Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan

nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami

penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari sekret

agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas (Marino, 1998; Nicholson

and O'Brien, 2007). Intubasi endotrakeal dapat dilakukan melalui hidung ataupun

mulut. Masing-masing cara memberikan keuntungan tersendiri sebagai contoh bahwa

melalui nasal lebih baik dilakukan pada pasien yang masih sadar dan kooperatif,

sedangkan melalui oral dilakukan pada pasien yang mengalami koma, tidak

kooperatif dan ketika kegawatan intubasi dibutuhkan pada pasien yang mengalami

cardic arrest (Marino, 1998; Nicholson and O'Brien, 2007).

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa anatomi dari jalan nafas?
2. Apa pengertian dari Endo Tracheal Tube (ETT)?
3. Apa saja jenis dari intubasi ETT?
4. Apa saja indikasi dan kontraindikasi pemasangan ETT?
5. Bagaimana prosedur pemasangan ETT?
6. Apa saja komplikasi Intubasi Endotrakheal?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui anatomi dari jalan nafas
2. Untuk mengetahui pengertian dari Endo Tracheal Tube (ETT)
3. Untuk mengetahui jenis dari intubasi ETT
4. Untuk mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemasangan ETT
5. Untuk mengetahui prosedur pemasangan ETT
6. Untuk mengetahui komplikasi Intubasi Endotrakheal

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi Jalan Nafas


Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang
menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis).
Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian
bergabung di bagian posterior dalam faring.

Gambar 1. Anatomi jalann nafas

Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar


tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya
terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan
laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis
imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis
memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah
terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan (Diktat
Anatomi Situs Thoracis,2011).
Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring
disusun oleh 9 kartilago (gambar 2): tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang)
aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.

3
Gambar 2 Susunan cartilago yang menyusun laring

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 3).
Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1)
saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila
(V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf
trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum
molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V 3] saraf
trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum
pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah.
Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di
daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan
bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan
nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf
vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf
laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara.
Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring
dibawah pita suara dan trakhea (Diktat Anatomi Situs Thoracis,2011).

4
Gambar 3 Saraf simpatis pada jalan nafas

B. Pengertian Endo Tracheal Tube (ETT)


Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau
pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau
trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa
endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah
dibantu dan dikendalikan (Anonim, 2002)
Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau Intubasi  adalah memasukkan pipa
jalan nafas buatan kedalam trachea melalui mulut.  Tindakan Intubasi baru dapat di
lakukan bila:  cara lain untuk membebaskan jalan nafas (airway) gagal, perlu
memberikan nafas buatan dalam jangka panjang, ada resiko besar terjadi aspirasi ke
paru.

C. Jenis Intubasi
1. Intubasi oral
Keuntungan: lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien
dalam keadaan emergency, resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih keci.
Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman.
2. Intubasi nasal
Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada
pasien sadar, tidak akan tergigit
Kerugian: pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih sulit, dapat
terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering terjadi infeksi
(sinusitis).

5
D. Tujuan
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan
saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah
aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien
operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
1. Mempermudah pemberian anestesia.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
3. Kelancaran pernafasan.
4. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
5. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
6. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
7. Mengatasi obstruksi laring akut.

E. Indikasi dan Kontraindikasi.


Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara
lain :
1. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen
arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen
melalui masker nasal.
2. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
3. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
4. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.

Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi


endotrakheal antara lain :

6
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan
adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi

F. Prosedur Pemasangan ETT


1. Persiapan pasien
a. Beritahukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
b. Mintakan persetujuan keluarga / informed consent
c. Berikan support mental
d. Hisap cairan / sisa makanan dari naso gastric tube.
e. Yakinkan pasien terpasang IV line dan infus menetes dengan lancar

2. Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu
disiapkan yang disingkat dengan STATICS.
a. S = Scope   
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop
untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat
laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan
benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:
1) Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
2) Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bila sesuai dengan usia pasien.

Gambar 4. Laringoskop berdaun lurus dan lengkung


Alat ini dirancang untuk menyingkirkan lidah, kemudian membuka dan
melihat daerah laring. Sesuai dengan rancang bangunnya, laringoskop lurus

7
digunakan dengan meletakkan ujung pada epiglottis, kemudian mengangkat
seluruh daun laringoskop tegak lurus dengan tuasnya. Laringoskop lengkung
digunakan dengan meletakkan ujung daun pada vallecula kemudian
mengungkitnya dengan menggerkkan tuas ke belakang.

Gambar 5. Teknik penggunaan laringoskop daun lurus dan lengkung

Laringsokop daun lurus juga dapat diletakkan di vallecula.


Keuntungan bila diletakkan di epiglottis adalah seringkali dapat melihat pita
suara dengan lebih jelas. Keuntungan bila diletakkan di vallecula adalah
mengurangi rangsang epiglotis yang dapat berakibat spasme laring. Karena
bentuk anatomis jalan nafas neonatus, laringoskop berdaun lurus lebih banyak
digunakan pada neonatus. Sangat penting diingat bahwa dalam persiapan
selalu disediakan lampu dan batu batere cadangan. Sebelum digunakan,
laringoskop dirakit dahulu, disesuaikan dengan daun yang akan dipilih.

b. T = Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari
bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran
milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa
berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti
huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak
menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan
kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak
kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.

8
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan
bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena
terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun
penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur
basis kranii.

Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di
bawah ini.
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
wanita
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa cuff

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:


Diameter dalam pipa trakea (mm)                               = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm)                                      = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm)                                    = 12 + ½ umur (tahun)

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan.

9
Gambar 6 Pipa endotrakea

Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride)


yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif
untuk melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta
struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada
tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman
pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea
disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa
endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat
melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea
berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin
sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama
adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang
kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah
aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila
intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak
berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga
disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan
laringoskop serat optik
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai
pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi
pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya
tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan
balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon
(yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas)

10
atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik
yang tidak iritasif. 

Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengan atau


tanpa cuff. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk
bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).

Size  Size 
PLAIN CUFFED
2.5 mm 4.5 mm
3.0 mm 5.0 mm
3.5 mm 5.5 mm
4.0 mm 6.0 mm
4.5 mm 6.5 mm
7.0 mm
7.5 mm
8.0 mm
8.5 mm
9.0 mm

Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya


dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari
ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis
subglotis.
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya
perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika
ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi
pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin
merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika
trakeotomi dilakukan lebih dini.
c. A = Airway

11
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan napas yaitu
pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
d. T = Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
e. I = Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.
f. C = Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anestesia.
g. S = Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.

3. Obat-Obatan yang Dipakai.


Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi
endotrakheal (Anonim, 1986), antara lain :
a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan
obat yang paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila
dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –100 mg, diberikan
setelah pasien dianestesi, bekerja kurang dari 1 menit dan efek berlangsung
dalam beberapa menit. Barbiturat Suxamethonium baik juga untuk blind nasal
intubation, Suxamethonium bisa diberikan I.M. bila I.V. sukar misalnya pada
bayi.
b. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct
vision intubation. Setelah pemberian nondepolarizing / thiophentone,
kemudian pemberian O2 dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini
laringoskopi dapat dilakukan. Metode ini tidak cocok bagi mereka yang
belajar intubasi, dimana mungkin dihadapkan dengan pasien yang apneu
dengan vocal cord yang tidak tampak.

12
c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation
sukar.
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi.
Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam
dosis besar dapat mendepresi pernafasan.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat
lain. penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak
memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.
f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan
laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut :
 Menghisap lozenges anagesik.
 Spray mulut, faring, cord.
 Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.
 Suntikan trans tracheal.
 Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya
pasien dapat lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan
emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada necnatus
dapat diintubai tanpa anestesi.

4. Teknik Intubasi (Brigade Siaga Bencana (BSB), 2004)


1) Teknik pemasangan ETT pada dewasa Cek alat yang diperlukan,
pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih pipa endotrakeal ( ET)
yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke dalam pipa ET. Jangan sampai ada
penonjolan keluar pada ujung balon, buat lengkungan pada pipa dan stilet
dan cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika
fungsi baik, kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai
daerah cuff.
2) Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di oksiput
dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical dapat
disingkirkan)
3) Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring dan berikan
semprotan bensokain atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam

13
keadaan anestesi dalam.
4) Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan Fi
O2 100 %.(gambar 5.a)
5) Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang
laringoskop.(gambar 5.b)
6) Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah
kanan, sisihkan lidah ke kiri. (gambar 5.c). Masukkan bilah sedikit demi
sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar
lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien. (gambar 5.d)
7) Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40
sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik
tumpu. (gambar 5.e)
8) Bila pita suara sudah terlihat (gambar 5.f), tahan tarikan / posisi
laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan.
Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian
proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1–2 cm atau pada orang
dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm (gambar 5.g).
9) Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 –10
ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
10) Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil
melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudaian pada
paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada. Bila
terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti
pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi setelah
melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya bunyi
nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam
bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET.
11) Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan
menggunakan spuit 10 cc.
12) Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut
(gambar5.h).
13) Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai
sadar.

14
14) Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12 liter
per menit).

15
5. Teknik pemasangan ET pada bayi
a. Memilih dan menyiapkan pipa ET.
Pipa ET sekali pakai ( disposable) ukuran disesuaikan dengan berat badan
bayi.

Tabel Perbandingan berat badan bayi dengan ukuran pipa ET yang


dibutuhkan
Berat (gram) Ukuran pipa ET (mm)
< 1000 2,5
1000 –2000 3,0
2001 –3000 3,5
> 3000 4,0

Pipa ET dipotong secara diagonal pada angka 13, sambungkan dengan


sambungan yang sesuai. Agar pipa lebih kaku dan mudah dilegkungkan,
masukkan stilet yang ujungnya tidak melebihi panjang pipa ET.
b. Menyiapkan laringoskop
Pilih laringoskop dengan lidah / daun lurus, no. 1 ( cukup bulan) dan 0
(kurang bulan).
Pasang daun laringoskop pada pegangannya.
Hidupkan lampu laringoskop, periksa lampu dan batere-nya
c. Menyiapkan perlengkapan lain Alat dan kateter
penghisap no 10 F.
Balon dan sungkup, sumber oksigen 100 %,
stetosko plester.
d. Posisi bayi
Kepala sedikit ekstensi / tengadah
Untuk anak di atas 2 tahun, posisi optimal dapat dicapai dengan
meletakkan ganjal pada kepala anak, kemudian melakukan sniffing
position. Pada bayi hal ini tidak perlu dilakukan karena oksiput bayi yang
prominen . Pada trauma leher , intubasi harus dilakukan dalam posisi
netral.

16
Gambar 7. A. Sudut antara oral (O), faringeal (P) dan trakea (T) pada anak berusia 2
tahun bila anak terbaring datar. B. Dengan meletakkan ganjal pada oksiput, sumbu p dan t
menjadi hampir segaris. C. Dengan mengekstensikan sendi atlanto-oksipital, ketiga
sumbu hampir segaris.

e. Menyiapkan pemasukan laringoskop.


1) Penolong berdiri di sisi atas kepala bayi.
2) Nyalakan lampu laringoskop
3) Pegang laringoskop dengan ibu jari dan ketiga jari tangan kiri ( normal
atau pun kidal ), arahkan daun laringoskop ke sisi berlawanan dengan
penolong.
4) Pegang kepala bayi dengan tangan kanan.
f. Memasukkan daun laringoskop
1) Masukkan daun laringoskop antara palatum dan lidah
2) Ujung daun laringoskop dimasukkan menyusuri lidah secara perlahan
ke pangkallidah sampai vallecula ( lekuk antara pangkal lidah dan
epiglotis)
g. Melihat glottis
1) Angkat daun laringoskop dengan cara mengangkat seluruh laringoskop
ke arah batang laringoskop menunjuk, lidah akan terjulur sedikit
sehingga terlihat faring.
2) Menentukan letak dan posisi daun laringsokop :

17
Tabel 3. Tanda penunjuk tampilan laring melalui laringoskop apabila
terpasang dengan benar, kurang dalam, dan terlalu dalam

Letak Tanda penunjuk


Benar Glottis tampak di sebelah atas dengan muara di bawah
Kurang dalam Lidah terlihat menutupi daun
Terlalu dalam Terlihat dinding esofagus
Lebih ke kiri Di belakang faring terlihat sebagian trakea di samping

18
Gambar 8. Tampilan liang glottis melalui laringoskop

3) Penekanan di daerah laring akan memperlihatkan glottis, dengan


menggunakan jari ke -4 dan ke-5 tangan kiri . atau dilakukan asisten
dengan telunjuk
h. Batasan waku 20 detik
1) Tindakan dibatasi 20 detik untuk mencegah hipoksia.
2) Sambil menunggu, bayi diberikan VTP dengan oksigen 100 %.
i. Memasukkan pipa ET
1) Glottis dan pita suara harus terlihat.
2) Pipa ET dipegang dengan tangan kanan, dimasukkan dari sebelah
kanan mulut.
3) Tetap melihat glottis, dimasukkan waktu pita suara terbuka. Jika dalam
20 detik pita suara belum terbuka, hentikan, sementara lakukan VTP.
4) Masukkan pipa ET di antara pita suara, sampai sebatas garis tanda pita
suara, ujung pipa pada pertengahan pita suara dan karina. Hindari
mengenai pita suara, dapat mengakibatkan spasme.
j. Mengeluarkan laringoskop.
1) Pipa ET dipegang dengan tangan kanan, bertumpu pada muka bayi,
tekan ibir.
2) Laringoskop dikeluarkan dengan tangan kiri tanpa mengganggu atau
menggeser pipa ET.
3) Cabut stilet dari pipa ET
k. Memastikan letak pipa ET
1) Sambil memegang pipa ET pada bibir, pasang sambungan pipa ke
balon resusitasi dan lakukan ventilasi sambil mengamati dada dan

19
perut bayi.
2) Jika letak ET benar akan terlihat :
 Dada mengembang
 Perut tidak mengembung
3) Mendengarkan suara nafas dengan menggunakan stetoskop di dada
atas kiri dan kanan.
Jika letak ET benar :
 Udara masuk ke kedua sisi dada
 Suara nafas kiri = kanan
l. Letak pipa ET
1) Pipa ET tepat di tengah trakea :
 Kedua sisi dada mengembang sewaktu melakukan ventilasi
 Suara nafas terdengar sama di kedua sisi dada
 Tidak terdengar suara di lambung
 Perut tidak kembung
2) Pipa Et terletak di bronkus
 Suara nafas hanya terdengar di salah satu sisi paru
 Suara nafas terdengar tidak sama keras
 Tidak terdengar suara di lambung
 Perut tidak kembung
3) Pipa ET terletak di esofagus
 Tidak terdengar suara nafas di kedua dada atas
 Terdengar suara udara masuk lambung
 Perut tampak gembung
Tindakan :
Cabut pipa ET , beri VTP degnan balon dan sungkup, ulangi
intubasi pipa ET.
m. Fiksasi pipa ET
Perhatikan tanda cm pada pipa ET setinggi batas bibir atas. Tanda ini
digunakan untuk :
 Mengetahui apakah pipa ET berubah letaknya
 Jarak pipa ET ke bibir menentukan dalamnya pipa Fiksasi pipa

20
ET ke wajah bayi dengan plester

6. Intubasi Nasotrakeal
Anestesia topikal dan vasokonstriksi pada mukosa hidung dapat diperoleh
dengan mengaplikasikan campuran antara 3% lidokain dan 0.25% phenylephrine.
Pada umumnya, ukuran ETT 6.0 hingga 6.5 mm digunakan pada hampir semua
wanita, sedangkan untuk laki-laki digunakan ETT dengan ukuran 7.0 hingga 7.5
mm. Setelah ETT melewati rongga hidung kemudian ke faring, pipa ETT masuk
ke glotis yang telah membuka. Intubasi dapat dilakukan dengan bantuan
laringoskop atau fiberoptik bronkoskop, atau dengan forsep Magill.
Komplikasi yang dapat terjadi hampir sama seperti yang terjadi pada
intubasi orotrakeal. Namun ada sedikit penambahan seperti terjadinya epistaksis
dan diseksi submukosa. Bila dibandingkan dengan intubasi orotrakeal, intubasi
nasotrakeal dihubungkan dengan peningkatan insidensi dari sinusitis dan
bakteremia.

7. Kesulitan intubasi
Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer
Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
1. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
2. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan
depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
3. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
4. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
5. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.
6. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
7. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi
leher.
8. Fraktur servical
9. Rahang bawah kecil
10. Osteoarthritis temporo mandibula joint

21
11. Trismus.
12. Ada masa di pharing dan laring

Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi


yang dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas.
Sedangkan menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi
4

gradasi.

Penting untuk dicatat luas lapangan pandang dari laring yang telah kita
dapatkan. Informasi ini penting, apabila di kemudian hari dilakukan kembali
tindakan manajemen jalan napas. Gambaran standart yang digunakan adalah
klasifikasi menurut Cormack dan Lehane (1984):
1. Grade 1 : seluruh laring dapat terlihat
2. Grade 2 :  bagian posterior dari laring saja yang dapat terlihat
3. Grade 3 :  hanya epiglotis saja yang dapat terlihat
4. Grade 4 :  tidak ada bagian laring yang dapat terlihat
G. Komplikasi Intubasi Endotrakheal.
Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989)
1. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta
malposisi laringeal cuff.
2. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut,
cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.

22
3. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat,
tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
4. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.


1. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan
malposisi laringeal cuff.
2. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit
hidung
3. Malfungsi tuba berupa obstruksi.

Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal


dapat dibagi menjadi:
1. Faktor pasien
a. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki
laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan
napas.
b. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
c. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat
menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan
trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.
d. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.

2. Faktor yang berhubungan dengan anestesi:


a. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi
krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya
komplikasi selama tatalaksana jalan napas
b. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien
dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.

3. Faktor yang berhubungan dengan peralatan


a. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang
maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi

23
pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube
tersebut.
b. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.
c. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
d. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik
berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
e. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan
tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di
bagian yang tidak tepat.

Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan


ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan
melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak
dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses
anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau hipoksia
otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi)  merupakan metode yang dipilih ketika
dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation
(CVCI).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa intubasi endotrakheal
adalah suatu tindakan pembebasan jalan nafas (airway) dengan cara memasukkan

24
selang ETT ke trakhea dengan tujuan pemberian oksigen dan lain-lain. Sebelum
melakukan prosedur intubasi endotrakheal,kita harus melakukan persiapan pasien dan
keluarga (informed consent),persiapan obat-obatan(obat emergency,induksi,pelumpuh
otot), dan persiapan alat-alat (Ambu bag, sungkup oksigen,laringoscop handle dan
blade,mesin suction dan  suction catheter,oropharingeal airway ,endotracheal
tubessesuai ukuran pasien dan stylet,plester dan gunting,spuit 10 cc,xylocaine
jell,stetoskop,serta hand scoon.
Indikasi intubasi endotrakheal antara lain untuk menjamin oksigenasi yang
adekuat(terutama pada orang dengan penurunan kesadaran dan obstruksi saluran
pernafasan),perlindungan saluran pernapasan dari aspirasi
lambung dan regurgitasi,serta pada prosedur bedah yang melibatkan kepala dan leher /
posisi tengkurap  yang menghalangi jalan nafas.

B. Saran
Untuk mahasiswa diharapkan lebih memahami tentang intubasi ETT sehinga dalam
melakukkan asuhan keperawatan lebih komperhensif.Untuk perawat diharapkan untuk
meningkatkan konsep dengan cara diskusi, seminar dan pengadan buku-buku
(perpustakan kecil) yang berkaitan dengan masalah-masalah intubasi ETT sehinga
dalam melakukan proses keperawatan konseptual.

DAFTAR PUSTAKA

Asih, Ni Luh Gede Yasmin, 2003, Keperawatan Medical bedah,Klien Dengan


Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:EGC

25
Brigade Siaga Bencana (BSB) RS dr. Sardjito. Ed. Materi Pelatihan General
emergency Life Support (GELS). Yogyakarta, 2004

Diktat Anatomi Situs Thoracis, ed. 2011, Laboratorium Anatomi, FK UNISSULA.

Kriteria intubasi. Available diakses dari [internet]


http://www.scribd.com/doc/55253315/kriteria-intubasi-ekstubasi/ pada tanggal
11 Oktober 2016.

Intubasi Endotrakeal. Availeble diakses dari [internet]


http://medlinux.blogspot.com/2007/09/intubasi-endotrakeal.html/   pada
tanggal 11 Oktober 2016.

MANCINI, Mary E. Pedoman praktis prosedur keperawatan darurat = Pocket manual


of emergency nursing procedures / Mary E. Mancini R. N.

Potter & Perry, 2002, Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik Volume 2, Edisi 4, Jakarta: EGC

Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8, Jakarta : EGC

26

Anda mungkin juga menyukai