Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
NIM : 030690296
TUGAS 01
SOAL !
1. Secara umum, masyarakat biasanya dikategorikan oleh Emile Durkheim sebagai masyarkaat
bersolidaritas mekanik dan bersolidaritas organik. Solidaritas mekanik disebut biasa muncul
pada masyarakat pedesaan sedangkan solidaritas organik pada masyarakat perkotaan.
Berdasar karakteristik dua tipe solidaritas ini, apakah pandangan pembagian solidaritas
masyarakat di perdesaan dan perkotaan ini masih mutlak seperti pendapat Durkheim?
Jawab :
Pandangan pembagian solidaritas masyarakat di pedesaan dan perkotaan masih mutlak
seperti pendapat Durkheim, hal ini sangat menggambarkan situasi dan kondisi yang real atau
nyata di masyarakat sekitar.
Durkheim mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil dari sebuah kebersamaan yang
disebut dengan solidaritas sosial, yaitu satu keadaan hubungan antara individu dengan
individu atau kelompok dengan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan
kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Perubahan dalam pembagian kerja memiliki implikasi yang sangat besar bagi struktur
masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara dimana solidaritas sosial
terbentuk, dengan kata lain, perubahan cara-cara masyarakat bertahan dan bagaimana
anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Untuk menyimpulkan perbedaan
ini, Durkheim membagi solidaritas sosial menjadi dua, yaitu solidaritas mekanis dan organis.
Menurut Emile Durkheim, masyarakat perkotaan tertuju pada sebuah solidaritas, dimana
solidaritas masyarakat perkotaan (gesellschaft), menurutnya, berbeda dengan masyarakat
pedesaan (gemeinschaf) karena masyarakat kota dikategorikan masyarakat yang memiliki
solidaritas organik. Pada masyarakat perkotaan, berlaku hukum restitutif yang menghendaki
para pelanggar untuk memberikan ganti rugi atas kesejahteraan mereka.
Dari sinilah, masyarakat kota bisa dipahami sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas
kolektif rendah, karena masyarakat kota yang notabene sebagai masyarakat pendatang,
berbeda dengan masyarakat pedesaan yang relatif dominan sebagai masyarakat asli dan
memiliki solidaritas yang kuat atau solidaritas mekanik, saling bahu membahu, gotong
royong dengan menerapkan slogan “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Pekerjaan
yang berat sekalipun apabila dilakukan secara Bersama - sama akan terasa ringan. Itulah
masyarakat kota dalam pandangan Durkheim.
2. Furnivall (1976) menyatakan bahwa pada masyarakat Hindia Belanda, pluraralisme terjadi
dalam bentuk dua elemen masyarakat atau lebih yang hidup secara sendiri tanpa adanya
pembauran dalam kesatuan politik. Pada kondisi Indonesia saat ini, apakah kondisi tersebut
masih terjadi? Jelaskan dan beri contoh.
JAWAB :
Pluralitas masyarakat Indonesia adalah suatu kenyataan bahwa bagsa indonesia terdiri dari
kolektivitas kelompok- kelompok masyarakat yang bersifat majemuk . dari segi etnis
terdapat 656 suka bangsa dan tidak kurang dari 300 enis bahasa- bahasa lokal (daerah),
dipapua saja lebih dari 200 bahasa- bahasa suku bangsa .Indonesia memiliki keragaman
budaya yang berasal dari berbagai suku bangsa dan berbagai macam bahasa menjadi ciri
kemajemukan bangsa Indonesia.
Pluralisme Agama
Masyarakat Indonesia memeluk dan menghayati beragam agama dan kepercayaan. Ada
enam agama besar di Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Konghucu. Dengan begitu, pluralisme agama bisa dilihat pada tempat ibadah, tradisi, dan
cara ibadah tiap agama yang berbeda-beda.
Dalam hal yang spesifik ini adalah pluralisme LSM agama yang terbesar di Indonesia yakni
NU (Nahdatul Ulama) dan Muhamadiyyah. Jika dilihat lebih dekat dua mainstream NU dan
Muhammadiyah telah banyak lahir dari rahim keduanya komonitas-komonitas Islam yang
begitu gigih mengangkat isu pluralisme, sehingga pada sisi yang lain kedua mainstream
tersebut dipercaya sebagai sisi Islam yang cukup moderat yang mampu meredam
radikalisme dan militanisme Islam yang biasanya lahir dari kubu-kubu yang menamakan
dirinya sebagai Islam puritan. Gerakan tradisional diwakili oleh NU sementara gerakan Islam
modernis diwakili Muhammadiyah. Abdurrahman Wahid dan Masdar F. Mas’ud dua tokoh
representaif yang lahir dri NU telah memainkan perannya dalam mengapresiasi pularlisme.
Bahkan Gusdur pada suatu mement dinobatkan sebagai bapak pluralisme.
JAWAB :
Berdasar hasil dari kasus diatas tersebut, Andi menggolongkan sebagai dari etnis bali, yakni
masuk dalam kategori Primordialisme Kedaerahan Primordialisme kedaerahan adalah suatu
sifat keterikatan atau kekeluargaan yang terpengaruh atas tempat tinggal atau daerah
dimana seseorang tinggal. Sama seperti jenis yang lainnya, ia akan selalu terikat dengan
daerah asalnya atau tempat lahirnya.
Dimana andi lebih menonjolkan sifat-sifat dan budaya kedaerahan dimana andi itu tinggal
dan lahir dari suatu daerah yang ia banggakan atau tampilkan. Bukan menonjolkan dari sifat
suku jawa yang dibawa dari Ayah dan Ibunya.
4. Salah satu hasil pemikiran Geertz yang paling banyak dikutip mengenai masyarakat Jawa
adalah terkait pembagiannya dalam tiga tipe yaitu Abangan, Santri, dan Priyayi. Menurut
Anda, apakah pembagian secara mutlak ini masih terjadi di saat ini dan apakah pembagian
seperti ini juga terjadi pada kelompok etnis lain selain masyarakat Jawa?
JAWAB :
enurut Geerzt dalam penelitiannya di dekade 1960-an di Mojokuto (Pare), Jawa timur, dia
mengatakan ada dua perbedaan umum yang mencolok ketika membahas istilah itu, yakni
membahas soal perbedaan santri dan abangan. (Secara sederhana Geertz mengatakan santri
adalah varian masyarakat di Jawa yang taat kepada ajaran Islam, abangan yang lebih longgar
dan tak terlalu taat pada ajaran Islam. Priyayi adalah golongan bangsawan/ningrat yang tak
terlalu taat pada ajaran Islam, terpesona pada adat dan kebiasaan yang datang dari leluhur.
Namun, dalam tulisan ini lebih menfokuskan pada dua golongan ini, yakni santri dan
abangan saja.
Pertama. kalanganan abangan adalah merupakan varian masyarakat Jawa mereka yang tidak
benar-benar tidak acuh terhadap doktrin (agama IslamI tetapi terpesona oleh detil
keupacaraan (adat). Sementara di kalangan santri merupakan varian masyakat di Jawa yang
memberikan perhatian terhadap doktrin (ajaran agama Islam). Dan itu dicirikan bila disebut
sebagai seorang abangan maka orang tersebut harus tahu kapan harus menyelenggrakan
'slametan' (ritual adat dan kebiasaan budaya). Golongan ini mrmiliki toleransi kepercayaan
agama: Katanya jalan (Tuhan) itu memang banyak).
Kata Geertz, itulah yang membedakannya dengan varian dari kalangan santri. Varian
masyarakat Jawa ini fokus terhadap peribadatan pokok keagamaan yang penting. Ini
khususnya pada sisi pelaksanaan sembahyang (shalat) yang merupakan tanda istimewa
untuk menyebut seorang santri.
Tentu saja, sikap reletivisme kaum abangan tidak terlihat dikalangan santri. Sebab, santri
mempunyai sikap penekanan kuat terhadap keharusan iman serta sikap tidak toleran
terhadap kepercayaan dan praktik adat yang mereka anggap sebagai heterododoks.
Selain itu, lanjut Geertz, perbedaan kedua yang jelas antara varian abangan dan santri
terletak pada masalah organisasi sosial mereka. Abangan mendasarkan pada unit sosial
paling dasar yakni rumah tangga pria, isterinya, dan anak. Sedangkan santri mendasarkan
pada rasa sebagai satu komunitas (umat) sebagai hal utama.
Sedangkan dari sisi organisasi, lanjut Geerftz, kaum santri berpusat di empat lembaga sosial
yang utama. Pertama, partai politik Islam berikut organisasi sosial dan amalnya. Kedua,
sekolah agama. Ketiga, lembaga birokrasi pemerintah. Keempat struktur lembaga
keagamaan.
Dan terhadap adanya Trikotomi itu, memang sudah lama mendapat kritik yang telak dari
mendiang Gur Besar UI, Prof DR Harya Bachtiar. Menurut Harsya, Geerz tidak menegaskan
apakah ia hendak menegaskan komplek-kompleks kepercayaan dan ritual keagamaan
tertentu ataukan kepercayaan dan ritual keagamaan dari kategori-kategori tertentu dalam
masyarakat.
Hal ini karena seorang yang dianggap taat dalam beragama atau santri oleh seorang lain,
tidak dengan sendirinya akan dianggap santri pula oleh orang yang berbeda. Dalam hal
priyayi misalnya harus dibedakan antara status yang mereka dapatkan secara hukum dan
status karena pergaulan.
Di lain pihak, kata Harsya, Geertz juga gagal membedakan adat dengan agama. Adanya
perbedaan ini bila tidak disadari oleh orang maka akan melahirkan penafsiran keliru tentang
fenomena empiris tertentu yakni adanya kenyataan bahwa agama itu berbeda dengan adat.
Alhasil harus dibedakan antara pola perilaku pemenuhan norma-norma adat dengan pola
perilaku yang ditimbulkan oleh norma yang berasal dari dan berkaitan langsung dengan satu
sistem kepercayaan tertentu.
Jadi menurut Harsya, kepercayaan-kepercayaan agama, nilai-nilai dan norma priyayi pada
dasarnya tidak berbeda dari yang terdap pada kalangan bukan priyayi. Namun dengan
mengecualikan hal-hal yang berkaitan dengan Islam, priyayi mampu mengungkapkan
kepercayaan dan nilai-nilai mereka secara lebih nyata dan dengan demikian mempunyai
tradisi agama yang lebih maju dan lebih 'sophisticiated'. Sedangkan tradisi yang terdapat di
kalangan rakyat biasa mempunyai bentuk-bentuk yang lebih kasar.
Mengomentari hasil kajian tersebut, Jurnalis senior alumni FISIP UI, Ramadhani Akrom,
mengatakan semenjak buku terbit dalam bahasa Indonesia pada tahun 1985 oleh penerbit
Pustaka Jaya, karya Geertz itu banyak dikritik oleh ilmuwan sosial seperti mendinag Prof DR
Harysa Bachtiar itu. Kala itu sudah banyak para lmuwan sosial Indonesia lainnya yang
mengatakan bila penelitian tersebut sebagai tidak akurat.