Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Epilepsi
1. Defenisi
Epilepsi atau orang Indonesia sering menyebutnya ayan adalah salah satu penyakit
yang dapat menyerang siapapun, tidak melihat wanita atau pria, anak- anak atau dewasa. Pada
dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi karena setiap orang memiliki otak dengan
ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya
bangkitan (Hantoro, 2013).
Epilepsi merupakan sebuah kondisi yang ditandai dengan munculnya kejang berulang
(dua kali atau lebih) yang kejadian tiap kejangnya berjarak lebih dari 24 jam (Hauser, 2016).
Pasien yang mengalami hanya kejang demam atau serangan saat neonatal tidak dimasukkan
dalam klasifikasi epilepsi (Ünver et al., 2015). Hal tersebut disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan berkala tetapi reversibel dengan berbagai
etiologi.
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan penyakit serebral
kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau lepasnya muatan listrik lokal pada substansia
grisea otak dengan karakteristik gejala berupa kejang berulang.
2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
a) Trauma lahir, asphyxia neonatorum
b) Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
c) Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d) Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
e) Tumor otak
f) Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2013).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama ialah epilepsi
idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut dan epilepsi pada anak-anak
yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua
jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi
dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik
dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama
seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila defisit neurologik terjadi pada saat
pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak
akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya
bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan.
Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan
pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda
seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa
kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat
bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini
berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/
trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi
terjadinya epilepsi.
3. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi dengan sindrom
epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang yaitu (Hantoro, 2013) :
a) klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak dengan
paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus otak
b) klasifikasi tipe kejang epilepsi
1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik:
1) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
2) Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
3) Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
4) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
5) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
b. Grand Mal
Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini
dapat dijumpai pada semua umur.
Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku
pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi
ini juga terjadi pada anak.
Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.
4. Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran karena adanya perbedaan muatan ion-ion
yang terdapat di dalam dan luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini
menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif.
Sinyal akan masuk melalui sinapsis yang bersifat eksitasi menyebabkan depolarisasi
membran yang berlangsung singkat, kemudian terjadi inhibisi yang menyebabkan
hiperpolarisasi membran . Kejang terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi, misalnya eksitasi yang berlebihan atau berkurangnya inhibisi. Hal ini
menyebabkan sinkronisasi abnormal pada aktivitas listrik di neuron dimana
manifestasi setiap kejang berbeda tergantung dari lokasi asal dan struktur otak yang
melepas muatan (Brodie et al., 2016). Bila terdapat lesi pada neuron di otak, muncul
beberapa fenomena yaitu :
A. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah
mengalami pengaktifan
B. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
secara berlebihan
C. Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelainan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA)
D. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan
ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmiter
eksitatorik atau deplesi neurotransmiter inhibitorik.
Pathway
Trauma lahir, cedera kepala,
demam, gangguan metabolik,
Faktor idiopatik tumor otak
Kerusakan neuron
G3 presesi
Ketidak sambungan lektrolit sensori
Isolasi
G3b depolarisasi (ke listrikan saraf) sosial
KEJANG
Parsial Umum
sederhana komplex
absen mioklonik Tonik klonik atonik
1. Kejang umum
a) Kejang absans
b) Kejang atonik
2 detik. Kesadaran dapat hilang sesaat atau tidak sama sekali dan
c) Kejang mioklonik
d) Kejang tonik-klonik
lengan atas.
6. pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak
jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan
otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal
dengan defisit neurologik yang jelas
b. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
menilai fungsi hati dan ginjal
menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
8. Penatalaksanaan
a. Atasi penyebab dari kejang
b. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang didalam
seseorang
Anti konvulson
Sedatif
Barbirorat
( Elizabeth, 2001 : 174 )
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi
fenitoin (difenilhidantoin)
karbamazepin
fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan
yang dicapai, yakni:
Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat
yang normal.
Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
c. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
d. Menaggulangi kejang epilepsi
1. Selama kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi
klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita
tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau
yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh
seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas,
mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika
Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan
aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat
atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
9. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi (konvulsi: spasma autau kekejangan kontruksi otot keras dan terlalu
banyak disebabkan oleh proses pada sistem saraf pusat, yang menimbulkan pula
kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman,
yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi
akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak
atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama
kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan
secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini.
10. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan
dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif
jelek.
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan
diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Pasien
sering mangalami kejang.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
a) Selama serangan :
Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,
kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
Apakah pasien menggigit lidah.
Apakah mulut berbuih.
Apakah ada inkontinen urin.
Apakah bibir atau muka berubah warna.
Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu
sisi atau keduanya.
b) Sesudah serangan
Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan
bicara
Apakah ada perubahan dalam gerakan.
Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum,
selama dan sesudah serangan.
Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi
denyut jantung.
Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c) Riwayat sebelum serangan
Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.
d) Riwayat Penyakit
Sejak kapan serangan terjadi.
Pada usia berapa serangan pertama.
Frekuensi serangan.
Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang
tidur, keadaan emosional.
Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai
dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
Apakah makan obat-obat tertentu
Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
Pemeriksaan fisik
1. Tingkat kesadaran pasien
2. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
3. Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
4. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi
5. Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
6. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
7. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
8. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
9. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan.
Tanda : dispnea, apnea, batuk
b. Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: -- perubahan aktivitas listrik Resiko cedera
di otak
DO:
pasien kejang (kaki menendang- Keseimbangan terganggu
nendang, ekstrimitas atas fleksi),
gigi geligi terkunci, lidah menjulur gerakan tidak terkontrol
DS: gangguan nervus V, IX, X Bersihan jalan napas
sesak, tidak efektif
lidah melemah
DO:
apnea, cianosis menutup saluran trakea
Adanya obstruksi
DS: Terjadi depolarisasi Gangguan persepsi
terjadi aura (mendengar bunyi berlebih sensori
yang melengking di telinga, bau- Bangkitan listrik di bagian
bauan, melihat sesuatu), halusinasi, otak serebrum
perasaan bingung, melayang2.
Menyebar ke nervus-
DO: nervus
penurunan respon terhadap
stimulus, terjadi salah persepsi Mempengaruhi aktivitas
organ sensori persepsi
DS: Stigma masyarakat yang Isolasi sosial
klien terlihat rendah diri saat buruk tentang penyakit
berinteraksi dengan orang lain epilepsi atau ”ayan”
Mengganggu pusat
respiratori
CO menurun
Kelelahan
intoleransi aktifitas
c. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
c. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
d. Ketidakefektifan pola napas b.d terganggunya saraf pusat pernafasan
e. Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
f. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
g. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
h. Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
d. Intervensi
Dx 1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil :
tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar,
tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika Sebagai informasi pada perawat untuk
merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, segera melakukan tindakan sebelum
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa terjadinya kejang berkelanjutan
sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama resiko cedera
pasien kejang
Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut menurunkan resiko aspirasi atau
dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat masuknya sesuatu benda asing ke faring.
yang lain jika fase aura terjadi dan untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal.
meningkatkan aliran (drainase) sekret,
Letakkan pasien dalam posisi miring, mencegah lidah jatuh dan menyumbat
permukaan datar jalan nafas
Dx 3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi Keluarga sebagai orang terdekat pasien,
kepada pasien sangat mempunyai pengaruh besar
dalam keadaan psikologis pasien
d. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kesimpulan.com/2009/04/epidemiologi-dan-diagnosis-epilepsi.html,
diakses tanggal 20 April 2013.
http://rumahterapialfina.blogspot.com/2012/05/asuhan-keperawatan-askep-
epilepsi.html. diakses tanggal 20 April 2013