Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM AL QUR’AN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawy

Dosen Pengampu : Dr. Mukhrij Sidqy, M.Ag.

Disusun Oleh :

Azkia Dzikrina 211105010265

Ebnu Zaini 211105010291

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala
puji bagi Allah yang dengan limpahan Rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Pendidik dan peserta didik dalam Al qur’an”.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad
Saw. Dengan segala keterbatasan pengetahuan, kemampuan kami dalam penulisan
makalah ini, maka kami yakin bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan dapat penulis
jadikan pedoman penulisan di waktu yang akan datang.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT, Bapak Dr. Mukhrij Sidqy,
M.Ag. Kami berharap makalah ini bisa bermanfaat untuk diri kami, dan juga orang lain.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bogor, 25 Mei 2022

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................. 1
BAB II : PEMBAHASAN ............................................................................ 2
1. Pengertian Pendidik dan Peserta Didik .............................................. 2
A. Tafsir Qur’an Surah Al Kahfi ayat 60-82 .......................................... 3
B. Tafsir Qur’an Surah Al Baqarah ayat 286 .......................................... 9
C. Tafsir Qur’an Surah Al Imran ayat 159 ............................................. 11
D. Tafsir Qur’an Surah Al Hujurat ayat 11 ............................................. 13

BAB III : PENUTUP .................................................................................... 16


A. Kesimpulan ....................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hal yang terus berjalan bahkan sejak manusia baru saja lahir
ke dunia ini. Tidak hanya di lembaga formal pendidikan tersebut berlangsung. Dimana
pun dan kapan pun pendidikan dapat diperoleh.

Dalam keberlangsungannya, ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia
pendidikan, yakni pendidik dan peserta didik. Keduanya dapat menjadi objek dan
sekaligus menjadi subjek pendidikan tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Nah,
untuk lebih jelasnya akan kami paparkan dalam makalah ini.

Pendidik dalam islam, yang lebih dikenal sebagai murobbi berasal dari kata robba,
yurobbi, tarbiyatan. Memiliki makna khusus, ada tiga makna yang bisa di ambil dari
istilah tersebut yaitu; menggali potensi peserta didik, merawat, dan melindunginya.
Pendidik dalam Al Qur’an ada empat yaitu; Allah Swt, Nabi Muhammad Saw, Orangtua,
dan Pendidik dalam artian sebagai pengajar.

Menurut Maragustam, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anggota


masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan menjadi
manusia yang mempunyai ilmu, iman, takwa, serta berakhlak mulia. Sehingga mampu
menjalankan fungsinya sebagai pengabdi/beribadah kepada Allah Swt dan sebagai
khalifah.

1.2 Rumusan Masalah


A. Apa Pengertian Pendidik dan Peserta Didik?
B. Bagaimana tafsir surah Al-Kahfi ayat 60-82?
C. Bagaimana tafsir surah Al Baqarah ayat 286?
D. Bagaimana tafsir surah Al Imran ayat 159?
E. Bagaimana tafsir surah Al Hujurat ayat 11?

1.3 Tujuan Masalah


1. Dibuatnya makalah ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawy,
sekaligus agar kita dapat mengerti dan memahami pendidik dan peserta didik
seperti apa yang telah terdapat dalam Al Qur’an.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Pendidik dan Peserta Didik

Pendidik, menurut Noeng Muhadjir adalah seseorang yang mempribadi


(personifikasi pendidik), yaitu mempribadinya keseluruhan yang di ajarkan, bukan hanya
isinya, tapi juga nilainya. Personifikasi pendidik ini merupakan hal yang penting
maknanya bagi kepercayaan peserta didik. Pendidik selain melakukan transfer of
knowledge, juga seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta didiknya.

Dalam terminologi pendidikan modern, para pendidik disebut orang yang


memberikan pelajaran kepada anak didik dengan memegang satu disiplin ilmu di sekolah.
Secara etimologi, dalam konteks pendidikan Islam pendidik disebut dengan ustadz,
mu’allim, murabbi, mursyid dan mudarris. Kelima term itu, ustadz, mu’allim, murabbi,
mursyid dan mudarris, mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan konteks kalimat,
walaupun dalam situasi tertentu mempunyai kesamaan makna.

1. Ustadz adalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat


pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasi kerja, serta sikap
continuous improvement.

2. Mu’alim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya


serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis praktisnya,
sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi
(amaliah).

3. Murabbi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar
mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak
menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya.

4. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri
atau menjadi pusat anautan, teladan, dan konsultan bagi peserta didik.

5. Mudarris adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk


bertanggung jawab dalam membangun peradapan yang berkualitas di masa depan.

Secara terminologi para pakar menggunakan rumusan yang berbeda tentang


pendidik.

1. Zakiah Daradjat, berpendapat bahwa pendidik adalah individu yang akan


memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan tingkah laku peserta didik.

2
2. Marimba, beliau mengartikan sebagai orang yang memikul pertanggung
jawaban sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya
bertanggung jawab tentang pendidikan peserta didik.

3. Ahmad Tasir, mengatakan bahwa pendidik dalam Islam sama dengan teori di
Barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik.

Selain pendidik, komponen lainnya yang melakukan proses pendidikan lainnya


adalah peserta didik. Peserta didik merupakan makhluk Allah yang terdidik dari aspek
jasmani dan rohani yang belum mencapai taraf kematangan, baik fisik, mental,
intelektual, maupun psikologisnya. Oleh karena itu, ia senantiasa memerlukan bantuan,
bimbingan, dan arahan pendidik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal
dan membimbingnya menuju kedewasaan.

Penyebutan peserta didik juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak


hanya sekolah (pendidikan formal), melainkan juga mencakup lembaga pendidikan
nonformal yang ada di masyarakat, seperti majelis ta’lim, paguyuban, dan sebagainya.
Istilah peserta didik bukan hanya untuk orang-orang yang belum dewasa dari segi usia,
melainkan juga orang-orang yang dari segi usia sudah dewasa, namun dari segi mental,
wawasan, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya masih memerlukan bimbingan.

A. Tafsir Qur’an Surah Al Kahfi ayat 60-82

‫يْ ُحقُبًا‬ ِْ ‫حْ َحتاىْْاَبلُ َْغْ َمج َم َْعْالبَح َري‬


ِ ‫نْاَوْْاَم‬
َْ ‫ض‬ ْ‫لْ ُموسٰ ىْ ِلفَ ٰتى ْهُْ َ ا‬
ُْ ‫لْاَب َر‬ َْ ‫َواِذْْقَا‬

60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai)
bertahun-tahun”.

َ ْ‫سبِيلَهْْفِىْالبَح ِْر‬
‫س َربًا‬ َ َْ‫فَلَ َّماْبَلَغَاْ َمج َم َْعْبَينِ ِه َماْنَ ِسيَاْ ُحوت َ ُه َماْفَات َّ َخ ْذ‬

61. Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikannya, lalu
(ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

‫صبًا‬ َ ْْ‫غدَ ۤا َءنَاْْْلَقَدْْلَقِينَاْمِن‬


َ َ‫سف َِرنَاْ ٰهذَاْن‬ َ ْ‫لْ ِل َف ٰتى ْهُْ ٰاتِنَا‬ َ ‫فَلَ َّماْ َج‬
َْ ‫اوزَ اْقَا‬

62. Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada pembantunya,
“Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita
ini”.

َ ْ ‫سبِيلَهْ ْفِى ْالبَح ِْر‬


ْْ‫ع َجبًا‬ ُْ ‫شي ٰط‬
َ ْ َ‫ن ْاَنْ ْاَذكُ َرهْ ْ َوات َّ َخ ْذ‬ ْ َّ ‫صخ َرةِْ ْفَاِنِيْ ْنَسِيتُْ ْال ُحوتَْ ْ َو َمْا ا ْاَنسٰ ىنِي ْه ُ ْا‬
َّ ‫ِل ْال‬ َّ ‫ل ْا َ َراَيتَْ ْاِذْ ْا َ َوينَْا ا ْاِلَى ْال‬
َْ ‫قَا‬
63. Dia (pembantunya) menjawab, “Tahukah engkau ketika kita mencari tempat
berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang
membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya
ke laut dengan cara yang aneh sekali”.
3
‫لْ ٰذلِكَْْماْكُنَّاْنَب ْغْفَارتَدَّاْ ا‬
ْ‫صا‬
ً ‫ص‬ ِ َ ‫ع ٰلىْ ٰاث‬
َ َ‫ار ِه َماْق‬ َ ِ َ َْ ‫قَا‬

64. Dia (Musa) berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula.

a. Murid harus mempunyai semangat yang tinggi dan tidak putus asa dalam mencari
ilmu, meski jarak yang ditempuh jauh dan membutuhkan waktu yang lama. Ini
adalah nilai yang terkandung dalam surat al-Kahfi ayat 60-64 yang menceritakan
perjuangan Nabi Musa a.s untuk mencari Nabi Khidir a.s. Dalam tafsir al-Thabary
dikisahkan bahwa Nabi Musa a.s meminta Yusya’ bin Nun yang menjadi rekan
perjalanan untuk membawakan makanan untuknya, karena benar-benar lelah usai
menjalani perjalanan jauh dalam mencari Nabi Khidir a.s (al-Thabary: 127).

َ ‫عبدًاْمِنْْ ِع َبا ِدنَْا اْ ٰاتَي ٰن ْهُْ َرح َمةًْْمِنْْعِن ِدنَاْ َو‬


‫علَّم ٰن ْهُْمِنْْلَّدُنَّاْعِل ًما‬ َ ْ‫فَ َو َجدَا‬

65. Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
ilmu kepadanya dari sisi Kami.

b. Seorang murid harus bersikap sopan kepada gurunya, dalam cerita tersebut
tergambarkan ketika Nabi Musa meminta izin untuk mengikuti (baca: belajar)
kepada Nabi Khidir As. Menurut al-Thabary kata ‘abdan min ‘ibadina pada ayat
65 merujuk kepada Nabi Khidir As. Ayat selanjutnya menceritakan bagaimana
Musa As kemudian mendatangi khidir seraya mengatakan keinginannya untuk
berguru kepada Nabi Khidir (Al-Thabary: 1163). “Musa berkata kepada Khidir,
‘Bolehkah aku mengikutimu?’‟
c. Berbaik-sangka dan meyakini bahwa guru lebih pandai dari murid. Dengan
melakukan hal ini akan muncul sifat ketawadu’an kepada guru serta dengan
sendirinya akan menghilangkan sifat sombong. Nilai tersebut diisyaratkan dalam
frasa mimma ullimta rusydan (di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu). Ini selaras dengan filosofi gelas kosong. Kesombongan pelajar ibarat
gelas yang merasa penuh sehingga tidak akan dapat diisi lagi tambahan ilmu dari
gurunya.

ِْ ‫ع ٰلاىْاَنْْت ُ َع ِل َم‬
‫نْ ِم َّماْعُلِمتَْْ ُرشدًا‬ َ َْْ‫لْلَهْْ ُموسٰ ىْهَلْْاَت َّ ِبعُك‬
َْ ‫قَا‬

66. Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan
kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”

‫صب ًرا‬ َْ ‫لْاِنَّكَْْلَنْْت َستَطِ ي َْعْ َمع‬


َ ْ‫ِي‬ َْ ‫قَا‬

67. Dia menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.

‫ع ٰلىْ َماْلَمْْتُحِ طْْ ِبهْْ ُخب ًرا‬


َ ْ‫فْت َص ِب ُْر‬
َْ ‫َوكَي‬

4
68. Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”

‫صيْْلَكَْْاَم ًرا‬ ْ‫صابِ ًراْ َّو َ ا‬


ِ ‫لْاَع‬ ْ ْ‫ِيْاِنْْش َۤا َْء‬
َ ُْ ‫ّللا‬ ْ‫ست َِجدُن ا‬ َْ ‫قَا‬
َ ْ‫ل‬

69. Dia (Musa) berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku
tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.”

d. Murid tidak selayaknya mudah merasa tersinggung, tatkala guru melemahkan/


merendahkan murid dengan perkataannya. “Musa berkata: ‘Insya Allah kamu
akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu
dalam sesuatu urusanpun.” (Al-Kahfi: 69). Ayat tersebut merupakan respon dari
perkataan Nabi Khidir As yang telah melemahkan Nabi Musa As dengan
perkataan: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama
aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? (Al-Kahfi: 67-68). Dalam
ayat 68, dapat kita simpulkan bahwa ketika guru melakukan sesuatu yang terlihat
seperti melemahkan/merendahkan seorang murid, sesungguhnya hal itu
disebabkan oleh keadaan guru yang lebih mengetahui suatu perkara dibandingkan
muridnya. Jadi, terkadang logika murid tidak mampu menangkap rasionalitas
tindakan seorang guru. Di sisi lain, ayat ini dapat dimaknai sebagai sebuah
motivasi Nabi Musa As untuk lebih bersabar/lebih giat dalam belajar agar dapat
memahami perkataan/tindakan gurunya.
e. Mempunyai komitmen untuk menjalankan perintah guru. Musa berkata:
“InsyaAllah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak
akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” (Al-Kahfi: 69). Ayat ini
merupakan jawaban Musa As terhadap pernyataan Khidir As bahwa Musa As
tidak akan pernah dapat sabar terhadapnya dikarenakan ketidaktahuan Musa As.
Akan tetapi, komitmen untuk bersabar telah dinyatakan Musa As dari awal
kebersamaannya dengan gurunya (Khidir As).

‫عنْْشَيءْْ َحتاىْاُحدِثَْْلَكَْْمِن ْهُْذِك ًرا‬ ْ َ َ‫ِنْات َّ َبعتَنِيْْف‬


َ ْْ‫لْت َسـَٔلنِي‬ ِْ ‫لْ َفا‬
َْ ‫قَا‬

70. Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu.”

f. Bertanya kepada guru sesuai dengan izin dan kondisi sang guru.

‫لْاَخ ََرقت َ َهاْ ِلتُغ ِرقَْْاَهلَ َهاْْْلَقَدْْ ِجئتَْْشَيـًٔاْاِم ًرا‬ َّ ‫ط َلقَاْْ َحتاىْاِذَاْ َر ِكبَاْفِىْال‬
َْ ‫سفِينَ ِْةْخ ََرقَ َهاْْ َقا‬ َ ‫فَان‬

71. Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia
melubanginya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah

5
untuk menenggelamkan penumpangnya?” Sungguh, engkau telah berbuat suatu
kesalahan yang besar.

‫صب ًرا‬ َْ ‫لْاَلَمْْاَقُلْْاِنَّكَْْلَنْْت َستَطِ ي َْعْ َمع‬


َ ْ‫ِي‬ َْ ‫قَا‬

72. Dia berkata, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan
mampu sabar bersamaku?”

‫لْتُرهِقنِيْْمِنْْاَم ِريْْعُس ًرا‬


ْ َ ‫لْتُؤَاخِ ذنِيْْبِ َماْنَسِيتُْْ َو‬
ْ َ ْ‫ل‬
َْ ‫قَا‬

73. Dia (Musa) berkata, “Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah engkau membebani aku dengan suatu kesulitan dalam urusanku.”

g. Adanya penyesalan dan permintaan maaf kepada guru, ketika murid melakukan
kesalahan.

‫ۢبِغَي ِْرْنَفسْْْلَقَدْْ ِجئتَْْشَيـًٔاْنُك ًرا‬؈ً‫ساْزَ ِكيَّ ْة‬


ً ‫لْاَقَت َلتَْْنَف‬ ُ ْ‫ط َلقَاْ َحتاىْاِذَاْلَ ِقيَا‬
َْ ‫غ ٰل ًماْفَقَتَلَهْْقَا‬ َ ‫فَان‬

74. Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak
muda, maka dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau bunuh jiwa yang
bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan
sesuatu yang sangat mungkar.”

‫صب ًرا‬ َْ ‫لْاَلَمْْاَقُلْْلَّكَْْاِنَّكَْْلَنْْت َستَطِ ي َْعْ َمع‬


َ ْ‫ِي‬ َْ ‫۞ْقَا‬

75. Dia berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan
mampu sabar bersamaku?”

‫لْتُصٰ حِ بنِيْْقَدْْبَلَغتَْْمِنْْلَّد ُنِيْْعُذ ًرا‬


ْ َ َ‫عنْْشَيءْْۢبَعدَهَاْف‬
َ َْْ‫ساَلتُك‬ َْ ‫قَا‬
َ ْْ‫لْاِن‬

76. Dia (Musa) berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka
jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah
cukup (bersabar) menerima alasan dariku.”

َْْ‫ضْ َفاَقَا َمهْْقَالَْْلَوْْشِئت‬ َ ُّ‫لْقَريَ ِْةِْاست َطعَ َمْا اْاَهلَ َهاْفَاَبَواْاَنْْي‬


ً َ‫ضيِفُوهُ َماْفَ َو َجدَاْفِي َهاْ ِجد‬
َّْ َ‫اراْي ُِّري ْد ُْاَنْْيَّنق‬ ْ‫ط َلقَاْ َحت ا‬
َْ ‫ىْاِذَْااْاَتَيَْا اْاَه‬ َ ‫فَان‬
‫علَي ِْهْاَج ًرا‬
َ َْْ‫لَتَّخَذت‬

77. Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu
negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk
negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah
yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika
engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.”

َ ْ‫علَي ِْه‬
‫صب ًرا‬ َّ ْْ‫لْ َماْلَمْْت َستَطِ ع‬
ِْ ‫ساُن َِبئُكَْْ ِبت َأ ِوي‬ ُْ ‫لْ ٰهذَاْف َِرا‬
َ َْْ‫قْ َبينِيْْ َو َبينِك‬ َْ ‫قَا‬

6
78. Dia berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan memberikan
penjelasan kepadamu atas perbuatan yang engkau tidak mampu sabar terhadapnya.

h. Seorang murid harus siap menerima konsekuensi atas pelanggaran yang


dilakukan. Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak
akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat
sabar terhadapnya. (Al-Kahfi: 78).

‫سفِينَةْْغَصبًا‬ َّْ ُ‫سفِينَ ْةُْفَكَانَتْْ ِل َمسٰ كِينَْْيَع َملُونَْْفِىْالبَح ِْرْفَا َ َْردتُّْْاَنْْاَعِيبَ َهاْْ َوكَانَْْ َو َر ۤا َءهُمْْ َّملِكْْيَّأ ُخ ْذ ُْك‬
َ ْ‫ل‬ َّ ‫ا َ َّماْال‬

79. Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud
merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap
perahu.

ِْ ‫َوا َ َّماْالغُ ٰل ُْمْفَكَانَْْاَبَ َوا ْهُْ ُمؤ ِمنَي‬


ْ‫نْفَ َخشِينَْا اْاَنْْيُّر ِهقَ ُه َماْطُغيَانًاْ َّوكُف ًرا‬

80. Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir
kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.

َْ ‫فَا َ َرد َنْا اْاَنْْيُّب ِدلَ ُه َماْ َربُّ ُه َماْخَي ًراْمِن ْهُْزَ ٰكو ْة ًْ َّواَق َر‬
‫بْ ُرح ًما‬

81. Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan


(seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang
(kepada ibu bapaknya).

َ ْ‫نْفِىْال َمدِينَ ِْةْ َوكَانَْْت َحت َهْْكَنزْْلَّ ُه َماْ َوكَانَْْاَبُوهُ َما‬


ْ‫صال ًِحاْفَا َ َرا ْدَْ َربُّكَْْاَنْْيَّبلُغَْا اْاَشُدَّهُ َما‬ ِْ ‫ارْفَكَانَْْ ِلغُ ٰل َمي‬
ِْ ‫نْيَتِي َمي‬ ُْ َ‫َوا َ َّماْال ِجد‬
ْْْ‫صب ًرا‬َ ْ‫علَي ِْه‬ َّ ْْ‫لْ َماْلَمْْت َسطِ ع‬ ُْ ‫عنْْاَم ِريْْ ٰذلِكَْْت َأ ِوي‬ َ ْْ‫َويَست َخ ِر َجاْكَنزَ هُ َماْ َرح َم ْةًْمِنْْ َّربِكَْْ َو َماْفَعَلتُه‬

82. Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di
bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka
Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan
simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut
kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar
terhadapnya.”

 Penjelasan Surah Al Kahfi ayat 80-82

( ‫نْفَ َخشِينَاْاَنْْيُر ِهقَ ُه َماْطُغيَانًاْ َوكُف ًرا‬


ِْ ‫) َوا َ َّماْالغُلَ ُْمْفَكَاْنَْْاَبَ َوا ْهُْ ُمؤ ِمنَي‬

Adapun anak muda, adalah orang kafir, sedang kedua orang tuanya adalah orang-orang
yang beriman. Maka kami takut jika kecintaan kepadanya akan mendorong mereka untuk
mengikuti didalam kekafirannya.

7
Qatadah berkata : kedua orang tuanya merasa gembira ketika ia dilahirkan, dan merasa
sedih ketika dia dibunuh. Sekiranya dia masih hidup, niscaya hidupnya itu akan
membawa kepada kebinasaan kedua orang tuanya.

َْ ‫فَا َ َردنَاْاَنيُب ِدلَ ُه َماْ َربُ ُه َماْخَي ًراْمِن ْهُْزَ كَو ْة ًْ َّْوْاَق َر‬
‫بْ ُرح ًما‬

Orang alim ini berkata : kami menghendaki agar Allah memberi rezeki kepada kedua
orang tua ini seorang anak yang lebih baik agama dan kesalehannya dibanding anak yang
dibunuh ini, dan lebih dekat kasih sayangnya kepada mereka.

ْ‫صال ًِحاْفَا َ َرا ْدَْ َربُّكَْْاَن َيبْلُغَاْاَشُدَّهُ َما‬


َ ْ‫نْفِىْال َمدِينَ ِْةْ َْوْكَانَْْت َحت َ ْهُْكَن ُزلَ ُه َماْ َْوْكَانَْْاَبُوهُ َما‬ ِْ ‫ارْفَكَانَْْ ِلغُلَ َمي‬
ِْ ‫نْ َي ِت َمي‬ ُْ َ‫َوا َ َّماْال ِجد‬
َْ‫َو َيست َخ ِر َجاْكَن ُزهُ َماْ َرح َمةًْْمِنْْ َر ِبك‬

Sesungguhnya, faktor yang mendorong aku untuk menegakkan dinding ialah, karena di
bawahnya terdapat harta benda simpanan milik dua orang anak yatim berada di kota,
sedang bapak mereka adalah seorang yang saleh. Allah berkehendak agar harta simpanan
itu tetap berada dalam kekuasaan kedua anak yatim itu, untuk memelihara hak mereka
dan karena kesalehan bapak mereka.

َ ُْ‫) َو َماْفَ َعلت ُ ْه‬


(ْ‫عنْْاَم ِري‬

Aku melakukan apa yang telah kamu lihat sendiri itu tidak berdasarkan pikiran dan
kehendakku sendiri, tetapi karena Allah memerintahkannya kepadaku. Sebab,
pengurangan harta manusia dan penumpahan darah mereka hanya boleh dilakukan
berdasarkan wahyu dan nas yang qat’i.

َ ْ‫علَي ِْه‬
‫صب ًرا‬ ُْ ‫ٰذلِكَْْت َأ ِوي‬
َ ْْ‫لْ َماْلَمْْْت َسطِ ع‬

Hal-hal yang menyebabkan aku melakukan perbuatan-perbuatan yang kamu ingkari, yang
aku ceritakan kepadamu ini adalah penjelasan tentang akibat perbuatan yang karenanya
kamu merasa sempit dan tidak bisa bersabar sebelum aku memberitahukannya lebih
dahulu.

 Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul ayat 80-82 adalah seseorang bernama Ghulam yang dibunuh oleh Nabi
Khidir (berdasarkan syari’at Nabi Khidir, hanya berlaku pada syari’at Nabi Khidir dan
tidak berlaku bagi syari’at yang lain) karena kekhawatirannya bahwa si anak (saat
dewasa) akan membawa kesesatan dan kekafiran bagi kedua orang tuanya, sebab
kecintaan orang tua terhadap anak tersebut.

8
 Relevansi dengan pendidikan
1. Peserta didik mencari ilmu pada orang yang lebih pandai darinya
2. Diperlukan adab kesopanan dalam proses belajar mengajar
3. Mencari dan menambah ilmu itu tanpa batas meskipun seseorang telah dalam
kedudukan tinggi.

B. Tafsir Qur’an Surah Al Baqarah ayat 286

ْ‫علَينَْا ا‬
َ ْْ‫لْت َحمِل‬ َ ‫لْتُؤَاخِ ذنَْا اْاِنْْنَّسِينَْا اْاَوْْاَخ‬
ْ َ ‫طأنَاْْ َر َّبنَاْ َو‬ ْ َ ْ‫س َبتْْْ َر َّبنَا‬ َ َ ‫علَي َهاْ َماْاكت‬ َ ‫س َبتْْ َو‬ ْ َّ ‫ساْا‬
َ ‫ِلْ ُوسعَ َهاْْلَ َهاْ َماْ َك‬ ً ‫ّللاُْنَف‬
ْ ْ‫ِف‬ َْ
ُْ ‫لْيُكَل‬
ْ‫عنَّاْْ َواغفِرْْلَنَاْْ َوار َحمنَاْْاَنتَْْ َمو ٰلىنَا‬ َ ْ‫ف‬ ُْ ‫طاقَةَْْلَنَاْ ِبهْْ َواع‬ َ ْ‫ل‬ ْ َ ‫علَىْالَّذِينَْْمِنْْقَب ِلنَاْْ َر َّبنَاْ َو‬
ْ َ ْ‫لْت ُ َحمِلنَاْ َما‬ َ ْْ‫اِص ًراْ َك َماْ َح َملت َه‬
َْ‫صرنَاْ َعلَىْالقَو ِْمْال ٰكف ِِرين‬ ُ ‫فَان‬

286. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia
mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari
(kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa
yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan
rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-
orang kafir.”

 Asbabun Nuzul

Imam Muslim mengeluarkan di dalam kitab Shahih-nya dan juga dikeluarkan oleh
periwayat lainnya, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tatkala turun ayat [artinya], ‘Dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu” (Al-
Baqarah:284) beratlah hal itu bagi para shahabat. Lalu mereka mendatangi Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa salam, dengan merangkak atau bergeser dengan bertumpu pada
pantat seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah dibebankan amalan-amalan yang
mampu kami lakukan; shalat, puasa, jihad dan sedekah (zakat) dan sekarang telah
diturunkan padamu ayat ini padahal kami tidak sanggup melakukannya.’

Lalu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Apakah kalian ingin mengatakan
sebagaimana yang dikatakan Ahli Kitab sebelum kamu; kami dengar namun kami
durhaka? Tetapi katakanlah ‘kami dengar dan patuh, Wahai Rabb, kami mohon
ampunan-Mu dan kepada-Mu tempat kembali.’ Tatkala mereka mengukuhkan hal itu dan
lisan mereka telah kelu, turunlah setelah itu ayat ‘Aamanar Rasuul…sampai al-Mashiir.
(al-Baqarah:285)’ Dan tatkala mereka melakukan hal itu, Allah pun menghapus (hukum)-

9
nya dengan menurunkan firman-Nya, “Laa Yukallifullah…hingga selesai.(al-
Baqarah:286)” [HR.Muslim, no.125 dan Ahmad, II/412]

 Penafsiran

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.”

Keimanan dibuktikan dengan kesiapan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala
larangan Allah, jangan merasa enggan sedikitpun untuk menaatinya, karena tidak ada
yang memberatkan. Apa yang diperintahkan Allah sudah disesuaikan dengan kemampuan
manusia untuk menjalankannya. Aapa yang dilarang Allah sudah sesuai dengan
kemampuan manusia untuk menjauhinya. Jika ada suatu perintah dirasakan berat, bukan
bobot perintahnya yang berat, tapi hati dan keadaan yang mempengaruhinya. Berat atau
ringannya menjalankan tugas, sangat dipengaruhi oleh persepsi individu dalam
mengemban tugas tersebut. Semua itu mengisyaratkan bahwa setiap aturan syari’ah
sudah sesuai dengan kemampuan manusia. Bila ada sutu perintah yang berat dalam
situasi tertentu, maka Allah memberikan solusi mengatasinya.

“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya.”

Setiap individu memperoleh hasil dari apa yang diusahakannya, Tangan menjinjing
bahulah yang memikulnya. Orang yang beramal baik, akan mendapatkan manfaat dari
kebaikannya. Orang yang beramal buruk akan bertanggung jawab atas keburukannya.
Berbuatlah baik, kalau ingin mendapatkan kebaikan. Jangan berbuat buruk, bila tidak
ingin memikul akibat keburukan. Allah SWT akan memperhitungkan apa yang diperbuat
manusia, apakah kebaikan ataukah keburukan. Dilandaskan pula dalam surah Az-
Zalzalah ayat 7-8 yang artinya;

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya
dia akan melihat (balasan) nya pula.”

”(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau
kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang
berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."

Orang yang beriman menghadapi perintah apapun selalu siap menjalankannya. Demikian
pula bila menerima cegahan, maka mereka siap meninggalkannya. Bila ternyata larangan

10
dan perintah tersebut ada yang dirasakan berat, maka tetap tidak menolaknya melainkan
bermohon kepada Allah untuk mendapatkan keringanan. Inti do’a ini adalah ungkapan
keyakinan bahwa segala yang diperintahkan Allah itu sudah disesuaikan dengan
kemampuan manusia. Jika dirasakan ada yang berat, itu merupakan kelemahan diri. Oleh
karena itu mohon diberi keringanan, bila terlanjur berbuat kesalahan, agar diganti dengan
rahmat dan maghfirah. Kemudian karena dalam melaksanakan syari’ah itu banyak
tantangan dari kalangan kafirin, maka bermohon pada-Nya agar mampu mengalahkan
kafirin.

 Relevansi dengan pendidikan

Pendidik hendaknya selalu siap untuk berperan menjadi seorang pendidik, baik
menjalankan perintah untuk mentransfer ilmu, mendidik, dan menjadi teladan yang baik
bagi peserta didiknya. Begitu pula sebaliknya, peserta didik hendaknya selalu siap
menjalankan perintah dari pendidik dan tidak melakukan apa yang dilarangnya.

Pendidik senantiasa memudahkan peserta didiknya dalam proses belajar mengajar,


memaafkan kesalahan peserta didik sembari menasehati dan mengingatkan dalam
kebaikan.

C. Tafsir Qur’an Surah Al Imran ayat 159

ْ‫عن ُهمْْ َواست َغفِرْْلَ ُهمْْ َوشَا ِورهُمْْفِى‬َ ْ‫ف‬ ُْ ‫بْ َلنفَضُّواْمِنْْ َحولِكَْْْفَاع‬ ِْ ‫ظْالقَل‬ َْ ‫غلِي‬
َ ْ‫ظا‬ًّ َ‫فَ ِب َماْ َرح َمةْْمِنَّْْللاِْْلِنتَْْلَ ُهمْْْ َولَوْْكُنتَْْف‬
َْ‫ّللاَْيُحِ بُّْْال ُمت ََو ِكلِين‬
ْ ْ‫ِن‬َّْ ‫علَىّْللاِْْْا‬
َ ْْ‫عزَ متَْْفَت ََو َّكل‬ َ ْ‫الَم ِْرْفَ ِاذَا‬

159. Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila
engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah
mencintai orang yang bertawakal.

 Asbabun Nuzul

Sebab-sebab turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad sallallahu‘alaihi wa salam adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan
bahwasanya setelah terjadinya perang Uhud, Rasulullah mengadakan musyawarah
dengan Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra untuk meminta pendapat meraka
tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat, meraka sebaiknya dikembalikan
kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan. Namun, Umar ra berpendapat
mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Rasulullah
mesulitan dalam memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu
Bakar. Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yakni surah Ali Imran ayat 158.

11
 Penafsiran

Makna ayat adalah ketika Rasulullah sallallahu‘alaihi wa salam bersikap lemah-lembut


dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap kasar terhadap mereka
maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu dengan sebab taufiq-
Nya kepada beliau.

Prof Hamka Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian
yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak
lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih
sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena
laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan
dengan jiwa besar mereka dipimpin.

Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang
lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya.
Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau,
sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin.
Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan
kaum muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah
terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah
untuk mereka.

Andai kata Nabi Muhammad saw sallallahu ‘alaihi wa salam, berhati kasar tentulah
mereka akan menjauhkan diri dari beliau. Disamping itu Nabi Muhammad selalu
bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh
karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan putusan- putusan musyawarah itu karena
keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang
dan berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa menghiraukan bahaya dan
kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena
tidak ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.

M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan
Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil
menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang
telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup
banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk
marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan
Nabi sallallahu ‘alaihi wa salam. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum
memutuskan perang, beliau menerima usukan mayoritas mereka, walau beliau kurang

12
berkenan, beliau tidak memaki dam mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan
markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus, dan lain lain.

 Relevansi dengan pendidikan

Pendidik hendaknya dapat berlemah lembut terhadap peserta didiknya khususnya dalam
proses pembelajaran, menyenangkan dan tidak membosankan sehingga peserta didik
mampu menerima ilmu dengan baik.

Pendidik juga harus melakukan diskusi dengan peserta didiknya, apa yang menjadi
kendala mereka dalam pelajaran, apa yang menjadi keinginan mereka dalam proses
pembelajaran misalnya dalam penggunaan metode atau pemberian tugas dan lain
sebagainya. Jangan sampai pendidik menjadi orang yang otoriter, tidak memrima
masukan dari peserta didiknya, menganggap ia paling tahu segalanya.

Ketika kita menemukan kesalahan dari peserta didik, dalam menyerap pelajaran, sulit
diatur dan sebagainya. Jangan lantas kita membeci mereka, memperlakukan mereka
dengan kasar dan keras, menghukum mereka secara berlebihan atau bahkan mengatakan
mereka dengan perkataan yang kotor. Karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah
akan tetapi justru akan meimbulkan banyak masalah bagi pendidik itu sendiri lebih-lebih
bagi peserta didik yang masih dalam tahap pembelajaran. Maafkanlah semua kesalahan
mereka seraya menesehati mereka dengan lemah lembut, bukan berarti lemah lembut itu
tidak tegas, tetapi lemah lembut dalam menasehatinya denagan tutur kata yang baik dan
tidak menyudutkan mereka, karena mereka adalah tanggung jawab pendidik.

D. Tafsir Qur’an Surah Al Hujurat ayat 11

ْ َ ‫نْ َو‬
ْ‫ل‬ َّْ ‫نْخَي ًراْمِن ُه‬َّْ ُ‫عسٰ اىْاَنْْيَّك‬ َ ْْ‫س ۤاء‬
َ ِ‫س ۤاءْْمِنْْن‬ ْ َ ‫سىْاَنْْيَّكُونُواْخَي ًراْمِن ُهمْْ َو‬
َ ِ‫لْن‬ ‫ع ٰا‬
َ ْْ‫لْيَسخَرْْقَومْْمِنْْقَوم‬ ْ َ ْ‫ٰيااَيُّ َهاْالَّذِينَْْ ٰا َمنُوا‬
ٰۤ ُ
َْ‫انْ َو َمنْْلَّمْْيَتُبْْفَاول ِٕىكَْْهُ ُْمْالظ ِل ُمون‬
ِْ ‫الي َم‬
ِ َْ‫قْبَع ْد‬ ُْ ‫سْ ِالس ُْمْالفُسُو‬ ْ َ ‫سكُمْْ َو‬
ِْ ‫لْتَنَابَ ُزواْبِالَل َقا‬
َْ ‫بْبِئ‬ َ ُ‫ت َلم ُِز اواْاَنف‬

11. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang
lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan
lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan
(yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah
saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.

 Asbabun Nuzul

Diriwayatkan bahwa ayat ke 11 dari surah al Hujurat diturunkan berkenaan dengan


tingkah laku kabilah Bani Tamim yang pernah berkunjunng kepada Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa salam, lalu mereka memperolok-olok beberapa sahabat yang fakir dan miskin

13
seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, Salman Al-Farisi dan lainnya karena pakaian
mereka sangat sederhana.

Ada pula yang mengemukakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kisah Shafiyyah
binti Huyay bin Akhtab yang pernah datang menghadap Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
salam, melaporkan bahwa beberapa perempuan di Madinah pernah menegurnya dengan
kata-kata yang menyakitkan hati seperti, “Hai perempuan Yahudi, keturunan Yahudi, dan
sebagainya”. Sehingga Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya,
“Mengapa tidak kau jawab saja, ayahku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa dan suamiku
Muhammad.”

Selain itu, ada juga yang mengaitkan dengan situasi di Madinah. Ketika Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa salam tiba di sana, orang-orang Anshar banyak yang mempunyai
nama lebih dari satu. Jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang
dipanggil dengan panggilan yang tidak disukainya dan setelah hal tersebut dilaporkan
kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam maka turunlah ayat ini.

 Munasabah

Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah telah menjelaskan bagaimana mendamaikan dua


kelompok muslimin yang bertikai dan sesama orang Islam adalah saudara. Lalu
dijelaskan pada ayat ini bagaimana sebaiknya pergaulan orang-orang yang beriman. Di
antaranya, mereka dilarang memperolok-olok saudara mereka dengan memanggil mereka
dengan gelar yang buruk atau berbagai tindakan yang menjurus ke arah permusuhan dan
kedzaliman.

 Makna kata

ُ ‫لَْت َل‬
‫مِزوا‬ ْ ْ‫َْو‬

Kata talmizuu berarti memberi isyarat disertai dengan berbisik-bisik dengan maksud
mencela. Ejekan ini biasanya langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik
dengan isyarat mata, bibir, kepala, tangan atau yang lainnya.

Dalam ayat ini Allah melarang kita untuk melakukan lamz terhadap diri sendiri (talmizu
anfusakum), padahal yang dimaksud adalah orang lain. Pengungkapan anfusakum
dimaksudkan bahwa antara sesama manusia adalah saudara dan satu kesatuan, sehingga
apa yang diderita oleh saudara kita artinya diderita juga oleh diri kita sendiri. Maka siapa
yang mencela atau mengejekorang lain sesungguhnya dia telah mengejek dirinya sendiri.
Kalimat tersebut juga dapat diartikan agar tidak melakukan suatu tindakan yang membuat
orang lain mengejek dirinya.

14
‫َْوْلَْْتَنَا َب ُزوا‬

Kata tanaabazuu berarti memberikan julukan dengan maksud mencela. Tanaabazuu


melibatkan dua pihak yang saling memberikan julukan, atau gelar yang buruk. Hampir
sama maknanya dengan lamz. Hanya saja dalam kata taanabazuu ada makna
keterusterangan dan timbal balik. Seseorang yang melakukan lamz belum tentu di
hadapan orang yang dicelanya.

 Penafsiran

Pada ayat tersebut, Allah mengingatkan orang-orang yang beriman supaya jangan ada
suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok
itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan.
Begitu pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-
olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu di sisi Allah
jauh lebih baik dari perempuan-perempuan yang mengolok-olok.

Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukninin
semuanya harus dipandang sebagai satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan
persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti hai
fasik, hai kafir dan sejenisnya.

Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dikatakan bahwa
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Sesungguhnya Allah tidak memandang
kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi Dia memandang kepada hati dan
perbuatanmu”.

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa seorang hamba tidak boleh memastikan kebaikan
dan keburukan seseorang semata-mata kerena melihat kepada perbuatannya saja, sebab
ada kemungkinan seseorang tampak mengerjakan kebajikan padahal Allah melihat di
dalam hatinya ada sifat yang tercela. Begitupun sebaliknya, mungkin ada orang yang
kelihatannya melakukan suatu keburukan tapi Allah melihat di dalam hatinya ada rasa
penyesalan yang besar yang mendorongnya bertaubat dari dosanya. Jadi, perbuatan yang
tampak di luar itu hanya merupakan tanda-tanda saja yang (sering) menimbulkan
sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai pada tingkatan meyakinkan.

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini menerangkan
bahwa ada seorang laki-laki yang pernah pada masa mudanya mengerjakan perbuatan
buruk, lalu ia bertaubat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-
nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu karena hal itu dapat membangkitkan
perasaan yang tidak baik. Itulah sebabnya Allah melarang memanggil dengan panggilan
dan gelar yang buruk.

15
Adapun panggilan yang mengandung penghormatan tidak dilarang, seperti sebutan
kepada Abu Bakar dengan As-Siddiq, kepada ‘Umar dengan Al-Faruq, kepada Khalid bin
Walid dengan sebutan Saifullah, dan sebagainya.

Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapakan setelah orangnya beriman karena gelar-
gelar itu mengingatkan pada kedurhakaan yang telah lewat dan tidak pantas dilontarkan.

 Relevansi dalam pendidikan


1. Antara pendidik dan peserta didik hendaknya tidak saling menjelek-jelekkan,
saling berhusnudzan dan senantiasa mengingatkan dalam hal kebaikan.
2. Pendidik tidak boleh memanggil peserta didik dengan panggilan yang buruk,
begitu pula sebaliknya.
3. Pendidik memperlakukan peserta didiknya dengan baik, sesuai batas kewajaran,
tidak merendahkan mereka karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama
di hadapan Allah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab tidak hanya
mentranferkan ilmu pengethuan, namun juga bertugas mendidik,
mengarahkan, memotivasi dan sebagai fasilitator bagi peserta didiknya.
2. Peserta didik ialah mereka yang memiliki potensi, bakat dan minat namun
masih memerlukan bimbingan, dan arahan dari pendidik.
3. Dalam surah al-Kahfi ayat 60-82, Allah menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu
tanpa batas meskipun seseorang itu sudah dalam tingkatan tinggi, seorang
murid harus memiliki rasa semangat, sopan santun terhadap guru, berbaik
sangka.
4. Dalam surah al-Baqarah ayat 286, Allah menjelaskan kepada kita untuk
senantiasa memohon dan berdo’a kepada-Nya, agar kita selalu siap
menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
5. Dalam surah Ali Imran ayat 159, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa
berlemah lembut kepada sesama, bermusyawarah dalam segala urusan serta
memaafkan kesalahan orang lain.
6. Dalam surah al-Hujurat ayat 11, Allah melarang kita untuk mengolok-olok
orang lain dan menjelek-jelekkan mereka baik dalam perkataan, isyarat,
maupun dalam hal perbuatan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abnisa, A. P. (2017). Konsep Pendidik dan Peserta Didik Dalam Perspektif Al-Qur’an.
Jurnal Asy-Syukriyyah, 18(1), 67-81.

Al-Zamzami, M. (2018). ETIKA MENUNTUT ILMU DALAM QS. AL KAHFI AYAT 60-
82 REINTERPRETASI KISAH NABI MUSA DALAM UPAYA MENGHADAPI
DEKADENSI MORAL PELAJAR. EL TARBAWI, 11(2).

Al-Qurthubi, S. I. (2008). Tafsir Al Qurthubi, Jilid 4. Jakarta: Pustaka Azzam.

Langgulung, H. (1988). Pendidikan Islam menghadapi abad ke-21. Pustaka Al Husna.

17

Anda mungkin juga menyukai