Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang

terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Biasanya rumah tangga terdiri atas

ayah, ibu dan anak-anak. Akan tetapi, di Indonesia seringkali dalam rumah tangga

juga terdapat sanak saudara yang ikut dalam tempat tinggal, sebagai contoh orang

tua, baik dari istri atau suami, satudara kandung/tiri dari kedua belah pihak,

kemenakan dan keluarga yang lain yang mempunyai hubungan darah. Disamping

itu, terdapat juga pembantu rumah tangga yang bekerja dan tinggal bersama-sama

dalam sebuah rumah (tinggal satu atap).

Sedangkan Keluarga menurut Pasal 1 angka ke 30 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah mereka

yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan

perkawinan.

Di dalam rumah tangga/keluarga ketegangan maupun konflik antara suami dan

istri atau orang tua dengan anak merupakan hal yang sudah wajar, akan tetapi hal

tersebut menjadi tidak wajar apabila menyelesaikan konflik yang terjadi dengan

menggunakan cara kekerasan.


2

Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan jenis kekerasan yang memiliki

sifat-sifat khas, yaitu dilakukan di dalam rumah, pelaku dan korban merupakan

anggota keluarga dan anehnya KDRT ini sering tidak dianggap sebagai suatu

bentuk Tindak Pidana Kekerasan. Banyak pihak yang berpendapat bahwa

kekerasan yang terjadi di dalam lingkup rumah tangga adalah hal yang biasa dan

sering terjadi, maka mereka sudah terbiasa akan hal itu.

Indonesiapun sebetulnya telah memiliki regulasi/dasar yang mengatur

mengenai hal tersebut, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini dilandasi oleh berbagai pertimbangan, antara

lain bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari

segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terutama

kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Sanksi

yang diberikan untuk pelanggar yang melanggar peraturan atau undang-undang

tersebut adalah dengan cara penjatuhan pidana kepadanya atau pemidanaan.

Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga, yang di maksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Pada dasarnya kekerasan dalam rumah tangga adalah bukan hal yang baru,
bentuk-bentuk kekerasan ini dapat ditemui dan terkait pada bentuk perbuatan
pidana tertentu, seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan dan pencurian.1
Pada awalnya pengertian kekerasan dapat kita jumpai pada Pasal 89 Kitab

1
Moerti Hadiati Soeroso. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam
prespektif yuridis-viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 58.
3

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Membuat orang


pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”

Seiring dengan perkembangan masalah kekerasan yang terjadi dalam rumah

tangga khususnya kekerasan terhadap perempuan, maka Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) perlu memberikan suatu batasan tentang pengertian kekerasan

terhadap perempuan dan anak-anak.

Menurut pasal 2 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap


Perempuan dijelaskan bahwa:

“Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan


perbedaan kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan
penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.”

Adapun kekerasan terhadap anak adalah “Setiap perbuatan yang ditunjukkan


pada anak yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan baik fisik maupun psikis,
baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”

Banyak organisasi dan LSM perempuan mengangkat isu ini untuk

memperjuangkan dan melindungi kepentingan perempuan. Perjuangan gerakan

perempuan ini menghasilkan berdirinya Komisi nasional Anti Kekerasan terhadap

Perempuan ( selanjutnya disebut Komnas Perempuan ) dan lahirnya UU PKDRT.

Sejak didirikan berdasarkan Keputusan presiden RI No. 181 tahun 1998, Komnas

Perempuan mencatat melonjaknya angka pengaduan kekerasan. Potensi kekerasan

dalam KDRT lebih banyak diderita oleh istri dan anak-anak hal ini sangat

berbahaya bila terus didiamkan dan akan menjadi Bad Cultur (budaya buruk) bagi

kehidupan rumah tangga di Indonesia.2

2
Satrio Putro Wihanto, Implementasi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Kasus KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga), http://hukum.studentjournal.ub.ac.id, diakses tanggal 05
Desember 2017.
4

Tindakan kekerasan-kekerasan inilah yang membuat tidak tercapainya tujuan


suatu perkawina. Sesuai dengan tujuan perkawinan antara lain membentuk dan
membina keluarga yang bahagia lahir batin. Perkawinan merupakan suatu ikatan
yang sakral dan harus selalu dihormati oleh suami dan istri. Oleh karena itu,harus
tetap terjaga keharmonisannya dan diupayakan tetap langgeng (kekal), antara
suami istri harus selalu saling menjaga, agar rumah tangga tetap harmonis.3
Tindakan kekerasan yang terjadi ini juga bukan tanpa sebab melainkan ada faktor-
faktor pendorongnya.

Menurut LKBHUWK (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk


Wanita dan Keluarga), penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal menyangkut kepribadian diri pelaku kekerasan yang menyebabkan
ia mudah sekali melakukan tindak kekerasan bila menghadapi situasi yang
menimbulkan kemarahan atau frustasi, sedangkan faktor eksternal adalah faktor-
faktor di luar diri si pelaku kekerasan. Mereka yang tidak tergolong memiliki
tingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan
situasi yang menimbulkan frustasi misalnya kesulitan ekonomi yang
berkepanjangan, penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam
kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya.4

Selain faktor-faktor pemicu Kekerasan yang sudah disebutkan, tindak

kekerasan dapat juga terjadi karena hal-hal sebagai berikut : (1) Masalah

keluarga; (2) Cemburu; (3) Masalah Anak; (4) Masalah Orang Tua; (5) Masalah

Saudara; (6) Masalah Sopan Santun; (7) Masalah Masa Lalu; (8) Masalah Salah

Paham; (9) Masalah Tidak Memasak; (10) Suami mau menang sendiri;5

Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga mempunyai beberapa bentuk


sesuai dengan apa yang sudah tercantum menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 : 1) Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004);
2) Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan
atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23

3
Moerti Hadiati Soeroso, Op.Cit, Hal. 62.

4
LKBHUWK. (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Untuk Wanita dan Keluarga),
Kekerasan dalam Rumah Tangga, 1991.

5
Moerti Hadiati Soeroso, Loc.Cit, Hal.77-80
5

Tahun 2004); 3) Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan social yang


dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Selain itu juga pemaksaan hubugan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu
(Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004); 4)Penelantaran rumah tangga
juga dimasukkan dalam pengertian kekerasan, karena setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
penghidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran
tersebut juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang laya di dalam
atau di luar rumah, sehingga korban dibawah kendali orang tersebut (Pasal 9
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).6

Kemudian dalam penjabarannya yang dilaksanakan oleh Lembaga


Pemasyarakatan (LAPAS), diselenggarakan dengan tujuan: a) agar pelanggar
hukum tidak menjadi lebih buruk dari sebelum masuk dalam proses peradilan; b)
melakukan perlindungan terhadap hak-hak para pelanggar hukum baik orangnya
maupun barangnya; c) membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi
manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi
lagi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,
dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab (Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1985 tentang
Pemasyarakatan).

Namun pada kenyataannya menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana penjara

tersebut kurang berhasil, yang secara empiris diukur oleh masyarakat dari

intensitas kejadian di LAPAS. Hal ini disebabkan, baik dengan kendala internal

maupun kendala eksternal. Kendala internal disini berkaitan dengan masalah-

masalah sarana dan prasarana, serta petugas di dalam LAPAS itu sendiri.

Sedangkan kedala eksteral yang dihadapi berkaitan dengan kecenderungan yang

sangat tinggi dijatuhkannya sanksi pengurungan atas pelanggaran hukum

menyebabkan LAPAS cenderung menjadi penuh sesak. Akibatnya program

pembinaan terpidana semakin sulit untuk dilaksanakan.

6
Moerti Hadiati Soeroso. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam
prespektif yuridis-viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 78.
6

Selain sebab-sebab diatas, hal lain yang mendasari tidak berjalannya dengan

baik proses peradilan atas tindak pidana kekerasan dalan rumah tangga ialah

antara lain : 1) Proses peradilan yang rumit dan panjang; 2) Rasa malu para pihak

sehingga sebagian besar tidak mau melaporkan kasus Kekerasan Dalam Rumah

Tangga yang dialaminya; 3) Ketidakterwakilkannya korban; 4) Sistem sanksi

yang tidak efisien; 4) Kebanyakan kasus KDRT diselesaikan di Pengadilan

Agama bukan di Pengadilan Negeri dan penyelesaiannya tidak menggunakan

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu UU NO 23

tahun 2004.

Hukum pidana tidak boleh hanya berfokus pada perbuatan manusia saja (daad

strafrecht) sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak manusiawi dan

mengutamakan pembalasan. Sebaliknya, hukum pidana juga tidak boleh apabila

hanya memperhatikan si pelaku saja (dader strafrecht), sebab demikian penerapan

hukum pidana akan berkesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan

kepentingan yang luas, yaitu kepentingan masyarakat, kepentingan Negara dan

kepentingan korban tindak pidana.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas, terutama tindak kejahatan yang

dapat direstorasi kembali, maka perlu ada terobosan untuk melakukan perubahan

suatu sistem penghukuman yang disebut sebagai Restorative Justice, dimana

pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada

korban, keluarganya dan juga masyarakat.


7

Restorative Justice adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat
dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah
bagaimana menangani akibatnya dimasa yang akan datang. Dilihat dari kaca mata
restorative justice, tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan
relasi antara manusia. Tidak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat
segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan
masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menentramkan hati.7

Sedangkan korban, dalam pandangan restorative justice adalah orang yang


menjadi target atau sasaran kejahatan, anggota keluarganya, saksi mata, anggota
keluarga pelaku dan masyarakat secara umum. Kebutuhan dan keselamatan
korban menjadi perhatian yang utama dalam proses restorative justice. Korban
harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsug dalam proses penentuan
kebutuhan dan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang dialaminya.8

Penerapan restorative justice dapat diwujudkan melalui ADR (Alternative

Despute Resolution) dengan dikeluarkannya Surat kapolri No. Pol. B/

3022/XII/2009/sdeops tentang konsep Alternatif Dispute Resolution (ADR), yakni

pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses hukum atau

non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian.

Di Polres Gresik sendiri banyak juga kasus mengenai Kekerasan Dalam

Rumah Tangga, rata-rata penyelesaian tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga

(KDRT) di Polres Gresik ini menggunakan pendekatan restorative justice, kecuali

untuk kasus-kasus tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang sudah

parah maka akan di limpahkan ke Pengadilan.

7
Heru Susetyo, S.H., M.Si., LL.M. 2013. Pengkajian Hukum Tentang Sistem Pembinaan
Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Hal 16

8
Ibid.
8

Di dalam penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan

restorative justice tidak melulu berjalan dengan mulus, penyelesaian tindak

pidana menggunakan pendekatan restorative justice kebanyakan hanya sebatas

mekanismenya saja tetapi sampai sekarang belum jelas apa yang di “restorasi”

atau di pulihkan, dan apakah sudah tercapai tujuan dari pendekatan restorative

justice yaitu memberikan jaminan keadilan terhadap para pihak.

Dengan dijabarkannya latar belakang di atas, maka peneliti menarik untuk

membahas dalam penelitian ini yang berjudul “Implementasi Restorative Justice

terhadap Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)”

studi di Kepolisian Resort Gresik (Polres Gresik).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian dari latar belakang di atas ada beberapa

permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan penelitian ini, yakni sebagai

berikut :

1. Bagaimana gambaran kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

yang ada di Polres Gresik?

2. Apa yang dipulihkan di dalam penyelesaian tindak pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga dengan menggunakan pendekatan restorative

justice di Polres Gresik?


9

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

gambaran kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang pernah ada di

Polres Gresik dan bagaimana mekanisme penyelesaiannya.

Sedangkan tujuan khususnya yaitu untuk mengidentifikasi masalah yang

ada yang berhubungan dengan penerapan sistem pemidanaan berdasarkan kosep

Restorative Justice sehingga dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan

perundang-undangan yang berkaitan dengan pembaharuan Hukum Pidana.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang telah penulis jabarkan diatas, maka penulis

berharap penelitian ini memberikan manfaat dan kegunaan sebagai berikut :

1. Penelitian Tugas Akhir ini diharapkan mampu memberikan

tambahan wawasan seputar Hukum Pidana khususnya mengenai

konsep Restorative Justice.

2. Penelitian ini juga sebagai syarat bagi penulis untuk memperoleh

gelar sarjana Strata 1 Ilmu Hukum, sekaligus menjadi lahan

aktualisasi dan pengembangan pemikiran serta wawasan penulis

dalam keilmuan hukum.


10

E. Kegunaan Penelitian

Diharapkan dengan lahirnya tulisan ini dapat menambah Ilmu

Pengetahuan di bidang Hukum Pidana khususnya mengenai konsep Restorative

Justice dalam penyelesaian tindak pidana, sehingga dapat memberikan masukan

bagi penyempurnaan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembaharuan

Hukum Pidana.

F. Metode Penelitian

Untuk memecahkan permasalahan pada topik yang akan diteliti, peneliti telah

memilih Lokasi Penelitian, Metode Pendekatan, Jenis dan Sumber data, Teknik

Pengumpulan data yang akan digunakan dan Teknik Analisa data yang sudah

didapat, antara lain yaitu :

1. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih oleh peneliti untuk melakukan penelitian adalah di Polres

Gresik yang beralamat di Jl. Basuki Rachmad No. 22 Gresik – Jawa Timur.

Alasan mengapa peneliti memilih Polres Gresik menjadi lokasi penelitian

dikarenakan di Polres Gresik terdapat data-data yang mendukung terkait dengan

topik penelitian yaitu antara lain kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

yang pernah terjadi di Polres Gresik dan juga mengenai konsep penyelesaian

tindak pidana dengan menggunakan prinsip restorative justice.


11

2. Metode Pendekatan

Untuk memecahkan permasalahan yang akan diteliti, peneliti menggunakan

pendekatan Yuridis-Empiris. Pengertian dari pendekatan Yuridis empiris antara

lain yaitu peneliti menganalisis bagaimana Das Sollen dan Das Sein yang ada.

Dalam mengurai permasalahan yang diteliti ini, peneliti

menggunakan bahan-bahan hukum (baik hukum yang tertulis maupun hukum

yang tidak tertulis atau baik bahan hukum primer maupun bahan hukum

sekunder), serta dalam menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara

memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder) dengan data

primer yang diperoleh di lapangan.

3. Jenis dan Sumber Data

Data yang hendak didapatkan untuk menopang hasil penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder. Namun penelitian ini lebih menitikberatkan pada data

primer yaitu data yang didapat langsung dari lokasi penelitian, sedangkan data

sekunder lebih bersifat penunjang.

Sumber data yang digunakan terdiri dari sumber primer dan sekunder yaitu:

a. Data Primer

Data primer ini didapat lagsung dari lokasi penelitian, yaitu degan cara

observasi lapang dengan menggunakan metode wawancara yang akan ditujukan

pada pihak-pihak/narasumber yang sekiranya mempunyai informasi mengenai

focus pembahasan yang akan diteliti oleh peneliti.


12

b. Data Sekunder

Data sekunder ini adalah penunjang untuk menganalisis data primer yang

sudah penulis dapat dari observasi antara lain yaitu berupa bahan hukum yang

bersumber dari buku-buku literature maupun dasar-dasar peraturan yang

berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan focus pembahasan

yang akan diteliti oleh peneliti.

Bahan hukum ini didapatkan melalui studi kepustakaan, dokumen, risalah

perundang-undangan yang tersimpan dalam bagian dokumentasi. Perudang-

undangan yang dipakai oleh peneliti untuk menganalisis data antara lain yaitu

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI,

Surat kapolri No. Pol. B/ 3022/XII/2009/sdeops tentang konsep Alternatif Dispute

Resolution (ADR), Peraturan Kepala Kepolisian NKRI Nomor 7 Tahun 2008

tentag Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam

Penyelenggaraan Tugas Polri, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun

2012 tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam

KUHP.

4. Teknik Pengumpulan Data

Guna memperoleh data yang sesuai dan yang mencakup permasalahan yang

diteliti, maka dalam penulisan ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai

berikut:
13

a. Interview/Wawancara

Untuk mengumpulkan data dalam memecahkan masalah yang diteliti, peneliti

menggunakan teknik interview/wawancara, metode pengumpulan data ini dengan

cara tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan

kepada tujuan penelitian.

Narasumber yang sudah penulis mintai keterangan antara lain adalah (1)

Bapak Selamet Mujiono, SH selaku Kasubnit Perlindungan Anak dan Perempuan

Polres Gresik, (2) Bripka Novalia Anita, SH selaku penyidik di Polres Gresik, (3)

Bripka Wawan Supriono, SH selaku penyidik di Polres Gresik, (4) Brigadir Teguh

Wahyu P, SH selaku penyidik di Polres Gresik, (5) Briptu Rahma Kartika Putri,

SH selaku Penyidik di Polres Gresik.

Dalam teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara ini,

peneliti akan menggali informasi yang berhubungan dengan topik dan masalah

yang akan diteliti oleh peneliti antara lain yaitu apa saja bentuk-bentuk tindak

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang pernah ditangani oleh Polres

Gresik dan bagaimana penyelesaiannya serta hal-hal lainyang menjadi penunjang

untuk memecahkan masalah yang akan peneliti teliti.

b. Penelusuran Dokumen/Pustaka

Selain menggunakan teknik wawancara/interview, peneliti juga melakukan

penelusuran dokumen atau pustaka sebagai penunjang untuk mendapatkan

informasi terkait dengan topik yang akan diteliti, yaitu segala usaha yang

dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik
14

atau masalah yang akan diteliti, yaitu mencari sumber data sekunder yang akan

mendukung penelitian dan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang

berhubungan dengan penelitian telah berkembang.

Dengan mempelajari data atau berkas-berkas yang di dapat dari tempat

penelitian yaitu di Polres Gresik, selain itu peneliti juga akan mengkaji literatur,

peraturan perundang-undangan, penelitian terdahulu, serta sumber tertulis lainnya

untuk mendapatkan data yang berhubungan dan berkaitan dengan penelitian yang

sedang dilaksanakan.

5. Teknik Analisis Data

Untuk memecahkan permasalahan pada topik yang dibahas, peneliti

menggunakan teknik analisis data kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian

tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis . Proses

dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.

Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai

dengan fakta di lapangan.

Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum

tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. dalam

penelitian kualitatif peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada

sebagai bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu “teori”.

Analisis data kualitatif sebagai cara penjabaran data berdasarkan hasil temuan

di lapangan dan studi kepustakaan, kemudian disusun dan dilakukan reduksi dan
15

pengolahan data sehingga menghasilkan suatu sajian data yang kemudian dari

data tersebut ditarik suatu kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian Tugas Akhir Implementasi Restorative Justice terhadap

Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Studi di

Polres Gresik ini disusun dalam sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini menguraikan mengenai Latar

Belakang,yakni memuat landasan yang bersifat ideal das sollen

dan kenyataan das sein yang melatar belakangi sutau masalah

yang hendak dikaji lebih dalam.

Selanjutnya terdapat Rumusan Masalah yang diturunkan

dari latar belakang memuat suatu masalah yang akan dibahas dan

diteliti. Adapun selanjutnya terdapat Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penelitian untuk mempermudah penyusunan

penulisan hukum ini.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Dalam bab ini berisi tentang konsep dan pemaparan kajian-

kajian teoritik yang berkaitan dengan permasalahan yang akan

diteliti, yang mana nanti akan dijadikan landasan analisis hukum


16

penulisan di bab selanjutnya yakni bab III pembahasan, dalam hal

ini penulis memilih kerangka teori mengenai: 1) Tinjauan Umum

tentang Restorative Justice; 2) Tinjauan Umum tentang

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Bab III : Hasi Penelitian dan Pembahasan

Dalam Bab III ini akan memaparkan hasil-hasil penelitian,

apa yang menjadi pokok pembahasan sebagai obyek kajian dalam

penulisan, focus permasalahan yang dikaji dalam bab ini

mengenai tentang bagaimana Implementasi prinsip restorative

justice, bentuk-bentuk tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

kemudian semua permasalahan tersebut akan diuraikan dengan

sistematika penulisan serta penggunaan bahan hukum yang telah

disebutkan diatas, sehingga dapat ditemukan jawaban dari

permasalahan tersebut.

Bab IV : Penutup

Bab IV ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum

ini yang terdiri atas kesimpulan dari Bab III dan berisikan saran

atau rekomendasi penulis terhadap permasalahan yang diteliti.

Anda mungkin juga menyukai