Anda di halaman 1dari 11

1

KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN MELALUI JALAN AL-S}ARFAH

Oleh:

Fadhli Abdullah M1
Faisol Mubarok2
Email: dulfadhly96@gmail.com
Email: faisolmubarok35@gmail.com

Abstrak:

Pendahuluan

Setiap Nabi yang diutus, selalu dibekali mukjizat untuk meyakinkan manusia

yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan atau misi yang dibawanya. Mukjizat

tersebut selalu dikaitkan dengan kemampuan atau keahlian masyarakat yang

dihadapi oleh setiap Nabi pada zamannya masing-masing. 1 Begitu pula al-Qur’an, ia

merupakan mukjizat paling agung yang diberikan kepada Nabi Muhammad yang

salah satu keunggulannya adalah memiliki kandungan teks yang jauh mengungguli

teks-teks serupa pada zamannya.2 Keunggulan tersebut terkait erat dengan kondisi

nyata pada masa Nabi Muhammad dimana sastra menjadi bagian dari kehidupan

masyarakat sehari-hari. Untuk menunjukan keunggulannya tersebut, al-Qur’an

“melontarkan” tantangan3 kepada para ahli shi’ir pada masa itu untuk membuat

yang serupa dengan al-Qur’an, namun tetap saja tidak ada satu pun di antara

mereka yang mampu melayani tantangan tersebut.

1
Harun Shihab, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), 794.
2
Nas}ir H}amid Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas}: Dirasat fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n (Cet. 2; Beirut: al-
Markaz al-thaqafi al-Arabi, 1994), 137.
3
Pada hakikatnya, hal tersebut dimaksudkan sebagai tantangan sekaligus “pukulan”
terhadap masyarakat yang ragu serta ingkar kepada Rasulullah saw. Salah satu sifat
sekaligus syarat diterimanya sesuatu sebagai mukjizat adalah selalu bersifat menantang
(tah}addi>). Lihat Jalal al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ’Ulu>m al-Qur’a>n (Juz 2; Mesir:
Maktabah al-Taufi>q, 2003), 116. Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, istilah teknis ini berarti
tantangan al-Qur’an kepada manusia untuk membuat sesuatu yang serupa dengannya. Lihat
Muh}ammad ’Abdullah Darraz, al-Naba’ al-’Az}i>m (Jilid 1; Kairo: Mat}ba’ah al-Sa’adah, 1969),
71. Melalui, tantangan tersebut, Allahh swt. ingin menunjukan bahwa kemampuan (keahlian)
yang dimiliki manusia, tidak seberapa dibandingkan mukjizat yang dimiliki Nabi. Lihat
Quraish Shihab, “Pengantar” dalam Daud al-Athtar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an (Bandung:
Pustaka Hidaya, 1994), 10.
2

Sebagian kalangan pemikir mengakui ketidak mampuan manusia untuk

menyusun yang semisal dengan al-Qur’an. Namun menurut mereka, ketidak

mampuan tersebut bukanlah disebabkan oleh keistimewaan al-Qur’an, tetapi lebih

disebabkan adanya campur tangan Allah dalam menghalangi manusia untuk

membuat yang semisal dengan al-Qur’an. Artinya, ketidak mampuan tersebut

disebabkan adanya intervensi Tuhan untuk melemahkan serta membuat manusia

tidak berdaya, bukan karena faktor al-Qur’an itu sendiri. Paham ini kemudian

menyebut mukjizat al-Qur’an tersebut dengan istilah al-s}arfah. Lalu benarka

semangat mereka dilemahkan oleh Allah? Selanjutnya dalam makalah ini akan

diuraikan lebih jelas tentang konsep doktrin al-s}arfah serta bagaimana para ulama

menyikapi paham tersebut.

Pembahasan

1. Pengertian I’ja>z al-Qur’an dan Paham al-S}arfah

Secara etimologis, kata mukjizat berasal dari kata ‫عجز‬ yang memiliki arti

“lemah” atau “tidak kuasa”.4 Kata ”‫ ”عجز‬merupakan fi’il la>zim atau intransitif yang

kemudian mendapat tambahan alif di depannya sehingga menjadi transitif “‫”اعجز‬

yang berarti melemahkan. Dari kata transitif inilah kemudian membentuk kata

mukjizat, pelakunya (yang melemahkan) disebut mu’jiz. Apabila kemampuan

melemahkan tersebut sangat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka

dinamakan dengan “‫”معجزة‬. Tambahan ta’ marbut}ah di akhir kata mengandung arti

muba>laghah (superlatif).5 Secara terminologi, mukjizat berarti ‫الع َاد ِة‬


َ ‫َْأم ٌر َح ا ِر ٌق َع ْن‬
‫َّاس بِ َأ ْن يَ ْأُت ْوا‬ ِ
َ ‫“ يُ ْعج ُز الن‬sesuatu hal luar biasa karena bertentangan dengan kebiasaan

dimana manusia tidak sanggup mendatangkan yang sama dengannya”.6 Selain

4
Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariyya> Abu> al-H}usain, Maqa>yi>s al-Lughah (Juz 4; t.t.: Ittiha>d al-
Kita>b al-’Ara>bi>, 2012), 190. Lihat juga Ah}mad Warson al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 898.
5
M. Quraish Shihab, Mikjizat Al-Qur’an Ditnjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Ghaib (Cet. 1; Bandung: Mizan, 1997), 23.
6
S}ubh}i> al-S}a>lih}, Maba>hith fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-’Ilmi> li> al-Malayin,
1977), 21. Lihat juga Al-Munjid, fi> al-Lughah wa al-A’la>m (Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyyah,
1987), 488.
3

definisi tersebut, ada pula definisi mukjizat yang dikemukakan oleh para ulama, di

antaranya:

a. al-Zarqani, mukjizat adalah perkara luar biasa yang keluar dari batas-batas sebab

yang dikenal. Diciptakan oleh Allah kepada seseorang yang mengaku sebagai

Nabi, dan menjadi saksi atas kebenaran risalah yang dibawanya.7

b. M. Bakr Ismail, mukjizat adalah suatu hal luar biasa yang disertai tantangan,

diberikan oleh Allah kepada Nabi sebagai bukti kebenaran dakwahnya.8

c. M. Quraish Sihab, mukjizat adalah suatu hal luar biasa yang terjadi melalui

seseorang yang mengaku Nabi, sebagai tantangan kepada orang yang ragu untuk

mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak akan mampu melayani tantangan

tersebut.9

Berdasarkan beberapa definisi mukjizat di atas, dapat dipahami bahwa

mukjizat adalah suatu gejala qur’ani yang membuat manusia tidak mampu meniru

al-Qur’an atau bagian-bagiannya baik dari segi isi maupun dari segi bentuknya.10

Adapun al-s}arfah terambil dari akar kata ‫رصف‬ (s}arafa) yang berarti

memalingkan dalam arti Allah memalingkan manusia dari upaya membuat yang

semacam dengan al-Qur’an sehingga seandainya tidak dipalingkan maka manusia

akan mampu membuat yang semisal al-Qur’an. Dengan kata lain kemukjizatan al-

Qur’an lahir dari faktor eksternal, bukan dari al-Qur’an itu sendiri.11

2. Genealogi Paham al-S}arfah

7
Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Mesir:
Dar al-Kutub, t.th.), 226.
8
Muh}ammad Bakr Isma>i>l, Dira>sa>t fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Mesir: Dar al-‘Inad, 1991), 390.
9
M. Quraish Shihab, Mikjizat Al-Qur’an Ditnjau dari Aspek Kebahasaan, 23.
10
Issa J. Boullata, The Rhetorical Interpretation of the Qur’an: I’jaz and Related Topics (Oxford:
Clarendon Press, 1988), 141.Berdasarkan beberapa definisi mukjizat yang di uaraikan, dapat
dipahami bahwa ada beberapa unsur penting yang harus menyertai mukjizat, yaitu: a)
sesuatu yang berasal dari Allah, b) suatu hal atau peristiwa yang luar biasa, c) terjadi pada
diri Nabi atau Rasul, d) ada tantangan bagi orang-orang yang meragukan hal tersebut, e)
tidak seorangpun mampu menandinginya. Lihat ‘Ali> al-S}a>bu>ni>, al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n, Terj. M. Qadirun Nur (Jakarta: Pustaka Amani, t.th.), 130-131.
11
M. Quraish Shihab, Mikjizat Al-Qur’an Ditnjau dari Aspek Kebahasaan, 155.
4

Paham al-s}arfah pertama kali dianut oleh kaum Mu’tazilah dengan

promotornya bernama Isa ibn Shabih al-Mizdar12 dan kemudian diteruskan oleh al-

Naz}a>m.13 Menurut al-Naz}a>m, pada dasarnya kemukjizatan al-Qur’an tidak


terletak pada kehebatan al-Qur’an itu sendiri, melainkan lebih dikarenakan s}arfah

(proteksi) dari Allah. Lebih lanjut, al-Naz}a>m mengatakan bahwa Allah tidak saja

memproteksi kemampuan manusia untuk menandingi al-Qur’an, akan tetapi Allah

juga membelenggu kefasihan lidah mereka.14 Dalam kalimat lain, ketidak mampuan

bangsa Arab bahkan bangsa mana pun untuk menandingi al-Qur’an dalam

pandangan al-Naz}a>m, lebih disebabkan karena paksaan Allah kepada hamba-

hamba-Nya. Paksaan tersebut dilakukan melalui rekayasa sterilisasi kemampuan

mereka agar mereka tidak berdaya menghadirkan yang sepadan dengan al-Qur’an,

betapa pun hebatnya ilmu bahasa dan pengetahuan yang mereka miliki.15

Tokoh dari aliran lain yang sepemikiran dengan al-Naz}a>m adalah al-

Murtadha yang berasal dari kalangan mazhab Shi’ah. Ia perpendapat bahwa I’jaz al-

Qur’an terjadi karena al-s}arfah dari Allah. Menurutnya, Allah sengaja mematikan

kreativitas dan kemampuan orang Arab dari kemungkinan mereka menandingi al-

Qur’an. Padahal, pada dasarnya mereka memiliki kemampuan untuk membuat

sesuatu yang sepadan dengan al-Qur’an.16

Tuduhan penafian I’jaz al-Qur’an dari tokoh Muktazilah dan Shi’ah di atas

nampaknya hanya sebatas argumentasi belaka dan tidak sesuai dengan data serta

fakta yang ada. Sejarah dan al-Qur’an justru mencatat sebaliknya. Dari sisi al-Qur’an

misalnya, ada empat ayat17 yang berisikan tantangan untuk membuat yang serupa

12
Isa ibn Shabih al-Mizdar merupakan salah satu tokoh kaum Mu’tazilah. Ia memiliki
kemampuan fas}ahah yang indah. Ia mempunyai peran penting dalam menyebarkan paham
al-S}arfah di Baghdad. Kepribadiannya yang zahid dan kemapuannya dalam mengungkap
nasehat-nasehat agama, membuatnya dijuluki sebagai rahib Mu’tazilah. Lihat ‘Ali H}asan
al-‘Ami>ri, H}aul I’ja>z al-Qur’a>n (Kairo: Mathobi’ Rauz al-Yusuf al-Jadidah, 1998), 157.
13
Manna> khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Lahore: Dar Nashri al-Kutub
al-Islamiyah, 1987), 261.
14
Muh}ammad Sa’i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, Min Rawa’i al-Qur’a>n (t.t.: t.p., 1977), 150.
15
Muh}ammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), 174.
16
Manna> khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith, 261.
17
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung tantangan tersebut, tersebar dalam
beberapa surat yaitu Q.S. al-Isra’/17: 88. Ayat tersebut mengungkapkan meskipun jin dan
5

dengan al-Qur’an. Bahkan salah satu ayat tentang rangkaian tantangan tersebut,

mengandung kalimat “tendensius” dan sekan-akan melecehkan orang-orang yang

mengingkari al-Qur’an. Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2: 23-24.

‫ُون ٱهَّلل ِ ن ُكنمُت ۡ َصٰ ِد ِق َني فَ ن ل َّ ۡم تَ ۡف َعلُو ْا‬ ‫ٱ‬


ِ ‫َو ن ُكنمُت ۡ يِف َريۡ ٖب ِّم َّما نَ َّزلۡنَا عَىَل ٰ َع ۡب ِداَن فَ ۡأتُو ْا ب ُِس َورةٖ ِّمن ِّمثۡهِل ِ ۦ َو ۡدعُو ْا ُشهَدَ ٓا َءمُك ِّمن د‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َولَن تَ ۡف َعلُو ْا فَٱت َّ ُقو ْا ٱلنَّ َار ٱلَّيِت َوقُو ُدهَا ٱلنَّ ُاس َوٱلۡ ِح َج َار ُة ۖ ُأ ِعدَّ ۡت ِل ۡل َكٰ ِف ِر َين‬
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan

kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran

itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang

benar. Maka jika kamu tidak dapat membuatnya dan pasti kamu tidak akan dapat

membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan

batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.”18

Demikianlah mereka ditantang untuk selama-lamanya dan dipastikan

mereka tidak akan mampu, bukan hanya hari ini dan esok, tetapi bahkan untuk

selama-lamanya. Mereka bahkan dipersamakan dengan batu dan diancam untuk

dijadikan bahan bakar neraka. Kalimat-kalimat al-Qur’an yang seolah-olah

memandang enteng tersebut, seharusnya akan membuat mereka semakin

bersemangat dan menggebu-gebu untuk menerima tantangan tersebut. Jika

demikian, apa dasar yang digunakan untuk mengatakan bahwa ada faktor eksternal

yang melemahkan semangat mereka? Bukankah gaya retorika al-Qur’an tersebut

justru akan membakar semangat mereka? Lalu mengapa mereka tetap tidak sanggup

melayani tantangan tersebut? Padahal bahasa al-Qur’an adalah bahasa mereka.

Mereka pun terkenal sebagai pujangga kawakan, bahkan di dunia ini tidak ada

manusia bersatu untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur’an, maka mereka tidak
akan mampu meskipun mereka saling membantu satu sama lain. selanjutnya dalam Q.S.
yunus/10: 38, mereka ditantang untuk membuat satu surat saja, kemudian dalam Q.S.
Hud/11: 13, mereka kembali ditantang dengan 10 surat. Ketiga ayat tersebut turun di Mekah,
selanjutnya di Madinah turun lagi satu ayat tantangan yang terakhir yaitu Q.S. al-Baqarah/2:
23 yang menantang mereka untuk menggubah satu surat saja. Lihat ’A>ishah Abd al-Rahman
Binti al-Sha>t}i>, al-I’ja>z al-Baya>ni> li> al-Qur’a>n (t.t.: Da>r al-Ma’a>rif, t.th.), 66-67.
18
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT. Sigma ExaMedia
Arkanleema, 2009), 4.
6

negeri di mana sastra dalam bentuk lisan sangat digandrungi ketika itu kecuali di

Arab.19

Adapun berdasarkan sejarah, data justru menjukan bahwa mereka berusaha

menghalangi laju ajaran al-Qur’an dengan segala cara yang mereka mampu lakukan.

Bukankah mereka melawan Muhammad dengan pedang dan tombak? Mengapa

mereka harus melakukan hal yang sukar tersebut jika mereka mampu meruntuhkan

dakwah Muhammad dengan membuat yang semisal dengan al-Qur’an. 20 Hal ini

justru menunjukan bahwa semangat menantang tetap menggebu, hanya saja

membuat yang semisal al-Qur’an tidak terlayani. Mereka sadar akan kemampuan

mereka yang terbatas, maka mereka terpaksa mencari cara lain. 21 Penjelasan tersebut

menunjukan bahwa al-Qur’an justru “sengaja” memantik semangat orang-orang

yang mengingkarinya, bukan justru melemahkan semangat mereka.

Dalih mereka berikutnya adalah menyatakan bahwa Allah mencabut

pengetahuan dan rasa bahasa mereka. Pernyataan tersebut dibantah oleh salah satu

tokoh mereka sindiri yaitu al-Wali>d ibn al-Mughi>rah dengan menyatakan; ‫ما هذا‬
‫“ بق ول بشر‬ini bukan ucapan manusia”. Ketika kritikus masa kini dan masa lalu

19
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Cet. 3; London: Macmillan, 1946), 90. Lihat juga ‘Ali> Abd
al-Wa>h}id Wafi>, Fiqh al-Lughah (Mesir: Lajnah al-Bayn al-’Arab, 1962), 112-113.
20
Al-Qur’an bukanlah produk sastra tetapi ketinggian nilai-nilai sastranya yang unik,
fantastik, dan spesifik tidak dapat dijangkau oleh sastrawan manapun. Pesona gaya bahasa
al-Qur’an menjelma menjadi senjata yang ampuh dan mampu melumpuhkan para pujangga
dan sastrawan di tanah Arab. Lihat Must}afa S}a>diq al-Ra>fi’i, I’ja>zal-Qur’a>nwa al-
Bala>ghat al-Nabawiyah (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Nabawi>, t.th.), 17-18. Bahkan al-Qur’an
menantang para ahli shi’ir ketika itu untuk mebuat satu surah yang semisal dengan al-Qur’an
jika tidak mampu secara keseluruhan. Meskipun di antara mereka ada beberapa yang nekat
memenuhi tantangan tersebut, namun kualitas karya mereka sama sekali tidak dapat
disandingkan dengan al-Qur’an. Misalnya salah satu gubahan Musailamah al-Kadhdha>b
sebagai berikut:

‫ وخر طوم طويل‬,‫ له ذنب و بيل‬,‫ وماادراك ماالفيل‬,‫ ماالفيل‬,‫الفيل‬


Jelas komposisi gubahan Musailamah al-Kadhdha>b meniru al-Qur’an dan dari segi
makna juga tidak ada yang istimewa. Lihat Ibnu Jari>r al-T}abari>, Ta>rikh al-Umam wa al-
Mulu>k (Jilid 2; Kairo: al-H}usainiyah, t.th.), 506. Mereka hanya meniru gaya bahasa al-Qur’an
kemudian mereka frustasi dan melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa Nabi Muh}ammad
saw. adalah tukang sihir, orang gila, orang kesurupan dan sebagainya. Lihat Andrew Rippin,
Approachhes to the History of the Interpretation of the Qur’an (London: Clarendon Press,
1986), 139-140. Lihat juga Ami>n al-Khu>li> dan Nas}ir H}a>mid Abu> Zaid, Metode Tafsir
Sastra, Terj. Khairan Nahdiyin (Cet. 1; Yogyakarta: Adab Press, 2004), 93-94.
21
M. Quraish Shihab, Mikjizat Al-Qur’an Ditnjau dari Aspek Kebahasaan, 156-158.
7

membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan syair dan ucapan-ucapan mereka yang

mereka gubah, baik sebelum maupun sesudah turunnya al-Qur’an. Para kritikus

tersebut menundukan kepala karena kagum betapa besar perbedaan antara

keduanya. Sebagai contoh, berikut ini adalah ungkapan yang dinilai sangat indah

lagi syarat makna sehingga amat populer dikalangan masyarakat jahiliyah; ‫القتل انفى‬
‫للقتل‬ “pembunuhan lebih mampu menglangi pembunuhan”. Ungkapan indah lagi

syarat makna tersebut menjadi berkurang nilainya saat diperhadapkan dengan

redaksi singkat al-Qur’an yang maksudnya sama; ‫“ ولكم ىف القصاص حيوة‬dan dalam
qis}a>s} itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu”.

Abu> al-H}asan ‘Ali> ibn ‘I>sa al-Ruma>ni> dalam bukunya yang berjudul

al-Nukat fi> I’ja>z al-Qur’a>n sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab,

menegmukakan empat keistimewaan redaksi al-Qur’an tentang qis}a>s} yang tidak

dimiliki ungkapan sebelumnya, yaitu:22 a) redaksi al-Qur’an mengandung makna

yang lebih luas karena selain mengandung makna yang terdapat pada ungkapan

pertama, juga mengisyaratkan adanya keadilan dengan menggunakan kata qis}a>s},

b) redaksi al-Qur’an lebih singkat dibandingkan ungkapan sebelumnya. Ungkapan

‫ القتل انفى للقتل‬megandung empat belas huruf, sedangkan ungkapan al-Qur’an yang
serupa dengan ungkapan tersebut ‫ ىف القص اص حي وة‬hanya mengandung sepuluh

huruf, c) dalam redaksi al-Qur’an tidak terjadi pengulangan kata, sedangkan

ungkapan pertama mengulangi kata ‫القتل‬. Pengulangan tersebut dinilai mengurangi


nilai keindahan, d) susunan huruf yang membentuk kata-kata yang digunakan al-

Qur’an lebih mudah diucapkan, karena huruf lam diucapkan setelah fa (‫القصاص‬ ‫)ىف‬,
lebih mudah dari pada mengucapkan huruf lam ke hamzah (‫انفى‬ ‫)القتل‬. Hal tersebut
disebabkan karena tempat keluarnya huruf hamzah berjauhan dari lam. Demikian

juga keluarnya huruf s}a>d ke h{a (‫حيوة‬ ‫ )قصاص‬lebih mudah dari pada alif ke la>m

dengan alasan yang sama.

Harus diakui bahwa para pemikir yang menganut paham al-s}arfah memiliki

alasan yang kuat untuk mendukung paham mereka. Alasan tersebut sekurang-

22
Ibid, 159-160.
8

kurangnya didasarkan pada dua hal23: pertama, masyarakat Arab mampu

mengucapkan kata dan kalimat-kalimat semacam al-Qur’an. Misalnya, ‘Uma>r ibn

Khat}t}a>b pernah mengungkapkan suatu kalimat ketika memberikan usulan

kepada Nabi; ‫“ ل و اختذت من مق ام اب راهيم م ا مص لى‬seandainya engkau menjadikan

makam Ibrahim sebagai tempat shalat”. Usul ‘Uma>r tersebut kemudian “diterima”

al-Qur’an dengan turunnya Q.S. al-Baqarah/2: 125 yang menggunakan redaksi yang

hampir sepenuhnya sama, yaitu; ‫“ واختذوا من مقام ابراهيم مصلى‬dan jadikanlah makam
Ibra>hi>m sebagai tempat shalat”. Suatu ketika, Rasulullah juga pernah

mendiktekan kepada ‘Abdullah ibn Abi> Sarh} agar menuliskan ayat-ayat surat al-

Mu’minun yang antara lain berbicara tentang proses kejadian manusia. Ketika

Rasulullah belum selesai membacakan keseluruhan ayat, ‘Abdullah ibn Abi> Sarh

berkata; ‫فتب ارك اهلل احس ن اخلالقني‬, mendengar hal tersebut Rasulullah kemudian
bersabda; ‫“ اكتب ! فهك ذا ان زل‬tulislah (yang engkau ucapkan) karena seperti itulah

bunyi ayat yang diturunkan”. Redaksi tersebut kemudian dapat ditemukan dalam

Q.S. al-Mu’minun tertera pada akhir ayat 14. Kedua, ketika terjadi upaya

pengumpulan naskah al-Qur’an pada masa pemerintahan Abu> Bakr al-S}iddi>q,

beliau memerintahkan kepada ‘Uma>r ibn Khat}t}a>b dan Zaid ibn Tha>bit agar

berdiri di pintu masjid dan tidak menerima naskah kecuali disertai oleh dua orang

saksi. Hal tersebut menjadi salah satu dasar argumentasi penganut paham al-

sa>rfah bahwa seandainya al-Qur’an merupakan mukjizat dari segi bahasanya,

maka tentu kesaksian itu tidak diperlukan. Sebab jika benar al-Qur’an adalah

mukjizat, maka tentu akan dengan mudah dibedakan dengan karya manusia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Arab dapat mengucapkan kalimat-

kalimat yang serupa dengan al-Qur’an. Meskipun demikian, riwayat yang

menceritakan tentang usul ‘Uma>r yang diabadikan dalam al-Qur’an tidak dapat

dijadikan bukti kemamampuan orang Arab untuk melayani tantangan al-Qur’an.

Hal tersebut disebabkan karena tantangan al-Qur’an tidak menyangkut kalimat-

kalimat pendek sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, akan tetapi satu surah

23
Ibid, 160-162.
9

yang isinya minimal tiga ayat. Adapun keharusan adanya dua saksi untuk menerima

naskah-naskah al-Qur’an pada masa pemerintahan Abu> Bakr al-S}iddi>q bertujuan

untuk memastikan kalau yang dibawa tersebut benar-benar otentik dan pernah

didikteken oleh Nabi kepada para penulis wahyu. Hal tersebut kemudian diperkuat

dengan hafalan yang disaksikan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil

bersepakat untuk berdusta.24

Kesimpulan

Paham al-s}arfah merupakan doktrin yang menganggap bahwa ketidak

mampuan manusia membuat yang semisal dengan al-Qur’an disebabkan karena

adanya intervensi Tuhan (faktor eksternal), bukan karena kehebatan atau

keistimewaan al-Qur’an itu sendiri. Menurut doktrin tersebut, jika saja Tuhan tidak

“mencabut” kreativitas dan membelenggu kefasihan lidah mereka, niscaya mereka

mampu mampu membuat yang semisal dengan al-Qur’an. Namun demikian, paham

tersebut hanya merupakan klaim belaka. Fakta sejarah misalnya justru menampilkan

sesuatu yang berbanding terbalik dengan klaim mereka, yang menganggap bahwa

semangat mereka dicabut oleh Tuhan sehingga tidak mampu membuat tandingan

bagi al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

24
Ibid, 162-163.
10

al-‘Ami>ri, ‘Ali H}asan, H}aul I’ja>z al-Qur’a>n, Kairo: Mathobi’ Rauz al-Yusuf al-
Jadidah, 1998.

al-Bu>t}i>, Muh}ammad Sa’i>d Ramad}a>n, Min Rawa’i al-Qur’a>n, t.t.: t.p., 1977.

Darraz, Muh}ammad ’Abdullah, al-Naba’ al-’Az}i>m, Jilid 1; Kairo: Mat}ba’ah al-Sa’adah,


1969.

al-H}usain, Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariyya> Abu>, Maqa>yi>s al-Lughah, Juz 4; t.t.:
Ittiha>d al-Kita>b al-’Ara>bi>, 2012.

Isma>i>l, Muh}ammad Bakr, Dira>sa>t fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Mesir: Dar al-‘Inad, 1991.

J. Boullata, Issa, The Rhetorical Interpretation of the Qur’an: I’jaz and Related Topics,
Oxford: Clarendon Press, 1988.

K. Hitti, Philip, History of the Arabs, Cet. 3; London: Macmillan, 1946 .

al-Khu>li, Ami>n, Metode Tafsir Sastra, Terj. Khairan Nahdiyin, Cet. 1; Yogyakarta:
Adab Press, 2004.

M. Quraish Shihab, “Pengantar” dalam Daud al-Athtar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an,
Bandung: Pustaka Hidaya, 1994.

_______Mikjizat Al-Qur’an Ditnjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan


Pemberitaan Ghaib, Cet. 1; Bandung: Mizan, 1997.

Manna> khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Lahore: Dar Nashri al-
Kutub al-Islamiyah, 1987), 261.

al-Munawir, Ah}mad Warson, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif,


1997.

al-Munjid, fi> al-Lughah wa al-A’la>m, Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyyah, 1987.

al-Ra>fi’I, Must}afa S}a>diq, I’ja>zal-Qur’a>nwa al-Bala>ghat al-Nabawiyah, Beirut:


Da>r al-Kita>b al-Nabawi>, t.th.

Rippin, Andrew, Approachhes to the History of the Interpretation of the Qur’an, London:
Clarendon Press, 1986.

al-S}a>bu>ni>, ‘Ali>, al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Terj. M. Qadirun Nur, Jakarta:
Pustaka Amani, t.th.

al-S}a>li>h, S}ubh}i> }, Maba>hith fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Beirut: Da>r al-’Ilmi> li> al-
Malayin, 1977.

al-Sha>t}i>, ’A>ishah Abd al-Rahman Binti, al-I’ja>z al-Baya>ni> li> al-Qur’a>n, t.t.:
Da>r al-Ma’a>rif, t.th.

Shihab, Harun, Ensiklopedi IslamIndonesia, Jakarta:Djambatan, 1992.

Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013.

al-Suyu>t}i>, Jalal al-Di>n, al-Itqa>n fi> ’Ulu>m al-Qur’a>n, Juz 2; Mesir: Maktabah al-
Taufi>q, 2003.
11

al-T}abari, Ibnu Jari>r, Ta>rikh al-Umam wa al-Mulu>k, Jilid 2; Kairo: al-H}usainiyah, t.th.

Wafi>, ‘Ali> Abd al-Wa>h}id, Fiqh al-Lughah, Mesir: Lajnah al-Bayn al-’Arab, 1962.

Zaid, Nas}ir H}amid Abu>, Mafhu>m al-Nas}: Dirasat fi ulum al-Qur’an, Cet. 2; Beirut:
al-Markaz al-thaqafi al-Arabi, 1994.

al-Zarqa>ni, Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m >, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n,
Mesir: Dar al-Kutub, t.th.

Anda mungkin juga menyukai