Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum dengan
menganut sistem Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Ketaatan dan
kedisiplinan merupakan kunci utama untuk kemajuan Indonesia. Indonesia
mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur oleh undang-undang, hal ini dimaksudkan bahwa
negara tidak akan bertindak sewenang-wenang ketika memungut sebagian
kekayaan rakyat, sekalipun itu dipergunakan untuk kepentingan rakyat.
Pajak merupakan bagian terbesar dari pendapatan negara dan sebagai
salah satu sumber utama pembiayaan pembangunan nasional. Peranan strategis
sektor perpajakan terlihat dari kecenderungan meningkatnya target yang telah
dicanangkan oleh pemerintah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, target penerimaan
negara dari sektor perpajakan meningkat sekitar 190% yaitu dari Rp. 652 trilyun
pada tahun 2010 menjadi Rp. 1.246 trilyun pada tahun 2014 dan Rp. 1.244,7
trilyun (APBNP) yang ditargetkan dalam APBN Perubahan Tahun 2015.
Rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, ditinjau dari aspek hukum
sebenarnya dapat diminimalisir dengan memformulasi suatu kebijakan hukum
pidana dibidang perpajakan. Rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak
mendorong lahirnya kebijakan hukum sebagai upaya mengatasi permasalahan
yang ada. Pemerintah dari segi formulasi sebenarnya telah mengeluarkan
ketentuan umum perpajakan, yaitu melalui Undang- Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana yang
telah diubah dan disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994,
Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 yang di dalamnya juga mengatur sanksi
pidana.

1
Tujuan kebijakan hukum pidana di bidang perpajakan pada dasarnya
bukanlah untuk mencari kesalahan ataupun memberikan penghukuman sebagai
balas dendam, tetapi untuk mewujudkan tingkat kepatuhan masyarakat selaku
wajib pajak sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan penerimaan negara di
bidang perpajakan. Kebijakan formulasi hukum di bidang perpajakan secara
substansi menyangkut pembaharuan administrasi perpajakan dengan maksud
meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta strategi dalam menanggulangi
pelanggaran dan berbagai bentuk ketidakpatuhan terhadap kewajiban di bidang
perpajakan.
Kebijakan formulasi hukum pidana di bidang perpajakan dalam
implementasinya ternyata menimbulkan berbagai persoalan, terutama terkait
dengan penerapan ketentuan pasal yang mengatur sanksi pidana. Persoalan
tersebut timbul salah satunya dikarenakan penegak hukum dalam melakukan
tindakan terhadap suatu perbuatan hukum yang sama menggunakan kebijakan
yang berbeda. Sesuai Pasal 3 ayat (1) UU KUP, salah satu bentuk pengendalian
administrasi pemungutan pajak yang menganut self assessment system terletak
pada penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) secara benar, lengkap dan jelas.
Apabila terjadi ketidakbenaran dalam pengisian dan penyampaian SPT, maka
seharusnya upaya yang dilakukan oleh petugas Direktorat Pajak adalah
menerbitkan terlebih dahulu Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh karena tujuan
utama dibentuknya undang-undang perpajakan adalah untuk memaksimalkan
penerimaan negara sehingga kebijakan hukum berbasis ekonomi yang harus
dikedepankan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa seringkali petugas
Direktorat Pajak langsung melakukan pemeriksaan bukti permulaan dan
penyidikan melalui mekanisme peradilan pidana yang semestinya merupakan
alternatif terakhir (ultimum remidium).
Penyidik Pegawai negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Direktorat Pajak
selalu menggunakan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983, meskipun wajib pajak yang dianggap lalai tersebut telah memenuhi
kewajibannya membayar tunggakan pajak. Sebagian perkara di bidang perpajakan
yang diajukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen Pajak ke
Penuntut Umum menggunakan ketentuan Pasal 39 UU KUP. Begitu pula dengan

2
perkara yang masuk dan telah ditangani oleh Pengadilan Negeri Cianjur per bulan
Juni 2021 menangani 2 (dua) perkara bidang perpajakan dengan ketentuan Pasal
39 UU KUP. Salah satu contoh perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (incraht) adalah perkara atas nama OO ROSIDIN perkara Nomor:
401/Pid.Sus/2020/PN Cjr dengan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 3 (tiga) bulan dan Denda sebesar Rp.
5.356.797.237 x 2 =  Rp. 10.713.594.474 (sepuluh milyar, tujuh ratus tiga
belas juta lima ratus sembilan puluh empat ribu empat ratus tujuh puluh
empat) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan maka diganti dengan
kurungan selama 6 (enam) bulan.
Tidak adanya parameter untuk menentukan adanya pelanggaran
administrasi dan kejahatan di bidang perpajakan, telah melukai rasa keadilan dan
menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketidakadilan terjadi manakala seseorang
yang karena kelalaian dan ketidaktahuannya terhadap administrasi perpajakan,
diancam dan dihukum sama dengan mereka sejak semula berniat (mens rea) untuk
melalukan kejahatan di bidang perpajakan. Berdasarkan realitas obyektif,
pengalaman empiris dan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan di atas,
penulis perlu melakukan penelitian lebih mendalam dan komprehensif terhadap
kebijakan formulasi hukum pidana di bidang perpajakan dengan judul: “Kebijakan
Hukum Pidana Di Bidang Perpajakan Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan
Negara.”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan permasalahan terkait
“Kebijakan Hukum Pidana Di Bidang Perpajakan Sebagai Upaya Peningkatan
Penerimaan Negara.”
Berpedoman pada penelitian yang dilakukan pada Pengadilan Negeri Cianjur
penelitian terlaksana secara terarah, maka perlu dibuat perumusan masalah.
Adapun masalah yang dipilih penulis adalah:
Gambaran Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana Di Bidang Perpajakan
Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara

3
1.3. Batasan Masalah
Parameter untuk menentukan adanya pelanggaran administrasi dan kejahatan di
bidang perpajakan, sehungga muncul formulasi kebijakan hukum pidana di bidang
Perpajakan sebagai upaya Peningkatan Penerimaan Negara.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: mengetahui
parameter pelanggaran perpajakan dengan formulasi kebijakan hukum pidana di
bidang perpajakan sebagai upaya peningkatan Penerimaan Negara.

1.5. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain:
1. Bagi Peneliti
a. Diharapkan dapat mengimplementasikan perpajakan khususnya hukum
pidana terhadap perpajakan yang telah diperoleh dan dipelajari selama
masa perkuliahan dan memberikan pemahaman lebih terhadap materi.
b. Serta sebagai wujud partisipasi penulis dalam meningkatkan kesadaran
akan hak dan kewajiban yang melekat pada Wajib Pajak sebagai
warga negara yang baik, khususnya yang berkaitan dengan pemeriksaan
pajak yang selama ini masih dianggap sebagai momok yang meresahkan
dan menakutkan yang harus dihindari.
2. Bagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Sebagai bahan masukan dan saran berupa rekomendasi dan perbaikan
yang diharapkan dapat memberikan sumbangan pemeriksaan guna mencapai
perbaikan kinerja pemeriksaan pajak bagi pemeriksa pajak dalam rangka
mengatasi hambatan-hambatan penerimaan negara di sektor pajak.
3. Bagi Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumber informasi dan
salah satu sumber referensi sumber kajian teori bagi peneliti yang berminat pada
bidang dan topik permasalahan yang sama.

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Pajak


2.1.1. Pengertian Pajak
Pajak bukan saja sebagai kewajiban belaka, melainkan juga hak dari
pembayar pajak (Wajib Pajak) dimana rakyat selaku pembayar pajak melalui
wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat mempertanyakan: untuk apa
pajak itu?
Menurut N.J. Feldmann dalam buku karangan Diaz Priantara, (2016:2) :
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan
terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang
ditetapkan penguasa secara umum) tanpa ada kontra-prestasi dan
semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran umum.”

Menurut H. Rochmat Soemitro SH dalam buku karangan Diaz Priantara (2016:2)


:
“Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor
publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan
tidak mendapatkan imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung
dapat di tunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran
umum dan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah,
untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan negara.”

Menurut S.I Djajadinigrat yang dikutip dalam buku karangan Diaz


Priantara (2016:2), menyebutkan bahwa :
“Pajak adalah kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan ke kas
Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan

5
yang memberikan kedudukan tertentu tetapi bukan sebagai
hukuman menurut peraturan yang ditetapkan Pemerintah serta
dapat dipaksakan tetapi tak ada jasa timbal balik dari Negara
secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum.”

Menurut P. J Adriani dalam buku karangan Sony Devano dan Siti


Kurnia Rahayu (2006:22):
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

Dari defenisi-defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak


memilki unsur-unsur berikut:
1. Pembayaran pajak harus berdasarkan Undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
2. Sifatnya dapat dipaksakan.
3. Tidak ada kontra-pretasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak.
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta).
5. Pajak digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

2.1.2 Fungsi Pajak


Pajak memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran, termasuk pengeluaran
pembangunan.

6
Menurut Erly Suandy dalam buku Hukum Pajak edisi 5 (2011:12-13) ada
dua fungsi pajak, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Fungsi finansial (Budgeter)
Fungsi ini memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara, dengan
tujuan untuk untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Penerimaan
dari sektor pajak dewasa ini menjadi tulang punggung penerimaan negara dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam upaya meningkatkan
penerimaan perpajakan, pemerintah secara konsisten melakukan berbagai upaya
pembenahan baik aspek kebijakan maupun aspek sistem dan administrasi
perpajakan melalui hal-hal berikut ini:
a. Amandemen undang-undang perpajakan.
b. Modernisasi kantor pajak.
c. Ekstensifikasi dan intensifikasi.
d. Extra effort dalam pemeriksaan dan penagihan pajak.
e. Pembangunan data base terintegrasi.
f. Penyediaan layanan melalui pemanfaatan teknologi informasi.
2) Penegakan kode etik pegawai untuk meningkatkan kedisplinan dan
good governance aparatur pajak.
3) Fungsi mengatur (Regulerend)
“Fungsi ini merupakan pajak yang digunakan sebagai alat untuk
mengatur baik masyarakat baik dibidang ekonomi, sosial, maupun
politik dengan tujuan tertentu.”

2.1.3 Jenis-jenis Pajak


Menurut Siti Resmi (2014:7) Terdapat berbagai jenis pajak yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu pengelompokan menurut golongan, menurut
sifat, dan menurut lembaga pemungutnya.
I. Menurut Golongan
a. Pajak Langsung, pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh
Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang
lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban Wajib Pajak yang
bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar atau

7
ditanggung oleh pihak- pihak tertentu yang memperoleh penghasilan
tersebut.
b. Pajak Tidak Langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak
langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, atau perbuatan
yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan
barang atau jasa. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN terjadi
karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa.

II. Menurut Sifat


a. Pajak Subjektif, pajak yang pengenaanya memerhatikan keadaan
pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan
subjeknya. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Objektif, pajak yang pengenaannya memerhatikan objeknya
baik berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang
mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa
memerhatikan kedaaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun
tempat tinggal. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB).

III.Menurut Lembaga Pemungut


a. Pajak Negara (Pajak Pusat), pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya.
Contoh: PPh, PPN, dan PPnBM.
b. Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah
tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak
kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah
masing-masing. Contoh :
- Pajak Provinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
diatas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan

8
diatas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, serta Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
- Pajak Kabupaten/Kota meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran,
Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Pengambilan Galian Golongan C, Pajak Parkir, Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.

2.1.4 Tarif Pajak


Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsur,
yaitu tarif pajak dan pengenanaan pajak. Tarif pajak dapat berupa angka atau
persentase tertentu. Jenis tarif pajak dibedakan menjadi tarif tetap, tarif
proporsional (sebanding), tarif progresif (meningkat), dan tarif degresif
(Menurun). Menurut Siti Resmi (2014 : 14) mendefenisikan 4 macam tarif, yaitu:
a) Tarif tetap adalah tarif berupa jumlah atau angka yang tetap, berapapun
besarnya dasar pengenaan pajak.
b) Tarif proporsional (sebanding) adalah tarif berupa persentase tertentu
yang sifatnya tetap terhadap berapapun dasar pengenaan pajaknya.
Makin besar dasar pengenaan pajak, makin besar pula jumlah pajak yang
terutang dengan kenaikan proporsional atau sebanding.
c) Tarif progresif (meningkat) adalah tarif berupa persentase tertentu yang
makin meningkat dengan makin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif
Progresif dibedakan menjadi tiga, yaitu:
 Tarif Progresif-Proporsional, tarif berupa persentase tertentu yang
makin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan
kenaikan persentase tersebut adalah tetap.
 Tarif Progresif-Progresif, tarif berupa persentase tertentu yang makin
meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan
persentase tersebut juga meningkat.

9
 Tarif Progresif-Degresif, tarif berupa persentase tertentu yang
makin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi
kenaikan persentase tersebut makin menurun.
d) Tarif Degresif (menurun), tarif berupa persentase tertentu yang makin
menurun dengan makin meningkatnya dasar pengenaan pajak.”

2.1.5 Pengertian Pajak Penghasilan


Menurut Siti Resmi (2014 : 74) :
“Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang dikenakan terhadap
subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam suatu tahun pajak.”

Berdasarkan pengertian diatas, dapat diketahui ciri-ciri tertentu Pajak


Penghasilan, yaitu:
1. Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh karena suatu hal dimana tambahan
kemampuan ekonomis tersebut dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah
kekayaan;
2. Penghasilan yang terkena pajak adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh selama satu tahun pajak. Tahun pajak adalah jangka waktu takwim
atau satu tahun buku;
3. Penghasilan yang terkena pajak adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh seseorang baik dari dalam negeri atau luar negeri serta penghasilan
yang berasal dari Indonesia yang diperoleh orang luar negeri.

2.1.6 Subjek Pajak Penghasilan


Subjek pajak akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila menerima atau
memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang
memenuhi syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan
di Indonesia. Menurut Siti Resmi (2014 : 75) Mendefenisikan bahwa subjek
pajak penghasilan adalah:

10
“Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai
potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk
dikenakan Pajak Penghasilan Undang-undang Pajak Penghasilan di
Indonesia mengatur pengenaan Pajak Penghasilanterhadap subjek
pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.”
Berdasar Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008, Subjek Pajak
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Subjek pajak orang pribadi.
Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada
di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
b. Subjek pajak badan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/ atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, bdan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.”

2.1.7 Syarat Pemungutan Pajak


Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila
terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu
rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang.
Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka menurut Thomas Sumarsan
(2010;07) pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu :
1. Pemungutan Pajak Harus adil.
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk
menciptakan keadaan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-
undangan maupun adil dalam pelaksanaanya.
2. Pungutan Pajak tidak Mengganggu Perekonomian

11
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak
mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan,
maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan
masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak,
terutama masyarakat kecil dan menengah.
3. Pemungutan Pajak Harus Efisien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus
diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada
biaya pengurusan pajak tersebut. oleh karena itu, sistem pemungutan pajak
harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.

4. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana


Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung
beban pajak yang harus dibiayai sehingga memberikan dampak positif bagi
para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak.”

2.1.8 Sistem Pemungutan Pajak


Menurut Thomas Sumarsan (2010 : 14), sistem pemungutan pajak
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
a) Official Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri Official Assesment System:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus.
2. Wajib pajak bersifat pasif.
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b) Self Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus
dibayar.
c) Witholding System

12
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada
pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak.”
Embrio Self Assesment ini pada dasarnya sudah mulai diterapkan di
Indonesia sejak tahun 1967 melalui undang-undang nomor 8 tahun 1967,
tentang tatacara pemungutan pajak atas pendapatan, pajak perseroan dan pajak
kekayaan, yang lebih dikenal dengan sistem Menghitung Pajak Sendiri /
Menghitung Pajak Orang (MPS/MPO). Akan tetapi sistem ini tidak membuahkan
hasil yang diinginkan, bahkan penerimaan dari sektor pajak menurun. Dapat
dikatakan system pemungutan pajak dengan system MPS/MPO gagal, karena
tidak didukung dengan sifat yang jujur dari Wajib Pajak serta pengawasan yang
intensif dan akurat dari pihak pemerintah/ administrasi pajak. Selain itu juga
sanksi yang diterapkan tidak efektif dijalankan.
Kegagalan dari sistem tersebut tidak menyurutkan optimis aparat pajak
untuk membangun system perpajakan modern dan menjadikan pemerintah dan
kalangan mendukung konsep self assessment ini sebagai sesuatu yang wajar dan
prospektif dimasa depan sehingga secara konsepsional sistem self assessment
yang digunakan sejak reformasi perpajakan 1983 sangat ideal bagi system
perpajakan Indonesia. Diakatakan ideal karena system tersebut diberlakukan di
lingkungan sosial yang ketika itu masih memiliki pengetahuan dan kesadaran
perpajakan yang relatif rendah.
Berlakunya system self assessment, Pemungut Pajak menuntut Wajib Pajak
agar lebih mandiri dalam mengelola administrasi Perpajakannya. Hal ini
merupakan bentuk refleksi dari azas pemungutan pajak yang dianut oleh
pemerintah yaitu atas pelimpahan sepenuhnya kepada masyarakat.

2.1.9 Azas Pemungutan Pajak


Azas Pemungutan ini membawa konsekuensi sendiri terhadap wajib pajak.
Konsekuensi yang ditimbulkan oleh system self assessment ini, Wajib Pajak
harus mendaftarkan diri menghitung, melaporkan dan menyetor pajaknya yang
dilakukan wajib pajak tersebut. Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana yang
dikemukakan oleh Chairil Anwar Pohan (2014:44) :

13
A. Equality
Pajak itu harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang-
orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuannya untuk membayar
(ability to pay) pajak tersebut dan juga seimbang dengan manfaat/ penghasilan
yang diterima atau dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah.
B. Certainty
Pajak itu tidak ditentukan secara sewenang-wenang, yang dimaskudkan supaya
pjak itu harsu jelas bagi Semua Wajib Pajak dan seluruh masyarakat dan
pasti tidak dapat ditawar-tawar atau dimulur-mulur.

C. Convenience
Dalam memungut pajak, pemerintah hendaknya memperhatikan saat-saat yang
menyenangkan/memudahkan Wajib Pajak. Contohnya: bagi petani sesudah
menuai padinya, bagi karyawan setelah menerima gaji atau penghasilan lain
(bunga, deposito, bonus, dividen, dan sebagainya).
D. Economy
Dalam melaksanakan pemungutan pajak, biaya pemungutan bagi kantor pajak
dan biaya memenuhi kewajiban pajak (compliance Cost). Bagi wajib pajak
hendaklah sehemat mungkin jangan sampai biaya-biaya memungut pajak lebih
besar daripada pajak yang dipungut.”

2.2 Konsep Dasar Pemeriksaan Pajak


2.2.1 Pengertian pemeriksaan pajak
Sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah system
self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung
sendiri pajak yang terutang danmenyetorkan ke kas negara. Dalam sistem ini
diperlukan kejujuran, dan tetap ada yang tidak jujur dalam menghitung
pajaknya melalui Surat Pemberitahuan.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
mendefinisikan pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan yang
menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan

14
secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Pemeriksaan pajak diawali dengan penerbitan Surat Perintah
Pemeriksaan (SP2). Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015, bahwa Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) adalah surat
perintah untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan/ atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Thomas Sumarsan (2010 : 93) mendefenisikan pemeriksaan sebagai


berikut:
“Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/ atau bukti yang dilaksanakan
secara objektif dan professional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan/ atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.”

Objek dari pemeriksaan adalah laporan keuangan Wajib Pajak.


Pemeriksaan Pajak adalah suatu kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini petugas pemeriksa pajak (fiskus)
terhadap Wajib Pajak atas pemenuhan kewajiban perpajakannya berdasarkan
undang-undang pajak untuk berbagai tujuan. Tindakan pemeriksaan adalah
tindakan yang dilakukan oleh petugas perpajakan (fiskus) dalam rangka
melaksanakan pemeriksaan. Terhadap Wajib Pajak, untuk mencari bahan-bahan
dalam menetapkan jumlah pajak yang terutang dan jumlah pajak yang harus
dibayar.
Tingkat kepatuhan wajib pajak itu dillihat atas dasar indikator:
1. Patuh terhadap kewajiban interim, yakni dalam pembayaran/pelaporan SPT
Masa PPh dan

15
PPN setiap bulan.
2. Patuh terhadap kewajiban tahunan, yakni dalam menghitung pajak atas
dasar sistem self assessment, melaporkan perhitungan pajak dalam SPT
pada akhir tahun pajak serta melunasi utang pajak.
3. Patuh terhadap ketentuan materil dan yuridis formal perpajakan melalui
pembukuan sebagaimana mestinya.

2.2.2 Tujuan pemeriksaan pajak


Tujuan pemeriksaan pajak yang didefenisikan oleh Erly Suandy
(2011: 204) adalah sebagai berikut:
a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam hal:
1) Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak,
termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak;
2) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi;
3) Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada
waktu yang telah ditetapkan;
4) Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan
oleh Direktur Jenderal Pajak;
5) Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban Surat
Pemberitahuan tidak dipenuhi;
b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan yang dilakukan
dalam rangka:
1) Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
3) Pengukuhan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
4) Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5) Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto;

16
6) Pencocokan data dan/ atau alat keterangan;
7) Penentuan Wajib Pajak berlokasi didaerah terpencil;
8) Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
9) Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
untuk tujuan lain selain angka 1 sampai dengan angka 8
Tujuan terutama dari pemeriksaan pajak adalah pengujian kepatuhan
wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, kewajiban-kewajiban
perpajakan yang harus dipenuhi oleh wajib pajak, termasuk didalamnya tidak
terkecuali adalah kewajiban para pemungut dan pemotong pajak.

2.2.3 Jenis Pemeriksaan Pajak


Pada prinspinya pemeriksaan dapat dilakukan terhadap semua Wajib
Pajak, namun karena keterbatasan sumber daya manusia atau tenaga pemeriksa
di Direktorat Jenderal Pajak, maka pemeriksaan tidak dapat dilakukan
terhadap semua Wajib Pajak, pemeriksaan hanya dilakukan terhadap WP
yang SPT-nya menyatakan lebih bayar karena hal ini telah diatur dalam UU
KUP. Disamping itu pemeriksaan dilakukan juga terhadap Wajib Pajak tertentu
dan Wajib Pajak yang tingkat kepatuhannya dianggap rendah. Pada masa yang
akan datang, dengan kuasa Pasal 17 UU KUP, pemeriksaan terhadap Wajib
Pajak yang SPT-nya menyatakan Lebih Bayar akan dikurangi jumlahnya,
sehingga pemeriksaan dapat diarahkan kepada Wajib Pajak yang tingkat
kepatuhannya rendah. Jenis pemeriksaan pajak menurut Fidel (2010 : 176)
terdiri dari:
a) “Pemeriksaan Rutin, yaitu pemeriksaan yang bersifat rutin dilakukan
terhadap wajib pajak berhubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban
perpajakannya.
b) Pemeriksaan Kriteria Seleksi, pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib
Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang terpilih berdasarkan
skor risiko tingkat kepatuhan secara komputerisasi. Penggunaan system
kriteria seleksi semacam ini dimaksudkan untuk mengurangi unsur
subjektivitas dalam menentukan pilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa,

17
karena mekanisme pemilihannya berdasarkan beberapa variabel yang sudah
terukur dalam suatu program aplikasi komputer.
c) Pemeriksaan Khusus, pemeriksaan yang secara khusus dilakukan terhadap
Wajib Pajak sehubungan dengan adanya data, informasi, laporan atau
pengaduan yang berkaitan dengan Wajib Pajak tersebut, atau untuk
memperoleh data atau informasi untuk tujuan tertentu lainnya.
d) Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi, pemeriksaan yang dilakukan terhadap
cabang, perwakilan, pabrik dan atau tempat usaha yang pada umumnya
berbeda lokasinya dengan wajib pajak domisili.
e) Pemeriksaan Tahun berjalan, pemeriksaan yang dilakukan dalam tahun
berjalan terhadap Wajib Pajak untuk jenis-jenis pajak tertentu atau untuk
seluruh jenis pajak dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak domisili atau
Wajib Pajak Lokasi.
f) Pemeriksaan Bukti Permulaan, pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana di bidang perpajakan.
g) Pemeriksaan Terintegrasi, pemeriksaan yang dilakukan secara
terkoordinasi dari dua atau lebih unit pelaksana pemeriksaan pajak terhadap
beberapa wajib pajak yang memiliki hubungan kepemilikan, penguasaan,
pengelolaan usaha, dan atau hubungan secara finansial.
h) Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan Pajak, pemeriksaan yang dilakukan
untuk mendapatkan data mengenai harta wajib pajak atau penanggung pajak
yang dapat merupakan objek sita.
i) Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Pindah Tempat Usahanya
1. Menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi semua
kewajiban perpajakannya selama terdaftar di kantor pelayanan pajak yang
lama.
2. Wajib Pajak pindah tempat terdaftarnya karena berubah status atau
pindah alamat.
j) Pemeriksaan Ulang
1. Terdapat indikasi bahwa wajib pajak sedang/telah melakukan tindak
pidana perpajakan.

18
2. Terdapat data baru yang semula belum terungkap yang dapat
mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang.
3. Sebab-sebab lain berdasarkan instruksi Direktur Jenderal
Pajak.
k) Pemeriksaan Pajak dan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak.
a) Dalam hal laporan keuangannya tidak diaudit oleh akuntan publik.
b) Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik/BPKP harus
dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar
dengan pengecualian, sepanjang pengecualian tersebut tidak
memengaruhi laba rugi fiskal.
l) Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak pada KPP WP Besar.
1. Diperiksa diperiksa oleh KPP Wajib Pajak besar, Kanwil wajib pajak
besar, dan kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak.
2. Ruang lingkup pemeriksaannya PL, PSL, dan PSK.
3. Dapat diperiksa setiap tahun.

2.2.4 Ruang lingkup pemeriksaan pajak


Ruang lingkup pemeriksaan menentukan luas dan kedalaman
pemeriksaan. Penentuan ruang lingkup akan mempengaruhi teknik pemeriksaan
yang akan diterapkan, jangka waktu pemeriksaan, dan sasaran atau jenis yang
diperiksa, ruang lingkup pemeriksaan pajak ditentukan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan lapangan dapat meliputi suatu jenis pajak untuk tahun
berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya yang dapat dibedakan sebagai
berikut:
1) Pemeriksaan Lengkap yang dilakukan terhadap wajib pajak, termasuk
kerjasama operasi (KSO) dan konsorsium, atas seluruh jenis pajak, untuk
tahun berjalan atau tahun-tahun sebelumnya, dilaksanakan digunakan dalam
dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam
rangka mencapai tujuan pemeriksaan. Pelaksanaannya dilakukan dalam

19
jangka waktu 2 (dua) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6
(enam) bulan.
2) Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) adalah pemeriksaan lapangan
yang dilakukan terhadap wajib pajak untuk satu, beberapa atau seluruh jenis
pajak secara terkoordinasi antarseksi oleh kepala kantor Unit Pelaksana
Pemeriksaan (UP2),dalam tahun berjalan atau tahun-tahun sebelumnya,
dilaksanakan dengan menerapkan tehnik-tehnik pemeriksaan yang
dipandang perlu menurut keadaan dalam rangka mencapai tujuan
pemeriksaan. Pelaksanaanya dilakukan dalam waktu 1 (satu) bulan dan dapat
diperpanjang 2 (dua) bulan.
2. Pemeriksaan Kantor
Pemeriksaan Kantor yang meliputi suatu jenis pajak tertentu baik tahun
berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di Kantor Direktorat
Jenderal Pajak (KDJP). Pemeriksaan Kantor hanya dapat dilakukan dengan
Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK), jangka waktu penyelesaiannya selama
4 (empat) minggu dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam)
minggu, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jangka waktu penyelesaian pemeriksaan untuk masing-masing jenis
pemeriksaan diatas, tidak dapat diubah meskipun terjadi pergantian
pemeriksa pajak.
b. Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan sebagaimana
dimaksudkan diatas dapat diberikan berdasarkan permintaan Kepala Kantor
Direktorat Jenderal Pajak atau atas permintaan direktur pemeriksaan,
penyidikan, dan penagihan pajak.
c. Apabila terdapat transfer pricing, jangka waktu penyelesaian
pemeriksaan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) tahun.
d. Perluasan pemeriksaan dapat dilakukan apabila SPT tahunan wajib
pajak orang pribadi atau badan, menyatakan adanya kompensasi kerugian
dari tahun-tahun sebelumnya yang belum pernah dilakukan pemeriksaan
dan ada sebab-sebab lain yang berdasarkan atas instruksi direktur
pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak

20
e. Pemeriksaan ulang dapat dilaksanakan apabila terdapat indikasi bahwa
wajib pajak dapat diduga sedang atau telah melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan, dan terdapat data baru dan atau data yang semula belum
terungkap yang dapat mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang
terutang atau mengurangi, memperkecil, kerugian yang dapat dikompensasi.

2.2.5 Kriteria Pemeriksaan Pajak


Mengacu pada peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015
tentang Tata Cara Pemeriksanaan Pajak pasal 4 (empat), kriteria pemeriksaan
pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
dapat dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 17B Undang-
undang KUP;
2. Terdapat keterangan lain berupa data konkret sebagimana dimaskud dalam
pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-undang KUP;
3. Wajib Pajak Menyampaikan surat pemberitahuan yang menyatakan lebih
bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a;
4. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak;
5. Wajib Pajak menyampaikan surat pemberitahuan yang menyatakan rugi;
6. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi,
pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
7. Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau
karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
8. Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan surat
pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam
surat teguran yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis
resiko; atau
9. Wajib Pajak menyampaikan surat pemberitahuan yang terpilih untuk
dilakukan pemeriksan berdasarkan analisis resiko

21
2.3 Pemeriksaan Pajak
2.3.1 Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak
Pelaksanaan pemeriksaan pajak dapat dilakukan secara umum dengan
dua metode adalah sebagai berikut:
1. Metode langsung, yaitu metode yang dilakukan dengan cara meguji
kebenaran angka-angka dalam Surat Pemberitahuan, laporan keuangan,
buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen pendukung sesuai dengan proses
pemeriksaan.
2. Metode tidak langsung, yaitu metode yang dilakukan dengan cara pengujian
atas kebenaran angka-angka dalam Surat Pemberitahuansecara tidak
langsung melalui suatu pendekatan perhitungan tertentu mengenai
penghasilan dan biaya.
Metode tidak langsung dapat dipergunakan sebagai pelengkap metode
langsung dan sebagai pengganti dalam hal pemakaian metode tidak langsung
atau tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Metode tidak langsung yang biasa
digunakan antara lain metode transaksi tunai, metode perbandingan kekayaan
bersih, metode satuan dan volume, metode pendekatan produksi, dan metode
pendekatan laba kotor.
2.3.2 Pemeriksa Pajak
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 Pasal 1
Ayat (5) adalah :
“Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung
jawab untuk melaksanakan pemeriksaan pajak.”
Ciri utama seorang pemeriksa pajak adalah harus memiliki Kartu Tanda
Pengenal Pemeriksa Pajak. Pada kartu tersebut diuraikan bahwa pemegang
kartu adalah pemeriksa pajak di wilayah tertentu. Ciri lainnya yaitu bahwa
dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya dibekali surat tugas untuk melakukan
pemeriksaan pajak dari atasannya yang berwewenang yang disebut sebagai Surat
Perintah Pemeriksaan (SP2) terhadap wajib pajak yang ditunjuk.

22
2.3.3 Tahap-tahap pemeriksaan
Pedoman pemeriksa pajak menetapkan ada tiga tahap pemeriksaan yang
harus dilakukan oleh pemeriksa pajak dalam melaksanakan tugasnya, yaitu:
a. Tahap Persiapan Pemeriksaan, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh pemeriksa sebelum melaksanakan tindakan pemeriksaan dan meliputi
kegiatan sebagai berikut:
1) Mempelajari berkas wajib pajak atau berkas data;
2) Menganalisis SPT dan laporan keuangan wajib pajak;
3) Mengidentifikasi masalah;
4) Melakukan pengenalan lokasi wajib pajak;
5) Menentukan ruang lingkup pemeriksaan;
6) Menyusun program pemeriksaan;
7) Menentukan buku-buku dan dokumen yang aklan dipinjam;
8) Menyediakan saran pemeriksaan;
b. Tahap pelaksanaan pemeriksaan, yaitu serangkaian kegitaan yang
dilakuakn pemeriksa dan meliputi:
1) Memeriksa ditempat wajib pajak;
2) Melakukan penilaian atas pengendalian intern;
3) Memutakhirkan ruang lingkup dan program pemeriksaan;
4) Melakukan pemeriksaan atas buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-
dokumen;
5) Melakukan konfirmasi dengan pihak ketiga;
6) Memberitahukan hasil pemeriksaan kepada wajib pajak yang diperiksa;
7) Melakukan sidang penutup (closing conference);
c. Tahap laporan pemeriksaan pajak
Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) adalah laporan yang dibuat oleh
pemeriksa pada akhir pelaksanaan pemeriksa pada akhir pelaksanaan
pemeriksaan yang merupakan ikhtisar dan penuangan semua hasil pelaksanaan
tugas pemeriksaan sesuai dengan tujuan yang telah diterapkan. LPP menyajikan
penilaian serta pengujian atas ketaatan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib
pajak yang diperiksa dari Kertas Kerja Pemeriksaan. Kegiatan yang dilakukan

23
pada tahap ini adalah penyusunan LPP, pengesahan LPP, pembuatan Nota
penghitungan dan pengiriman LPP dan nota penghitungan.

2.3.4 Jangka Waktu Pemeriksaan


Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 Pasal
15:
1. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dilakukan dalam jangka waktu Pemeriksaan meliputi:
a. Jangka waktu pengujian; dan
b. Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan.
2. Apabila pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan,
jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa,
pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai
dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa,
pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak
3. Apabila Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, jangka
waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling
lama 4 (empat) bulan, yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa
dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari
Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan
Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak,
wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib
Pajak.
4. Apabila Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dilakukan
dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat
(3) huruf a, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a paling lama 1 (satu) bulan, yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak,
wakil, atau kuasa Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam
Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan

24
kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang
telah dewasa dari Wajib Pajak.
5. Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 2 (dua) bulan, yang
dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa,
pegawai, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan
tanggal LHP.
6. Apabila Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dilakukan
dengan Permeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(3) huruf a, jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 10
(sepuluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada
Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak
sampai dengan tanggal LHP.”
Dalam hal dilakukan perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan
Lapangan atau Pemeriksaan Kantor, kepala unit pelaksana pemeriksaan harus
menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu pengujian secara
tertulis kepada Wajib Pajak. Dalam hal pemeriksaan dilakukan karena
Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak jangka waktu sebagaimana yang dimaksud dalam keterangan diatas harus
memperhatikan jangka waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

2.4 Faktor-faktor yang Mendukung dan Menghambat Pelaksanaan


Pemeriksaan Pajak
Ada beberapa faktor pendukung dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak,
yaitu:
a) Informasi tentang wajib pajak yang jelas, karena ada jaringan yang
menghubungkan KPP satu dengan KPP lainya diseluruh Indonesia, setiap
instansi sudah mengirimkan data tiap bulan secara online karena adanya
Sistem Informasi Perpajakan (SIP) sehingga pekerjaan Kantor Pelayanan
lebih cepat dan efisien.

25
b) Adanya dukungan dari pemeriksa pajak terhadap wajib pajak melalui
pendekatan persuasif dimana pihak Kantor Pelayanan Pajak mengadakan
komunikasi dengan beberapa asosiasi yang berdasarkan data yang ada baik
intern dan ekstern, dan wajib pajak tersebut dapat menanggapinya.
c) Laporan SPT harus dilampiri dengan dokumen/catatan/data yang
diperlukan oleh Kantor Pelayanan Pajak, maka dari itu petugas harus meneliti
dengan baik.
d) Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup dan baik dan mempunyai
kemampuan untuk menangani pelaksanaan pemeriksaan.
e) Adanya kesadaran yang relatif tinggi dan itikad yang baik dari wajib pajak
yang ditujukan melalui kepatuhan dan ketepatan waktu dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya, serta sikap kooperatif yang
ditujukan dalam proses pemeriksaan yaitu dengan memperbolehkan
pemeriksa masuk dalam ruangan yang dianggap penting untuk mendukung
pelaksanaan pemeriksaan mau meminjamkan catatan/dokumen, buku kepada
pemeriksa, memberikan keterangan kepada pemeriksa secara jelas baik lisan
maupun tulisan
Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pemeriksaan pajak:
a) Teknologi Informasi.
b) Terlalu Luasnya wilayah kerja suatu Kantor Pelayanan Pajak.
c) Banyaknya jumlah surat perintah pemeriksaan yang diterbitkan.
d) Kurangnya pengetahuan wajib pajak terhadap perundang-undangan pajak
e) Kualitas dan kuantitas pemeriksa pajak.
f) Sarana dan Prasarana Pemeriksaan Pajak.
g) Kurangnya kerja sama KPP dengan pihak-pihak lain yang berhubungan
dengan pajak.
h) Wajib Pajak yang pindah alamat.

2.5 Penerimaan Pajak


Dari beberapa pengertian pajak yang dijelaskan, maka dapat disimpulkan
bahwa penerimaan pajak merupakan penghasilan yang diperoleh oleh
pemerintah yang bersumber dari pajak rakyat. Dana yang diterima di kas negara

26
tersebut akan dipergunakan untuk pengeluaran pemerintah guna meningkatkan
kemakmuran rakyat. Sebagaimana maksud dari tujuan negara yang disepakati
oleh para pendiri awal negara ini yaitu mensejahterakan rakyat, menciptakan
kemakmuran yang berasaskan kepada keadilan sosial. Faktor-faktor yang
berperan penting dalam mempengaruhi dan mengoptimalisasikan pemasukan
dana ke kas negara melalui pemungutan pajak kepada warga negara antara lain:
1. Kejelasan dan Kepastian
Peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan secara
formal, pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang demi tercapainya
keadilan dalam pemungutan pajak (no taxation without representation, and
taxation without representation is robbery). Namun keberadaan undang-undang
saja tidaklah cukup, Undang-undang haruslah jelas, sederhana, dan mudah
dimengerti, baik oleh fiskus, maupun oleh pembayar pajak. Timbulnya konflik
mengenai interpretasi atau tafsiran mengenai pemungutan pajak akan berakibat
pada terhambatnya pembayaran pajak itu sendiri.
2. Tingkat Intelektualitas Masyarakat
Sejak tahun 1984,sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip Self
Assesment. Prinsip ini memberikan kepercayaan penuh kepada pembayar pajak
untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dalam bidang perpajakan. Dengan
menerapkan prinsip ini, pembayar pajak memahami aturan perundang-
undangan mengenai perpajakan sehingga dapat melakukan tugas administrasi
perpajakan. Untuk itu intelektualitas menjadi sangat penting sehingga tercipta
masyarakat yang sadar pajak dan mau memenuhi kewajibannya tanpa ada unsur
pemaksaan. Namun semua itu hanya dapat terjadi jika undang-undang itu
sederhana, mudah dimengerti, dan tidak menimbulkan kesalahan persepsi.
3. Kualitas Fiskus (Petugas Pajak)
Kualitas fiskus sangat menentukan didalam efektivitas pelaksanaan
peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. Bila dikaitkan
dengan tingkat optimalisasi target penerimaan pajak, maka fiskus haruslah
orang yang berkompeten dibidang perpajakan, memiliki kecakapan teknis, dan
bermoral tinggi.
4. Kualitas Administrasi Pepajakan yang Tepat

27
Seberapa besar penerimaan yang diperoleh melalui pemungutan pajak
juga dipengaruhi oleh bagaimana pemungutan pajak itu dilakukan.

2.6 Efektivitas Pemeriksaan Pajak Pengertian Efektivitas


Menurut Beni Pekei dalam buku Konsep Dan Analisis Efektivitas
Pengelolaan Keuangan
Daerah Di Era Otonomi (2016 : 77) mendefenisikan efektivitas adalah sebagai
berikut :
“Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan
suatu organisasi. Apabila suatu organisasi mencapai tujuan maka
organisasi tersebut telah berjalan dengan efektif. Analisis efektivitas
pengelolaan keuangan pemerintah daerah dapat dirumuskan
dengan menggunakan rasio perbandingan antara realisasi
penerimaan dengan target yang ditetapkan dikalikan dengan
seratus dalam bentuk persentase.”

Hal terpenting yang perlu dicatat bahwa efektivitas tidak menyatakan


tentang seberapa besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan
tersebut, efektivitas hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan telah
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Formula untuk mengukur efektivitas
yang terkait dengan pemeriksaan pajak adalah perbandingan antara realisasi
pemeriksaan pajak dengan target penerimaan pajak. Pemeriksaan dikatakan
efektif bila tujuan pemeriksaan bisa tercapai yaitu diperoleh kesimpulan yang
tepat atas pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak yang didukung bukti-
bukti yang menyakinkan. Untuk memperoleh bukti yang menyakinkan
diperlukan pelaksanaan pemeriksaan yang tepat dan efektif selain keahlian
dan kemampuan professional pemeriksa pajak itu sendiri. Pelaksanaan
pemeriksaan pajak dikatakan tepat jika pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku, dan efektif jika
pelaksanaan pemeriksaan tersebut berhasil guna mendukung tercapainya tujuan
pemeriksa pajak.

28
Apabila konsep efektivitas dikaitkan dengan pemeriksaan maka
dimaksud dengan efektivitas adalah seberapa besar realisasi yang dapat dicapai
atas target yang telah ditetapkan oleh pihak Kantor Pelayanan Pajak setiap
tahunnya untuk memenuhi tujuan yang telah ditetapkan, dengan
menggunakan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Dari segi penyelesaian berdasarkan pada jumlah Surat Perintah
Pemeriksaan (SP2) selesai untuk tahun yang telah ditetapkan.
b. Dari segi penerimaan atas hasil pemeriksaan dengan didasarkan pada
jumlah target dan realisasi ketetapan pemeriksaan untuk tahun yang
sudah ditetapkan.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Objek dan lokasi Penelitian


Objek penelitian yang akan diteliti adalah Kasus Pidana berhubungan
dengan pajak yang telah ditangani Pengadilan Negeri Cianjur Kelas IB tahun
2021, yang bertempat di Jalan Dr. Muwardi No. 174 Kelurahan Bojongherang
Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur, 43216.
3.2 Metode Penelitian

29
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya kecuali itu
juga diadakan pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul didalam gejala yang bersangkutan. Metode pendekatan dalam penelitian ini
adalah penelitian hukum kualitatif normatif. Dalam penelitian hukum normatif
digunakan beberapa pendekatan,yaitu pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), Pendekatan kasus
(case approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach.)
Penggunaan metode analisis kualitatif normatif ini sangat berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas dalam pendekatan perbandingan dan pendekatan
kasus.Analisis kualitatif normatif terhadap data yang disajikan secara kuantitatif,
berpijak pada analisis deskriptif dan prediktif.

3.3 PEMBAHASAN
Perbuatan terdakwa melanggar ketentuan sebagaimana diatur Pasal 39A huruf a
jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

1) Kebijakan formulasi hukum pidana dalam bidang perpajakan


Pasal 34 UU KUP, ketentuan ini memuat larangan bagi pejabat
memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau
diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya guna menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Larangan tersebut juga berlaku bagi tenaga ahli yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang- undangan perpajakan. Pelanggaran terhadap ketentuan
tersebut diatur dalam Pasal 41 UU KUP. Untuk menjamin bahwa kerahasiaan

30
mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya
Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam
rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi pidana
bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pengungkapan
kerahasiaan tersebut. Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada
ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau
kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan
atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-
undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum
dengan hukuman yang setimpal Perbuatan atau tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang
lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan
karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak
melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak. Yang dimaksud
dengan tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah
menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai
sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat
Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang
perpajakan dikenai sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi
melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan. Pelanggaran
terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang
menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi
dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak,
sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai
sanksi pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan Perbuatan atau tindakan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 A bukan merupakan pelanggaran
administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib

31
Pajak,sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai
sanksi administrasidengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat
Tagihan Pajak, sedangkan yangmenyangkut tindak pidana di bidang
perpajakan dikenai sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi
melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan. Di dalam Pasal 38
huruf a dan b UU KUP dan ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g,
h, i, ayat (2) dan (2) mengatur tentang ketentuan pidana perpajakan tersebut,
maka uraian pasal 38 mengatur tentang kealpaan (Culpa) yang terkait dengan
Surat Pajak Tahunan (SPT), yang berhubungan dengan Pasasl 13A UU
Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat UU KUP. Dalam
ketentuan Pasal 39 berkaitan dengan kesengajaan (Dolus) SPT, Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPKP),
Pemeriksaan, Pembukuan, Penyetoran Pajak, dan Pasal 39 ayat (2) terkait
dengan Tindak Pidana Pengulangan menentukan pidana akan ditambahkan 1
(satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan
lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,
terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Pasal 39
ayat (3) terkait dengan Tindak Pidana Percobaan, Pasal 39A terkait dengan
Tindak Pidana Faktur Pajak. Dari unsur-unsur tersebut menjelaskan bahwa
tindak pidana dibidang perpajakan dapat dikategorikan sebagai suatu
kejahatan yang mana tidak hanya merugikan bagi orang lain atau masyarakat
luas melainkan juga Negara dikarenakan merugikan pendapatan kas Negara
yang mana pajak merupakan sumber pendapatan bagi Negara yang bertujuan
untuk pembiayaan pembangunan serta kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Dan di dalam ketentuan Pasal-pasal yang mengatur tentang Perbutan Pidana
di bidang Perpajakan karena kelalaian terdapat pada Pasal 38, Pasal 41 ayat
(1) Dalam Undang-undang KUP, yang dimaksud Kelalaian menurut
penjelasan dalam Pasal 38, berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau
kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Terdapat ketentuan untuk
memenuhi unsur kelalaian dalam Pasal 38 UU KUP, yaitu perbuatan tersebut

32
bukan merupakan perbuatan yang pertama kali. Artinya telah terjadibeberapa
kali bahkan berulang kali dilakukan barulah dapat dikategorikan sebagai
PerbuatanPidana yang dilakukan dengan kelalaian. Secara Yuridis Formal,
tidak terdapat rumusan dalam KUHP yang memberi batasan tentang
Kemampuan Bertanggung Jawab. Persoalan yang berkaitan dengan
kemampuan bertanggungjawab diserahkan kepada doktrin.
2) Kebijakan formulasi hukum pidana dalam bidang pajak sebagai upaya
peningkatan penerimaan negara
Hukum bukan tujuan, namun hukum merupakan sarana untuk mencapai suatu
tujuan dari hukum yang diidealkan bersama. Oleh sebab itu, Barda Nawawi
Arief menyatakan sehubungan dengan masalah penetapan sanksi pidana
sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka sudah barang tentu harus
dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat
menunjang tercapainya tujuan umum tersebut. Barulah dengan kemudian
bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat ditetapkan cara, sarana,atau
tindakan apa yang dapat digunakan. Jika mengacu kepada pendapat John
Austin, bahwa hukum adalah perintah dari pengusa, dalam arti perintah
mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.
Namun Sudarto memberikan batasan dalam pembentukan sanksi pidana
bahwa dalam menggunakan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yang mewujudkan masyarakat adil makmur yang
merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Selain daripada itu,
menurut Teguh Prasetyo sebagaimana mengutip dari Sudarto, bahwa batasan
lainnya adalah:
1. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki,
yaituperbuatan yang mendatangkan kerugian materiil dan/atau spiritual
atas warga masyarakat;
2. Penggunaan Hukum Pidana harus pula memperhitungkan prinsip
biayadan hasil (costand benefit principle);
Penggunaan Hukum Pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan

33
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). Hal tersebut menjadi
sejalan, jika setiap legislator memahami bahwa paham negara hukum dalam
budaya hukum Indonesia mendudukan kepentingan orang perorangan secara
seimbang dengan kepentingan umum. Oleh sebab itu, pembentukan sanksi
pidana di dalam UU KUP seharusnya selain mengedepankan kepentingan
negara, pula mengedepankan kepentingan dari Wajib Pajak, khususnya Wajib
Pajak Badan. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 44 B ayat (1) UU KUP,
sebagai berikut: ”Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan
Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
sejak tanggal surat permintaan.” Ketentuan tersebut jelas mengisyaratkan
bahwa pelaksana negara, hendaknya lebih mengedepankan kepentingan yang
lebih besar, dalam hal iniadalah penerimaan bagi Negara yang akan
bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia, dibandingkan menerapkan
pemidanaan. Strategi kebijakan formulasi hukum pidana di bidang perpajakan
sebagai upaya peningkatan penerimaan negara pada saat ini, sejalan dengan
prinsip dalam pidana perpajakan, bahwa sanksi pidana dalam perpajakan
adalah bersifat Ultimum Remidium artinya dalam penegakan terhadap
pelanggaran hukum perpajakan yang diutamakan adalah sanksi adminitratif,
sedangkan penerapan sanksi pidana dilakukan apabila cara-cara yang
dilakukan sudah tidak efektif lagi untuk membuat Wajib Pajak patuh terhadap
ketentuan perpajakan. Salah satu contoh prinsip Ultimum Remidium dalam
perpajakan adalah Pemerintah menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak,
yaitu penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi
administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara
mengungkap harta dan membayar uang tebusan yang diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan pajak. Sebagaimana ditegaskan oleh PAF.
Lamintang, bahwa para ahli hukum pidana berpandangan terhadap pemberian
pidana sebagai penderitaan bagi pelaku hendaknya dipandang sebagai
ultimum remediumatau upaya terakhir yang harus dipergunakan untuk
memperbaiki tingkah laku manusia. Demikian pula pendapat yang
diungkapkan oleh Van Bemmelen, bahwa yang membedakan antara Hukum

34
Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan
pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan
penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan.
Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu
sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah
laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar
orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat
penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin
dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi- sanksi hukum
lain tidak memadai lagi. Perkembangan hukum pidana secara internasional,
khususnya pola pemidanaan, wacana restorative justice dan penal mediation
nampaknya turut memperkuat posisi asas ultimum remedium. Bahwa Negara
sebagai korban, dalam tindak pidana perpajakan, maka kepentingan Negara
lebih didahulukan tanpa harus menghambat kepentingan pelaku usaha, karena
sanksi pidana dalam tindak pidana perpajakan adalah pidana penjara dan
bukan pidana denda. Rumusan sanksi sesuai dengan UU KUP ini adalah
efektifitas nya dalam mencegah terjadinya delik dan/atau mengembalikan
keadaan (yang tidak seimbang setelah terjadinya delik) seperti sediakala. Hal
ini cukup beralasan mengingat sanksi pidana yang di atur dalam UU KUP
hanyalah berupa sanksi-sanksi formal. Namun, dalam beberapa aspek,
khususnya untuk mencapai suatu tujuan pemidanaan terhadap korporasi,
sanksi informal atau negative yang berupa legal sanction, occumpational
sanctions, dan social sanction dapat dipertimbangkan. Sejalan dengan hal
tersebut menurut aplikasi monitoring penerimaan negara Undang-Undang
KUP tersebut terbukti efektif, pada periode pertama tanggal 1 agustus sampai
dengan 31 September 2016, Penerimaan Negara sudah 59% dari target
penerimaan Uang Tebusan, atau Rp. 97.2 Triliun. Kebijakan hukum pidana
dalam bidang perpajakan sebagai upaya peningkatan penerimaan negara saat
ini terdapat dalam UU PPSP (Penagihan Pajak dengan Surat Paksa),
penyanderaan dapat dilakukan untuk Penanggung pajak yang mempunyai
utang pajak sekurang- kurangnya Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Penyenderaan merupakan salah satu upaya penagihan pajak berupa

35
pengekangan sementara waktu atau kurungan (paling lama 6 bulan dan dapat
diperpanjang paling lama 6 bulan), dan Penanggung pajak yang disandera
dapat dilepaskan apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar
lunas. Langkah ini terbukti efektif dalam rangka memberi efek jera kepada
penanggung pajak dan peningkatan penerimaan negara. Dalam hal
pengaturan mengenai sanksi pidana yang akan dikenakan terhadap pelaku
delik belum secara kontektualsehingga belum mencakuppidana formal seperti
kurungan dan denda dan pidanainformal atau negatif seperti occumpational
sanction, legal sanction, dan social sanction. Pengenaan sanksi yang berbeda
bagi korporasi dan perorangan atau individu. Tolok ukur dari sanksi pidana
ini pada akhirnya adalah efektivitas sanksi pidana untuk mencegah terjadinya
suatu delik (hal ini mengacu pada teori pencegahan dalam konteks hukum
penitensier) atau pun untuk mengembalikan keadaan seperti sediakala atau
restitutio in integrum. Penerapan sanksi perpajakan baik administrasi (denda,
bunga dan kenaikan) dan pidana (penjara) mendorong kepatuhan wajib pajak.
Namun penerapan sanksi harus konsisten dan berlaku terhadap semua wajib
pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan.

BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

36
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Implementasi kebijakan hukum pidana di bidang perpajakan sebagai upaya
peningkatan penerimaan negara saat ini dapat dilihat dalam ketentuan UU
PPSP (Penagihan Pajak dengan Surat Paksa) penyanderaan dapat dilakukan
untuk Penanggung pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya
Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Penyenderaan merupakan salah satu
upaya penagihan pajak berupa pengekangan sementara waktu atau kurungan
(paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 bulan), dan
Penanggung pajak yang disandera dapat dilepaskan apabila utang pajak dan
biaya penagihan pajak telah dibayar lunas.
2. Kebijakan kriminalisasi dan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana
perpajakan di masa yang akan datang ditinjau dari sudut pembaharuan hukum
pidana. Pengaturan mengenai sanksi pidana yang akan dikenakan terhadap
pelaku delik juga harus diformulasikan kembali sehingga dapat mencakup
pidana formal seperti kurungan dan denda dan pidana informal atau negatif
seperti occumpational sanction, legal sanction, dan social sanction. Selain itu
pula, pembentuk undang-undang harus mempertimbangkan pengenaan sanksi
yang berbeda bagi korporasi dan perorangan atau individu. Tolok ukur dari
sanksi pidana ini pada akhirnya adalah efektivitas sanksi pidana untuk
mencegah terjadinya suatu delik (hal ini mengacu pada teori pencegahan
dalam konteks hukum penitensier) atau pun untuk mengembalikan keadaan
seperti sediakala atau restitutio in integrum.

4.2.1 SARAN
Undang-undang KUP harus dikaji lebih lanjut adalah apakah delik pajak
ini merupakan kejahatan yang luar biasa sifatnya yang merupakan prasyarat
secara teori untuk penggunaan konsep strictliability atau vicariousliability.
Dengan banyaknya kasus pidana yang terkait dengan delik pajak, sudah saatnya
pembuat undang-undang mempertimbangkan kembali untuk mengatur secara
spesifik delik pajak ini dalam suatu aturan khusus sebagai delik luar biasa. Hal ini
tentu saja berimplikasi pada konsep pertanggungjawaban pidana yang digunakan

37
dalam Undang-undang KUP. Apabila hukum perpajakan akan dilakukan
pembaharuan maka hal-hal yang berkaitan sistem pertanggungjawaban pidana
baik yang menyangkut subjek tindak pidana,jenis pidana, jumlah (lamanya)
pidana, sistem perumusan pidana sepanjang hal itu tidak diatur dalam KUHP
yang berlaku, hendaknya diatur tersendiri dalam hukum perpajakan yang akan
diperbaharui.

DAFTAR PUSTAKA

Atep Adya Barata dan Zul Afdi Ardian, 1989, Perpajakan, Bandung: Amrico.
Atmosudirdjo,

38
S. Prajudi,1986,Dasar-dasar Ilmu Administrasi Cet.8, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bemmelen,
J.M. van, 1987,Hukum Pidana I: Hukum Pidana Meterial Bagian Umum Cet.2,
Bandung: Binacipta. Brotodihardjo,
R. Santoso,1998,Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama
Clarke, Michael. Business Crime: Its Nature and Control: with a chapter by Sally
Wheeler.
Erly Suandi,2011,Hukum Pajak, Edisi 5, Jakarta : Salemba Empat.
Lamintang,P.A.F,1984,Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico.
Manan,
Bagir,1994,Fungsi dan Peraturan Peraturan Perundang-undangan,Makalah,
Bandung. Makarao,
Mohammad Taufik,2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang
Bentuk-bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk
Pemidanaan, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Miyasto, 1997,Sistem Perpajakan Nasional Dalam Era Ekonomi Global, Pidato
Pengukuhan: Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar
Madya Dalam Ilmu Ekonomi Pada Fakultas Ekonomi yang diucapkan 6
Desember 1997, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang.
Moeljatno,1993,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dalam
Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.
_________,1987,Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara. Muladi dan
Barda Nawawi Arief,1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung:
Alumni.
__________,1998,Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni.
Muladi, 2002,Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang Cetakan Kedua:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
______, 2005,Materi Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi Ke XI Tahun
2005, Makalah pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi
Ke XI,Surabaya.
Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991,Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum Pidana Cet.1, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung.
Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia, terjemahan: Tristan
Pascal Moeljono, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
R. Wiyono, 1983, Pengantar Tindak Pidana Ekonomi Indonesia Berikut 43
Peraturan, Bandung: Alumni. Sahetapy, J.E. 2002, Kejahatan Korporasi,
Bandung: Refika Aditama.
___________, 2005, Pisau Analisis Kriminologi, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Saleh, Roeslan, 1982, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungan Jawab
Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia
_____________, 1983, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Jakarta:
Aksara Baru.
_____________,1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua
PengertianDasar dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru.
_____________,1985, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan
dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru.

39
_____________,1987, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta:
Aksara Baru.
_____________,1987, Tentang Delik Penyertaan, Pekanbaru: UIR Press.
_____________, 1994, Masih Saja tentang Kesalahan, Jakarta: Karya
Dunia Fikir.
Simon Nahak, 2014, Hukum Pidana Perpajakan, Malang : Setara Press.
Sumantoro,1990, Aspek-aspek Pidana Di Bidang Ekonomi, Jakarta: Ghalia.
Soemitro, Rochmat, 1992, Asas dan Dasar Perpajakan 1 dan 2, Bandung: Eresco.
_______, 1994, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Bandung:
Eresco.
_______, 1976, Masalah Peradilan Administrasi Negara Dalam Hukum Pajak Di
Indonesia, Bandung: Eresco.
_______, 1991, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Bandung: Eresco.
_______, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: Eresco.
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri Cet
Ke-4, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum Cet Ke-3, Jakarta: UI-
Press.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soetrisno, 1992, Kapita
Selekta Ekonomi Indonesia: Suatu Studi, Yogyakarta: Andi Offset.
Soepardi, Prapto, 1991, Tindak Pidana Penyelundupan Pengungkapan dan
Penindakannya, Surabaya: Usaha Nasional.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro.
_________, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
_________, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
_________, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung:
Sinar Baru
S. Syofyan dan A. Hidayat, 2004, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Bandung:
Refika Aditama.
______, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru.
______, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
______, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana:
Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Badan Analis Fiskal, 2004, Departemen Keuangan, Kebijakan Fiskal: Pemikiran,
Konsep, dan Implementasi. Universitas Diponegoro, Buku Pedoman
Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

40

Anda mungkin juga menyukai