Anda di halaman 1dari 26

Laporan Pendahuluan

Epilepsi

1. Defenisi

Epilepsi atau orang Indonesia sering menyebutnya ayan adalah salah satu penyakit
yang dapat menyerang siapapun, tidak melihat wanita atau pria, anak- anak atau dewasa. Pada
dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi karena setiap orang memiliki otak dengan
ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya
bangkitan (Hantoro, 2013).

Epilepsi merupakan sebuah kondisi yang ditandai dengan munculnya kejang berulang
(dua kali atau lebih) yang kejadian tiap kejangnya berjarak lebih dari 24 jam (Hauser, 2016).
Pasien yang mengalami hanya kejang demam atau serangan saat neonatal tidak dimasukkan
dalam klasifikasi epilepsi (Ünver et al., 2015). Hal tersebut disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan berkala tetapi reversibel dengan berbagai
etiologi.

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan penyakit serebral
kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau lepasnya muatan listrik lokal pada substansia
grisea otak dengan karakteristik gejala berupa kejang berulang.

2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
a) Trauma lahir, asphyxia neonatorum
b) Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
c) Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d) Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
e) Tumor otak
f) Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2013).

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama ialah epilepsi
idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut dan epilepsi pada anak-anak
yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua
jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi
dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik
dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama
seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila defisit neurologik terjadi pada saat
pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak
akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya
bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan.
Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan
pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda
seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa
kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat
bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini
berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/
trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi
terjadinya epilepsi.

Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi


Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

3. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi dengan sindrom
epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang yaitu (Hantoro, 2013) :
a) klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak dengan
paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus otak
b) klasifikasi tipe kejang epilepsi
1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik:
1) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
2) Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
3) Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
4) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
5) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi


sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
1) Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
2) Visual: terlihat cahaya
3) Auditoris: terdengar sesuatu
4) Olfaktoris: terhidu sesuatu
5) Gustatoris: terkecap sesuatu
6) Disertai vertigo

Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).

Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)


1) Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
2) Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
3) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
4) Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
5) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
6) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.

b. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.


Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-
mula baik kemudian baru menurun.
1) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-
A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
2) Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan,
mengembara tak menentu, dll.

Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan


kesadaran.
1) Hanya dengan penurunan kesadaran
2) Dengan automatisme

c. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,


klonik).
1) Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
2) Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
3) Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Epilepsi kejang umum


a. Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
1) Hanya penurunan kesadaran
2) Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada
kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
3) Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
4) Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher
atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke
belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
5) Dengan automatisme
6) Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
1) Gangguan tonus yang lebih jelas.
2) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Grand Mal
Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini
dapat dijumpai pada semua umur.

Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku
pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi
ini juga terjadi pada anak.

Kejang tonik- klonik


Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan
nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan
kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot
seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut
menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat
pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar
dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.

3. Epilepsi kejang tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.

4. Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran karena adanya perbedaan muatan ion-ion
yang terdapat di dalam dan luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini
menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif.
Sinyal akan masuk melalui sinapsis yang bersifat eksitasi menyebabkan depolarisasi
membran yang berlangsung singkat, kemudian terjadi inhibisi yang menyebabkan
hiperpolarisasi membran . Kejang terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi, misalnya eksitasi yang berlebihan atau berkurangnya inhibisi. Hal ini
menyebabkan sinkronisasi abnormal pada aktivitas listrik di neuron dimana
manifestasi setiap kejang berbeda tergantung dari lokasi asal dan struktur otak yang
melepas muatan (Brodie et al., 2016). Bila terdapat lesi pada neuron di otak, muncul
beberapa fenomena yaitu :
A. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah
mengalami pengaktifan
B. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
secara berlebihan
C. Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelainan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA)
D. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan
ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmiter
eksitatorik atau deplesi neurotransmiter inhibitorik.
Pathway
Trauma lahir, cedera kepala,
demam, gangguan metabolik,
Faktor idiopatik tumor otak

Kerusakan neuron

stabilisasi membran sinaps Ketidak seimbangan neurotransmiter

Invlux Na ke intraseluler depolarisasi Asetilkolin GABA zat inhibitif


(zat eksitatif) )
Na dlm intra sel berlebihan
G3 polarisasi (hypo/hiper
polarisasi) Kerusakan berfikir
Ketidk seimbangan ion Na & Ka

G3 presesi
Ketidak sambungan lektrolit sensori
Isolasi
G3b depolarisasi (ke listrikan saraf) sosial
KEJANG

Parsial Umum

sederhana komplex
absen mioklonik Tonik klonik atonik

kesadaran G3 peredaran darah Aktifitas otot

Reflek menelan Pen CO metabolisme


Resti injuri
Akumulasi mucus Permeabilitas
kapiler Keb O2 suhu tubuh/
hipertermi
G3 bersihan jalan asfiksia
nafas inefektif

Lidah melemah, dan Kerusakan


menutup saluran trakea Gangguan perfusi
neuron otak
jaringan
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis epilepsi dikelompokkan berdasarkan klasifikasi dari epilepsi,

yaitu (Goldenberg, 2010):

1. Kejang umum

a) Kejang absans

Serangan ditandai dengan kehilangan kesadaran yang

berlangsung sangat singkat, berhenti melakukan aktivitas yang

sedang dilakukan, melamun atau mata yang menatap kosong, kadang

disertai gerakan ritmik dari kelopak mata, dan kemudian kembali

melakukan aktivitas. Serangan tersebut terjadi selama 5 hingga 10

detik dan dapat berlangsung hingga 100 kali dalam sehari.

b) Kejang atonik

Terjadi kehilangan tonus otot secara mendadak selama 1 hingga

2 detik. Kesadaran dapat hilang sesaat atau tidak sama sekali dan

tidak didapatkan kebingungan post-iktal.

c) Kejang mioklonik

Kontraksi otot-otot tubuh secara cepat, sinkron dan bilateral

atau kadang-kadang hanya mengenai kelompok otot tertentu.

d) Kejang tonik-klonik

Terdapat gejala prodromal berupa kecemasan yang tidak

menentu atau rasa tidak nyaman sebelum serangan. Serangan

dimulai dengan kehilangan kesadaran dan disusul dengan gejala

motorik secara bilateral dapat berupa ekstensi tonik dari semua

ekstremitas selama beberapa menit, disusul oleh gerakan klonik yang

sinkron dari otot-otot tersebut. Segera sesudah serangan berhenti,

kesadaran belum pulih dan penderita tertidur.


2. Kejang parsial

e) Kejang parsial sederhana

Serangan ditandai dengan kesadaran masih baik dan terdapat

gejala motorik, sensorik, otonom, atau psikis. Kejang ini juga

dapat dimanifestasikan sebagai perubahan sensasi somatik (misalnya

parestesia atau kesemutan), penglihatan, keseimbangan, perubahan

fungsi otonom olfaktori, dan pendengaran.

f) Kejang parsial kompleks

Gejala yang timbul yaitu penurunan kesadaran disertai amnesia

tanpa adanya aktivitas tonik-klonik umum. Seringkali serangan

terjadi selama 1 hingga 2 menit dan jarang kurang dari


30 detik. Gejala pertama yang timbul yaitu menatap,

otomatisme, atau ekstensi tonik dari satu atau kedua

lengan atas.

6. pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak
jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan
otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal
dengan defisit neurologik yang jelas
b. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
 mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
 menilai fungsi hati dan ginjal
 menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
 Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

 Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada dan dapat

berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang


 Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang
 Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas
kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan dengan
pengobatan
 Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat
 Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang
teurapetik
 Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi, perdarahan
 Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur
 DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan
metabolik
( Dongoes, 2000 : 202 )

8. Penatalaksanaan
a. Atasi penyebab dari kejang
b. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang didalam
seseorang
 Anti konvulson
  Sedatif
 Barbirorat
( Elizabeth, 2001 : 174 )
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi
 fenitoin (difenilhidantoin)
 karbamazepin
 fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan
yang dicapai, yakni:
 Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
 Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat
yang normal.
 Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
c. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
d. Menaggulangi kejang epilepsi
1. Selama kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi
klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita
tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau
yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh
seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas,
mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika
Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan
aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat
atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.

2. Setelah kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
9. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi (konvulsi: spasma autau kekejangan kontruksi otot keras dan terlalu
banyak disebabkan oleh proses pada sistem saraf pusat, yang menimbulkan pula
kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman,
yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi
akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak
atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama
kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan
secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini.

10. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan
dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif
jelek.

11. Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien
ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan
alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang
ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi?
Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?

1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan
diagnosa medis.

2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Pasien
sering mangalami kejang.

3. Riwayat penyakit sekarang


Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat,
demam, anemia, terjadi pendarahan (pendarah gusi dan memar tanpa sebab),
kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.

4. Riwayat penyakit dahulu


Adanya  riwayat  penyakit  sebelumnya  yang  berhubungan  dengan 
keadaan  penyakit  sekarang  perlu  ditanyakan.

5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.


Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.
Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh
ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm
atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak.
Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi
ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak
setelah kelahariran dan pertumbuhan dan perkembanagannya.

6. Riwayat penyakit keluarga


Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan
penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu
diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas
misalnya kembar monozigot.

Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
a) Selama serangan :
 Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
 Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
 Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
 Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,
kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
 Apakah pasien menggigit lidah.
 Apakah mulut berbuih.
 Apakah ada inkontinen urin.
 Apakah bibir atau muka berubah warna.
 Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
 Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu
sisi atau keduanya.

b) Sesudah serangan
 Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan
bicara
 Apakah ada perubahan dalam gerakan.
 Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum,
selama dan sesudah serangan.
 Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi
denyut jantung.
 Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c) Riwayat sebelum serangan
 Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
 Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
 Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.
d) Riwayat Penyakit
 Sejak kapan serangan terjadi.
 Pada usia berapa serangan pertama.
 Frekuensi serangan.
 Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang
tidur, keadaan emosional.
 Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai
dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
 Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
 Apakah makan obat-obat tertentu
 Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

Pemeriksaan fisik
1. Tingkat kesadaran pasien
2. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
3. Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
4. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi
5. Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
6. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
7. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
8. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
9. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan.
Tanda : dispnea, apnea, batuk

b. Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: -- perubahan aktivitas listrik Resiko cedera
di otak
DO:
pasien kejang (kaki menendang- Keseimbangan terganggu
nendang, ekstrimitas atas fleksi),
gigi geligi terkunci, lidah menjulur gerakan tidak terkontrol
DS: gangguan nervus V, IX, X Bersihan jalan napas
sesak, tidak efektif
lidah melemah
DO:
apnea, cianosis menutup saluran trakea

Adanya obstruksi
DS: Terjadi depolarisasi Gangguan persepsi
terjadi aura (mendengar bunyi berlebih sensori
yang melengking di telinga, bau- Bangkitan listrik di bagian
bauan, melihat sesuatu), halusinasi, otak serebrum
perasaan bingung, melayang2.
Menyebar ke nervus-
DO: nervus
penurunan respon terhadap
stimulus, terjadi salah persepsi Mempengaruhi aktivitas
organ sensori persepsi
DS: Stigma masyarakat yang Isolasi sosial
klien terlihat rendah diri saat buruk tentang penyakit
berinteraksi dengan orang lain epilepsi atau ”ayan”

Klien merasa rendah diri


DO:
menarik diri Menarik diri
DS: Terjadi kejang epilepsi Ansietas
klien terlihat cemas, gelisah.
Kurang pengetahuan
DO: tentang kondisi penyakit
takikardi, frekuensi napas cepat
atau tidak teratur Bingung
DS: pasien mengeluh sesak Terjadi bangkitan listrik di Ketidakefektifan pola
DO: RR meningkat dan tidak otak napas
teratur,
Menyebar ke daerah
medula oblongata

Mengganggu pusat
respiratori

Mempengaruhi pola napas


DS: terjadi bangkitan listrik di Intoleransi aktivitas
klien merasa lemas, klien otak
mengeluh cepat lelah saat
melakukan aktivitas menyebar ke MO

DO: mengganggu pusat


takikardi, takipnea, kardiovaskular
takikardia

CO menurun

Suplai darah (O2) ke


jaringan menurun
metabolisme aerob menjadi
anaerob

ATP dari 38 menjadi 2

Kelelahan

intoleransi aktifitas

DS: CO menurun Resiko penurunan


pasien menunjukkan kelelahan, perfusi serebral
diam, tidak banyak bergerak Suplai darah ke otak
berkurang
DO:
penurunan kesadaran, penurunan Iskemia jaringan serebral
kemampuan persepsi sensori, tidak (O2 tidak adekuat)
ada reflek

c. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
c. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
d. Ketidakefektifan pola napas b.d terganggunya saraf pusat pernafasan
e. Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
f. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
g. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
h. Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak

d. Intervensi
Dx 1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil :
tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar,
tidak jatuh

Intervensi Rasional
Observasi:

Identivikasi factor lingkungan yang Barang- barang di sekitar pasien dapat


memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau
penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri

Jauhkan benda- benda yang dapat Mengurangi terjadinya cedera seperti


mengakibatkan terjadinya cedera pada akibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat
dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi karena menjulur keluar
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal
tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum terjadinya kejang pada pasien
sebelum kejang
Kolaborasi:

Berikan obat anti konvulsan sesuai Mengurangi aktivitas kejang yang


advice dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak
Edukasi:

Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika Sebagai informasi pada perawat untuk
merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, segera melakukan tindakan sebelum
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa terjadinya kejang berkelanjutan
sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama resiko cedera
pasien kejang

Dx 2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di


endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan :
jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil :
nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea

Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut menurunkan resiko aspirasi atau
dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat masuknya sesuatu benda asing ke faring.
yang lain jika fase aura terjadi dan untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal.
meningkatkan aliran (drainase) sekret,
Letakkan pasien dalam posisi miring, mencegah lidah jatuh dan menyumbat
permukaan datar jalan nafas

 Tanggalkan pakaian pada daerah leher / untuk memfasilitasi usaha bernafas /


dada dan abdomen ekspansi dada

Melakukan suction sesuai indikasi Mengeluarkan mukus yang berlebih, 


menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Kolaborasi Membantu memenuhi kebutuhan oksigen
Berikan oksigen sesuai program terapi agar tetap adekuat, dapat menurunkan
hipoksia serebral sebagai akibat dari
sirkulasi yang menurun atau oksigen
sekunder terhadap spasme vaskuler
selama serangan kejang.

Dx 3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
 adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
 menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat

Intervensi Rasional
Observasi:

Identifikasi dengan pasien, factor- factor Memberi informasi pada perawat


yang berpengaruh pada perasaan isolasi tentang factor yang menyebabkan
sosial pasien isolasi sosial pasien
Mandiri

Memberikan dukungan psikologis dan Dukungan psikologis dan motivasi


motivasi pada pasien dapat membuat pasien lebih percaya
diri
Kolaborasi:

Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat membantu mengatasi


perasaan terhadap kesadaran diri
sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada Memberikan kesempatan untuk
kelompok penyokong, seperti yayasan mendapatkan informasi, dukungan ide-
epilepsi dan sebagainya. ide untuk mengatasi masalah dari orang
lain yang telah mempunyai pengalaman
yang sama.
Edukasi:

Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi Keluarga sebagai orang terdekat pasien,
kepada pasien sangat mempunyai pengaruh besar
dalam keadaan psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga dan Menghilangkan stigma buruk terhadap


teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi penderita epilepsi (bahwa penyakit
tidak menular epilepsi dapat menular).

Dx 4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan saraf pernafasan


Tujuan :
setelah diberikan asuhan keperawatan selama … pasien tidak mengalami gangguan
pola napas kriteria hasil :
 RR dalam batas normal sesuai umur
 Nadi dalam batas normal sesuai umur
Intervensi Rasional
Tanggalkan pakaian pada daerahMemfasilitasi usaha bernapas/ekspansi
leher/dada, abdomen dada
Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan
Lakukan penghisapan sesuai sesuai indikasi memfasilitasi saat melakukan penghisapan
Kolaborasi lendir, atau memberi sokongan pernapasan
Berikan tambahan O2 jika diperlukan
Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia
Kolaborasi
1. Dapat menurunkan hipoksia serebral

d. Evaluasi

a. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar


b. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
c. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak
menarik diri (minder)
d. Pola napas normal, TTV dalam batas normal
e. Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari-
hari secara normal
f. Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan
normal
g. Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
h. Status kesadaran pasien membaik

DAFTAR PUSTAKA

Asuhan Keperawatan Epilepsi, 2008. www.google.com


Brunner and Sudarth, 2002. Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Jakarta ; EGC
Doenges, marilynn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta, EGC

Aninemous. Epidemiologi Dan Diagnostik Epilepsi. 2009. Diakses dari

http://www.kesimpulan.com/2009/04/epidemiologi-dan-diagnosis-epilepsi.html,
diakses tanggal 20 April 2013.

Husni Muhammad. Asuhan Keperawatan Epilepsi. Diakses dari

http://rumahterapialfina.blogspot.com/2012/05/asuhan-keperawatan-askep-
epilepsi.html. diakses tanggal 20 April 2013

Anda mungkin juga menyukai