Kelompok 5
NIM : 2014080019
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat karunia dan
hidayahNya kepada kita semua sehingga akhirnya tugas makalah ini dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan pada Nabi Muhammad SAW beserta para
pengikutnya yang setia menemani hingga akhir zaman.
Tugas makalah yang diberi judul “Metode Ijtihad’, Ijma’, dan Qiyas” ini merupakan
suatu karya tulis yang terbentuk dari hasil kerja penulis yang mana tugas ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Hukum Islam.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak terlepas dari
kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
sangat penulis perlukan untuk perbaikan penulisan makalah ini.
Semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan karunia-Nya serta keridhoan-
Nya kepada kita semua, Aamiin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan ........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. IJTIHAD.....................................................................................................3
B. QIYAS ......................................................................................................6
C. ‘ILLAT .......................................................................................................9
A. Kesimpulan ..............................................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap individu muslim yang mukallaf memiliki tanggung jawab atas seluruh
tindakan/ perbuatan yang dilakukannya, sehingga individu tersebut tidak punya pilihan lain
kecuali menjalani kehidupannya sesuai dengan hukum Islam. Akal sehatnya menuntut bahwa
dia mesti mendasarkan segenap tindakan pribadi dan hubunganhubungannya dengan orang
lain atas ajaran-ajaran Islam dan demi tujuantujuan praktis, mengambil posisi yang dituntut
atas dirinya sendiri, yakni pengetahuan bahwa dirinya adalah hamba Allah yang mesti
mematuhi hukum yang diturunkan kepada nabi nya.
Mengingat akan hal ini, sangatlah penting bahwa dalam kehidupan manusia harus
mengetahui jelas apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Karena itu, jika semua aturan
hukum Islam benar-benar diketahui maka tidak akan ada keraguan sedikit pun mengenai
sikap praktis yang mesti diambil seseorang untuk melaksanakan hukum Islam dalam situasi
tertentu. Akan tetapi, disebabkan oleh banyak faktor termasuk jauhnya jarak waktu antara
kita dengan zaman ketika hukum Islam ditetapkan. Konsekuensinya, dalam kasus-kasus
tertentu sangat sulit bagi orang awam mengambil keputusan berdasarkan pemahaman hukum
Islam.
Pengertian hukum Islam atau syariat Islam adalah sistem kaidah-kaidah yang
didasarkan pada wahyu Allah Swt dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang
yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua
pemeluknya. Dan hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh rasul untuk
melaksanakannya secara total. Syari’at menurut istilah berarti hukum-hukum yang
diperintahkan Allah Swt untuk umat nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang
berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan amaliyah.
Menurut Ahmad Rofiq, bahwasanya hukum Islam adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum
yang didasarkan pada wahyu Allah Swt dan Sunnah rasul mengenai tingkah laku mukallaf
(orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi
1
semua pemeluk agama Islam. Kemudian, Zainuddin Ali menjelaskan bahwa hukum Islam
adalah hukum yang diinterprestasikan dan dilaksanakan oleh para sahabat nabi yang
merupakan hasil ijtihad dari para mujtahid dan hukum-hukum yang dihasilkan oleh ahli
hukum Islam melalui metode qiyas dan metode ijtihad lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan apa itu ijma’? Dan bagaimana kedudukan nya dalam hukum islam?
2. Menjelaskan apa itu qiyas? Dan bagaimana kedudukan nya dalam hokum islam?
C. Tujuan
1. Untuk Menambah Pemahaman Tentang Ijma’
2. Untuk Menambah Pemahaman Tentang Qiyas
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. IJMA’
1. Pengertian ijma’
Kata ijma’ secara bahasa bearti “ kebulatan tekad terhadap suatu persoalan’ atau
kesepakatan tentang suatu masalah’. Menurut istilah ushul Fiqh, seperti yang dikemukan
Abdul Karim Zaidan, adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang
hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat”. Menurut Jumhur ulama, ijma’,
sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Menrut
Abdul Wahab Khallaf, Ijma’ dengan definisi tersebut tidak mungkin terjadi, Ijma’ akan
mungkin terjadi apabila masalahnya diserahkan kepada pemerintah, karena pemerintah
sebagai ulil Amri dapat mengetahui mujtahidmujtahidnya, dan setiap pemerintah dapat
mengetahui dan menentukan mujtahid suatu bangasa dan disepakati juga oleh mujtahid
seluruh dunia Islam”.
Dasar hokum dari ijma’ menurut Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijma’ adalah sah
dijadikan sebagai landasan hukum, hal ini didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 115 : Dan
barang siapa yang menentang Rasulullah SAW. Sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukan ia ke dalam neraka
jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Ayat tersebut memberikan
peringatan atau ancaman terhadap golongan yang menentang Rasullullah SAW. Dan
mengikuti jalan bukan orang mukmin. Menurut Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan wajib
hukumnya mengikuti jalan orang mukmin dan termasuk hasil kesepakatan (ijma’) mereka.1
1
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan Nor Isandar dkk,Rajawali Press,Jakarta, 1993, h.67
2
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al -Fiqh al - Islami, Juz I, al-Maktabah al-Assad, 2006,h.512
3
Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari
perbuatan bid’ah. Keiga syarat ini disepakati oleh seluruh ualama
3. Kehujjahan ijma’
Juhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka
ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qhath’I (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh
mengingkarinya, bahkan yang mengingkarinya di anggap kafir. Menurut para ahli ushul fiqh ,
tidak boleh lagi menjadi pembahasan ualama generasi berikutnya , karena hokum yang di
tetapkan melalui ijma’ merupakan hokum syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga
sebagai dalil syara’ setelah al-qur’an dan sunnah. Alasan jumhur ualam ushul fiqh
meletakkan ijma’ sebagai dalil syara’ ke tiga adalah
4. Tingkatan ijma’
Ijma’ Sharih ialah, setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima semua yang
disepakati
Ijma’ Sukuti ialah,Sebagian mujtahid pada saat menampilkan pendapatnya secara
jelas mengenai suatu pristiwa dengan sistem fatwa atau dalam majlis, sedangkan
4
mujtahid yang lain tidak memberikan respon atau kementar terhadap pendapat
tersebut, baik mengenai kecocokan pendapat atau perbedaannya
Yang berhak membentuk Ijma’ Pembentukan ijma’ adalah para mujtahid yang
menguasai masalah-masalah fiqih berserta dalil-dalilnya (Qur’an dan sunnah) dan memahami
metode penggalian hukum Islam. Menurut Jumhur ulama yang ahli bid’ah tidak termasuk
kategori sebagai mujtahid, maka mereka tidak termasuk dalam kelompok ulama mujtahid.
Pendapat ulama tentang kemungkinan terjadi Ijma’ Ulama ushul fiqh klasik,
diantaranya ulama jumhur klasik menyatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan
secara aktual ijma’ telah ada, mereka memberikan contoh hukum-hukum yang telah
disepakati seperti tentang pembagian waris nenek sebesar seperenam dari harta warisan.
Akan tetapi ulama klasik lainnya seperti Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa siapa
yang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta,
karena kemungkinan saja ada mujtahid yang tidak setuju, Oleh karena itu, menurutnya untuk
mengetahui ijma’ tersebut sangatlah sulit dilakukan.
6. Landasan ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ijma’, sebagai upaya para mujtahid
dalam menetapkan hokum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash, harus
mempunyai landasan dari nash atau qiyas (analogi). Apabila ijma’ tidak memiliki landasan
maka ijma’ tersebut tidak sah.
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa dari dalil yang
qath’I, yaitu al-quran, sunnah mutawattir serta bisa juga berdasarkan dalil zhanni seperti
hadis ahad dan qiyas.
5
B. QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari qasa - yaqisu yang berarti
ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Dalam buku Amir Syarifudin dijelaskan bahwa qiyas
berarti qadaro yang artinya mengukur, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan
yang semisalnya, misal "fulan mengukur baju dengan hasta. Adapun secara terminologi
terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama ushul fiqh mengenai qiyas.3
Wahbah Zuhaily mendefenisikan qiyas " Membawa hukum yang belum diketahui
kepada hukum yang diketahui dalam menetapkan hukum atau meniadakan hukum keduanya
dengan menyatukan keduanya baik dalam hukum ataupun sifatnya."
Dengan demikian qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa
benarbenar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.4
2. Rukun qiyas 5
Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan atau biasa disebut maqis 'alaih. Menurut para ahli ushul fiqh, ashl
adalah nash yang menentukan hukum karena nash inilah yang dijadikan patokan
dalam menentukan hukum far'u.
Far'u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far'u itulah yang dikehendaki
untuk disamakan hukumnya dengan ashl. La disebut juga dengan maqis, yang
dianalogikan.
Hukum ashl yaitu hukum syar'i yang ditetapkan oleh nash
Illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah ashl
mempunyai suatu hukum dan dengan itulah terdapat banyak cabang sehingga hukum
cabang itu disamakan dengan ashl
3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I , Logos, Jakarta, 1999
4
saifuddin al- amidi, jilid III hal 107
5
abu hamid al-ghazali, jilid II, hal 54; saifuddin al-amidi, jilid III hal 6
6
3. Kehujjahan qiyas 6
1. Illat nya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata ataupun melalui
isyarat.
Qiyas merupakan salah satu bentuk ulama ushul fiqh mengqiyaskan ijtihad dengan
cara menganalogikan hukum membakar harta anak yatim kepada syara' dengan perkara lain
karena mempunyai memakan harta secara tidak wajar, kesamaan 'illat hukum. Kehujjahan
qiyas karena kedua sikap itu sama-sama menempati urut an ke-empat dalam menghabiskan
harta anak yatim menetapkan hukum setelah al-Qur'an, dengan cara dhalim. Sunnah, dan
ijma'.
Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum dimana 'illat yang terdapat far'u lebih
mendapat tanggapan yang beragam di lemah dibandingkan dengan 'illat kalangan ulama
ushul fiqh. Pada dasarnya, yang ada pada ashl. Artinya, ikatan ulama ushul fiqh sepakat akan
kebolehan 'illat yang ada pada far'u sangat lemah penggunaan dan kehujahan qiyas dalam
dibanding ikatan 'illat yang ada pada masalah duniawi, seperti penalaran qiyas dalam ashl.
Misalnya, sifat memabukkan hal obat-obatan dan makanan. Ulama ushul yang terdapat dalam
minuman keras fiqh juga sepakat atas kehujahan qiyas yang bir umpamanya lebih rendah dari
dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. Sifat memabukkan yang terdapat Adapun perbedaan
mereka adalah dalam hal pada minuman keras khamar yang penggunaan qiyas terhadap
hukum syari'at diharamkan. Meskipun pada ashal yang tidak ada nashnya secara jelas.
6
al-syaukani, op, cit., hal. 174-178
7
4. Syarat-syarat qiyas 7
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun qiyas yang telah
dipaparkan tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qiyas dapat di jadikan
dalil dalam menerapkan hokum. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Ashl
1) Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (ashl). Kalau
sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukh) di masa rasulullah, maka
tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
2) Hukum yang terdapat pada ashlitu hendaklah hukum syara'.
3) Hukum ashl bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang
lupa, meskipun makan dan minum.
2. Far’u
1) Illatnya sama dengan 'illat yang ada pada nash, baik pada zatnya maupun pada
jenisnya.contoh 'illat yang sama zatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamar,
karena keduanya samasama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit a tau
banyak, apabila diminum hukumnya haram. 'Illat yang ada pada wisky sama zat atau
materinya dengan 'illat yang ada pada khamar. Contoh yang jenisnya sama adalah
mengqiyaskan wajib qishas atas perbuatan sewenangwenang terhadap anggota badan
kepada qishash dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
2) Hukum ashl tidak berubah setelah diqiyaskan.
3) Hukum far'u tidak mendahului hukum ashl, artinya hukum far'u itu harus datang
kemudian dari hukum ashl.
4) Tidak ada nash atau ijma' yang menjelaskan hukum far'u, artinya tidak ada nash atau
ijma' yang menjelaskan hukum far'u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena
jika demikian maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atauijma'.
7
wahbah al- zuhaili , hal. 638
8
3. Hukum ashl
1) Hukum ashl hendaknya hukum syara' yang berhubungan dengan amal perbuatan,
karena yang menjadi kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut amal
perbuatan.
2) Hukum ashl dapat ditelususri 'illat hukumnya, seperti hukum haramnya khamar dapat
ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan, yaitu karena memabukkan. Bukan
hukum-hukum yang tidak dapat diketahui 'illat hukumnya seperti masalah bilangan
makna.
3) Hukum ashl itu lebih dahulu disyari'atkan dari far'u, dalam hal ini tidak boleh
mengqiyaskan wudhu dengan tayamum, sekalipun 'illat-nya sama, karena syari'at
wudhu dahulu turunnya dari pada tayamum.
4) Macam-macam qiyas
Qiyas Awlawi yaitu qiyas yang hukumnya pada far'u lebih kuat daripada hukum ashl.
Karena 'illat yang terdapat pada far'u lebih kuat dari yang ada pada ashl.
Qiyas Musawi yaitu qiyas yang hukumnya pada far'u sama kualitasnya dengan hukum
yang ada pada ashl, karena kualitas 'illat pada keduanya juga sama.
Qiyas al-Adna yaitu qiyas dimana 'illat yang terdapat far'u lebih lemah dibandingkan
dengan 'illat. Yang ada pada ashl. Artinya, ikatan 'illat yang ada pada far'u sangat
lemah dan dibanding ikatan 'illat yang ada dalam ashl.
C. ‘ILLAT8
Secara etimologi ‘illat berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya
keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya”. Secara terminology, terdapat beberapa
definisi ‘illat yang di kemukakan ulama ushul fiqh.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian ulama Hanbaliyah dan Imam Baidhawi (tokoh
ushul fiqh Syafi'iyyah), merumuskan definisi 'illat yaitu "suatu sifat (yang berfungsi) sebagai
pengenal bagi suatu hukum." Maksud sebagai sifat pengenal bagi suatu hukum ialah apabila
terdapat suatu 'illat pada sesuatu, maka hukum pun ada, karena dari keberadaan 'illat itulah
8
abu hamid al-ghazali, hal. 96; al syaukani, hal. 81
9
hukum itu dikenal. Kalimat 'sifat pengenal' dalam rumusan definisi tersebut, menurut mereka,
sebagai tanda atau indikasi keberadaan suatu hukum.
Para ulama ushul fiqh mengemukakan sejumlah syarat 'illat yang dapat dijadikan
sebagai sifat dalam menentukan suatu hukum, di antaranya adalah :
1) Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum.
Maksudnya, fungsi 'illat adalah bagian dari tujuan disyari'atkannya hukum, yaitu
untuk kemaslahatan umat man usia.
2) Illat itu adalah suatu sifatyang jelas, nyata dan dapat ditangkap indera manusia.
Karena 'illat merupakan pertanda adanya hukum. Contohnya: sifat memabukkan bagi
haramnya khamar dan minuman keras lainnya. Sifat memabukkan itu jelas, dapat
disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan lain. Karena jelasnya,
maka 'illat itu dapat diketahui hubungannya dengan hukum.
3) Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya, 'illat itu memiliki
hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk setiap orang dan keadaan. Misalnya,
pembunuhan merupakan 'illat yang menghalangi seseorang mendapatkan harta
warisan dari orang yang dibunuh. 'Illat ini bisa diterapkan kepada pembunuh dalam
kasus wasiat.
4) Harus ada hubungan keserasian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan
menjadi 'illat. Maksudnya, 'illat yang ditentukan berdasarkan analisis mujtahid sesuai
dengan hukum yang diqiyaskan. Contohnya; sakit menjadi 'illat bolehnya seseorang
membatalkan puasa. Sifat yang tidak ada hubungan kesesuaian dengan hukum tidak
dapat dijadikan 'illat, seperti mengantuk dijadikan 'illat bagi bolehnya berbuka puasa.
5) Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma'.
6) Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl. Maksudnya, hukumnya telah ada,
baru datang 'illat-nya.
10
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Ijma’ merupakan salah satu metode yang dipakai ulama mujtahidin dalam
menentapkan hukum, apabila mereka dihadapkan suatu persoalan hukum yang tidak
ditemukan nash dalam al-qur’an maupun dalam al-sunnah yang dapat dijadikan landasan
hukum setelah Rasulullah meninggal dunia. Ijma menurut Abu Zahrah adalah “kesepakat
seluruh ulama mujtahi dari kaum muslimin pda suatu masa setelah Rasulullah saw
meninggala dunia”
1. Kalau melihat metode ijma’ ulama klasik seperti Imam, asy-Syafi’i, Ibnu
Taimiyah,Ibnu Qayyim al-Jauziah dan ulama-ulama ushul fiqh yang sudah mempunyai
pemikiran modern seperti Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Hudri Bek dan Fath ad-
Duraini ( guru besar fiqh dan Ushul Fiqh dari Unversitas Suriah, Damacus), dan wahbah az-
Zuhaili, mereka juga berpendapat sama , artinya pada masa sekarang tidak mungkin akan
terjadi ijma’, ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat saja.
2. Menurut pemkiran penulis masih ada kemungkinan akan menerapkan metode ijma’
pada persoalan hukum yang muncul pada masyarakat, karena kondisi dulu dengan kondisi
sekarang sangat berbeda. Sekarang fasilitas media dapat digunakan untuk mengakses
informasi dari berbagai penjuru dunia melalui teknologi media internet, dengan mengunakan
akun Fecebook dan Twitter, sehingga segala persoalan dapat disebarkan melalui akun
tersebut, sehingga orang lain akan memberikan jawaban yang sangat kita harapkan.
Qiyas merupakan sumber hokum islam keempat setelah al-quran, sunnah dan ijma’
merupakan alternatif dalam mengkaji teks-teks sumber hukum untuk dijadikan dasar dalam
menentukan hokum suatu perkara yang belum ada nashnya. Dengan qiyas, permasalahan-
permasalahan umat yang belum tercover oleh al-Qur'an, sunnah dan ijma mendapatkan titik
terang dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian ulama Hanbaliyah dan Imam Baidhawi (tokoh
ushul fiqh Syafi'iyyah), merumuskan definisi 'illat yaitu "suatu sifat (yang berfungsi) sebagai
pengenal bagi suatu hukum." Maksud sebagai sifat pengenal bagi suatu hukum ialah apabila
11
terdapat suatu 'illat pada sesuatu, maka hukum pun ada, karena dari keberadaan 'illat itulah
hukum itu dikenal.
12
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili, Wahbah, 1986, Ushul Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Khallaf, Abdul Wahab, 1997, Ilmu Ushul alFiqh, Kuwait: Dar al-Qalam.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan Nor Isandar dkk,Rajawali Press,Jakra,
1993
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Multazam al-thobi’u wan-Nasru, Darul Fkr al- ‘Azaliy, 1958
13