Anda di halaman 1dari 5

Cerpen 

Eko Triono

Sebelum kau bertanya, ”Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?” hujan lebih
dahulu berwarna tembaga.

Merkuri yang tinggi, tegak dan melengkung; berbaris menundukkan kepala di sisi
jalan provinsi J, dan kita mengira mereka sedang sibuk, atau mungkin berkabung,
pada lalu lintas yang senantiasa bergegas, seperti saat, seperti waktu (yang kerap
terlepas dan bersambung). Penerangan dalam bus dimatikan, sejak beberapa jam
yang lalu.

Penumpang yang lain sepenuhnya mengantuk; nyaris terlelap, punah dari jaga seolah
mereka akan tinggal di bus ini untuk selama-lamanya. Lelehan hujan yang mengalir
pada jendela kaca jatuh lebih nyata dari yang semestinya. Dan, entah mengapa, tiba-
tiba kita saling bertanya: benarkah di suatu kota, hujan dan gerimis dapat berubah
menjadi logam? Dan hari akan bercadar, dan, kita benar akan sampai?*

Kau senyum tipis: jadi logam mulia, atau, logam hina?

Video Rekomendasi

Aku mengangkat bahu.

Itu bukan soal.

Kita saling meletakkan pandangan di dalam perasaan masing-masing.

Dan di luar, cuaca saat ini adalah kabut dalam lanskap gelap rawa-rawa pantai. Ada
pula nuansa kota-kota yang kita lintasi; lapak-lapak tenda dengan lampu neon 15
watt, tempat isi ulang pulsa, ATM, penjual buah, rumah-rumah dengan beranda,
restoran, apotek 24 jam, gambar-gambar kangen di bak truk, pasangan yang saling
berbonceng dengan lambat, dan itu, sepotong bulan biskuit yang selalu terlambat 4
menit; bergelantung pada kemiringan 300 di arah Timur.

Dan kau mulai bercerita soal bulan. (Cerita yang tidak kusukai karena alasan
pribadi).

Bahwasanya, pada suatu malam yang ceria, hari Sabtu, kalian pernah duduk-duduk di
halaman rumah kontrakan. Zafin, putra kecil kalian, begitu menggemaskan. (Aku
membayangkan bentuk muka, pakaian, dan gaya sisiran rambutnya). Dan, katamu
kemudian, sepotong bulan biskuit, muncul dari semak-semak nyiur, dari arah sungai
yang tersembunyi arusnya.

Zafin terpesona melihatnya. Ia kemudian bilang:


"Mama, mengapa malam-malam begini ada matahari?"

"Itu bukan matahari, sayang," katamu (disertai senyum ingatan geli), "itu bulan."

Dan kamu tahu? Zafin memandang penuh takjub, tak henti-henti, hingga seluruh
sinar bulan itu menggenang di air mukanya. Dan tak kusangka memang, ternyata, ia
baru pertama kali lihat yang namanya bulan. Ia pun bertanya lagi, ’Itu bulan siapa,
Ma?’ Kami sempat bingung. Kujawab saja, itu bulan kepunyaan Tuhan, sayang. Dan
ia malah lanjut bertanya, ’Tuhan? Siapa dia? Kakek-kakek nelayan ya? Mengapa dia
menaruh bulannya di sana? Rumahnya di seberang sungai ya, Ma? Kita main ke sana
yuk! Kita pinjam bulannya, buat dipasang di kamar Zafin.’ Kami terdiam. Antara lucu
dan tak mengerti isi pikiran Zafin. Untung ada penjual molen lewat. Zafin suka molen
pisang. Dan pertanyaan tadi, ia abaikan dalam seketika.

Aku minta ijin padamu untuk merasa gembira, tepuk tangan, dan berkata, bahwa
barangkali, putramu itu akan menjadi seorang filsuf, atau, penyair.

(Meski sebenarnya aku muak dengan kebahagiaan kalian, dan, benci mengatakan
pujian palsu).

Kusebut-sebut perihal mukjizat yang seringkali terabaikan, teralihkan oleh dorongan


menjadi ideal yang lain. Kau menanggapi dengan baik. Malahan, kau menyinggung-
nyinggung tentang seorang penyair, yang karena patah hati, lalu memilih jadi relawan
di daerah konflik. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Di sana, kata
dia, hujan malah berubah jadi peluru. Tajam dan seringkali berdarah. Kelaparan,
pengungsi, kemah-kemah penuh penyakit, mi instan, dan seterusnya.

Dia masih muda, tapi sayang, cinta yang gagal membuatnya lebih menderita 10
tahun dari usia kebahagiaan yang seharusnya dia miliki. Hari-harinya adalah menulis
laporan pembantaian, tinggal di antara orang-orang yang tak lagi paham apa arti
merdeka dan tanah air, menghibur seorang ibu yang anaknya ditembus peluru,
bernyanyi bagi anak-anak yang kehilangan ayahnya, meneplok nyamuk yang begitu
banyak di malam gelap musim hujan, dan seterusnya.

Aku buru-buru menambahkan, ”Dan dia selalu merindukan cintanya yang hilang,
menulis sajak yang dirahasiakan, dan, menyusun surat cinta yang tak pernah
dikirimkan.”

Kau senyum meledek:

”Lalu dia mencoba pulang, entah untuk alasan apa.”

(Kau ini, memang paling bisa).

Dia pulang untuk sesuatu yang masih dirahasiakan, kataku.


Kemudian, dia bertemu dengan cintanya yang membuat menderita itu, yang telah
memiliki anak dan rajin bercerita tentang anaknya. Mulai dari ketika dia belajar
memanggil ayahnya dengan cadel, sampai soal menyebut bulan sebagai matahari
yang datang di malam hari, dan, ingin memindahkannya ke kamar—tentu dengan
kemiringan yang sama, 300 dari arah Timur. Mereka berusaha bercakap-cakap
seolah tak pernah ada apa-apa; tak pernah mengenali satu sama lain, tak pernah
menyentuh satu sama lain.

”Apa pertemuan itu suatu kebetulan?”

Salah satu pertanyaan darinya.

”Kebetulan? Apa itu kebetulan?” Kata si penyair. ”Angka dalam lotre murahan yang
dijagai lelaki tua di tepi jalan, atau, saat tiba-tiba kita ada dan tiba-tiba tiada?”

”Sayang sekali, sudah tak ada lagi tempat bagimu untuk menyimpan puisi-puisi.
Dunia sudah sesak, sudah penuh.”

”Dan sudah menyakitkan bagi perempuan yang baru dicerai; dihapus dari kalimat
cinta fiktif.”

Kita diam.

Dendam silih dalam jam digital berwarna merah saga di dekat kondektur yang saling
sulih dengan dingin.

Aku menyandarkan punggung, lelah.

Dan kita memang sudah lama tak menyenangkan lagi. Cahaya-cahaya saling
berpapas dan melewati. Jalanan berlorong. Berlabirin. Kita seperti melaju dalam
pori-pori terumbu karang. Lagu-lagu lambat diayunkan membuat penumpang lain
makin lelap. Kita hanya mampu menahan tawa, saat lirik dari Queen seperti sengaja
dilemparkan oleh kondektur pada kita: ”Too much love, will kill you.....” Kita, pada hari
yang telah jadi silam, sebenarnya pernah seperti saat ini. Bedanya, ketika itu kau
bersandar di bahuku, dan, kadang kau diam-diam mencuri waktu untuk mencium
pipiku dan mengatakan:

”Senyummu terlalu manis untuk seorang pemikir yang berlagak serius,” (matamu
menggoda).

Dan kita mengisi perjalanan dengan menerka apa-apa yang terjadi di antara rumah
pada tepian jalan yang kita lintasi.

”Kamu tahu, anak itu bilang pada ayahnya: Ayah mengapa gula-gula kapas berwarna
merah muda?”
Ayahnya bilang, katamu selanjutnya, ”Itu karena pedagangnya ingin punya anak
perempuan yang cantik, yang punya leher indah.”

”Bukan begitu,” aku merasa tidak setuju, ”anak itu justru berkata: Ayah, jangan
biarkan aku menjadi dewasa. Kemudian dilahapnya gula-gula kapas itu sambil
berdoa agar ia tak lekas menjadi besar. Lihatlah....”

Kau tertawa, mana ada anak kecil secerdas itu. Anggap saja dia pernah mendengar
cerita betapa menyakitkannya menjadi dewasa; terbatas dari kebebasan melakukan
apapun, menanyakan apapun.

Kau menatapku, benarkah kita telah menjadi dewasa? Aku mengangguk. Kita
berpelukan. Ada jeda dari musim yang tak mampu kita tahan. Dan kita berganti dari
memperhatikan seorang anak dalam gendongan pundak ayahnya, yang sambil
menikmati gula-gula kapas merah muda itu, ke seorang nenek keriput yang
menjemur padi, dan bukit-bukit.

”Menurutmu, apa yang dikatakan bukit-bukit itu kepada kita?”

Kali itu, giliran aku yang menggodamu, ”Beri aku sebuah tanda, kata sang bukit. Beri
aku.... sebuah tahi lalat. Sebuah, atau lebih.”

Kau mencubitku, geli.

Kita saling melirik.

”Kalau pohon-pohon itu?”

”Menurutmu?”

”Mmm, apa ya, mungkin, mereka bilang, kalian bisa pergi-pergi, sementara kami,
sejak lahir sampai mati berada di sini.”

Kita mengambil waktu untuk memperhatikan mereka. Daun-daunnya bersorak sepi di


dekat perlintasan. Entah untuk apa mereka ada, jika tak seorang pun mengakui.
Setelah itu, seberapa jarak dari hitungan bulan, kita tak pernah bertemu lagi.

Selain pertanyaanmu yang tiba-tiba melompat: ”Agama apa yang pantas bagi pohon-
pohon?”

”Kenapa memangnya?”

”Bukankah berbagai pohon dapat tumbuh di tempat yang sama dengan damai?”

”Ya. Kenapa?”
”Ini soal perasaan. Kau tidak akan mengerti.”

Jujur, aku tak tahu harus komentar apa. Kurendahkan sandaran 150 dan mencoba
berpikir pada kursi nomor 11, di sebelahmu ini. Hujan pun semakin menembaga.

Dan lampu-lampu lalu lintas memberi tahu lagi, pernikahan kalian memang berbeda
agama. Kemudian, berpisah. Zafin dibawa oleh ayahnya.

Bus berhenti sejenak di kota G.

”Aku mengira, seandainya pohon-pohon beragama, hewan-hewan berideologi, dan


para jin dan tuyul membuat undang-undang, mendirikan partai, mengendalikan
kekuasan, hukum, dan politik, masihkah kita disebut sebagai manusia?”

Seorang penumpang naik.

Perempuan. Tapi tidak sepertimu. Dia mendekat, melihat sana-sini kursi yang
kosong.

”Boleh aku duduk di samping Anda?”

”Ini sudah kubeli.”

”Tapi itu kosong?”

”Tidak boleh aku beli kursi kosong?”

”Untuk apa?”

”Ini soal perasaan. Kau tidak akan mengerti.”

”Anda pasti bercanda,” dia senyum, seolah tak percaya. Kutunjukan tiketnya: atas
namamu.

”Masih tak percaya?”

Dan dia pun kemudian berlalu, duduk di sebelah kakek-kakek tua, jauh dari tempatku
berada dan entah berkata apa.

Sementara jam, masih terus berjalan.

*Menanyakan salah satu baris puisi Goenawan Mohamad, Di Kota Itu, Kata Orang,
Gerimis Telah Jadi Logam)

Anda mungkin juga menyukai