A. Latar Belakang
ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai
negara hukum tentu segala sesuatu telah diatur dengan hukum, mulai dari hak-hak
misalnya hak untuk beribadah, hak untuk kebebasan berpendapat, maupun hak
untuk kebebasan berserikat dan berkumpul serta hak-hak lain sebagaimana yang
hukum. Pemikiran negara hukum di mulai sejak Plato dengan konsepnya “bahwa
(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi”. Kemudian ide tentang
negara hukum popular pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa
hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan. Sebab pada akhirnya,
hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan
sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Dalam
1
Abdul Aziz hakim, Negara Hukum dan Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), h. 8
Salah satu asas dalam negara Hukum adalah Asas contrarius actus. Asas
contrarius actus adalah asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata
yang diatur oleh peraturan perundang-undang. Sinergi dengan hal tersebut diatas.
Maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Untuk
PEMBAHASAN
2
Imam Sukari, ”Asas Contrarius Actus Sebagai Kontrol Pemerintah Terhadap Kebebasan
Berserikat Dan Berkumpul Di Indonesia,” Mimbar Keadilan 12, no. 2 (2020): 181–85.
B. Problematika Penerapan Asas Contrarius Actus di Indonesia sebagai negara
Hukum.
yang diciptakan oleh kelompok manusia yang disebut bangsa. Sedangkan menurut
manusia yang disebut bangsa.3 Kata Negara hukum merupakan pengertian dari
suatu kata majemuk, yaitu Negara dan hukum. Dalam memberikan pengertiannya
setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik terhadap
kata hukum maupun terhadap kata negara. Demikian juga halnya bobot nilai dari
kaitan yang erat dengan perkembangan sejarah suatu bangsa dan perkembangan
masyarakatnya. Karena setiap Negara memiliki sejarah yang tidak sama, maka
pengertian Negara hukum di berbagai Negarapun akan berbeda pula isi dan
dipangkas. Untuk itu, sebagai negara dalam melakukan Tindakan hukum untuk
ada satu problema di negara yang tidak selesai-selesai. Kalau ada kesalahan
3
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hal. 141-145.
4
Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang unsur-unsurnya, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1995), hal. 3.
keputusan hampir semuanya diselesaikan di pengadilan atau minta penetapan
pengadilan.
Contoh kasus dibuat akta kelahiran dari pasangan suami istri yang sama
menikah untuk kali kedua. Suami berstatus duda ini membawa anak kemudian
menikah dengan seorang janda yang tidak punya anak. Kemudian diam-diam
sang suami membuatkan akta kelahiran anaknya sebagai anak kandung suami-istri
tersebut. Istrinya tidak tahu suaminya membuat akta itu. Selang 10 tahun
kemudian baru sang istri tahu, akta kelahiran anak ini salah. Sebab, yang
bersangkutan bukan ibu kandung si anak. Akhirnya dibuat uji DNA, ternyata
memang tak ada hubungan identik. Kemudian hasil lab uji DNA itu dibawa ke
pengadilan. Karena ada bukti baru bahwa akta kelahirannya salah, maka pejabat
Jawab Mutlak (SPTJM) adalah konsep hukum administrasi dan hukum perdata
yang diaplikasikan ke dalam praktek hukum riil. "Dari asas dimasukkan ke dalam
praktek. Dari dunia langit menuju dunia bumi atau dari alam harapan menuju alam
usaha negara yang membuat keputusan tata usaha negara dengan sendirinya
"Jadi asas ini bicara pejabat. Yakni dalam konteks kedudukan jabatan, bukan
orangnya.
Di Indonesia, kata Prof. Zudan, banyak kasus seperti ini. Ada cucu dimasukkan
dalam KK kakek neneknya sebagai anak. Suatu ketika ortunya sudah mapan
anaknya ditarik kembali. "Maka yang seperti ini diproses dengan asas contrarius
actus. Jadi ketika ada kesalahan faktual yang nyata maka asas ini bisa diterapkan.
Penduduk dan Pencatatan Sipil. Diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 89 Perpres
96/2018,".5
serta ada perlindungan hukum bagi masyarakat dan bagi aparaturnya, Dengan
Perpres 96/2018 ini Dukcapil menjadi lebih mudah dalam menjalankan tugas-
Lebih lanjut mengenai asas Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri
Djatmiati, dalam buku Argumentasi Hukum (2009), asas contrarius actus dalam
hukum administrasi negara adalah asas yang menyatakan Badan atau Pejabat
TUN yang menerbitkan Keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk
membatalkannya. Asas ini berlaku meskipun dalam keputusan TUN tersebut tidak
ada klausula pengaman yang lazim. Apabila dikemudian hari ternyata ada
kekeliruan atau kehilafan, maka keputusan ini akan ditinjau kembali. Lebih lanjut
TUN terdapat kekeliruan administratif atau cacat yuridis yang berhak mencabut
TUN itu sendiri dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih
tinggi. Di samping itu, dalam proses pencabutan sebuah Keputusan TUN juga
Jadi asas contrarius actus ini adalah asas yang menyatakan Badan atau
pembatalan suatu keputusan (beschikking) pun masih dapat diuji melalui jalur
contrarius actus pun, setiap Pejabat TUN ketika mengetahui keputusan yang
diterbitkan bermasalah pun dapat diperbaiki atau dibatalkan secara langsung tanpa
Seperti yang dijelaskan di atas, asas contrarius actus ini adalah asas mengenai
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum
atas sebuah Keputusan TUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN dapat
Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
d. gugatan gugur.
dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN
8
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
9
Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
10
Pasal 97 ayat (8) dan (9) UU 5/1986
Setiap pejabat TUN ketika mengetahui keputusan TUN yang diterbitkan
harus menunggu pihak lain keberatan atau mengajukan gugatan. Jika terhadap
putusan tingkat terakhir Pengadilan TUN atau Pengadilan Tinggi TUN dapat
dimohonkan upaya hukum kasasi hingga upaya hukum peninjauan kembali (untuk
putusan Pengadilan TUN atau Pengadilan Tinggi TUN yang telah memperoleh
11
Pasal 122 UU 5/1986
12
Pasal 131 dan Pasal 132 UU 5/1986