Anda di halaman 1dari 5

Latar Belakang

Sebagai teori atau konsep, civil society sebenarnya sudah lama dikenal sejak
masa Aristoteles pada zaman Yunani Kuno, Cicero, pada zaman Roma Kuno, pada
abad pertengahan, masa pencerahan dan masa modern. Dengan istilah yang berbeda-
beda, civil society mengalami evolusi pengertian yang berubah dari masa ke masa. Di
zaman pencerahan dan modern, isttilah tersebut dibahas oleh para filsuf dan tokoh-
tokoh ilmu-ilmu sosial seperti Locke, Hobbes, Ferguson, Rousseau, Hegel,
Tocquiville, Gramsci, Hebermas.Dahrendorf, Gellner dan di Indonesia dibahas oleh
Arief Budiman, M.Amien Rais, Fransz, Magnis Suseso, Ryaas Rasyid, AS. Hikam,
Mansour Fakih.
      Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun kota budaya bukan sekedar
merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat local, tetapi lebih dari itu adalah
membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan indifidu,
masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai
kemanusiaan.
      Peradaban adalah istilah Indonesia sebagai terjemahan dari civilization. Asal
katanya adalah a-dlb yang artinya adalah kehalusan?(refinement), pembawaan yang
baik, tingkah laku yang baik, sopan santun, tata-susila, kemanusiaan atau kesasteraan.
Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini
seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan
munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha
mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat
yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan
telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut
komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan
konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.

1. Pengertian Masyarakat Madani


Masyarakat dapat di definisikan sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan
menganggap dirinya sebagai satu kesatuan sosial (New Dictionary of Sociology,
2989:206)
Al-Quran menyebutkan masyarakat dengan beberapa kata, yaitu Qaum, ummah,
Syu’ub dan qubail. Selain itu Al-Quran juga memperkenalkan sifat masyarakat
dengan al-mustakbirun, al-mala, al mustad’afin dan sebagainya.
Di dalam Al-quean dijelaskan mengenai hukum-hukum yang mengatur proses
pertumbuhan masyarakat, mulai dari lahir sampai kehancurannya. Hukum-hukum
kemasyarakatan itu tidak berbeda dengan hukum alam. Salah satu hukum
kemasyarakatan yang cukup populer ialah QS. Yusuf (12):11. “sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat)
sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka”.
Ayat ini menurut Quraish Shihab (1996:322) berbicara bahwa dua macam
perubahan dengan dua pelaku, yaitu masyarakat yang pelakunya adalah Allah dan
kedua perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah
manusia. Perubahan yang dilakukan Allah terjadi secara pasti melalui hukum-hukum
tersebut tidak memilih kasih atau membedakan antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain.
Dalam surat Yusuf di atas, sedang dibicarakan manusia secara sosial, bukan
secara individual. Menurut ayat ini seseorang tidak dapat melakukan suatu perubahan
kecuali setelah ia mampu mengalirkan arus perubahan tersebut kepada sekian banyak
orang yang pada gilirannya menghasilkan gelombang perubahan di dalam masyarakat,
hal ini telah di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika mengubah peradaban
masyarakat Mekah dan Madinah dia memulainya dengan menyebarkan ajarannya
kepada setiap individu masyarakat yang kemudian menyebar kepada seluruh
masyarakatnya, pada akhirnya terjadilah perubahan peradaban yang sangat luar biasa
yang berbanding terbalik dengan peradaban yang berlangsung sebelumnya.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab,menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam perspektif islam, civil society atau masyarakat madani mengacu pada
penciptaan peradaban. Kata al-din (agama), terkait dengan kata at-tamaddun
(peradaban). kedua kata ini menyatu dalam pengertian al-madinah yang arti
harfiahnya adalah kota. Dengan demikian masyarakat madani mengandung tiga unsur
pokok, yaitu agama, peradaban, dan perkotaan. Disini agama merupakan sumber,
peradaban adalah prosesnya dan masyarakat kota adalah hasilnya. (M. Syafi’l Anwar,
1999:333).
Konsep masyarakat madani dalam islam merujuk pada tumbuh dan
berkembangnya masyarakat etis (ethical Society) (QS. 3:110), yaitu masyarakat yang
mempunyai kesadaran etis sehingga mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap
berlakunya nilai-nilai peradaban yang bersumber dari ajaran-ajaran agama.
Masyarakat seperti itu pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW di
madinah selama 10 tahun, masyarakat saat itu hidup dalam alam kebebasan untuk
memeluk agamanya masing-masing, terbuka, demokratis, dan adil dengan landasan
taqwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-ajaran-Nya.
Pada masa itu, karakteristik masyarakat adalah masyarakat yang egaliter,
penghargaan kepada orang berdasarkan pada prestasi, bukan didasarkan pada pratisme
seperti keturunan, kesukuan ras dan unsur-unsur nepotisme lainnya. Masyarakat
madani juga ditandai dengan keterbukaan dan partisipasi seluruh anggota masyarakat
serta penentuan kepemimpinan melalui pemilihan bukan didasarkan pada keturunan.
Mereka hidup dengan rukun, saling membantu, taat hukum, dan menunjukkan
kepercayaan penuh terhadap pemimpinnya. Al-Quran menjadi konstitusi untuk
menyelesaikan persoalan hidup yang terjadi diantara penduduk madinah.

2. Karakteristik Masyarakat Madani


Masyarakat madani sebagai masyarakat ideal memiliki karakteristik berikut :
1) Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang mengakui
adanya Tuhan, dan menempatkan Tuhan sebagai yang mengatur kehidupan sosial
2) Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun
secara kelompok menghormati pihak lain secara adil
3) Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu yang lain yang
dapat mengurangi kebebasan
4) Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan
oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak terganggu oleh aktivitas pihak
lain yang berbeda tersebut.
5) Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial. Setiap anggota masyarakat
memiliki hak dan kewajiban yang seimbang dan keutuhan masyarakat sesuai
dengan kondisi masing-masing
6) Berakhlak Mulia. Yang dimaksud dengan berakhlak mulia adalah akhlak yang
dilandasi oleh nilai-nilai ilahiyah yang telah Allah jabarkan secara global dalam
Al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-
harinya.

3. Peluang dan Tantangan Terwujudnya Masyarakat Madani di Indonesia


Bagi Masyarakat Indonesia terwujudnya masyarakat madani adalah sebuah
keharusan sejarah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Terwujudnya masyarakat
madani ini diperlukan dalam rangka mengimbangi atau memperkuat posisi tawar-
menawar kecenderungan politik Indonesia yang ditandai oleh menguatnya posisi
negara yang mengarah pada berkembangnya etastisme. Hanya dengan mamperkuat
masyarakat madani, perkembangan demokrasi demokratisasi akan lebih
berkesinambungan.
Dilihat dari potensi ummat Islam khususnya di Indonesia untuk mewujudkan
masyarakat madani sangat besar peluangnya, hal itu didukung oleh :
1) Jumlah umat Islam mayoritas yaitu 85% dari jumlah keseluruhan rakyat
Indonesia
2) Lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama Islam cukup banyak sehingga
memungkinkan melahirkan SDM yang di samping memiliki keilmuan di bidang
umum juga menguasai masalah agama
3) Kekayaan Alam Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar untuk bisa di
eksploitasi dengan amanah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Akan tetapi pada kenyataannya seperti apa yang dirasakan sekarang untuk
mewujudkan masyarakat madani dengan karakteristik yang sudah disebutkan di atas
di Indonesia sangatlah sulit. Hal ini dikarenakan :
1) Masyarakat muslim Indonesia terpecah menjadi beberapa kelompok, yang dalam
hal tertentu seringkali mereka lebih mementingkan kelompoknya daripada
kepentingan bersama. Sehingga jumlah yang besar tidak mempunyai apa-apa
karena mereka tidak mau bersatu dan terkesan bercerai-berai.
2) Ummat Islam di Indonesia belum bisa melahirkan SDM yang handal seperti yang
terlahir pada masa keemasan Islam pada masa daulah abbasiyah sehingga
seringkali kalah bersaing dengan orang luar yang non muslim baik dalam bidang
perekonomian ataupun dalam ilmu pengetahuan.
3) Tokoh-tokoh Ummat Islam terkadang melakukan akhlak yang tidak islami
sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap perannya dalam
membina ummat Islam itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Chundori, Tutur. 2011. Pendidikan Agama Islam. Purwokerto: UPT. Percetakan dan
Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman

Anda mungkin juga menyukai