Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhammad shefa

UTS tafsir ayat ahlam I

1. Tafsir Almishbah
Apabila fajar terbit, maka berpuasalah dan sempurnakanlah puasa itu hingga
matahari terbenam. Jika berpuasa merupakan ibadah yang harus diisi sebaik mungkin
dengan menahan hawa nafsu dan tidak menggauli istri di siang hari, maka demikian halnya
dengan iktikaf (i’tikaf) di masjid. Iktikaf merupakan ibadah yang, jika seseorang berniat
melaksanakannya, harus dilakukan sepenuh hati dan dengan tidak menggauli istri. Dalam
puasa dan iktikaf itu ada batas-batas yang telah Allah syariatkan. Maka peliharalah batas-
batas itu. Janganlah kalian mendekatinya agar tidak melanggar batas-batas itu. Allah telah
secara gamblang menjelaskan hal ini kepada manusia agar mereka menaati-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.

2. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Harta yang dizakati
a. Pertanian
# beras, jagung, gandum

b.Hasil perkebunan
# buah dan sayuran
c. Dan barang tambang
# emas dan uang

3. Haji adalah ziarah Islam tahunan ke Mekkah, kota suci umat Islam, dan kewajiban wajib
bagi umat Islam yang harus dilakukan setidaknya sekali seumur hidup mereka oleh semua
orang Muslim dewasa yang secara fisik dan finansial mampu melakukan perjalanan, dan
dapat mendukung keluarga mereka selama ketidakhadiran mereka.

# pertama wajibnya haji adalah QS Ali Imran ayat 97:

َ‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع ِإلَ ْي ِه َسبِياًل ۚ َو َم ْن َكفَ َر فَِإ َّن هَّللا َ َغنِ ٌّي َع ِن ْال َعالَ ِمين‬
ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬
ِ َّ‫َوهَّلِل ِ َعلَى الن‬

Artinya: “Mengerjakan haji merupakan kewajiban hamba terhadap Allah yaitu bagi yang
mampu mengadakan perjalanan ke baitullah. Barangsiapa mengingkarinya, maka
sesungguhnya Allah Maha kaya tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam.”

#, dalam surat Al-Baqarah ayat 196 juga menjadi dasar diwajibkannya haji bagi umat Islam.
۟ ‫ۚ وَأتِ ُّم‬
ِ ‫وا ْٱل َح َّج َو ْٱل ُع ْم َرةَ هَّلِل‬ َ
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji serta umroh karena Allah SWT.”

Sedangkan yang bersumber dari hadits adalah riwayat dari Ibnu Umar berikut:

‫ َشهَا َد ِة َأ ْن اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا ُ َوَأ َّن‬:‫س‬ ٍ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم «بُنِ َي اِإل سْاَل ُم َعلَى َخ ْم‬:‫َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر رضي هللا عنه قَا َل‬
َّ
َ‫ َوصَوْ ِم َر َمضَان‬،‫ َوال َح ِّج‬،‫ وَِإيتَا ِء الزكَا ِة‬،‫صاَل ِة‬ َّ ‫ وَِإقَ ِام ال‬،ِ ‫ُم َح َّمدًا َرسُو ُل هَّللا‬

Nabi SAW bersabda. “Islam itu didirikan atas lima perkara. Yaitu, bersaksi bahwa tidak ada
tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya,
mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadan, menunaikan ibadah haji
ke Baitullah bagi yang mampu melakukannya.” (mutafaqun alaih).

# Kalau dilihat dari artinya Tamattu adalah bersenang-senang, dikaitkan dengan ibadah haji
merupakan jenis yang diawali dengan pelaksanaan umroh ketika jemaah sampai di tanah
suci. Setelah umroh menggunakan pakaian ihram, bisa kembali menggunakan pakaian biasa
dan melakukan berbagai aktivitas. Barulah ketika jadwal ibadah haji dimulai, kembali
berpakaian ihram dan ikut tata cara haji.

4. Nuzul ayat ini adalah: “Hadis dari Urwah, dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya ia
bertanya:

‫ت قَوْ َل هللا‬ ِ ‫ َأ َرَأ ْي‬:‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬:‫ت‬ ْ َ‫ ع َْن عَاِئ َشةَ قَال‬،َ‫ ع َْن عُرْ َوة‬، ِّ‫الز ْه ِري‬ ُّ ‫ ع َِن‬،‫ َأ ْخبَ َرنَا ِإ ْب َرا ِهي ُم بْنُ َس ْع ٍد‬،‫اش ِم ُّي‬ ِ َ‫َح َّدثَنَا ُسلَ ْي َمانُ بْنُ دَا ُو َد ْاله‬
‫ فَ َوهَّللا ِ َما َعلَى َأ َح ٍد‬:‫ت‬ ُ ‫َاح َعلَ ْي ِه َأ ْن يَطَّوَّفَ بِ ِه َما} قُ ْل‬ َ ‫صفَا َو ْال َمرْ َوةَ ِم ْن َش َعاِئ ِر هَّللا ِ فَ َم ْن َح َّج ْالبَيْتَ َأ ِو ا ْعتَ َم َر فَال ُجن‬ َّ ‫ {ِإ َّن ال‬:‫تَ َعالَى‬
‫ فال جناح عليه َأاَّل‬:‫َت َعلَى َما أوّلتَها عليه كانت‬ ْ ‫ بِْئ َس َما قُ ْلتَ يَا ا ْبنَ ُأ ْختِي ِإنَّهَا لَوْ كَان‬:ُ‫ت عَاِئ َشة‬ ْ َ‫ُجنَا ٌح َأ ْن اَل يطَّوف بِ ِه َما؟ فَقَال‬
‫ التِي كَانُوا يَ ْعبُدُونَهَا ِع ْن َد‬،‫صا َر كَانُوا قَ ْب َل َأ ْن يُ ْسلِ ُموا كَانُوا يُ ِهلّون لِ َمنَاةَ الطَّا ِغيَ ِة‬ َ ‫ت َأ َّن اَأْل ْن‬ ْ َ‫ َولَ ِكنَّهَا ِإنَّ َما ُأ ْن ِزل‬،‫يَطَّ َوفَ بِ ِه َما‬
‫ يَا‬:‫ فَقَالُوا‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ ‫ك َرسُو َل هَّللا‬ َ ِ‫ فَ َسَألُوا ع َْن َذل‬،‫صفَا َو ْال َمرْ َو ِة‬ َّ ‫ َو َكانَ َم ْن أه َّل لَهَا يَتَ َح َّر ُج َأ ْن يطوَّف بِال‬.‫ال ُمشلَّل‬
‫هَّللا‬
}ِ ‫صفَا َوال َمرْ َوةَ ِم ْن َش َعاِئ ِر‬ ْ َّ ‫ {ِإ َّن ال‬:َّ‫ فَ ْنزَ َل ُ َع َّز َو َجل‬.‫صفَا َو ْال َمرْ َو ِة فِي ال َجا ِهلِيَّ ِة‬
‫هَّللا‬ ‫َأ‬ ْ َّ ‫ ِإنَّا ُكنَّا نَتَ َح َّر ُج َأ ْن نطَّوف بِال‬،ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫َرس‬
‫ْس َأِل َح ٍد‬ َ ‫ي‬َ ‫ل‬َ ‫ف‬ ،‫ا‬‫م‬ ‫ه‬
َِِ ‫ب‬ َ‫اف‬ ‫و‬َ َّ ‫الط‬ ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬
َ َ َ ِ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ ‫هَّللا‬ ‫ى‬َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ِ ‫هَّللا‬ ‫ل‬ُ ‫ُو‬
‫س‬ ‫ر‬ ‫ن‬
َ َ َّ ‫س‬ ْ
‫د‬ َ ‫ق‬ ‫م‬
َّ ُ ‫ث‬ :ُ ‫ة‬‫ش‬َ ‫ِئ‬ ‫َا‬
‫ع‬ ‫ت‬ْ َ ‫ل‬ ‫ا‬َ ‫ق‬ }‫ا‬ ‫م‬‫ه‬
َِِ ‫ب‬ َ‫َّف‬ ‫و‬ َّ ‫ط‬َ ‫ي‬ ْ
‫ن‬ ‫َأ‬ ‫ه‬
ِ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬‫ع‬َ ‫ح‬
َ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫ج‬
ُ ‫ال‬َ ‫ف‬{ : ِ ِ ْ‫ِإلَى قَو‬
‫ه‬ ‫ل‬
َّ
‫ ْن يَدع الط َوافَ بِ ِه َما‬. ‫َأ‬

Artinya: “Imam Ahmad meriwayatkan dari Urwah, dari Aisyah radiallahu ‘anha, bahwa ia
bertanya, bagaimana pendapatmu mengenai firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Shafa dan
Marwah adalah sebagian ‘dari syi’arAllah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah
atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya.”
Kukatakan, “Demi Allah, tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak mengerjakan sa’i di
antara keduanya.” Aisyah pun berkata, “Hai anak saudara perempuanku, betapa buruk apa
yang engkau katakan itu. Seandainya benar ayat ini seperti penafsiranmu itu, maka tidak ada
dosa bagi seseorang untuk tidak mengerjakan sa’i antara keduanya. Tetapi ayat itu
diturunkan berkenaan dengan kaum Anshar yang sebelum masuk Islam berkorban dengan
menyebut nama berhala Manat, yang mereka sembah di Musyallal. Dan orang-orang yang
berkorban untuknya itu merasa bersalah untuk mengerjakan sa’i antara Shafa dan Marwah.
Kemudian mereka menanyakan hal itu kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, kami merasa
bersalah untuk mengerjakan sa’i antara Shafa dan Marwah pada masa jahiliyah, lalu Allah
menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian ‘dari syi’ar
Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada
dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya.” Aisyah berkata: “Dan Rasulullah telah
mensyari’atkan sa’i antara keduanya, maka tidak seorang pun diperbolehkan meninggalkan
sa’i di antara Shafa dan Marwah.” (HR. Ahmad 6/144 dan Al-Bukhari 1643)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan sa’i antara keduanya seraya


bersabda: “Hendaklah kalian mencontohku ketika kalian mengerjakan haji.” Dengan
demikian segala hal yang beliau kerjakan dalam menunaikan ibadah haji, maka harus
dikerjakan umatnya dalam menunaikan ibadah haji, kecuali hal-hal yang dikecualikan
berdasarkan dalil. Dan telah disebutkan sebelumnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, “Kerjakanlah sa’i, karena Allah Ta’ala telah mewajibkan kepada kalian sa’i.”

Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah merupakan
salah satu syi’ar-Nya, merupakan sesuatu yang disyari’atkan kepada Ibrahim ‘alaihi as-salam
dalam menunaikan ibadah haji. Dan telah dikemukakan sebelumnya dalam hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa asal-usul sa’i didasarkan pada peristiwa Hajar yang
berlari-lari kecil bolak-balik antara Shafa dan Marwa dalam rangka mencari air untuk
puteranya, tatkala sudah habis air dan bekal keduanya. Kemudian Allah Ta’ala memancarkan
air zamzam untuk keduanya. Air yang merupakan makanan yang dapat mengenyangkan, dan
obat bagi penyakit. Nash (teks) ini yang terdapat dalam manuskrip al-Azhar, sedang dalam
manuskrip Al-Amiriyah hadits itu berbunyi, “Air Zamzam itu merupakan makanan yang dapat
mengenyangkan,dan obat bagi penyakit.” Hadits ini Juga diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan
al-Bazzar, dari Abu Dzar.

5. # Batasan aurat wanita di hadapan wanita

Ada dua pendapat yang mempersoalkan hal ini:

Pertama, sebagian ahli berpendapat aurat wanita di hadapan wanita lain meliputi di bawah
pusar sampai lutut dengan syarat aman dari fitnah dan tidak menimbulkan syahwat bagi
orang yang memandangnya.

Kedua, batasan aurat wanita dengan wanita lain, adalah sama dengan batasan di hadapan
mahramnya, yaitu boleh memperlihatkan bagian tubuh yang menjadi tempat perhiasan,
seperti rambut, leher, dada bagian atas, lengan tangan, kaki dan betis.

# Batasan aurat wanita di hadapan mahramnya Mahram merupakan seseorang yang haram
dinikahi karena hubungan nasab, kekerabatan dan persusuan. Pendapat yang paling kuat
tentang aurat wanita di depan mahramnya yaitu seorang mahram diperbolehkan melihat
anggota tubuh wanita yang biasa nampak ketika dia berada di rumahnya, meliputi kepala,
muka, leher, lengan, kaki, betis atau dengan kata lain boleh melihat anggota tubuh yang
terkena air wudhu. Dan hadist Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu
anhuma berkata : Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan wudhu’ secara bersamaan [HR. Al-Bukhâri, no.193 dan yang lainnya]

# batasan aurat wanita didepan laki laki ajnabi

Mayoritas ulama bersepakat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat didepan laki-laki
asing yang bukan mahramnya, kecuali muka dan telapak tangan dengan syarat aman dari
fitnah, berdasarkan dalil:

‫وال يبدين زينتهن اال ما ظهر منَّا‬

“Dan janganlah mereka (para perempuan) menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang
Nampak darinya.” (Qs. An-Nur:31)
Hadits Asma binti Abu Bakar:

‫ي آسماء ان المر آة اذا بلغت المحيض لم تصلح آن‬ َ :‫ وقال‬.‫آنها دخلت ع َّل رسول هللا ﷺ وعليْا ثياب رقاق فأ عرض عنَّا‬
‫ و آشار ا َل وجْ ه و كفيه‬.‫يرى منَّا االهذاوهذا‬

Bahwasanya ia pernah menemui rasulullah s.a.w dengan mengenakan pakaian yang tipis,
kemudian beliau berpaling darinya dan berkata: Wahai Asma, sesungguhnya seorang
perempuan jika telah baligh tidak boleh nampak darinya ini dan ini, seraya menunjuk muka
dan telapak tangannya. (HR Abu Daud)

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menerangkan sebab pengecualian muka dan telapak
tangan, bahwa dalam beberapa kondisi seperti akad jual beli dan persaksian, seorang
perempuan perlu memperlihatkan mukanya sebagai tindakan preventif dari kecurangan.

Anda mungkin juga menyukai