Anda di halaman 1dari 33

HUKUM ISLAM DAN PENERAPANNYA

DI INDONESIA

Oleh: Khusnul Fathoni


PENGANTAR

Hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia


yaitu peraturan atau adat yang secara resmi
dianggap mengikat dan mempunyai konsekuensi
logis yang dikukuhkan oleh penguasa atau
pemerintah.

Menurut ulama’ fiqih, hukum adalah: akibat yang


timbul atau kewajiban atau konsekuensi yang harus
dijalani karena tuntutan syari’at agama (Al-Qur’an
dan hadits) yang berupa al-wujub, al-mandub, al-
hurmah, al-karahah dan al-mubahah.
PERBEDAAN SYARI’AT
DENGAN FIQIH

NO. SYARI’AH FIQIH


01. Ditetapkan langsung secara tegas oleh Ditetapkan pokok-pokoknya saja dan perlu
Allah dan Rasul-Nya dikembangkan dengan ijtihad
02. Terdapat dan Al-Qur’an dan Al-Hadits Terdapat di dalam kitab-kitab fiqih
03. Sumber Kalamullah dan Sabda Rasul Sumber : Pemikiran para Mujtahid
04. Fundamental, luas, meliputi aqidah Instrumental, terbatas pada aturan untuk
dan akhlaq kehidupan manusia
05. Bersifat konstan dan berlaku Fleksibel, elastis, temporal dan situasional
sepanjang zaman, abadi
06. Hanya terdapat satu syari’at Beraneka ragam madzhab
07. Sudah tertutup dengan wafatnya Terus terbuka untuk dikembangkan sesuai
Rasulullah dengan tuntutan zaman
08. Menunjukkan kesatuan dalam Islam Terbuka peluang perbedaan pendapat
TIGA SIFAT HUKUM ISLAM

1. Bidimensional = mengatur segala aspek


kehidupan secara holistic
2. Adil = mauzu, musawa, memberi hak kepada
yang berhak
3. Individualistik = pengakuan adanya hak-hak
individu yang harus dilindungi dan hak-hak
kemasyarakatan yang harus dijunjung tinggi
SUMBER HUKUM ISLAM

1. Al-Qur’an
2. Al-Hadits
3. Ijtihad
AL-QUR’AN

1. Mujmal: Al-Qur’an hanya menerangkan hukum yang


bersifat pokok, sedang rincian hukum dijelaskan dalam
hadits dan ijtihad para ulama’. Madel ini banyak
berkiatan dengan masalah ibadah.
2. Agak jelas dan terperinci. Model ini berkaitan dengan
hukum jihad, undang-undang tentang perang (tawanan
dan harta rampasan), hubungan ummat Islam dengan
ummat lain.
3. Jelas dan terperinci; medel ini terbaca dalam hukum
hutang-piutang, jual beli, makanan halal dan haram,
sumpah, waris, nasab, pernikahan dan perintah
memelihara kehormatan Wanita.
Al-Qur’an mengandung beberapa
macam hukum antara lain

Hukum-hukum aqidah (Al Ahkam Al I’tiqadiyah)


yaitu hukum-hukum terkait permasalahan aqidah
atau keyakinan. Seperti masalah keimanan kepada
Allah, rasul, malaikat dan sebagainya

Hukum-hukum akhlak (Al Ahkam Al Khuluqiyah)


yaitu hukum-hukum terkait masalah etika dan
moral. Perbuatan baik dan buruk, sifat terpuji dan
tercela, mengasihi sesama dan sebagainya
Hukum-hukum Amaliyah (Al Ahkam Al Amaliyah)
yaitu hukum-hukum yang mengatur semua
perbuatan manusia. Hukum ini dibagi menjadi dua:

1. Hukum ibadah, yaitu semua hukum mengenai hubungan


antara manusia dengan Allah SWT. Misalnya hukum
shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
2. Hukum muamalah, yaitu semua hukum mengenai
hubungan antara manusia dengan manusia lainnya baik
secara personal, kelompok, masyarakat maupun
kehidupan berbangsa dan bernegara.
HUKUM-HUKUM
TENTANG MUAMALAH

1. HUKUM KELUARGA (Al Ahkam As syakhsiyah) seperti nikah, talak,


rujuk, dan sebagainya. Dalam Al-Qur’an terdapat 70 ayat.
2. HUKUM PERDATA (Al Ahkam Al Madaniyah) seperti jual beli, sewa
menyewa, kerjasama usaha. Dalam Al-Qur’an terdapat 70 ayat.
3. HUKUM PIDANA (Al Ahkam Al Jinayah) seperti mencuri, membunuh
dan sebagainya. Dalam Al-Qur’an terdapat 30 ayat.
4. HUKUM ACARA (Al Ahkam Al Murafa’at) seperti lembaga peradilan,
saksi, sumpah dan sebagainya. Dalam Al-Qur’an terdapat 13 aya.
5. HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN (Al Ahkam Al Dusturiyah)
membicarakan aturan undang-undang dan dasar atau prinsip-
prinsipnya. Dalam Al-Qur’an terdapat 10 ayat.
6. HUKUM KETATANEGARAAN (Al Ahkam Al Dauliyah) seperti hubungan
antara negara muslim dan non muslim, peperangan dan sebagainya.
Dalam Al-Qur’an terdapat 25 ayat.
7. HUKUM EKONOMI (Al Ahkam Al Iqtishadiyah) mengatur pembagian
kekayaan agar adil dan merata seperti hak-hak fakir miskin, cara-cara
berwirausaha dan sebagainya. Dalam Al-Qur’an terdapat 10 ayat.
METODE TAFSIR AL-QUR’AN

1. TAFSIR TAHLILI, mengkaji Al-Qur’an dari berbagai segi


dan maknanya, ayat demi ayat, surat demi surat sesuai
dengan urutan dalam mushaf Utsmani
2. TAFSIR BI AL-MA’TSUR, memahami Al-Qur’an dengan
hadits Nabi.
3. TAFSIR BI AL-RA’YI, memahami ayat Al-Qur’an dengan
akal.
4. TAFSIR SUFI, memahami Al-Qur’an yang dialakukan oleh
para Ulama’ Sufi yang dipengaruhi oleh paham
mistisisme.
5. TAFSIR FIQIH, memahami Al-Qur’an yang dilakukan oleh
ulama’ fiqih untuk memperkuat madzhabnya.
6. TAFSIR FALSAFI, memahami Al-Qur’an dengan
menggunakan teori filsafat, berdasarkan ilmu kalam
dan semantic.
7. TAFSIR ‘ILMI, memahami Al-Qur’an berdasarkan ilmu
pengetahuan atau lintas disiplin ilmu.
8. TAFSIR ADABI, memahami Al-Qur’an melalui balaghah
dan kemukjizatan Al-Qur’an.
9. TAFSIR IJMALI, memahami Al-Qur’an secara singkat,
global, to the point, mudah dipahami.
10. TAFSIR MUQARAN, memahami Al-Qur’an dengan
membandingkan antar ahli tafsir.
11. TAFSIR MAUDHU’I, memahami Al-Qur’an secara
tematik, rumpun ayat secara konsisten.
AS-SUNNAH BAYAN TA’KID, menegaskan dan menguatkan
hukum-hukum dalam Al-Qur’an. Seperti
perintah berwudhu’ untuk melaksanakan
shalat

BAYAN TAFSIR, penjelas, memperinci,


membatasi hukum secara umum yang
FUNGSI AS-SUNNAH dijelaskan dalam Al-Qur’an. Seperti hukum
potong tangan bagi pencuri (Q.s. Al-Maidah
[5]: 38).

BAYAN TASYRI’, menetapkan hukum yang


secara jelas tidak disebutkan dalam Al-
Qur’an. Seperti ketentuan zakat fitrah
sebesar satu sa’ tamar atau satu sa’ sya’ir.
IJTIHAD

ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan


yang memiliki arti mengerahkan segala kemmpuan
yang ada pada diri dalam menanggung beban.

Ijtihad secara terminlogis adalah mengerahkan


pikiran dan kemampuan untuk menghasilkan hukum
syariat dengan cara tertentu.
MACAM IJTIHAD

IJMA’ merupakan kesepakatan yang diambil oleh


ulama dalam mengambil suatu hukum. Melalui
proses panjang dan mengambil referensi Quran-
hadits. Ijma’ ini sering juga disebut dengan fatwa.
Ijma’ Qauli, yaitu suatu ijma’ di mana para ulama’
mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun
tulisan yang menerangkan persetujuannya atas
pendapat mujtahid lain di masanya.

PEMBAGIAN
IJMA’

Ijma’ Sukuti, yaitu suatu ijma’ di mana para ulama’


diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini
dianggap menyetujui.

Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma’ tersebut


adalah ijma’ yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi’i
hanya ijma’ yang pertama saja yang disebut ijma’
yang sebenarnya.
QIYAS. Qiyas adalah menyamakan. Artinya, satu
masalah baru dikaitkan dan disamakan dengan
masalah lama yang memiliki kemiripan sebab serta
efeknya. Hukum masalah lama itu lantas dijadikan
hukum untuk masalah baru tersebut.

ISTIHSAN. mengambil yang baik. Artinya, ihtisan ini


semacam fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ahli
fiqih yang cenderung menganggap hukum tertentu
lebih baik untuk masalah tertentu. Karena itu sifat
hukum yang diambil dengan ihtisan ini bersifat
argumentatif.
MASLAHAH MURSHALAH. Ijtihad ini adalah
mengambil satu hukum dengan pertimbangan efek
negatif-positif suatu masalah. Prinsip dasarnya
adalah bagaimana agar suatu masalah memberi
manfaat dan terhindar dari bahaya atau mudlarat.

SUDUDZ DZARIAH. mengambil hukum lebih keras


untuk berhati-hati. Misalnya, hal yang dihukumi
mubah dimakruhkan atau malah diharamkan. Dan
berkaitan untuk agar masyarakat berhati-hati.
ISTISHAB. Ijtihad ini adalah memutuskan satu hukum
dengan menunggu ketetapan suatu perkara. Hal ini
seperti seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya
ke perantauan tanpa kabar. Tidak serta merta
perempuan itu boleh menikah lagi jika belum ada
kepastian apakah suaminya sudah meninggal atau telah
menceraikannya. Jika hal itu sudah dipastikan, barulah
perempuan itu boleh menikah lagi.

‘URF. Ijtihad ini merupakan pengambilan hukum


berdasar kebiasaan atau adat. Selama suatu masalah
tidak bertentangan dengan Quran-hadits, masalah
tersebut tetap dibolehkan.
SYARAT MUJTAHID

Dalam uraian "Perjalanan Ijtihad dalam


Perkembangan Fikih" yang terbit di Jurnal Syariah,
Fathurrahman Azhari menuliskan beberapa
ketentuan sebagai berikut:
Pertama, mujtahid harus menguasai bahasa Arab
dengan berbagai cabang keilmuannya, seperti
nahwu, saraf, balagah, dan aspek-aspek lainnya.

Kedua, memiliki pengetahuan tentang Al-Quran


secara mendalam.
Ketiga, mempunyai pengetahuan komprehensif
tentang sunah Nabi Muhammad SAW, khususnya
enam kitab hadis induk yaitu Sahih Bukhari, Sahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan
Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah, serta kitab-kitab
lainnya, seperti Sunan Baihaqi, Sunan Daraqutni,
Sunan Thabrani, Sunan Darimi, dan sebagainya.

Keempat, mengetahui ijmak atau kesepakatan ulama


sebelumnya. Jangan sampai seorang mujtahid
mengeluarkan suatu hukum yang bertentangan
dengan ijmak sebelumnya.
Kelima, mengetahui ilmu usul fikih, mencakup
kaidah ijtihad, metodenya, dan prinsip-prinsip dasar
seperti maqashid syariah, al-urf (adat kebiasaan
penduduk setempat), maslahah mursalah, dan
sebagainya.

Keenam, mengetahui objek yang akan diijtihadi.


Seorang mujtahid harus memahami secara penuh
kasus yang ia hadapi, sehingga ia tidak keliru
memutuskan hukum syariat atas perkara umat
Islam.
PEMBAGIAN HUKUM ISLAM

1. Wajib
apabila mengerjakan perbuatan akan mendapatkan pahala. Apabila
meninggalkan kewajiban, akan mendapatkan siksa atau dosa.
2. Sunnah
apabila seseorang yang mengerjakan perintah akan mendapatkan
pahala. Jika tidak mengerjakannya pun tidak dosa atau tidak disiksa.
3. Haram
apabila hal-hal yang dilarang tetap dilanggar, akan dicatat sebagai
dosa. Jika meninggalkan hal-hal yang haram, maka akan dicatat
mendapatkan pahala.
4. Makruh
apabila aturan yang dimakruhkan di tinggalkan, maka jauh lebih
baik. sedangkan jika yang dimakruhkan tetap dilakukan, maka
kurang elok atau kurang baik.
5. Mubah
Dikatakan mubah hal-hal yang dibolehkan dalam agama dibolehkan
di kerjakan atau yang seharusnya di tinggalkan tidak di kerjakan.
KONTRIBUSI UMMAT ISLAM DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Pelaksanaan Hukum Islam dan kebebasan menjalankan


ibadah dijamin oleh UUD-1945, Bab XI. Pasal 29.
menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa dan mengatur jaminan kebebasan beragama
dan beribadat sesuai agamanya.
HUKUM ISLAM DALAM PERATURAN
PER-UNDANG-UNDANGAN

Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, menyatakan


bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan
suatu rangkaian kesatuan dengan UUD-1945. Dalam
Piagam Jakarta, redaksi sila pertama Pancasila
berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.
PP Nomor: 28 Tahun 1977, tentang Perwakafan dan
Tanah Milik (Peraturan pelaksanaan pasal 49 ayat 3
undang-undang nomor 5 tahun 1060).

Dalam pasal 1 disebutkan bahwa: Wakaf adalah


perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang
berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan
atau kepentingan umum lainya sesuai dengan ajaran
agama Islam.
Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 (Pedoman
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960,
tentang Perjanjian Bagi Hasil.

Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan adanya kewajiban


mengeluarkan zakat sebelum dilakukan pembagian
dalam perjanjian bagi hasil tersebut.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.

1. Hukum perkawinan Islam harus diberlakukan


bagi ummat Islam Indonesia (pasal 2).
2. Poligami (pasal 3-5).
3. Suyarat perkawinan (pasal 6 ayat 6).
4. Larangan kawin (pasal 28).
5. Perjanjian kawin (pasal 29).
6. Harta dalam perkawinan (pasal 37).
7. Radhaah (pasal 8 ayat f).
8. Iddah (pasal 11).
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang
Peradilan Agama merupakan salah satu perundang-
undangan pelaksanaan dari Undang-undang nomor
14 Tahun 1970, tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman.

Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan; Peradilan Agama


adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.
Pasal 2, peradilan agama merupakan salah satu
pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang
mencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam
perundang-undangan ini.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI), salah satu
keberhasilan besar Ummat Islam dalam upaya
menegakkan hukum Islam menjadi hukum positif di
Indonesia.

Kompilasi Hukum Islam berisi tentang himpunan


hukum Islam yang berkaitan dengan perkawinan,
waris dan wakaf.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang
Peraturan Pemerintah Nomor: 70 dan 72 Tahun
1992 tentang Bank Bagi Hasil.

Pasal 2 ayat 1 dijelaskan prinsip bagi hasil


berdasarkan syari’at.
Penjelasan pasal 1 ayat 1 bahwa prinsip bagi hasil
dalam PP ini adalah prinsip muamalat berdasarkan
syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.
Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
Berdasarkan undang-undang ini, maka dibentuk
Badan Amil Zakat sampai tingkat Kecamatan,
bertujuan meningkatkan manfaat zakat baik bagi
pembayar zakat maupun penerima.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999, tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dengan undang-
undang ini Pemerintah (Kementrian Agama dibantu
kementrian agama Daerah mempunyai tanggung
jawab dalam penyelenggaraan Ibadah Haji.

WALLAHU A’LAM BISSAWAB

Anda mungkin juga menyukai