Daya Saing Daerah
Daya Saing Daerah
2|Page
Daftar Isi
ii3 | P a g e
3.4. Metode Penentuan Sampel ..................................................................................................46
4. PEMBAHASAN ............................................................................................................ 47
4.1. Pengukuran Indeks Daya Saing Daerah...............................................................................47
4.1.1. Penghitungan Bobot Pengukuran ...............................................................................47
4.1.2. Standardisasi Data dan Indeks ...................................................................................52
4.2. Analisis ................................................................................................................................52
4.2.1. Analisis Deskriptif .....................................................................................................53
4.2.2. Analisis Faktor Dominan yang Mempengaruhi Daya Saing Daerah .........................57
4.2.3. Analisis Klaster ..........................................................................................................60
4.2.4. Analisis DEA terhadap Faktor Penguat Daya Saing Daerah .....................................70
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................................... 88
5.1. Kesimpulan ..........................................................................................................................88
5.2. Rekomendasi .......................................................................................................................96
Daftar Pustaka ...................................................................................................................... 98
iii4 | P a g e
Ringkasan Eksekutif
Daya saing merupakan kemampuan suatu daerah dibanding daerah lain dalam
menetapkan strategi yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata
lain, daya saing adalah interaksi yang kompleks antara faktor input (sebagai faktor utama
pembentuk daya saing) dan output (inti dari kinerja perekonomian, yaitu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat) yang ada di daerah masing-masing.
Daya saing ekonomi daerah bertujuan untuk memberikan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, yaitu mengembangkan sektor unggulan sesuai dengan potensi dan kebutuhan
daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, peran pemerintah daerah dalam mengupayakan daya
saing daerah menjadi sangat penting dan strategis. Peran pemerintah daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah meliputi (1) keselarasan, dan (2) keserasian. Selaras dalam
memberikan pelayanan dan meningkatkan peran serta, prakarsa, dan memberdayakan
masyarakat yang memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Serasi dalam
menyelenggarakan hubungan antartingkat pemerintahan, baik antardaerah maupun antara
pusat dan daerah. Sementara itu, instrumen utama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal
adalah pendanaan atas penyerahan urusan kepada daerah yang proporsional, adil, demokratis,
dan transparan dengan memperhatikan potensi dan kebutuhan daerah. Pelaksanaan
desentralisasi fiskal bermakna pada mengelola keuangan secara efektif, efisien, dan akuntabel
guna mendukung pelayanan publik.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sangat erat hubungannya dengan daya saing
daerah terutama dalam hal pelaksanaan pembangunan. Pembangunan yang ingin dicapai
adalah pembangunan yang bersifat dinamis untuk kemajuan daerah. Daerah harus mencari
dan mengenal potensi yang dimiliki untuk dikembangkan melalui inovasi dan produktivitas
yang tinggi. Di sinilah peran daya saing sangat dibutuhkan. Kebutuhan akan peningkatan daya
saing nasional dan daerah dilatarbelakangi oleh pengalaman perekonomian Indonesia
menghadapi tantangan yang cukup berat, yaitu periode tahun 2011-2013. Pada periode
tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan. Sehingga upaya penguatan
ekonomi domestik menjadi tema dalam RKP Tahun 2013, yang meliputi :
a. peningkatan daya saing;
b. peningkatan kesejahteraan masyarakat;
c. peningkatan daya tahan ekonomi; dan
iv5 | P a g e
d. pemantapan stabilitas politik
Peningkatan daya saing dilakukan dengan menetapkan kebijakan pemerintah pusat
dan daerah, memperkuat kelembagaan dan tatakelola, dan membangun infrastruktur. Ketiga
hal tersebut diramu untuk menghasilkan : (1) peningkatan produktivitas negara/ daerah pada
skala ekonomi-nya; (2) inovasi; (3) peningkatan transparansi dan akuntabilitas; dan (4)
penyempurnaan struktur sistem pembangunan nasional/ daerah.
Terdapat catatan penting dari pernyataan Martin dan Tyler (2003) yang memberikan
argumen mengapa suatu daerah harus memiliki daya saing (berkompetisi)? : (1) untuk
investasi, menarik masuk modal asing swasta dan modal publik; (2) untuk tenaga kerja,
mendorong tenaga kerja terampil dan kreatif, menciptakan lingkungan kondusif dan
menyediakan pasar tenaga kerja domestik; (3) untuk teknologi, menarik aktivitas inovasi dan
transfer ilmu pengetahuan.
Kajian ini dilaksanakan bertujuan untuk : (1) mengetahui faktor-faktor yang
membentuk daya saing daerah dan persepsi pemerintah daerah terhadap strategi penguatan
daya saing; (2) mengetahui indeks daya saing daerah yang diukur dari faktor-faktor terpilih
pembentuk daya saing daerah; (3) mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi
daya saing daerah; (4) mengetahui peran belanja fungsi APBD sebagai faktor penguat daya
saing. Diharapkan kajian ini dapat memberikan manfaat antara lain : (1) memberikan
informasi mengenai faktor-faktor yang membentuk dan faktor-faktor dominan yang
menguatkan daya saing daerah; (2) memberikan masukan kepada pemerintah pusat dalam
rangka mengevaluasi kebijakan desentralisasi fiskal; (3) memberikan masukan kepada
pemerintah daerah dalam rangka mengevaluasi kebijakan keuangan daerah.
Data yang digunakan dalam kajian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data kualitatif yang diperoleh melalui kuesioner dan disampaikan kepada
responden via surat, sedangkan data sekunder merupakan data kuantitatif yang berasal dari
data publikasi instansi pemerintah pusat dan daerah.
Metode pengumpulan data primer melalui kuesioner yang dikirimkan kepada 33
pemerintah provinsi sebagai responden dengan target tujuan Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) yaitu Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Terkumpul 13
pemerintah provinsi, yaitu sebanyak 8 pemerintah provinsi yang menyampaikan kembali baik
melalui surat atau email, sedangkan 5 daerah merupakan pemerintah kab/kota yang dianggap
dapat merepresentasikan provinsi-nya yaitu Sorong (Papua Barat), Kab. Blitar (Jawa Timur),
Kab. Gowa (Sulsel), Kab. Tegal (Jateng), dan Cirebon (Jabar). Kuesioner disampaikan kepada
lima pemerintah kab/kota melalui ruang layanan DJPK lantai 3 Gedung Radius Prawiro.
v6 | P a g e
Pembahasan daya saing dalam kajian ini meliputi dua tahapan yaitu tahapan
pengukuran indeks daya saing dan analisa. Pengukuran indeks daya saing terdiri dari dua
tahap, yaitu (1) penghitungan bobot yang berasal dari data persepsi dari pemerintah daerah
terhadap inisiatif strategi penguatan daya saing daerah; dan (2) standardisasi data dan indeks.
Indeks daya saing merupakan indeks komposit dari indeks faktor input (indeks input) dan
indeks faktor output (indeks output). Analisa dilakukan terhadap hasil pengukuran daya saing,
yang terdiri dari analisa deskriptif, analisa faktor dominan yang membentuk daya saing
daerah, analisa klaster profil daerah, dan yang terakhir adalah analisa terhadap faktor penguat
daya saing daerah (dalam hal ini belanja fungsi dalam APBD) menggunakan statistik non
parameter DEA (Data Envelopment Analysis).
Rekomendasi
1. Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah dan Tatakelola Keuangan Daerah yang
Mendorong Daya Saing Daerah.
Pemerintah pusat melanjutkan kebijakan transfer ke daerah yang mendukung pelaksanaan
desentralisasi fiskal dengan alokasi Transfer ke Daerah yang terus meningkat, namun
harus dibarengi dengan penyempurnaan manajemen keuangan daerah oleh pemerintah
daerah, baik dari sisi pendapatan maupun belanja daerah. Pendapatan daerah menuju
kemandirian fiskal daerah, sedangkan belanja daerah fokus pada quality of spending.
2. Prioritas Sasaran Strategis dalam Mencapai Kinerja Daya Saing.
Prioritas ditentukan secara konsisten guna memperbaiki Faktor input pembentuk daya
saing kinerja yang masih rendah, namun perlu pengertian dan cakupan yang jelas dari
masing-masing belanja menurut fungsi, sehingga dapat menghubungkan belanja tersebut
secara langsung dengan sasaran strategis pencapaian daya saing-nya.
3. Peningkatan Kinerja Faktor Output Pembentuk Daya Saing.
Perlu upaya untuk memacu peningkatan kinerja Faktor Output pembentuk daya saing. Hal
ini dikarenakan banyak daerah yang masih memiliki kinerja relatif rendah pada faktor
tersebut, dialami oleh 9 pemerintah provinsi dari 13 pemerintah provinsi yang menjadi
sampel .
4. Fokus pada Sasaran Strategis Pencapaian Daya Saing.
Daerah yang memiliki Indeks Input dan Indeks Output di bawah rata-rata perlu fokus
menitiberatkan perhatiannya pada sasaran strategis pencapaian daya saing.
vi7 | P a g e
5. Kinerja Mendorong Aktivitas Perekonomian Daerah dan Meningkatkan
Kualitas SDM agar Lebih Ditingkatkan.
Pemerintah daerah mengupayakan agar kinerja dalam rangka mendorong aktivitas
perekonomian daerah dan meningkatkan kualitas SDM lebih ditingkatkan lagi, karena
Indeks PAD terhadap PDRB, Indeks Kapasitas Fiskal terhadap PDRB, dan Indeks Rasio
Guru terhadap Murid merupakan indeks rendah yang banyak terjadi di pemerintah
provinsi yang menjadi sampel.
6. Sinergi Antara Penganggaran dan Capaian Strategi dan Kinerja .
Hendaknya menyelaraskan porsi belanja fungsi dalam APBD dengan sasaran strategis
daya saing guna mendukung kinerja-nya. Terutama untuk area kinerja yang masih rendah.
7. Harmonisasi Peraturan dan Kebijakan antara Pusat dan Daerah serta
Antardaerah.
Peraturan atau kebijakan hendaknya disinkronisasi sehingga tidak menghambat investasi
yang akan masuk ke daerah.
8. Penyediaan Lahan untuk Industri Terpadu
Penyediaan lahan bertujuan untuk memberikan insentif kemudahan bagi investor yang
akan menanamkan modal nya di suatu daerah dengan didukung oleh proses perijinan yang
mudah. Berdasarkan kuesioner yang disampaikan, diketahui bahwa Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (PTSP) telah diterapkan di 13 provinsi yang menjadi sampel.
vii8 | P a g e
Kata Pengantar
viii9 | P a g e
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kontribusi dalam kajian ini, terutama kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/
kota yang telah menyampaikan isian kuesioner sehingga kajian ini bisa terlaksana. Kami
berharap agar kajian ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak yang terkait dalam
rangka kemajuan implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia.
10
ix | P a g e
Daftar Gambar
x |Page
11
Daftar Tabel
12
xi | P a g e
Tabel 4.20 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sulawesi
Selatan .................................................................................................................. 80
Tabel 4.21 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sulawesi Barat 80
Tabel 4.22 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sulawesi
Barat ..................................................................................................................... 81
Tabel 4.23 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Barat ...... 82
Tabel 4.24 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Barat
.............................................................................................................................. 82
Tabel 4.25 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Tengah ... 83
Tabel 4.26 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa
Tengah ................................................................................................................. 83
Tabel 4.27 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Banten ............ 84
Tabel 4.28 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Banten..... 85
Tabel 4.29 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bali ................. 85
Tabel 4.30 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bali ......... 86
Tabel 4.31 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Papua Barat .... 86
Tabel 4.32 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Papua Barat
............................................................................................................................. 87
13
xii | P a g e
1. PENDAHULUAN
1
Pembangunan Koridor Ekonomi Indonesia, RKP 2013 Memperkuat Perekonomian Domestik bagi
Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat.
14 | P a g e
Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah dalam rangka memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi
yang tumbuh dalam masyarakat. Di samping itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus
menjamin keserasian hubungan antar daerah, dan keserasian hubungan antara daerah dengan
Pemerintah Pusat.
Desentralisasi fiskal dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan
urusan kepada daerah sebagai konsekuensi logis otonomi daerah. Pelaksanaan desentralisasi
fiskal secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi,
kondisi dan kebutuhan daerah mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan
tanggung jawab masing-masing tingkatan pemerintah.
Dalam prakteknya, pelaksanaan desentralisasi dimaksudkan agar daerah dapat
mengelola keuangannya sendiri secara efektif, efisien dan akuntabel guna membiayai kegiatan
tugas-tugas pemerintahan memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan
proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan daerah akan lebih mandiri
dalam menentukan seluruh kegiatannya dan diharapkan mampu memainkan peranannya
dalam membuka peluang memajukan Daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-
sumber pendapatannya guna pembiayaan pembangunan daerah.
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan
sejalan dengan prinsip-prinsip kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dimana kepada
daerah diberikan kewenangan yang luas dalam mengatur dan mengurus daerahnya masing-
masing.
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang semakin dinamis maka
diperlukan upaya pembinaan, pengembangan dan inovasi secara lebih terarah dan terpadu
sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemajuan pembangunan daerah.
Proses menuju kemandirian suatu daerah dalam era globalisasi saat ini tidaklah terlepas dari
perlu adanya daya saing dalam membentuknya. Daya saing tidaklah hanya berorientasi pada
indikator ekonomi saja, tetapi lebih pada kemampuan daerah untuk menghadapi tantangan
dan persaingan global untuk peningkatan kesejahteraan hidup rakyat yang nyata dan
berkelanjutan serta secara politis, sosial dan budaya dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
15 | P a g e
1.2. Perumusan Masalah
Secara konsep, daya saing menunjukkan kemampuan suatu daerah dibandingkan
dengan daerah lain dalam menetapkan strategi yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya2. Daerah harus mencari dan mengenal potensi yang akan dikembangkan dan
dapat berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat setempat. Apalagi dengan
semakin terbukanya pasar bebas yang memungkinkan produk impor masuk ke daerah,
tentunya usaha yang dilakukan daerah harus lebih nyata dan terukur. Ukuran keberhasilannya
adalah meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dari waktu ke waktu, pengentasan
kemiskinan, terbukanya lapangan kerja seluas-luasnya dan indikator kesejahteraan lainnya.
Setiap daerah dituntut untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif yang dapat menciptakan
ide-ide baru, perbaikan-perbaikan yang dapat mendorong tumbuhnya usaha baru, industri
baru, lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Bank Indonesia dan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran dalam studi tentang
daya saing daerah tahun 2001 mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan
perekonomian daerah dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan
dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional.
Sementara itu The European Commission mendefinisikan daya saing sebagai
“kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan pasar
internasional, diiringi dengan kemampuan mempertahankan pendapatan yang tinggi dan
berkelanjutan, lebih umumnya adalah kemampuan (regions) untuk menciptakan pendapatan
dan kesempatan kerja yang relatif tinggi sementara terekspos pada daya saing eksternal”.
Dari konsep dan definisi mengenai daya saing di atas, terdapat kesamaan pandangan
bahwa pada dasarnya daya saing daerah dihasilkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor
input, output dan outcome yang ada di daerah masing-masing, dengan faktor input sebagai
faktor utama pembentuk daya saing daerah yaitu kemampuan daerah, yang selanjutnya akan
menentukan kinerja output yang merupakan inti dari kinerja perekonomian. Inti dari kinerja
perekonomian adalah upaya meningkatkan daya saing dari suatu perekonomian yaitu
meningkatkan kesejahteraan dari masyarakat yang berada di dalam perekonomian tersebut.
Ukuran kesejahteraan memiliki makna yang sangat luas, indikatornya dapat berupa
produktivitas tenaga kerja, PDRB per kapita atau tingkat kesempatan kerja.
2
Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah untuk Mendukung Penguatan Ekonomi Domestik, RKP
2013, Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012-2013.
16 | P a g e
Peran daerah untuk meningkatkan daya saingnya sangat tergantung kepada kemampuan
daerah untuk melakukan identifikasi faktor pembentuk dan penentu daya saing daerah.
Dengan kemampuan daerah yang cermat dalam melakukan identifikasi faktor-faktor
pembentuk dan penentu daya saing maka daerah dapat menyusun strategi menetapkan
kebijakan-kebijakan apa yang harus ditempuh agar daya saing daerahnya dapat terus
meningkat.
Dengan demikian, menurut kami perlu dilakukan kajian untuk menentukan faktor-
faktor yang merepresentasikan pembentuk daya saing daerah berdasarkan kemampuan
ekonomi dan keuangan daerah serta persepsi daerah dalam menetapkan prioritas kebijakan
penguatan daya saing daerahnya dengan sasaran akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dengan ditetapkannya faktor pembentuk daya saing daerah selanjutnya dapat
disusun suatu indeks yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur daya saing daerah. Di samping
itu, perlu untuk menentukan faktor-faktor penentu yang menguatkan daya saing daerah
sehingga daerah dapat menetapkan kebijakan-kebijakan penting yang dapat menguatkan daya
saingnya.
Oleh karena itu dalam kajian ini dapat dirumuskan beberapa pertanyaan antara lain:
a. Faktor-Faktor apa saja yang menjadi pembentuk daya saing daerah (input dan output) dan
persepsi pemerintah daerah terhadap prioritas strategi penguatan daya saing?
b. Bagaimana indeks daya saing daerah di Indonesia berdasarkan faktor-faktor terpilih
pembentuk daya saing daerah?
c. Faktor-Faktor apa saja yang dominan mempengaruhi daya saing daerah?
d. Bagaimana peran belanja fungsi APBD sebagai faktor penguat daya saing?
Pertanyaan kajian ini sangat penting dalam kaitannya untuk memudahkan menjawab
dan menganalisis permasalahan sehingga apa yang menjadi tujuan kajian akan tercapai secara
tepat.
17 | P a g e
d. Untuk mengetahui peran belanja fungsi APBD sebagai faktor penguat daya saing.
18 | P a g e
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
Literatur Review:
- Penelitian terdahulu
- Buku dan jurnal
Analisa AHP
Penyusunan
Angka Indeks
Data Envelopment
Analysis atas Faktor
Penguat Daya
19 | P a g e
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan kajian atas kebijakan penguatan daya saing daerah dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat terdiri atas:
1. Pendahuluan
Pendahuluan meliputi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran dan sistematika penulisan.
2. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka merupakan landasan teoritis mengenai kebijakan desentralisasi fiskal,
penguatan ekonomi domestik, konsep dan pembentuk daya saing daerah serta faktor-
faktor dominan yang menguatkan daya saing daerah.
3. Metodologi Penelitian
Metode Penelitian secara garis besar berisi tentang identifikasi, klasifikasi dan definisi
operasional variabel serta sumber dan metode pengumpulan data.
4. Pembahasan
Pada bab ini akan dijelaskan tentang bagaimana mengukur indeks daya saing daerah
berdasarkan faktor-faktor pembentuk daya saing daerah dan menganalisa faktor dominan
yang menguatkan daya saing daerah.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Pada bab ini terdiri dari kesimpulan-kesimpulan hasil penelitian yang merupakan jawaban
dari pertanyaan penelitian dan saran-saran yang direkomendasikan bagi pihak yang
berkepentingan.
20 | P a g e
2. TINJAUAN PUSTAKA
21 | P a g e
Perubahan kebijakan desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal
yang terus membesar di tingkat daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah
pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah.
Desentralisasi fiskal adalah salah satu instrumen yang digunakan oleh pemerintah
dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional.
Melalui mekanisme hubungan keuangan yang lebih baik diharapkan akan tercipta
kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas
kepada kondisi perekonomian yang lebih baik. Sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan
masyarakat. Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran
yang didanai terutama melalui transfer ke daerah. Dengan desain desentralisasi fiskal ini maka
esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk
membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. Penerimaan
negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah Pusat, dengan tujuan untuk menjaga
keutuhan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu, dukungan pendanaan pemerintah pusat berupa
dana transfer ke daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
semakin meningkat sebagaimana digambarkan pada tabel di bawah ini:
2 Transfer Dana Otsus dan Penyesuaian 21.340,6 13.986,7 28.625,1 64.465,6 70.423,9 83.831,5
a. Dana Otonomi Khusus 9.526,6 7.510,3 9.099,6 10.421,3 11.952,6 13.445,6
b. Dana Penyesuaian 11.814,0 6.476,4 19.525,5 54.044,3 58.471,3 70.385,9
22 | P a g e
2.2. Penguatan Ekonomi Domestik
Kondisi perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2011 – 2013 dalam tekanan yang
cukup berat. Kinerja perekonomian nasional terlihat tidak cukup baik dengan pertumbuhan
ekonomi yang terus mengalami penurunan. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi
Indonesia mencapai 6,35%, kemudian pada tahun 2012 turun menjadi 6,28%, sedangkan pada
tahun 2013 pertumbuhannya mencapai 5,90%.
Di tengah kondisi perekonomian nasional yang masih tidak menentu, penguatan
ekonomi domestik menjadi syarat mutlak agar Indonesia dapat tetap menjaga pertumbuhan
yang berkualitas. Sinergi antara pusat dan daerah untuk menciptakan momentum
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas pertumbuhan merupakan aspek prioritas
yang perlu kita lakukan bersama-sama. Keberhasilan pembangunan nasional merupakan
agregasi dari keberhasilan pembangunan daerah. Oleh karena itu, penguatan ekonomi nasional
adalah hasil akumulasi dari penguatan ekonomi di daerah. Dengan demikian, komunikasi,
koordinasi dan sinergi kebijakan antara pusat dan daerah harus terus dipertahankan untuk
menjaga momentum pembangunan. Konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah akan
tercapai jika dijembatani oleh sinergi pusat-daerah oleh berbagai pemangku kepentingan.
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah memiliki tugas dan fungsi yang penting
untuk mengkoordinasikan kebijakan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya dan menjaga
konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah.
Kebijakan pemerintah dalam rangka penguatan ekonomi domestik yang pada Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) 2013 difokuskan pada empat aspek, yang merupakan komponen
penting untuk mendukung penguatan ekonomi domestik seperti yang tercantum dalam gambar
berikut:
23 | P a g e
Gambar 2.1 Komponen Penguat Ekonomi Domestik
Peningka
tan Daya
Saing
Peningkatan
dan Penguatan Peningkat
Perluasan an Daya
Kesejahtera Ekonomi Tahan
an
Masyarakat
Domestik Ekonomi
Pemantapan
Stabilitas
Politik
24 | P a g e
2.2.2 Peningkatan Daya Tahan Ekonomi
Peningkatan daya tahan ekonomi untuk penguatan ekonomi domestik dapat ditempuh
melalui beberapa langkah diantaranya:
Aspek aksesibilitas pangan berfungsi untuk menjamin seluruh level masyarakat dapat
menjangkau sumber pangan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya.
Distribusi, stabilitas harga dan pasokan merupakan indikator penting untuk menunjukkan
kinerja aspek akesibilitas pangan. Distribusi pangan dilakukan untuk memenuhi
pemerataan ketersediaan pangan keseluruh wilayah secara berkelanjutan. Stabilisasi harga
pangan diselenggarakan dengan tujuan untuk menyejahterakan petani dan nelayan,
menghindari terjadinya gejolak harga pangan, menghadapi keadaan darurat karena bencana
atau paceklik, mencapai swasembada pangan, memperhatikan daya beli masyarakat. Harga
yang terlalu berfluktuasi dapat merugikan petani, produsen, pengolah, pedagang hingga
konsumen sehingga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi.
Aspek konsumsi pangan dan gizi berfungsi untuk mengarahkan agar pola pemanfaatan
pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan
dan kehalalan. Indikator aspek konsumsi, dapat tercermin dalam pola konsumsi masyarakat
di tingkat rumah tangga.
25 | P a g e
Aspek penanggulangan masalah pangan berfungsi menjaga goncangan pangan akibat
ketidakmampuan memenuhi pangan karena kondisi ekonomi, bencana dan lonjakan harga,
yang disalurkan dalam bentuk bantuan beras miskin bagi keluarga miskin dan penyaluran
cadangan beras pemerintah terutama dalam mengantisipasi terjadinya bencana melalui
bantuan pangan.
26 | P a g e
2.2.4 Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Masyarakat
Peningkatan dan perluasan kesejahteraan masyarakat dapat ditempuh melalui
beberapa langkah, diantaranya:
27 | P a g e
dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional. Konsep dan definisi daya
saing daerah yang dikembangkan dalam penelitian tersebut didasarkan pada dua
pertimbangan, yaitu: perkembangan perekonomian daerah ditinjau dari aspek ekonomi
regional dan perkembangan konsep dan definisi daya saing daerah dari penelitian-penelitian
terdahulu.
World Economic Forum (WEF) mendefinisikan daya saing nasional sebagai
kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan.
Institute for Management Development (IMD) mendefinisikan daya saing nasional
sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah
kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas,
globality dan proximity, serta model ekonomi dan sosial.
European Commission mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan untuk
memproduksi barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan pasar internasional, diiringi dengan
kemampuan mempertahankan pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, lebih umumnya
adalah kemampuan (regions) untuk menciptakan pendapatan dan kesempatan kerja yang
relatif tinggi sementara terekspos pada daya saing eksternal.
Konsep daya saing umumnya dikaitkan dengan konsep comparative advantage, yakni
dimilikinya unsur-unsur penunjang proses produksi yang memungkinkan satu negara menarik
investor untuk melakukan investasi ke negaranya, tidak ke negara yang lain. Konotasi
advantage di sini adalah situasi yang memungkinkan pemodal menuai keuntungan
semaksimal mungkin. Misalnya dengan menyediakan lahan murah, upah buruh murah, dan
suplai bahan mentah produksi yang terjamin kontinyuitasnya dengan harga yang lebih murah
daripada harga yang ditawarkan oleh negara lain. Artinya, kekuatan modal dan keunggulan
teknologi menjadi kunci penentu peningkatan daya saing (penjualan produk) satu negara.
Martin dan Tyler (2003) menyebutkan argumen mengapa daerah maupun negara
saling berkompetisi:
- untuk investasi, melalui kemampuan daerah untuk menarik masuknya modal asing, swasta
dan modal publik;
- untuk tenaga kerja, dengan kemampuan untuk menarik masuknya tenaga kerja yang
terampil, enterpreneur dan tenaga kerja yang kreatif, dengan cara menyediakan lingkungan
yang kondusif dan pasar tenaga kerja domestik;
- untuk teknologi, melalui kemampuan daerah untuk menarik aktivitas inovasi dan transfer
ilmu pengetahuan dan teknologi.
28 | P a g e
Dari konsep dan definisi mengenai daya saing di atas, dapat dimaknai bahwa daya
saing daerah dihasilkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor input, output dan outcome
yang ada di daerah masing-masing, dengan faktor input sebagai faktor utama pembentuk daya
saing daerah yaitu kemampuan daerah, yang selanjutnya akan menentukan kinerja output yang
merupakan inti dari kinerja perekonomian. Inti dari kinerja perekonomian adalah upaya
meningkatkan daya saing dari suatu perekonomian yaitu meningkatkan kesejahteraan dari
masyarakat yang berada di dalam perekonomian tersebut. Ukuran kesejahteraan memiliki
makna yang sangat luas, indikatornya dapat berupa produktivitas tenaga kerja, PDRB per
kapita atau tingkat kesempatan kerja.
29 | P a g e
nilai-nilai. ; dan (4) Infrastruktur, terdiri dari 114 kriteria yang mencakup infrastruktur dasar,
infrastruktur teknologi, infrastruktur ilmu pengetahuan, kesehatan, lingkungan dan
pendidikan.
Dan European Commission memberikan penilaian daya saing daerah yang dirangkum
dalam Regional Competitiveness Index (RCI) didasarkan pada 11 pilar, yaitu: (1) Institusi; (2)
Stabilitas makroekonomi; (3) Infrastruktur; (4) Kesehatan; (5) Pendidikan dasar; (6)
Pendidikan tinggi dan pendidikan seumur hidup; (7) Efisiensi pasar tenaga kerja; (8) Luas
pasar; (9) Ketersediaan teknologi; (10) Kemudahan usaha; dan (11) Inovasi.
Peringkat Dunia
No Negara 2012 2013 2014
(144 negara) (148 negara) (144 negara)
1 Singapura 2 2 2
2 Malaysia 25 24 20
3 Brunei Darussalam 28 26 Tidak
dilakukan
peniliaian
4 Thailand 38 37 31
5 Indonesia 50 38 34
6 Vietnam 75 70 68
Menurut World Economic Index, terpuruknya daya saing disebabkan oleh beberapa
faktor penting yang menonjol di antaranya:
a. Tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro.
b. Buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator
dan pusat pelayanan.
30 | P a g e
c. Lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan
peningkatan produktivitas.
d. Rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasional perusahaan.
e. Lemahnya iklim persaingan usaha.
Sementera itu, Institute for Management Development (IMD) juga menempatkan
Indonesia jauh di bawah Singapura dan Malaysia dalam The World Competitiveness Yearbook
yang diterbitkannya, sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:
Peringkat Dunia
No Negara 2012 2013 2014
(59 negara) (60 negara) (60 negara)
1 Singapura 4 5 3
2 Malaysia 14 15 12
3 Indonesia 42 39 37
31 | P a g e
menjaga momentum pembangunan dan melakukan percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi untuk menuju ke arah transformasi ekonomi menjadi negara maju dan berdaya saing.
Oleh sebab itu, peran daerah untuk meningkatkan daya saing daerahnya akan sangat
bergantung kepada kemampuan daerah untuk melakukan identifikasi faktor penentu daya
saing dan strategi untuk meningkatkan daya saingnya.
32 | P a g e
faktor-faktor yang dianggap penting dalam mendorong produktivitas dan daya saing
negara.
Faktor-faktor tersebut tidak dapat berdiri sendiri membentuk daya saing negara tetapi
memiliki keterkaitan dan memperkuat satu dengan yang lainnya. Kelemahan satu faktor
akan berdampak negatif terhadap faktor lainnya. Misalnya kekuatan kemampuan
berinovasi akan sulit dicapai tanpa adanya faktor kesehatan dan pendidikan dan pelatihan
tenaga kerja yang baik akan menyerap teknologi yang mutakhir. Meskipun faktor-faktor
tersebut merupakan satu kesatuan yang membentuk indeks daya saing negara, namun GCI
tetap memberikan penilaian secara detail masing-masing faktor tersebut agar negara dapat
mengetahui faktor mana yang masih perlu dikembangkan.
3. Institute for Management Development (IMD) setiap tahunnya juga menerbitkan The
World Competitiveness Yearbook yang menyajikan hasil pemeringkatan dan analisa atas
kemampuan negara dalam menciptakan dan menjaga kemampuan daya saingnya.
Penyusunan ranking dimulai dengan penghitungan standar nilai untuk setiap masing-
masing kriteria seluruh negara. dengan menggunakan data-data yang tersedia baik data
kuantitatif maupun data kualitatif. Kemudian dibuat ranking negara berdasarkan agregasi
kriteria yang terpilih. Kriteria yang tidak digunakan sebagai dasar penyusunan ranking,
dijadikan sebagai informasi yang dapat menguatkan penilaian ranking. Pemeringkatan
tidak hanya dibuat untuk peringkat negara, tetapi juga peringkat masing-masing kriteria.
Misalnya, kriteria Produk Domestik Bruto, negara yang memiliki standar nilai tertinggi
akan berada pada ranking pertama, sedangkan yang memiliki standar rendah berada pada
ranking terbawah.
33 | P a g e
multivariat. Kemudian skor dihitung dari masing-masing pilar berdasarkan rata-rata
sederhana dari z-score standar dan atau/ indikator yang ditransformasi. Sedangkan sub-
indeks (3 kelompok utama, yaitu dasar, efisiensi dan invoasi) dihitung berdasarkan rata-
rata aritmatika dari skor pilarnya. Keseluruhan skor RCI dihitung dari agregasi tertimbang
ketiga sub indeks tersebut berdasarkan pendekatan WEF-GCI.
34 | P a g e
3. METODE PENELITIAN
Bobot
Data
masing2
Persepsi Variabel
Kuesioner
Data Primer
Peng- Pembobot
Dummy
Indeks an an
variable
Data
Peng-
sekunder
Indeks an
dr BPS
Indeks
Komposit
Daya Saing
Lingkup kajian ini adalah untuk mengetahui faktor dominan yang menguatkan daya
saing daerah. Hubungan antara faktor dominan dengan indeks daya saing daerah akan
menunjukkan seberapa besar pengaruh dari masing-masing faktor dominan terhadap besarnya
35 | P a g e
daya saing daerah. Faktor dominan yang dipilih sebagai fokus analisa adalah faktor-faktor
pembentuk input dan output yang terpilih secara statistika dalam suatu model indeks daya
saing yang dapat menjelaskan hubungan faktor pembentuk input dan output dengan indeks
daya saing yang memberikan kontribusi yang paling besar.
Disamping itu dilakukan analisa terhadap faktor penguat daya saing, dalam hal ini
dipilih sembilan belanja APBD menurut fungsi. Faktor tersebut dipilih dengan pertimbangan
bahwa APBD atau Budget memiliki salah satu fungsi yaitu fungsi alokasi. Keselarasan antara
perencanaan, dideskripsikan dengan bobot prioritas sasaran strategis dalam menghitung
indeks daya saing daerah, dengan diskresi pemerintah daerah dalam mengarahkan sumber
daya yang ada akan terlihat jelas.
Gambar 3.2 Hubungan Belanja Menurut Fungsi Layanan dengan Daya Saing
Belanja Belanja
Fungsi B
Target Fungsi B
Belanja Belanja
Fungsi D Fungsi D
36 | P a g e
3.2. Definisi Operasional Variabel
Variabel ditetapkan dengan mendekatkan pada sasaran strategis dalam membangun
daya saing daerah. Indikator kinerja apa yang dapat merefleksikan sasaran strategis yang ingin
dicapai. Secara konsep, kinerja ditentukan terlebih dahulu lalu kemudian memilih indikator
yang sesuai. Pemilihan indikator memperhatikan ketersediaan data dan pertama-tama
diarahkan pada data kuantitatif (data sekunder) yang ada. Apabila data sekunder tidak
diperoleh maka menggunakan data kualitatif (data primer) dari responden melalui kuesioner
yang disampaikan. Dengan demikian, variabel yang dimaksud dalam kajian atau penelitian
ini adalah indikator kinerja yang mewakili sasaran strategis untuk membangun daya saing
daerah yang menunjukan besarnya kemampuan suatu daerah dalam mencapainya.
Memperhatikan heterogenitas variabel yang dipilih dan digunakan dalam mengukur daya
saing daerah maka variabel tersebut terlebih dahulu harus di-indeks-kan dan kemudian
digabung dengan imbangan (bobot) masing-masing sehingga menghasilkan indeks daya saing
suatu daerah. Bobot disusun secara bertingkat atau gradual. Level pertama merupakan sasaran
strategis, dan level kedua adalah kinerja-kinerja yang menggambarkan masing-masing sasaran
strategis tersebut. Tingkatan tersebut disusun untuk memudahkan keputusan memilih prioritas
dari rangkaian strategi yang ada berdasarkan kemampuan yang dimiliki (kinerja). Analisa
yang demikian disebut Proses Analitis Hirarki (Analytical Hierachy Process) yang sering
dikatakan AHP. Hirarki dari rangkaian sasaran strategis dan kinerja digambarkan dalam bagan
berikut :
37 | P a g e
Tabel 3.1 Hirarki Faktor Input
INPUT
Level I Sasaran Strategis : Mendorong aktivitas perekonomian daerah Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan ketenagakerjaan
Level II Indikator Kinerja a. Mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah a. Meningkatkan pendidikan dan keterampilan penduduk dan
b. Meningkatkan Kapasitas Fiskal Daerah b. tenaga kerja derajat kesehatan penduduk dan tenaga kerja
Meningkatkan
c. Meningkatkan investasi daerah c. Meningkatkan kualitas pendidikan serta kompetensi teknologi
dan keterampilan.
INPUT
Menciptakan lingkungan usaha produktif yang dapat Membangun konektivitas yang terintegrasi antara sistem
menarik minat dunia usaha untuk melakukan kegiatan transportasi, logistik serta komunikasi dan informasi dalam rangka
Level I Sasaran Strategis : usaha (termasuk investasi) membuka akses daerah seluas-luasnya
Level II Indikator Kinerja a. Penyederhanaan dan harmonisasi berbagai a. Ketersediaan infrastruktur transportasi untuk memperlancar arus
peraturan barang, jasa, manusia dan menjadi penghubung yang efisien
antara sumber bahan baku, pusat produksi dan pasar.
Penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu Ketersediaan listrik yang memadai dan menjadi insentif untuk
b. untuk mempercepat dan mempermudah proses b. membangun industri serta memperluas jangkauan pemasaran
c. perijinan dandalam
Kemudahan non perijinan.
proses pembebasan dan dan distribusi.
c. Kemudahan dalam proses pembebasan dan perolehan lahan.
perolehan lahan.
d. Menciptakan keamanan yang terkendali. d. Ketersediaan sarana telekomunikasi untuk memudahkan arus
informasi dengan lebih luas dan cepat
INPUT
Level I Sasaran Strategis Meningkatkan aktivitas Perbankan dan Lembaga
Keuangan
Level II Indikator Kinerja a. Meningkatkan jumlah kantor bank.
b. Meningkatkan jumlah kantor non bank
(perusahaan asuransi, perusahaan dana pensiun,
koperasi, bursa efek/pasar modal, pegadaian
dll).
c. Mendekatkan jenis-jenis usaha perbankan dan
lembaga keuangan dengan kebutuhan
masyarakat.
Tabel 3.1 menunjukan hirarki faktor input yaitu lima sasaran strategis berserta indikator
kinerja yang mendukungnya. Sedangkan pada Tabel 3.2 berikut ini menunjukan output yang
ingin dicapai beserta indikator capaiannya. Prioritas dari suatu daerah akan berbeda dengan
daerah lain tergantung pada kemampuan yang dimilikinya. Pilihan sasaran strategis mana
yang lebih prioritas dibanding yang lain didasarkan atas persepsi dari responden dari
pemerintah daerah.
OUTPUT
Level I OUTPUT : Capaian
Level II Indikator Daya Saing a. Meningkatkan produktivitas tenaga kerja
b. Meningkatkan PDRB perkapita
c. Menurunkan angka kemiskinan
d. Memperluas kesempatan kerja
38 | P a g e
Faktor input pembentuk daya saing daerah dalam kajian ini merupakan variabel yang
merefleksikan kinerja input sesuai dengan sasaran strategisnya. Dalam pengukuran dan
penghitungan indeks daya saing, terlebih dahulu ditentukan sifat (polarisasi) nya, apakah itu
searah/positif atau berlawanan/ negatif. Variabel-variabel dimaksud meliputi :
INPUT
39 | P a g e
No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat
INPUT
teknologi dan
keterampilan
40 | P a g e
No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat
INPUT
41 | P a g e
No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat
INPUT
dengan lebih
luas dan cepat
42 | P a g e
No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat
INPUT
perbankan dan
lembaga
keuangan di
daerah perlu
ditambah?)
OUTPUT
43 | P a g e
No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat
jumlah jumlah
penduduk penduduk
44 | P a g e
3.2.3. Faktor Dominan yang Mempengaruhi Daya Saing Daerah
Faktor dominan yang menguatkan daya saing daerah dalam kajian ini adalah faktor
pembentuk input dan output yang terpilih berdasarkan analisa statistika dalam membangun
model indeks daya saing. Faktor dominan tersebut dapat menjelaskan hubungan indeks daya
saing dengan faktor pembentuknya dan memberikan kontribusi yang paling besar.
3.2.4. Peran Belanja Fungsi APBD sebagai Faktor Penguat Daya Saing Daerah
Pemilihan belanja fungsi APBD sebagai faktor penguat daya saing daerah didasarkan
atas beberapa catatan yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, yaitu catatan Institute
for Management Development (IMD) bahwa rendahnya kondisi daya saing Indonesia,
disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam hal antara lain : buruknya
efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan
keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan
untuk iklim usaha kondusif, lemahnya kordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih
banyak tumpang tindih dan kompleksitas struktur sosialnya. Demikian pula World Economic
Index memberikan catatan bahwa terpuruknya daya saing perekonomian antara lain
disebabkan oleh buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya
sebagai fasilitator dan pusat pelayanan.
Analisa yang dilakukan untuk mengetahui peran belanja fungsi APBD menggunakan
statistik non parameter, yaitu analisa DEA. Analisa ini menilai efisiensi belanja aktual (input)
suatu daerah berdasarkan benchmarking unit atau peers sebagai acuan dalam penetapan target
capaian.
45 | P a g e
(Papua Barat), Kab. Blitar (Jawa Timur), Kab. Gowa (Sulsel), Kab. Tegal (Jateng), dan
Cirebon (Jabar). Kuesioner disampaikan kepada lima pemerintah kab/kota melalui ruang
layanan DJPK lantai 3 Gedung Radius Prawiro.
Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari publikasi Badan Pusat Statistik
(www.bps.go.id), DJPK Kementerian Keuangan (laporan realisasi APBD), dan Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
46 | P a g e
4. PEMBAHASAN
Tahapan pengukuran indeks daya saing terdiri dari, yaitu (1) tahap penghitungan bobot
yang berasal dari data persepsi dari pemerintah daerah terhadap inisiatif strategi penguatan
daya saing daerah; dan (2) tahap standardisasi data dan indeks. Indeks daya saing merupakan
indeks komposit dari indeks faktor input dan indeks faktor output, untuk selanjutnya disebut
indeks input dan indeks output. Dalam hal ini indeks input dan indeks output sama-sama
memberikan kontribusi secara ekual terhadap indeks daya saing.
3
en.wikipedia.org/wiki/Analytic_hierarchy_process
4
Brodjonegoro, Bambang Permadi S dan Bey Sapta Utama, 1992. "AHP : Analytic Hierarchy Process", Pusat
Antar Universitas-Studi Ekonomi, Universitas Indonesia
47 | P a g e
Hasil penghitungan berdasarkan data persepsi dari kuesioner yang telah disampaikan oleh
pemerintah provinsi tersusun dalam tingkatan atau hirarkis berikut ini :
48 | P a g e
Gambar 4.1 Hirarki Prioritas Input
Menguatkan dan
meningkatkan daya
GOAL saing daerah
Sasaran Strategis
(Level Pertama)
Menciptakan lingkungan usaha Membangun konektivitas yang
terintegrasi antara sistem Meningkatkan
Meningkatkan kualitas produktif yang dapat menarik
Mendorong aktivitas transportasi, logistik serta aktivitas Perbankan
sumber daya manusia dan minat dunia usaha untuk
perekonomian daerah komunikasi dan informasi dan Lembaga
ketenagakerjaan melakukan kegiatan usaha
30,29% dalam rangka membuka akses Keuangan
13,29% (termasuk investasi)
daerah seluas-luasnya 32,24%
13,36%
10,82%
Meningkatkan
Pendidikan dan
Meningkatkan keterampilan Meningkatkan
Meningkatkan Meningkatkan Penduduk dan Ketersediaan Meningkatkan
Optimal PAD derajat kualitas Ketersediaan Ketersediaan Meningkatkan Meningkatkan
KpF investasi daerah
42,9% kesehatan Naker pendidikan Infra Transportasi
sarana
listrik yg memadai jumlah Bank
jumlah LK non
jenis usaha bank
35,43% 21,67% telekomunikasi Bank
38,3% 39,4% 22,31% 24,00% 36,34% 41,39% 19,59%
39,66% 39,02%
Kinerja
(Level Kedua)
Kemudahan Menciptakan
Penyederhanaan Penyelenggaraan
dalam proses keamanan yang
dan harmonisasi pelayanan
pembebasan terkendali
berbagai terpadu satu
dan perolehan 17,24%
peraturan pintu
lahan
29,46% 19,39%
33,91%
49 | P a g e
Prioritas sasaran strategis dari faktor input pada tabel 4.1 sebagai berikut :
Tabel 4.1 Prioritas Sasaran Strategis Faktor Input
Pada gambar 4.1 bobot pada level kedua merupakan bobot pada kelompok sasaran
strategis masing-masing. Bobot inilah yang digunakan dalam penghitungan indeks input.
Sedangkan untuk melihat prioritas, perlu dikalikan dengan bobot sasaran strategis-nya terlebih
dahulu. Pada tabel 4.2 prioritas kinerja (level kedua) disajikan secara konsisten dengan sasaran
strategis-nya yang memiliki prioritas pertama yaitu upaya prioritas yang harus dilakukan
adalah meningkatkan jumlah kantor bank. Prioritas kedua adalah mengoptimalkan PAD.
Prioritas kinerja dari 1 s.d. 5 didominasi oleh prioritas sasaran strategis meningkatkan aktivitas
perbankan dan lembaga keuangan serta mendorong aktivitas perekonomian daerah. Prioritas
tersebut menunjukkan bahwa yang terkait dengan akses dan sumber daya pendukung seperti
sumber daya manusia menjadi terlihat relatif kurang penting. Pada sub bab analisa berikutnya
dapat dilihat permasalahan tersebut, yaitu pada indeks input dan output yang rendah sebelum
dikalikan bobot sebagai prioritas kebijakan.
50 | P a g e
Tabel 4.2 Prioritas Kinerja Faktor Input
Sasaran strategis faktor output tidak di-breakdown lebih lanjut, dengan demikian AHP
yang dilakukan hanyalah satu tingkat saja. Prioritas sasaran strategis faktor output disajikan
pada tabel 4.3 berikut ini :
Menurunkan angka kemiskinan merupakan prioritas utama yang disusul kemudian dengan
meningkatkan PDRB perkapita. Prioritas sasaran strategis tidak terlalu bervariasi, dengan kata
lain responden tidak terlalu berbeda pendapat terhadap penting-nya sasaran strategis tersebut.
51 | P a g e
4.1.2. Standardisasi Data dan Indeks
Melakukan standardisasi data dengan : (1) melakukan konversi dengan Method of
Succesive Interval (MSI) yaitu mengubah data ordinal dalam hal ini data isian kuesioner yang
menggunakan skala Likert. Data ordinal merupakan data diskret, sedangkan untuk
menghitung indeks daya saing maka data ordinal tersebut diubah menjadi data interval yang
merupakan data kontinyu; (2) menetapkan data mana yang sifat /polarisasi-nya berlawanan
(inverse) dalam penghitungan atau pengukuran indeks input dan output. Variabel atau data
yang bersifat tersebut adalah : Angka Kematian Bayi (AKB), jumlah kejahatan (Crime Total),
persentase jumlah penduduk miskin, dan persentase tingkat pengangguran terbuka (TPT).
Langkah kedua adalah melakukan indeks dari masing-masing data, yaitu dengan
membagi data pemerintah daerah yang bersangkutan dengan rata-rata seluruh data pada
variabel berkenaan. Tujuan melakukan indeks agar data bersifat homogen sebelum dilakukan
penghitungan karena data tersebut sebelumnya memiliki satuan yang berbeda-beda. Rumusan
indeks daya saing suatu daerah bila dinotasikan secara matematis sebagai berikut :
Keterangan :
Ids : Indeks Daya Saing.
Iin : Indeks input.
Iout : Indeks output.
Iin1 dan Iint : Indeks input dari variabel 1 dst.
Iout1 dan Ioutt : Indeks output dari variabel 1 dst.
α, β, ε, δ : Bobot
4.2. Analisis
Setelah memperoleh indeks input, indeks output, dan indeks daya saing maka perlu
dilakukan analisa untuk menginterpretasikan hasil. Analisa yang dilakukan pertama kali
adalah analisa deskriptif terhadap indeks input dan indeks output. Analisa deskriptif bertujuan
memberikan gambaran dispersi atau sebaran indeks yang menggunakan ukuran rata-rata
(mean), standar deviasi, koefisien variasi, dan indeks yang terkecil maupun yang tebesar.
Indeks input dan output berjumlah 30 (tiga puluh), namun terdapat satu indeks yang tidak
diikutkan dalam analisa ini meskipun tetap diperhitungkan dalam perhitungan indeks daya
saing. Indeks tersebut adalah indeks ketersediaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
52 | P a g e
Indeks ketersediaan PTSP tidak valid karena 13 pemerintah provinsi yang menjadi sample
menjawab yang sama (homogen) yaitu semuanya telah menyediakan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP).
Setelah melakukan analisa deskriptif, dilanjutkan dengan analisa klaster dari indeks
input dan indeks output. Analisa ini bertujuan :
1. Mengetahui keunggulan kompetitif dari masing-masing pemerintah provinsi sehingga
dapat memberikan profiling faktor mana yang memberikan kontribusi dominan atau
signifikan dalam membentuk daya saing daerah bersangkutan.
2. Melakukan penggalian mendalam terhadap kelemahan keseluruhan daya saing pemerintah
daerah yang tergambar dari indeks input dan output yang rendah.
Bagian terakhir dari bab pembahasan ini memasukkan realisasi belanja APBD tahun
2012 menurut fungsi dari tiga belas pemerintah provinsi dalam analisa. Analisa yang
dilakukan adalah DEA (Data Envelopment Analysis) yang bertujuan melakukan minimisasi
input (realisasi belanja) dikaitkan dengan output (indeks daya saing). Hal demikian bertujuan
untuk memberikan rekomendasi dan saran yang nyata bahwa APBD sebagai instrumen fiskal
daerah memiliki fungsi alokasi yang menjadi penentu untuk mencapai dan menguatkan daya
saing daerah.
53 | P a g e
Tabel 4.4 Indeks Input, Indeks Output, dan Indeks Daya Saing
Gambar 4.2 Ukuran Dispersi Indeks Input, Indeks Output, dan Indeks Daya Saing
1,450
0,250
dan Koef Variasi
1,400
Standar Deviasi
0,200
1,350
Rata-Rata
1,300 0,150
1,250
0,100
1,200
0,050
1,150
1,100 -
Indeks Input Indeks Output Indeks DayaSaing
Meskipun Rata-Rata Indeks Input lebih besar namun standar deviasi nya lebih rendah
bila dibanding indeks output yang memiliki standar deviasi terbesar sehingga Indeks output
memiliki koefisien variasi tertinggi diantara ketiga indeks tersebut. Konsentrasi jumlah daerah
54 | P a g e
yang memiliki indeks tertentu juga dapat dilihat dengan grafik histogram yang membagi
empat bin range (nilai tertinggi pada kelas masing-masing) pada gambar 4.3.
Histogram Indeks Input Histogram Indeks Output Histogram Indeks Daya Saing
6 10 8
5 8
6
Frequency
Frequency
Frequency
6
3 4
4
2 Frequency Frequency
2 2 Frequency
1
0 0 0
1,25 1,5 1,75 2 1,25 1,5 1,75 2 1,25 1,5 1,75 2
Bin Range Bin Range Bin Range
Jumlah daerah yang memiliki Indeks Input terbanyak yaitu pada bin range 1,5 sebesar
5 daerah, sedangkan jumlah daerah yang memiliki Indeks Output terbanyak pada bin range
1,25 yaitu 9 daerah. Pada Indeks Daya Saing, jumlah daerah yang terbanyak adalah pada bin
range 1,25 sebanyak 7 daerah. Namun terlihat ketimpangan terjadi pada Indeks Output yaitu
hampir 70% pemerintah provinsi yang menjadi sampel memiliki Indeks Output pada bin
range 1,25, sedangkan sisanya (30%) ada pada bin range 1,75. Upaya peningkatan kinerja
Faktor Output pembentuk daya saing harus lebih dipacu.
Sejalan dengan analisa tersbut, ternyata hanya dua provinsi yang memiliki Indeks
Output yang lebih besar dibanding Indeks Input-nya, sedangkan sebelas provinsi lainnya
memiliki Indeks Input lebih besar terhadap Indeks Output-nya. Dua provinsi tersebut adalah
Provinsi Bali dan Provinsi Bangka Belitung. Indeks Daya saing pada Provinsi Bali dan
Provinsi Bangka Belitung lebih besar dibanding Indeks Input-nya sebagaimana terlihat pada
Gambar 4.4 Grafik Radar.
55 | P a g e
Gambar 4.4 Grafik Radar Indeks 13 Provinsi
Sumatera Utara
Indeks Output
Provinsi
Indeks DayaSaing
Provinsi Papua
Provinsi Riau
2,000
Barat
Sulawesi Barat
Provinsi Jambi
1,500
Provinsi
1,000
Provinsi Bangka
0,500
Belitung
Sulawesi
Provinsi
Selatan
-
Provinsi Bali
Bengkulu
Provinsi
Provinsi Jawa
Provinsi Jawa
Timur
Barat
Provinsi Banten
Provinsi Jawa
Tengah
Untuk melihat posisi masing-masing pemerintah provinsi bila dilihat secara dua
dimensi yaitu Indeks Input dan Indeks Output, digunakan diagram Cartesius. Pada dasarnya
membagi daerah ke dalam kuadran berdasarkan angka rata-rata dari sumbu x dan sumbu y,
dalam hal ini Indeks Input dan Indeks Output.
Analisa ini meninjau Indeks Input dan Indeks Output yang dimiliki, apakah indeks
tersebut berada di atas atau di bawah rata-rata nya. Terlihat bahwa daerah paling banyak
berada pada kuadran 2 (searah jarum jam). Kuadran 2 adalah daerah yang memiliki Indeks
Input di atas rata-rata namun Indeks Outputnya berada di bawah rata-rata. Sedangkan daerah
yang memiliki kinerja yang paling bagus berdasarkan analisa ini adalah Provinsi Bali dan
Provinsi Bangka Belitung yaitu memiliki Indeks Input dan Indeks Output di atas rata-rata dan
berada pada kuadran 1.
56 | P a g e
Gambar 4.5 Diagram Cartesius Posisi Pemerintah Provinsi ditinjau dari Indeks Input
dan Indeks Output-nya
4 1
3 2
Sekali lagi analisa deskriptif menemukan bahwa banyak daerah yang masih memiliki
kinerja relatif rendah pada faktor output pembentuk daya saing, dengan demikian perlu fokus
perbaikan pada sisi ini. Disamping itu perlu pula perhatian pada daerah yang berada di kuadran
3, yaitu daerah yang memiliki Indeks Input dan Indeks Output di bawah rata-rata. Daerah yang
masuk kuadran 3 ini, meliputi : Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jambi,
Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Bengkulu.
57 | P a g e
indikator tersebut dimasukkan dalam permodelan indeks daya saing secara bertahap. Tahapan
tersebut dilakukan hingga mencapai model fit yang terbaik, hasilnya sebagaimana ditunjukkan
pada Tabel 4.5 sebagai berikut :
58 | P a g e
Terlihat bahwa dari 30 indikator tersebut hanya terpilih empat indikator sebagai
variabel independen membangun indeks daya saing sebagai variabel dependen. Untuk
mengetahui variabel apa yang dominan mempengaruhi indeks daya saing dalam permodelan
tersebut maka langkah selanjutnya adalah menghitung besaran korelasi dari keempat variabel
tersebut terhadap indeks daya saing (ids), hasilnya pada Tabel 4.6 berikut ini :
Tabel 4.6 Korelasi Pearson dari Indikator/ Variabel dalam Permodelan Indeks Daya
Saing
Model yang memberikan model fit yang paling besar adalah model ke-empat ditandai
dengan R Square sebesar 0.975. Angka tersebut merupakan kontribusi bersama dari empat
variabel atau indikator dalam menjelaskan variasi y. Untuk mengetahui variabel yang
59 | P a g e
dominan, maka perlu mengetahui kontribusi dari masing-masing variabel/ indikator tersebut
masing-masing, sebagai berikut :
Tabel 4.7 Kontribusi Indikator/ Variabel dalam Permodelan Indeks Daya Saing
Variabel/ indikator kinerja yang dominan adalah variabel PDRB per kapita. Variabel
tersebut menyumbang angka 0.4383 dari angka R Square sebesar 0.9745 pada pembentukan
permodelan daya saing. Angka tersebut merupakan angka terbesar. Dengan demikian
indikator/ variabel/ faktor pembentuk daya saing yang dominan adalah PDRB per kapita.
60 | P a g e
Gambar 4.6 Profil 13 Pemerintah Provinsi Sampel
0
0 5 10 15 20 25 30 35
1 1 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 1
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
2 3 3 1 3 1 2 3 1 3 2 2 1 2 1
Tingkat kinerja Pemerintah Provinsi Sumatera Utara didominasi pada tahap sedang
dan hanya lima kinerja saja yang telah mencapai tingkat yang tinggi. Kinerja PAD/PDRB
rendah dan kapasitas fikal yang dimiliki belum dapat digunakan secara optimal dalam
membentuk PDRB dan meningkatkan investasi.
Provinsi Riau
3
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Provinsi Riau
61 | P a g e
Provinsi Riau
PAD/PDRB KPF/PDRB InvestPDRB APS07 APS13 APS16 APS19 SD SMP AHH AKB Air Jamban GuruS1
1 3 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 2 2
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
1 3 3 1 3 1 2 3 3 3 3 3 2 1 2
Provinsi Jambi
3
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Provinsi Jambi
Provinsi Jambi
PAD/PDRB KPF/PDRB InvestPDRB APS07 APS13 APS16 APS19 SD SMP AHH AKB Air Jamban GuruS1
1 1 1 2 2 1 1 2 2 1 1 2 2 2
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
1 3 3 2 3 3 2 3 1 1 1 1 2 1 2
Pemerintah Provinsi Jambi memiliki kinerja rendah dan sedang yang hampir
berimbang. Tingkat kinerja tinggi pada upaya harmonisasi peraturan, penyediaan lahan
industri terpadu, penyediaan sarana transportasi, listrik, dan layanan bank. Sedangkan seluruh
kinerja output tingkat rendah-sedang.
62 | P a g e
Provinsi Bangka Belitung
3
0
0 5 10 15 20 25 30 35
1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 3 3 1 2
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
1 3 3 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2
Provinsi Bengkulu
3
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Provinsi Bengkulu
63 | P a g e
Provinsi Bengkulu
PAD/PDRB KPF/PDRB InvestPDRB APS07 APS13 APS16 APS19 SD SMP AHH AKB Air Jamban GuruS1
2 1 1 2 2 2 2 3 2 2 1 2 3 1
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
1 1 1 1 3 1 2 3 3 3 1 1 1 2 2
0
0 5 10 15 20 25 30 35
1 2 2 2 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
1 3 3 1 1 3 2 3 1 3 1 1 1 1 1
Tingkat kinerja input dan output pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat didominasi oleh
tingkat kinerja rendah dan sedang. Kinerja mendorong aktiitas perekonomian daerah berada
pada tingkat sedang dan kinerja penciptaan lingkungan produktif sudah relatif tinggi, namun
kinerja output masih berada pada tingkatan rendah. Perlu upaya untuk meningkatkan kinerja
tersebut agar perkembangan ekonomi dapat mendorong kesejahteraan masyarakat.
64 | P a g e
Provinsi Banten
3
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Provinsi Banten
Provinsi Banten
PAD/PDRB KPF/PDRB InvestPDRB APS07 APS13 APS16 APS19 SD SMP AHH AKB Air Jamban GuruS1
2 1 1 2 2 1 1 2 2 1 2 1 1 2
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
1 3 3 1 3 3 2 1 1 1 1 1 2 1 1
Tingkat capaian kinerja Provinsi Banten didominasi pada tingkat rendah. Pemerintah
Provinsi Banten sebaiknya dapat memberikan penekanan pada kinerja input mendorong
aktivitas perekonomian daerah dan meningkatkan kualitas SDM agar dapat meningkatkan
kinerja output yang masih rendah. Upaya penciptaan lingkungan produktif dan konektivitas
telah menunjukkan arah yang menggembirakan.
0
0 5 10 15 20 25 30 35
65 | P a g e
Provinsi Jawa Tengah
PAD/PDRB KPF/PDRB InvestPDRB APS07 APS13 APS16 APS19 SD SMP AHH AKB Air Jamban GuruS1
1 1 2 2 2 1 1 2 2 1 2 1 2 3
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
1 1 1 2 3 1 2 3 3 3 1 1 1 2 1
Provinsi Jawa Tengah memiliki kinerja mendorong perekonomian daerah yang rendah
meskipun investasi-nya sudah mencapai tingkat sedang, hal ini juga ditemukan pada kinerja
meningkatkan kualitas SDM yang juga rendah. Untuk lebih mendorong investasi agar
berpengaruh pada perekonomian maka perlu upaya menciptakan lingkungan yang produktif,
melalui harmonisasi peraturan dan penyediaan lahan untuk industri terpadu.
0
0 5 10 15 20 25 30 35
1 2 3 2 2 1 1 2 2 1 2 1 2 2
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
1 1 1 1 1 3 2 1 1 3 2 2 1 2 2
Pemerintah Provinsi Jawa Timur memiliki kinerja yang rendah-sedang. Kinerja yang
perlu ditingkatkan adalah kinerja output-nya yaitu : kinerja PDRB perkapita, dan invMiskin.
Perlu ada upaya peningkatan keberpihakan pada kaum miskin. PDRB hendaknya meningkat
terutama pada sektor yang dapat menyerap lapangan kerja besar, perlu memanfaatkan
momentum kinerja Investasi yang tinggi.
66 | P a g e
Provinsi Bali
3
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Provinsi Bali
Provinsi Bali
PAD/PDRB KPF/PDRB InvestPDRB APS07 APS13 APS16 APS19 SD SMP AHH AKB Air Jamban GuruS1
2 1 1 3 3 3 2 2 3 3 2 1 2 2
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
1 1 1 1 3 3 3 3 1 3 1 1 3 3 2
Kinerja Pemerintah Provinsi Bali, lebih didominasi oleh tingkatan kinerja rendah dan
tinggi. Kinerja meningkatkan kualitas SDM-nya didominasi kinerja sedang-tinggi dan hal
yang sama juga telah dicapai kinerja membangun konektivitas. Kinerja mendorong aktivitas
perekonomian daerah menjadi perhatian utama agar sejalan dengan kinerja output yang tinggi,
yaitu melalui upaya menciptakan lingkungan produktif.
0
0 5 10 15 20 25 30 35
67 | P a g e
Provinsi Sulawesi Selatan
PAD/PDRB KPF/PDRB InvestPDRB APS07 APS13 APS16 APS19 SD SMP AHH AKB Air Jamban GuruS1
1 1 2 2 1 1 3 2 1 1 1 1 2 2
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
1 3 3 1 3 3 1 3 3 3 1 1 1 1 1
Kinerja Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan masih dominan berada pada tingkat
yang rendah, terutama pada kinerja mendorong aktivitas perekonomian daerah. Hal ini
berbanding terbalik dengan kinerja menciptakan lingkungan produktif dan membangun
konektivitas yang didominasi indeks yang tinggi. Apabila upaya mendorong aktivitas
perekonomian daerah dapat ditingkatkan maka dua kinerja yang tinggi tersebut dapat memacu
kinerja pencapaian PDRB perkapita yang tinggi serta menyerap lapangan kerja yang besar
pula, dengan demikian tingkat pengangguran dapat turun.
0
0 5 10 15 20 25 30 35
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
2 1 3 3 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 3
Provinsi Sulawesi Barat sebagian besar kinerja-nya berada pada tingkat rendah.
Terdapat beberapa kinerja rendah yang perlu ditingkatkan terutama pada upaya mendorong
aktivitas perekonomian daerah dan meningkatkan kualitas SDM. Penyediaan lahan terpadu
untuk industri dan pengurangan pengangguran yang sudah baik menjadi langkah awal untuk
memperbaiki kinerja yang lain.
68 | P a g e
Provinsi Papua Barat
3
0
0 5 10 15 20 25 30 35
1 1 1 1 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1
RasGuruMrd Harmoni Lahan InvKrim Trans Listrik Telkom Bank LK JenisLay Produktivitas PDRBperkap InvMiskin U15kerja InvTPT
3 3 3 2 1 3 2 3 1 3 1 1 1 1 1
Sebagian besar kinerja Provinsi Papua dalam rangka meningkatkan daya saing masih
berada pada tingkat yang rendah yaitu upaya mendorong aktivitas perekonomian daerah dan
Output. Beberapa kinerja input lainnya memiliki indeks tinggi antara lain harmonisasi
peraturan dan penyediaan lahan untuk industri terpadu. Perlu upaya mengarahkan APBD
sebagai instrumen fiskal yang mendorong perekonomian daerah, meningkatkan kualitas, serta
mendorong kinerja output.
Pada akhir analisa klaster ini akan disampaikan kinerja/ faktor pembentuk input dan
output yang masih rendah secara keseluruhan. Kinerja input dan output yang rendah menjadi
permasalahan yang perlu kiranya untuk diperbaiki guna meningkatkan daya saing pemerintah
daerah. Gambar 4.6 kinerja input dan output disajikan berdasarkan 13 pemerintah provinsi
sampel masing-masing, sedangkan pada gambar 4.7 di bawah ini berupa histogram yang
menunjukkan keterjadian kinerja rendah pada kinerja input dan output yang diurut dari besar
ke kecil (pareto analysis)5.
5
dikembangkan pertama kali oleh Ekonom Italia, Vilfredo Pareto (1848-1923) yang mengamati bahwa
kekayaan di Milan dimiliki oleh hanya 15persen dari penduduknya
69 | P a g e
Gambar 4.7 Diagram Pareto Kinerja Input dan Output Rendah
11 100.00
Pareto Diagram Indeks Daya Saing Daerah
10 90.00
9
80.00
8
70.00
7
60.00
6
50.00
5
40.00
4 Count
30.00 Cumulative %
3
20.00
2
1 10.00
0 -
Indeks RasGuruMrd Rendah
Indeks PAD terhadap PDRB, Indeks Kapasitas Fiskal terhadap PDRB, dan Indeks
Rasio Guru terhadap Murid rendah merupakan permasalahan yang banyak terjadi pada tiga
belas pemerintah provinsi yang menjadi sampel. Kemudian diikuti oleh APS 19-24 tahun,
ketersediaan Lembaga Keuangan non Bank, produktivitas, dan PDRB perkapita. Prinsip 80/20
yaitu 80% dari permasalahan disumbang dari 20% dari kinerja yang ada tidak dipenuhi.
Delapan puluh persen permasalahan berasal dari 18 kinerja input dan output (lebih dari 60%-
nya). Identifikasi permasalahan ini menjadi fokus perhatian daerah dan pemerintah pusat agar
bersama-sama mengatasinya sesuai kewenangan yang dimiliki.
70 | P a g e
output tersebut tidak mungkin dilakukan (L.D Pertiwi, 2007). Yang dimaksud dengan efisiensi
adalah perbandingan antara output dan input. DEA mengukur efisiensi relatif diantara DMU
dhi. 13 sampel pemerintah daerah. Diantara DMU tersebut akan ditentukan yang mana sebagai
benchmark (acuan) efisiensi, dan dinyatakan besarannya sebesar 100%. DMU lainnya akan
dilakukan peer berdasarkan data atau kondisi yang dimiliki terhadap data/ kondisi yang
dimiliki benchmark. Pengukuran efisiensi berdasarkan DEA terdiri dari dua macam (Charnes,
Cooper, dan Rhodes, 1978), yaitu :
1. berorientasi input : dimana melakukan minimize dari penggunaan input, sementara output
dikonstan-kan menghasilkan efisiensi teknis biaya;
2. berorientasi output : dimana melakukan maximize pada output, sementara input dikonstan-
kan menghasilkan efisiensi teknis sistem.
DEA dalam kajian ini menentukan benchmark, peer suatu daerah terhadap daerah lain
melalui proses iterasi. Pengukuran efisiensi yang digunakan dalam analisa ini adalah
minimisasi input dengan variabel returns to scale. Data realisasi belanja APBD menurut
fungsi adalah data persentase belanja suatu fungsi terhadap total belanja. Ids merupakan
Indeks Daya Saing, dan kolom setelahnya merupakan proporsi sembilan belanja fungsi
terhadap total belanja APBD masing-masing daerah. Fungsi layanan dimaksud meliputi
fungsi-fungsi sebagai berikut :
1. Pelayanan Umum.
2. Ketertiban dan Ketentraman.
3. Ekonomi.
4. Lingkungan Hidup.
5. Perumahan dan Fasilitas Umum.
6. Kesehatan.
7. Pariwisata dan Budaya.
8. Pendidikan.
9. Perlindungan Sosial.
Belanja fungsi tersebut merupakan penguat daya saing. Semakin besar dimanfaatkan
maka akan makin meningkat pula kemampuan daya saing suatu daerah. Basis data yang
digunakan adalah tahun 2012, dengan rincian tertera pada Tabel 4.8 pada halaman berikut.
Dari proporsi sembilan belanja fungsi yang akan dianalisa, yang memiliki dispersi dan
rentang (range) terbesar adalah belanja fungsi kesehatan, yang kemudian diikuti belanja
fungsi layanan umum, dan belanja fungsi perumahan fasilitas umum.
71 | P a g e
Tabel 4.8 Indeks Daya Saing dan %Realisasi Belanja Fungsi terhadap Total Belanja
Layum/ Tramtib/ Ekon/ Rmhfasum Kshatan/ Parbud/ Pdidik/ Linsos/
No Provinsi Ids LH/Belanja
Belanja Belanja Belanja / Belanja Belanja Belanja Belanja Belanja
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1 Provinsi Sumatera Utara 1.29 31.30 1.03 7.42 3.10 13.93 9.92 1.15 30.86 1.30
2 Provinsi Riau 1.71 33.98 1.00 9.02 2.45 19.43 6.99 0.71 24.90 1.50
3 Provinsi Jambi 1.30 26.87 1.03 9.91 1.62 21.14 8.64 0.58 28.40 1.81
4 Provinsi Bangka Belitung 1.39 34.24 1.19 10.30 3.34 17.09 9.63 1.06 21.39 1.76
5 Provinsi Bengkulu 1.23 33.09 1.00 9.78 1.24 12.12 10.44 0.50 29.86 1.97
6 Provinsi Jawa Barat 1.34 21.13 0.75 6.21 2.03 13.18 12.13 0.41 42.98 1.17
7 Provinsi Banten 1.25 39.43 0.79 4.43 3.15 14.42 9.77 0.29 26.48 1.24
8 Provinsi Jawa Tengah 1.23 30.85 0.62 6.81 1.36 9.10 11.12 0.48 38.44 1.21
9 Provinsi Jawa Timur 1.34 31.86 0.80 7.54 1.93 10.19 12.28 0.48 33.67 1.24
10 Provinsi Bali 1.63 22.59 1.35 8.31 1.63 9.90 12.57 1.02 40.85 1.76
11 Provinsi Sulawesi Selatan 1.26 24.04 0.98 8.81 2.02 8.72 11.34 0.44 42.18 1.46
12 Provinsi Sulawesi Barat 1.15 31.38 1.27 11.44 2.03 9.01 8.69 0.66 33.66 1.86
13 Provinsi Papua Barat 1.21 48.18 1.33 11.81 1.13 17.07 6.37 0.69 11.17 2.26
Min 1.15 21.13 0.62 4.43 1.13 8.72 6.37 0.29 11.17 1.17
Max 1.71 48.18 1.35 11.81 3.34 21.14 12.57 1.15 42.98 2.26
Stdev 0.16 7.20 0.23 2.11 0.73 4.17 1.95 0.27 9.07 0.35
Tujuan analisa ini adalah bagaimana suatu daerah mengarahkan belanja daerah-nya
dalam bentuk persentase terhadap total belanja dengan mengacu pada daerah lain yang
ditentukan sebagai acuan dengan memperhatikan indeks daya saing output. Angka yang
berasal dari daerah acuan menjadi target bagi daerah tersebut. Analisa DEA yang digunakan
adalah orientasi input yang bertujuan untuk minimisasi, sehingga untuk variabel yang
memiliki nilai minus (-) di depan label variabel maka ACHIEVED berarti capaian yang
merupakan persentase target terhadap aktual, sedangkan untuk variabel yang memiliki nilai
plus (+) di depan label variabel-nya maka ACHIEVED berarti capaian yang merupakan
persentase aktual terhadap target. TO GAIN merupakan 100-ACHIEVED. Analisa efisiensi
terhadap pemerintah provinsi sampel akan menghasilkan angka efisiensi melebihi 100%,
maksudnya terdapat belanja fungsi sebagai input yang harus ditambah dan bukan
diminimisasi, selain itu pula karena tingkat efisiensi movement yang digunakan adalah radial,
maksudnya adalah mengupayakan input konstan namun output meningkat. Karena total
persentase belanja fungsi terhadap belanja adalah 100%, dengan demikian kenaikan
persentase terhadap suatu belanja fungsi akan menyebabkan penurunan persentase belanja
fungsi lain, begitupun sebaliknya. Perubahan komponen input (mengikuti target)
mengakibatkan beberapa daerah diarahkan untuk menaikkan Indeks Daya Saing-nya sebagai
output. Berikut ini disajikan hasil DEA dari tiga belas provinsi sampel.
72 | P a g e
Tabel 4.9 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sumatera
Utara
Pada tabel 4.9 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi
Sumatera Utara, 6 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Riau, Provinsi Jawa Barat,
Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Sulawesi Selatan.
Provinsi yang menjadi acuan utama (ditunjukkan dengan lambda yang besar) yaitu Provinsi
Jawa Timur dan Provinsi Riau.
Tabel 4.10 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi
Sumatera Utara
73 | P a g e
-PARBUD 1.1 0.5 53.8% 46.2%
-PENDIDIKAN 30.9 31.4 -1.7% 101.7%
-LINSOS 1.3 1.3 -1.7% 101.7%
+IDS 1.3 1.5 13.0% 88.5%
Target efisiensi pada tabel 4.10 yaitu Provinsi Sumatera Utara sebesar 101,7% atau
terdapat kenaikan persentase belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu peningkatan % belanja
fungsi layanan umum dari 31,3% menjadi 31,8%; (2) pengurangan % belanja fungsi
Ketentraman dan Ketertiban dari 1,0% menjadi 0,9%; (3) peningkatan % belanja fungsi
ekonomi dari 7,4% menjadi 7,5%; (4) pengurangan % belanja fungsi Lingkungan Hidup dari
3,1% menjadi 2,2%; (5) peningkatan % belanja fungsi perumahan dan fasum dari 13,9%
menjadi 14,2%; (6) peningkatan % belanja fungsi kesehatan dari 9,9% menjadi 10,1%;
(7) penurunan % belanja fungsi pariwisata dan budaya dari 1,1% menjadi 0,5%;
(8) peningkatan % belanja fungsi pendidikan dari 30,9% menjadi 31,4%; (9) peningkatan %
belanja fungsi perlindungan sosial ; dan (10) mengupayakan agar indeks daya saing meningkat
dari 1,3 menjadi 1,5.
Tabel 4.11 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bangka
Belitung
Peers for Unit Babel efficiency 105.39% radial
Peers 1 to 4 out of 5 for target Babel
Babel Sumut Riau Jambi Bali
ACTUAL LAMBDA 0.065 0.247 0.265 0.072
34.2 -LAYUM 2.0 8.4 7.1 1.6
1.2 -TRAMTIB 0.1 0.2 0.3 0.1
10.3 -EKON 0.5 2.2 2.6 0.6
3.3 -LH 0.2 0.6 0.4 0.1
17.1 -RMHFASUM 0.9 4.8 5.6 0.7
9.6 -KESEHATAN 0.6 1.7 2.3 0.9
1.1 -PARBUD 0.1 0.2 0.2 0.1
21.4 -PENDIDIKAN 2.0 6.1 7.5 2.9
1.8 -LINSOS 0.1 0.4 0.5 0.1
1.4 +IDS 0.1 0.4 0.3 0.1
Peer 5 out of 5 for target Babel
Babel Pabar
ACTUAL LAMBDA 0.351
34.2 -LAYUM 16.9
1.2 -TRAMTIB 0.5
10.3 -EKON 4.1
3.3 -LH 0.4
17.1 -RMHFASUM 6.0
9.6 -KESEHATAN 2.2
1.1 -PARBUD 0.2
21.4 -PENDIDIKAN 3.9
1.8 -LINSOS 0.8
1.4 +IDS 0.4
74 | P a g e
Tabel 4.11 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi Bangka
Belitung, 5 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau,
Provinsi Jambi, Provinsi Bali, dan Provinsi Papua Barat. Dua provinsi yang menjadi acuan
utama (ditunjukkan dengan lambda yang besar) yaitu Provinsi Papua Barat dan Provinsi
Jambi.
Tabel 4.12 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi
Bangka Belitung
Target efisiensi Provinsi Bangka Belitung sebesar 105,39% atau terdapat kenaikan
persentase belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu peningkatan % belanja fungsi layanan
umum dari 34,2% menjadi 36,1%; (2) pengurangan % belanja fungsi Ketentraman dan
Ketertiban; (3) pengurangan % belanja fungsi ekonomi dari 10,3% menjadi 10,1%;
(4) pengurangan % belanja fungsi Lingkungan Hidup dari 3,3% menjadi 1,7%;
(5) peningkatan % belanja fungsi perumahan dan fasum dari 17,1% menjadi 18%;
(6) penurunan % belanja fungsi kesehatan dari 9,6% menjadi 7,8%; (7) penurunan % belanja
fungsi pariwisata dan budaya dari 1,1% menjadi 0,7%; (8) peningkatan % belanja fungsi
pendidikan dari 21,4% menjadi 22,5%; dan (9) peningkatan % belanja fungsi perlindungan
sosial dari 1,8% menjadi 1,9%.
Tabel 4.13 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bengkulu
Peers for Unit Bengkulu efficiency 106.15% radial
Bengkulu Banten Jateng Jatim Pabar
ACTUAL LAMBDA 0.002 0.740 0.014 0.244
33.1 -LAYUM 0.1 22.8 0.4 11.7
1.0 -TRAMTIB 0.0 0.5 0.0 0.3
9.8 -EKON 0.0 5.0 0.1 2.9
1.2 -LH 0.0 1.0 0.0 0.3
12.1 -RMHFASUM 0.0 6.7 0.1 4.2
10.4 -KESEHATAN 0.0 8.2 0.2 1.6
0.5 -PARBUD 0.0 0.4 0.0 0.2
29.9 -PENDIDIKAN 0.1 28.4 0.5 2.7
75 | P a g e
2.0 -LINSOS 0.0 0.9 0.0 0.6
1.2 +IDS 0.0 0.9 0.0 0.3
Tabel 4.13 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi
Bengkulu, 4 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah,
Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Papua Barat. Provinsi yang menjadi acuan utama
(ditunjukkan dengan lambda yang besar) yaitu Provinsi Jawa Tengah.
Tabel 4.14 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi
Bengkulu
Target efisiensi Provinsi Bengkulu sebesar 106,15% atau terdapat kenaikan persentase
belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu peningkatan % belanja fungsi layanan umum dari
33,1% menjadi 35,1%; (2) pengurangan % belanja fungsi Ketentraman dan Ketertiban dari
1% menjadi 0,8%; (3) pengurangan % belanja fungsi ekonomi dari 9,8% menjadi 8,0%;
(4) peningkatan % belanja fungsi Lingkungan Hidup dari 1,2% menjadi 1,3%; (5) penurunan
% belanja fungsi perumahan dan fasum dari 12,1% menjadi 11,1%; (6) penurunan % belanja
fungsi kesehatan dari 10,4% menjadi 10,0%; (7) peningkatan % belanja fungsi pariwisata dan
budaya; (8) peningkatan % belanja fungsi pendidikan dari 29,9% menjadi 31,7%; dan
(9) penurunan % belanja fungsi perlindungan sosial dari 2,0% menjadi 1,5%.
76 | P a g e
Tabel 4.15 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Timur
Peers for Unit Jatim efficiency 109.07% radial
Peers 1 to 4 out of 5 for target Jatim
Jatim Riau Banten Jateng Bali
ACTUAL LAMBDA 0.194 0.018 0.476 0.026
31.9 -LAYUM 6.6 0.7 14.7 0.6
0.8 -TRAMTIB 0.2 0.0 0.3 0.0
7.5 -EKON 1.8 0.1 3.2 0.2
1.9 -LH 0.5 0.1 0.6 0.0
10.2 -RMHFASUM 3.8 0.3 4.3 0.3
12.3 -KESEHATAN 1.4 0.2 5.3 0.3
0.5 -PARBUD 0.1 0.0 0.2 0.0
33.7 -PENDIDIKAN 4.8 0.5 18.3 1.0
1.2 -LINSOS 0.3 0.0 0.6 0.0
1.3 +IDS 0.3 0.0 0.6 0.0
Peer 5 out of 5 for target Jatim
Jatim Sulsel
ACTUAL LAMBDA 0.286
31.9 -LAYUM 6.9
0.8 -TRAMTIB 0.3
7.5 -EKON 2.5
1.9 -LH 0.6
10.2 -RMHFASUM 2.5
12.3 -KESEHATAN 3.2
0.5 -PARBUD 0.1
33.7 -PENDIDIKAN 12.1
1.2 -LINSOS 0.4
1.3 +IDS 0.4
Tabel 4.15 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi Jawa
Timur, 5 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi
Bali, dan Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi yang menjadi acuan utama (ditunjukkan dengan
lambda yang besar) yaitu Provinsi Jateng dan Provinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 4.16 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa
Timur
77 | P a g e
Target efisiensi Provinsi Jawa Timur sebesar 109,07% atau terdapat kenaikan
persentase belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu penurunan% belanja fungsi layanan
umum dari 31,9% menjadi 29,5%; (2) peningkatan % belanja fungsi Ketentraman dan
Ketertiban; (3) peningkatan % belanja fungsi ekonomi dari 7,5% menjadi 7,8%; (4) penurunan
% belanja fungsi Lingkungan Hidup dari 1,9% menjadi 1,8%; (5) peningkatan % belanja
fungsi perumahan dan fasum dari 10,2% menjadi 11,1%; (6) penurunan % belanja fungsi
kesehatan dari 12,3% menjadi 10,4%; (7) peningkatan % belanja fungsi pariwisata dan
budaya; (8) peningkatan % belanja fungsi pendidikan dari 33,7% menjadi 36,7%;
(9) peningkatan % belanja fungsi perlindungan sosial dari 1,2% menjadi 1,4%.
Tabel 4.17 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jambi
Peers for Unit Jambi efficiency 112.69% radial
Peers 1 to 4 out of 5 for target Jambi
Jambi Riau Bengkulu Jabar Bali
ACTUAL LAMBDA 0.280 0.328 0.098 0.157
26.9 -LAYUM 9.5 10.9 2.1 3.6
1.0 -TRAMTIB 0.3 0.3 0.1 0.2
9.9 -EKON 2.5 3.2 0.6 1.3
1.6 -LH 0.7 0.4 0.2 0.3
21.1 -RMHFASUM 5.4 4.0 1.3 1.6
8.6 -KESEHATAN 2.0 3.4 1.2 2.0
0.6 -PARBUD 0.2 0.2 0.0 0.2
28.4 -PENDIDIKAN 7.0 9.8 4.2 6.4
1.8 -LINSOS 0.4 0.6 0.1 0.3
1.3 +IDS 0.5 0.4 0.1 0.3
Peer 5 out of 5 for target Jambi
Jambi Sulbar
ACTUAL LAMBDA 0.136
26.9 -LAYUM 4.3
1.0 -TRAMTIB 0.2
9.9 -EKON 1.6
1.6 -LH 0.3
21.1 -RMHFASUM 1.2
8.6 -KESEHATAN 1.2
0.6 -PARBUD 0.1
28.4 -PENDIDIKAN 4.6
1.8 -LINSOS 0.3
1.3 +IDS 0.2
Tabel 4.17 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi Jambi,
5 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Riau, Provinsi Bengkulu, Provinsi Jawa Barat,
Provinsi Bali, dan Provinsi Sulawesi Barat. Provinsi yang menjadi acuan utama (ditunjukkan
dengan lambda yang besar) yaitu Provinsi Bengkulu dan Provinsi Riau.
78 | P a g e
Tabel 4.18 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jambi
Target efisiensi Provinsi Jambi sebesar 112,69% atau terdapat kenaikan persentase
belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu peningkatan % belanja fungsi layanan umum dari
26,9% menjadi 30,3%; (2) peningkatan % belanja fungsi Ketentraman dan Ketertiban dari 1%
menjadi 1,1%; (3) penurunan % belanja fungsi ekonomi dari 9,9% menjadi 9,2%;
(4) peningkatan % belanja fungsi Lingkungan Hidup dari 1,6% menjadi 1,8%; (5) penurunan
% belanja fungsi perumahan dan fasum dari 21,1% menjadi 13,5%; (6) peningkatan % belanja
fungsi kesehatan dari 8,6% menjadi 9,7%; (7) peningkatan % belanja fungsi pariwisata dan
budaya dari 0,6% menjadi 0,7%; (8) peningkatan % belanja fungsi pendidikan dari 28,4%
menjadi 32%; (9) penurunan % belanja fungsi perlindungan sosial dari 1,8% menjadi 1,7%;
dan (10) mengupayakan peningkatan indeks daya saing dari 1,3 menjadi 1,4.
Tabel 4.19 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sulawesi
Selatan
Peers for Unit Sulsel efficiency 115.99% radial
Sulsel Jabar Jateng Bali
ACTUAL LAMBDA 0.232 0.682 0.086
24.0 -LAYUM 4.9 21.0 1.9
1.0 -TRAMTIB 0.2 0.4 0.1
8.8 -EKON 1.4 4.6 0.7
2.0 -LH 0.5 0.9 0.1
8.7 -RMHFASUM 3.1 6.2 0.9
11.3 -KESEHATAN 2.8 7.6 1.1
0.4 -PARBUD 0.1 0.3 0.1
42.2 -PENDIDIKAN 10.0 26.2 3.5
1.5 -LINSOS 0.3 0.8 0.2
1.3 +IDS 0.3 0.8 0.1
Tabel 4.19 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi
Sulawesi Selatan, 3 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa
79 | P a g e
Tengah, dan Provinsi Bali. Provinsi yang menjadi acuan utama (ditunjukkan dengan lambda
yang besar) yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Barat.
Tabel 4.20 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi
Sulawesi Selatan
Target efisiensi Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 115,99% atau terdapat kenaikan
persentase belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu peningkatan % belanja fungsi layanan
umum dari 24% menjadi 27,9%; (2) penurunan % belanja fungsi Ketentraman dan Ketertiban
dari 1% menjadi 0,7%; (3) penurunan % belanja fungsi ekonomi dari 8,8% menjadi 6,8%;
(4) penurunan % belanja fungsi Lingkungan Hidup dari 2% menjadi 1,5%; (5) peningkatan %
belanja fungsi perumahan dan fasum dari 8,7% menjadi 10,1%; (6) peningkatan % belanja
fungsi kesehatan dari 11,3% menjadi 11,5%; (7) peningkatan % belanja fungsi pariwisata dan
budaya dari 0,4% menjadi 0,5%; (8) penurunan % belanja fungsi pendidikan dari 42,2%
menjadi 39,7%; (9) penurunan % belanja fungsi perlindungan sosial dari 1,5% menjadi 1,2%;
dan (10) mengupayakan peningkatan indeks daya saing sehingga terjadi peningkatan efisiensi
output sebesar 1,9%.
Tabel 4.21 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Sulawesi
Barat
Peers for Unit Sulbar efficiency 117.63% radial
Sulbar Sulsel Pabar
ACTUAL LAMBDA 0.775 0.225
31.4 -LAYUM 18.6 10.8
1.3 -TRAMTIB 0.8 0.3
11.4 -EKON 6.8 2.7
2.0 -LH 1.6 0.3
9.0 -RMHFASUM 6.8 3.8
8.7 -KESEHATAN 8.8 1.4
0.7 -PARBUD 0.3 0.2
33.7 -PENDIDIKAN 32.7 2.5
1.9 -LINSOS 1.1 0.5
80 | P a g e
1.2 +IDS 1.0 0.3
Tabel 4.21 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi
Sulawesi Barat, 2 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi
Papua Barat. Provinsi yang menjadi acuan utama (ditunjukkan dengan lambda yang besar)
yaitu Provinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 4.22 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi
Sulawesi Barat
Target efisiensi Provinsi Sulawesi Barat sebesar 117,63% atau terdapat kenaikan
persentase belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu penurunan % belanja fungsi layanan
umum dari 31,4% menjadi 29,5%; (2) penurunan % belanja fungsi Ketentraman dan
Ketertiban dari 1,3% menjadi 1,1%; (3) penurunan % belanja fungsi ekonomi dari 11,4%
menjadi 9,5%; (4) penurunan % belanja fungsi Lingkungan Hidup dari 2% menjadi 1,8%;
(5) peningkatan % belanja fungsi perumahan dan fasum dari 9% menjadi 10,6%;
(6) peningkatan % belanja fungsi kesehatan dari 8,7% menjadi 10,2%; (7) penurunan %
belanja fungsi pariwisata dan budaya dari 0,7% menjadi 0,5%; (8) peningkatan % belanja
fungsi pendidikan dari 33,7% menjadi 35,2%; (9) penurunan % belanja fungsi perlindungan
sosial dari 1,9% menjadi 1,6%; dan (10) mengupayakan peningkatan indeks daya saing dari
1,2 menjadi 1,3.
81 | P a g e
Tabel 4.23 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa Barat
Peers for Unit Jabar efficiency 128.35% radial
Peers 1 to 4 out of 5 for target Jabar
Jabar Riau Banten Jateng Bali
ACTUAL LAMBDA 0.058 0.116 0.137 0.142
21.1 -LAYUM 2.0 4.6 4.2 3.2
0.8 -TRAMTIB 0.1 0.1 0.1 0.2
6.2 -EKON 0.5 0.5 0.9 1.2
2.0 -LH 0.1 0.4 0.2 0.2
13.2 -RMHFASUM 1.1 1.7 1.2 1.4
12.1 -KESEHATAN 0.4 1.1 1.5 1.8
0.4 -PARBUD 0.0 0.0 0.1 0.1
43.0 -PENDIDIKAN 1.4 3.1 5.3 5.8
1.2 -LINSOS 0.1 0.1 0.2 0.3
1.3 +IDS 0.1 0.1 0.2 0.2
Peer 5 out of 5 for target Jabar
Jabar Sulsel
ACTUAL LAMBDA 0.547
21.1 -LAYUM 13.2
0.8 -TRAMTIB 0.5
6.2 -EKON 4.8
2.0 -LH 1.1
13.2 -RMHFASUM 4.8
12.1 -KESEHATAN 6.2
0.4 -PARBUD 0.2
43.0 -PENDIDIKAN 23.1
1.2 -LINSOS 0.8
1.3 +IDS 0.7
Tabel 4.23 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi Jawa
Barat, 5 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Riau, Provinsi Banten, Provinsi Jawa
Tengah, Provinsi Bali dan Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi yang menjadi acuan utama
(ditunjukkan dengan lambda yang besar) yaitu Provinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 4.24 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa
Barat
82 | P a g e
Target efisiensi Provinsi Sulawesi Barat sebesar 128,35% atau terdapat kenaikan
persentase belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu peningkatan % belanja fungsi layanan
umum dari 21,1% menjadi 27,1%; (2) peningkatan % belanja fungsi Ketentraman dan
Ketertiban dari 0,8% menjadi 1%; (3) peningkatan % belanja fungsi ekonomi dari 6,2%
menjadi 8%; (4) penurunan % belanja fungsi Lingkungan Hidup; (5) penurunan % belanja
fungsi perumahan dan fasum dari 13,2% menjadi 10,2%; (6) penurunan % belanja fungsi
kesehatan dari 12,1% menjadi 11,1%; (7) peningkatan % belanja fungsi pariwisata dan budaya
dari 0,4% menjadi 0,5%; (8) penurunan % belanja fungsi pendidikan dari 43% menjadi 38,7%;
dan (9) peningkatan % belanja fungsi perlindungan sosial dari 1,2% menjadi 1,4%.
Tabel 4.25 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa
Tengah
Peers for Unit Jateng efficiency 133.04% radial
Jateng Bengkulu Jabar Jatim
ACTUAL LAMBDA 0.245 0.483 0.272
30.8 -LAYUM 8.1 10.2 8.7
0.6 -TRAMTIB 0.2 0.4 0.2
6.8 -EKON 2.4 3.0 2.1
1.4 -LH 0.3 1.0 0.5
9.1 -RMHFASUM 3.0 6.4 2.8
11.1 -KESEHATAN 2.6 5.9 3.3
0.5 -PARBUD 0.1 0.2 0.1
38.4 -PENDIDIKAN 7.3 20.8 9.2
1.2 -LINSOS 0.5 0.6 0.3
1.2 +IDS 0.3 0.6 0.4
Tabel 4.25 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi Jawa
Tengah, 3 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Bengkulu, Provinsi Jawa Barat, dan
Provinsi Jawa Timur. Provinsi yang menjadi acuan utama (ditunjukkan dengan lambda yang
besar) yaitu Provinsi Jawa Barat.
Tabel 4.26 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Jawa
Tengah
83 | P a g e
Target efisiensi Provinsi Jawa Tengah sebesar 133,04% atau terdapat kenaikan
persentase belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu penurunan % belanja fungsi layanan
umum dari 30,8% menjadi 27,0%; (2) peningkatan % belanja fungsi Ketentraman dan
Ketertiban dari 0,6% menjadi 0,8%; (3) peningkatan % belanja fungsi ekonomi dari 6,8%
menjadi 7,4%; (4) peningkatan % belanja fungsi Lingkungan Hidup dari 1,4% menjadi 1,8%;
(5) peningkatan % belanja fungsi perumahan dan fasum dari 9,1% menjadi 12,1%;
(6) penurunan % belanja fungsi kesehatan dari 11,1% menjadi 11,8%; (7) penurunan %
belanja fungsi pariwisata dan budaya; (8) penurunan % belanja fungsi pendidikan dari 38,4%
menjadi 37,2%; (9) peningkatan % belanja fungsi perlindungan sosial dari 1,2% menjadi
1,4%; dan (10) mengupayakan peningkatan indeks daya saing dari 1,2 menjadi 1,3.
Tabel 4.27 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Banten
Peers for Unit Banten efficiency 150.34% radial
Banten Jabar Jateng Jatim
ACTUAL LAMBDA 0.629 0.060 0.311
39.4 -LAYUM 13.3 1.8 9.9
0.8 -TRAMTIB 0.5 0.0 0.2
4.4 -EKON 3.9 0.4 2.3
3.2 -LH 1.3 0.1 0.6
14.4 -RMHFASUM 8.3 0.5 3.2
9.8 -KESEHATAN 7.6 0.7 3.8
0.3 -PARBUD 0.3 0.0 0.1
26.5 -PENDIDIKAN 27.0 2.3 10.5
1.2 -LINSOS 0.7 0.1 0.4
1.2 +IDS 0.8 0.1 0.4
Tabel 4.27 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi Banten,
3 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi
Jawa Timur. Provinsi yang menjadi acuan utama (ditunjukkan dengan lambda yang besar)
yaitu Provinsi Jawa Barat.
84 | P a g e
Tabel 4.28 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Banten
Target efisiensi Provinsi Banten sebesar 150,34% atau terdapat kenaikan persentase
belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu penurunan % belanja fungsi layanan umum dari
39,4% menjadi 25,1%; (2) penurunan % belanja fungsi Ketentraman dan Ketertiban;
(3) peningkatan % belanja fungsi ekonomi dari 4,4% menjadi 6,7%; (4) penurunan % belanja
fungsi Lingkungan Hidup dari 3,2% menjadi 2%; (5) penurunan % belanja fungsi perumahan
dan fasum dari 14,4% menjadi 12%; (6) peningkatan % belanja fungsi kesehatan dari 9,8%
menjadi 12,1%; (7) peningkatan % belanja fungsi pariwisata dan budaya dari 0,3% menjadi
0,4%; (8) peningkatan % belanja fungsi pendidikan dari 26,5% menjadi 39,8%; (9) penurunan
% belanja fungsi perlindungan sosial; dan (10) mengupayakan peningkatan indeks daya saing
dari 1,2 menjadi 1,3.
Tabel 4.29 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bali
Peers for Unit Bali efficiency 177.34% radial
Bali Riau Jatim
ACTUAL LAMBDA 0.797 0.203
22.6 -LAYUM 27.1 6.5
1.4 -TRAMTIB 0.8 0.2
8.3 -EKON 7.2 1.5
1.6 -LH 2.0 0.4
9.9 -RMHFASUM 15.5 2.1
12.6 -KESEHATAN 5.6 2.5
1.0 -PARBUD 0.6 0.1
40.8 -PENDIDIKAN 19.9 6.8
1.8 -LINSOS 1.2 0.3
1.6 +IDS 1.4 0.3
Tabel 4.29 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi Bali, 2
daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Riau dan Provinsi Jawa Timur. Provinsi yang
menjadi acuan utama (ditunjukkan dengan lambda yang besar) yaitu Provinsi Riau.
85 | P a g e
Tabel 4.30 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Bali
Target efisiensi Provinsi Bali sebesar 177,34% atau terdapat kenaikan persentase
belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu peningkatan % belanja fungsi layanan umum dari
22,6% menjadi 33,6%; (2) penurunan % belanja fungsi Ketentraman dan Ketertiban dari 1,4%
menjadi 1%; (3) peningkatan % belanja fungsi ekonomi dari 8,3% menjadi 8,7%;
(4) peningkatan % belanja fungsi Lingkungan Hidup dari 1,6% menjadi 2,3%; (5) peningkatan
% belanja fungsi perumahan dan fasum dari 9,9% menjadi 17,6%; (6) penurunan % belanja
fungsi kesehatan dari 12,6% menjadi 8,1%; (7) penurunan % belanja fungsi pariwisata dan
budaya dari 1% menjadi 0,7%; (8) penurunan % belanja fungsi pendidikan dari 40,8% menjadi
26,7%; dan (9) penurunan % belanja fungsi perlindungan sosial dari 1,8% menjadi 1,4%.
Tabel 4.31 Peering Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Papua
Barat
Peers for Unit Pabar efficiency 221.18% radial
Pabar Riau Babel
ACTUAL LAMBDA 0.945 0.055
48.2 -LAYUM 32.1 1.9
1.3 -TRAMTIB 0.9 0.1
11.8 -EKON 8.5 0.6
1.1 -LH 2.3 0.2
17.1 -RMHFASUM 18.4 0.9
6.4 -KESEHATAN 6.6 0.5
0.7 -PARBUD 0.7 0.1
11.2 -PENDIDIKAN 23.5 1.2
2.3 -LINSOS 1.4 0.1
1.2 +IDS 1.6 0.1
Tabel 4.31 peer indeks daya saing dan % realisasi belanja fungsi dari Provinsi Papua
Barat, 2 daerah yang menjadi acuan, yaitu : Provinsi Riau dan Provinsi Bangka Belitung.
Provinsi yang menjadi acuan utama (ditunjukkan dengan lambda yang besar) yaitu Provinsi
Riau.
86 | P a g e
Tabel 4.32 Pengukuran Efisiensi Belanja Fungsi terhadap Daya Saing Provinsi Papua
Barat
Target efisiensi Provinsi Papua Barat sebesar 221,18% atau terdapat kenaikan
persentase belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu penurunan % belanja fungsi layanan
umum dari 48,2% menjadi 34%; (2) penurunan % belanja fungsi Ketentraman dan Ketertiban
dari 1,3% menjadi 1%; (3) penurunan % belanja fungsi ekonomi dari 11,8% menjadi 9,1%;
(4) peningkatan % belanja fungsi Lingkungan Hidup dari 1,1% menjadi 2,5%; (5) peningkatan
% belanja fungsi perumahan dan fasum dari 17,1% menjadi 19,3%; (6) peningkatan % belanja
fungsi kesehatan dari 6,4% menjadi 7,1%; (7) peningkatan % belanja fungsi pariwisata dan
budaya; (8) peningkatan % belanja fungsi pendidikan dari 11,2%menjadi 24,7%;
(9) penurunan % belanja fungsi perlindungan sosial dari 2,3% menjadi 1,5%; dan
(10) mengupayakan peningkatan indeks daya saing dari 1,2 menjadi 1,7.
87 | P a g e
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Pengukuran Indeks Daya Saing
Tahapan pengukuran indeks daya saing terdiri dari, yaitu (1) tahap penghitungan bobot
yang berasal dari data persepsi dari pemerintah daerah terhadap inisiatif strategi penguatan
daya saing daerah; dan (2) tahap standardisasi data dan indeks. Indeks daya saing merupakan
indeks komposit dari indeks faktor input dan indeks faktor output, untuk selanjutnya disebut
indeks input dan indeks output. Indeks input dan indeks output ditentukan ekual (50:50)
terhadap indeks daya saing.
88 | P a g e
Prioritas kinerja (level kedua) disajikan secara konsisten dengan sasaran strategis-nya
yang memiliki prioritas pertama yaitu upaya prioritas yang harus dilakukan adalah
meningkatkan jumlah kantor bank. Prioritas kedua adalah mengoptimalkan PAD. Prioritas
kinerja dari 1 s.d. 5 didominasi oleh prioritas sasaran strategis meningkatkan aktivitas
perbankan dan lembaga keuangan serta mendorong aktivitas perekonomian daerah. Prioritas
tersebut menunjukkan bahwa yang terkait dengan akses dan sumber daya pendukung seperti
sumber daya manusia menjadi terlihat relatif kurang penting.
Sasaran strategis faktor output tidak di-breakdown lebih lanjut, dengan demikian AHP yang
dilakukan hanyalah satu tingkat saja.
89 | P a g e
Menurunkan angka kemiskinan merupakan prioritas utama yang disusul kemudian dengan
meningkatkan PDRB perkapita. Prioritas sasaran strategis tidak terlalu bervariasi, dengan kata
lain responden tidak terlalu berbeda pendapat terhadap penting-nya sasaran strategis
Faktor input pembentuk daya saing daerah merupakan variabel yang merefleksikan
kinerja input sesuai dengan sasaran strategisnya. Masing-masing variabel memiliki sifat
(polarisasi) nya dalam penghitungan indeks daya saing, bisa bersifat searah atau berlawanan.
Variabel-variabel tersebut terdiri dari :
No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat
INPUT
90 | P a g e
No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat
INPUT
91 | P a g e
No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat
INPUT
92 | P a g e
No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat
INPUT
Faktor output pembentuk daya saing daerah adalah variabel yang merefleksikan
kinerja output. Sifat variabel dimaksud, sama halnya dengan faktor input, dapat bersifat searah
atau berlawanan. Variabel output terdiri dari :
93 | P a g e
No Sasaran Strategis Kinerja Indikator Sifat
OUTPUT
Faktor dominan yang menguatkan daya saing daerah adalah faktor pembentuk input
dan output yang terpilih dalam membangun model indeks daya saing. Faktor dominan tersebut
dapat menjelaskan hubungan indeks daya saing dengan faktor pembentuknya dan memberikan
94 | P a g e
kontribusi yang paling besar. Variabel /faktor dominan dari 30 variabel yang ada dalam
membangun model indeks daya saing adalah PDRB perkapita.
Peran Belanja Fungsi APBD sebagai Faktor Penguat Daya Saing Daerah
Pemilihan belanja fungsi APBD sebagai faktor penguat daya saing daerah didasarkan
atas beberapa catatan antara lain Institute for Management Development (IMD) bahwa
rendahnya kondisi daya saing Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian
nasional dalam hal antara lain : buruknya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam
mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal,
pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya
kordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih dan
kompleksitas struktur sosialnya.
Belanja fungsi APBD dibandingkan antara aktual dengan target-nya. Target
merupakan kombinasi input-output yang digunakan oleh benchmark unit dan peers, dan akan
dibandingkan terhadap provinsi tertentu yang dianalisa. Analisa DEA yang digunakan adalah
orientasi input yang bertujuan untuk minimisasi, sehingga untuk variabel yang memiliki nilai
minus (-) di depan label variabel maka ACHIEVED berarti capaian yang merupakan
persentase target terhadap aktual, sedangkan untuk variabel yang memiliki nilai plus (+) di
depan label variabel-nya maka ACHIEVED berarti capaian yang merupakan persentase aktual
terhadap target. TO GAIN merupakan 100-ACHIEVED. Dalam hal ini karena total belanja
fungsi APBD berjumlah 100%, maka terdapat belanja fungsi yang harus dikurangi dan
terdapat belanja yang harus ditingkatkan. Capaian dibawah 100% dinyatakan tidak efisien.
Contoh hasil analisa Provinsi Sumatera Utara di bawah ini :
95 | P a g e
Table of target values
Targets for Unit Sumut efficiency 101.74% radial
VARIABLE ACTUAL TARGET TO GAIN ACHIEVED
-LAYUM 31.3 31.8 -1.7% 101.7%
-TRAMTIB 1.0 0.9 16.9% 83.1%
-EKON 7.4 7.5 -1.7% 101.7%
-LH 3.1 2.2 28.3% 71.7%
-RMHFASUM 13.9 14.2 -1.7% 101.7%
-KESEHATAN 9.9 10.1 -1.7% 101.7%
-PARBUD 1.1 0.5 53.8% 46.2%
-PENDIDIKAN 30.9 31.4 -1.7% 101.7%
-LINSOS 1.3 1.3 -1.7% 101.7%
+IDS 1.3 1.5 13.0% 88.5%
Target efisiensi Provinsi Sumatera Utara sebesar 101,7% secara radial atau terdapat
kenaikan persentase belanja fungsi dengan rincian : (1) perlu peningkatan % belanja fungsi
layanan umum dari 31,3% menjadi 31,8%; (2) pengurangan % belanja fungsi Ketentraman
dan Ketertiban dari 1,0% menjadi 0,9%; (3) peningkatan % belanja fungsi ekonomi dari 7,4%
menjadi 7,5%; (4) pengurangan % belanja fungsi Lingkungan Hidup dari 3,1% menjadi 2,2%;
(5) peningkatan % belanja fungsi perumahan dan fasum dari 13,9% menjadi 14,2%; (6)
peningkatan % belanja fungsi kesehatan dari 9,9% menjadi 10,1%; (7) penurunan % belanja
fungsi pariwisata dan budaya dari 1,1% menjadi 0,5%; (8) peningkatan % belanja fungsi
pendidikan dari 30,9% menjadi 31,4%; (9) peningkatan % belanja fungsi perlindungan sosial
; (10) mengupayakan indeks daya saing meningkat dari 1,3 menjadi 1,5.
5.2. Rekomendasi
1. Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah dan Tatakelola Keuangan Daerah yang
Mendorong Daya Saing Daerah.
Pemerintah pusat melanjutkan kebijakan transfer ke daerah yang mendukung pelaksanaan
desentralisasi fiskal dengan alokasi Transfer ke Daerah yang terus meningkat, namun
harus dibarengi dengan penyempurnaan manajemen keuangan daerah oleh pemerintah
daerah baik dari sisi pendapatan maupun belanja daerah. Pendapatan daerah menuju
kemandirian fiskal daerah, sedangkan belanja daerah fokus pada quality of spending.
2. Prioritas Sasaran Strategis dalam Mencapai Kinerja Daya Saing.
Prioritas ditentukan secara konsisten guna memperbaiki Faktor input pembentuk daya
saing kinerja yang masih rendah, namun perlu pengertian dan cakupan yang jelas dari
masing-masing belanja menurut fungsi sehingga dapat menghubungkan belanja tersebut
secara langsung dengan sasaran strategis pencapaian daya saing-nya.
96 | P a g e
3. Peningkatan Kinerja Faktor Output Pembentuk Daya Saing.
Perlu upaya untuk memacu peningkatan kinerja Faktor Output pembentuk daya saing,
karena banyak daerah yang masih memiliki kinerja relatif rendah pada faktor pembentuk
daya saing tersebut, dialami 9 pemerintah provinsi dari 13 pemerintah provinsi yang
menjadi sampel .
4. Fokus pada Sasaran Strategis Pencapaian Daya Saing.
Daerah yang memiliki Indeks Input dan Indeks Output di bawah rata-rata perlu fokus
menitiberatkan perhatiannya pada sasaran strategis pencapaian daya saing.
5. Kinerja Mendorong Aktivitas Perekonomian Daerah dan Meningkatkan
Kualitas SDM agar Lebih Ditingkatkan.
Pemerintah daerah mengupayakan agar kinerja dalam rangka mendorong aktivitas
perekonomian daerah dan meningkatkan kualitas SDM lebih ditingkatkan lagi, karena
Indeks PAD terhadap PDRB, Indeks Kapasitas Fiskal terhadap PDRB, dan Indeks Rasio
Guru terhadap Murid merupakan indeks rendah yang banyak terjadi di pemerintah
provinsi yang menjadi sampel.
6. Sinergi Antara Penganggaran dan Capaian Strategi dan Kinerja .
Hendaknya menyelaraskan porsi belanja fungsi dalam APBD dengan sasaran strategis
daya saing guna mendukung kinerja-nya. Terutama untuk area kinerja yang masih rendah.
7. Harmonisasi Peraturan dan Kebijakan antara Pusat dan Daerah serta
Antardaerah.
Peraturan atau kebijakan hendaknya disinkronisasi sehingga tidak menghambat investasi
yang akan masuk ke daerah.
8. Penyediaan Lahan untuk Industri Terpadu
Penyediaan lahan bertujuan untuk memberikan insentif kemudahan bagi investor yang
akan menanamkan modal nya di suatu daerah dengan didukung oleh proses perijinan yang
mudah. Berdasarkan kuesioner yang disampaikan, diketahui bahwa Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (PTSP) telah diterapkan di 13 provinsi yang menjadi sampel.
97 | P a g e
Daftar Pustaka
98 | P a g e
13. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.
14. Perpres Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik
Nasional.
15. Pertiwi , Lela Dina. (2007). Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 12 no. 2 : Efisiensi
Pengeluaran Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Tengah.
16. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia dan Laboratorium
Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Fakultas
Ekonomi Universitas Padjadjaran. (2008). Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi
Daerah Kabupaten Kota di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
17. Sutikno dan Maryunani. (2007). Analisa Potensi Daya Saing Kecamatan Sebagai Pusat
Pertumbuhan Satuan Wilayah Pengembang (SWP) Kabupaten Malang, Journal of
Indonesian Applied Economics, Vol.1 No.1 Oktober 2007.
18. World Economic Forum. (2013). The Global Competitiveness Report 2013–2014.
Switzerland : SRO-Kundig.
19. World Economic Forum. (2014). The Global Competitiveness Report 2014–2015.
Switzerland.
20. www.bps.go.id.
21. www.djpk.depkeu.go.id.
99 | P a g e