Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan
nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami
penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari sekret
agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas (Marino, 1998; Nicholson
and O'Brien, 2007). Intubasi endotrakeal dapat dilakukan melalui hidung ataupun
melalui nasal lebih baik dilakukan pada pasien yang masih sadar dan kooperatif,
sedangkan melalui oral dilakukan pada pasien yang mengalami koma, tidak
kooperatif dan ketika kegawatan intubasi dibutuhkan pada pasien yang mengalami
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa anatomi dari jalan nafas?
2. Apa pengertian dari Endo Tracheal Tube (ETT)?
3. Apa saja jenis dari intubasi ETT?
4. Apa saja indikasi dan kontraindikasi pemasangan ETT?
5. Bagaimana prosedur pemasangan ETT?
6. Apa saja komplikasi Intubasi Endotrakheal?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui anatomi dari jalan nafas
2. Untuk mengetahui pengertian dari Endo Tracheal Tube (ETT)
3. Untuk mengetahui jenis dari intubasi ETT
4. Untuk mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemasangan ETT
5. Untuk mengetahui prosedur pemasangan ETT
6. Untuk mengetahui komplikasi Intubasi Endotrakheal
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Gambar 2 Susunan cartilago yang menyusun laring
Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 3).
Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1)
saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila
(V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf
trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum
molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V 3] saraf
trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum
pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah.
Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di
daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan
bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan
nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf
vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf
laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara.
Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring
dibawah pita suara dan trakhea (Diktat Anatomi Situs Thoracis,2011).
4
Gambar 3 Saraf simpatis pada jalan nafas
C. Jenis Intubasi
1. Intubasi oral
Keuntungan: lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien
dalam keadaan emergency, resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih keci.
Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman.
2. Intubasi nasal
Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada
pasien sadar, tidak akan tergigit
Kerugian: pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih sulit, dapat
terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering terjadi infeksi
(sinusitis).
5
D. Tujuan
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan
saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah
aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien
operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
1. Mempermudah pemberian anestesia.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
3. Kelancaran pernafasan.
4. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
5. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
6. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
7. Mengatasi obstruksi laring akut.
6
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan
adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi
2. Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu
disiapkan yang disingkat dengan STATICS.
a. S = Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop
untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat
laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan
benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:
1) Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
2) Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bila sesuai dengan usia pasien.
7
digunakan dengan meletakkan ujung pada epiglottis, kemudian mengangkat
seluruh daun laringoskop tegak lurus dengan tuasnya. Laringoskop lengkung
digunakan dengan meletakkan ujung daun pada vallecula kemudian
mengungkitnya dengan menggerkkan tuas ke belakang.
b. T = Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari
bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran
milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa
berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti
huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak
menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan
kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak
kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.
8
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan
bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena
terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun
penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur
basis kranii.
Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di
bawah ini.
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
wanita
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa cuff
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan.
9
Gambar 6 Pipa endotrakea
10
atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik
yang tidak iritasif.
Size Size
PLAIN CUFFED
2.5 mm 4.5 mm
3.0 mm 5.0 mm
3.5 mm 5.5 mm
4.0 mm 6.0 mm
4.5 mm 6.5 mm
7.0 mm
7.5 mm
8.0 mm
8.5 mm
9.0 mm
11
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan napas yaitu
pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
d. T = Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
e. I = Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.
f. C = Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anestesia.
g. S = Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.
12
c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation
sukar.
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi.
Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam
dosis besar dapat mendepresi pernafasan.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat
lain. penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak
memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.
f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan
laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut :
Menghisap lozenges anagesik.
Spray mulut, faring, cord.
Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.
Suntikan trans tracheal.
Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya
pasien dapat lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan
emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada necnatus
dapat diintubai tanpa anestesi.
13
keadaan anestesi dalam.
4) Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan Fi
O2 100 %.(gambar 5.a)
5) Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang
laringoskop.(gambar 5.b)
6) Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah
kanan, sisihkan lidah ke kiri. (gambar 5.c). Masukkan bilah sedikit demi
sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar
lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien. (gambar 5.d)
7) Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40
sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik
tumpu. (gambar 5.e)
8) Bila pita suara sudah terlihat (gambar 5.f), tahan tarikan / posisi
laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan.
Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian
proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1–2 cm atau pada orang
dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm (gambar 5.g).
9) Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 –10
ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
10) Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil
melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudaian pada
paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada. Bila
terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti
pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi setelah
melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya bunyi
nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam
bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET.
11) Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan
menggunakan spuit 10 cc.
12) Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut
(gambar5.h).
13) Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai
sadar.
14
14) Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12 liter
per menit).
15
5. Teknik pemasangan ET pada bayi
a. Memilih dan menyiapkan pipa ET.
Pipa ET sekali pakai ( disposable) ukuran disesuaikan dengan berat badan
bayi.
16
Gambar 7. A. Sudut antara oral (O), faringeal (P) dan trakea (T) pada anak berusia 2
tahun bila anak terbaring datar. B. Dengan meletakkan ganjal pada oksiput, sumbu p dan t
menjadi hampir segaris. C. Dengan mengekstensikan sendi atlanto-oksipital, ketiga
sumbu hampir segaris.
17
Tabel 3. Tanda penunjuk tampilan laring melalui laringoskop apabila
terpasang dengan benar, kurang dalam, dan terlalu dalam
18
Gambar 8. Tampilan liang glottis melalui laringoskop
19
perut bayi.
2) Jika letak ET benar akan terlihat :
Dada mengembang
Perut tidak mengembung
3) Mendengarkan suara nafas dengan menggunakan stetoskop di dada
atas kiri dan kanan.
Jika letak ET benar :
Udara masuk ke kedua sisi dada
Suara nafas kiri = kanan
l. Letak pipa ET
1) Pipa ET tepat di tengah trakea :
Kedua sisi dada mengembang sewaktu melakukan ventilasi
Suara nafas terdengar sama di kedua sisi dada
Tidak terdengar suara di lambung
Perut tidak kembung
2) Pipa Et terletak di bronkus
Suara nafas hanya terdengar di salah satu sisi paru
Suara nafas terdengar tidak sama keras
Tidak terdengar suara di lambung
Perut tidak kembung
3) Pipa ET terletak di esofagus
Tidak terdengar suara nafas di kedua dada atas
Terdengar suara udara masuk lambung
Perut tampak gembung
Tindakan :
Cabut pipa ET , beri VTP degnan balon dan sungkup, ulangi
intubasi pipa ET.
m. Fiksasi pipa ET
Perhatikan tanda cm pada pipa ET setinggi batas bibir atas. Tanda ini
digunakan untuk :
Mengetahui apakah pipa ET berubah letaknya
Jarak pipa ET ke bibir menentukan dalamnya pipa Fiksasi pipa
20
ET ke wajah bayi dengan plester
6. Intubasi Nasotrakeal
Anestesia topikal dan vasokonstriksi pada mukosa hidung dapat diperoleh
dengan mengaplikasikan campuran antara 3% lidokain dan 0.25% phenylephrine.
Pada umumnya, ukuran ETT 6.0 hingga 6.5 mm digunakan pada hampir semua
wanita, sedangkan untuk laki-laki digunakan ETT dengan ukuran 7.0 hingga 7.5
mm. Setelah ETT melewati rongga hidung kemudian ke faring, pipa ETT masuk
ke glotis yang telah membuka. Intubasi dapat dilakukan dengan bantuan
laringoskop atau fiberoptik bronkoskop, atau dengan forsep Magill.
Komplikasi yang dapat terjadi hampir sama seperti yang terjadi pada
intubasi orotrakeal. Namun ada sedikit penambahan seperti terjadinya epistaksis
dan diseksi submukosa. Bila dibandingkan dengan intubasi orotrakeal, intubasi
nasotrakeal dihubungkan dengan peningkatan insidensi dari sinusitis dan
bakteremia.
7. Kesulitan intubasi
Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer
Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
1. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
2. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan
depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
3. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
4. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
5. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.
6. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
7. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi
leher.
8. Fraktur servical
9. Rahang bawah kecil
10. Osteoarthritis temporo mandibula joint
21
11. Trismus.
12. Ada masa di pharing dan laring
gradasi.
Penting untuk dicatat luas lapangan pandang dari laring yang telah kita
dapatkan. Informasi ini penting, apabila di kemudian hari dilakukan kembali
tindakan manajemen jalan napas. Gambaran standart yang digunakan adalah
klasifikasi menurut Cormack dan Lehane (1984):
1. Grade 1 : seluruh laring dapat terlihat
2. Grade 2 : bagian posterior dari laring saja yang dapat terlihat
3. Grade 3 : hanya epiglotis saja yang dapat terlihat
4. Grade 4 : tidak ada bagian laring yang dapat terlihat
G. Komplikasi Intubasi Endotrakheal.
Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989)
1. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta
malposisi laringeal cuff.
2. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut,
cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
22
3. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat,
tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
4. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
23
pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube
tersebut.
b. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.
c. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
d. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik
berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
e. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan
tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di
bagian yang tidak tepat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa intubasi endotrakheal
adalah suatu tindakan pembebasan jalan nafas (airway) dengan cara memasukkan
24
selang ETT ke trakhea dengan tujuan pemberian oksigen dan lain-lain. Sebelum
melakukan prosedur intubasi endotrakheal,kita harus melakukan persiapan pasien dan
keluarga (informed consent),persiapan obat-obatan(obat emergency,induksi,pelumpuh
otot), dan persiapan alat-alat (Ambu bag, sungkup oksigen,laringoscop handle dan
blade,mesin suction dan suction catheter,oropharingeal airway ,endotracheal
tubessesuai ukuran pasien dan stylet,plester dan gunting,spuit 10 cc,xylocaine
jell,stetoskop,serta hand scoon.
Indikasi intubasi endotrakheal antara lain untuk menjamin oksigenasi yang
adekuat(terutama pada orang dengan penurunan kesadaran dan obstruksi saluran
pernafasan),perlindungan saluran pernapasan dari aspirasi
lambung dan regurgitasi,serta pada prosedur bedah yang melibatkan kepala dan leher /
posisi tengkurap yang menghalangi jalan nafas.
B. Saran
Untuk mahasiswa diharapkan lebih memahami tentang intubasi ETT sehinga dalam
melakukkan asuhan keperawatan lebih komperhensif.Untuk perawat diharapkan untuk
meningkatkan konsep dengan cara diskusi, seminar dan pengadan buku-buku
(perpustakan kecil) yang berkaitan dengan masalah-masalah intubasi ETT sehinga
dalam melakukan proses keperawatan konseptual.
DAFTAR PUSTAKA
25
Brigade Siaga Bencana (BSB) RS dr. Sardjito. Ed. Materi Pelatihan General
emergency Life Support (GELS). Yogyakarta, 2004
Potter & Perry, 2002, Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik Volume 2, Edisi 4, Jakarta: EGC
Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8, Jakarta : EGC
26