Anda di halaman 1dari 10

DARI HOROR DEMONIK KE HOROR IDEOLOGIS:

Pembacaan Cerpen-cerpen Horor Yudhi Herwibowo

Rh. Widada

Fiksi Horor dalam Perbincangan Sastra Indonesia


Masyarakat sastra Indonesia sejauh ini memasukkan cerita fiksi horor ke dalam golongan
karya sastra populer. Fiksi horor berada dalam satu himpunan dengan, misalnya, novel
detektif, cerita silat, roman percintaan atau roman picisan, bahkan novel porno atau “novel
stensilan”. Dalam pembicaraan sastra—sastra sebagai suatu karya seni yang dituntut untuk
selalu menghadirkan kebaruan-kebaruan, orisinalitas, baik mengenai apa atau cara
pengungkapannya— fiksi horor nyaris tidak pernah disorot, bahkan sekadar sebagai bagian
dari sastra populer sekalipun. Jakob Sumarjo dalam Novel Populer Indonesia, sebuah buku
langka, kalaupun bukan satu-satunya, yang membahas secara khusus novel populer
Indonesia, pun tidak banyak menyinggung fiksi horor. Ia secara sambil lalu hanya
menyatakan bahwa “novel gothik (hantu-hantuan)” yang coba hendak dirintis oleh Abdullah
Harahap sejak awal 1970-an belum mendapatkan publiknya sampai buku Sumarjo itu ditulis
(1980). Akan tetapi, pada waktu-waktu berikutnya, pada pertengahan 80-an hingga dekade
90-an, ketika novel hantu-hantuan Abdullah Harahap dan pengekornya telah “mendapatkan
publiknya”, fiksi horor serupa itu tetap jarang menjadi bahan pembicaraan sastra sekalipun
dalam label sastra populer. Novel horor kiranya tidak jauh tempatnya dari “novel stensilan”,
keduanya ada tapi tidak dibicarakan.
Terabaikannya fiksi horor dari pembicaraan tentang sastra itu dapat dimaklumi
mengingat sampai saat ini banyak, bahkan sebagian besar, orang masih meyakini bahwa
untuk dapat disebut berkualitas, sebuah karya sastra haruslah memenuhi sejumlah kriteria.
Kriteria itu misalnya adalah harus mengandung pemikiran, pandangan, penjelajahan wilayah-
wilayah baru dan/atau cara pengungkapan yang juga baru dalam sejarah sastra kita. Dalam
hal ini fiksi horor sebagai bagian dari sastra populer dianggap tidak memenuhi kriteria
tersebut. Karya-karya sastra populer dinilai hanya merupakan pengulangan, klise-klise dari
pikiran, pandangan, wilayah, dan/atau cara ungkap yang telah ada. Jika kita menggunakan
kriteria dulce et utile (menghibur dan bermanfaat) sebagai fungsi mendasar karya sastra, fiksi
horor atau novel populer pada umumnya boleh dikatakan baru “setengah sastra” karena
mereka baru memenuhi satu kriteria, yakni menghibur. Oleh karena itu, sastra populer bisa
disebut juga sekadar sastra hiburan.

1
Usaha untuk mengetengahkam fiksi horor ini sebagai bahan perbincangan pernah
terjadi pada akhir 2010, yakni dengan diterbitkannya sebuah antologi cerpen horor berjudul
Kumpulan Budak Setan. Buku ini memuat dua belas cerpen karya sastrawan mutakhir
Indonesia, yakni Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad. Buku ini
dimaksudkan sebagai sebuah penghormatan kepada Abdullah Harahap yang dikenal sebagai
raja novel horor yang selama ini seolah dikuburkan dalam sejarah sastra. Momen penting ini
kiranya tidak lepas dari semakin menguatnya posmodernisme dan kajian budaya (cultural
studies) di Indonesia pada seputar pergantian milenium.
Momen yang sengaja diciptakan itu memang mampu membuka kesempatan lebih
besar untuk masuknya fiksi horor dalam pembicaraan sastra. Namun, hal itu tidaklah
mengubah hierarki antara karya sastra (inventif) dan karya sastra populer (klise) itu. Karya
sastra populer tetaplah dianggap sebagai hiburan saja. Meskipun kini sastra populer memang
sering dijadikan bahan pembicaraan sastra, tetapi ia diperlakukan lebih sebagai dokumen
sosio-kultural. Dalam praktiknya hierarki antara sastra (inventif) dam sastra populer tidaklah
hancur.
Usaha untuk mengangkat fiksi horor, dengan penerbitan antologi cerpen
penghormatan (tribute) untuk Abdullah Harahap, dalam perbincangan itu tampaknya kurang
berhasil. Namun demikian, dari sisi penciptaan dan atau produksi, fiksi horor menunjukkan
antusiasme. Fiksi horor bermunculan dalam dua dekade terakhir dan mempopulerkan nama-
nama penulisnya seperti Risa Saraswati, Lexie Xu, Jounatan & Guntur Alam, Arumi E,
Nurashinichi, Hanamizuki Mega, dan lain-lain. Sebagian besar fiksi horor ini menyasar
pembaca remaja atau muda.
Menyusul maraknya fiksi horor tersebut, Yudhi Herwibowo, penulis produktif yang
menulis dalam berbagai macam genre seperti cerpen, novel sejarah, novel remaja, dan juga
esai resensi filem biopik (khusus penulis), pada pertengahan tahun 2020 juga menelorkan
antologi cerpen horor berjudul Terkutuk dan Kisah-kisah Mengerikan Lainnya. Yang
menarik, cerpen-cerpen horor Yudhi itu sebagian besar sudah pernah terbit di koran atau
majalah yang selama ini dikenal menampilkan cerpen-cerpen yang berkategori sastra
(inventif) seperti Horison, Koran Tempo, The Jakarta Post, Jawa Pos, Suara Merdeka, serta
sejumlah situs sastra di dunia maya. Dengan demikian, muncul sebuah pertanyaan menarik,
apakah kini fiksi horor sudah mulai diterima dalam kategori karya sastra (inventif), tidak
sekadar dipandang sebagai sastra hiburan atau populer? Pertanyaan ini menarik, tetapi tidak
akan dijawab lebih jauh di sini. Perlu sebuah pembicaraan tersendiri tentang hal ini. Jawaban
sementara yang bisa diberikan ialah gejala ini mungkin masih merupakan bagian dari muncul

2
dan berkembangnya kajian budaya (cultural studies) di fakultas-fakultas sastra atau di dunia
sastra pada umumnya dalam dua dekade terakhir. Yang perlu kita bicarakan di sini ialah apa
yang telah ditawarkan oleh cerpen-cerpen horor Yudhi sebagai sebuah fiksi horor? Apa saja
hal-hal penting yang ada dalam tawarannya itu?

Kisah-kisah dalam Antologi Cerpen Terkutuk sebagai Karya Seni Horor


Noel Carrol dalam The Philosophy of Horror, sebuah buku yang dimaksudkan untuk
membangun teori tentang horor, menyatakan bahwa genre seni horor mendapat predikat
horornya tersebab kemampuannya membangkitkan horor, yakni adonan dari rasa takut, ngeri,
dan rasa penasaran yang menegangkan (Carroll, 2004: 15). Kisah-kisah dalam dalam antologi
cerpen Terkutuk telah memenuhi kualitas tersebut. Di dalamnya kita akan menjumpai narasi
peristiwa, atmosfer, latar, tokoh-tokoh, dan alur yang mengerikan, penuh misteri, dan
sekaligus menimbulkan rasa penasaran.
Charles Derry (2009) dalam telaahnya tentang cerita-cerita filem horor modern sejak
tahun 1950-an, membagi horor menjadi tiga kategori, yakni horor kepribadian, horor bencana
besar, dan horor demonik. Meskipun ditujukan untuk filem, istilah-istilah kategorial itu
kiranya dapat juga dikenakan pada cerita fiksi horor secara umum. Horor kepribadian
mengacu pada cerita-cerita menakutkan yang timbul dari masalah kejiwaan manusia, seperti
cerita pembunuhan oleh seorang psikopat, maniak, dan sebagainya. Horor armagedon adalah
cerita-cerita mengerikan mengenai bencana besar di akhir zaman atau akhir dunia. Adapun
horor demonik adalah cerita-cerita menakutkan terkait dengan kekuatan-kekuatan supra
natural yang jahat, misalnya setan-setan, iblis, siluman, kutukan roh-roh atau kekuatan, dan
berbagai kekuatan gaib lainnya.

Horor Demonik
Meminjam istilah Dery tersebut, cerpen-cerpen horor Yudhi dapat dimasukkan ke
dalam kategori cerita horor demonik. Ada tiga poin yang mendukung hal ini. Pertama,
hadirnya seting tempat-tempat angker; kedua, hadirnya sosok-sosok atau tokoh gaib; ketiga,
hadirnya kekuatan-kekuatan besar, impersonal, dan gaib yang menguasai para tokoh.
Pertama, hadirnya seting tempat-tempat dengan kekuatan supranatural. Tempat-
tempat yang mengandung kekuatan supranatural ini misalnya, hadir dalam cerpen
“Terkutuk”, “Pintu”, “Sebuah Ayunan dari Tanah Mati”, “Pernah Ada yang Mati di Tempat
ini”, “Penjaga Tiga Pintu”, dan “Kasus”. Cerpen “Terkutuk” menceritakan rumah yang
bagian belakangnya dihuni oleh potongan tangan-tangan berdarah yang sering muncul dan

3
merayap di dinding. Penghuni rumah pada akhir cerita menemui celaka. Si ayah yang jahat
dan kejam mati ditembak oleh orang-orang yang menaruh dendam. Adapun sang anak diseret
ke lubang gelap oleh tangan-tangan berdarah itu. “Pintu” menceritakan sebuah tempat angker
yang ditutupi oleh tembok dengan akses sebuah pintu terlarang untuk dibuka. Dari sudut
pandang sebatang pohon tua di tempat itu, terkuak berbagai kejadian mengerikan yang
pernah terjadi di sana, yakni eksekusi mati dan penguburan banyak orang, dan perkosaan
serta pembunuhan seorang gadis kecil. Motif serupa ini diulang kembali dalam cerpen
“Penjaga Tiga Pintu”. Dalam cerpen “Sebuah Ayunan dari Tanah Mati” hadir sebuah padang
gaib tempat banyak ayunan ajaib yang konon dapat menjadi sarana bagi padangan suami istri
yanng menginginkan anak. Sedangkan “Pernah Ada yang Mati di Tempat Ini” menceritakan
tentang rumah yang di salah satu kamarnya pernah terjadi pembunuhan sehingga sejak itu
isyarat-isyarat misterius muncul di sana seolah hendak mengabarkan kejadian itu. Motif
serupa ini dengan efek yang lebih rumit dan misterius diulang pada cerpen “Kasus”. Dalam
cerpen ini, rumah tempat bekas pembunuhan seperti itu kembali menjadi ajang pembunuhan
yang tidak pernah terungkap siapa pembunuhnya.
Kedua, hadirnya sosok-sosok atau tokoh gaib. Sosok-sosok gaib muncul dalam
cerpen “Asu Baung”, “Kucing Ketiga Madame Soekotjo”, “Kitab Ular”, “Anjing-anjing
Pulau Merah”, “Para Mata”, dan “Ular-ular Merah di Tubuh Kakek”. “Asu Baung”
menceritakan balas dendam seorang nyonya tua pemilik anjing jejadian yang dikucilkan
masyarakat. Nyonya tua itu dengan taktis menggiring dan menjebak bocah lelaki, anak dari
pembunuh anjing jelmaan suami perempuan tua pada masa silam. “Kucing Ketiga Madame
Soekotjo” mengisahkan kucing misterius milik Madame Soekotjo, janda tua berkebangsaan
Belanda yang hidup sejak masa kolonial. Keberadaan kucing itu tidak pernah diketahui oleh
para tetangganya. Namun, ketika sang nyonya meninggal dan dikuburkan, seorang anak kecil
melihat seekor kucing di atas gundukan kuburannya. Sementara itu, orang cuma melihat
tanah gundukan kubur itu berguguran seperti digaruk. “Kitab Ular” mengisahkan usaha susah
payah seorang anak muda yang diberi tugas untuk membuang kitab terkutuk yang terus
mengeluarkan ular-ular saat dibuka. Namun, setelah dengan perjuangan berat kitab itu
dibuang ke tempat terpencil, kitab itu kembali lagi kepada si anak muda. “Anjing-anjing
Pulau Merah” berkisah tentang sebuah pulau yang dikuasai oleh anjing-anjing gaib. Mereka
hanya muncul di malam hari. Semakin malam semakin banyak. Konon anjing-anjing itu
berbiak dari sepasang bayi anjing yang dibuang ke pulau itu karena pemiliknya tidak
menghendaki anak anjing lagi. Adapun “Ular-ular Merah di Tubuh Kakek” mengangkat
cerita tentang makhluk-makhluk gaib yang bersemayam di tubuh seorang kakek dan menjadi

4
sumber kesaktiannya. Ketika sang kakek mati, mereka mencari tubuh baru, yakni sang cucu
sebagai tempat bersemayam.
Ketiga, kekuatan-kekuatan gaib dan impersonal yang penuh kuasa. Kekuatan
demonik ini tidak berupa roh, sosok atau wujud tertentu, tetapi murni sebagai kekuatan
tersembunyi yang bisa melekat pada benda-benda apa pun. Kekuatan semacam ini diceritakan
dalam cerpen “Jangan Bertukar Sepatu Saat Kau Sedih”, “Suanggi” dan “Setelah Tahun
Baru”. Dalam “Jangan Bertukar Sepatu Saat Kau Sedih” kekuatan ini melekat pada sepasang
sepatu bagus tetapi membawa nasib buruk dan kutukan maut pada pemiliknya. Sayangnya,
seorang anak miskin yang cuma memiliki sepatu butut mau menukar sepatu bagus itu dengan
sepatu bututnya. “Suanggi” mengangkat topik tentang kekuatan ilmu hitam yang biasanya
digunakan oleh orang yang menerima perintah membunuh dengan imbalan. Cerpen “Setelah
Tahun Baru” menyodorkan kisah misterius yang unik, yakni tentang kekuatan gaib yang
melekat pada sebuah cermin yang mampu mengantarkan orang untuk memasuki pengalaman
dalam waktu yang berjalan mundur.

Horor Ideologis
Dari pembacaan awal atas antologi cerpen Terkutuk, kita diyakinkan bahwa kisah-kisah itu
adalah fiksi horor. Mereka merangsang dan membangkitkan perasaan takut, ngeri, penasaran,
dan ketegangan seperti lazimnya cerita horor. Akan tetapi, dalam pembacaan yang lebih
mendalam atau intens, cerpen-cerpen itu memberikan isyarat, tanda-tanda pada pembacanya
untuk menangkap sesuatu yang lain di samping kengerian dan ketegangan. Apa saja tanda-
tanda itu?
Ada beberapa indikasi dan kencenderungan penting berupa motif-motif atau
gambaran-gambaran dalam semesta cerita yang dapat menjadi landasan untuk pemaknaan
yang lain atas antologi cerpen Terkutuk di luar pretensinya untuk membangkitkan ketakutan,
kengerian, dan ketegangan. Pertama, munculnya motif pengiblisan (demonisasi) warna
merah. Kedua, kecenderungan penggambaran ayah sebagai sosok yang jahat, kejam, atau
setidaknya sebagai sumber masalah. Ketiga, munculnya motif balas dendam. Keempat, motif
penyembunyian atau penguburan masa lalu. Kelima, gambaran pembantaian massal.

Demonisasi Warna Merah


Dalam antologi cerpen Terkutuk muncul kecenderungan untuk mengidentifikasikan warna
merah sebagai bagian dari bahaya, kejahatan, keburukan, dan kematian. Merah adalah
sumber dari horor atau ketakutan. Dalam semesta antologi cerpen Terkutuk, warna

5
ditampilkan sebagai indikasi dari aspek-aspek iblis atau setan. Ada pengiblisan atau
demonisasi warna merah di sini. Secara jelas hal ini muncul dalam dua cerpen, yakni “Ular-
ular Merah di Tubuh Kakek” dan “Anjing-anjing Pulau Merah”.
Ular merah dalam cerpen tersebut adalah ular-ular gaib yang menjadi sumber
kekuatan kakek sebagai seorang yang dulu pernah hidup atau mencari nafkah bermodal
kekuatan dan kekerasan fisik di sebuah pasar. Mungkin dia adalah preman pasar atau justru
kepala preman. Berkat ular-ular itu, si kakek berjaya sebagai penguasa pasar. Adapun Pulau
Merah merupakan pulau kecil yang dikenal sebagai tempat hidup anjing-anjing gaib yang
hanya muncul di malam hari. Anjing-anjing itu dengan demikian tampak sebagai bagian dari
makhluk dunia kegelapan, tempat bersemayam para setan, iblis, dan kekuatan jahat lainnya.
Pemaknaan apa yang dapat ditarik dari kecenderungan demonisasi warna merah ini?
Kecenderungan ini belum bisa dimaknai jika dilihat secara terpisah dari kecenderungan
lainnya. Dengan demikian, pemaknaannya baru dapat ditemukan setelah semua
kecenderungan itu dipaparkan.

Gambaran Ayah sebagai Sosok Jahat


Tokoh-tokoh ayah dalam antologi cerpen Terkutuk kerap tampil sebagai sosok buruk, jahat,
dan kejam, atau setidaknya menjadi sumber masalah. Dalam cerpen “Terkutuk”, misalnya,
sosok ayah adalah seorang yang licik, pekerjaannya tidak jelas tetapi setiap kali ia pergi
maka saat pulang akan membawa uang banyak. Karena itu, si anak menebak bahwa mungkin
ayahnya adalah seorang pencuri atau perampok. Sebagai gambaran, mari kita simak tuturan
sang anak tentang ayahnya dalam cerpen itu.
“Selain tangan-tangan yang muncul di dinding belakang, masih ada masalah
lain di rumah ini. Semua tentu karena ulah ayah yang seenaknya. Kemarin,
seorang polisi sampai datang ke rumah untuk menemuinya, Si polisi
mendapat laporan bahwa ayah baru saja menembak kaki seorang tetangga.
Seketika ayah berubah menjadi begitu ramah. Ia menawari polisi itu
minuman kaleng dingin. Lalu saat polisi itu lengah, ia memukulnya dengan
kursi yang biasa digunakannya untuk memukulku.” (Hal. 4)

Ketiga, Pewarisan Dendam dan Pelampiasan Kebencian


Motif balas dendam juga merupakan hal yang sering muncul dalam kumpulan cerpen
Terkutuk. Motif ini misalnya tampil dalam cerpen “Terkutuk”, “Asu Baung”, “Suanggi”.
Balas dendam dalam cepen “Terkutuk” diwujudkan dalam penggerebekan dan penembakan
tokoh ayah di rumahnya. Dalam “Asu Baung”, dendam dilampiaskan pelunasannya kepada

6
anak dari seorang ayah yang memicu dendam. Adapun dalam “Suanggi” dendam itu berujung
pada pertempuran maut antarsaudara.

Keempat, Motif Penyembunyian atau Penguburan Masa Lalu


Masa lalu yang bermasalah, mengandung aib dan kesalahan besar dan coba hendak ditutup-
tutupi dalam antologi cerpen ini pada akhirnya hanya menimbulkan masalah tersendiri. Hal
itu menjadi sumber kecurigaan dan konflik bagi generasi yang lebih muda. Bersama dendam
yang terus dipelihara, upaya penguburan masa lalu oleh pemilik aib menjadi sumber masalah
dan kebingungan generasi sesudahnya. Ia adalah sumber kutukan bagi hari ini. Motif ini
tergambar dengan baik pada cerpen-cerpen “Terkutuk”, “Pintu”. “Penjaga Pintu”, dan “Ular-
ular Merah dalam Tubuh Kakek”.

Kelima, Pembantaian Massal


Peristiwa menarik lainnya dalam antologi ini adalah peristiwa pembunuhan massal.
Meskipun hal itu tidak menjadi pokok cerita, yakni sekadar disinggung saja, tetapi
penghadiran hal tersebut merupakan sesuatu yang dapat dibaca lebih jauh untuk menemukan
pemaknaan lain dari cerpen-cerpen dalam antologi ini. Pembantaian massal di sini umumnya
menjadi salah satu sebab mengapa tempat pembantaian tersebut menjadi angker, gawat, dan
penuh kutukan. Singgungan tentang pembunuhan massal ini muncul dalam cerpen
“Terkutuk”, “Pintu”, dan “Anjing-anjing Pulau Merah.”

Horor Ideologis Orde Baru


Kelima kecenderungan tersebut jika dilihat sebagai suatu kesatuan dalam pandangan yang
menyeluruh, maka akan memunculkan suatu semesta pembicaraan dan pemaknaan tertentu
yang pola-polanya mempunyai rujukan pada semesta wacana masyarakat tertentu, dalam hal
ini ialah masyarakat pada masa Orde Baru. Dengan demikian, pemaknaan antologi cerpen ini
akan lebih kaya jika kita mengaitkannya dengan penanda-penanda dalam semesta wacana
Orde Baru. Bagaimana tafsiran ini dimungkinkan? Melalui penelusuran semiotik seperti apa
tafsir atau pemaknaan ini dimungkinkan?
Untuk melihatnya, terlebih dahulu perlu digambarkan tentang semesta wacana khas
Orde Baru. Dapat kita nyatakan bahwa salah satu ciri penting dari semesta wacana Orde Baru
adalah ketakutannya pada komunisme. Akan tetapi, ketakutan itu merupakan hasil dari
propaganda yang gencar, terus-menerus, dan penuh ancaman, yang menyatakan bahwa
komunisme itu kejam, bengis, kasar, dan jahat, tidak mengenal Tuhan. Propaganda yang

7
sangat terkenal dan masih hidup sampai sekarang adalah peringatan yang berbunyi “Awas
bahaya laten komunisme.”
Lebih lanjut, komunisme dalam perbincangan sejarah sosial politik kita lazim
diasosiasikan dengan warna merah. Merah adalah warna komunisme. Kita mengenal Sarekat
Islam (SI) Merah dan SI Putih. Merah adalah juga warna darah. Ini juga memperkuat asosiasi
merah-komunisme tersebut karena bukankah dalam narasi sejarah kita, secara kontinyu
ditonjolkan bahwa aksi-aksi komunisme selalu berdarah-darah? Mungkin inilah mengapa
satu penggal dialog yang tidak begitu jelas maunya, “Darah itu merah, Jendral!” dalam film
propaganda Pengkhianatan G 30S-PKI menjadi begitu sugestif sehingga melekat kuat dalam
ingatan penontonnya. Mengacu pada asosiasi warna merah pada komunisme dalam semesta
wacana masyarakat Orde Baru itu, maka demonisasi warna merah dalam antologi cerpen
Terkutuk ini dapat menemukan pemaknaannya yang lebih kaya.
Selanjutnya, gambaran sosok ayah yang jahat dalam antologi cerpen ini juga
memiliki kesejajaran dengan paternalisme dalam masyarakat Orde Baru. Dalam semesta
wacana Orde Baru, negara digambarkan sebagai sebuah keluarga dengan Presiden sebagai
bapaknya. Presiden Soeharto dipanggil dengan sebutan sebagai “Bapak”. Dia adalah “Bapak
Pembangunan”. Dia bertugas untuk melindungi segenap konstituen negara, pejabat, rakyat,
berbagai lembaga sosial politik, yang semuanya dibayangkan sebagai anak-anaknya.
Celakanya, Bapak dalam wacana Orde Baru itu juga bisa berwatak otoriter, dan mampu
bertindak secara kejam. Begitulah paternalisme Orde Baru mempunyai korelasi dengan
sosok-sosok jahat dalam fiksi horor Yudhi.
Masyarakat Orde Baru adalah masyarakat yang mewarisi dendam. Orde Baru
membangun sejarah di atas kebencian terhadap era sebelumnya. Pada gilirannya, ketika Orde
Baru jatuh, pihak-pihak yang merasa ditindas selama orde ini berkuasa akan berusaha
membalas dendam atas penindasan itu. Motif balas dendam turun temurun semacam ini pun
muncul dalam antologi cerpen Terkutuk.
Hal lain yang terus diupayakan oleh Orde Baru adalah usaha untuk menutupi-nutupi
masa lalu seolah ada aib pada masa lalu itu, yakni peristiwa malapetaka 65. Masalah ini
kiranya juga terkait erat dengan pembantaian massal yang mengikutinya.
Dengan meninjau kecenderungan dan motif-motif dalam antologi cerpen Terkutuk
secara menyeluruh dan mencari rujukannya pada semesta wacana Orde baru, maka kita dapat
melihat bahwa cerpen-cerpen horor itu tidaklah semata-mata bertujuan untuk membangkitkan
rasa takut. Ada pemaknaan lain yang bisa diungkapkan oleh cerpen-cerpen horor tersebut.
Melalui genre fiksi horor demonik, cerpen-cerpen ini agaknya berupaya mengungkapkan

8
adanya horor yang diciptakan oleh Orde Baru, sebuah horor yang digunakan untuk
kepentingan ideologis, yakni membasmi komunisme, iblis merah yang dibayangkan terus
hidup di bawah tanah atau laten dan sewaktu-waktu muncul untuk membalas dendam jika
masyarakat Orde Baru tidak waspada.
Begitulah, dapat dikatakan bahwa fiksi horor Yudhi Herwibowo telah memperluas
spektrum fiksi horor dalam sastra populer. Dengan memanfaatkan konvensi-konvensi fiksi
horor populer, cerpen-cerpen dalam antologi cerpen Terkutuk berusaha untuk menyajikan
pemandangan tentang suatu jenis horor lainnya, yakni horor ideologis yang diciptakan oleh
Orde Baru.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa fiksi horor Yudhi merupakan bagian atau
sekadar mendapat pengaruh dari realisme magis. Kemungkinan ini bisa disingkirkan sebab
dalam cerpen-cerpen horor Yudhi hal-hal yang luar biasa atau ajaib tetaplah dianggap sebagai
keajaiban. Ini berbeda dari realisme magis yang menganggap keajaiban sebagai hal yang
biasa. Dengan demikian, fiksi horor Yudhi tetaplah bersandar pada realisme sosial psikologis
saja.

***

Daftar Pustaka
Carroll, Noel. 2004.The Philosophy of Horror or Paradoxes of The Heart. New York &
London: Routledge.
Derry, Charles. 2009. Dark Dreams 2.0: A Psychological History of The Modern Horror
Film Form The 1950s to The 21st Century. Londo: McFarland & Company, Inc.
Publisher.
Herwibowo, Yudhi. 2020. Terkutuk dan Kisah-kisah Mengerikan Lainnya. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.
Sumarjo, Jakob. 1980. Novel Populer Indonesia. Yogyakarta: CV Nur Cahaya.

--Rh. Widada, penulis dan editor buku.

9
IDENTITAS PENULIS
Nama: Rh. Widada/ Rahmad Widada
Alamat: Perum Polri Gowok CV-153 Yogyakarta 55281
Telepon: 0815-7801-9935

10

Anda mungkin juga menyukai