Anda di halaman 1dari 4

(DirosatulFardhiyyah- Diskursus Islam Politik dan Spiritualhal 15 sd.

18 tgl 240822)
Al-Qur'an Surat At-Tahrim Ayat 1
At-Tahrim (Pengharaman)
     
)١ : ‫( التحريم‬ ‫ك َوهّٰللا ُ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬
َ ۗ ‫اج‬
ِ ‫ضاتَ اَ ْز َو‬ َ ۚ َ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّبِ ُّي لِ َم تُ َح ِّر ُم َمٓا اَ َح َّل هّٰللا ُ ل‬
َ ْ‫ك تَ ْبت َِغ ْي َمر‬

Arti / Terjemahan:

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-
isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. At-Tahrim ayat 1)

Tafsir Ringkas Kemenag


Kementrian Agama RI

Setelah pada surah sebelumnya Allah menyapa Nabi tentang hukum dan etika menceraikan istri, pada awal surah
ini Allah menyapa, “Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu dengan
bersumpah tidak akan pernah minum madu setelah minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, salah seorang
istrimu, dan tidak akan pernah melakukan hubungan suami istri dengan Mariyah al-Qibíiyyah, setelah
berhubungan di rumah Hafsah? hanya karena Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu, terutama Hafsah
dan ‘À’isyah?” Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang kepada siapa saja yang bertobat, termasuk dua
istri Nabi, yaitu Hafsah dan ‘À’isyah.

Tafsir Lengkap Kemenag


Kementrian Agama RI

Pada ayat ini, Allah menegur Nabi saw karena bersumpah tidak akan meminum madu lagi, padahal madu itu
adalah minuman yang halal. Sebabnya hanyalah karena menghendaki kesenangan hati istri-istrinya.
Ayat ini ditutup dengan satu ketegasan bahwa Allah Maha Pengampun atas dosa hamba-Nya yang bertobat, dan
Dia telah mengampuni kesalahan Nabi saw yang telah bersumpah tidak mau lagi minum madu.

Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi

(Hai nabi! Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu) mengenai istri budak
wanitamu, yakni Mariyah Qibtiah; yaitu sewaktu Nabi saw. menggaulinya di rumah Hafshah, sedangkan pada
waktu itu Siti Hafshah sedang tidak ada di rumah. Lalu datanglah Siti Hafshah, dan ia merasa keberatan dengan
adanya hal tersebut yang dilakukan oleh Nabi saw. di dalam rumahnya dan di tempat tidurnya. Lalu kamu
mengatakan, dia (Siti Mariyah) haram atas diriku (kamu mencari) dengan mengharamkannya atas dirimu
(keridaan istri-istrimu) kerelaan mereka terhadap dirimu. (Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) Dia
telah mengampunimu atas tindakan pengharamanmu itu.

Tafsir Ibnu Katsir


Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir

Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan asbabun nuzul yang melatarbelakangi penurunan permulaan
surat At-Tahrim ini.

Menurut suatu pendapat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa Mariyah Al-Qibtiyyah, lalu Rasulullah
Saw. mengharamkannya bagi dirinya (yakni tidak akan menggaulinya lagi). Maka turunlah firman Allah Swt.: Hai
Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati
istri-istrimu? (At-Tahrim: 1), hingga akhir ayat.
Abu Abdur Rahman An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yunus ibnu
Muhammad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah,
dari Sabit, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. mempunyai seorang budak perempuan yang beliau gauli, lalu Siti
Aisyah dan Siti Hafsah terus-menerus dangan gencarnya menghalang-halangi Nabi Saw. untuk tidak
mendekatinya lagi hingga pada akhirnya Nabi Saw. mengharamkan budak itu atas dirinya. Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu?
(At-Tahrim: 1), hingga akhir ayat.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abdur Rahim Al-Burfi, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan, telah menceritakan kepadaku Zaid ibnu
Aslam, bahwa Rasulullah Saw. menggauli ibu Ibrahim di rumah salah seorang istri beliau Saw. Maka istri beliau
Saw. berkata, "Hai Rasulullah, teganya engkau melakukan itu di rumahku dan di atas ranjangku." Maka Nabi Saw.
mengharamkan ibu Ibrahim itu atas dirinya. Lalu istri beliau Saw. bertanya, "Hai Rasulullah, mengapa engkau
haramkan atas dirimu hal yang halal bagimu?" Dan Nabi Saw. bersumpah kepada istrinya itu bahwa dia tidak
akan menggauli budak perempuannya itu lagi. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai Nabi, mengapa kamu
mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya atas dirimu? (At-Tahrim: 1)

Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ucapan Nabi Saw., "Engkau haram bagiku," adalah lagwu (tiada artinya). Hal
yang sama telah diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid, dari ayahnya.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari
Malik, dari Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa Nabi Saw. berkata kepada ibu Ibrahim: Engkau haram atas
diriku. Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu.

Sufyan As-Sauri dan Ibnu Aliyyah telah meriwayatkan dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan sumpah ila dan mengharamkan budak perempuannya itu
atas dirinya. Lalu beliau Saw. ditegur melalui surat At-Tahrim dan diperintahkan untuk membayar kifarat
sumpahnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dan hal yang semisal telah diriwayatkan dari Qatadah dan
lain-lainnya, dari Asy-Sya'bi. Hal yang semisal telah dikatakan pula oleh bukan hanya seorang dari ulama salaf,
antara lain Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan. Al-Aufi telah meriwayatkan kisah ini dari
Ibnu Abbas secara panjang lebar.

Ibnii Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami
ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah,
dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Umar ibnul Khattab, "Siapakah kedua
wanita itu?" Umar ibnul Khattab menjawab, "Keduanya adalah Aisyah dan Hafsah." Permulaan kisahnya ialah
berkenaan dengan ibu Ibrahim (yaitu Mariyah Al-Ojibtiyyah). Nabi Saw. menggaulinya di rumah Hafsah di hari
gilirannya, maka Hafsah mengetahuinya, lalu berkata, "Hai Nabi Allah, sesungguhnya engkau telah melakukan
terhadapku suatu perbuatan yang belum pernah engkau lakukan terhadap seorang pun dari istri-istrimu. Engkau
melakukannya di hari giliranku dan di atas peraduanku." Maka Nabi Saw. menjawab: Puaskah engkau bila aku
mengharamkannya atas diriku dan aku tidak akan mendekatinya lagi? Hafsah menjawab, "Baiklah." Maka Nabi
pun mengharamkan dirinya untuk menggauli Mariyah, Nabi Saw. bersabda, "Tetapi jangan kamu ceritakan hal ini
kepada siapa pun." Hafsah tidak tahan, akhirnya ia menceritakan kisah itu kepada Aisyah. Maka Allah Swt.
menampakkan (memberitahukan) hal itu kepada Nabi Saw., dan Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai Nabi,
mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-
istrimu? (At-Tahrim, 1) hingga beberapa ayat sesudahnya. Maka telah sampai kepada kamu suatu berita yang
menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. membayar kifarat sumpahnya dan kembali menggauli budak
perempuannya itu.
Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab

[[66 ~ AT-TAHRIM (PENGHARAMAN) Pendahuluan: Madaniyyah, 12 ayat ~ Surat ini mengisyaratkan sesuatu yang
membuat Rasulullah saw. marah kepada sebagian istrinya, lalu mengharamkan sesuatu yang enak dan halal bagi
dirinya, dan mengingatkan mereka akan akibat buruk dari perbuatannya. Pembicaraan kemudian beralih kepada
sebuah perintah agar orang-orang Mukmin menjaga diri dan keluarga mereka dari api neraka yang bahan
bakarnya terdiri atas manusia dan bebatuan. Surat ini juga menjelaskan bahwa permohonan maaf orang-orang
kafir pada hari kiamat tidak akan diterima. Selain itu, surat ini menyeru agar orang-orang Mukmin melakukan
pertobatan yang tulus dan agar Rasulullah saw. berjuang melawan orang-orang kafir dan munafik dan bersikap
keras terhadap mereka. Surat ini, akhirnya, ditutup dengan menyebutkan beberapa perumpamaan untuk
menjelaskan bahwa kesalehan seorang suami tidak akan mampu menolak azab yang dijatuhkan kepada istrinya
yang sesat dan, sebaliknya, kesesatan seorang suami juga tidak akan merugikan istri selama ia saleh dan
beristikamah. Setiap jiwa bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing.]] Wahai Nabi, mengapa kamu
mengharamkan bagi dirimu sesuatu yang dihalalkan oleh Allah demi menyenangkan istri-istrimu? Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
(https://quranhadits.com/quran/66-at-tahrim/at-tahrim-ayat-1/)

1. Pengertian Ijtihad
• Menurut Bahasa Ijtihad (Arab: i‫( تهاد ج ا‬Menurut bahasa, ijtihad artinya adalah bersungguh-
sungguh.
• Menurut Istilah Sedangkan menurut istilah, ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat
dengan mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh.
2. Ruang Lingkup Ijtihad
Masalah yang diijtihadkan adalah hukum – hukum syara yang tidak mempunyai dalil qath’I (pasti). Bukan
hukum akal dan masalah – masalah yang berhubungan dengan ilmu kalam (aqidah). Demikian pula bukan
masalah – masalah yang sudah mempunyai dalil qathi, seperti shalat lima waktu, puasa bulan ramadhan,
haji, zakat dan sebagainya.
3. Kedudukan Ijtihad
Muhammad Ma’ruf Ad Dawalibi menyimpulkan Rasulullah saw. menempatkan ijtihad sebagai sumber
hukum ketiga dalam ajaran Islam setelah Al Quran dan sunah. Kedudukan ijtihad begitu penting dalam
ajaran Islam karena ijtihad telah dapat dibuktikan kemampuannya dan menyelesaikan segala persoalan
yang dihadapi umat Islam mulai dari zaman Nabi Muhammad saw. sampai sekarang. Melalui ijtihad,
masalah-masalah baru yang tidak dijelaskan oleh Al Quran maupun sunah dapat dipecahkan. Melalui
ijtihad ajaran Islam telah berkembang sedemikian rupal menuju kesempurnaannya, bahkan ijtihad
merupakan daya gerak kemajuan umat Islam. Artinya ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam.
4. Fungsi Ijtihad
• Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan hadis.
• Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul dengan
tetap berpegang pada Al Quran dan sunah.
• Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara yang disyariatkan untuk menyesuaikan perubahan-
perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
• Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban dari
masalah-masalah seperti berikut ini.
• Fungsi dari ijtihad ialah untuk mendapatkan solusi hukum dari suatu masalah yang tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an ataupun hadis. Jadi, jika dilihat dari fungsinya tersebut, ijtihad telah
mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam Islam.

QS Muhammad ayat 4: “ Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir (di medan perang), maka
pukullah batang leher mereka. Selanjutnya apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka, dan
setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai.”

QS Attaubah ayat 43: “Allah memaafkanmu (Muhammad). Mengapa engkau memberi izin kepada mereka
(untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar-benar (berhalangan) dan sebelum
engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?”

QS Annur ayat 62: “(Yang disebut) orang mukmin hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
(Muhammad), dan apabila mereka berada bersama-sama dengan dia (Muhammad) dalam suatu urusan
bersama, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya.”

Anda mungkin juga menyukai