Corak penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
prinsip-prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis.Artinya
kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk
oleh kedua sumber hukum terssebut. Maksudnya kemaslahatan itu tidak dapat
dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung baik melalui penalaran bayani
atau ta’lili melainkan dikembalikan pada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung
oleh nash.
Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran istihlahi ini tampak
dalam beberapa metode ijtihad,antara lain dalam metode al-mashlahah al-mursalah dan
saddudz-dzari’ah. Untuk melihat bagaimana corak penalaran istihlahi dengan kedua
metode tersebut.
Al-mashlahah al-mursalah
1
kepada mashlahah. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataannya berarti “sesuatu
yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa
yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan akliyah seccara mutlak”. Sedangkan dari
tergantungnya tuntutan sayara’ kepada mashlahah, yaitu kemaslahatan yang merupakan
tujuan dari penetapan hukum syara’ untuk menghasilkannya Allah menuntut manusi
untuk berbuat.
Adapun mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya
dalam bentuk sifat maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukan bahwa ia
merupakan bagian dari al-mashlahah. Tentang arti mashlahah telah dijelaskan di atas
secara etimologi maupun secara terminologi. Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari
fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk kata dasar ketiga,yaitu رسلdengan penambahan
huruf “alif” di pangkalnya sehingga menjadi ارسلyang secara bahasa berarti terlepas,
jika di hubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah terlepas dari boleh atau
tidaknya dilakukan. Sedang menurut istilah yaitu apa yang dipandang baik oleh akal,
sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’
yang memperhitungkan dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.
Saddudz-dzara’i (dzari’ah)
2
Larangan ini di turunkan disebabkan ucapan “Raa`ina”, oleh kaum yahudi
digunakan untuk mencaci Nabi. Maka kaum muslimin dilarang mengucapkannya untuk
menghindartakan timbulnya dzari’ah. Metode ini tidak hanya bersifat menghindarkan
kerusakan namun dzari’ah juga untuk menarik kemanfaatan, kemanfaatan dan kerusakan
inilah yang menjadi parameter prinsib digunakannya dzari’ah. jika kerusakan lebih besar
dari manfaatnya maka hukum terhadap hal itu melalui dzari’ah akan menjadi dilarang.
4. Metode Istishab
Menurut ulama fikih istishab berarti apa yang ada pada masa lalu dipandang
masih ada pada masa sekarang dan masa yang akan datang, atau terus menetapkan apa
yang telah ada dan meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada sehingga terdapat dalil
yang mengubahnya.
ما ثبت بزمان ويحكم ببقائه
Apa yang telah diyakini ada pada suatu masa, dihukumkan tetapnya (selama belum ada
dalil yang mengubahnya).
penggunaan istishab sebagai sumber adalah bahwa secara syar’i hukum- Alasan
hukum syara’ berlaku sesuai dengan dalil yang ada hingga ada dalil lain yang
mengubahnya. Abu zahrah mencotohkan dengan minuman anggur yang memabukan
yang haram berdasarkan syara’, namun jika kemudian minuman anggur itu berubah
wujud sehingga unsur yagn memabukan itu hilang, misalnya menjadi cuka, maka hilang
pulalah keharamnnya.1[6]
Istishab ini ada untuk mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu perkara.
Artinya istishab adalah merupakan jalan untuk mencapai suatu ketetapan hukum,
misalnya ketika terdapat perkara yang tidak ada nash hukum nya (setelah melalui proses
ijtihadiah) maka akan ditetapkan kebolehannya dengan berdasarkan pada kaidah:
اناالصل فى االشياء االباحة
“sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”
Kaidah ini diambil dari nash yang menyatakan bahwa Dia (Allah) telah
menaklukan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk manusia. Dan sesuatu
yang ada di bumi tidaklah diciptakan untuk manusia dan ditaklukan bagi manusia kecuali
3
apabila sesuatu diperbolehkan untuk mereka. Karena kalau sekiranya ia dilarang atas
mereka maka suatu itu tidaklah diperuntutkan bagi mereka.
Dari pemaparan diatas dapat dikemukakan bahwa konsep penemuan hukum oleh
Juris Islam terutama dipelopori aliran system hukum terbuka, yang pada pokoknya
bahwa suatu peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak diubah kata-
katanya guna direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang ada. Keterbukaan sistem
hukum Islam karena dalam rangka mencapai kemaslahatan.Jika dalam suatu aturan
hukum belum ada dan atau hukum masih bersifat normatif yang belum jelas maknanya,
maka metode penemuan hukum dilakukan dengan metode bayani (penafsiran), metode
ini ternyata menentukan arti kata-kata terhadap sebuah teks dengan tetap berpegang pada
bunyi teks.
Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum Islam karena
memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam menjawab berbagai problema yang
timbul dalam masyarakat.Tidak heran teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari
fuqahak karena ilmu pengetahuan hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu
lainnya.Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru
persoalan fikih merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fikih
ibadah dan mu‟amalahnya.