Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tasawuf merupakan suatu disiplin ilmu yang lebih menekankan kepada
kehidupan akhirat, yakni aspek spiritual Islam dibandingkan dengan kehidupan di
dunia. Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari
ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba
dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan
Rasulullah SAW, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan
islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada
masa Rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah
sebutan sahabat nabi.
Tasawuf juga merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan
perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan
akhlak mulia. Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi
dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan
(thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah),
lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam
(tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah.
Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh
para sufi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan maqamat ?
2. Apa saja macam-macam maqamat ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan maqamat.
2. Untuk memahami dan dapat menjelaskan macam-macam maqamat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqamat
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti
pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations
atau stages. Sementara menurut istilah tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang
hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat dan
lain-lain, latihan spiritual serta (berhubungan) yang
tidak putus-putusnya dengan Allah.
Secara teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi
untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah
dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada
konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyakini sebagai amalan yang
lebih tinggi nilai spiritualnya di hadapan Allah.1
Menurut Abdurrazaq Al-Qasami, maqam adalah pemenuhan terhadap
kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Jika seseorang belum memenuhi
kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam suatu maqam, ia tidak boleh naik kejenjang
yang lebih tinggi.
Maqam-maqam itu harus dilalui oleh seorang salik secara bertahap. Menurut
seorang arif, mencapai suatu maqam tanpa melaui maqam sebelumnya merupakan
sesuatu yang tidak mungkin. Dikalangan kaum sufi, urutan maqam berbeda-beda.2

B. Macam-Macam Maqamat
1. Taubat

Taubat berarti ar-ruju’ min adz-dzanbi, ar-ruju’ an adz-dzanbi, yang berarti


kembali dari berbuat dosa menuju kebaikan atau meninggalkan dosa. Taubat
adalah kembali menuju kebenaran, perubahan hati, juga berarti penyesalan. 3

1
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014), hlm. 137.
2
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm. 170.
3
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, hlm. 268.

2
Langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah taubat dari dosa-
dosanya. Karena itu, stasiun pertama dalam tasawuf adalah taubat. Pada mulanya
seorang calon sufi harus taubat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya. Kalau ia
telah berhasil dalam hal ini, ia akan taubat dari dosadosa kecilnya, kemudian dari
perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Taubat yang dimaksud
adalah taubat an-nasuha, yaitu taubat yang membuat orang menyesal atas dosa-
dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil
apapun. Taubat ini terus dilakukan selama hidup, karena manusia tidak lepas dari
dosa, baik dalam anggota tubuh maupun dalam hatinya yang kosong dari
mengingat Allah. Jika hatinya hadir (selalu ingat Allah) maka tidak luput dari
menempuh tahapan (maqam) yang rendah menuju tahap yang tinggi.

Taubat diawali dengan mengetahui dua hal, yakni dosa-dosa yang dilakukan
dan kedudukan Allah azza wa jalla. Hati yang mengetahui kedudukan Allah,
maka akan timbul rasa takut dalam dirinya. Rasa takut ini merupakan keinginan
untuk bertaubat.4

Taubat merupakan awal berangkatnya seorang salik menuju kepada tingkatan


berikutnya. Karena itu, membangun taubat harus dengan kuat, yakni harus
didasari dengan taqwa yang kuat pula. Taqwa yang kuat akan selalu mendasari
setiap tingkatan maqam selanjutnya hingga pada maqam yang lebih tinggi.

2. Zuhud
Zuhud secara etimologi berasal dari kata zahada, artinya raghiba ‘anhu wa
taraka (benci dan meninggalkan sesuatu). Secara terminologi zuhud adalah
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia.5
Zuhud ialah penolakan terhadap gemerlapnya harta dunia. Dikatakan bahwa
zuhud pada sesuatu adalah tidak gembira atas apa yang dimilikinya terhadap
dunia, dan tidak bersedih atas apa yang tidak dimilikinya. 6 Sementara al-Junaid
memberikan batasan tentang zuhud, menurutnya, zuhud adalah kosongnya tangan
dari kepemilikan dan hati dari hal yang mengikutinya (ketamakan).7

4
Amr Khalid, Ishlahul Qulub, (Beirut: Daar Al Arabiyah lil Ulum, 2004), hlm. 6; Lihat
juga Al Ghazali, Ihya Ulumiddin Juz 4, (Indonesia:Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, t.th.), hlm. 3.
5
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm. 172.
6
Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, hlm. 116.
7
Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), hlm. 65.

3
Dari pengertian di atas, selanjutnya dapat dipahami bahwa tingkatan zuhud
pada dasarnya ada tiga, yaitu :
a. Orang yang zuhud terhadap dunia, padahal ia suka padanya, hatinya
condong padanya dan nafsunya selalu menoleh kepadanya; kendati
demikian, dilawannya hawa nafsu dan keinginan terhadap kenikmatan
duniawi itu. Orang ini disebut mutazahhid (yang berusaha untuk hidup
zuhud).
b. Orang yang zuhud terhadap dunia dengan mudah, karena ia menganggap
terhadap perkara keduniaan itu sedikit sekali manfaat dan gunanya, meski
ia menginginkannya. Tetapi ia melihat kezuhudannya dan berpaling
padanya. Orang yang berwawasan demikian sama halnya dengan mereka
yang merelakan uangnya satu dirham untuk memperoleh ganti dua dirham.
c. Orang yang zuhud terhadap dunia, tetapi zuhud terhadap kezuhudannya
itu, sehingga tidak terasa bahwa dirinya telah menanggalkan jubah
keduniaannya. Orang yang demikian setingkat dengan orang yang
meninggalkan tembikar dan memungut intan permata.8
3. Wara’
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia
keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak
berpuasa, melakukan shalat, membaca Al-Qur’an dan berdzikir. Ia juga akan
selalu naik haji. Sampailah ia ke stasiun wara’. Di sini ia dijauhkan Tuhan dari
perbuatan-perbuatan syubhat.9
Wara’ dapat diartikan sebagai usaha seseorang untuk menjauhkan diri dari
segala sesuatu yang syubhat. Dalam tahapan ini, seorang sufi akan sangat berhati-
hati dalam menerima sesuatu karena ditakutkan adanya syubhat tersebut.
Al-Musaibi menjelaskan bahwa wara’ adalah menghisab setiap hal yang
dibenci oleh Allah, baik tindakan fisik, hati atau anggota badan, dan menjauhi dari
menyia-nyiakan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, baik dalam hati maupun
anggota badan, dan hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan muhasabah.
Dengan demikian, wara’ adalah menyucikan hati dan berbagai anggota badan.10

8
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014), hlm. 147.
9
Ibid, hlm. 142.
10
Amin Syukur, Sufi Healing: Terapi dengan Metode Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2012),
hlm. 56.

4
4. Fakir
Secara harfiah biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau
orang miskin. Ruwaym pernah ditanya tentang tanda-tanda seorang miskin, ia
mengatakan miskin berarti menyerahkan jiwa pada ketentuan-ketentuan Allah
SWT. Dikatakan pula, bahwa tanda orang miskin itu ada tiga yaitu dia melindungi
batinnya, dia melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya, dan dia
menyembunyikan kemiskinannya. Selain itu, ath-Thusi juga pernah menyatakan
bahwa orang miskin adalah yang terkaya di antara ciptaan Allah. Mereka melepas
pemberian demi sang Pemberi.11
Sikap fakir penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena
kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada
kejahatan dab sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Dia.12
Abu Muhammad al-Jurairi berkomentar fakir ialah hendaklah kamu tidak
mencari sesuatu yang tidak ada pada dirimu, sehingga kamu kehilangan sesuatu
yang ada pada dirimu, dan hendaklah kamu tidak usah mencari rezeki-rezeki
kecuali kamu takut tidak dapat menegakkan kewajiban.13
Dengan begitu fakir menurut pandangan sufi yaitu tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta ketika tidak ada pada diri kita
dan menerima ketika diberi. Tidak meminta tetapi tidak menolak. Jadi, kefakiran
adalah meniadakan segala sesuatu yang menjadi keinginan-keinginan hati, baik
yang bersifat lahiri maupun batini. Karena dengan munculnya keinginan-
keinginan dalam hatinya, berarti seorang sufi telah melepaskan dirinya dari sikap
kefakirannya. Jika demikian halnya, sang sufi akan terhalang untuk mendapatkan
buah dari nilai-nilai spiritual.

11
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) hlm. 150 – 151.
12
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm. 173.
13
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) hlm. 150.

5
5. Sabar
Sabar dalam terminologi tasawuf adalah keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan
konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak
berubah bagaimanapun berat tantangan yang dihadapi.14
Sabar berarti tabah hati. Sabar secara etimologi adalah suatu keadaan jiwa
yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Menurut pandangan Dzun
Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan
kehendak Allah SWT, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan
sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri,
pengendalian sikap, pengendalian emosi. Oleh sebab itu sikap sabar tidak bisa
terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan
nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr annafs),
sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-
shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek.
Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.15
Orang yang telah berhasil membentuk dirinya menjadi seorang yang sabar
maka orang tersebut akan mendapatkan status yang tinggi dan mulia, sabar juga
sangat penting peranannya dalam rangka mencapai tujuan, dan orang yang sabar
akan mendapatkan kesejahteraan dengan mendapat nikmatnya balasan akhirat.

6. Tawakkal
Tawakkal Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri dan
mempercayakan secara bulat kepada Allah SWT setelah melakukan suatu rencana
dan usaha. Al-Qusyairi mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan
timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam
hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya
didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan

14
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm. 174.
15
Robison Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)
hlm. 72.

6
maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah. Manusia hanya menjalankan dan
mengusahakan rencananya tetapi Allah yang menentukan. Tawakal merupakan
gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah.16
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan
Harun Nasution, ia mengatakan bahwa tawakkal adalah menyerahkan diri kepada
qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat
pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah
kepada qada dan qadar Allah. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa
yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat
pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah, menyerah
kepada Allah dan karena Allah.17
Tetapi bagi kaum sufi pengertian tawakkal itu tidak cukup kalau hanya
sekedar menyerahkan diri seperti itu. Seperti biasanya dalam mengartikan ajaran
agama, mereka lebih jauh dan mendalam. Tawakkal menurut pandangan sufi
adalah jangan meminta, jangan menolak dan jangan menduga-duga. Nasib apapun
yang diterima itu adalah karunia Allah. Sikap seperti itu yang dicari dan
diusahakan sufi agar jiwa mereka tenang, berani dan ikhlas dalam hidupnya walau
apapun yang dihadapi atau dialaminya.
7. Ridha
Ridha adalah menerima anugrah Allah SWT dengan ikhlas atau puas dan tulus
menerima ketentuan Ilahi.18
Ridha menurut Imam Al-Junaid adalah ketundukan mutlak dan penyerahan
diri seutuhnya pada ketentuan qadha Allah yang telah di tetapkan sejak zaman
azali. Imam Al-Junaid berkata “Ridha berarti melepas ikhtiar”. Melepas ikhtiar di
sini tidak berarti bahwa seorang hamba praktis menjadi seorang fatalis dalam
segala perbuatan yang di lakukannya yang terjadi karena keinginan pelaku sendiri.
Akan tetapi, melepas ikhtiar berarti ridha dengan qadha Allah dalam bentuk
cobaan-cobaan yang di ujikan-Nya pada hamba-hambanya.
Orang yang ridha mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang
di balik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap
ketentuan-Nya. Terlebih lagi, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan

16
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Ad-Din, Juz IV, hlm. 322.
17
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) hlm. 202.
18
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, hlm. 188.

7
keMahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak
mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.19
Ridha dengan pengertian yang shahih ini merupakan salah satu derajat
ma’rifat billah. Jalan kesinambungan ma’rifat billah dan sarana meraih keabadian
ridha-Nya. Ridha juga menjadi sarana meraih kebahagiaan hidup yaitu kehidupan
yang nyaman dan menentramkan hati. Itulah bentuk daripada ridha kepada Allah
SWT.20
Oleh karena sikap mental ridha ini sudah mendekati sifat kesempurnaan (rijal
al-kamal). Menurut Qomar Kailani dalam fi al-Tasawuf al-islam bahwasannya
ridha adalah maqam terakhir dari perjalanan salik sebab datangnya sikap mental
ridha itu adalah berkat perjuangan yang di lakukan secara berantai.21
8. Mahabbah
Al-Hubb atau mahabbah adalah salah satu istilah yang selalu berdampingan
dengan ma’rifat, karena manifestasi dari mahabbah itu adalah tingkat pengenalan
kepada tuhan yang di sebut dengan Ma’rifat. Al-Hubb mengandung pengertian
terpadu seluruh kecintaan hanya kepada Allah yang menyebabkan adanya rasa
kebersamaan dengan-Nya. Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga
tingkat :22
a. Cinta biasa, yaitu selalu berzikir dan mengingat Tuhan
b. Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada
kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain lain. cinta
dapat menghilangkan tabir antara diri seseorang dengan Tuhannya,
sehingga ia dapat melihat rahasia-rahasia-Nya. Ia mengadakan dialog
dengan Tuhan dan merasakan kesenangan dengan dialognya itu. Cinta
tingkat kedua ini mampu menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya
sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta dan rindu kepada
Tuhannya.
c. Cinta orang yang ‘arif, yaitu orang yang tahu betul dengan Tuhannya.
Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang

19
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm. 175.
20
Muhammad Fauqi al-Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013),hlm. 84.
21
A Rivay Siregar, Tasawuf:dan Sufisme Klasik ke Neo-sufisme,(Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 122.
22
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014),
hlm. 55.

8
dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya
sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.

Paham mahabbah untuk pertama kalinya di perkenalkan oleh Rabi’ah Al-


Adhawiyah yang lahir di Bashrah 95 H dan meninggal dunia 185 H. Menurut
Rabi’ah, al-Hubb adalah kerinduan dan pasrah pada Allah seluruh ingatan dan
perasaan kepada Allah. Tujuan satu-satunya yang wajar dan sewajarnya di
cintai ialah Allah, agar dapat sampai kepadanya, seorang sufi harus lebih dulu
mendidik dirinya untuk mencintai keindahan alam.23
9. Ma’rifat
Dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang
Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Dalam sejarah dapat diketahui bahwa Al-
Misri adalah orang pertama yang menganalisis ma’rifat secara konsepsional, ia
mengklasifikasikan kepada tiga kelas, yakni :
a. Ma’rifat tauhid (ma’rifatnya orang awam).
b. Ma’rifat al-burhan wa al-istidlal (ma’rifatnya bagi mutakallimin,
filosof) yaitu pengetahuan tentang tuhan melalui pemikiran dan
pembuktian akal
c. Ma’rifat para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang tuhan
melalui sifat dan Keesaannya.

Menurut Al-Ghazali, pengertian ma’rifat ialah mengetahui mata hati,


karena jelas dan terangnya pengetahuan itu ia mengungkapkan dalam kalimat
“nazharu ila wajhi Allah” memandang wajhi Allah disini maksudnya melihat
dengan mata hatinya bukan dengan mata inderanya.24

23
Ibid, hlm. 129.
24
Ibid, hlm. 55.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Maqamat dapat diartikan sebagai aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi
untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah
dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada
konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyakini sebagai amalan yang
lebih tinggi nilai spiritualnya di hadapan Allah.
Maqamat merupakan tingkatan-tingkatan yang menjadi konsentrasi seorang
sufi untuk menggapai Tuhannya melalui jalan: 1) Taubat; 2) Zuhud; 3) Wara; 4)
Fakir; 5) Sabar; 6) Tawakkal; 7) Ridha; 8) Mahabbah; dan 9) Ma’rifat. Kesembilan
maqam tersebut dipraktikkan sesuai dengan konsentrasi yang dapat dicapai seorang
salik sebelum menuju maqam yang lebih tinggi.

B. Saran
Untuk memahami ilmu tasawuf, diperlukan sumber referensi yang terpercaya
disertai studi komprehensif tasawuf sehingga ilmu dapat diterima dengan baik dan
mencegah timbulnya kesalahpahaman.
Dalam penulisan makalah ini, penyusun menyadari masih banyak kekurangan
baik dari tulisan ataupun bahasan yang penyusun sajikan. Mungkin karena
keterbatasan sumber materi dan masih kurangnya kemampuan dari penyusun. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari
pembaca, yang dapat dijadikan acuan dalam pembuatan makalah berikutnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al Ghazali, Ihya Ulumiddin Juz IV. Indonesia:Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, t.th
Al-Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2013. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Amzah
Al Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah
Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Amzah
Anwar, Hamdani. 1995. Sufi al-Junaid. Jakarta: Fikahati Aneska
Anwar, Robison dan Mukhtar Solihin. 2004. Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Tasawuf
Khalid, Amr. Ishlahul Qulub. 2004. Beirut: Daar Al Arabiyah lil Ulum
Nasution, Harun. 2014. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Ni’am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media
Nata, Abuddin. 2011. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers.
Siregar, A Rivay. 2002. Tasawuf:dan Sufisme Klasik ke Neo-sufisme. Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada
Syukur, Amin. 2012. Sufi Healing: Terapi dengan Metode Tasawuf. Jakarta: Erlangga

11

Anda mungkin juga menyukai