Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN KASUS

(SINDROM NEFROTIK)

Pembimbing:
dr. Melisha Lisman Gaya, Sp. A
dr. Shinta Nareswari, Sp. A

Oleh:
Agustinus Evrianto Irawan 2118012023
A. A. Mas Sinta Maharani 2118012163
Attisya Milenty Putri Djuardi 2118012051
Fatimah El Balqis 2118012230
Mezza Agustina 2118012204
Shenia Verinda Harsa 2118012017

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Sindrom Nefrot
ik”. Adapun penulisan Laporan Kasus ini merupakan bagian dari tugas Kepanitera
an Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek Provi
nsi Lampung.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Melisha Lisman Gaya, Sp. A dan dr
Shinta Nareswari, Sp. A selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya da
lam menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam
penulisan Laporan Kasus ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sa
ngat penulis harapkan demi kesempurnaan Laporan Kasus ini dan semoga dapat b
ermanfaat bagi pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, Oktober 2022

2
Penulis

STATUS PENDERITA

No. Rekam Medik : 00.69.23.xx

Masuk RSAM : 20 Oktober 2022

Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien


pada tanggal 23 Oktober 2022 di ruang Alamanda lantai 2.

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. G
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 10/05/2006
Umur : 16 th
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Abung Tinggi

IDENTITAS ORANG TUA

Ayah Kandung

3
Nama : Tn. A
Umur : 47 tahun
Pekerjaan : Tani
Pendidikan : SMP

Ibu Kandung

Nama : Ny. Y
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMP

Keluhan Utama

Nyeri perut bagian tengah atas sejak 2 minggu yang lalu.

Keluhan Tambahan

Sesak nafas, batuk, kaki bengkak.

Riwayat Penyakit Sekarang

4
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut bagian atas sejak 2 minggu yang lalu. A
walnya nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri akan timbul jika pasien telat makan, d
an menghilang dengan sendirinya. Sepuluh hari terakhir pasien merasa nyerinya s
emakin memberat, nyeri berlangsung semakin lama dengan sensasi pedih. Nyeri
menjalar hingga bagian tengah perut. Skala nyeri VAS 5-6. Pasien juga mengeluh
terdapat keluhan BAB keras tanpa disertai darah serta BAK jarang (frekuensi 2 ka
li sehari dengan volume masing-masing 250 cc dengan warna coklat pekat). Keluh
an belum pernah dirasakan pasien sebelumnya. Pasien berobat ke puskesmas nam
un keluhan tidak membaik. Pasien kemudian dirawat selama 8 hari di RSUD Han
dayani, pada hari ke 2 perawatan pasien menyatakan kedua kakinya mulai membe
ngkak, bengkak bersifat menetap tanpa disertai sensasi nyeri maupun kemerahan p
ada kulit. Pasien juga menyatakan terdapat keluhan batuk yang berlangsung terus
menerus dengan dahak yang sulit keluar, keluhan disertai dengan sesak nafas.. Ha
sil pemeriksaan laboratorium (18/10/2022) di RS Handayani menunjukkan Kimia
darah: kadar ureum 117 mg/dL, kreatinin 2.8 mg/dL dan Urinalisis : protein ++, E
ritrosit 15-18/lpb, sel epitel +, kristal amorf/lpb. Hasil pemeriksaan USG (17/10/2
022) di RS Handayani menunjukkan terdapat efusi pleura dekstra vol:147,8 cc sert
a gangguan peningkatan echogenitas parenkim ren bilateral dengan peviectasis ren
bilateral disertasi dengan asites. Pasien kemudian dirujuk ke RSAM untuk tatalaks
ana lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Tidak ada riwayat gangguan metabolik (DM, hiperurisemia, dislipidemia), hiperte


nsi, dan alergi.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Hipertensi (ibu), DM (nenek dari ibu), asma (ibu)

Riwayat Pribadi :

5
Pasien sering mengkonsumsi minuman kemasan. Frekuensi setiap hari, sebanyak
6-10 gelas per hari. Kebiasaan minum-minuman kemasan sudah sejak SD. Pasien
jarang minum air putih. Pasien makan 2 kali sehari Siang dan malam (makan deng
an nasi, sayur, dan lauk-pauk). Pasien merokok sejak kelas 1 SMP, frekuensi 2 bat
ang per hari. Jenis rokok tidak berfilter.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Riwayat kehamilan : Ibu pasien hamil pada usia 28 tahun. Selama hamil, ibu tida
k memeriksakan kehamilannya di fasilitas kesehatan. Ibu pasien tidak mengkonsu
msi obat tablet tambah darah. Ibu selama hamil tidak sakit/mual muntah berlebiha
n ataupun mengonsumsi obat-obatan tertentu. Ibu pasien tidak menerima imunasi
TT semasa hamil. Jarak kelahiran antara anak pertama dengan anak ketiga (pasie
n) adalah 10 tahun.

Riwayat persalinan : bayi lahir pada tanggal 10/05/2006 secara normal dengan di
dukun dengan BBL = 2500 gram dan PBL = tidak diketahui, jenis laki-laki, usia g
estasi 37 minggu. Keadaan umum kepala, kulit, THT, mulut, leher, dada, paru, jan
tung, dan abdomen seluruhnya baik dengan anus (+).

Kesan:

- Selama masa kehamilan ibu pasien tidak memmeriksakan kehamilannya di


fasiltitas kesehatan, tidak mengkonsumsi tablet tambah darah, serta tidak i
munisasi TT.
- Persalinan dibantu oleh dukun

Riwayat Makanan

6
0 - 6 bulan : ASI eksklusif

6 - 9 bulan : ASI, bubur instan

9 - 12 bulan : ASI, nasi tim

1 - 3 tahun :ASI (berhenti di 1.5 tahun), makanan keluarga 3 kali sehari, denga
n porsi setengah centong nasi disertai lauk seperti telur, tahu, tem
pe, ikan, ayam, daging, dan pasien juga suka mengkonsumsi sayu
r. Pasien selalu menghabiskan makanannya.

Kesan: Kuantitas dan kualitas makan cukup baik, makan sesuai dengan umur.

Riwayat Imunisasi

Usia 0 hari : Hep B 1 (-)


Usia 1 bulan: BCG dan hep B
Usia 2 bulan: DTP 1 dan polio 1
Usia 4 bulan: DTP 2 dan polio 2
Usia 6 bulan: DTP 3 dan polio 3
Usia 6 bulan: DTP 3 dan polio 3
Usia 9 bulan: Campak 1
Usia 18 bulan: DTP 4 dan polio 4
Usia 5 tahun: DTP 5 dan polio 5
Usia 6 tahun: Campak 2

Kesan: Imunisasi tidak lengkap

Riwayat Tumbuh Kembang


Usia 3 bulan: Menegakkan kepala
Usia 6 bulan: Berbalik dari telungkup ke telentang
Usia 7 bulan: Duduk, belajar berdiri, merangkak

7
Usia 12 bulan: Dapat berjalan dengan dituntun
Usia 18 bulan: Berdiri sendiri tanpa berpegangan
Usia 30 bulan: Berjalan tanpa terhuyung-huyung
Kesan: Perkembangan anak sesuai usia

8
PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan umum :Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)

Suhu : 36,5 oC

Tekanan Darah : 131/87 (P95-P99)

P S D
50 112 63
90 126 78
95 130 83
99 137 90

Frekuensi nadi : 84 x/menit

Frekuensi nafas : 20x/menit

Saturasi Oksigen : 99%

Lingkar lengan : 27,5 cm

Lingkar Kepala : 55 cm

Berat Badan : 70 kg

Tinggi Badan : 165 cm

IMT : 25,71 kg/m2


Status Antropometri

BB/U = 70/16= P75 = normal

TB/U = 165/16 = P10 = normal

IMT/U = 25,71/16= P90 = at risk of overweight

Head Circumference/U = 55/16= -2SD < LIKA < +2SD = normocephal

Arm Circumference /U = 27,5/16= P50 = average

Kesan: normocephal, at risk of overweight

Status Generalis (Mukosa Kulit)

Pucat : Tidak ada

Sianosis : Tidak ada

Ikterus : Tidak ada

Oedem : oedem pitting dorsopedis

Turgor : Baik (kembali dengan cepat)

Kepala

Rambut : Hitam, persebaran merata

Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), edem


a palpebra (-/-), secret (-/-), mata cekung (-/-), pupi
l isokor, relfeks cahaya (+/+)

Telinga : Hiperemis (-/-), serumen (-/-), discharge (-/-)

Hidung : Deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)

10
Mulut : Sianosis (-)

Leher

Bentuk : Normal

Trakea : Deviasi (-)

Tiroid :Tidak tampak pembesaran, tidak teraba pembesa


ran, nyeri tekan (-)

KGB : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)

Thoraks

Bentuk : Tidak deformitas

Retraksi suprasternal : Tidak ada

Retraksi substernal : Tidak ada

Retraksi intercostal : Tidak ada

Retraksi subcostal : Tidak ada

Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicula sini


stra 2 jari media.

Perkusi : Pembesaran jantung (-)

Auskultasi : BJ 1 dan 2 (+), murmur (-), gallop (-)

Paru-Paru

11
Inspeksi : Tampak simetris, retraksi (-), benjolan (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris kiri dan


kanan, massa (-)

Perkusi : Sonor (+/+)

Auskultasi : Bronkovesikular (-/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, lesi (-), benjolan (-)

Auskultasi : Bising usus terdengar 8x/menit

Perkusi : Timpani, shifting dullness (+), nyeri ketok ginjal


(-)

Palpasi : Nyeri tekan pada regio epigastrium, teraba lunak, h


epatomegali (-), splenomegali (-)

Anogenital :

Jenis Kelamin : Laki-laki, penis (+)

Anus : Ada (+)

Ekstermitas

Superior : Akral hangat, CRT <2 detik

Inferior : Akral hangat, CRT <2 detik

Status Neurologis
Motorik :

12
Kekuatan :

Tonus otot :

● Normotonus ekstremitas superior


● normotonus ekstremitas inferior

Klonus : Negatif
Atrofi : Negatif

Sensorik
Anastesi : (-)
Hipoestesi : (-)

Reflek Fisiologis
Refleks bisep : (+2/+2)
Refleks trisep : (+2/+2)

13
Refleks patella : (+2/+2)
Refleks achilles : (+2/+2)

Reflek Patologis
Refleks Babisnki : (-/-)
Refleks chaddcok : (-/-)
Refleks Oppenheim : (-/-)
Refleks Gordon : (-/-)
Refleks gonda : (-/-)
Refleks schaeffer : (-/-)

Meningeal sign
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Kernig sign : (-)

14
Kesan: normotonus ekstremitas superior dan inferior

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Urinalisis (RS. Handayani )

(14/10/2022)

Kimia Darah

Parameter Hasil Nilai Rujukan

ASTO +1 (200 IU/mL) negatif

15
Albumin 3,07 3,5-5,2mg/dL

Ureum 71 21-40 mg/dL

Kreatinin 2 0,7-1,1 mg/dL

Kolesterol 249 <200 mg/dL

Urine Rutin

Warna kuning tua kuning

Kejernihan keruh jernih

16
pH 6 6-8

Berat jenis 1.020 1.005-1030

Protein +++ negatif

Reduksi negatif negatif

Urobilinogen negatif negatif

Bilirubin negatif negatif

leukosit 1-2/LPB 1-2

17
eritrosit 5-8/LPB 0-1

sel epitel +

kristal amorf/LPK

keton negatif

Kesan : hipoalbumin, kreatinin meningkat, proteinuria, terdapat endapan sel epitel


dan amorf.

Pemeriksaan USG Ginjal (17/10/2022)

kesan :

1. efusi pleura dextra


2. gangguan peningkatan echogenitas parenkim ren bilateran dengan pelviect
asis ren bilateral disertasi ascites

Pemeriksaan Urinalisis (18/10/2022)

Urine Rutin

18
Warna kuning muda kuning

Kejernihan keruh jernih

pH 6 6-8

Berat jenis 1.025 1.005-1030

Protein +++ negatif

Reduksi negatif negatif

Urobilinogen negatif negatif

Bilirubin negatif negatif

leukosit 15-20/LPB 1-2

eritrosit 20-25/LPB 0-1

sel epitel +

kristal amorf +++, silinder hya


lin +, silinder granula +
/LPK

keton negatif
kesan : proteinuria, hematuria

Pemeriksaan Hematologi (18/10/2022) ) RS. Handayani

Kimia Darah

Parameter Hasil Nilai Rujukan

Kreatinin 2,8 0,7-1,1 mg/dL

Ureum 117 21-40 mg/dL

Darah Rutin

Hemoglobin 15,9 gr/dL 12,6-18,0

Leukosit 5.100 ul 3.800-10.600

19
Hematokrit 47 % 40-50

Eritrosit 5,5 juta 4,5-5,5

Trombosit 258.000 ul 150.000-400.000

MCV 85 77-93

MCH 29 27-32

MCHC 34 31-35
kesan : uremia, serum kreatinin meningkat

Pemeriksan Hematologi

Dilakukan pada 20/10/2022

Darah Lengkap

Parameter Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 15,7 g/dl 10,8 – 12,8

Hematokrit 45% 35- 43

Eritrosit 5,7 juta/µL 3,2 – 5,6

Leukosit 3.590 /µL (↓) 6.000 – 17.000

Trombosit 194.000/µL 229.000 – 553.000

MCV 80 fL 73– 101

MCH 28 pg 23 – 31

MCHC 35 g/dL 26 – 34

Hitung Jenis

Basofil 0% 0-1

Batang 0% 0-1

20
Segmen 36% 25-60

Eosinofil 2% (↑) 0-1

Limfosit 56% (↑) 25-50

Monosit 6% 1-6

LED 5 mm/jam 0-10

Serologi

CRP Kuantitatif +/6 mg/L <6

kimia

SGOT 19 U/L <29

SGPT 4 U/L <24

kolesterol total 561 mg/dL (↑) 113-197

HDL 49 mg/dL 30 – 63

LDL 368 mg/dL (↑) 62-130

Trigliserida 269 mg/dL (↑) 37-148

Ureum 64 mg/dL (↑) 18-45

creatinine 1,05 mg/dL <1,2

asam urat 8,2 mg/dL (↑) 2,1-7,6

Kesan: leukopenia, hiperkolesterolemia, hiperlipidemia, hiperurisemia, urem


ia

Pemeriksaan ASTO dan Kimia darah (21/10/2022)

21
Imunologi dan Serologi

Parameter Hasil Rujukan

ASTO Negatif Negatif

Kimia

Albumin 1,2 g/dL (↓) 3,5-5,2

Natrium 134 mmol/L 132-141

Kalium 2,9 mmol/L (↓) 3,5-4,6

22
Kalsium 6,8 mg/dL (↓) 8,4-10,2

Klorida 107 mmol/L 97/107

kesan : hipoalbuminemia, hipokalemi. hipokalsemi

Pemeriksaan Rontgen Thorax (22/10/2022)

kesan :
1. Efusi pleura di hemithoraks lateral atas-bawah kiri
2. Pebercakan di perihiler bilateral
3. Tidak tampak kardiomegali

kesimpulan : efusi pleura.

DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja

- Sindrom Nefrotik

- Efusi Pleura

Diagnosis Banding

1. GNAPS

2. AKI

Daftar Masalah

23
- Sindrom Nefrotik

- Efusi Pleura

- Hipertensi

- Gangguan Elektrolit

PENATALAKSANAAN

A. Medikamentosa

1. Prednison 6-5-5

2. IV Furosemid 2x20 mg (10 mg/kgBB dibagi 2 dosis)

3. Captopril 3x12,5 mg

4. Ambroxol 3x1

5. Paracetamol 3x1 prn

6. Allopurinol 2x100 mg

B. Non-medikamentosa

Memberikan penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien mengenai pe

nyakit yang dialami pasien, faktor resiko yang dapat menyebabkan penya

kit pasien serta memberikan informasi mengenai penatalaksanaan pada pa

sien.

PROGNOSIS

- Quo Ad Vitam : dubia ad bonam

- Quo Ad Fungsional : dubia ad bonam

- Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam

24
FOLLOW UP

21/10/2022

S/ Nyeri perut masih ada, tampak ses Ekstremitas: akral hangat, CRT <2, edema
ak, perut tampak cembung, kaki beng tungkai (+/+)
kak, BAK BAB tidak ada keluhan
Hasil Lab (21/1022)
O/
- ASTO: Negatif
T : 36,8C - Albumin: 1.2 g/dl (menurun)
- Natrium: 134 mmol/L (normal)
RR : 24x/menit
- Kalium: 2,9 mmol/L (menurun)
HR : 86x/menit - Kalsium: 6,8 mg/dL (menurun)

SpO2: 99% - Klorida: 107 mmol/L (normal)

TD: A/ - Sindrom nefrotik

- Hipertensi grade II
- Hiponatremia
S D - Hipokalemia

P/

-Prednisolon 6-5-5

141/91 129/76 -Furosemide 2x40mg IV

-9 jam pertama Ca Glukonas 26 mg/kgbb


+ D5% 130 cc = 52 tpm

-6 jam kedua Ca Glukonas + D5% 312 cc


145/72 119/78
= 22 tpm

-KSR 3 x 2 tab po

-Calsium 3x1 tab po


Mata: Edem palpebra (-/-), Sklera ikt
erik (-/-), Konjungtiva anemis (-/-)

Thoraks: Fremitus taktil teraba sama


kiri dan kanan, vesikuler menurun di
basal paru, Bunyi jantung 1, 2 (+), R
onkhi (+/+), wheezing (-/-)

Abdomen: Cembung, shifting dullne


ss (+), Nyeri tekan pada regio epigast
rium, teraba lunak, hepatomegali (-),
splenomegali (-)

(22/10/2022)

S/ Nyeri perut, mual, batuk berdahak, Abdomen: Cembung, shifting dullness


perut tampak cembung, bengkak pada (-), Nyeri tekan pada regio epigastrium
kaki berkurang, BAK BAB tidak ada k dan umbilikal, teraba lunak, hepatome
eluhan gali (-), splenomegali (-)

O/ Ekstremitas: akral hangat, CRT <2, ed


ema tungkai (-/-)
T : 37,1C
A/ - Sindrom nefrotik
RR : 22x/menit
- Hipertensi grade II
HR : 107x/menit
- Hiponatremia
SpO2: 99% - Hipokalemia

TD: P/

S D - Ceftriaxon 2x1 gr IV

141/91 139/76 - Furosemid 2x20 gr IV

26
-Captopril 3x12,5 gram PO
145/72 139/78
-Paracetamol 3x1 (prn demam)

Mata: Edem palpebra (-/-), Sklera ikter - Ambroksol 3x1 tab PO


ik (-/-), Konjungtiva anemis (-/-)
- Allopurinol 3x100 mg
Thoraks: Fremitus taktil teraba sama ki
ri dan kanan, vesikuler menurun di bas
al paru, Bunyi jantung 1, 2 (+), Ronkhi
(-/-), wheezing (-/-)

23/10/22

S/ Nyeri perut masih dirasakan, keluh Thoraks: Fremitus taktil teraba sama kiri
an mual dan batuk (-), sesak nafas (-), dan kanan, vesikuler menurun di basal par
BAK BAB tidak ada keluhan u, Bunyi jantung 1, 2 (+), Ronkhi (-/-), wh
eezing (-/-)
O/
Abdomen: Cembung, shifting dullness (-),
T : 36,4C
Nyeri tekan pada regio epigastrium dan u
RR : 20x/menit mbilikal, teraba lunak, hepatomegali (-), s

HR : 107x/menit plenomegali (-)

SpO2: 99% Ekstremitas: akral hangat, CRT <2, edema


tungkai (-/-)
TD:
A/ - Sindrom nefrotik
S D
- Hipertensi grade II

27
- Hiponatremia
140/89 138/76
- Hipokalemia
142/70 140/78

Mata: Edem palpebra (-/-), Sklera ikte


rik (-/-), Konjungtiva anemis (-/-)

28
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Nefrotik

Sindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai

dengan hilangnya protein urine secara masif (albuminuria), diikuti dengan hip

oproteinemia, hipoalbumin dan mengakibatkan edema. Berkaitan dengan tim

bulnya hiperlipidemia, hiperkolesterolemia dan lipiduria (Travis, 2012). Ede

ma merupakan keluhan pertama (utama), tidak jarang merupakan satu-satuny

a keluhan dari pasien dengan SN. Lokasi edema pada daerah kelopak mata, d

ada, perut, tungkai, dan genitalia (Gupta et al., 2009). Episode pertama penya

kit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital dan oligur

ia (Olonan, Pangilinan, and Yacto, 2009). Edema kadang-kadang mencapai 4

0% dari berat badan dan didapatkan anasarka. Penderita sangat rentan terhada

p infeksi sekunder. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria, az

otemia dan hipertensi ringan (Bagga and Mantan, 2005) .

Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis y

ang di tandai dengan edema anasarka, proteinuria masif >3,5 g/hari, hipoalbu

minemia <3,5 g/dl, hiperkolesterol dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ri

29
ngan untuk menegakan diagnosis tidak perlu semua gejala ditemukan. Protein

uria masif merupakan tanda khas SN, akan tetapi pada SN berat yang disertai

kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang (Kh

arisma, 2017).

2.2 Epidemiologi

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling

sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Seri

kat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prev

alensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insiden

snya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak

berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1

(IDAI, 2012).

Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih be

rat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang diser

tai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai

sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovol

emia. Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in Chil

dren), pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% deng

an hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan penin

gkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara (IDAI, 2012).

30
2.3 Etiologi

Sindrom nefrotik terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus

sehingga mengakibatkan keluarnya protein melalui urine dalam jumlah yang

banyak . Terdapat tiga penyebab SN (UKK Nefrologi IDAI, 2017):

1. Sindrom nefrotik primer atau idiopatik (SNI) yang dihubungkan dengan pe

nyakit glomerulus intrinsik pada ginjal dan tidak terkait dengan penyebab

di luar ginjal.

2. Sindrom nefrotik sekunder dihubungkan oleh penyebab yang berada diluar

ginjal, akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat, efek obat dan toks

in, dan akibat penyakit sistemik. Penyebab sindrom nefrotik sekunder yan

g paling sering adalah (1) penyakit autoimun dan vasculitis seperti purpura

Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sistemik, serta vasculitis lain ya

ng dihubungkan dengan antineutrophil cytoplasmic antibody (ANCA); (2)

penyakit infeksi seperti human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis B

dan C sifilis kongenital, dan malaria.

3. Sindrom nefrotik kongenital, yang muncul sebelum usia 3 bulan disebabka

n oleh kelainan genetik yang umumnya diturunkan secara autosomal resesi

31
f. SNI merupakan penyabab sindrom nefrotik utama pada anak, dan juga te

tap merupakan penyebab utama yang ditemukan pada semua usia.

32
2.4 Faktor Resiko

1. Usia

Sindrom nefrotik paling banyak ditemukan pada anak-anak. Hal ini dihubu

ngkan karena adanya gangguan dari fungsi sel T yang melepaskan sitokin

yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus. Sel T ters

ebut diproduksi di thimus yang sangat aktif pada masa kanak-kanak (Albar

Bilondatu, and Daud, 2018).

2. Jenis Kelamin

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sindrom nefrotik lebih cenderung

terkena pada anak jenis kelamin laki-laki daripada perempuan dengan perb

andingan 2:14 (IDAI 2012). Hingga saat ini belum ada penjelasan yang me

muaskan mengenai mekanisme jenis kelamin sebagai salah satu faktor risi

ko terjadinya sindrom nefrotik. Jika insidens sindrom nefrotik dihubungka

n dengan letak klon sel T abnormal, dan karena gangguan timus lebih serin

g terjadi pada anak laki-laki, maka hal ini dapat menjelaskan mengapa sind

rom nefrotik lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Teori lain menyebut

kan bahwa sindrom nefrotik diduga saling mempengaruhi melalui kompon

en humoral dan gen glomerular (Albar, Bilondatu, Daud and 2018) .

Data ISKDC menunjukkan bahwa 66% pasien dengan gambaran histopato

logi MCNS atau FSGS adalah laki-laki, sedangkan 65% gambaran histopat

ologi MPGN adalah perempuan.

33
3. Alergi

Berbagai penelitian mendukung hipotesis bahwa SNI merupakan penyakit

yang bergantung pada Th-2. Asma, rhinitis alergi, dan ekzem adalah penya

kit alergi yang dikaitkan dengan respob imunologis Th-2. Di sisi lain, terli

hat peningkatan IgE serum pada penderita SNI yang juga merupakan ciri r

espon Th-2 (UKK Nefrologi IDAI, 2017).

4. Infeksi

Penyakit infeksi seperti human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis B

dan C sifilis kongenital, dan malaria (UKK Nefrologi IDAI, 2017).

5. Genetik

Faktor genetik seperti mutasi kromosom 19 dan HLA antigen: HLA DR7

(Rauf, 2018).

2.5 Patofisiologi

1. Proteinuria

Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow. Kehilan

gan protein pada sindrom nefrotik termasuk dalam proteinuria glomerular.

Proteinuria pada penyakit glomerular disebabkan oleh meningkatnya filtra

si makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini sering diaki

batkan oleh kelainan pada podosit glomerular. Dalam keadaan normal me

34
mbran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mence

gah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukura

n molekul dan yang kedua berdasarkan muatan listriknya (Charles, 2009).

Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme tersebut terganggu. Proteinuria di

bedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul pro

tein yang keluar melalui urin. Protein selktif apabila protein yang keluar te

rdiri dari molekul kecil mialnya albumin, sedangkan yang non-selektif apa

bila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin

(Kodner, 2016).

2. Hipoalbuminemia

Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130- 2

00 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabo

lisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10

% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin y

ang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merup

akan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan pe

ningkatan katabolisme albumin. (Kharisma, 2017) Hilangnya albumin mel

alui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian hipoalbumin

emia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya pen

yebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat men

35
ingkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi h

ilangnya albumin melalui urin. (UKK Nefrologi IDAI, 2014)

3. Edema

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada s

indrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembe

ntukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menu

runnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes

ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus

menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbumi

nemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin

adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia i

ni menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Se

bagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intra

vaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema. (Kharisma, 2017).

Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak

bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intraren

al primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume pl

asma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisia

l menyebabkan terbentuknya edema.

4. Hiperkolesterolemia

36
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum

meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelas

an antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sint

esis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabo

lisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase p

lasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Beberapa

peningkatan serum lipoprotein yang di filtrasi di glomerulus akan mencetu

skan terjadinya lipiduria sehingga adanya temuan khas oval fat bodies dan

fatty cast pada sedimen urin. (Kulsrestha, 2009).

2.6 Batasan

a. Remisi

Proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4mg/m LPB/jam) 3 hari bertur

u-turut dalam 1 minggu

37
b. Relaps

proteinuria >2+ (proteinuria >40mg/m LPB/jam) 3 hari berturut-turut dala

m 1 minggu

c. Relaps jarang

relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kur

ang dari 4 x per tahun pengamatan

d. Relaps sering

relaps > 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau > 4 x dalam

periode 1 tahun

38
e. Dependen steroid

relaps 2 x berutan pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari set

elah pengobatan dihentikan

f. Resisten steroid

tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison penuh 2 mg/kgbb/hari sela

ma 4 minggu

g. Sensitif steroid

remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penih selama 4 minggu (ID

AI, 2012)

39
2.7 Manifestasi Klinis

Sindrom nefrotik (SN) merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan geja

la (IDAI, 2012):

a. Proteinuria masif (>40mg/m2/LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio pr

otein/kreatinin pada urin dewasa sewaktu >2mg/mg atau dipstik > 2+

b. Hipoalbuminemia <2,5g/dL

c. Edema

d. Dapat disertai hiperkolesterolemia >200mg/dL

40
2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan (IDAI, 2012):

a. Urinalisis, dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepa

da infeksi saluran kemih

b. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio pro

tein/kreatinin pada urin pertama pagi hari

c. Pemeriksaan darah

1. Darah tepi lengkap: hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, tro

mbosit, hematokrit, LED)

2. Albumin dan kolesterol serum

3. Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau den

gan rumus Schwartz

41
4. Kadar komplemen C3, bila dicurigai lupus ertematosus sistemik pe

meriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear an

tibody), dan anti ds-DNA

2.9 Tatalaksana

Anak dengan manifestasi klinis sindrom nefrotik, sebaiknya di rawat dengan

dengan tujuan mempercepat pemeriksaan dan evaluasi diit, penanggulangan

edema, memulai pengobatan steroid dan edukasi orangtua.

sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan b

erikut (IDAI, 2012):

a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan

b. Pengukuran tekanan darah

c. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, se

perti lupus eritematosus sistemik, pupura hencoch-schonlein

d. Mencari fokus infeksi di gigi geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap

infeksi perlu di eradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai

42
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH

selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberik

an obat antituberkulosis (OAT)

Diitetik

Diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily all

owances) yaitu 1,5-2g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2/hari) hanya diperl

ukan selama anak menderita edema (IDAI, 2012).

Diuretik

43
Gambar 1. Algoritma pemberian diuretik

Pengobatan dengan kortikosteroid (IDAI, 2012):

a. Terapi inisial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik tanpa kontraindikasi s

teroid diberikan prednison 60 mg/m LPB/hari atau 2mg/kgbb/hari (mak

simal 80mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Predn

ison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. bila terjadi remisi d

slam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan do

sis 40mg/m LPB (⅔ dosis awal) atau 1,5mg/kgbb/hari, 1 x sehari setela

h makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, ti

dak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid

b. Pengobatan SN Relaps

Pengobatan relaps diberikan dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 mi

nggu) dilanjutkan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien yang

mengalami proteinuria kembali disertai edema maka diagnosis relaps da

pat ditegakkan dan mulai diberikan prednison

44
c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

Gambar 2. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

d. Pengobatan SN dengan kontraindikasi steroid

Bila didapatkan gejala yang merupakan kontraindikasi steroid seperti pen

ingkatan ureum atau kreatinin, infeksi berat maka dapat diberikan sitostat

ik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan dengan do

sis 2-3mg.kgbb/hari

45
e. Pengobatan SN Resisten Steroid

Gambar 3. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid

Pemberian obat non-imunosupresif untuk mengurangi proteinuria

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensis receptor blocker

(ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua o

bat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidr

ostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus

Hipertensi

46
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit

SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE

(angostensin coverting enzyme)

2.10 Komplikasi

Tatalaksana komplikasi sindrom nefrotik (IDAI, 2012)

1. Infeksi

Adanya teori mengenai peran imunologi pada sindrom nefrotik yang meny

ebutkan bahwa terjadi penurunan sistem imun pada pasien dengan sindrom

nefrotik sehingga menyebabkan pasien SN mempunyai kerentanan terhada

p infeksi. Apabila telah terbukti adanya komplikasi berupa infeksi perlu di

berikan antibiotik. Pada pasien SN Infeksi yang sering terjadi adalah seluli

tis dan peritonitis primer. Penyebab tersering peritonitis primer adalah ku

man gram negatif dan Streptococcus pneumoniae. Untuk pengobatannya d

iberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin

generasi ketiga (sefotaksim atau seftriakson) selama 10-14 hari. Pneumoni

a dan infeksi saluran napas atas karena virus juga merupakan manifestasi y

ang sering terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik.

2. Trombosis

47
Terdapat suatu penelitian prospektif dengan hasil 15% pasien SN relaps ter

dapat defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terd

apat trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Pemeriksaan fis

ik dan radiologis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis trombosis.

Apabila telah ada diagnosis trombosis, perlu diberikan heparin secara subk

utan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Saat ini tidak

dianjurkan pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis ren

dah.

3. Hiperlipidemia

Kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein meningkat pada sindrom

nefrotik relaps atau resisten steroid, tetapi kadar HDL menurun atau norma

l. Kadar kolesterol yang meningkat tersebut mempunya sifat aterogenik da

n trombogenik. Hal ini dapat meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan

progresivitas glomerulosklerosis. Untuk itu perlu dilakukan diet rendah le

mak jenuh dan mempertahankan berat badan normal. Pemberian obat penu

run lipid seperti HmgCoA reductase inhibitor (contohnya statin) dapat dip

ertimbangkan. Peningkatan kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotei

n pada sindrom nefrotik sensitif steroid bersifat sementara sehingga penata

laksanaannya cukup dengan mengurangi diet lemak.

4. Hipokalsemia

48
Hipokalsemia pada sindrom nefrotik dapat terjadi karena penggunaan stero

id jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia, dan ke

bocoran metabolit vitamin D. Untuk menjaga keseimbangan jumlah kalsiu

m maka pada pasien SN dengan terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bu

lan) sebaiknya diberikan suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitam

in D (125- 250 IU). Apabila telah ada tetani perlu diberikan kalsium gluko

nas 10% sebanyak 0,5 ml/kgBB intravena.

5. Hipovolemia

Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang berlebihan atau

pasien dengan keadaan SN relaps. Gejala-gejalanya antara lain hipotensi, t

akikardia, ekstremitas dingin, dan sering juga disertai sakit perut. Penanga

nannya pasien diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 m

L/kgBB dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau pl

asma 20 mL/kgBB (tetesan lambat 10 tetes per menit). Pada kasus hipovol

emia yang telah teratasi tetapi pasien tetap oliguria, perlu diberikan furose

mid 1-2 mg/kgBB intravena.

6. Hipertensi

Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan pe

nyakit SN akibat dari toksisitas steroid. Untuk pengobatanya diawali deng

an ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor, ARB (angiotensin rece

49
ptor blocker), calcium chanel blockers, atau antagonis β adrenergik, hingg

a tekanan darah di bawah persentil 90.

7. Efek samping steroid

Terdapat banyak efek samping yang timbul pada pemberian steroid jangka

lama, antara lain peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perub

ahan perilaku, peningkatan resiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi,

dan demineralisasi tulang. Pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid,

pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setia

p 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali pada p

asien SN.

2.12 Prognosis

Prognosis sangat baik untuk pasien dengan perubahan patologi yang mini

mal, dengan sebagian besar pasien mengalami remisi setelah pengobatan k

ortikosteroid. Namun 85-90% pasien responsif terhadap steroid dapat kam

buh.

Untuk pasien dengan glomerulosklerosis segmen fokal (FSGS), prognosisn

ya buruk. umumnya berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir ya

ng membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal (Tapia C, 2021).

50
51
BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang anak bernama An. G berusia 16 tahun 5 bulan telah dirawat di RSUD Dr.

H. Abdul Moeloek sejak tanggal 20 Oktober 2022 dengan diagnosis sindrom nefr

otik, hiponatremi, hipokalemi, hipertensi grade II, dan efusi pleura. Berdasarkan a

namnesis yang dilakukan terhadap pasien, didapatkan bahwa pasien mengeluhkan

nyeri perut hilang timbul, menjalar hingga ke tengah perut dan nyerinya bertamba

h berat 10 hari SMRS. Keluhan tersebut berkaitan dengan kadar kreatinin yang m

eningkat dan uremia pada pasien. Kadar ureum akan meningkat jika terjadi kerus

akan fungsi filtrasi, sehingga ureum akan berakumulasi dalam darah. Ureum yang

seharusnya dikeluarkan melalui urin, menjadi terganggu akibat laju filtrasi glomer

ulus yang tidak adekuat. Keadaan ini menyebabkan kerusakan pada berbagai orga

n, salah satunya adalah gaastrointestinal yaitu gastropati uremikum sehingga meni

mbulkan nyeri perut pada pasien. Pasien berjenis kelamin laki-laki dimana hal ini

sejalan dengan (IDAI, 2012) dimana perrbandingan penderita SN anak laki-laki d

an perempuan 2:1 (IDAI, 2012). Berdasarkan IDAI (2012), Sindrom nefrotik (SN)

pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering ditemukan. Pasien

BAK 500cc dalam 1 hari yang mengindikasikan diuresisnya <0,5ml/kgBB/jam (0,

3 ml/kgBB/jam). Edema merupakan gejala klinis yang dapat mengindikasikan ad

anya overload cairan ataupun penurunan kadar albumin. pada awal fase edema, di

52
muai dari daerah yang memiliki resistensi jaringan dan rendah seperti preorbita, s

krotum atau labia sampai menjadi menyeluruh (anasarka). Edem akan berpindah d

engan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab di muka pada pagi hari da

n menjadi bengkak ekstremitas pada siang hari. Komplikasi yang lebih berat akiba

t overload cairan pada pasien adalah efusi pleura yaitu ditandai dengan batuk, sesa

k napas, dan gambaran rontgen thorax pada pasien. Adanya edema disebabkan ole

h menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes

ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menye

babkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebag

aimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penent

u tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onk

otik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat me

lewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timb

ul edema. (Kharisma, 2017)

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala seperti

Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kre

atinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+), Hipoalbuminemia < 2,5 g/

dL, dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL dan edema (IDAI, 2012). Pad

a pasien, ditemukan kadar proteinuria dipstick 3+, hipoalbuminemia, dan hiperkol

esterolemia. Pada pemeriksaan ASTO didapatkan hasil negatif, maka diagnosis ba

nding glomerulonefritis akut pasca streptokokus dapat disingkirkan.

53
Pada pasien ini memiliki faktor resiko untuk terjadi penyakit pada ginjal dikarena

kan pasien sering mengkonsumsi minuman kemasan. Frekuensi setiap hari, seban

yak 6-10 gelas per hari. Kebiasaan minum-minuman kemasan sudah sejak SD dan

pasien jarang minum air putih. Pada pemeriksaan lab urinalisis dan pemeriksaan d

arah lengkap pasien ditemukan bahwa pada pemeriksaan urinalisis memiliki kesan

: hipoalbumin, kreatinin meningkat, proteinuria, terdapat endapan sel epitel dan a

morf. Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada

kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan sat

u-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dap

at meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hi

langnya albumin melalui urin. Pada pemeriksaan darah lengkap kesan: leukopenia,

hiperkolesterolemia, hiperlipidemia, hiperurisemia, uremia.

GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang pada usi

a di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi salura

n pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 m

inggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di Indonesi

a menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan

melalui kulit sebesar 31,6%. Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk a

simtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada b

entuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui

bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai

riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik. (IDAI, 2012)

54
Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik atau tipikal diaw

ali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu mendah

ului timbulnya sembab. Periode laten ratarata 10 atau 21 hari setelah infeksi tengg

orok atau kulit. Hematuria dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikrosko

pik. Gross hematuria terjadi pada 30-50 % pasien yang dirawat. Variasi lain yang

tidak spesifik bisa dijumpai seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun,

nyeri kepala, atau lesu. Pada pemeriksaan fisiK dijumpai hipertensi pada hampir s

emua pasien GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat

mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lah

an dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem pretibial ata

u berupa gambaran sindrom nefrotik. Asites dijumpai pada sekitar 35% pasien den

gan edem. Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan takipne dan dispne.

Gejala gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria karena penurunan laju

filtrasi glomerulus (LFG). (Sari Pediatri, 2003)

Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi ginjal

yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas

dasar adanya kreatinin serum yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN) dan

urine output yang menurun, meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat bahwa

perubahan BUN dan serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya cedera ginjal,

tetapi juga respon normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler atau

penurunan aliran darah ginjal. 3,7 Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah

satu dari kriteria berikut terpenuhi seperti Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3

55
mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam waktu 48 jam atau, Serum kreatinin meningkat ≥

1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui atau dianggap telah terjadi dalam

waktu satu minggu atau Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut.

(Bagus, 2017).

Tatalaksana terapi medikamentosa steroid pada pasien ini menggunakan predniso

n. Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik tanpa kontraindikasi steroid s

esuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau

2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi re

misi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terha

dap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 mi

nggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu k

edua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara

alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu p

engobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resi

sten steroid (IDAI, 2012)

Pasien dengan nefrosis resisten terhadap diuretik, bahkan jika filtrasi glomerulus t

ingkat normal. Loop diuretik bekerja pada ginjal tubulus dan harus terikat protein

agar efektif. Protein serum yang berkuran pada sindrom nefrotik akan membatasi

efektivitas loop diuretik, dan pasien mungkin 11 memerlukan lebih tinggi dari dos

is normal. Mekanisme lain untuk resistensi diuretik juga dimungkinkan terjadi, di

uretik loop oral dengan administrasi dua kali sehari biasanya lebih disukai karena

56
mekanisme aksinya memiliki durasi yang lebih lama. Namun, pada sindrom nefrot

ik dan edema yang parah, penyerapan diuretik gastrointestinal mungkin tidak pasti

karena dinding usus edema, dan diuretik intravena mungkin diperlukan. Diuresis h

arus relatif bertahap dan dipandu oleh penilaian berat badan harian, dengan target

1 hingga 2 kg per hari. Furosemide (Lasix) pada 40 mg per oral dua kali setiap har

i atau bumetanide 1 mg dua kali sehari merupakan dosis awal yang masuk akal, de

ngan perkiraan menggandakan dosis setiap satu hingga tiga hari jika ada peningka

tan yang tidak memadai pada edema atau bukti lain adanya kelebihan cairan. Bata

s atas perkiraan untuk furosemide adalah 240 mg per dosis atau total 600 mg per h

ari, tetapi tidak ada bukti atau alasan yang jelas untuk batas ini. Jika masih ada ke

kurangan respon klinis, pasien dapat dirawat dengan mengubah ke diuretik loop in

travena, menambahkan diuretik tiazid oral, atau memberikan bolus intravena 20%

albumin manusia sebelum bolus diuretik intravena. (Kahrisma, 2017)

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor menunjukkan dapat menurunkan

proteinuria dengan menurunkan tekanan darah, mengurangi tekanan intraglomerul

ar dan aksi langsung di podosit, dan mengurangi risiko progresifitas dari ganggua

n ginjal pada pasien sindrom nefrotik sekunder (Gusti, 2019). Pada pasien ini dibe

rikan captopril dengan dosis 3x12,5 mg. Beberapa studi menyatakan bahwa terdap

at peningkatan risiko atherogenesis atau miokard infark pada pasien dengan sindro

m nefrotik yang berkaitan dengan peningkatan level lipid. Sehingga disarankan un

tuk pemberian hipolipidemic agents pada pasien sindrom nefrotik. (Charles, 2009)

57
Kesan imunisasi pada pasien adalah imunisasi dasar dan lanjutan belum lengkap d

ikarenakan pasien tidak melakukan imunisasi Hepatitis B pada saat baru lahir; imu

nisasi BCG dan Hep B pada usia 1 bulan; imunisasi DPT 1 dan Polio 1 pada usia

2 bulan; imunisasi DPT 2 dan Polio 2 pada usia 4 bulan, imunisasi DPT 3 dan Poli

o 3 pada usia 6 bulan, imunisasi campak pada usia 9 bulan, DPT4 dan Polio 4 pad

a usia 18 bulan, DPT 5 dan Polio 5 pada usia 5 tahun dan Campak 2 pada usia 6 ta

hun.

Pada pasien ini memiliki prognosis dubia ad bonam pada quo ad vitam, quo ad fu

ngsional, dan quo ad sanationam karena pasien masih dapat melakukan proses keh

idupan seperti semestinya, bisa berfungsi dengan baik lagi untuk organ tubuh pasi

en dan bisa beraktivitas kembali normal lagi. Walaupun beberapa pasien sindrom

nefrotik (SN) membaik dengan terapi suportif dan tanpa terapi spesifik, namun be

berapa pasien lainnya memburuk meskipun dengan terapi agresif bahkan sampai

memerlukan dialisis. Idiopathic membranous nephropathy merupakan salah satu b

entuk SN paling umum pada dewasa dengan prognosis baik. Prognosis pada peny

akit ini mengikuti aturan “rule of thirds”, yakni 1/3 pasien tergolong jinak dengan

tingkat remisi tinggi, 1/3 pasien mengalami proteinuria atau edema tetapi fungsi gi

njal normal, serta < 1/3 pasien menjadi penyakit ginjal stadium akhir dalam waktu

10 tahun. Pada minimal change nephropathy, sebagian besar pasien mengalami re

misi setelah menjalani pengobatan kortikosteroid. Sekitar 85-90% pasien responsi

f terhadap steroid (Gusti, 2019).

58
59
DAFTAR PUSTAKA

Albar H, Bilondatu F, Daud D. . 2018. Risk Factor for Relapse in Pediatric Nephr
otic Syndrome. Paediatrica Indosiana. 5: 238-240.

Bagga A, Mantan M. 2005. Nephrotic syndrome in children. Indian J medical rese


arch. 122: 13-28.

Gupta SK, Selvan VK, Agrawal, Saxena R. 2009. Advances in pharmacological st


rategies for the prevention of cataract development. Indian Journal of Ophtal
mology. 57: 175-83.

IDAI. 2012. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Edisi
Ke-2. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indones
ia.

Kharisma, Y. 2017. Tinjauan Umum Sindrom Nefrotik. Bandung: Universitas Isla


m Bandung.

Olonan LR, Pangilinan CA, Yacto M. 2009. Steroid-induced cataract and glaucom
a in pediatric patients with nephritic syndrome. Philippine Journal of Ophtal
mology. 34(2):59-62.

Rauf S. 2018. Bahan Ajar Nefrologi Anak. Bika FK Unhas.

Travis L. 2012. Nephrotic syndrome. Emed Journal.

UKK Nefrologi IDAI. 2017. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi Ke-3. Jakarta: Bad
an Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

60
LAMPIRAN

61
Grafik 1. TB/U dan BB/U

62
Grafik 2. IMT/U

63
Grafik 3. LK/U

64
Grafik 4. LILA/U

65
Grafik 5. Rontgen Thoraks

66
Gambar 6. USG Abdomen

67

Anda mungkin juga menyukai