Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PSIKOLOGI ANAK USIA DINI


“PRETEND PLAY”

DISUSUN OLEH :

Kelompok 9 Kelas B (R-002)

1. Bella Oktavia Rahmawati (G1C118003)


2. Sania Larasati (G1C118029)
3. Sajidah Erpa Kesuma (G1C118067)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan semesta alam. Atas rahmat, taufik dan
hidayah-Nya lah kami dapat menyusun makalah ini yang sekarang sudah ada ditangan pembaca
yang berjudul “Pretend Play”.

Makalah ini telah kami selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih kepada teman teman yang telah
berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Dosen
Pengampu Mata Kuliah Psikologi Anak Usia Dini yang senantiasa dengan sabar dan ikhlas
membimibing kami.

Di luar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun isi.
Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, kami selaku penyusun menerima segala kritik dan
saran yang membangun dari pembaca.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga para pembaca dapat mendapat manfaat dan
inspirasi dari makalah ini

Jambi, Maret 2021

Penulis

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak usia dini menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 anak usia dini berada pada rentang
0-6 tahun. Istilah masa keemasan (golden age) berada pada masa rentang waktu usia 0-6
tahun yang juga dikenal dengan istilah masa peka. Pakar dan ahli berpendapat pada masa ini
perkembangan anak terjadi dengan begitu cepat. Dalam pandangan teori life span,
perkembangan anak akan menjadi dasar bagi perkembangan anak selanjutnya. Sebagai dasar
atau fondasi bagi kehidupan selanjutnya, maka anak perlu mendapat stimulasi yang baik.

Bermain merupakan salah satu hak asasi manusia pada anak usia dini. Banyak manfaat
yang diperoleh dari bermain, salah satunya adalah pengembangan kreativitas. Bermain
selama masa kanak-kanak memiliki peran paling efektif dalam belajar dan juga memberi
kesempatan secara tidak langsung untuk mengembangkan kreativitas. Di usia 0-6 tahun anak
sudah dapat masuk ke lembaga PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), selama pembelajaran di
lembaga guru dapat menggunakan beragam metode yang menarik untuk menyampaikan
materi seperti metode bercerita, bercakap-cakap, sosio drama, atau bermain peran.

Bermain peran atau role play berbeda dengan pretend play. Role play lebih
menekankan pada peran yang dilakukan anak, sedangkan pretend play lebih menekankan
pada penyediaan alat-alat bermain untuk menunjang permainan anak (Kusna, 2018). Pretend
play adalah bentuk permainan yang didalamnya mengandung unsur berpura-pura. Dalam
pretend play selain terdapat sejumlah aturan, digunakan sejumlah peralatan tertentu yang
menunjang permainan. Dengan demikian, kalau dalam role play penekanannya lebih pada
peran yang dimainkan, maka dalam pretend play lebih pada peralatan yang dipakai dan yang
menunjang unsur “pura-pura” yang ada dalam permainan.

Pada mulanya permainan ini mengambil bentuk permainan sosio drama yang lebih
memberi manfaat pada anak dalam mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya.
Sebaliknya dalam perkembangannya, permainan tersebut ternyata tidak hanya bermanfaat
untuk terapi, tetapi juga untuk perkembangan anak. Hakekat permainan ini di Indonesia dulu

3
sebenarnya sering dimainkan oleh anak-anak. Namun demikian setelah menjamurnya jenis
permainan individual, maka permainan tersebut jarang ditemukan. Adapun fungsi pretend
play yaitu membantu anak mengembangkan berpikir secara fleksibel dalam memahami peran
yang dimainkan olehnya maupun temannya. Disamping itu juga akan mengembangkan
perbendaharaan kata maupun kalimat anak yang sedang berperan dalam pretend play tersebut
(Suminar, 2009). Bermain pura-pura (pretend play) dapat mengembangkan berbagai
kemampuan yang dimiliki oleh anak usia dini, termasuk kreativitas (Murdianti dan Kaloeti,
2019).

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa saja pengelompokan yang terdapat dalam pretend play ?
2. Apa saja tahapan perkembangan dalam pretend play ?
3. Bagaimana dinamika pretend play ?
4. Bagaimana mengenai pretend play dan budaya ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui dan memahami pengelompokan yang terdapat dalam pretend play
2. Mengetahui dan memahami tahapan perkembangan dalam pretend play
3. Mengetahui dan memahami dinamika pretend play
4. Mengetahui dan memahami pretend play dan budaya

4
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengelompokan Pretend Play

Menurut Hendrick (dalam Indrijati, dkk, 2015 : 86-88), setting dalam pretend play sudah
dikelompokan dalam kelompok-kelompok permaianan. Masing-masing kelompok
permainan terdiri atas peralatan dan aktivitas sesuai dengan kelompoknya. Kelompok-
kelompok itu sebagai berikut:

a. Permainan rumah
Bentuk permainan ini dapat dilakukan dengan jalan membentuk dua kardus besar
seperti layaknya sebuah rumah. Diharapkan dalam situasi ini anak akan melakukan
interaksi sosial di antara dua kelompok anak.
b. Permainan pasar
Anakmenawarkan sesuatu, makanan, sayuran tiruan, bermain uang, dan
menggunakan tas kosong, dengan demikian, anak akan menikmati sebagai penjual dan
pembeli. Anak berjual beli makanan atau sayuran tiruan dengan bermain uang tiruan dan
menggunakan tas kosong. Permainan ini dapat puls dimainkan bersamaan dengan
permainan rumah.
c. Berkemah
Permainan ini menggunakan tenda atau kain penutup yang diatus seperti tenda dan
juga peralatan-peralatan berkemah seperti tempat minum, kayu bakar, kayu bakar,
ataupun kantung tidur yang secara keseluruhan akan menyebabkan anak bergembira.
Apabila ditambah senter, akan menjadikan anak lebih senang karena cahaya yang
dikeluarkan.
d. Permainan rumah sakit
Anak sering kali tertarik untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini. Alat yang digunakan
stetoskop, obat-obatan imitasi, baju dokter, tas dokter dan peralatannya. Anak akan
senang memainkannya berulang-ulang.
e. Permainan kantor

5
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini misalnya kalkulator, prangko bekas,
amplop, map, telepon, dan penjepit kertas serta peralatan lain yang berhubungan
dengan aktivitas di dalam kantor.
f. Memandikan bayi
Permainan memandikan bayi dilakukan bersamaan dengan bermain air. Permainan
ini sangat disenangi anak-anak, khususnya anak laki-laki yang begitu tertarik dengan
kegiatan ini. dalam permainan ini terdapat nilai-nilai yang berasal dari pengalaman
mengembangkan peran pengasuhan. Peralatan yang digunakan yaitu handuk, sabun,
bedak, dan ditambah popok agar mendekati kenyataan.
g. Permainan pesta ulang tahun
Peralatan yang dipakai yaitu kartu undangan, kado yang disertai isi maupun tidak
di dalamnya, kemudian roti tar ulang tahun pura-pura. Anak dapat bebas memainkan
permainan dalam pesta ulang tahun buatan itu, dan ketika anak bebas
mengekspresikan keinginan itu. Hal ini disebabkan karena apabila ada ulang tahun
sungguhan, justru yang banyak berperan orang tua dan sering kali anak-anak
dimintauntuk menjadi anak “manis” dan sopan.
h. Permainan melakukan perjalanan
Anak bebas membenahi koper kecil. Permainan ini meliputi penjualan tiket
pesawat, peta, majalah, kacang untuk makanan, serta sebuah topi kecil yang
digunakan pilot, kopilot, dan awak pesawat. di antara anak-anak akan terjadi suatu
diskusi tentang tujuan dan kemungkinan yang akan terjadi. Dengan demikian, anak
belajar, berpikir, dan merencanakan suatu perjalanan. Setting yang digunakan dalam
permainan tersebut adalah tiket pesawat dan yang berkaitan dengan perjalanan dengan
pesawat. Atau Setting yang mungkin dapat dimodifikasi dari permainan tersebut
misalnya perjalanan dengan kereta api. Pada permainan ini akan dibuat peralatan bagi
kebutuhan bagi masinis, karcis, orang yang sedang berjualan, dan lain sebagainya.

Menurut Indrijati, 2017, pada saat melakukan pretend play alat alat yang dapat
menunjang kebutuhan bermain bisa disesuaikan dengan apa yang tersedia di sekitar, tidak
harus dipaksakan seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun yang terpenting adalah
menggunakan setting yang telah dikemukakan oleh Hendrick. Misalnya, ketika bermain

6
permainan pasar, jika alat yang ada hanya keranjang, itu boleh saja menggantikan tas kosong
sebagai wadah berbelanja.

2.2 Tahapan Perkembangan dalam Pretend Play

Tahapan perkembangan pretend play (McCune-Nicolich dalam Indrijati, dkk, 2015: 88-89)
adalah sebagai berikut :

a. Tahap 0 (Pola prasimbolis) : Anak tidak melakukan pretend play. Anak menganggap alat
permainan sebagai stimulus yang serius, bukan sebagai alat permainan.
b. Tahap 1 (Pola simbolis untuk diri) : Anak telah melakukan pretend play dan telah
melihat keterkaitan langsung antara mainan dengan dirinya. Munculnya kesadaran
bahwa permainan hanya berpura-pura.
c. Tahap 2 (Permainan simbolis berpola tunggal) : Anak mulai memainkan peran atau
aktivitas orang lain atau objek lain.
d. Tahap 3 (Permainan simbolis kombinasi) : Anak memainkan satu pretend play yang
berhubungan dengan beberapa peran
e. Tahap 4 (Permainan simbolis terencana) : Anak menunjukkan pola perilaku verbal dan
non verbal, berinteraksi dengan peran dan aktivitas bersama anak lain.

Berdasarkan tahap-tahap tersebut, terlihat bahwa pretend play dapat dikategorikan


sebagai permainan individual maupun permainan kelompok. Stase 0-2 anak memainkan
permainan secara individual, dan pada stase 3 dan 4 anak memainkannya secara
kelompok.

Tahapan perkembangan pretend play juga dikemukakan oleh Belsky dan Most (dalam
Indrijati, dkk, 2015 : 89), yaitu :

1. Pertama, pretend play untuk diri sendiri yaitu anak melakukan permainan yang
ditujukan untuk dirinya sendiri. Misalnya anak berperan sebagai guru, berbicara
sendiri seolah- olah sebagai guru tanpa lawan bicaranya.
2. Kedua, pretend play dengan orang lain yaitu anak melakukan permainan bersama
temannya, yang merupakan lawan bicara ataupun sebagai objek tingkah lakunya.

7
Misalnya, apabila berperan sebagai guru, maka temannya akan berperan sebagai
muridnya.
3. Ketiga, pretend play berangkaian yaitu permainan yang sudah meliputi beberapa
peran yang saling berangkaian. Misalnya ada peran sebagai guru, murid, orangtua
murid, dan penjual.

Suminar, 2009 menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pretend play, orang tua, guru,
dan pengasuh harus memperhatikan beberapa hal berikut :

a. Tidak menggunakan suara yang tinggi tetapi menemani anak dengan kelembutan,
sehingga anak akan senang bertanya dan memperbaiki sikapnya kalau sikapnya
dirasakan salah
b. Berkomunikasi dengan bahasa tubuh yang sesuai sehingga anak akan tahu kata-kata
yang dikeluarkan dalam bermain salah atau tidak. Anak sedang belajar berbicara, maka
dalam melakukan bermain yang didalamnya ada unsur berpura-pura, anak akan banyak
mengucapkan kata- kata. Dalam hal ini pembetulan kata yang diucapkan anak saat
bermain akan lebih efektif.
c. Memahami keunikan anak. Anak akan mengeksplorasi diri dengan kelebihan dan
keterbatasan yang ada. Ketika anak bermain akan nampak keunikan masing-masing
anak, sehingga perlu dipahami potensi yang ada.

Sedangkan menurut Kusna, 2018, beberapa hal yang perlu diperhatikan guru selama
pelaksanaan pretend play adalah sebagai berikut :

a. Menemani anak dengan kelembutan


b. Berkomunikasi ddengan bahasa tubuh yang sesuai
c. Memahami keunikan anak
d. Gadget

2.3 Dinamika Pretend Play

Pretend play dapat diartikan sebagai satu kesatuan permainan yang dapat membuat anak
memiliki kemampuan mentransformasikan objek dan perilaku dalam bentuk simbolis.

8
Dalam penelitian Berguno, 2004 (dalam Indirijati, dkk, 2015 : 90) membuktikan bahwa
dalam menjalankan pretend play anak melakukan dua hal yang perlu dipahami yaitu
pretense dan perilaku bermain itu sendiri. Dengan demikian dalam pretend play terdiri dari
dua hal yaitu play dan pretence.

Pretense dapat di analisis dalam dua model besar (Goncu,1989, dalam Indrijati, dkk,
2015: 91), yaitu affective model mempunyai prinsip bahwa dalam proses pretense terdapat
dua mind dari fungsi psikologisyang berdiri sendiri dan tidak saling terkait. Fungsi
psikologis tersebut yaitu:

a. Intuitive mind, yaitu reaksi dari pengalaman anak yang secara emosional memiliki
makna dalam bentuk ekspresi, interpretasi dan rekontruksi. Sifatnya diatur dalam diri,
subjektif, meliputi kehidupan afeksi yang tidak dapat diprediksi namun mampu
mengubah kualitas emosional.
b. Logical mind. Dalam fungsi kategori logical mind, proses pretense akan diatur dari luar,
sifatnya lebih objektif yang meliputi hubungan dengan orang lain atau benda.

Sedangkan dalam Event representation model, fungsi pretend dan non pretend
dihasilkan dari mind yang sama. Sehingga dalam kajian lebih lanjut dikenal dengan Theory
of Mind yang mneyatakan bahwa mental berfungsi menghasilkan, menginterpretasikan, dan
memantau secara bersamaan. Kesimpulannya, pretend play tidak terdiri dari dua mind yang

9
berbeda, namun dari satu mind yang tidak dapat dipisahkan, inilah yang menjadi dasar awal
teori pretend play terutama teori event representation model.

2.4 Pretend Play dan Budaya

Pretend play terus mengalami perkembangan. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan


bahwa pretend play dipengaruhi oleh budaya. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh
Carlson, dkk 1998 yang termuat dalam Indrijati, dkk, 2015 : 92, budaya akan mempengaruhi
seorang anak dalam memberikan arti terhadap alat alat permainannya, dan atau cara anak
bermain dapat merefleksikan cara hidup seseorang. Ketika seorang anak mampu memainkan
pretend play, maka terlebih dahulu harus disesuaikan kecocokan budaya nya agar anak dapat
berimajinasi. Adapun dimensi atau faktor penyusun budaya yang dapat mempengaruhi
pretend play meliputi :

a. Cultural Artifact, yang meliputi alat alat permainan baru yang memiliki ciri khas dan
digunakan oleh budaya tersebut, misalnya kompor listrik, kompor tungku, atau budaya
lain menggunakan jenis kompor lain.
b. Norm, diartikan sebagai tata cara atau norma yang ada dalam suatu budaya sebagai
bentuk dari sosialisasi.
c. Roles, adalah bagaimana peran sosial dalam suatu budaya yang akan berbeda dengan
budaya lainnya.
d. Behavioral script, yaitu aturan dalam berperilaku yang berbeda antar satu budaya dengan
budaya lainnya. Misalnya, bagaimana cara makan atau tidur, dan sebagainya.

10
Apabila budaya akan dapat memengaruhi bagaimana seorang anak memainkan alat
mainannya, maka tentunya alat mainan yang diberikan harusnya telah berbasis pada budaya
dimana anak memainkan mainan tersebut. Contohnya ketika anak memainkan mainan
rumah-rumahan, maka alat mainan memasak harus disediakan sesuai dengan budaya anak
setempat. Kompor model kompor gas tidak akan direspon dengan baik oleh ank yang tidak
pernah melihat kompot gas, justru ia akann merespon ketika melihat tungku, kayu bakar,
ataupun kompor minyak tanah. Jadi, studi terhadap budaya setempat akan membantu dalam
menyiapkan alat mainan sesuai dengan budaya yang ada (Prafitri, 2018).

11
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pretend play adalah bentuk permainan yang didalamnya mengandung unsur berpura-pura.
Dalam pretend play selain terdapat sejumlah aturan, digunakan sejumlah peralatan tertentu
yang menunjang permainan. Dengan demikian, kalau dalam role play penekanannya lebih
pada peran yang dimainkan, maka dalam pretend play lebih pada peralatan yang dipakai dan
yang menunjang unsur “pura-pura” yang ada dalam permainan.
Adapun pengelompokkan dalam pretend play adalah permainan rumah, permainan pasar,
berkemah, permainan rumah sakit, permainan kantor, memandikan bayi, permainan pesta
ulang tahun, dan permainan melakukan perjalanan, dimana semua pengelompokkan
permainan itu menggunakan alat-alat bermain yang dapat disesuaikan dengan apa yang
tersedia di sekitar, tidak harus dipaksakan, namun yang terpenting adalah menggunakan
setting yang telah dikemukakan oleh Hendrick.
Tahapan perkembangan pretend play yaitu pertama untuk diri sendiri dimana anak
melakukan permainan yang ditujukan untuk dirinya sendiri, kedua dengan orang lain
dimana anak melakukan permainan bersama temannya, ketiga yaitu berangkaian dimana
permainan yang sudah meliputi beberapa peran yang saling berangkaian. Beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam pretend play adalah menemani anak dengan kelembutan,
berkomunikasi dengan bahasa tubuh yang sesuai, memahami keunikan anak, serta gadget.
Pretend play terus mengalami perkembangan. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan
bahwa pretend play dipengaruhi oleh budaya. Apabila budaya akan dapat memengaruhi
bagaimana seorang anak memainkan alat mainannya, maka tentunya alat mainan yang
diberikan harusnya telah berbasis pada budaya dimana anak memainkan mainan tersebut.
budaya akan mempengaruhi seorang anak dalam memberikan arti terhadap alat alat
permainannya

12
DAFTAR PUSTAKA

Indrijati, Herdina, dkk. 2015. Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta :
Kencana.

Prafitri, Dianing. 2018. Membangun Softskill Anak Usia Dini melalui Pretend Play. ThufuLA:
Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal. 6(2) : 351-373.

Suminar, Dewi Retno. 2009. Membangun Karakter Anak Melalui Pretend Play (Building Child
Character Through Pretend Play). Jurnal Psikologi Indonesia. 6(1) : 1-11.

Amri dan Intisari. 2019. Pretend Play sebagai Dasar Pengembangan Karakter Anak Usia Dini.
Pembelajar : Jurnal Ilmu Pendidikan, Keguruan, dan Pembelajaran. 3(1) : 36-42.

Kusna, Siti Labiba. 2018. Permainan Pretend Play Menggunakan Gadget dalam
Mengembangkan Aspek Kognitif dan Budaya Anak Usia Dini. Indonesian Journal of
Islamic Early Childhood Education. 3(2) : 207-214.

Murdianti dan Kaloeti. 2019. Pengaruh Metode Bermain Pura-Pura (Pretend Play) Terhadap
Perkembangan Kreativitas Anak Usia Dini. Jurnal Empati. 8(1) : 221-227.

13

Anda mungkin juga menyukai