Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

GERD (GASTROESOFAGEAL REFLUX DISEASE)

A. Konsep penyakit
1. Definisi
GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit
yang jarang terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum
menimbulkan keluhan yang berat seperti refluks esofagitis dokter belum
bisa mendiagnosa.Refluks gastroesofagus adalah masuknya isi lambung
ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada orang, terutama
setelah makan (Asroel, 2014).
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan
berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun
ekstra esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2013).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu
habis makan.Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya
kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir masuk ke
esofagus segera dikembalikan ke lambung.Refluks sejenak ini tidak
merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau
gejala.Oleh karena itu, dinamakan refluks fisiologis.Keadaan ini baru
dikatakan patologis, bila refluks terjadi berulang-ulang yang
menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu
yang lama.Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus
akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa
esofagus (Susanto, 2013).
Jadi, GERD merupakan suatu keadaan patologis akibat maksuknya isi
lambung ke esofagus yang biasa terjadi setelah makan dan dapat terjadi
pada posisi tegak oleh adanya konstraksi peristaltik primer lambung.
2. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
 Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
 Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
 Ketahanan epitel esofagus menurun
 Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya
pepsin, garam empedu, HCL
 Kelainan pada lambung
 Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
 Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
 Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat
refluks
 Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan
dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang
memiliki efek antikolinergik (seperti beberapa antihistamin),
penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat
 Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
(Yusuf, 2015)
3. Patofisiologi
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD
(gastroesophageal reflux disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi
lambung ke dalam esophagus. GERD sering kali disebut nyeri ulu hati
(heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika cairan asam yang normalnya
hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa
seperti terbakar di esophagus.
Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan
melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung
yang lebih tinggi dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi
lambung yang bersifat asam bergerak masuk ke dalam esophagus.
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus
karena adanya kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah
sfingter sejati, tetapi suatu area yang tonus ototnya meningkat). Sfingter
ini normalnya hanya terbuka jika gelombang peristaltik menyalurkan
bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot polos
sfingter melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter
esofagus seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini,
karena banyak organ yang berada dalam rongga abdomen, menyebabkan
tekanan abdomen lebih besar daripada tekanan toraks. Dengan demikian,
ada kecenderungan isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan
tetapi, jika sfingter melemah atau inkompeten, sfingter tidak dapat
mnutup lambung. Refluks akan terjadi dari daerah bertekanan tinggi
(lambung) ke daerah bertekanan rendah (esofagus). Episode refluks yang
berulang dapat memperburuk kondisi karena menyebabkan inflamasi dan
jaringan parut di area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan normal,
refluks dapat terjadi jika terdapat gradien tekananyang sangat tinggi di
sfingter. Tekanan abdomen yang tinggi cenderung mendorong sfingter
esofagus ke rongga toraks. Hal ini memperbesar gradien tekanan antara
esofagus dan rongga abdomen. Posisi berbaring, terutama setelah makan
juga dapat mengakibatkan refluks. Refluks isi lambung mengiritasi
esofagus karena tingginya kandungan asam dalam isi lambung. Walaupun
esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun sel-sel tersebut tidak
sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung (Corwin, 2009: 600).
4. Pathway Keperawatan
Obat - obatan, Hormonal,
Pendeknya LES, Infeksi H. Hernia Heatus Pengosongan Lambung Obesitas
Pylori dan korpus pedominas lambat, dilatasi lambung
gastritis

Tekanan intra
Bagian dari lambung atas Transient LES abdomen meningkat
Kekuatan lower Relaxation
yang terhubung dengan
Esophageal Sphincter
esophagus akan mendorong
(LES) menurun
ke atas melalui diafragma

Penurunan tekanan
penghambat refluks

Aliran retrograde yang mendahului Refluks spontan saat relaksasi


kembalinya tonus LES setelah LES tidak adekuat
menelan

Aliran asam lambung ke


esofagus

Kontak asam lambung dan mukosa


esophagus dalam waktu lama dan/atau
berulang
GASTROESOPHAGEAL
REFLUKS DISEASE (GERD)

Asam lambung mengiritasi Nafas bau asam Refluks saat malam hari
sel mukosa esofagus

Kerusakan sel mukosa Merangsang pusat Aspirasi isi lambung ke


esofagus mual tracheobronkial

Peradangan Risiko
Mual
Aspirasi

Hearth burn non Odinofagia Penurunan


cardiac nafsu makan

Gangguan
Nyeri Akut Intake nutrisi
Menelan inadekuat

BB menurun

Ketidakseimbangan
Nutrisi Kurang Dari
Kebutuhan Tubuh
5. Manifestasi Klinik
 Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
 Muntah
 Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan
menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah
makan atau ketika berbaring
 Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
 Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan,
bisa dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang
biasanya berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di
bawahnya, mirip dengan lokasi panas dalam perut.
 Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan
pada saluran udara
 Suara paru
 Ludah berlebihan (water brash)
 Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
 Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
 Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada
anak)
 Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah
kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan,
menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena)
atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
 Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan
sebuah kondisi yang disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa
terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini
adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada
beberapa orang.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar
baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esophagus (esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break
pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien
dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux
disease (NERD).
b. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan
lumen.
c. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan
menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus.
Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di
atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

7. Penatalaksanaan
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup
efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD. Berikut adalah
obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD:
- Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam
menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi
esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat
memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan
obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat
menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta
konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium,
penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal.
- Antagonis reseptor H2. Yang termasuk dalam golongan obat ini
adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan
sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit
refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan
dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada
pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa
komplikasi.
- Obat-obatan prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk
pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong kearah
gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD
sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.
- Metoklopramid. Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor
dopamine. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa
proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek
terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,
tremor, dan diskinesia.
- Domperidon. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine
dengan efek samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid
karena tidak melalui sawar darah otak.Walaupun efektivitasnya dalam
mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak
dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus
LES serta mempercepat pengosongan lambung.
- Cisapride. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan
tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta
penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan
domperidon.
- Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat). Berbeda
dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek
langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap
HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu.
Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal
(sitoproteksi).
- Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI). Golongan
obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.
Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel
parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap
sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat
berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor
H2.Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi
inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
(maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy,
tergantung dari derajat esofagitisnya.

B. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia


1. Definisi Nyeri
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan
2. Fisiologis Proses Nyeri

Definisi nyeri berdasarkan International Association for the


Study of Pain (IASP, 1979) adalah pengalaman sensoris dan emosi yang
tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan
atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui
bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan
jaringan yang dijumpai. Namun nyeri yang dipengaruhi oleh genetik,
latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam
menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada pemeriksaan
fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada
kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama
pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak
dan pasien dengan gangguan komunikas.

Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia)


atau pasca pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang
sempurna, karena dampak dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan
respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem
tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan
pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu
sendiri, seperti
- Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur
dan putus asa
- Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan
luka
- Plastisitas neural (kornudorsalis) : transmisi nosiseptif yang
difasilitasi sehingga meningkatkan kepekaan nyeri.
- Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi,
takikard
- Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi,
katabolisme Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan,
pertama akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan
ujung saraf bebas dan yang kedua setelah proses pembedahan terjadi
respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan
zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P
dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak dan sel- sel inflamasi. Zat-zat
kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari
nyeri.
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan
praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan pada klien oleh
perawat yang berkompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di
ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan diberikan untuk mengatasi
masalah secara bertahap maupun mendadak.
Asuhan keperawatan di ruang gawat darurat seringkali dipengaruhi
oleh karakteristik ruang gawat darurat itu sendiri, sehingga dapat
menimbulkan asuhan keperawatan spesifik yang sesuai dengan keadaan
ruangan.
Karakteristik unik dari ruangan gawat darurat yang dapat
mempengaruhi sistem asuhan keperawatan antara lain :
1. Kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi, baik kondisi klien
dan jumlah klien yang datang ke ruang gawat darurat.
2. Keterbatasan sumber daya dan waktu.
3. Pengkajian, diagnosis dan tindakan keperawatan diberikan untuk
seluruh usia, seringkali dengan data dasar yang sangat terbatas.
4. Jenis tindakan yang diberikan merupakan tindakan yang
memerlukan kecepatan dan ketepatan yang tinggi.
5. Adanya saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan
yang bekerja di ruang gawat darurat.
Berdasarkan kondisi di atas, prinsip umum asuhan
keperawatan yang diberikan oleh perawat di ruang gawat darurat
meliputi :
1. Penjaminan keselamatan diri perawat dan klien yang terjaga :
perawat harus menerapkan prinsip Universal Precaution dan
mencegah penyebab infeksi.
2. Perawat bersikap cepat dan tepat dalam melakukan triase,
menentukan diagnosa keperawatan, tindakan keperawatan dan
evaluasi yang berkelanjutan.
3. Tindakan keperawatan meliputi resusitasi dan stabilisasi diberikan
untuk mengatasi masalah biologi dan psikososial klien.
4. Penjelasan dan pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga
diberikan untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan
kerjasama klien-perawat.
5. Sistem monitoring kondisi klien harus dapat dijalankan.
6. Sistem dokumentasi yang dipakai dapat digunakan secara mudah dan
cepat.
7. Penjaminan tindakan keperawatan secara etik dan legal keperawatan
perlu dijaga.

3. Asuhan keperawatan
Pengkajian
a. Pengkajian fokus kebutuhan dasar nyeri
Singkatan Pertanyaan
P : provokes, palliative Apa yang menyebabkan rasa
(penyebab) sakit/ nyeri; apakah ada hal yang
menyebabkan kondisi
memburuk/membaik; apa yang
dilakukan jika sakit/nyeri timbul;
apakah nyeri ini samapai
mengganggu tidur.
Q : quality (kualitas) Bisakah anda menjelaskan rasa
sakit/ nyeri; apakah rasanya
tajam, sakit seperti diremas,
menekan, membakar, nyeri berat,
kolok, kaku atau seperti ditusuk
(biarkan pasien menjelaskan
kondisi ini dengan kata-katanya).
R : radiates ( penyebaran) Apakah rasa sakitnya menyebar
atau berfokus pada satu titik
S : severety Seperti apa sakitanya; nilai nyeri
dalam skala 1-10 dengan 0
berarti tidak sakit dan 10 yang
paling sakit. Cara lain adalah
menggunakan skala FACES
untuk pasien anak-anak lebih dari
3 tahun atau pasien dengan
kesulitan bicara
T : time Kata sakit mulai muncul ; apakah
munculnya perlahan atau tiba-
tiba; apakah nyeri muncul secara
terus menerus atau kadang-
kadang; apakah pasien pernah
mengalami nyeri seperti ini
sebelumnya. Apabila “iya”
apakah nyeri yang muncul
merupakan nyeri yang sama atau
berbeda

Diagnosa keperawatan kebutuhan nyeri


Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
Perencanaan
a. Diagnosa keperawatan
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
b. Tujuan
Nyeri berkurang dengan kriteria hasil :
 Keluhan nyeri menurun
 Frekuensi nadi membaik
 Meringis menurun
 Sikap protektif menurun
 Gelisah menurun
 Kesulitan tidur menurun
c. Rencana tindakan
Manajemen nyeri
 identifikasi skala nyeri
 identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
 berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
 fasilitasi istirahat dan tidur
 ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
 kolaborasi pemberian analgetik
DAFTAR PUSTAKA

Bestari, Muhammad Begawan. 2015. Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux


Disease (GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung CDK 188 / vol. 42 no. 7 / November 2015.
Sujono, Hadi.  2014. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
Yusuf, Ismail. 2013. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara
Klinis.PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition
September - November 2013.
Jayus 2015.https://www.scribd.com/document/263307313/Standart-Asuhan-
Keperawatan-Pasien-Gerd (Di akses tgl 20 Februari 2018).

Anda mungkin juga menyukai