Anda di halaman 1dari 7

UTS HUKUM PERBANKAN

NAMA : MUHAMMAD RAIHAN FADHALI


NRP : 2087023
1. :
Undang-Undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan telah
mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dalm
melaksanakan kegiatan usahanya, teramsuk dalam memberikan kredit. Prinsip ini
dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan pada bank. Hal ini
diebutkan dalam pasal 2 UU No 10 Tahun 1998, bahwa perbankan Indonesia dalam
menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi denagn menggunakan
prinsip kehati-hatian. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu
dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-
ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan.
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan mengemukakan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Hal ini
menunjukan bahwa prinsip kehati-hatian merupakan salah satu prinsip terpenting
yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Penjelasan Undang-undang Perbankan yang secara eksplisit mengandung
substansi prinsip kehati-hatian dapat diamati yakni pada Pasal 29 ayat 2, 3 dan 4
Undang-Undang No.10 tahun 1998.
Penerapan prinsip kehati-hatian diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UU No.7 Tahun
1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menegaskan bahwa: ”Bank
wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan
modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan
aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”
Pada kasus ini, pelaksanaan prinsip kehati-hatian yang diterapkan pada
prosedur tata Kelola keuangan oleh BPR KR Indramayu jauh dari prinsip kehati-hatian
yang telah di amanatkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Seperti yang diketahui bahwa OJK menemukan Solvabilitas dan Tata Kelola Keuangan
yang tidak sehat. Kondisi tersebut bisa terjadi karena adanya kredit macet yang
mencapai 150 Miliar. Bahkan, saat Ini BPR KR sedang dalam status BDPI, hal tesrebut
menunjukan bahwa BPR KR Indramayu memiliki proses aplikasi dan persyaratan
yang buruk dalam pemberian kredit yang mengakibatkan masalah keuangan di BPR
KR yang diduga telah terjadi kebocoran keuangan akibat banyaknya kredit macet.
Yang mana seharusnya Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya menuntut adanya
tindakan yang hati-hati pada bank. Karena Risiko dari pemberian kredit tersebut
sangat besar sehingga memerlukan pertimbangan-pertimbangan untuk menilai
apakah calon debitur layak untuk diberikan kredit.
Dari pembahasan diatas, bahwa dalam tata Kelola keuangan khusus dalam
pemberian kredit oleh BPR KR Indramayu belum menerapkan prinsip kehati-hatian
dengan baik, apalagi Kompleksitas kegiatan usaha BPR KR Indramayu akan semakin
meningkat dan ajan berpotensi menyebabkan semakin tingginya risiko yang akan
dialami oleh bank. Dengan mudahnya SOP Persyaratan yang diminta oleh BPR KR
Indramayu dalam pemberian kredit, maka akan berisiko terjadinya kredit macet,
maka BPR KR Indramayu harus dapat menerapkan prinsip kehati-hatian, yang Sejalan
dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 2. Yakni dengan membuat suatu
mekanisme dalam memberikan kredit. Mekanisme ini dapat dibuat dengan mengacu
pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 8 yang menjelaskan bahwa dalam
memberikan kredit kepada calon debitur bank wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis itikiad, kemampuan, serta kesanggupan debitur untuk melunasi
utangnya. Dalam artian BPR KR Indramayu harus memiliki standarisasi dalam
memiliki nasabah dengan memperhatikan character, Capacity, Capital, dan
Condition.
(1) Character, Bank perlu melakukan analisis terhadap karakter calon nasabah

dengan tujuan untuk mengetahui bahwa calon nasabah mempunyai keinginan


untuk memenuhi kewajibannya dalam mengembalikan dana pinjaman yang telah
diterima dalam waktu yang telah disepakat.
(2) Capacity, Bertujuan untuk mengetahui kemampuan keuangan calon nasabah

dalam memenuhi kewajibannya sesuai jangka waktu pembiayaan, bank perlu


mengetahui dengan kemampuan keuangan calon nasabah dalam memenuhi
kewajibannya sesuai setelah bank memberikan pembiayaan.
(3) Capital, merupakan suatu penilaian yang dilakukan untuk mengetahui
kemampuan calon nasabah menyediakan dana sendiri untuk membeli kebutuhan
yang diinginkan.
(4) Condition merupakan situasi atau kondisi yang mempengaruhi keadaan

perekonomian pada suatu maupun untuk kurun waktu tertentu yang


kemungkinan akan mempengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang
memperoleh pinjaman.

Keempat hal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh BPR KR Indramayu dalam
pemberian kredit. Maka Sejalan dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 2
akan menciptakan kegiatan perbankan yang sehat. Pelaksanaan prosedur seperti
akan menjaga hubungan baik dilakukan oleh kepada calon debitur maupun debitur
serta rekanan-rekanan debitur.

2. :
Dalam kasus ini dalam pertanggung jawaban pihak bank akibat ketidak-
hati hatian nya dalam memberikan kredit kepada nasabah, dapat dikenakan
pidana. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Undang-Undang Perbankan
terdapat ketentuan pidana dan sanksi administratif bagi pemutus kredit atas
tindakan ketidakhati-hatiannya yaitu pada pasal:
1) Pasal 49 ayat (2) bagian (b)
Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang
dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap
ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan
perundang- undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

2) Pasal 50
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan
bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi
bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).

3) Pasal 51 ayat (1)


Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47,
Pasal 47A, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A
adalah kejahatan.

4) Pasal 53
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50, Bank Indonesia dapat menetapkan
sanksi administratif kepada Pihak Terafiliasi yang tidak
memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada
instansi yang berwenang untuk mencabut izin yang
bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, maka pemutus kredit


dapat dikenakan ketentuan pidana berdasar pada pasal 49 ayat 2 bagian b
dan pasal 50 apabila melakukan tindakan ketidakhati-hatian sebagaimana
telah dijelaskan pada dua sub bab sebelumnya. Pada pasal tersebut jelas
disebutkan bahwa pihak- pihak sebagaimana dimaksud pada pasal tersebut
(termasuk pemutus kredit) yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-
langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan
dalam Undang-Undang Perbankan dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku bagi bank (termasuk Peraturan Bank Indonesia),
diancam dengan pidana penjara dan denda. Dalam artan bahwa bank sebagai
badan hukum tidak dapat dipidana, tetapi pegawai internal bank yang dapat.

3. :
Menarik dari kacamata hukum perbankan mengenai penyelesaian
bank bermasalah. Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa
perbankan, pelindungan kosumen baginya merupakan suatu tuntutan yang
tidak boleh diabaikan begitu saja, dalam dunia perbankan, pihak nasabah
merupakan unsur yang sangat berperan sekali.
Seluruh permasalahan maupun kasus-kasus mengenai konsumen
penyelesaiannya dapat dilaksanakan melalui jalur litigasi ataupun non litigasi
sebagaimana terdapat di dalam peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan konsumen yang mengatur mengenai hak-hak konsumen yang
harus dilindungi oleh undang-undang tersebut. Nasabah juga termasuk
konsumen yang harus dilindungi oleh pelaku usaha perbankan.
Keberadaan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen
merupakan bentuk perlindungan terhadap konsumen, UU tersebut
merupakan suatu terobosan bagi para nasabah untuk memperoleh haknya,
yakni perlindungan kepada nasabah. Hal ini sangat penting bagi perbankan di
Indonesia, karena perbankan merupakan lembaga yang sangat mengandalkan
kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa bank
dilandasi rasa kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat
harus tetap terjaga, melalui UU tersebut. Bahwa UUPK dapat dijadikan
sebagai tolak ukur perlindungan hukum nasabah dalam menegakkan
kepentingan konsumen.
4. :
Besarnya kebutuhan akan kredit yang diperlukan masyarakat
tercermin dalam banyaknya permohonan kredit yang diterima oleh bank
dalam kesehariannya menjalankan kegiatan perbankan. Seperti dalam kasus
BPR KR Indramayu, menunjukan banyaknya nasabah yang mengajuan kredit
yang menyebabkan permaasalahan kredtit, yakni adanya kredit macet yang
mencapai 150 Miliar. Maka Untuk meminimalisasi terjadinya kredit
bermasalah yang terjadi, menurut saya terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan : (1) Perlunya analisa yang akurat dalam memproses
permohonan kredit Analisa yang akurat merupakan salah satu penentu
apakah suatu permohonan kredit akan disetujui atau ditolak oleh komite
kredit. Untuk mendukung analisa yang akurat diperlukan pengalaman serta
pengamatan yang tajam pada saat dilakukan survey oleh surveyor pada saat
melakukan survey, dan pengetahuan perkreditan dari analyst credit pada saat
membuat analisa kredit; (2) Pengawasan yang ketat atas setiap kredit yang
disalurkan Setelah melakukan filter yang ketat di tahapan awal perkreditan,
yang dapat dilakukan bank setelah melakukan pencairan kredit adalah dengan
melakukan pengawasan yang ketat atas setiap kredit yang disalurkan,
sehingga apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dapat disinyalir lebih cepat.
Hal tersebutlah yang dapat diimplementasikan oleh bank-bank di Indonesia
yang dapat mengurangi resiko permasalahan mengenai kredit.
5. :
Dalam kasus tersebut dikatakan bahwa terdapat oknum pegawai BPR
KR yang melakukan praktek Nepotisme antara debitur dan Kepala Cabangnya.
Bahwa terungkap terdapat petugas dan nasabah tersebut masih ada kaitan
keluarga bahkan tetangganya sendiri, sehingga proses pinjaman yang terjadi
saat oknum tersebut menjadi kepala cabang itu menjadi tidak prosedural.
Maka dalam kasus tersebut terindikasi adanya tindak pidana korupsi. Dalam
undang-undang ini diatur pengertian Nepotisme sebagai tindak pidana, tindak
pidana nepotisme didefinisikan sebagai adalah setiap perbuatan
penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat,
bangsa, dan Negara. Praktik nepotisme termasuk perbuatan korupsi dan
melanggar norma hukum. Tipe korupsi yang demikian sangat mempengaruhi
perkembangan ekonomi suatu negara. Maka atas perbuatan nepotisme yang
dialkukan oleh pelaku, pelaku dapat dipertanggungjawabkan pada Peraturan
ketentuan mengenai tindakan nepotisme sudah diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Serta ketentuan mengenai
sanksi pidananya juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 22 UndangUndang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyebutkan bahwa, Setiap
Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan
nepotisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Anda mungkin juga menyukai