PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak siswa dan anggota masyarakat yang tidak atau kurang suka
bahkan benci matematika. Kurang mengetahui peranan dan kegunaan
matematika dalam pengembangan iptek, dalam bidang kehidupan dan
dalam membentuk pola pikir dan kepribadian serta kurang memahami
tentang hakekat (apa, mengapa dan bagaimana) pendidikan matematika
itu?
Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia berhubungan
dengan ide dan penalaran. Ide-ide yang dihasilkan oleh pikiran-pikiran
manusia itu merupakan sistem-sistem yang bersifat untuk menggambarkan
konsep-konsep abstrak, dimana masing-masing sistem bersifat deduktif
sehingga berlaku umum dalam menyelesaikan masalah.
Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek
kehidupan. Banyak permasalahan dan kegiatan dalam hidup kita yang
harus diselesaikan dengan menggunakan ilmu matematika seperti
menghitung, mengukur, dan lain – lain. Matematika adalah ilmu universal
yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern,
memajukan daya pikir serta analisa manusia.
Untuk bisa menguasai dan mengajarkan matematika diperlukan seni/
kiat tersendiri. Sehingga seorang guru matematika disamping harus
menguasai materi matematika, juga harus menguasai berbagai teori belajar
dan pembelajaran matematika serta memahami dengan baik tentang
hakekat matematika khususnya msatematika sekolah.
B. Rumusan Masalah
1. Faktor Pendorong Timbulnya Matematika Skolah
2. Hakikat Dan Karasteris Matematika Sekolah
3. Tujuan Pendidikan Matematika Sekolah
4. Pola Fikir Dedukti Dan Induktif
5. Matematika Informal
6. Abstrak – Kongkrit- Abstrak
7. Number Sense Dan Simbol Sanse
8. Matematika Untuk Semua
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mengetahui Faktor Pendorong Timbulnya Filsafat Matematika
Skolah
2. Mengetahui Hakikat Dan Karasteris Matematika Sekolah
3. Mengetahui Tujuan Pendidikan Matematika Sekolah
4. Mengetahui Pola Fikir Dedukti Dan Induktif
5. Mengetahui Matematika Informal
6. Mengetahui Abstrak – Kongkrit- Abstrak
7. Mengetahui Number Sense Dan Simbol Sanse
8. Mengetahui Matematika Untuk Semua
BAB II
PEMBAHASAN
b. Silogisme Hipotesis
Silogisme hipotesis atau silogisme pengandaian adalah semacam
pola penalaran deduktif yang mengandung hipotesa. Silogisme
hipotesis bertolak dari suatu pendirian, bahwa ada kemungkinan apa
yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak terjadi. Premis
mayornya mengandung pernyataan yang bersifat hipotesis. Oleh sebab
itu rumus proposisi mayor silogisme ini adalah:Jika P, maka Q.
Contoh
Premis Mayor : Jika tidak turun hujan, maka Jazira akan pergi kursus.
Premis Minor : Hujan turun
Konklusi : Sebab itu Jazira tidak akan pergi kursus
Atau
Premis Mayor : Jika tidak turun hujan, maka Jazira akan pergi kursus.
Premis Minor : Hujan tidak turun
Konklusi : Sebab itu Jazira akan pergi kursus
Walaupun premis mayor bersifat hipotesis, premis minor dan
konklusinya tetap bersifat kategorial. Premis mayor sebenarnya
mengandung dua pernyataan kategorial, yang dalam contoh hujan tidak
turun, dan Jazira akan pergi kencan. Bagian pertamanya disebut
anteseden, sedangkan bagian keduanya disebut akibat.
Dalam silogisme hipotesis berasumsi bahwa ‘kebenaran anteseden
akan mempengaruhi kebenaran akibat; kesalahan anteseden akan
mengakibatkan kesalahan pada akibatnya.
c. Silogisme Alternatif
Jenis silogisme alternatif biasa juga disebut dengan silogisme
disjungtif, karena proposisi mayornya merupakan sebuah proposisi
alternatif, yaitu proposisi yang mengandung kemungkinan-
kemungkinan atau pilihan. Sebaliknya proposisi minornya adalah
proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu
alternatifnya. Konklusi silogisme ini tergantung pada premis minornya,
jika premis minornya menerima satu alternatif maka alternatif lainnya
akan ditolak; dan jika premis minornya menolak satu alternatif maka
alternatif lainnya akan diterima dalam konklusi.
Contoh :
Premis Mayor : Zian ada di sekolah atau di rumah.
Premis Minor : Zian ada di sekolah
Konklusi : Sebab itu, Zian tidak ada dirumah
Secara praktis kita juga sering bertindak seperti itu. Untuk
menetapkan sesuatu atau menemukan sesuatu secara sistematis kita
bertindak sesuai dengan pola silogisme alternatif diatas.
d. Entimem
Entimem adalah penalaran deduktif secara langsung. Dengan kata
lain entimem adalah silogisme terpendek. Tidak perlu menyebutkan
premis umum, tetapi langsung mengetengahkan simpulan dengan
premis khusus yang menjadi penyebabnya. Misalnya sebuah silogisme
asli akan dinyatakan oleh seorang pengasuh ruangan olahraga dalam
sebuah harian sebagai berikut:
Premis mayor : Siapa saja yang dipilih mengikuti pertandingan
Thomas Cup adalah seorang pemain bulu tangkis.
Premis minor : Rudy Hartono terpilih untuk mengikuti pertandingan
Thomas Cup
Konklusi : Sebab itu Rudy Hartono adalah seorang pemain bulu
tangkis
Bila pengasuh ruangan olah raga menulis seperti diatas dan semua
gaya tulisan sehari-hari mengikuti corak tersebut, maka akan dirasakan
bahwa tulisannya terlalu kaku. Sebab itu ia akan mengambil bentuk lain,
yaitu entimem. Bentuk itu akan berbunyi,”Rudi Hartono adalah seorang
pemain bulu tangkis, karena terpilih untuk mengikuti pertandingan
Thomas Cup.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa berpikir deduktif adalah cara
berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan
yang bersifat khusus yang disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah
kesimpulan.
2. Pola Berfikir Induktif
W.J.S.Poerwadarminta,2006 dikatakan bahwa Induktif adalah cara
mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus
untuk menentukan hukum yang umum. Sedangkan Suriasumantri,2005
mengatakan bahwa penalaran secara induktif dimulai dengan
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup
yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri
dengan pernyataan yang bersifat umum.Jadi metode berpikir induktif
adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-
hal khusus ke umum.
Proses penalaran induktif dapat dibedakan lagi atas bermacam-
macam variasi yaitu: generalisasi, hipotesa dan teori dan sebagainya.
a. Generalisasi
Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak
belakang dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan
suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua
fenomena – fenomena.
Contoh : bila seseorang berkata bahwa mobil adalah semacam kendaraan
pengangkut, maka pengertian mobil dan kendaraan pengangkut merupakan
hasil generalisasi juga. Dari bermacam-macam tipe kendaraan dengan ciri-
ciri tertentu ia mendapatkan sebuah gagasan mengenai mobil, sedangkan
dari bermacam-macam alat untuk mengangkut sesuatu lahirlah abstraksi
yang lebih tinggi (generalisasi lagi) mengenai kendaraan pengangkut.
b. Hipotesis dan teori
1) Hipotesis
Secara bahasa hipotesis berasal dari dua kata, yaitu hypo artinya
sebelum dan thesis artinya pernyataan atau pendapat. Secara istilah
hipotesis adalah suatu pernyataan yang pada waktu diungkapkan belum
diketahui kebenarannya, tetapi memungkinkan untuk diuji dalam
kenyataan empiris. Proses pembentukan hipotesis merupakan sebuah
prosespenalaran, yang melalui tahap-tahap tertentu. Hipotesis
merupakan satu tipe proposisi yang langsung dapat diuji secara
langsung.
2) Teori
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil
yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis
mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan
menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan
fenomena alamiah.
Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya.
Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan
menguasai fenomena tertentu misalnya, benda-benda mati, kejadian-
kejadian di alam, atau tingkah laku hewan. Sering kali, teori dipandang
sebagai suatu model atas kenyataan. Misalnya : apabila kucing mengeong
berarti minta makan.
3) Hubungan antara hipotesis dengan teori
Hipotesis ini merupakan suatu jenis proposisi yang dirumuskan
sebagai jawaban tentatif atas suatu masalah dan kemudian diuji secara empiris.
Sebagai suatu jenis proposisi, umumnya hipotesis menyatakan hubungan
antara dua atau lebih variabel yang di dalamnya pernyataan-pernyataan
hubungan tersebut telah diformulasikan dalam kerangka teoritis. Hipotesis ini,
diturunkan, atau bersumber dari teori dan tinjauan literatur yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu, teori yang tepat akan
menghasilkan hipotesis yang tepat untuk digunakan sebagai jawaban
sementara atas masalah yang diteliti atau dipelajari dalam penelitian. Dalam
penelitian kuantitatif peneliti menguji suatu teori. Untuk meguji teori tersebut,
peneliti menguji hipotesis yang diturunkan dari teori.
A. Penggunaan Pola Berfikir Deduktif Dan Induktif Dalam Pembelajaran
Matematika
Dalam belajar matematika memerlukan penalaran induktif dan deduktif.
Copeland (1974) mengklasifikasikan penalaran dalam penalaran induktif dan
penalaran deduktif. Penalaran induktif digunakan bila dari kebenaran suatu
kasus khusus kemudian disimpulkan kebenaran untuk semua kasus. Penalaran
deduktif digunakan berdasarkan konsistensi pikiran dan konsistensi logika
yang digunakan. Jika premis-premis dalam suatu silogisme benar dan
bentuknya (format penyusunannya) benar, maka kesimpulannya benar. Proses
penarikan kesimpulan seperti ini dinamakan deduktif atau sering disebut
penalaran deduktif. Peressini dan Webb (1999) di samping memandang
penalaran matematika sebagai konseptualisasi dinamik dari daya matematika
(mathematically powerful) siswa, juga memandang penalaran matematika
sebagai aktivitas dinamik yang melibatkan keragaman mode berpikir. Daya
matematika sebagai suatu integrasi dari berikut ini: (a) suatu kecenderungan
positif kepada matematika; (b) pengetahuan dan pemahaman terhadap sifat-
sifat matematika, meliputi konsep-konsep, prosedur-prosedur dan
keterampilan-keterampilan; (c) kecakapan melakukan analisis dan beralasan
secara matematis; (d) kecakapan menggunakan bahasa matematika untuk
mengkomunikasikan ide-ide; dan (e) kecakapan menerapkan pengetahuan
matematika untuk memecahkan masalah-masalah dalam berbagai konteks dan
disiplin ilmu (NCTM, 1989 dalam Perissini dan Webb, 1999). Pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir
induktif-deduktif. Rancangan sintaks pembelajaran dominan pada kegiatan
induktif yang memuat kegiatan siswa mengkonstruksi pengetahuan
matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Siswa melakukan pengamatan
pada hal-hal khusus, misalnya contoh-contoh suatu konsep dan menuliskan
konsep tersebut dengan bahasa siswa sendiri. Dalam kegiatan induktif ini
siswa belajar mengkonstruk pengetahuan matematis menggunakan pola pikir
induktif. Ketika siswa memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir
induktif atau deduktif secara bergantian. Dengan demikian kegiatan deduktif
tercakup dalam pemecahan masalah. Salah satu alternatif sintaks pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir
induktif-deduktif serta pembelajaran yang memungkinkan mencakup kegiatan
pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah
sebagai berikut: (1) fase kegiatan pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3)
fase kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan induktif-deduktif; dan (5) fase
kegiatan penutupan.
Contoh lain penggunaan pola pikir deduktif dan induktif dalam
pembelajaran matematika.Misalkan pada penghitungan keliling bangun datar.
Siswa diajak untuk berkeliling lapangan sekolah dan diajak menentukan
bangun datar apa yang sudah mereka kelilingi untuk mengarahkan kepada
siswa cara menghitung keliling lapangan yang berbentuk persegi panjang.
Pada saat mereka berkeliling dapat membentuk pola pikir induktif siswa.
Kemudian saat siswa diajak untuk menghitung keliling lapangan dapat
terbentuk pola pikir induktif atau deduktif. Saat anak diajak untuk menghitung
keliling bangun datar segi banyak dapat membentuk pola piki deduktif siswa.
b. Matematika Informal
Sekarang ini telah dikenal istilah “Pendidikan formal” dan pendidikan
non-formal. Makna dari pendidikan formal adalah pendidikan yang
dilaksanakan di sekolah sedangkan makna dari pendidikan non-formal adalah
pendidikan yang diselenggarakan diluar sekolah tetapi masih jelas terstruktur.
Pendidikan Paket A, misalnya dapat digolongkan sebagai pendidikan non
formal.
Selain kedua istilah tersebut juga dikenal istilah “Pendidikan Informal”
yang bermakna pendidikan yang terlaksana diluar pendidikan formal maupun
pendidikan non-formal.Dalam suatu keluarga misalnya, banyak pendidikan
informal yang terjadi. Pendidikan anak dalam keluarga dapat terjadi hanya
dengan memperhatikan kebiasaan orang tua dalam keluarga tersebut. Sang
anak tanpa sadar, mengikuti kebiasaan yang dia lihat setiap hari
dirumah.Seorang anak yang mulai dapat berjalan tidak mustahil akan sering
jatuh. Orang tua yang bijaksana tidak akan melarang anak itu berjalan lagi,
tetapi secara bertahap melepas anak itu berjalan. Disadari atau tidak anak itu,
akhirnya dia dapat berjalan sendiri tanpa jatuh lagi. Ini tergolong dalam
pendidikan informal.
Hal yang serupa dengan istilah pendidikan informal itu juga terdapat pada
makna istilah “Matematika informal’’. Pengetahuan matematika yang
diperoleh anak di Taman Kanak-kanak tidak mengikuti struktur matematika
yang ada disekolah dasar maupun jenis sekolah lain. Pengetahun matematika
yang dimasukan dalam kurikulum TK antara lain adalah “klasifikasi dan
seriasi. Keduanya dapat dicapai melalui pendidikan informal.
Anak usia TK yang bermain dengan menggolongkan benda besar dan
benda kecil, membedakan warna merah dan bukan merah, berarti anak
tersebut telah mengawali kemampuan klasifikasi. Anak bermain jungkat
jangkit atau anak tangga dapat mengarah kepada kemampuan melakukan
seriasi. Atau seperti memberi anak permen atau kelereng yang berbeda
banyaknya. Tanpa harus menghitung, anak akan dapat membedakan siapa
yang menerima lebih banyak atau lebih sedikit.Tentu saja masih banyak
contoh yang lainnya tentang pengetahuan matematika yang dapat diperoleh
anak seusia TK secara informal. Hal yang terpenting adalah jangan sampai
matematika SD tanpa pertimbangan yang matang lansung diberikan kepada
anak TK. Bagaimanapun jangan sampai memaksakan sesuatu pengetahuan
yang belum mampu dicerna atau ditangkap anak TK secara formal.
c. Abstrak – Konkret – Abstrak
Salah satu objek matematika adalah abstrak. Jadi bilangan adalah konsep
abstrak, segitiga adalah konsep abstrak. Kata “bilangan” dan “segitiga” adalah
nama satu konsep. Bilangan dan segitiga itu hanya ada dalam pikiran manusia.
Keabstrakan objek matematika merupakan penyebab mendasar seseorang guru
tidak mudah mengajar matematika.
Sebelumnya telah ditunjukan suatu diagram yang menunjukkan gambaran
proporsional dari pembelajaran yang memerlukan langkah konkret menuju
abstrak sesuai dengan jenjangnya. Sesuai keperluan dapat dilakukan
penggolongan yang lebih cermat, khususnya kalau akan mengajarkan suatu
topik. Kecermatan itu misalnya, konkret – semi konkret / semi abstrak –
abstrak. Atau seperti contoh dibawah ini :
Seorang guru akan memperkenalkan gajah beserta anggota tubuhnya.
Guru mengajak siswa pergi melihat gajah dikebun binantang. Hal ini
menunjukkan gajah secara konkret. Kemudian didalam kelas, guru
melanjutkan penjelasannya dengan menggunakan patung gajah. Tentu saja
langkah ini masih cukup konkret meski sudah lebih abstrak daripada melihat
gajah langsung. Bila selanjutnya guru memberikan penjelasan dengan foto
atau gambar gajah, berarti guru tersebut sudah melangkah lebih abstrak.
Demikian seterusnya jika guru hanya menggunakan kata “gajah” berarti sudah
abstrak. Gajah benar – patung gajah – gambar gajah – tulisan/kata gajah.
Guru matematika dituntut memikirkan dan melakukan usaha kreatif agar
dapat meng-konkret-kan objek matematika yang abstrak itu, sehingga dengan
mudah dapat dipahami oleh siswa. Namum untuk pembelajaran matematika
harus diakhiri dengan kemampuan melakukan abstraksi.
Jadi Abstrak – Konkret – abstrak, ini merupakan tugas penting seorang
guru matematika dan bukan tugas ilmuan matematika.
Contoh dalam bidang Geometri, yang umumnya tidak mudah bagi siswa,
sangat diperlukan langkah abstrak – konkret – abstrak. Hal ini juga diawali
dengan abstraknya konsep-konsep geometri tersebut.Menjelaskan pengertian
segitiga, daerah segitiga, sudut dalam segitiga, dan sebagainya dapat diawali
dengan “segitiga yang terbuat dari karton” diikuti segitiga dari “kawat” dan
dilanjutkan dengan gambar segitiga yang lebih abstrak. Disekolah tingkat
SMA mulai dikurangi sebanyak mungkin langkah “ meng-konkret-kan objek
matematika” tekecuali kelasnya memang lemah.
d. Number Sense Dan Symbol Sense
Dalam menentukan materi matematika untuk setiap jenjang sekolah akan
lebih baik jika dipahami benar materi matematika yang dapat dipandang
sebagai titik peralihan. Tentu saja hal tesebut terkait erat dengan tujuan
institusional yang telah ditetapkan untuk dicapai. Namun tidaklah mudah
melihat materi yang dipandang sebagai titik peralihan. Banyak mahasiswa
pendidikan tinggi yang tidak menyadari materi matematika yang merupakan
titik peralihan dari “aljabar” ke “kalkulus” meskipun telah terampil
menyelesaikan soal-soal kalkulus. Dalam pelajaran kalkulus banyak
ditemukan bentuk bentuk aljabar seperti fungsi, polinom atau suku banyak.
Tetapi kalkulus sendiri berbicara tentang pendekatan-pendekatan suatu nilai
yang diawali dengan bagian hitung differensial. Ini hanya mungkin bila materi
peralihan yang menjembatani aljabar dan kalkulus itu, dan materi peralihan itu
adalah “ limit”.
Dengan menyadari bahwa ada materi peralihan tertentu yang
menjembatani bagian matematika yang satu dengan bagian matematika yang
lain, guru dapat mengatur pembelajarannya dengan lebih hati-hati.
Bagaimanakah dengan aritmatika dengan aljabar?Pada aritmatika lebih
menekankan pada sifat-sifat tentang bilangan, sedangkan aljabar, meskipun
masih didominasi oleh penggunaan bilangan, sudah banyak menggunakan
symbol-simbol yang tidak langsung berupa bilangan. Apakah materi titik
peralihan dari artimatika ke aljabar?
Objek matematika yang dapat dipandang sebagai titik peralihan dari
arimatika ke aljabar adalah “ variable” atau peubah. Vaiable adalah suatu
symbol atau tanda yang belum menunjuk anggota tertentu dari suatu
himpunan bilangan. Penulisan variable beraneka ragam, pada tahap awal tidak
perlu langsung menggunakan huruf, tetapi dapat berupa tanda, misalnya □
atau ○ atau bentuk lainnya, yang masih dapat diucapkan dengan kata
“berapa”? Setelah siswa memahami kegunaan tanda-tanda itu barulah diubah
menjadi huruf misalnya n, m, x, y, dan sebagainya. Penggunaan huruf sebagai
variable akan semakin banyak dalam pelajaran aljabar di SMP, yang
umumnya masih terbatas diartikan bilangan yang belum tertentu atau yang
belum diketahui.
Pada sekolah dasar penekanan kepada arimatika tidak dikaitkan pada
operasi atau pengerjaan hitung, maka digunakan “number sense” atau
“pemahaman bilangan” atau “kepekaan atas bilangan”. Dengan demikian
number sense meliputi hitung menghitung dan penggunaan bilangan yang
tidak perlu dijumlah ataupun dikurangi dan sebagainya. Penggunakan
bilangan tanpa pengerjaan hitungan dapat dijumpai pada pemberian nomor
rumah, nomor telepon, dan lainnya. Kegiatan yang melibatkan penggunaan
bilangan seperti itu belum banyak muncul dikurikulum SD.
Jika di SD penekanan kepada “number sense”, maka di SMP dan SMA
penekanan pada “symbol sense” karena symbol-simbol yang tidak selalu
berarti bilangan itu banyak digunakan dalam matematika di SMP. Bagian ini
merupakan pendasaran matematika yang teramat penting karena dengan aneka
ragamnya semesta memungkinkan matematika digunakan diberbagai bidang
kerja atau keilmuan.
e. Matematika Untuk Semua
Dalam tulisan ini, matematika juga dipandang sebagai “Seni”. Dari salah
satu sudut pandang pakar matematika mendefinisikan matematika memiliki
segi-segi yang dapat dipandang sebagai seni. Kalau sudah menyangkut seni
tentu saja unsur subjektifitas ikut bicara. Apakah gambar yang dibentuk dalam
geometri fractal dapat dianggap memiliki nilai estetika?. Meskipun tidak
semua orang akan mengatakan “ya ada keindahannya” namun dapat dipastika
bahwa ada orang yang memamdangnya demikian.
Dalam hal seni tari atau seni suara, misalnya mungkin sekali semua orang
dapat menari maupun bernyanyi. Tetap jelas hanya orang-orang tertentu yang
benar-benar dapat menjadi penati atau penyanyi yang baik. Tidak semua liku-
liku menari dapat dikuasi oleh semua orang.
Demikian juga halnya dengan matematika. Sampai batas tertentu
matematika tidak terlalu sukar untuk diketahui oleh semua orang. Tetapi untuk
dapat mengerti atau menguasai matematika seterusnya diperlukan kemampuan
atau bakat tertentu.Matematika yang manakah yang dapat dan perlu diketahui
oleh semua orang?Indonesia telah mencanangkan wajib belajar sejak tahun
1993, sedangkan Malaysia sudah sebelum tahun 1973. Hal ini ikut
menentukan sebatas manakah mateamtika yang perlu dan dapat dikuasai oleh
semua orang, dan bagaimana cara menentukannya?
Matematika untuk semua orang sekurang-kurangnya harus merupakan
materi pokok dalam kurikulum SD dan SMP. Bagaimanapun juga untuk
menentukan materi pokok harus tetap mengacu pada tujuan yang bersifat
formal dan yang bersifat material. Salah satu perangkat kriterianya penentuan
materi “matematika untuk semua orang” perlu memuat :
1. Materi yang amat mendasar
2. Nilai praktis
3. Nilai penataan nalar
4. Nilai didik
Pertanyaan berikut yang bertalian dengan jenjang pendidika menengah
adalah “apakah SMA masih diperlukan materi matematika untuk semua orang”?
jika masih, hingga kelas berapa?Pertanyaan ini mengarah pada pemisahan atau
penjurusan di SMA. Tepatkah penjurusan dimulai dikelas 3 SMA? Apalah tidak
berarti bahwa “siksaan” matematika diperpanjang? Tidakkah sebaiknya
penjurusan dimulai pada kelas 1 atau kelas setinggi-tingginya kelas 2.
Mengingat salah satu tujuan penting pendidika SMA adalah
mempersiapkan siswa untuk mampu mengikuti pendidikan tinggi dan aneka
ragam pendidikan tinggi yang memerlukan matematika banyak dan memerlukan
sedikit matematika, maka matematika di SMA sudah sangat perlu lebih terarah
dan mengurangi atau bahkan meniadakan materi matematika untuk semua orang.
Dari uraian diatas, maka sudah jelas perlu pemisahan materi pelajaran
matematika menjadi “matematika umum” dan matematika yang diperuntukan
semua orang (minimal untuk wajib belajar 9 tahun) dan “matematika khusus”
yaitu matematika yang secara khusus ditetapkan sesuai dengan penjurusan yang
dimungkinkan. Ini serendah-rendahnya dimulai kelas 1 SMA. Sebagai bahan
perbandingan banyak Negara persemakmura Inggris yang memisahkan antara
“Ordinary mathematics” dan “Additional mathematics”
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Erman Suherman (2003) mengatakan bahwa karakteristik matematikia
sekolah adalah sebagai berikut:
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
b. Silogisme Hipotesis.................................................................................14
c. Silogisme Alternatif................................................................................15
d. Entimem..................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
Daftar Pertanyaan
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan landasan pendapat para ahli dan
buat kesimpulan!
5. Apa yang dimaksud dengan pola pikir dan induktif menurut para ahli dan
buat kesimpulan anda ?
W.J.S.Poerwadarminta, (2006) dikatakan bahwa Induktif adalah cara
mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk
menentukan hukum yang umum. Sedangkan Suriasumantri,2005 mengatakan
bahwa penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-
pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam
menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.
Jadi metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir
dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.