari kristal ini sehingga kucing mengalami
urolithiasis, penyebab reaksi darah positif pada dipstik akibat dari trauma maupun
patologis, adanya peradangan, urolitiasis dan penyakit infeksi saluran perkencingan
sampel positif tersebut dapat dihubungkan dengan anamnesa atau rekam medis
dimana sampel tersebut temuan klinis mengalami hematuria, warna urin merah,
turbiditas agak keruh sampai sangat keruh, pemeriksaan mikroskopis kristal
abnormal dan jumlah eritrosit abnormal akibat dari kucing mengalami trauma dan
penyakit infeksi saluran perkencingan dan pada saat pemeriksaan mikroskopik
struvit yang didapat melebihi batas normal.

A B

Gambar 15. Pada Gambar A dan B ditemukan Kristal Struvit dan Eritrosit.(Uji
Natif Pembesaran 40X).
Hasil pengamatan mikroskop pada gambar di atas menunjukkan bahwa
kristal (struvit) yang ditemukan mereka tidak berwarna, berbentuk seperti prisma,
ukuran kristal yang bervariasi. Berdasarkan hasil pengamatan mikroskop
ditemukan adanya kristal struvit dan Eritrosit. Jumlah struvit yang ditemukan pada
30

sampel urin pasien yaitu >3 HPF dan Eritrosit >2 HPF. Kristal struvit dapat
memiliki antara 3 sisi sampai 8, tergantung pada keadaan degradasi atau
pembentukannya. Sedangkan eritrosit yang ditemukan berbentuk seperti donat,
kecil dan cekung ganda. Gambaran ini sama dengan gambaran dari kristal (struvit)
dan eritrosit. Hal ini sesuai dengan literatur dari Rizzi, (2014) yang menyatakan
kristal struvit yang ditemukan mereka tidak berwarna, berbentuk seperti prisma,
ukuran kristal yang bervariasi. Kristal struvit memiliki antara 3 sisi sampai 8,
tergantung pada keadaan degradasi atau pembentukannya. Eritrosit yang ditemukan
berbentuk seperti donat, kecil dan cekung ganda.
Struvite merupakan tipe urolit yang paling sering terbentuk yaitu sekitar
50% untuk analisa urolit pada kucing. Namun pada kucing berkisar sekitar 30%.
Biasanya diikuti dengan adanya kalsium fosfat dan terbentuk pada pH urin netral-
basa. Infeksi bakteri dapat meningkatkan pembentukan struvite urolit karena
bakteri yang menginfeksi memproduksi urease sehingga akan meningkatkan pH
urin menjadi basa. Urease merupakan enzim yang dalam keberadaannya di air akan
menghidrolisis urea dan menghasilkan ion ammonia dan karbonat sehingga
konsentrasi kedua ion tersebut meningkat. Ammonia bergabung dengan air atau ion
hidrogen untuk membentuk ion ammonium. Ion ammonium di urin akan
menyebabkan pH urin yang tinggi. Ketika pH urin basa, fosfat menjadi lebih
tersedia untuk pembentukan kristal struvite dan struvite menjadi kurang larut.
Selain itu, pH urin yang tinggi akan menurunkan solubilitas magnesium ammonium
fosfat dan meningkatkan terbentuknya presipitasi kristal struvite. Ketika
konsentrasi fosfat, magnesium, dan ammonium meningkat di urin, supersaturasi
terjadi dan membentuk kristal dan urolit (Lulich dan Osborne, 2007).
Kristal ini yang akan menyebabkan obstruksi vesica urinaria dan kelukaan
pada uretra dan ureter. Hal tersebut dapat menyebabkan keradangan pada vesica
urinaria sehingga membengkak. Obstruksi akibat kristal menyebabkan kucing
mengalami disuria hingga hematuria. Obstruksi tersebut juga menyebabkan edema
pada uretra dan vesica urinaria. Pemberian pakan kering terus-menerus terhadap
pasien merupakan salah satu penyebab yang dapat memicu terbentuknya kristal
struvite pada sistem urogenital kucing tersebut.

4.6. Diagnosis
Pada kasus ini dapat ditarik diagnosa bahwa kucing mengalami urolithiasis.
Berdasarkan penunjang diagnosis pemeriksaan dipstik urin menunjukkan pH urin
dalam keadaan basa dapat menimbulkan adanya kristal struvit, protein
menunjukkan protenuria pada kucing selalu dihubungkan mengalami hemoragik
akibat dari trauma maupun adanya inflamasi dan periuria pada kucing dapat
diselaraskan dari anemnesa yang didapat dan pada saat pemeriksaan mikroskopik
struvit yang didapat melebihi batas normal.
4.6.1.Defferential Diagnosis
Diagnosa banding dari kasus urolithiasis adalah cystitis. Menurut Birchard
dan Sherding (2000), urolithiasis merupakan suatu keadaan terdapatnya urolith di
dalam ruangan urinaria sampai saluran ekskretori dan biasanya diklasifikasikan
menurut komposisi mineralnya. Pada kucing urolith lebih banyak ditemukan di
dalam vesika urinaria atau uretra, dapat juga ditemukan di dalam pelvis renalis
namun kejadiannya sangat jarang (kurang dari 10%). Sedangkan cystitis ialah
31

peradangan pada vesika urinaria yang umum terjadi pada hewan domestik sebagai
bagian dari infeksi saluran urinaria. Gejala klinis dari penyakit cystitis yaitu nyeri
abdomen bagian bawah pada saat dilakukan palpasi, dysuria (hewan menunjukkan
tanda-tanda nyeri pada setiap usaha urinasi) dan hematuria. Pada beberapa hewan
yang menderita cystitis terjadi general malaise dan pyrexia. Pada keadaan cystitis
terjadi penebalan dinding mural vesika urinaria (Widmer et al., 2004).

4.7. Terapi
4.7.1. Penanganan Sebelum Ke Klinik Mutiara Bandung
Pasien tidak diberikan penanganan sebelum datang ke klinik Mutiara
Bandung. Pasien yang memiliki gejala susah melakukan urinasi penanganan awal
sebaiknya diberi pakan diet dan dapat dibawa ke klinik terdekat. Pasien yang telah
dibawah ke klinik sebelum penanganan sebaiknya melakukan cek kesehatan
berkala agar dapat di pantau kedepannya. Pemberian air yang bersih dan litter box
yang bersih dapat diberikan kepada pasien agar tidak terjadi infeksi sekunder.
4.7.2. Penanganan Selama di Klinik Mutiara Bandung
Pemberian obat antibiotik (2 kali 1 sehari) selama 7 hari. Pemberian obat
yang mengandung amoxycillin trihydrate dan clavulanic acid merupakan obat
antibiotik sprektum luas golongan beta laktam. Obat yang mengandung amoxycillin
trihydrate dan clavulanic acid bekerja dengan cara menghambat dinding sel bakteri
mencegah agar bakteri gram positif daan negative tidak dapat tumbuh dan
membunuh bakteri yang ada dalam penyakit gangguan sistem urinari.
Pemberian suplemen (1 kali 1 sehari) selama 10 hari sebagai terapi suportif.
Suplemen yang dibuat untuk kasus cystitis dan ganguan saluran perkemihan bagian
bawah memiliki tiga kandungan N-asetil D-Glukosamin yang berperan dalam
membantu mempertahankan lapisan dari vesica urinaria dan mengurangi
peradangan pada dinding vesica urinaria, L-Theanine yang merupakan asam amino
dapat menurunkan tingkat stress pada kucing akibat gangguan urinasi yang terjadi
dan Quercetin sebagai antioksidan. Selain penggunaan antibotik dan suplemen
Menurut Sabino et al., (2016) penggunaan terapi anti-inflamasi dapat mengurangi
peradangan dan ketidaknyamanan pada kucing yang mengalami gangguan saluran
urinari bagian bawah. Terapi anti-inflamasi non-steroid yang digunakan merupakan
obat yang mengandung meloxicam dengan dosis penggunaan 0.05–0.1 mg/kg IV,
SC atau PO satu kali sehari.
Menurut Suryandari, dkk (2012), beberapa faktor yang mendukung
terbentuknya kristal urin adalah aktivitas statis, kurang minum, makanan yang
banyak mengandung kalsium, oksalat dan fosfat serta penurunan pH urin. Sehingga
harus diperhitungkan pola pemberian pakan yang meliputi frekuensi pemberian
pakan, cara pemberian pakan, jenis pakan, dan penggantian merk pakan. Frekuensi
dan pemberian pakan merupakan faktor yang sangat menentukan pengendapan
mineral-mineral dalam urin, sehingga jika melebihi titik solubility product maka
hal trsebut akan memicu terbentuknya kristal.
Jenis pakan juga menjadi salah satu faktor terbentuknya kristal urin, karena
dalam satu jenis pakan tertentu akan mengandung beberapa mineral-mineral atau
kadar nutrien yang tidak sesuai dengan standar minimum untuk nutrien pakan yang
baik. Penggantian merk pakan juga akan mempengaruhi perubahan nafsu makan
dari hewan. Nafsu makan ini juga berperan dalam pembentukan kristal, nafsu
makan meningkat maka kadar mineral-mineral tertentu akan ikut meningkat.
32

Pengendalian penyakit urolithiasis sekaligus pencegahan penyakit urolithiasis pada


kucing. Pasien yang diberikan pakan terapi, tetap diperhatikan pola konsumsi pakan
agar kristal urinnya tidak kembali terbentuk di kemudian hari (Tion, dkk., 2014).
Pemberian pakan diet pada kasus pasien Jessy menggunakan pakan terapi
A-01. Sebelum menggunakan baiknya mengetahui kadar nutrien-nutrien tertentu
pada pakan terapi A-01 serta kadar nutrien minimum yang dipublikasikan oleh
AAFCO (Associatio of American Feed Control Officials), dapat dilihat pada Tabel
2 berikut.
Tabel 2. Gambaran Nutrien Standar, A-01, dan A-02
Nutrients Adult A-01 A-02
Maintenance
Minimum

Crude Protein 26,0 % 18 % 36 %

Calcium 0,6 % 0,5 % 0,7 %

Phosphorus 0,5 % 0,8 % 0,5 %

Potassium 0,6 % 0,8 % 0,71 %

Sodium 0,2 % 1,2 % 0,4 %

Chloride 0,3 % 2,21 % 0,62 %

Magnessium 0,4 % 0,05 % 0,048%

Pakan diet terapi yang digunakan pasien Jessy A-01 dapat dilihat dari table 2
persentase mineral-mineral seperti calcium (Ca) 0,5%, phosphorus (P) 0,8%,
sodium (Na) 1,2%, potassium (K) 0,8%, dan magnessium (Mg) 0,05%. Menurut
Suryandari et al., (2012), faktor utama yang mengatur kristalisasi mineral dan
pembentukan urolith adalah derajat saturasi urin dengan mineral-mineral tertentu
seperti Ca, P, Na, K dan Mg. Mineral-mineral seperti di atas dalam suatu pakan
komersil kering perlu diperhatikan pemberiannya, terutama merk pakan komersil
kering yang dijadikan sebagai pakan terapi. Selain menggunakan pakan diet terapi
A-01 dapat juga diberikan pakan diet terapi A-02 dimana kandungan nutrient yang
terdapat pada A-02 meliputi calcium (Ca), sodium (Na), phosphorus (P), potassium
(K) dan magnessium (Mg). Pada pakan ini nilai Ca adalah 0,6%, nilai P adalah
0,5%, nilai K adalah 0,71%, nilai Na adalah 0,4% dan nilai Mg adalah 0,048%.
Menurut Gerber (2008), jika suatu pakan komersil kering mengandung fosfor,
natrium, kalium, kalsium, dan magnesium yang tinggi maka ikatan terbentuknya
ion ammonium akan meningkat juga. Dengan meningkatnya ion ammonium di urin,
dapat mengakibatkan derajat saturasi urin dengan ion pembentuk kristal akan
meningkat. Produk pakan memiliki kandungan mineral-mineral yang berbeda,
kandungan mineral pada pakan A-02 relative mendekati standart AAFCO
(Associatio of American Feed Control Officials) dibandingkan dengan pakan A-01.
Setiap produk pakan diet terapi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing
berhubungan dengan kandungan mineral-mineral dalam pakan tersebut.
33

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan studi kasus ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Peneguhan suatu diganosa penyakit sangat memerlukan pemeriksaan
pendukung yang dapat digunakan sangat bervariasi meliputi pemeriksaan
urinalisis yang lengkap, ultrasonografi (USG), foto rontgen (X-ray) dan
pemeriksaan lainnya.
2. Pemeriksaan laboratoris pada pasien Jessy kucing mengalami peningkatan
nilai semikuantitatif terhadap parameter pH, darah, spesifik gravity (SG)
pada uji dipstik dapat untuk mendeteksi adanya inflamasi, trauma,
anoreksia, dehidrasi, polyuria ataupun polydipsia pada hewan menderita
urolithiasis.
3. Penanganan suatu penyakit untuk gangguan pada saluran urinaria seperti
urolithiasis dapat dilakukan katerisasi sehingga terjadi pengeluaran urin dan
kristal pada vesika urinaria, pemberian obat golongan agonis kolinergik
yang mengandung bethanechol dapat dianjurkan untuk mengencangkan
otot-otot vesika urinaria yang mengendur, pemberian antibiotik juga
diperlukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya infeksi sekunder dan
penggunaan terapi anti-inflamasi dapat mengurangi peradangan dan
ketidaknyamanan pada kucing yang mengalami gangguan saluran urinaria
bagian bawah.

5.2. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan dari studi kasus ini adalah :
1. Perlu dilakukan metode pemeriksaan lain, seperti pemeriksaan media agar
penumbuhan bakteri ataupun jamur pada urin, ultrasonografi (USG), foto
rontgen (X-ray) dan pemeriksaan darah untuk peneguhan diagnosa
selanjutnya.
2. Client education pentingnya dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya
dalam kasus urolithiasis seperti pemeriksaan ultrasonografi (USG), foto
rontgen (X-ray) dan pemeriksaan darah.
3. Perlu memberikan informasi kepada owner tentang pakan diet terapi apa
saja yang baik untuk kasus urolithiasis dan pemberian minum yang harus
bersih.
4. Mengingatkan owner agar memeriksakan atau control ulang apabila telah
lewat dari 10 hari kedatangan untuk mengecek kesehatan pasien.
5. Client education penting dilakukan terutama mengenai penggunaan dipstik,
temuan klinis pada kucing yang mengalami urolithiasis dan cara
pemeliharaan yang baik untuk mencegah terjadinya urolithiasis.
34

DAFTAR PUSTAKA

Andrew H Sparkes dan Clementine Jean-Philippe. 2007. Urolithiasis in cats


managing the risks. Science Article. Nestle PURNA Scientific Update on
Feline Nutrition, (Online), https://www.proplanveterinarydiets.ca/wp-
content/uploads/2016/04/NP-Research-Paper-Urolithiasis-EN-FINAL.pdf,
diakses 25 September 2017.
Barsanti JA, Boothe DM, Center SA, Cowell RL, Morais SA et al. 2004. Small
Animal Clinical Diagnosis By Laboratory Methods. Ed ke-4. Philadelphia:
Westline Industrial Drive.
Bartges JW, Kirk CA. 2006. Nutrition and lower Urinary tract disease in cats. Vet
Clin North Am:Small Anim Pract 3: 1361-76, (Online),
http://boleto_mestrado.pdf.evz.ufg.br/up/66/o/Nutricao_e_SUF.pdf,
diakses 25 September 2017.
Birchard SJ dan Sherding RG. 2000. Saunders Manual of Small Animal Practice.
Edisi ke-2. Pennsylvania: W. B. Saunders Company. Hlm. 913-957.
Bjornvad CR et al., 2011. Evaluation of a nine-point body condition scoring system
in physically inactive pet cats. AJVR. 437-433:72.
Bovens Catherine. 2011. Feline Lower Urinary Tract Disease A diagnostic
approach. The Feline Centre Langford and Pfizer Animal Health working
together for the benefit of cats, (Online),
http://www.langfordvets.co.uk/sites/default/files/Feline%20Update%20Au
tumn%202011%20revised%20030713.pdf, diakses 25 September 2017.
Brown SA. 2013. Urolithiasis in Small Animals. The Merk Veterinary Manual,
http://www.msdvetmanual.com/urinary-system/noninfectious-diseases-of-
the-urinary-system-in-small-animals/urolithiasis-in-small-animals, diakses
25 September 2017.
Cannon AB, Westropp JL, Ruby AL, Kass PH. 2007. Evaluation of trends in urolith
composition in cats: 5,230 cases (1985-2004). JAVMA, 231(4):570-576.
Chew Dennis J dan Stephen P. DiBartola. 2004. Interpretation of Canine and Feline
Urinalysis. Published by The Gloyd Group, Inc. Wilmington, Delaware.
Colville J. 2002. The Urinary System. Di dalam: Colville T dan Bassert JM, Editor.
Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. USA:
MOSBY. Hlm. 304-317.
Drobatz, K. J., 2009. Urethra obstruction in cats. In: Kirk’s Current Veterinary
Ther- apy XIV, pp 951–954, (Online),
http://www.kestrel.ws/erasmus/docs/Kirks_Current_Veterinary_Therapy_
XIV.pdf, diakses 25 September 2017.
Dyce KM, Sack WO dan Wensing CJG. 2002. Textbook of Veterinary Anatomy.
Edisi ke-3. USA: Saunders Company. Hlm. 175-433.
Eldredge Debra M, Carlson Delbert G, Carlson Liisa D, Giffin, James M. 2008.
Handbook Cat Owner’s Home Veterinary, Published by Wiley Publishing,
Inc., Hoboken, New Jersey. Hal : 370.
Elliot, Jonathan, Grauer, Gregory. 2007. Canine and Feline Nephrology and
Urology. College of Veterinary Medicine . Kansas State University.
Fadil Ayip. 2013. Perbandingan Sonogram Vesika Urinaria Dan Uretra Normal
Kucing Kampung (Felis Catus) Dengan Tiga Kasus Gangguan Saluran
35

Urinaria Bawah Pada Kucing. Fakultas Kedokteran Hewan Institut


Pertanian Bogor.
Finch NC. 2016. Hypercalcaemia in cats. The complexities of calcium regulation
and associated clinical challenges. J Feline Med Surg, 18: 387–399.
Forrester S. Dru. 2007. FLUTD: How Important is It?. Scientific Affairs Hill’s Pet
Nutrition, Inc. Topeka, Kansas, (Online),
https://www.researchgate.net/publication/242390807_FLUTD_How_Impo
rtant_is_It, diakses 25 September 2017.
Galgut Bradley, BVSc, Dipl. ACVP. 2013. URINALYSIS- A REVIEW. Vepalabs
Veterinary Pathology. Australia.
Grauer Gregory F, Lisa M. Pohlman. 2016. Urinalysis Interpretation. Kansas State
University,(Online),https://www.cliniciansbrief.com/sites/default/files/atta
chments/ASK_Urinalysis_Interpretation_.pdf, diakses 25 September 2017.
Gerber B. 2008. Feline lower urinary tract disease (FLUTD). Proceedings of the
International SCIVAC Congress 2008, Rimini, Italy, 201-203.
Harran Nathaniel. 2011. What’s Your Imaging Diagnosis?. Bristol University and
Pfizer Animal Health. (Online),
http://www.langfordvets.co.uk/sites/default/files/Feline%20Update%20Au
tumn%202011%20revised%20030713.pdf, diakses 25 September 2017.
Hesse A, Orzekowsky H, Frenk M, Neiger R. 2012. Epidemiological data of
urinary stones in cats between 1981 and 2008. Tierarztliche Praxis Ausgabe
K, Kleintiere/Heimtiere. 40:95–101.
Hesse Albrecht, Reto Neiger. 2009. A Colour Handbook of Urinary Stones in Small
Animal Medicine. Manson Publishing/The Veterinary Press,
(Online),http://clubhouserestaurant.com/index.php/books/download/asin=
1840761288&type=stream, diakses 25 September 2017.
Hill’s. 2004. Pet Nutrition, Inc. Division of Colgate-Palmolive Company. Published
by Veterinary Medicine Publishing Company, Inc. All rights reserved.
Printed in the United States of America.
Hostutler RA, Chew DJ, DiBartola SP. 2005. Recent Concepts In Feline Lower
Urinary Tract Disease. Veterinary Clinics Small Animal. 35:147-170.
Houston Doreen M. 2002. Diagnosis And Management Of Feline Lower Urinary
Tract Disease. Director of Clinical Research Trials. Veterinary Medical
Diets Guelph, Ontario, Canada, (Online),
http://vetnetinfo.com/tudasbazis/files/2016/02/Diagnosis-andManagement-
of-Feline-Lower-Urinary-Tract-Disease-2002.pdf, diakses 25 September
2017.
Idexx Laboratories. 2014. Urine Collection Methods.
Jhon K. Dunn. 2000. Textbook Small Animal Medicine. United Kingdom. W.B.
Sauders Company.
Little Susan, 2008. Blood & Urine Test For Cats. The Winn Feline Foundation.
Lulich JP, Osborne CA. 2007. Management of Urolithiasis. BSAVA Manual of
Canine and Feline Nephrology and Urology, 2nd Edition. London. 252-263.
Lulich Jody P, Diplomate, Carl A. Osborne. 2004. Cystocentesis: Lessons from
Thirty Years of Clinical Experience. University of Minnesota.
Kandynesia A. 2012. Studi radiografi kontras pengaruh anastesi
tiletaminzolazepam terhadap motilitas saluran pencernaan kucing local
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
36

Kaneko JJ. 2008. Kidney function and damage. In Clinical Biochemistry of


Domestic Animals, 6th ed. Kaneko JJ, Harvey JW, Bruss ML, eds., pp. 485–
528. Burlington, VT: Elsevier Inc.
Maryani, 2009. Kasus Urolithiasis Pada Anjing dan Kucing . Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Midkiff AM, Chew DJ, Randolph JF, Center SA, DiBartola SP. 2000. Idiopathic
hypercalcemia in cats. J Vet Int Med. 14:619–626.
Moore Danièlle A. Gunn, 2009. Feline Lower Urinary Tract Disease (FLUTD) –
Cystitis in Cats. Professor of Feline Medicine, University of Edinburgh.
Nash, H. 2008. Urine Crystals and Bladder Stones in Cats: Formation, Diet and
otherTreatment.http://www.peteducation.com/article.cfm?c=1+2243+2244
&aid=2660, diakses 25 September 2017.
Nelson, R.W. and Couto, C.G. 2003. Small Animal Internal Medicine 3rd Edition,
Mosby Inc. Missoury, London.
Noviana D, Aliambar SH, Ulum MF, Zulfanedi Y. 2008. Atlas Ultrasonografi
Anjing dan Kucing. Edisi ke-1. Bogor: Bagian Bedah dan Radiologi.
Departemen Klnik,Reproduksi dan Patologi. FKH IPB.
Palma Douglas, Cathy Langston, Kelly Gisselman, John McCue. 2009. Feline
Struvite Urolithiasis. Animal Medical Center New York, (Online),
http://vetfoliovetstreet.s3.amazonaws.com/mmah/7a/b65809073a4543a40
49a8dcaf0d87d/filePV1209_CEPalma.pdf, diakses 25 September 2017.
Perea Sally C, Davis. 2009. Nutritional Management of Urolithiasis,
(Online),http://www.cliniciansbrief.com/sites/default/files/sites/cliniciansb
rief.com/files/NutritionalManagementUrolithiasis.pdf, diakses 25
September 2017.
Plumb Donald C. 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook Sixth Edition.
Blackwell Publishing Professional, South State Avenue, (Online),
http://www.armchairpatriot.com/HomeVet/Plumb's%20Veterinary%20Dru
g%20Handbook%20%5BDesk%20Ed.%5D%206th%20ed.%20%20D.%2
0Plumb%20(Blackwell,%202008)%20WW.pdf, diakses 25 September
2017.
Pachtinger Garret. 2014. Urinary Catheter Placement for Feline Urethral
Obstruction. Veterinary Specialty & Emergency Center Levittown,
Pennsylvania.
Pradip RP. 2005. Lecture Notes : Radiologi Edisi 2. Jakarta: Erlangga.
Ramdhany, Dhany Nugraha., Kustiyo, Aziz., Handharyani, Ekowati., Buono, Agus.
2012. Diagnosa Gangguan Sistem Urinari Pada Anjing Dan Kucing
Menggunakan Vft 5. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Reece WO. 2006. Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animals. Edisi
ke-3. Australia: Blackwell Publishing Asia. Hlm. 269-302.
Rizzi Theresa.E, 2014. Urinalysis In Companion Animals Part 2: Evaluation of
Urine Chemistry & Sediment. Today’s Technician. Oklahoma State
University.
Sabino Catherine, Ainsley Boudreau, Karol A. Mathews. 2016. Emergency
Management of Urethral Obstruction in Male Cats. University of Guelph,
(Online),https://www.veterinaryteambrief.com/sites/default/files/attachme
nts/ASK_Emergency%20Management%20of%20Urethral%20Obstruction
%20in%20Male%20Cats_0.pdf, diakses 25 September 2017.
37

Sarno. 2014. “Nutritional Treatment Of Chronic Renal Failure.” “Diet For


Struvite Urolithiasis Prevention In Cats, (Online),
https://www.farmina.com/filepagine/158_1654_43_FVR_discuss-5-
GB@web.pdf, diakses 25 September 2017.
Schendel Pam, B,S., R.V.T. 2015. Are you Missing Out On A Golden Opportunity?
Performing In- House Urinalysis – Sediment Evaluation. School of
Veterinary Medicine. Purdue Universty. West Lafayette. IN.
Smith Walker Nanette, RVT.CVT, Warren Elizabeth, RVT. 2015. Clinical
Pathology. http://www.vspn.org/Library/Misc/VSPN_M02362.htm,
diakses 25 September 2017.
Stockhom, S.L. and Scot, M.A. 2002. Fundamental of Veterinary Clinical
Pathology. Iowa State Press.
Stockham SL, Scott MA. 2008. Urinary system. In Fundamentals of Veterinary
Clinical Pathology, 2nd ed. Stockham SL, Scott MA, eds., pp. 415–94.
Ames, IA: Blackwell Publishing.
Sulistia, Gan., Rianto S., dan Nafrialdi. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Suwed MA dan Budiana NS. 2006. Membiakkan Kucing Ras. Jakarta: Penebar
Swadaya. Hlm. 5-10.
Syam, Nurizmi. 2015. Evaluasi Urolithiasis Melalui Pemeriksaan Klinis
Mikroskopis Dan Ultrasonografi Pada Kucing Di Klinik Hewan Makassar.
Skirpsi. Makassar. Program Studi Kedokteran Hewan Universitas
Hasanuddin.
Tion MT, Vorska JD, Saganuwan SA. 2014. A review on urolithiasis in dogs and
cats. Bulgarian Journal of Veterinary Medicine. Online first.
Thomsen HS. 2006. Contras Media, Safety Issues and ESUR Guidelines. German:
Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Utama Harjono Iwan, Hutagalung Marieti Evi, I Wayan Puspa Ari Laxmi, I Gusti
Made Krisna Erawan, Sri Kayati Widyastuti, Luh Eka Setiasih, Ketut
Berata, 2011. Urinalisis Menggunakan Dua Jenis Dipstick (Batang Celup)
pada Sapi Bali. Lab Biokimia; Lab Penyakit Dalam Hewan Besar; Lab
Histologi; Lab Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
Kampus Bukit Jimbaran Kuta Badung. Hal 107.
Villiers Elizabeth, Blackwood Laura. 2005. BSAVA Manual Of Canine and Feline
Clinical Pathology Second edition. hal 158
Widmer WR, Biller DS dan Larry GA. 2004. Ultrasonography of the Urinary Tract
in Small Animals. Journal of the American Veterinary Medical Association.
225(1): 46-54.
Widodo Setyo, Sajuthi Dondin, Choliq Chusnul, Wijaya Agus, Wulansari Retno,
Lelana Agus, 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. IPB Press: Bogor.
Wientarsih Ietje, Prasetyo Bayu Febram, Rini Madyastuti, Noviyanti Lina, Rizal
Arifin Akbari. 2017. Buku Obat-Obatan untuk Hewan Kecil. Penerbit IPB
Press. Bogor. Hal :120.
Wijayanti,Tri. 2008. Diagnosa Ultrasonografi Untuk Mendeteksi Kelainan Pada
Organ Urinaria Kucing. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor. Bogor
38

LAMPIRAN
Lampiran 1. Posedur Pemeriksaan Urin Menggunakan Metode Dipstik dan
Metode Sedimentasi Urin (Rizzi, 2014).

1. Metode Dipstik
Analisis kimiawi urin umumnya dilakukan
dengan cara uji dipstick yaitu suatu tes yang
menggunakan stik yang dibuat khusus yang terdiri atas
strip untuk mendeteksi glukosa, protein, bilirubin,
urobilinogen, pH, berat jenis, darah, keton, nitrit dan
leukosit.
1. Meletakkan satu strip di handuk atau tissue kertas
bersih.
2. Menempatkan setetes urin di atas atau sisi setiap tes
pad (tergantung pada petunjuk produsen).
3. Membaca hasil setelah sesuai,
produsendirekomendasikan sesuai waktu. Tidak ada
perubahan warna pad reagen ditafsirkan sebagai hasil
negatif.
39

2. Metode Sedimentasi Urin


Urinalisis lengkap terdiri dari pemeriksaan fisik dan evaluasi kimia urin
serta pemeriksaan sedimen. Evaluasi sedimen urin merupakan bagian penting
dari urinalisis lengkap, bagaimanapun, itu sering tidak dilakukan (Rizzi, 2014).
1. Tempatkan 5-10 ml urin bersih kedalam
tabung centrifuge (volume ini perlu
menjadi patokan untuk setiap urinalasis
(UA) atau jumlah sel-sel, kristal dan
cetakan akan dipengaruhi).
2. Centrifuge urin pada kecepatan 1500 rpm
selama 5 menit (gambar 3). Sedimen
mungkin menjadi endapan di bagian
bawah tabung ketika sentrifugasi
sempurna (gambar 4) dan jumlah
sedimen sesuai dengan jumlah partikel
(sel, kristal, dll) hadir dalam urin.
3. Buang sebagian besar supernatant, hati-
hati menghindari gangguan material di
bagian bawah, meninggalkan 2 sampai 3
tetes supernatant campur dengan
sedimen. (Gambar 4).
4. Tekan lembut atau tabung film dengan
jari untuk menyusun kembali sedimen
dengan urin yang tersisa; Hindari kuat
pencampuran karena dapat menyebabkan
selular artefak dan gangguan gips.
5. Menggunakan pipet sekali pakai, ambil
satu tetes dilarutkan sedimen pada slide
mikroskop yang bersih dan tempatkan
coverslip diatasnya. (Gambar 5)

• Natif Urin (Rizzi, 2014).


1. Siapakan sampel urin yang segar.
2. Setelah itu teteskan urin segar diatas
objek glass lalu tutup menggunakan
cover glass.
3. Amati menggunakan mikroskop
dengan pembesaran 40X.
40

Lampiran 2. Analisis Dipstik (Villiers et al., 2014).

Test Nilai Nilai Tidak Normal Temuan Klinis


Normal (Terjadi peningkatan
Pada nilai)
Kucing Pada Kucing
SG 1035 <1.035 Dehidrasi
1.012-1.035 Polyuria
1.020-1.030 Polyuria/Polydipsia
1.008-1.012 atau <1.008 Polyuria/Polydipsia

pH 6.0-7.5 Terjadi Peningkatan Sampel urin yang lama


Renal tubular acidosis
Metabolik alkalosis
Terjadi Penurunan Metabolik acidosis
hypokalaemia
Glukosa Negatif 1+ atau >1+ Diabetes Militus
Stress hyperglycaemia pada
Kucing
Hyperadrenocorticism
Ketone Negatif 1+ atau >1+ Diabetes ketoacidosis
Starvation
Hewan muda
Protein Negatif 2+ atau >2+ Pyuria
>1+ Glomerulonephritis
Hemoragik
Bilirubin Negatif Positif Anemia hemolitik
Penyakit hepatobiliary
Darah Negatif Positif Hematuria
Urobilinogen Negatif - Tidak dapat membantu dalam
penyakit hematologi ataupun
hepatobilliary pada kucing
lebih digunakan pada
bilirubin
Leukosit Negatif - Tidak sensitif untuk
mendeteksi adanya inflamasi
pada hewan namun, dapat di
cek pada saat pemeriksaan
sedimentasi urin
41

Lampiran 3. Tabel Bentukan Batu Kristal (Rizzi, 2014).

Jenis Batu Kristal Gambar Batu Kristal

Struvite

Ammonium Urat

Bilirubin

Kiri: Calcium oxalate


monohydrate

Kanan:Calcium oxalate
dihydrate
42

Lampiran 4. Karakteristik Sampel Urin


Urin adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi urin diperlukan untuk
membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk
menjaga hemostasis cairan tubuh. Urin disaring di dalam ginjal, dibawa melalui
ureter menuju kandung kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra (Chew
dan Stephen, 2004).
Karakterstik Sampel Urin

Temuan Fisik Interpretasi Warna Normal

Warna Interpretasi: Interpretasi : Berkisar antara


- Merah Warna merah Kuning muda dan
akibat kucing yang Kuning tua
mengalami
hematuria

- Merah Warna merah


Kecoklatan kecoklatan
hemoglobinuria , penyebabnya
mioglobinuria, hemoglobinuria
Coklat gelap / terjadi karena
hitam proses hemolisis
intravaskuler
(pemecahan
eritrosit di dalam
pembuluh darah).
Hemolisis tersebut
menyebabkan
pembebasan Hb
kedalam plasma,
menyebabkan
hemoglobinuria d
an membuat warna
yang abnormal
pada urine dari
merah, coklat
sampai kehitaman.
Mioglobinuria
adalah myoglobin
yang keluar dari sel
otot, kemudian
mioglobin disaring
dari darah oleh
ginjal dan
diekskresikan
melalui urin dan
menyebabkan urin
43

berwarna merah
gelap.
- Coklat
Kuning / Warna coklat ke
Hijau Coklat hitam penyebabnya
melanin dan warna
hitam disebabkan
oleh pengaruh obat-
obatan

- Orange- Bilirubinuria
bilirubinuria adalah kondisi
abnormal dari
bilirubin
terkonjugasi yang
ditemukan dalam
urin. Bilirubin pada
urin menunjukkan
adanya penyakit
hepatocellular atau
gangguan empedu
intra atau
ekstrahepatik.
Karena bilirubin
konjugasi larut
dalam air, maka
akan terlihat pada
urin yang disebut
bilirubinuria.
Bilirubin terbentuk
dari penguraian
hemoglobin dan
ditranspor ke hati,
tempat bilirubin
berkonjugasi dan
diekskresi dalam
bentuk empedu.
Bilirubin
terkonjugasi
(bilirubin direk) ini
larut dalam air dan
diekskresikan ke
dalam urin jika
terjadi peningkatan
kadar di serum.
44

Bau Interpretasi: Bau urin yang


Bau yang berlainan normal
dari yang normal bisa disebabkan
berasal dari bahan-bahan
makanan, obat- organis yang
obatan, amoniak, mudah menguap
keton uria, infeksi
mikroorganisme

Turbiditas Interpretasi: Kejernihan


(Turbiditas - Jernih normal: Jernih
merupakan - Agak keruh
suatu - Keruh
pengukuran - Sangat Keruh
dari tingkat
kejernihan
urin)

Lampiran 5. Observasi Pembentukan Kristal Urin yang dipengaruhi Oleh pH


(Wamsley et al., 2007).

Kristal Urin Asam Urin Netral Urin Basa


Ammonium Biurate ✓ ✓
Bilirubin ✓
Kalsium Karbonat ✓
Kalsium Oxalate Dihydrate ✓ ✓ ✓
Kalsium Oxalate Monohydrate ✓ ✓
Sistin ✓ ✓
Magnesium Ammonium Phosohate ✓ ✓

Tabel diatas menunjukkan bahwa proses dari pembentukan kristal urin sangat
dipengaruhi oleh pH. Terkhususkan pada kasus yang dibahas mengenai kristal
Magnesium Ammonium Phosohate biasa disebut dengan kristal struvite yang dapat
ditemui pada urin dalam keadaan netral hingga basa yaitu pH urin 6-7,5.
45

Lampiran 6. Cara handling dan restrain pada kucing untuk pengambilan


sampel urin :

• Kompresi Vesika Urinaria (Voiding


Vesika Urinaria) Persiapkan terlebih
dahulu bahan dan alat yang digunakan
untuk mengambil urin kucing seperti
urine container dan cool box.
1. Kucing diletakkan pada posisinya di
atas meja secara berbaring dorsal ,
usahakan berhati- hati agar tidak
melukai kucing karna kucing dalam
keadaan yang tidak sehat dan kita
berdiri di sisi meja.
2. Sambil memegang kedua kaki depan dengan satu tangan,telunjuk berada
diantara kedua kaki sedangkan ibu jari dan jari lainya melingkarinya.
3. Lengan melingkar diatas leher kucing dan menekan kepala hewan itu
kebawah, tangan lainnya memegang kedua kaki kucing sementara
seorang rekan lainnya melakukan palpasi pada vesica urinaria atau
kompresi vesika urinaria untuk merangsang kucing agar urine
dikeluarkan sambil menampung urine yang keluar menggunakan
container urine dan setelah urine selesai ditampung kemudian
dimasukkan kedalam cool box untuk menjaga agar sampel tetap baik
(Idexx Laboratories, 2014).

• Cystocentesis
Cara lain untuk mengambil
sampel urine cystocentesis
dengan menggunakan spuit atau
iv cat 22G melalui dinding
abdominal untuk mendapatkan
sample steril langsung dari
bladder (Lulich et al., 2004).
46

• Kateter
1. Pada saat memasang kateter pada
kucing, penis dikeluarkan dari
preputium terlebih dahulu dan
diposisikan pararel sejajar dengan
vetebrae untuk mencegah trauma pada
uretra. Memasang kateter urin pada
kucing jantan memerlukan dua orang,
satu orang menahan penis tetap keluar
dari preputium dan yang lainnya
memasukkan kateter. Sebelum
dimasukkan kateter harus diberi
lubrikan cair, lalu penis dan preputium dibersihkan dengan antiseptik.
2. Kateter dimasukkan dibantu dengan flushing menggunakan syringe
berisi saline yang disemprotkan perlahan untuk mendilatasi uretra agar
kateter mudah dimasukkan. Beberapa kucing juga menyukai apabila
meletakkannya di atas pangkuan kita. Buatlah posisi yang membuat
kucing merasa nyaman. Sedangkan unruk pengambilan metode urine
voiding langsung meletakkan container urine pada alat kelamin jantan
atau betina (Pachtinger, 2014).
47

Lampiran 7. Penentuan Body Score Condition


dengan skala 1-9
1. Rusuk, tulang spina, tulang pelvis terlihat jelas
pada hewan berbulu pendek. Luas dadanya
sempit, ototnya sangat sedikit, dada sangat
terlihat. Tidak ada lemak yang dapat teraba,
abdomen sangat cekung, lumbar (vetebrae) dan
sayap dari ili mudah terpalpasi.
2. Rusuk gampang terlihat vetebrae lumbal teramati
dengan kondisi maasa otot sedikit.
Luas dada sangat sempit, abdomennya sangat
cekung.
3. Rusuk gampang terlihat pada hewan berbulu
pendek, dada agak sempit, hanya terlihat lipatan,
abdomen langsung (kekurusan) sangat sedikit
lapsan lemak.
4. Tulang rusuk tidak terlihat mudah teraba
(jaringan lunak minimal, tulang dada masih
terlihat (dapat dibedakan dengan cukup jelas).
5. Proposi baik rusuk tidak terlihat, tapi mudah
teraba, dada masih terlihat, lapisan lemak sudah
cukup banyak, perut/abdomen sedikit cekung
atau masuk.
6. Overweight. Tulang rusuk tidak terlihat tapi
teraba, dada tidak jelas ketika dilihat dari atas.
7. Tulang rusuk sulit diraba (tertutupi lemak) dada
tidak terlihat jelas, abdomen tidak cekung.
8. Rusuk tidak teraba, terlapisi lemak, dada tidak
terlihat, abdomen sedikit distensi.
9. Rusuk tidak teraba, dada tidak teramati,
abdomen sedikit distensi, banyak deposit lemak
pada abdomen (Bjornvad CR et al., 2011).
48

Lampiran 8. Kumpulan Gambar Image Diagnostik


a. Pemeriksaan X-ray

Gambar 3. Lateral Abdominal terdapat urolith pada ginjal,


retroperitoneum dan vesica urinaria (Harran, 2011).

b. Pemeriksaan Ultrasonografi

Gambar 5. Gambar A dan B merupakan sonogram vesica urinaria normal


pada kucing dengan arah transducer transversal. (a) menunjukkan lumen
vesica urinaria terlihat anechoic. Dinding vesica urinaria terlihat
hyperechoic ditunjukkan oleh (b). Bar (garis putih) = 1 cm (Noviana et all.,
2008).

Gambar 6. Pengendapan (sedimentasi) partikel mineral kristal pada kucing


(Noviana et all., 2008).
49

Pada gambar 6 merupakan sonogram pengendapan (sedimentasi) partikel


mineral kristal pada vesica urinaria kucing. Pemeriksaan dilakukan dengan arah
transducer sagittal. (a) Sedimen mineral yang ditunjukkan oleh garis echogenik.
(b) Lumen vesica urinaria yang ditunjukkan oleh massa hippo-anekhoik. Massa
ini adalah pencampuran antara urin dan partikel mineral. (c) Terbentuknya
acoustic shadowing akibat terhambatnya gelombang suara. Bar= 1 cm (Noviana
et all., 2008).

Gambar 7. Sonogram vesika urinaria kucing terdapat kristal (Fadil,2013).


Pada gambar (A) Sonogram dinding vesika urinaria yang
mengalami penebalan di daerah dorsal korpusnya (dibatasi garis kuning).
(B) Sonogram vesika urinaria posisi transducer transversal. (C) Sonogram
vesika urinaria posisi transducer sagital. (1) Dinding dengan ekhogenisitas
hiperekhoik berwarna putih. (2) Lumen vesika urinaria dengan
ekhogenisitas anekhoik berwarna hitam dan massa berupa kristal dengan
ekhogenisitas hipohiperekhoik berwarna abu-abu (dibatasi garis kuning).
(3) Lemak viseral (hiperekhoik) (Fadil,2013).

Gambar 8. Sonogram vesika urinaria kucing terdapat urolith (Fadil, 2013).

Pada gambar (A) Sonogram vesika urinaria yang menggambarkan adanya


tiga urolit. (B) Sonogram vesika urinaria yang memperlihatkan adanya artifact
berupa acoustic shadowing (1) Dinding vesika urinaria dengan ekhogenisitas hipo-
hiperekhoik berwarna abu menuju putih. (2) Lumen vesika urinaria dengan
ekhogenisitas anekhoik berwarna hitam dan terlihat urolit didalamnya dengan
ekhogenisitas hiperekhoik berwarna putih. (3) Jaringan Lemak dengan
ekhogenisitas hiperekhoik berwarna putih. (4) Urolit di dalam lumen vesika
urinaria dengan ekhogenisitas hiperekhoik berwarna putih. (5) Artefact berupa
acoustic shadowing (Fadil, 2013).
50

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Hasna Fauziah, dilahirkan


di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 07 Maret
1993 dari ayah H. Jon Hepni S, S.T dan ibu Hj. Anna
Farida. Penulis adalah anak kedua dari tiga
bersaudara.
Penulis mulai mengenyam pendidikan di Taman
Kanak-Kanak Aisyiyah Bustanul Athfal Makassar
dan menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN
Kompleks IKIP I Makassar tahun 2005, kemudian
penulis melanjutkan pendidikan ke SMPN 08
Makassar dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun
2011 penulis menyelesaikan pendidikan di SMK
Telkom Sandhy Putra 2 Makassar.
Pada Tahun 2011 penulis diterima masuk ke
Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.
Penulis menyelesaikan pendidikan pada tahun 2015, kemudian penulis melanjutkan
Pendidikan Profesi Dokter Hewan pada tahun 2016 penulis lulus pada tahun 2017.

Anda mungkin juga menyukai