Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Keempat hal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh BPR KR Indramayu dalam
pemberian kredit. Maka Sejalan dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 2
akan menciptakan kegiatan perbankan yang sehat. Pelaksanaan prosedur seperti
akan menjaga hubungan baik dilakukan oleh kepada calon debitur maupun debitur
serta rekanan-rekanan debitur.
2. :
Dalam kasus ini dalam pertanggung jawaban pihak bank akibat ketidak-
hati hatian nya dalam memberikan kredit kepada nasabah, dapat dikenakan
pidana. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Undang-Undang Perbankan
terdapat ketentuan pidana dan sanksi administratif bagi pemutus kredit atas
tindakan ketidakhati-hatiannya yaitu pada pasal:
1) Pasal 49 ayat (2) bagian (b)
Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang
dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap
ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan
perundang- undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
2) Pasal 50
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan
bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi
bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
4) Pasal 53
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50, Bank Indonesia dapat menetapkan
sanksi administratif kepada Pihak Terafiliasi yang tidak
memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada
instansi yang berwenang untuk mencabut izin yang
bersangkutan.
3. :
Menarik dari kacamata hukum perbankan mengenai penyelesaian
bank bermasalah. Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa
perbankan, pelindungan kosumen baginya merupakan suatu tuntutan yang
tidak boleh diabaikan begitu saja, dalam dunia perbankan, pihak nasabah
merupakan unsur yang sangat berperan sekali.
Seluruh permasalahan maupun kasus-kasus mengenai konsumen
penyelesaiannya dapat dilaksanakan melalui jalur litigasi ataupun non litigasi
sebagaimana terdapat di dalam peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan konsumen yang mengatur mengenai hak-hak konsumen yang
harus dilindungi oleh undang-undang tersebut. Nasabah juga termasuk
konsumen yang harus dilindungi oleh pelaku usaha perbankan.
Keberadaan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen
merupakan bentuk perlindungan terhadap konsumen, UU tersebut
merupakan suatu terobosan bagi para nasabah untuk memperoleh haknya,
yakni perlindungan kepada nasabah. Hal ini sangat penting bagi perbankan di
Indonesia, karena perbankan merupakan lembaga yang sangat mengandalkan
kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa bank
dilandasi rasa kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat
harus tetap terjaga, melalui UU tersebut. Bahwa UUPK dapat dijadikan
sebagai tolak ukur perlindungan hukum nasabah dalam menegakkan
kepentingan konsumen.
4. :
Besarnya kebutuhan akan kredit yang diperlukan masyarakat
tercermin dalam banyaknya permohonan kredit yang diterima oleh bank
dalam kesehariannya menjalankan kegiatan perbankan. Seperti dalam kasus
BPR KR Indramayu, menunjukan banyaknya nasabah yang mengajuan kredit
yang menyebabkan permaasalahan kredtit, yakni adanya kredit macet yang
mencapai 150 Miliar. Maka Untuk meminimalisasi terjadinya kredit
bermasalah yang terjadi, menurut saya terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan : (1) Perlunya analisa yang akurat dalam memproses
permohonan kredit Analisa yang akurat merupakan salah satu penentu
apakah suatu permohonan kredit akan disetujui atau ditolak oleh komite
kredit. Untuk mendukung analisa yang akurat diperlukan pengalaman serta
pengamatan yang tajam pada saat dilakukan survey oleh surveyor pada saat
melakukan survey, dan pengetahuan perkreditan dari analyst credit pada saat
membuat analisa kredit; (2) Pengawasan yang ketat atas setiap kredit yang
disalurkan Setelah melakukan filter yang ketat di tahapan awal perkreditan,
yang dapat dilakukan bank setelah melakukan pencairan kredit adalah dengan
melakukan pengawasan yang ketat atas setiap kredit yang disalurkan,
sehingga apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dapat disinyalir lebih cepat.
Hal tersebutlah yang dapat diimplementasikan oleh bank-bank di Indonesia
yang dapat mengurangi resiko permasalahan mengenai kredit.
5. :
Dalam kasus tersebut dikatakan bahwa terdapat oknum pegawai BPR
KR yang melakukan praktek Nepotisme antara debitur dan Kepala Cabangnya.
Bahwa terungkap terdapat petugas dan nasabah tersebut masih ada kaitan
keluarga bahkan tetangganya sendiri, sehingga proses pinjaman yang terjadi
saat oknum tersebut menjadi kepala cabang itu menjadi tidak prosedural.
Maka dalam kasus tersebut terindikasi adanya tindak pidana korupsi. Dalam
undang-undang ini diatur pengertian Nepotisme sebagai tindak pidana, tindak
pidana nepotisme didefinisikan sebagai adalah setiap perbuatan
penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat,
bangsa, dan Negara. Praktik nepotisme termasuk perbuatan korupsi dan
melanggar norma hukum. Tipe korupsi yang demikian sangat mempengaruhi
perkembangan ekonomi suatu negara. Maka atas perbuatan nepotisme yang
dialkukan oleh pelaku, pelaku dapat dipertanggungjawabkan pada Peraturan
ketentuan mengenai tindakan nepotisme sudah diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Serta ketentuan mengenai
sanksi pidananya juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 22 UndangUndang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyebutkan bahwa, Setiap
Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan
nepotisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).