Anda di halaman 1dari 16

Sosiologi Komunikasi & Informasi

“ Sosiologi Media “

1
1.1 Konsep Sosiologi
Sosiologi sendiri  berasal dari bahsa latin, yaitu "socius" yang berarti kawan atau teman
sedangkan "logos" berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan pertama kalinya
dalam buku yang berjudul Cours De Philosophie Positive karangan August Comte (1798-
1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi, pada umumnya sosiologi dikenal sebagai
ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Sosiologi mempelajari masyarakat dan perilakunya, serta perilaku sosial manusia dengan
cara mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai suatu ilmu, sosiologi
merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan
dapat dikontrol oleh orang lain atau umum.
Ini adalah definisi sosiologi menurut beberapa tokoh:
- Max Weber : Sosiologi ilmu yang mempelajari tentang tindakan social atau perilaku-
perilaku manusia.
- Pitirim Sorokin : Mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari
hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial
(misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum
dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya); hubungan dan
pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial (misalnya
gejala geografis, biologis, dan sebagainya); dan ciri-ciri umum dari semua jenis gejala
sosial.
- Roucek dan Warren : Mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
- William F.Ogburn dan Meyer F.Nimkoff : Berpendapat bahwa sosiologi merupakan
ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang
bersifat stabil.
- Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi : Menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu
masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial,
termasuk perubahan-perubahan sosial.
Dengan demikian, Sosiologi adalah ilmu yang hendak mengerti dan menjelaskan
tindakan-tindakan social manusia yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat.
Sosiologi merupakan suatu ilmu social, dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam
ataupun ilmu pengetahuan kerohanian.
Sebagai suatu ilmu pengetahuan, sosiologi membatasi diri terhadap persoalan
penilaian, artinya sosiologi tidak menetapkan kearah sana mengenai sesuatu yang
seharusnya berkembang, dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut
kebijaksanaan-kebijaksanaan kemasyarakatan dan politik. Akan tetapi, pandangan-
pandangan sosiologis tidak dapat menilai apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang
benar atau salah, serta segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Sosiologi dapat menetapkan bahwa suatu masyarakat pada suatu waktu dan

2
tempat memiliki nilai-nilai tertentu, tetapi selanjutnya tak dapat ditentukan bagaimana
nilai-nilai tersebut seharusnya. Di sini, sosiologi berbeda dengan filsafat kemasyarakatan,
filsafat politik, etika, dan agama.
Menurut Harry M.Johnson (1967), sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang
objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri
karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya
adalah :
1. Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut
didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat, serta hasilnya tidak
bersifat spekulatif.
2. Sosiologi bersifat teoritis yang berarti ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha
untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut
merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan
untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.
3. Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas
dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas, serta
memperhalus teori-teori yang lama.
4. Sosiologi bersifat non-etis yang berarti yakni dipersoalkan bukanlah baik-
buruknya fakta tertentu, tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut
secara analitis
Sosiologi mempelajari tindakan manusia dalam kelompok hidupnya. Selanjutnya dalam
kehidupan kelompok, manusia pada umumnya mengikuti kehidupan kelompoknya untuk
mengikuti ketentuan yang berlaku. Usaha individu atau kelompok untuk menyesuaikan diri
ataupun melawan usaha keseragaman oleh kelompok ataupun masyarakat luaslah yang
merupakan bahan penelitian bagi berbagai ilmu sosial lainnya.
Menurut Pellegrin (1964:17), sosiologi meneliti berbagai bidang yang ditemukan secara berulang
dalam kehidupan manusia dan telah merupakan keteraturan yaitu:
1. Masyarakat;
2. Kebudayaan;
3. Lembaga-lembaga dan kelengkapannya;
4. Diferensiasi sosial;
5. Kehidupan kelompok;
6. Pengawasan dan pengandalian sosial;
7. Perubahan masyarakat;

Berikut ini merupakan objek yang dibahas dalam sosiologi;

3
1. Objek meterial yaitu kehidupan sosial, gejala-gejaladan proses hubungan antar manusia
yang memengaruhi kesatuan manusia itu sendiri;
2. Objek formal lebih ditekankan pada manusia sebagai makhluk sosial atau masyarakat.
Dengan demikian objek formal sosiologi adalah hubungan sosial antarmanusia serta
proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat;
3. Objek budaya merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi hubungan satu dan
lainnya;
4. Objek agama yang dapat menjadi pemicu dalam hubungan sosail masyarakat, dan banyak
juga aspek lain atau pun dampak yang memengaruhi hubungan manusia.
Konsep-konsep dalam sosiologi memiliki ciri khas tersendiri untuk dikaji sehingga memiliki
karakteristik yang berbeda. Aguste Comte pun mengatakan sosiologi sebagai “ratu ilmu sosial”.

2.2 Perspektif Sosiologi Terhadap Media

4
Perspektif sosiologi merupakan pola pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji tentang
kehidupan masyarakat dengan segala aspek atau proses social kehidupan di dalamnya. Dalam
ilmu sosiologi terdapat dua perspektif besar yang memandang masyarakat dari sisi yang
berlawanan yaitu positivisme dan fenomenologi.
Kedua perspektif ini merupakan cikala bakal ataupun ataupun akar dari berbagai perspektif
sosiologi lainnya. positivisme yang dipelopori Aguste Comte memandang bahwa semua
pengetahuan harus berdasarkan pada ilmu semua pengetahuan harus berdasarkan pada ilmu
(science) atau dengan pemikiran ilmiah dengan tujuan untuk menemukan hukum-hukum umum.
Adapun teori-teori yang paling dominan dalam perspektif makro adalah teori-teori yang
menekankan integrasi dan harmoni dan teori-teori yang menekankan konflik.
Positivisme masuk kedalam kelompok besar  strukturalisme yang mengacu pada analaisis
sosiologi makro yang melihat masyarakat secara keseluruhan, dan bagaimana masyarakat
tersebut terstruktur dengan asumsi pokok bahwa ada suatu sistem nilai dalam masyarakat yang
mengatur perilaku masyarakat.
Setiap individu mempelajari berbagai aturan norma dan kepercayaan melalui proses
sosialisasi di masyarakat sampai akhirnya mengalami proses internalisasi mengenai bagaimana
seseorang harus berperilaku baik atau buruk benar atau salah dan sebagainya. Ketaatan pada
aturan tersebut merupakan prasyarat masyarakat agar dapat bertahan secara terintegrasi, stabil
dan dinamis.
Sedangkan fenomenologi oleh Edmund Husserl dan Alfred Schutz menentang pendekatan
positivisme, karena hukum-hukum seperti itu bersifat ilusif, yang akhirnya terjarat pada
determinisme. Menurut ahli fenomenologi, perilaku manusia tidaklah sepenuhnya di atur oleh
hukum-hukum ekternal.
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara pendekatan Positivisme dan fenomologi
diantaranya adalah pada Positivisme melihat sesuatu dengan pendekatan struktur atau
pendekatan makro, yaitu bagaiman struktur memengaruhi perilaku manusia. Sedangkan
pendekatan fenomonologi mengambil sekala kecil sebagai point of entry, dengan menekankan
pada sosial action, bukan pada struktur yang abstrak.
Perspektif sosiologi dapat mempengaruhi jalannya media. Media ini bisa banyak macam dari
media cetak maupun media elektronik. Dalam berbagai tayanggannya media dapat berisi
berbagai konten yang dipengaruhi oleh perspektif sosiologi.

2.3 Perspektif Fungsionalis

5
Emile Durkheim memandang bahwa masyarakat terdiri atas banyak bagian, yang masing-
masing mempunyai fungsi sendiri. Jika semua bagian masyarakat menjalankan fungsinya,
maka masyarakat berada dalam keadaan “normal” jika sebaliknya maka dalam keadaan
“abnormal” atau “patalogis’’. Bahwa masyarakat, seperti halnya tumbuhan atau bintang,
berisi system-sistem yang beraksi bersama untuk menopang kehidupan organism. Perspektif
fungsionalis menekankan keteraturan (order) dan stabilitas (stability) dalam masyarakat.
 
• Ciri-Ciri perspektif fungsional:
1. Dalam perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja
sama secara terorganisir yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut
separangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagaian besar masyarakat tersebut.
2. Masyarakat dipandang sebagai suatu system yang stabil dengan suatu kecenderungan kearah
keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan untuk mempertahankan system kerja yang selaras
dan seimbang.
3. Menurut Talcott Parsons (1937) Kingsley Davis (1937) dan Robert Merton (1957), setiap
kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tetentu dan terus-menerus, karena hal itu
fungsional.
4. Perubahan social mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun tidak lama
kemudian terjadi keseimbangan baru.
5. Bila suatu perubahan sosial tertentu mempromosikan suatu keseimbangan yang serasi, hal
tersebut dianggap fungsional; bila perubahan sosial tidak membawa pengaruh, maka hal
tersebut tidak fungsional.
6. Dalam suatu Negara demokratis, partai-partai politik adalah fungsional, sedangkan
pemboman, pembunuhan terorisme politik adalah ganguan fungsional dan perubahan dalam
lambang adalah tidak fungsional.
 

2.4 Perspektif Konflik


Konflik menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Manusia tidak akan pernah terlepas dari

6
konflik, karena manusia hidup bermasyarakat dan dalam bermasyarakat itu sendiri terdapat
struktur yang mengatur sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu tatanan masyarakat yang
kompleks. Selain itu, interaksi sosial yang terjadi dalam bermasyarakat juga menjadi pemicu
terjadinya konflik. Interaksi didalamnya juga diatur oleh struktur sosial yang mengatur perilaku
dan mempengaruhi personal seseorang atau bahkan membentuknya. Kesimpulannnya, interaksi
sosial yang diatur oleh struktur sosial akan menimbulkan konflik dan akan membentuk
personalitas manusia. Berdasarkan penjelasan singkat di atas, berikut akan di ulas mengenai
perspektif konfik secara ringkas dalam pandangan tokoh-tokoh sosiologi.
Antara lain:
Karl Marx Karl Marx memandang konflik sebagai sisi lain dari sudut pandang bidang
ekonominya. Hal ini nampak terlihat dari teori-teorinya, misal tentang nilai kerja. Menurut Marx,
aplikasi kerja manusia merupakan hasil transformasi dari seluruh sumber nilai (Collins, th-. 53).
Selain itu, dalam karyanya yang lain yakni Das Kapital, Marx menunjukan bahwa kapitalisme
suatu saat akan runtuh walaupun dengan berbagai cara melakukan produksi (Sindhunata, 1982:
41). Masih dalam perspektif Marx memandang konflik, ia mengembangkan teori konflik dengan
beberapa konsepsi yakni konsepsi tentang kelas sosial, perubahan sosial, kekuasaan dan negara
dimana konsepsi-konsepsi tersebut saling berkesinambungan.
Sebagaimana dalam masyarakat  kapitalis, konflik selalu terjadi antara kaum yang
memiliki dan menguasai alat-alat produksi dan dengan yang tidak, yakni borjuis dan proletar.
Ketika borjuis dapat memiliki dan menguasai alat-alat produksi tentu ada legitimasi atau tanda
kepemilikan legal yang diberikan oleh negara, karena negara juga memiliki kepentingan.
Sehingga borjuis memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang akan diproduksi. Menurut
Marx, dalam konteks ini hukum lebih banyak berfihak pada kaum borjuis dibanding proletar,
baginya negara merupakan komite eksekutif kaum borjuis (Cuff & Payne, 1984: 92). Selain itu,
terdapat stratifikasi antara kaum borjuis dan kaum proletar dan terbentuklah kelas-kelas sosial
yang mendukung terjadinya perubahan sistem sosial yang menimbulkan konflik. Marx membagi
kelas-kelas sosial tersebut antara lain kelas yang memiliki kepentingan dan kelas yang ingin
mengubah sistem sosial.
Max Weber Lain halnya dengan Karl Marx, Weber lebih cenderung memandang
fenomena konflik berdasarkan pemikiran rasionalitas. Weber membagi rasionalitas dalam empat
tipe antara lain: pertama, rasionalitas praktis yakni lebih memandang dan menilai aktivitas sosial
yang berhubungan dengan kepentingan dirinya secara pragmatis dan egoistik. Kedua, rasionalitas
teoritis, yakni lebih memahami terlebih dahulu realitas yang ada. Ketiga, rasionalitas substansif,
yakni mengikut sertakan cara-cara untuk mencapai tujuan. Keempat, rasionalitas formal, yakni
mengkalkulasikan cara-cara untuk mencapai tujuan. Selain dasar pemikiran rasionalitas, Weber
juga mengkaji fenomena konflik dalam kajian deterministik ekonomi dan stratifikasi sosial yang
dibaginya menjadi kelas, status dan partai. Dimana seluruhnya juga saling berpengaruh. Cuff &
Payne (1984: 96), Weber mengatakan bahwa posisi Marx lebih menekankan bahwa perubahan
memerlukan tindakan sosial.
Dalam hal ini, Weber tergugah untuk menemukan tindakan apa yang paling tepat yang

7
dapat membawa perubahan. Dalam karyanya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism,
ia mengkaji bagaimana awal kapitalisme terjadi dan berkembang pesat di negara barat, yakni
karena adanya ajaran Calvinisme. Calvinisme merupakan ajaran dari agama Protestan yang
mengajarkan umatnya untuk selalu bekerja keras mencari uang dan berhemat serta hidup
sederhana agar semakin dekat dengan Tuhan atau menjadi pilihan Tuhan. Dengan kata lain,
menumpuk harta agar dapat memiliki dan menguasai alat-alat produksi sehingga ia dapat bekerja
lebih efisien dan lebih mendapatkan keuntungan. Dari sini lah, semangat kapitalis di negara-
negara barat muncul dan terus berkembang karena ide religius tersebut telah memotivasi
individu-individu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Weber
membuktikan bahwa perubahan sosial tidak hanya didasari oleh konteks ekonomi saja, tetapi
religiusitas juga dapat mendorong perubahan.
Ralf Dahrendorf Setelah membahas perspektif konflik Karl Marx dan Max Weber,
perspektif konflik yang selanjutnya adalah perspektif konflik dari Ralf Dahrendorf. Dahrendorf
melalui  karyanya Clas and Conflict Class in Industrial Society berupaya memodifikasi konsep
teori konflik Marx. Ia beranggapan bahwa konsep-konsep konflik Marx hanya berlaku pada saat
masyarakat kapitalis saja, tetapi tidak pada masyarakat pasca kapitalis atau ia meyebutnya
dengan masyarakat modern industrial. Menurut Dahrendorf, konflik pada masyarakat modern
industrial tidak hanya dalam konteks pemilik alat-alat produksi yang selalu disangkut-pautkan
Marx dengan ekonomi, politik dan sosial. Modifikasi yang ia lakukan adalah dengan
membangun pemahaman baru tentang perubahan struktur sosial masyarakat pasca kapitalis
antara lain, dekomposisi kapital, dekomposisi pekerja, perkembangan kelas menengah baru,
pertumbuhan mobilitas sosial dan pertumbuhan persamaan. Kelima hal tersebut menjelaskan
proses perubahan masyarakat modern industrial tentang struktur kelas pekerja. Singkat kata,
profesi-profesi yang muncul dikalangan masyarakat modern industrial menjadi tergolong sebagai
pekerja tanpa harus memiliki alat-alat produksi. Hal ini yang menjadi kritik Dahrendorf tentang
konsep-konsep konflik Marx tidak berlaku lagi dalam masyarakat modern indusrtial karena para
pekerja telah menempatkan profesi-profesi mereka dan telah terlegitimasi. Cuff & Payne (1984:
103) menyebutkan bahwa menurut Dahrendorf konflik yang terjadi dalam kelompok-kelompok
kepentingan harus dipahami terlebih dahulu. Konflik dalam masyarakat pasca kapitalis telah
terlembaga atau di ‘setting’. Menurutnya, konflik telah diatur sedemikian rupa oleh kelompok
yang memiliki kepentingan dan konflik tidak lagi merusak sistem sosial. Kelompok kepentingan
artinya kelompok yang saling terhubung satu sama lain karena keterikatannya (Dahrendorf,
1986: 222). Selain itu, Dahrendorf mengatakan bahwa dalam masyarakat pasca kapitalis terdapat
dua jenis kelompok yang mempengaruhi pembentukan kelas yakni kelompok potesial dan
kelompok kepentingan, dan konflik hanya muncul pada kedua kelompok tersebut (Dahrendorf,
1986: 305-306). Demikian penjelasan singkat perspektif konflik dari tiga tokoh sosiologi diatas.
Dahrendorf dalam kritiknya terhadap konsep pemikiran Karl Marx seakan terlalu terburu-buru
dalam membangun pemahaman baru terhadap masyarakat industrial modern. Karena
kenyataannya kapitalis masih menguasai sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki modal
untuk usahanya atau tidak mampu untuk mencari pekerjaan apapun profesinya itu, profesi yang
dijadikan suatu pekerjaan sebelumnya juga memiliki proses yang panjang untuk mendapatkan
profesi tersebut. Sebagai contoh jika seorang anak miskin ingin menjadi seorang pilot atau dokter
atau guru atau yang lain sebagainya, maka ia harus terlebih dahulu meraih pendidikan yang

8
sesuai dan setara dengan profesi yang di inginkan tersebut. Oleh karena itu, bidang ekonomi
menjadi salah satu konsepsi konflik baik dalam masyarakat kapitalis maupun masyarakat modern
industrial sekalipun, karena saai ini yang namanya pekerjaan apapun membutuhkan modal walau
sekecil apapun.
Kesimpulannya adalah konflik yang terjadi dalam masyarakat disebabkan karena adanya
interaksi sosial yang telah dipengaruhi oleh struktur sosial dan terdapat kepentingan-kepentingan
kelompok masing-masing didalamnya serta didominasi oleh pengaruh-pengaruh lain seperti
ekonomi, sosial dan sebagainya. Konflik memang tidak terpisahkan dalam kehidupan
masyarakat. Disisi lain, keberadaan konflik seharusnya memang ada, guna membangun kesatuan
yang lebih kokoh dalam suatu kelompok.

• Ciri-ciri perspektif konflik:


1. Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx (1818-1883),
yang melihat pertantangan dan eksploitasi kelas sebagai pengerak utama kekuatan-
kekuatan dalam sejarah.
2. Menurut C. Wright Mils (1956-1959), Lewis Coser (1956), Aron (1957) dan Collines
(1975), bilaman para fungsionalis melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu
keseimbangan yang mantap, maka para teoritis konflik melihat masyarakat sebagai
berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok dan kelas.
3.Teoritis konflik melihat perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu
proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal, dimana orang-orang muncul sebagai
pengetengah kelas, bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin.
4.Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama karena
kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan.
Mereka mengklaim bahwa “nilai-nilai bersama” yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu
ikatan pemersatu tidaklah benar-benar; sebaliknya konsesus tersebut adalah ciptaan kelompok
atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai serta peraturan mereka terhadap semua
orang.

2.5 Perspektif Feminis


Feminisme adalah sebuah paham yang muncul ketika wanita untuk menuntut kesetaraan
hak yang sama dengan pria. Istilah ini pertama kali di gunakan di dalam debat politik di

9
perancis di akhir abad ke 19. Menurut June Hannam di dalam buku feminism, kata
feminisme bisa diartikan sebagai:
1. Pengakuan tentang ketidak seimbangan kekuatan antara dua jenis kelamin, dengan
peranan wanitadi bawah pria.
2. Keyakinan bahwa kondisi wanita terbentu secara sosial maka dari itu dapat di ubah.
3. Penekanan pada otonomi wanita.

Orang yang menganut paham feminisme ini disebut degan feminis. Sebagai sebuah faham,
feminisme berupaya untuk memperjuangkan transformasi sosial guna mewujudkan dunia
dengan pranata sosail yang adil secara gender (jenis kelamin).
Feminisme sebagai salah satu teori sosial adalah untuk menganalisis dan menjelaskan akar
penyebab, dinamika dan struktur penindasan terhadap perempuan. Dengan kata lain
feminisme mempermasalahkan penyebab ketimpangan dan ketidak adilan dalam pola relasi
kuasa yang terjadi antara perempuan dengan laki-laki, maupun anatara perempuan dengan
perempuan anatar lintas kelas.
Sebagai teori sekaligus gerakan, feminisme adalah alat untuk akar penyebab pola relasi
yang simetri antara laki-laki dan perempuan, penyebab terjadinya penindasan terhadap
perempuan, sekaligus reaksi dan perlawanan terhadap situasi yang menindas dan tidak adil
terhadap perempuan.
Di Indonesia, feminisme telah berkembang sebagai perspektif dengan cukup luas. Tokoh-
tokoh feminisme di Indonesia tidak hanya hadir dari kalangan perempuan, tetapi juga laki-
laki. Perspektif feminisme itu digunakan dalam berbagai ruang akademik. Tokoh-tokoh
seperti Siti Musdah Mulia, Gadis Arivia, KH. Husein Muhammad, Faqih Abdul Qadir, telah
banyak mempublikasikan pandangan-pandangan feminismenya di Indonesia.
Dalam dua dekade terakhir, kelompok feminis meluncurkan beberapa teori yang secara
khusus menyoroti kedudukan perempuan di tengah masyarakat. Feminis berupaya
menggugat kemapanan patriarki dan berbagai bentuk stereotyp gender lainnya yang
berkembang luas di dalam masyarakat.
Kaum feminis ini terbagi menjadi beberapa aliran, yang secara umum dapat di kelompokan
kedalam tiga aliran yaitu anatara lain yaitu diantaranya feminisme liberal, feminisme radikal
dan feminisme marxit/sosialis.

1. Feminisme liberal
Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan
seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara atau dengan yang lainnya.
Dalam hal ini wanita juga seharusnya mempunyai kesempatan yang sama dengan pria untuk
menjadi sukses di dalam suatu masyarakat. Feminisme liberal di inspirasi oleh prinsip-prinsip
pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kehususan.
Menurut paham ini keadilan gender dapat dimulai dari diri kita sendiri. Hal yang harus
diperhatikan diantaranya.

10
- Pertama, peraturan untuk permainannnya harus adil.
- Kedua, pastikan tidak ada pihak yang ingin memanfaatkan sekelompok masyarakat
lain dan sistem yang dipakai seharusnya sistematis serta tidak ada yang dapat
dirugikan.

Walaupun menganut paham feminisme liberal, kelompok ini tetap menolak persamaan
secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal. Dalam beberapa hal
terutama yang berhubungan dengan reproduksi, aliran ini masih memandang perlunya ada
pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Kelompok ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki mereka menghendaki agar
perempuan di integrasikan secara total di dalam semua peran termasuk bekerja di luar rumah.
Meraka memandang organ reproduksi bukan penghalang terhadap peran-peran tersebut.
2. Feminisme Radikal
Aliran ini muncul di permulaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar yaitu
menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti lembaga patriarki
yang dinilai merugikan perempuan, karena jalas-jelas ini menguntungkan laki-laki.
Feminis Radikal merupakan julukan untuk para feminis revolusioner yang
memperkenalkan cara berpikir baru dengan cara praktek meningkatkan kesadaran. Para
wanita akan berkumpul bersama di dalam sebuah kelompok kecil dan saling berbagi
pengalaman pribadi mereka sebagai wanita.
Feminis radikal ini menganggap sistem patrialisme terbentuk oleh kekuasaan,dominasi,
hirarki dan kompetisi. Namun hal tersebut tidak bisa di reformasi dan bahkan pemikirannya
harus di rubah. Kelompok feminis radikal ini fokus kepada jenis kelamin, genderdan
reproduksi sebagai tempat untuk mngembangkan pemikiran fasisme mereka.
Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilai merupakan penindasan yang
teramat panjang yang ada di dunia. Pernyataan ini didukung oleh pendapat dari Alison Jaggar
dan Paula Rothenberg, yaitu dilihat dari lima aspek:
- Dilihat dari sejarah, wanita adalah kelompok pertama yang tertindas.
- Penindasan wanita adalah penindasan yang paling banyak tersebar luas, dan dapat
dilihat secara nyata di setiap kelompok masyarakat yang kita tahu.
- Penindasan wanita adalah bentuk penindasan yang paling sulit dibasmi dan tidak
dapat dihilangkan dengan penggantian status sosial lainnya seperti penghapusan kelas
masyarakat.
- Penindasan wanita menyebabkan penderitaan yang terburuk bagi korbannya, baik
secara kualitas maupun jumlahnya, walaupun korban yang bertahan seringkali tidak
dianggap dikarenakan penilaian berdasarkan jenis kelamin dari si penindas dan
korban.
- Penindasan wanita menyediakan contoh konseptual untuk mengerti penindasan dalam
bentuk lainnya.

11
Feminisme radikal menekankan para wanita untuk menyeimbangkan sifat feminim dan
maskulin di dalam dirinya atau sering disebut dengan istilah androgini. Wanita yang
memiliki sifat androgini adalah wanita yang memiliki karakter baik dari sifat-sifat
maskulin dan feminim di dalam dirinya atau lebih ekstrimnya lagi, mempunyai campuran
sifat maskulin dan feminim, baik atau buruk sesuai dengan apa yang mereka sukai.
3. Feminisme Marxis-Sosilis
Aliran ini berusaha untung menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat
berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran anatara
kedua jenis kelamin itu sesungguhnya itu lebih disebabkan oleh faktor budaya alam.
Sebagai salah satunya adalah wanita di anggap mempunyai kedudukan yang lebih
rendah di dalam masyarakat tradisional jika dibandingkan dengan laki-laki. Karena latar
belakang sejarah dan latar belakang biologis suatu masyarakat.
Pada dasarnya dari ketiga aliran feminisme di atas, mempunyai tujuan yang utama di
dalamnya yaitu untuk memperjuangkan kemerdekaan atau persamaan status dan peran
sosial antara perempuan dan laki-laki sehingga kedepannya kita tidak lagi mendengar
adanya kasus atau masalah ketimpangan gender.
Salah satu contoh Konstruksi media terhadap identitas dan peran melalui film yaitu,
Pertentangan yang memperlihatkan pemikiran Disney Corporation terhadap wanita yang
konfliktual dengan stand point feminisme muncul disebabkan oleh informasi dalam
konten film yang sering disebut sebagai moral of the story, berimplikasi pada
pembentukan karakter anak-anak perempuan dimasa awal.
Opsi yang ditunjukkan oleh Disney dengan dongeng puteri kerajaannya adalah
perempuan bisa bermimpi dan berharap datangnya seseorang yang menyelamatkan
hidupnya, bukan berusaha dan berjuang untuk hidupnya sendiri.
Hal ini sangat tidak kondusif bagi pembentukan kesadaran diri perempuan, dan
berimplikasi pada sikap yang dependent, termasuk pada laki-laki ketika perempuan
menghadapi persoalan dalam kehidupan.
Dengan melihat sudut pandang Disney lewat film-filmnya para feminist merespon
dengan berbagai kritikan tajam dan kemudian mempengaruhi dinamika hubungan
keduanya. Interaksi antara para feminis dengan Disney corporation menghasilkan
berbagai transaksi satu dan teramifikasi ke transaksi seterusnya.
Sebagai penggambaran di media. Terutama di televisi. Wanita yang menjadi objek
seringkali berada pada posisi dimana wanita dilihat dari sosok yang bersifat biologis saja,
yakni kecantikan wajahnya, keindahan rambutnya, kemolekan dan kesensualan tubuhnya,
kemerduan suaranya dan unsur sejenis lainnya.

12
Unsur-unsur itulah yang di anggap sebagai komoditas yang amat laku pada industri
pertelevisian. Perempuan dalam kondisi demikian bisa berupa bintang iklan, bintang
sinetron dan lain-lain. kabanyakan iklan yang menunjukan perempuan sebagai citra
maupun metode persuasinya lebih cenderung menampilkan sosok biologis mereka baik
kecantikan, keindahan rambut dan lain-lain.
Sosok non biologis seringkali tidak begitu di tonjolkan atau mungkin tidak pernah di
tonjolkan seperti intelektual, keterampilan dan keahlian dan profesionalitas perempuan.
Posisi demikian perempuan yang demikian melahirkan protes masyarakat terhadap
televisi.
Gerakan feminis pada 1960 an muncul karena adanya kekecewaan dan protes
terhadap citra perempuan yang demikian yang selalu di tampilkan di televisi. Mereka
hawatir itu akan menjadi budaya kedepannya. Dan menganggap perempuan hanya bisa di
kembangkan dalam bidang biologisnya dan tidak mempunyai banyak kemampuan di
bidang non biologis.
Namun di sisi lain, gerakan feminis di lain sisi di untungkan juga dengan adanya
media.Perkembangan media akhir-akhir ini tidak dapat di pungkiri berlangsung secara
cepat, terutama media cetak seperti Televisi. Peranan mediapun bermacam-macam. Dari
peranan utamanya yaitu berfungsi sebagai sarana yang informatif, edukatif dan hiburan.
media juga berperan dalam sosialisasi feminisme dan media pendukung terjadinya
gerakan feminisme.
Dalam wacana mengenai perempuan, media selalu mengangkat berita mengenai
kekerasan perempuan dalam rumah tangga, penyiksaaan tenaga kerja wanita di luar
negeri dan ketangguhan perempuan dalam kemelut hidup. Melalui media, perempuan
memberikan seruan, melalui media pula perempuan menuntut adanya persamaan gender,
penghapusan diskriminasi dan perbedaan gender, baik dalam pekerjaan (ekonomi), rumah
tangga, politik, sosial maupun budaya.
Media yang menjadi salah satu media komunikasi informasi kepada masyarakat di
suatu bangsa atau di lingkup internasional. Media dapat memberikan bantuan pada
pergerakan kaum feminisme. Media sebagai wadah negoisasi kaum feminis, tempat
pergulatan wacana kritis persoalan feminisme, yang berisikan pro dan kontra terhadap
gerakan feminisme. Mengangkat suatu tema perempuan dalam setiap sudut
pergerakannya.
Pada suatu wacana pada harian Kompas, mengangkat sebuah tema perjuangan
perempuan. Wacana ini menceritakan tentang seorang perempuan janda paruh baya
bernama Marni, yang berjuang sendirian untuk tetap hidup dengan bertani cabai.
Dalam wacana tersebut diilustrasikan bagaimana Marmi menjalani kehidupan sehari-
hari dan kehebatannya dalam menghadapi tuntutan hidup. Marmi yang harus bergelut

13
dengan tanah dan lumpur, belum lagi jika panas matahari mulai menyengat kulitnya.
Bagaimana marni harus menggarap lahan sendirian, tanpa suami dan anak yang
mendampinginya.
Halitu dapat membuka mata orang yang membaca cerita tersebut dapat berpikir
bahwa wanitapun dapat melakukan hala yang sekarang ini sering di presepsikan hanya
kaum laki-laki yang hanya bisa melakukannya.
Kaum feminis percaya bahwa media sering menyajikan perempuan sebagai
pembersih, ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga memberikan kenyamanan dan
dukungan untuk laki-laki, pria objek seks untuk kebutuhan seksual pria layanan, dll.
Kaum feminis percaya bahwa keterwakilan gender ini merupakan aspek patriarki. Kaum
feminis percaya bahwa media menunjukkan peran-peran ini yang alami dan normal.
Kaum feminis melihat ini sebagai contoh patriarki ideologi-seperangkat keyakinan yang
mendistorsi realitas dan mendukung dominasi laki-laki.
Tapi disisi lain pentingnya media dalam menampilkan suatu wacana feminisme
sangat membantu dalam pergerakan kaum feminis tersebut dalam menunjukan
eksistensinya. Para feminis bisa mengeluarkan seruan-seruannya melalui media yang
berperan sebagai sarana pergerakan dan negosiasi kaum feminisme akan kesetaraan
gender, pengkritikan ketidakadilan gender, bahkan sampai dengan pengangkatan tematik
ke khalayak ramai mengenai perempuan melalui media.
Contoh lainnya adalah jika ada kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di
dalam atau di luar negeri. Dan kasus tersebut di muat di media, maka akan cepat
berdampak pada para pembacanya. Yang akan merasa simpati ataupun lebih dari itu yaitu
sikap empati untuk melakukan gerakan-gerakan yang menolak kekerasan terhadap tenaga
kerja tersebut dan mendesaknya untuk para pemimpin agar dapat cepat menyelesaikan
persoalan tersebut.

2.6 Psikologi Sosial


Psikologi sosial adalah suatu studi tentang hubungan antara manusia dan kelompok. Para ahli
dalam bidang interdisipliner ini pada umumnya adalah para ahli psikologi atau sosiologi,
walaupun semua ahli psikologi sosial menggunakan baik individu maupun kelompoksebagai unit
analisis mereka.

14
Psikologi sosial sempat dianggap tidak memiliki peranan penting, tetapi kini hal itu mulai
berubah. Dalam psikologi modern, psikologi sosial mendapat posisi yang penting. psikologi
sosial telah memberikan pencerahan bagaimana pikiran manusia berfungsi dan memperkaya jiwa
dari masyarakat kita. Melalui berbagai penelitian laboratorium dan lapangan yang dilakukan
secara sistematis, para psikolog sosial telah menunjukkan bahwa untuk dapat memahami
perilaku manusia, kita harus mengenali bagaimana peranan situasi, permasalahan, dan budaya.
Walaupun terdapat banyak kesamaan, para ahli riset dalam bidang psikologi dan sosiologi
cenderung memiliki perbedaan dalam hal tujuan, pendekatan, metode dan terminologi mereka.
Mereka juga lebih menyukai jurnal akademik dan masyarakat profesional yang berbeda. Periode
kolaborasi yang paling utama antara para ahli sosiologi dan psikologi berlangsung pada tahun-
tahun tak lama setelah Perang Dunia II. Walaupun ada peningkatan dalam hal isolasi dan
spesialisasi dalam beberapa tahun terakhir, hingga tingkat tertentu masih terdapat tumpang tindih
dan pengaruh di antara kedua disiplin ilmu tersebut.

  Ruang Lingkup Psikologi Sosial


Psikologi Sosial yang menjadi objek studinya adalah segala gerak gerik atau tingkah laku
yang timbul dalam konteks sosial atau lingkungan sosialnya. Oleh karenanya masalah pokok
yang dipelajari adalah pengaruh sosial atau perangsang sosial. Hal ini terjadi karena
pengaruh sosial inilah yang mempengaruhi tinghkah laku individu. Berdasarkan inilah
Psikologi Sosial membatasi diri dengan mempelajari dan menyelidiki tingkah laku individu
dalam hubungannya dengan situasiperangsang sosial (Ahmadi, 2005)
Objek pembahasan dari Psikologi Sosial tidaklah berbeda dengan psikologi secara
umumnya. Hal ini bisa dipahami karena Psikologi Sosial adalah salah satu cabang ilmu dari
psikologi. Bila objek pembahasan psikologia dalah manusia dan kegiatannya, maka Psikologi
Sosial adalah kegiatan-kegiatan sisoalnya. Masalah yang dikupas dalam psikologi umum
adalah gejala-gejala jiwa seperti perasaan, kemauan, dan berfikir yang terlepas deri alam
sekitar.Sedangkan dalam Psikologi Sosial masalah yang dikupas adalah manusia sebagai
anggota masyarakat, seperti hubungan individu dengan ndividu yang lain dalam
kelompoknya.
Psikologi Sosial dalam membicarakan objek pembahsannya dapat pula bersamaan
dengan sosiologi. Masalah-masalah sosial yang dibicarakan dalam sosiologia dalah
kelompok-kelompok manusia dalam satu kesatuan seperti macam-macam kelompok,
perubahan-perubahannya, dan macam-macam kepemimpinannya. Sedangakan dalam
Psikologi Sosial adalah meninjau hubungan individu yang sati dengsan yang lainnya seperti
bagaimana pengaruh terhadap pimpinan, pengaryh terhadap anggota, pengaruh terhadap
kelompok lainnya.
Persamaan-persamaan pembahasan sebagaimana penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa ruang lingkup pembahasan Psikologi Sosial berada pada ruang antara psikologi dan

15
sosiologi. Titik persinggungan inilah yang dalam sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan
memunculkan ilmu baru dalam lapanagn psikologi, yakni Psikologi Sosial. Psikologi Sosial
merupakan bagian dari psikologi yang secara khusus mempelajari tingkah laku manusia atau
kegiatan-kegiatan manuisa dalam hubungannya denagn situasi-situasi sosialnya. (Ahmadi,
2002)

Tujuan Psikologi Sosial


Sama halnya tujuan dalam bidang-bidang yang lain, tujuan pembelajaran Psikologi Sosial
bertumpu pada tujuan yang lebih tinggi. Secara hirarki, tujuan Pendidikan Nasional pada
tataran operasional dijbarkan dalam tujuan institusioanl tiap jenis dan jenjeang
pendidikan .selanjutnya pencapaian tujuan institusional ini, secara praktis dijabarkan dalam
tujuan kurikuler atau tujuan mata pelajaran.
Akhirnya tujuan kurikuler ini, secara praktis operasional dijabarkan dalam tuuan
instruksional atau tujuan pembelajaran.dalam sub bahasan ini, dibatasi pada uraian tujuan
kurikuler bidang studi Psikologi Sosial. Tujuan kurikuler Psikologi Sosial yang harus dicapai
sekurang-kurangnay meliputi lima tujuan berikut :
1. Membekali peserta didik dengan pengetahuan Psikologi Sosial sehinggat tidak
terpenagruh, tersugesti, atau terpengaruh oleh situasi sosial yang selamanya tidak bernilai
baik.
2. Membekali peserta didik dengan kemampuan mengidentifikasi, menganalisa dan
menyusun alternatif pemecahan masalah-masalah sosial secara tetap dan sisitematis
mengenai proses kejiwaan yang berhubungan dengan kehidupan bersama.
3. Membekali peserta didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan sesama warga
masyarakat sehingga memudahkan dalam melakukan pendekatan untuk mewujudkan
perubahan dan pengrahan kepada tujuan denagn sebaik-baiknya.
4. Membekali peserta didik denagn kesadaran terhadap lingkungan sosial sehingga mampu
merubah sifat dan sikap sosialnya.
5. Membekali peserta didik denagn kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keimuan
psikologi sosial sesuai dengan perkembangan kehidupan, perkembanagn masyarakat,
perkembangan ilmu, dan perkembangan teknologi.
Kelima tujuan di atas menjadi tanggung jawab yang harus dicapai dalam pelaksanaan kurikulum
Psikologi Sosial di berbagai lembaga pendidikan. Tentu denagn keluasan, kedalaman, dan bobot
yang sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan yang dilaksanakan.

16

Anda mungkin juga menyukai