Anda di halaman 1dari 7

FENOMENA KOREAN WAVE DAN IMPERIALISME BUDAYA

(Studi terhadap Remaja-Remaja yang Menggemari Budaya Populer Korea)

Dosen Pengampu :

Nanang Mizwar Hasyim, M.Si

Disusun oleh :

Naylunnajati Faizunnur (21102010024)

Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SUNAN KALIJAGA
2021/2022
1. Latar Belakang

Sekitar tahun 1990-an, aliran musik pop barat Amerika dan Inggris sangat diminati oleh
remaja-remaja Indonesia. Siapa yang tak mengenal Westlife, Boyzone dan lainnya. Selanjutnya,
pada awal tahun 2000, meskipun masih didominasi oleh musik pop barat, musik pop Jepang pun
mulai merambah di Indonesia. Pada tahun itu, ketika sedang maraknya Worldcup Korea-Japan,
drama- drama korea beserta musiknya mulai masuk ke Indonesia. Drama dari korea banyak
digemari oleh masyarakat Indonesia karena jalan ceritanya yang bagus dan wajah cantik dan
tampan Asia Timur yang khas. Namun pada saat itu, lagu-lagu Korea belum banyak memikat
remaja-remaja Indonesia. Remaja Indonesia hanya sebatas menyukai lagu-lagu Korea yang
menjadi tema lagu sebuah drama saja. (Nugroho, 2005)

Tepatnya di tahun 2007, ketika game online Korea ayodance muncul di Indonesia, gejala
demam pop Korea mulai tampak di permukaan. Ini adalah permainan multi-players online
dengan latar belakang lagu pop yang terkenal di Korea. Tidak heran ketika seorang remaja
memainkan permainan ini, ia akan dengan mudah menyukai lagu Korea dan akan ikut
menyanyikannya karena memang lagu-lagu Korea tergolong easy-listening. Tidak sedikit yang
kemudian langsung terpikat dan mulai mencari informasi tentang penyanyi aslinya. Dari situlah
demam pop Korea di Indonesia dimulai. ( http://www.kaskus.us/showthread.php?
t=3037389&page=8 )

Mulanya, para remaja ini bergabung dengan forum website atau fanbase internasional
yang berkaitan dengan idola mereka. Tidak sedikit juga blog-blog luar negeri yang
memberitakan tentang idola Korea serta menyertakan tautan website untuk mengunduh video
musik penyanyi-penyanyi terkenal Korea. Tren mengunduh video musik dan program televisi
Korea pun merambah melalui Youtube. Demam musik Korea pun mulai dijadikan untuk
menghasilkan pundi-pundi uang. Mereka yang memang mempunyai modal, mampu mengimpor
barang-barang merchandise penyanyi idola Korea. Mereka bisa menjual berbagai album CD,
lightstick, poster, dan barang lainnya yang berkaitan dengan si idola. Mereka menjualnya di
platform media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter serta toko online e-commerce seperti
Shopee, Tokopedia dan lain sebagainya.

Namun segala hal yang berbau Korea tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga
merambah ke negara-negara Asia lainnya, Eropa, Timur Tengah, Australia, Amerika Serikat,
Amerika Latin bahkan Afrika. Demam budaya pop Korea telah menjamur di berbagai negara di
dunia. Orang Korea sendiri menyebut demam Korea ini sebagai hanryu wave (Korean wave /
gelombang Korea). (http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/c50y_2011/sub01.htm )

2. Kajian Teori

Imperialisme budaya merupakan salah satu pilar utama tren ekspor di sektor media global,
yang telah menjadi sumber utama tenaga kerja dunia di Amerika. Diyakini bahwa imperialisma
budaya ini mengarahkan pada kebergantungan, hilangnya otonomi, dan berkurangnya minat pada
budaya nasional atau pun budaya lokal.

Schiller (1976) menyebutkan bahwa negara Barat lah yang mendominasi media di seluruh
dunia ini. Ini berarti, media massa negara Barat juga mendominasi media massa di negara ketiga.
Media Barat memunculkan perspektif yang sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga.
Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul melalui media tersebut. Dalam perspektif
teori ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah
terjadi penghancuran budaya asli di negara ketiga.

Dengan kekuatan besar yang dimiliki media barat, mereka mampu mengusai negara-negara
berkembang dengan sedemikian rupa. Mari kita lihat bagaimana bioskop-bioskop di Indonesia
didominasi oleh produk-produk film Hollywood. Bagi penduduk negara ketiga, Indonesia,
terlihat lebih keren jika menonton film Hollywood dari pada menonton film lokal. Walaupun
memang dari segi teknologi, film Hollywood menggunakan efek CGI yang sangat berkualitas
dan terlampau canggih dari pada film buatan Indonesia.

Contoh lain dari imperialisme budaya adalah bagaimana ketika tontonan remaja saat ini
banyak memuat gaya fashion yang berpusat pada dunia berbusana khas barat. Dengan model
berwajah bule mengenakan pakaian bermerek mahal dengan harga selangit. Begitupun dengan
iklan-iklan kosmetik luar begeri yang diiklankan di majalah remaja tersebut. Remaja, yang
notabene senang mengikuti tren, mereka menjadi konsumtif dengan mengkonsumsi produk-
produk dari luar.

Kedua, mereka mempunyai teknologi sangat maju yang membuat negara barat seolah-seolah
menjadi Tuhan yang mampu membuat dan memproduksi apapun. Seperti film Marvel yang
menduduki puncak box office. Film tersebut memiliki efek 3 dimensi yang begitu nyata dan efek
make-up yang menakjubkan. Atau seperti film Transformer yang mengisahkan robot-robot mobil
yang terlihat begitu nyata dalam kehidupan orang biasa. Dengan kurangnya uang dan teknologi
di Indonesia, mau tidak mau masyarakatnya terbiasa dengan mengkonsumsi produk-produk
barat. Hal ini yang kemudian mendarah daging dan menjadi gaya hidup yang biasa.

Dengan begitu, imperialisme berkaitan sangat erat dengan budaya populer dalam masyarakat.
Bagi kebanyakan orang, budaya populer ini memberikan mereka kenyamanan di zaman modern.
Hiburan tersedia di televisi, radio, film, internet yang nampaknya tidak berbahaya sama sekali.
Media-media yang disebutkan memberikan hiburan, kesenangan, memudahkan orang terhubung
dengan dunia yang lebih luas, melepas kebosanan dan kesendirian. Adorno menyebutkan bahwa
budaya populer merupakan bisnis yang sangat serius, sebagai sesuatu yang sangat beracun dan
efeknya mempengaruhi proses sosial. (Witkin, 2003)

Budaya populer pada umunya adalah budaya yang ringan, yang membuat orang mudah
menyukai dan menganutnya, dan cenderung berubah-ubah. Sebut saja lagu-lagu band-band
Indonesia yang begitu mudah mengena di telinga masyarakat. Orang dewasa dan remaja
menyanyikannya, bahkan anak-anak pun menyukainya. Demikian kata Adorno, bahwa budaya
populer merupakan suatu bisnis yang serius. Dikatakan begitu, karena para produsen berlomba-
lomba untuk menciptakan suatu karya yang nantinya diproduksi secara masal dan berusaha untuk
merebut perhatian masyarakat serta mengharuskan agar karya itu meracuni pikiran masyarakat
sebelum akhirnya akan muncul karya-karya baru yang menggantikannya. Selama masih ada
budaya populer, dapat dipastikan imperialisme pun akan muncul.

3. Metode Penelitian
Dalam observasi ini, digunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini biasanya menekankan
pada kualitas daripada kuantitas dalam mengumpulkan dan menganalisa data. Menurut Lindlof
dan Taylor (2002), Penelitian kualitatif ini pada dasarnya mencari kebenaran dan menganalisis
bentuk situasional, isi dan pengalaman atas tindakan sosial, serta tidak mengubahnya menjadi
transformasi matematis atau transformasi formal lainnya. Pembicaraan, bahasa tubuh, dan
lainnya merupakan bahan dasar untuk dianalisa.

Dengan metodologi penelitian ini, sangat mudah bagi peneliti untuk mengaitkan fenomena-
fenomena yang terjadi di masyarakat dan menyajikannya dalam bentuk tulisan. Dengan
demikian, pejelasan dalam observasi ini terhadap sebuah gejala fenomena sosial akan menjadi
lengkap. Data yang diperoleh peneliti pun merupakan data yang sebenarnya.

4. Pembahasan

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan mengenai Fenomena Korean Wave dan
Imperialisme Budaya, dapat ditemukan hasil sebagai berikut :

Pada Fenomena ini, demam Korea telah sedemikian rupa mewabah di berbagai belahan
negara. Di Indonesia khususnya, musik K-pop, drama korea, tempat les bahasa korea, makanan
korea, bahkan paket tour ke korea sedang digandrungi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
pemerintah Korea yang dengan sungguh-sungguh meningkatkan industri pariwisata serta dunia
hiburannya. Bahkan di tahun 2022 ini, begitu banyak artis Korea yang mengadakan konser di
Jakarta yang membuat remaja, remaja putri khususnya, rela mengeluarkan uang hingga jutaan
rupiah untuk menonton konser tersebut. Disetiap konsernya, penyanyi-penyanyi korea tersebut
yang biasa disebut sebagai ‘idol’ mampu membius ribuan penonton.

Tidak hanya itu, bahkan mereka rela mengeluarkan uang ratusan ribu lagi untuk membeli
segala souvenir idola tersebut. Yang memprihatikan adalah ketika idola tersebut meriliskan
album karena sekali album rilis, itu tidak hanya satu versi album, tetapi dalam beberapa versi:
versi A, B, C, hingga z. Tidak jarang mereka membeli semua versi nya dan hal tersebut pastinya
butuh uang banyak, belum lagi untuk souvenir lainnya. Begitulah taktik manajemen artis di
Korea yang mengomodifikasi artis-artisnya sebagai aset.
Penggemar-penggemar musik pop Korea ini secara tidak langsung telah dipengaruhi oleh
“kebutuhan-kebutuhan palsu” yang ditanamkan oleh perusahaan-perusahaan penyanyi idola
tersebut. Dalam mengagumi seorang idola, sang penggemar bisa dengan rajin menjelahi dunia
maya setiap hari untuk mengetahui berita terbaru si idola. Penggemar akan menabung untuk
membeli Album asli si penyanyi idola. Penggemar juga tergoda oleh banyak beredarnya
souvenir-souvenir penyanyi idola. Dan ketika penyanyi tersebut mengadakan konser, penggemar
seolah-olah dituntut untuk wajib menyaksikannya. Meskipun konser tersebut dilaksanakan di
luar negeri, penggemar tidak segan-segan untuk mengorbankan waktu dan uangnya untuk hal
tersebut.

Penggemar yang sudah terlanjur terobsesi dengan idolanya tidak menyadari bahwa
mereka sebenarnya telah terjebak menjadi konsumtif oleh pihak-pihak kapitalisme. Pihak-pihak
ini mampu menciptakan sebuah kesadaran palsu untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Penggemar tidak menyadari bahwa mereka telah dijadikan objek oleh imperialisme budaya.
Khalayak seperti penggemar musik pop Korea ini dianggap sebagai massa yang pasif, pasrah,
rentan, bisa dieksploitasi, bisa dimanipulasi, dan menjadi sasaran empuk bagi konsumerisme.
Namun meskipun mengetahui fakta bahwa mereka telah dimanfaatkan oleh pihak kapitalisme,
mereka malah tidak mempedulikannya dan terus menikmati fantasi palsu yang mereka dapatkan.

5. Kesimpulan

Secara garis besar, observasi ini membahas bagaimana budaya popular Korea Selatan yang
mendominasi di Indonesia dengan sedemikian rupa. Selain musik, Korea Selatan juga mulai
menyebarkan komodifikasi kebudayaan lainnya di Indonesia. Sebelumnya budaya popular Korea
tidak banyak dikenal, namun dengan ketekunan industri di Korea Selatan, mereka mulai
menyebarkan virus yang bernama Korean Wave. Dengan meledaknya budaya popular Korea
dimana-mana, mereka kemudian mulai mengomodifikasi segala hal yang berbau kebudayaan
mereka agar bisa memunculkan nilai jual dan menghasilkan devisa. Ini merupakan sebuah
bentuk imperialisme budaya yang ingin dicapai oleh pihak Korea Selatan.

Remaja-remaja di Indonesia mulanya menyukai budaya popular Korea dari menonton video-
video musik K-pop seperti yang dialami informan 1 dan informan 4, dengan menonton drama
yang dilakukan oleh informan 2, dan dari pengaruh menonton variety show yang dialami
informan 3. Pengalaman awal dari keempat informan ini memang berbeda-beda, tetapi semua hal
itu bermuara kepada sebuah dominasi yaitu budaya populer Korea.

Dengan imperialisme budaya Korea ini, pihak Korea Selatan menanamkan kesadaran-
kesadaran palsu yang tanpa disadari oleh telah menjadi sebuah kebutuhan tersendiri bagi I
penggemar. Seperti yang telah dipaparkan pada bentuk-bentuk kapitalisme diatas, tanpa disadari
para penggemar telah terikat oleh kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Kebanyakan penggemar-penggemar itu merasa tidak lengkap apabila tidak mengonsumsi


produk tersebut. Setiap ada produk Korea terbaru mereka seakan-akan dituntut untuk wajib
memiliki hal-hal tersebut. Meskipun dengan harga yang fantastis, penggemar-penggemar yang
terlanjur fanatik akan mengusahakan untuk memperoleh barang atau produk tersebut.

Anda mungkin juga menyukai