Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN Gagal jantung (HF) adalah salah satu dari beberapa kelainan jantung yang terus meningkat.

Meskipun telah banyak diketahui tentang bagaimana sistem hormon dan sinyal lainnya yang mendasari patofisiologi, dan banyak diketahuinya terapi farmakologik yang adekuat, masih banyak pasien gagal jantung yang tidak mendapatkan pengobatan yang efektif. Pasien dengan gagal jantung umumnya membutuhkan diagnosa medis dan manajemen dalam kamar operasi dan unit perawatan kritis (ICU) , sehingga ahli anestesi wajib untuk mengetahui dengan baik mengenai manajemen kesehatan pada pasien gagal jantung yang rawat jalan (kronis) dan pada pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit (eksaserbasi akut dari gagal jantung). Berdasarkan keadaan di atas, maka pentingnya beberapa golongan obat untuk pasien gagal jantung antara lain : angiotensin-converting enzyme inhibitor, angiotensin reseptor blocker, adrenergic receptor blockers, dan aldosterone antagonist, karena obat ini dapat memperpanjang hidup dan termasuk dalam pedoman praktek klinis saat ini untuk merawat pasien dengan gagal jantung kronis. Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak nafas dan fatigue baik pada saat istirahat ataupun beraktifitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Berdasarkan paradigm lama (model hemodinamik), gagal jantung dianggap merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkannya dan diuretic serta vasodilator untuk mengurangi beban. Sedangkan menurut paradigm baru , gagal jantung dianggap sebagai remodeling progresif akibat beban/penyakit pada miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohumoral seperti ACE-inhibitor, ARB (angiotensin receptor blocker), atau B-blocker diutamakan, disamping obat konvensional seperti diuretika dan digitalis ditambah dengan terapi yang bermunculan belakangan ini seperti : intra cardiac defibrillator (ICD), bedah rekonstruksi ventrikel kiri, dan mioplasti. Gagal jantung kronis (HF), suatu sindrom klinis di mana terdapat kelainan fungsi ventrikel dan regulasi neurohormonal yang mengakibatkan kongesti vena paru, intoleransi latihan, dan

penurunan harapan hidup, tetap merupakan salah satu gangguan kardiovaskular (CV) yang utama, yang telah meningkat baik insidensi dan prevalensi nya dalam beberapa tahun terakhir . HF kronis mengenai hampir lima juta orang di Amerika Serikat, di mana sekitar 550.000 kasus baru didiagnosa setiap tahun. Saat ini, 1% dari golongan usia 50-59 tahun dan 10% dari mereka yang berusia lebih dari 80 tahun memiliki gagal jantung . Jadi gagal jantung terutama merupakan penyakit orang tua, dan prevalensinya cenderung akan meningkat dua sampai tiga kali lipat dalam dekade berikutnya pada pertengahan umur rata-rata populasi dunia. Meningkatnya kelangsungan hidup pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang bervariasi berujung pada pada disfungai ventrikel kiri menambah epidemic dari kasus gagal jantung. Mengingat adanya evolusi yang cepat dari terapi standar dan frekuensi dari penderita gagal jantung kronis yang memasuki kamar operasi dan unit perawatan intensif, ahli anestesi wajib untuk mengetahui best practice yang terkini untuk membuat penilaian diagnostik dan pemilihan pengobatan pilihan, serta keputusan yang tepat mengenai perlunya konsultasi jantung.

TINJAUAN PUSTAKA DEFINISI Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak nafas dan fatigue baik pada saat istirahat ataupun beraktifitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Berdasarkan paradigm lama (model hemodinamik), gagal jantung dianggap merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkannya dan diuretic serta vasodilator untuk mengurangi beban. Sedangkan menurut paradigm baru , gagal jantung dianggap sebagai remodeling progresif akibat beban/penyakit pada miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohumoral seperti ACE-inhibitor, ARB (angiotensin receptor blocker), atau B-blocker diutamakan, disamping obat konvensional seperti diuretika dan digitalis ditambah dengan terapi yang bermunculan belakangan ini seperti : intra cardiac defibrillator (ICD), bedah rekonstruksi ventrikel kiri, dan mioplasti. KLASIFIKASI Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan jasmani, foto toraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Droppler. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan jasmani saja. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik: Gangguan relaksasi Pseudo-normal Tipe restriktif Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi peneybab gangguan diastolik seperti fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Disamping itu kongesti sistemik/pulmonal akibat dari gangguan diatolik tersebut dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian

diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk diastolik bertambah, dapat dilakukan dengan pemberian penyekat beta atau penyekat kalsium non-dihidropiridin. Gagal Jantung Akut dan kronik Definisi Gagal Jantung akut Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset) dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan dari pre-load atau after-load, seringkali memerlukan pengobatan penyelamatan jiwa, dan perlu pengobatan segera. GJA dapat berupa acute de novo (serangan baru dari GJA, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari GJK. Manifestasi Klinis Manifestsi klinis GJA sangat banyak, dan kadang ada tumpang tindih dengan manifestasi klinis yang lain, dan penanganannya pun bisa sangat berbeda. y Gagal jantung dekompensasi, (de novo atau sebagai gagal jantung kronik yang mengalami dekompensasi) dengan gejala atau tanda-tanda gagal jantung akut dengan gejala ringan, dan belum memenuhi syarat untuk syok kardiogenik, edema paru atau krisis hipertensi.

Gagal jantung akut hipertensif terdapat gejala dan tanda gagal jantung disertai tekanan darah tinggi, dan gangguan fungsi jantung relatif, dan pada foto toraks terlihat tandatanda edema paru akut.

Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks dan respiratory distress berat dengan ronki yang terdengar pada referal lapangan paru dan ortopnea, O2 saturasi biasanya kurang dari 90% sebelum diterapi. y Syok kardiogenik: syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang diakibatkan oleh gagal jantung rendah preload dikoreksi. Tidak ada definisi yang jelas dari parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg, atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mm Hg) dan atau penurunan pengeluaran urin (kurang dari 0,5 ml/kg/jam) dengan laju nadi >60 kali per menit dengan

atau tanpa adanya kongesti organ. Tidak ada batas yang jelas antara sindrom curah jantung rendah dengan syok kardiogenik. y High out put failure, ditandai dengan curah jantung yang tinggi, biasanya dengan laju denyut jantung yang tinggi misalnya mitral aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit Ragets, dan lain-lain ditandai dengan jaringan perifer yang hangat, kongesti paru, kadang disertai tekanan darah yang rendah seperti pada syok septik. y Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low out put, peninggian tekanan vena jugularis, pembesaran hati dan hipotensi.

Diagnosis GJA (Gagal Jantung Akut) Diagnosis GJA ditegakkan berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker dan ekokardiografi Doppler. Pasien segera diklasifikasi apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik dan karakteristik forward atau backward, left or right heart failure. Sasaran Pengobatan GJA Sasaran secepatnya pengobatan GJA adalah memperbaiki simtom, dan menstabilkan kondisi hemodinamik. Pengobatan GJA Oksigen dan Alat Bantu Napas Prioritas utama dalam menangani GJA adalah tercapainya kadar oksigenasi yang adekuat untuk mencegah disfungsi end organ, dan serangan gagal organ yang multipel. SaO2 dipertahankan pada batas normal antara 95-98%, untuk menjamin pasokan oksigen untuk jaringan tubuh. Support ventilasi tanpa intubasi endotrakeal. Ada dua teknik, yaitu Continous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Non-invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), sangat berguna dan tenyata dapat mengurangi kemungkinan pemakaian intubasi trakeal dan ventilasi mekanis. A) TERAPI MEDIKAMENTOSA Morfin dan Analog Morfin Morfin diindikasikan pada stadium awal apabila pasien gelisah dan sesak napas. Morfin boleh diberikan bolus IV 3 mg segera sesudah dipasang intravenous line.

Antikoagulan Tidak ada bukti ada manfaat pemberian heparin atau LMWH pada GJA, kecuali untuk sindrom koroner akut, dengan atau tanpa gagal jantung, termasuk pada fibrilasi atrium. Vasodilator Vasodilator diindikasikan pada GJA sebagai first line therapy, apabila hipoperfusi padahal tekanan darah adekuat dan tanda-tanda kongesti dengan diuresis sedikit, untuk membuka sirkulasi perifer dan mengurangi pre-load. Nitrat Nitrat mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokard pada GJA, terutama pada sindrom koroner akut. Akan lebih baik apabila kombinasi dengan furosemid dosis rendah, akan lebih superior ketimbang pakai furosemid saja dengan dosis tinggi. (Class I recommendation, level of evidence Antagonis Kalsium Tidak dianjurkan pada GJA. Inhibitor ACE Tidak diindikasikan untuk stabilisasi awal GJA. Namun, bila stabil 48 jam boleh diberikan dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap dengan pengawasan tekanan darah yang ketat. Lama pemberian paling tidak 6 minggu.

Diuretik Indikasi pemberian diuretik pada GJA decompensated, apabila ada simtom retensi air (Class I recommendation, level of evidence B). Pemakaian secara intravena, loop diuretika seperti furosemid, bumetadin, torasemid, dengan efek cepat dan kuat, elbih disukai pada GJA. Terapi dapat diberikan dengan aman sebelum pasien tiba di rumah sakit dan dosis harus dititrasi sesuai dengan respons diuretik dan hilangnya gejala kongesti. Pemberian loading dose yang diikuti oleh infus berlanjut dengan furosemid atau torasemid telah terbukti lebih efektif dari hanya bolus saja. Kombinasi dengan Tiazid dan Spironolakton dapat diberikan dengan loop diuretik, kombinasi dengan dosis rendah lebih efektif ketimbang dosis tunggal tinggi. Kombinasi loop diuretika dengan dobutamin atau

nitrat juga merupakan kombinasi yang diperbolehkan, ternyata lebih efektif dan sedikit efek sekundernya. (Class II b recommendation, level of evidence C).

Penyekat Beta Merupakan kontraindikasi pada GJA, kecuali GJA sudah stabil. (Class II a recommendation, level of evidence B. Pasien dengan GJK, penyekat beta harus segera diberikan apabila pasien sudah stabil dari episode akut, umumnya sesudah 4 hari. Obat Inotropik Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi perifer (hipotensi, menurunnya fungsi ginjal) dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter terhadap diuretika dan vasodilator pada dosis optimal. Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan calcium loading, harus diberikan secara hati-hati. Fosfodiesterase Inhibitor Tipe III PDEIs memblokade pemcahan dari siklik AMP (cAMP) menjadi AMP. Milrinon dan enoksinon adalah dua PDEIs yang dipakai pada praktek klinis. Pemakaian pada gagal jantung lanjut akan memberikan efek inotropik yang signifikan, lusitropik dan efek vasodilator perifer, dan menimbulkan curah jantung, strok volume, penurunan tekanan arteri paru, pulmonary wedge pressure, resistensi sistemik dan iskemia paru. Namun datadata manfaat PDEIs pada GJA masih belum banyak Dosis Diuretik dan Cara Pemberiannya. Tambahkan dopamine untuk vasodilatasi renal atau dobutamine sebagai zat inotropik Pertimbangkan ultrafiltrasi atau hemodialisis bila juga ada gagal ginjal

Levosimen dan Levosimendan mempunyai dua mekanisme kerja utama, yaitu: sensitisasi Ca++ dari protein yang contractile yang bertanggung jawab terhadap aksi inotropik positif dan membuka pintu (channel) ion K+ dari otot polos yang bertanggung jawab pada vasodilator perifer. Glikosida Jantung Jantung glikosida menghambat myocardial Na+/K- ATPase. Dengan demikian, meningkatkan mekanisme pertukaran ion Ca++/Na+, menghasilkan efek inotropik positif. Indikasi pemberian Glikosida pada GJA adalah takikardia yang menginduksi gagal

jantung meliputi fibrilasi atrial. Kontro frekuensi debar jantung pada GJA dapat memperbaiki simtomnya. Di samping itu perlu untuk mengontrol penyakit yang mendasari GJA dan juga mengatasi penyakit yang menyertainya (co-morbidities), seperti: penyakit jantung koroner, penyakit valvular, dan lain-lain, dan komorbidnya seperti gagal ginjal, kelainan paru, aritmia dan lain-lain. Terapi spesifik lebih lanjut harus diberikan berdasarkan karakteristik klinis dan hemodinamik pasien yang tidak responsif terahdap terapi inisial, misalnya pemakaian obat inotropik, atau kalsium sensitizer untuk GJA berat. Tujuan utama terapi GJA adalah koreksi hipoksia, meningkatkan curah jantung, perfusi ginjal, pengeluaran natrium dan output urin. Pasien dengan GJA dapat sembuh dengan sangat baik, tergantung etiologi dan patofisiologi yang mendasarinya.

II. Gagal Jantung Kronik Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel. Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.

Etiologi dan Faktor Pencetus Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark miokard, yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup.

Tatalaksana Gagal Jantung Dalam 10-15 tahun terakhir terlihat berbagai perubahan dalam pengobatan gagal jantung. Pengobatan tidak saja ditujukan dalam memperbaiki keluhan, tetapi juga diupayakan pencegahan agar tidak terjadi perubahan disfungsi jantung yang asimtomatik menjadi gagal jantung yang simtomatik. Selain dari pada itu upaya juga ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan diharapkan jangka panjang terjadi penurunan angka kematian. Upaya Pencegahan Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada kelompok dengan risiko tinggi. Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung koroner. Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan. Pengobatan hipertensi yang agresif. Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup. Memerlukan pembahasan khusus Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari, selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung. Penanganan Gagal Jantung Kronik Penatalaksanaan Umum, Tanpa Obat-obatan Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan. Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual, serta rehabilitasi. Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol. Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba. Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas. Hentikan kebiasaan merokok. Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas memerlukan perhatian khusus. Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat-obat tertentu seperti SAID, antiaritmia klas I, verapamil, diltiazem, dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid.

Terapi Farmakologi Angiotensin-coverting enzyme inhibitors (ACE inhibitor) Mekanisme Aksi ACE inhibitor menghambat protease yang memotong dekapeptid angiotensin 1 untuk membentuk angiotensin octapeptide-II. Karena ACE juga memetabolisme bradikinin, ACE inhibitor meningkatkan konsentrasi bradikinin dalam jaringan dan sirkulasi, yang dianggap sebagai pemicu efek samping obat ini, termasuk batuk dan angioedema. Mereka adalah vasodilator kuat karena mereka mengurangi konsentrasi angiotensin-II dan norepinefrin dan meningkatkan konsentrasi bradikinin, oksida nitrat (NO), dan prostasiklin. Mereka mengurangi sekresi hormon aldosteron dan antidiuretik, sehingga mengurangi reabsorpsi garam dan air oleh ginjal, dan mereka mempromosikan pengikatan angiotensin 1 pada reseptor saraf terminal, mengurangi pelepasan norepinefrin dari saraf simpatik. Dalam jaringan, inhibitor ACE membatasi produksi angiotensin-II, menghaluskan remodeling ventrikel dan pembuluh darah.

Implikasi Perioperatif Obat anestesi, prosedur pembedahan, posisi pasien di meja operasi, dan kehilangan darah mempengaruhi RAAS dan sistem saraf simpatik. Namun masih terdapat apakah pemberian ACE inhibitor harus dilanjutkan atau diberhentikan saat sebelum operasi. Pasien yang diobati dengan ACE-I rentan terhadap hipotensi dengan induksi dan pemeliharaan anestesi umum, kemungkinan besar sebagai akibat dari defisit volume intravaskular dan ketidakmampuan angiotensin-II untuk mengimbangi efek anestesi biasa pada sistem saraf simpatis (termasuk peningkatan venous pooling , penurunan output jantung, dan mengurangi tekanan darah arteri). Ryckwaert dan Colson (melaporkan 22% insidensi dari hipotensi berat pada pasien yang menerima ACE-I sampai hari operasi. Ketidakstabilan tekanan darah dan detak jantung setelah induksi anestesi adalah sama pada pasien yang menerima terapi penghambat ACE kronis, terlepas dari apakah ada disfungsi sistolik ventrikel kiri atau tidak. Ada beberapa laporan kasus tentang hipotensi pada pasien yang diobati dengan penghambat ACE yang juga mendapat anestesi, umum, spinal,

epidural, kombinasi general - epidural , dan masih belum jelas apakah ada teknik anestesi spesifik lebih atau kurang yang bisa menimbulkan interaksi buruk pada pasien. Pengobatan jangka panjang ACE inhibitor tidak memperbesar penurunan tekanan darah terkait dengan anestesi spinal, mungkin karena konsentrasi vasopresin dan norepinefrin masih tetap cukup untuk mengkompensasi penghambatan RAAS (renine angiotensine aldosterone system). Meskipun penarikan sementara ACE inhibitor dapat mencegah atau mengurangi hipotensi dan hipovolemia intraoperatif, pemulihan kontrol RAS pada tekanan darah mungkin dengan

mengorbankan sirkulasi daerah yang terganggu. Boldt et al. menunjukka bahwa pada 88 pasien bedah jantung secara acak, bahwa pemberian enalapril IV setelah induksi anestesi sampai dimulainya bypass cardiopulmonar (CPB) menghasilkan pengeluaran enzim jantung yang lebih rendah dibandingkan clonidin, enoximone, dan placebo. Administrasi ACE inhibitor pada perioperatif juga dapat melindungi ginjal. Pasien yang menjalani operasi bypass aortocoronary yang mendapatkan premedikasi kaptopril yang dimulai 2 hari sebelum operasi memiliki aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerulus selama operasi berlangsung dibandingkan dengan pasien yang diberikan placebo. Selain itu, pasien yang menjalani operasi aorta abdomenyang di premedikasi dengan dosis tunggal enalapril sebelum induksi anestesi mengalami penurunan yang lebih kecil dalam output jantung dan laju filtrasi glomerulus dengan klem aorta dan klirens kreatinin yang lebih besar secara signifikan pada hari pertama pasca operasi dibandingkan dengan kelompok plasebo. Potensi untuk terjadinya hipotensi pada induksi anestesi pada pasien yang telah diobati dengan inhibitor ACE secara kronis, ahli anestesi harus tetap melanjutkan pengobatan. Episode singkat hipotensi biasanya dapat diobati dengan dosis sederhana simpatomimetik (misalnya, efedrin) atau agonis adrenergik (misalnya, fenilefrin) dan ekspansi hati-hati volume

intravascular. Dalam kasus hipotensi sistemik berat (dianggap sekunder untuk sekresi renin berkurang) selama anestesi epidural atau spinal, stimulasi adrenergik dengan epinefrin (0,5-1

mg / menit) juga dapat dipertimbangkan . Tentu saja, masalahnya sering dapat dicegah dengan pemberian tambahan obat induksi dan / atau dengan memilih obat yang kurang cenderung menyebabkan hipotensi (misalnya, ketamin atau etomidat).

Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan dengan fraksi ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki simtom, mengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit. Harus diberikan sebagai terapi inisial bila tidak ditemui retensi cairan. Bila disertai retensi cairan harus diberikan bersama diuretik. Harus segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala gagal jantung, segera sesudah infark jantung, untuk meningkatkan survival, menurunkan angka reinfark serta kekerapan rawat inap. Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat sesuai dengan bukti klinis, bukan berdasarkan perbaikan simtom. ARB Mekanisme Aksi Konsentrasi plasma angiotensin-II dan aldosteron dapat meningkat selama terapi ACE inhibitor secara kronis karena akumulasi substrat (angiotensin I) atau karena ditingkatkannya produksi melalui jalur non-ACE seperti chymase. Selain itu, non-ACE-yang menghasilkan angiotensin-II dalam miokardium berkontribusi untuk remodeling ventrikel kiri dan progresi gagal jantung melalui efek AT1 reseptor. Selektif AT1-blocker mencegah angiotensin-II yang menyebabkan vasokonstriksi, retensi natrium, dan pelepasan norepinefrin. Mereka juga menunda atau mencegah hipertrofi ventrikel kiri dan fibrosis interstisial. Angiotensin type-2 receptors (AT-2) and their actions, including NO release and vasodilation, remain unaffected by AT-1 receptor blockade. Angiotensin tipe-2 reseptor (AT-2) dan beberapa aksi mereka, termasuk NO rilis dan vasodilatasi, tetap tidak terpengaruh oleh AT-1 blokade reseptor. Dalam beberapa studi menunjukkan bahwa ARB adalah alternatif yang cocok untuk pengobatan pasien dengan gagal jantung yang menghadapi efek samping dari inhibitor ACE (misalnya, gigih batuk, angioedema, hiperkalemia, atau memperburuk disfungsi ginjal) atau hipertensi persisten selain ACE dan -adrenergik bloker.

Implikasi Perioperatif Seperti halnya dengan inhibitor ACE, pasien kronis yang diobati dengan ARB tampak lebih rentan terhadap hipotensi dengan induksi anestesi danjuga lebih cenderung memerlukan vasokonstriktor selama dan setelah dipisahkan dari CPB dari pada pasien yang menerima obat antihipertensi lain dan mungkin jika dibandingkan dengan pasien yang menerima ACE inhibitor. Selain itu, pasien yang menerima ARB kurang responsif terhadap vasopressor konvensional seperti efedrin dan fenilefrin, itu karena sebuah respon adrenergik dilemahkan. Kelalaian dari ARB pada hari operasi mungkin tidak akan memperbaiki stabilitas kardiovaskuler karena obatobatan ini memiliki durasi kerja yang panjang, namun setelah interval bebas obat minimal 24 jam, pasien akan memiliki lebih sedikit episode signifikan hipotensi daripada mereka yang terus menerima terapi ARB. Vasopressin dan analog vasopressin akan menanggulangi hipotensi intraoperatif terhadap obat konvensional pada pasien yang diterapi dengan ARB,yaitu pada pasien yang dibius. Hipotensi selama induksi anestesi bisa disertai dengan bradikardi, terutama ketika obat vagotonic digunakan (misalnya, sufentanil). Oleh karena itu dianjurkan pemberian dosis profilaksis glycopyrrolate (0,2 mg) untuk pasien usia lanjut mengambil ARB secara kronis. Aldosterone Receptor Antagonists Selain efek tradisional dari blockade reseptor mineralokortikoid (natriuresis, diuresis, dan retensi kalium), efek nonrenal dari antagonisme aldosteron yang menguntungkan terdiri dari penurunan pembentukan kolagen miokard, meningkatkan uptake norepinefrin otot jantung, dan penurunan norepinefrin dalam sirkulasi, normalisasi fungsi baroreceptor, peningkatan variabilitas denyut jantung, mengurangi disfungsi endotel, dan peningkatan vaskuler NO. Antagonis Aldosteron reseptor menyebabkan konservasi kalium, dan hiperkalemia yang merupakan komplikasi yang nyata. Implikasi perioperatif Resiko hiperkalemia akan meningkat diberikan bersama dengan RAAS blocker, yang preexisting insufisiensi ginjal , diabetes, atau anemia . Dengan demikian, pengukuran

intraoperative kalium serum akan tampak bijaksana bila kondisi tersebut hadir, terutama dalam hal transfusi sel darah merah. Beta-adrenergik Reseptor Antagonis Mekanisme Aksi Dalam gagal jantung kronis, efek menguntungkan dari penghambat beta termasuk memperbaiki fungsi sistolik dan energetika miokard dan pembalikan remodeling patologis. Detak jantung, penentu utama konsumsi oksigen otot jantung, dikurangi dengan blokade reseptor
-1.

Penghambat beta

juga dapat membatasi coupling eksitasi-kontraksi terganggu dan

predisposisi untuk aritmia ventrikel yang berhubungan dengan gagal jantung. Sistem saraf simpatis secara kronis diaktifkan pada gagal jantung dengan curah jantung berkurang. Dalam pengaturan ini, kopling eksitasi-kontraksi menjadi maladaptif karena karena kebocoran Ca
2+

dari retikulum sarkoplasma (SR) yang berakibat pada disfungsi kontraktil otot

jantung. Selain normalisasi kebocoran kalsium, manfaat dari penyekat beta pada pasien gagal jantung juga mungkin termasuk penurunan apoptosis yang tergantung kalsium. Selama bertahun-tahun, -adrenergik blocker jarang diberikan kepada pasien dengan gagal jantung karena risiko dekompensasi dari efek negatif inotropik. Namun, data dari kedua studi baik pada manusia dan hewan telah menunjukkan bahwa -adrenergik bloker meningkatkan energetika dan fungsi ventrikel dan pembalikan remodeling patologis. Implikasi perioperatif Meskipun ada kekurangan uji klinis besar modulasi RAAS pada periode perioperatif, sepertinya tidak terjadi untuk penghambat -adrenergik. Uji klinis acak menunjukkan bahwa obat (penghambat beta) harus diberikan untuk mencegah kejadian iskemik dan aritmia pada pasien jantung yang berisiko tinggi dengan iskemia, aritmia, atau hipertensi atau memiliki riwayat hipertensi dan untuk pasien dengan iskemia perioperatif pada operasi noncardiac (terutama vaskular operasi). -adrenergik blocker diindikasikan untuk pengobatan hipertensi

perioperatif, iskemia, dan aritmia yang diidentifikasi sebelum operasi dan sebelumnya tidak diobati . Terapi penghambat beta pada perioperatif kurang digunakan. Penghentian penghambat beta adrenergik dari pasien yang telah menggunakannya dalam jangka yang lama mungkin sangat bahaya. Data terakhir juga menunjukkan bahwa ketika memulai terapi adrenergikblocker , mungkin sangat menguntungkan bagi beberapa populasi pasien bedah, dan mungkin akan sangat kurang menguntungkan (bahkan merusak) untuk populasi pasien lain. Glikosida Jantung (Digitalis) Merupakan indikasi pada fibrasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung, terlepas apakah gagal jantung bukan atau sebagai penyebab. (I, B). Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior dibandingkan bila dipakai sendiri-sendiri tanpa kombinasi. Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat menurunkan angka kekerapan rawat inap. (IIa, A).

Hidralazin-isosorbid Dinitrat Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan dimana pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat angiotensin II (I, B). Dosis besar hiralazin (300 mg) dengan kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa penyekat enzim konversi angiotensin dikatakan dapat menurunkan mortalitas. Pada kelompok pasien Afrika-Amerika pemakaian kombinasi isosorbid dinitrat 20 mg dan hiralazin 37,5 mg, tiga kali sehari dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dan memperbaiki kualitas hidup.

Obat Penyakit Kalsium Pada gagal jantung sistolik penyekat kalsium tidak direkomendasi, dan dikontraindikasikan pemakaian kombinasi dengan penyekat beta. Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang lebih baik untuk survival bila digabung dengan obat penyekat enzim konversi angiotensin dan diuretik. Data jangka panjang menunjukkan efek netral terhadap survival, dapat dipertimbangkan sebagai tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah sulit dengan pemakaian nitrat atau penyekat beta.

Nesiritid Merupakan klas obat vasodilator baru, merupakan rekombinan otak manusia yang dikenal sebagai natriuretik peptida tipe . Obat ini identik dengan hormon endogen dari ventrikel, yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner, dan menurunkan pre dan afterload, meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik. Sejauh ini belum banyak data klinis yang menyokong pemakaian obat ini.

Inotropik Positif Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena meningkatkan mortalitas . Pemakaian intravena pada kasus berat sering digunakan, namun tidak ada bukti manfaat, justru komplikasi lebih sering muncul. Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon eefktif bila digabung dengan penyekat beta, dan mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner. Namun disertai juga dengan efek takiaritmia atrial dan ventrikel, dan vasodilatsi berlebihan dapat menimbulkan hipotensi. Levosimendan, merupakan sensitisasi kalsium yang baru, mempunyai efek vasodilatasi namun tidak seperti penyekat fosfodiesterase, tidak menimbulkan hipotensi. Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan dobutamin.

Anti Trombotik Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena tromboemboli, bukti adanya trombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan.

Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan pemakaian antiplatelet. Aspirin harus dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal jantung yang memburuk.

Asupan Cairan Menurut sebuah penelitian pada tahun 2009, tampaknya tidak ada bukti manfaat restriksi cairan pada pasien dengan klinis gagal jantung apabila mereka dinyatakan menerima perawatan

farmakologi yang optimal. Tinjauan sama menyarankan bahwa dokter masih memilih untuk membatasi asupan cairan untuk pasien dengan gagal jantung harus mempertimbangkan kebutuhan cairan individual, yang biasanyaberdasarkan berat badan pasien, asupan natrium, dan kemungkinan kepatuhan. Secara teoritis, pasien dengan CHF memiliki kemampuan berkurang untuk mengeluarkan beban air bebas. Hiponatremia sering berkembang pada gagal jantung dekompensasi karena efek dari kelebihan hormon neuroendokrin yang beredar pada sirkulasi. Ketika diaktivasikannya sumbu renin-angiotensin-aldosteron karena perfusi ginjal menurun, menyebabkan retensi natrium dan air, aktivasi peptida natriuretik atrium karena meregangkan atrium akibat ekskresi natrium, dan aktivasi hormon antidiuretik karena baroreseptor perifer yang menyebabkan hipotensi serta akibat pengaktifan sistem saraf simpatik yang mengakibatkan retensi air saja, sehingga terjadi ketidakseimbangan retensi air retensi air tidak proporsional lebih dari retensi natrium. Tingkat keparahan hiponatremia dalam suatu episode gagal jantung dekompensasi bisa memprediksi tingkat kematian. Umumnya asupan air harus dibatasi sampai 1,5 L sehari-hari atau kurang pada pasien dengan hiponatremia , meskipun restriksi cairan mungkin bermanfaat dalam pengurangan gejala apapun.

Anda mungkin juga menyukai