Anda di halaman 1dari 11

KEGIATAN BELAJAR 1 :

KONSEP TEOLOGI TENTANG


ALLAH TRITUNGGAL

CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KEGIATAN


Menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar Pendidikan
Agama Kristen dalam perspektif Alkitabiah maupun ilmu pengetahuan
lainnya sehingga dapat menjawab apa, siapa, bagaimana konsep teologi
Kristen tentang Allah Tritunggal.

Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis ajaran Alkitab tentang Allah Tritunggal.
2. Menganalisis sejarah terbentuknya dokrin Ketritunggalan Allah.

Uraian Materi
1. Ajaran Alkitab Tentang Allah Tritunggal
Dokrin KeTritunggalan Allah atau Trinitas merupakan salah satu dokrin
yang istimewa dan unik bagi umat Kristen. Dikatakan istimewa dan unik
sebab iman Kristen berkayakinan bahwa Allah itu esa, namun juga ada tiga
yang adalah Allah. Dokrin ini sangat penting bagi perkembangan iman Kristen
karena berkaitan dengan siapakah Allah yang disembah, bagaimana cara

1
kerja-Nya, bagaimana manusia harus mendekatiNya. Tetapi sekaligus juga
menjawab beberapa pertanyaan praktis yang sering muncul dalam kehidupan
umat Kristen maupun dalam kehidupan bersama dengan sesama yang
beragama lain, misalnya siapakah yang harus disembah, apakah Allah Bapa,
Allah Anak atau Allah Roh Kudus, apakah Allah Bapa lebih tinggi
kedudukanNya dari Allah Anak dan Allah Roh Kudus ?. Untuk itu pada
kegiatan belajar satu ini kita akan meneliti dokrin TriTunggal Allah dengan
berusaha menemukan ajaran Alkitab tentang dokrin ini.

a. Keesaan Allah
Agama orang Ibrani Kuno sangat mempertahankan iman yang
monoteistis, dan telah berkali-kali dinyatakan kepeda Israel dengan berbagai
cara. Misalnya dalam Keluaran 20:2-3. Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai
“dihadapanKu” adalah ‘al panai yang secara harafiah berarti “di Muka-Ku”. Hal
ini mengungkapkan bahwa Allah telah menunjukkan realitas-Nya yang unik
melalui apa yang telah dilakukan-Nya, sehingga Ia berhak menuntut
penyembahan, pengabdian dan ketaatan mutlak dari bangsa Israel. Allah
melarang untuk menyembah berhala (ay. 4) karena Dia sajalah Allah.
Selain itu sebuah petunjuk yang jelas tentang Allah itu tunggal atau esa
terdapat dalam Syema Israel di Kitab Ulangan 6. Ini adalah kebenaran yang luar
biasa dari Allah yang harus diajarkan oleh para orang tua Israel kepada anak-
anak mereka. Dalam Ulangan 6:13,14 menunjukkan bahwa Allah itu Esa, dan
tidak ada dewa-dewa bangsa lain di sekitar Israel yang harus dianggap benar
dan layak untuk dilayani dan disembah (bdg. Kel 15:11; Zakh. 14:9). Selain
dalam Perjanjian Lama, maka dalam Perjanjian Baru Yakobus 2:19
menganjurkan untuk percaya kepada Allah yang Esa. Dalam 1 Korintus 8:4,6
Rasul Paulus juga menggarisbawahi keunikkan Allah dengan mengemukakan
“…tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain daripada Allah yang
esa…bagi kita hanya ada satu allah saja, yaitu Bapa, yang daripadaNya berasal
segala sesuatu dan untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja yaitu Yesus

2
Kristus, yang olehNya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita
hidup”.
Keesaan Allah berarti bahwa, pertama, hanya ada satu Allah saja dan
bahwa sifat dasar atau watak Allah tidak dapat dipisah-pisahkan atau dibagi
(Ul. 4:35; I Raja. 8:60; Yes. 45:5-6). Allah tidak terdiri dari bagian-bagian tertentu
atau dapat diuraikaan menjadi bagian-bagian tertentu. Allah itu sederhana,
menurut angka Ia hanya satu, bebas dari segala bentuk paduan. Allah itu Roh
adanya sehingga tidak dapat diurai. Yang berinkarnasi menjadi manusia dan
mati disalibkan adalah Anak, namun tidak berarti bahwa Bapa yang mengutus
Anak ke dalam dunia dan Roh Kudus yang membaharui orang percaya kepada
Anak, tidak bersama-sama dengan Dia.
Kedua, Allah itu esa karena ketiga Oknum tersebut memiliki satu hakikat
atau subsatansi yang tidak saja sama tetapi satu. Hakikat yang satu ini adalah
hidup, terang, kasih, kebenaran, kemuliaan, kekuasaan, kekekalan, dan lain-
lain. Seperti Bapa sempurna demikian juga Anak dan Roh Kudus. Suatu
keesaan tidak sama dengan suatu kesatuan. Satu kesatuan ditandai dengan sifat
tunggal. Tetapi keesaan Allah memberikan peluang bagi adanya perbedaan-
perbedaan pribadi di dalam sifat dasar ilahi. Dengan demikian keesaan Allah
menyatakan secara tidak langsung bahwa ketiga Oknum Tritunggal bukanlah
hakikat-hakikat yang terpisah di dalam hakikat Ilahi itu.
Rasul Paulus juga sangat menekankan tentang hal Keesaan Allah (Roma
3:30; 1 Kor. 8:4,6; Gal. 3:20; Efs.4:6; 1 Tim. 1:17,2:5), di mana Allah yang esa itu
disebut Bapa dari umat-Nya (RM.1:7; 1 Kor.1:3; 2 Kor.1:2-3; Gal.1:3-4). Rasul
Paulus juga sering menghubungkan kekuasaan dan kebesaran Allah dengan
kekuasaan yanh dimanifestasikan-Nya dalam diri Yesus Kristus. (1 Kor.1:24,
2:5,7:2; 2 Kor.13:4). Dan juga menghubungkan kuasa yang berlimpah-limpah
yang dikaruniakan kepada orang-orang percaya adalah dari Allah. ( 2 Kor.4:7,
6:7, 13:4; 2 Tim.1:8).

3
b. Konsep Keilahian Tiga Oknum
Tritunggal dalam teologi Kristen berarti bahwa ada tiga Oknum kekal
dalam hakikat Ilahi yang satu itu, yang masing-masing dikenal sebagai Allah
Bapa, Allah Anak dan allah Roh Kudus, yang dapat dikatakan sebagai tiga
kepribadian Allah. Ketika berbicara tentang adanya Tiga Oknum yang
merupakan Allah maka juga perlu dipelajari dari kesaksian Alkitab. Selain
Bapa yang telah disebut sebagai Allah dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru, maka dalam 1 Korintus 8:4; 1 Timotius 2:5-6, dapat ditemukan
berbagai kasus di mana Yesus menyebut Bapa sebagai Allah. Sedangkan ayat
kunci menurut Millard Erikson yang menunjukkan keilahian Yesus terdapat
dalam Filipi 2:5-11. Kata Yunani yang diterjemahkan sebagai “rupa” adalah
kata μορφη (morphe) yang berarti seperangkat ciri khas yang membentuk
keadaan sesuatu. Bagi Paulus yang adalah seorang ortodoks dan dibina dalam
ajarana Yahudi yang ketat ini merupakan pernyataan yang mengherankan
karena mencerminkan iman gereja mula-mula, dan mengemukakan
penyerahan yang mendalam terhadap keilahian Yesus. Bukan hanya soal
penggunaan kata μορφη, tetapi juga oleh ungkaopan “setara” ισα” dengan
Allah. Ayat 6 ini melukiskan bahwa Yesus itu setara dengan Allah, tetapi tidak
berusaha untuk mempertahankannya. Selain itu saat menghadap kayafas,
Yesus sangat menekankan keilahian-Nya, dan juga saat Thomas menyapaNya
dalam Yohanes 20:28.
Selain Yesus dalam Alkitab juga menunjukkan Roh Kudus adalah Allah.
Misalnya dalam kisah Ananis dan Safira (KPR. 5:3-4) yang menekankan bahwa
berdusta kepada Roh Kudus (ay.3) disamakan dengan berdusta kepada Allah
(ay.4). Roh Kudus juga dilukiskan memiliki sifat-sifat Allah dan dapat
melakukan apa yang dilakukan Allah. Misalnya menginsyafkan manusia akan
dosa, kebenaran dan penghakiman (Yoh. 16:8-11), melahirkan kembali atau
memberi hidup baru (Yoh. 3:8). Dalam 1 Petrus 1:2, Petrus menyebut para
pembaca suratnya sebagai orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana

4
Allah, Bapa kita, dan dikuduskan oleh Roh untuk taat kepada Yesus Kristus
dan menerima percikan darah-Nya.

c. Ke-Tritunggalan Allah
Perjanjian lama mencatat bahwa Allah berkali-kali memakai kata ganti
jamak (Kej. 1:26; 3:22; 11:7; Yes. 6:8) serta kata kerja jamak (Kej. 1: 26; 11:7)
untuk menunjuk kepada diri-Nya sendiri. Nama Allah yang dipakai dalam
ayat-ayat ini adalah Elohim yakni sebuah istilah jamak. Keadaan jamak yang
melukiskan KeTritunggalan ini dapat ditemukan dalam kenyataaan berikut :
a. Tuhan dibeda-bedakan dari Tuhan Allah (Kej. 19:24; Hos. 1:7; Zach 3:2).
b. Anak Allah dibeda-bedakan dari Allah Bapa (Yes 48:16 bdg. Maz. 45:7-8;
Yes. 63:9-10)
c. Roh juga dibedakan dari Allah Bapa (Kej. 1:1; 6:3; Bil. 27:18).
Selain itu dalam Perjanjian Lama dikemukakan Malaikat Tuhan yang
bukan malaikat biasa, karena Malakikat Tuhan itu berfirman atas namaNya
sendiri dan mau disembah (Kej. 16:10; Yos.5; Hak.21). Istilah Malaikat Tuhan
dalam Perjanjian Lama merupakan petunjuk khusus kepada pribadi kedua
dalam ke-Allahan sebelum penjelmaan-Nya, dan merupakan pertanda dari
kedatangan-Nya sebagai manusia di kemudian hari. Malaikat Tuhan
disamakan dengan Tuhan, namun berbeda dengan Tuhan. Dalam Perjanjian
Lama ditemukan juga pernyataan tentang Roh Allah yang memberi ilham
kepada manusia (Yeh. 11:5). Kadang juga diperlihatkaan Oknum yang lebih
dari satu (Maz. 33:6; 45:6-8; Yes. 63:8-10). Dalam beberapa ayat Alkitab juga
ketiga Oknum Ilahi dihubungkan satu dengan yang lain dan ditampilkan
setara. Misalnya dalam formula baptisan dalam Amanat Yesus (Mat. 28:19-
20). Nama yang digunakan dalam ayat-ayat ini adalah dalam bentuk tunggal,
meskipun ada tiga Oknum yang termasuk. Selain itu hubungan ketiga Oknum
ini juga terdapat dalam berkat Paulus (2 Kor. 13:13). Pada saat pembaptisan
Yesus, ketiga Oknum Tritunggal hadir. Sang Anak dibaptis, Roh Allah turun
seperti burung merpaqti, serta Allah Bapa mengucapkan kata-kata pujian

5
tentang Sang Anak. Petrus juga menekankan hubungan ketiga Oknum Bapa,
Anak dan Roh Kudus dalam khotbahnya pada hari Pentakosta (Kis. 2:33,38).
Injil Yohanes juga memberikan bukti yang kuat tentang kesetaraan
Tritunggal. Rumusan rangkap 3 dijumpai berkali-kali sebagaimana diamati
oleh George Hendry yang dikutip Erikson, yakni Anak diutus oleh Bapa
(14:24), dan berasal dari Dia (16:28). Roh diberikan oleh Bapa (14:16), diutus
oleh Bapa (14:26) dan berasal dari Bapa (15:16). Sekalipun demikian , Anak
sangat terlibat dalam kedatangan Roh Kudus; Anak mendoakan kedatangan-
Nya (14:6), Bapa mengutus Roh dalan nama Anak (14:26), Anak akan
mengutus Roh dari Bapa (15:26). Pelayanan Roh Kudus dipahami sebagai
kelanjutan dari pelayanan Anak.
Yesus dalam pelayanan-Nya pun menunjukkan persatuan-Nya dengan
Bapa, dengan mengatakaan “Aku dan Bapa adalah satu “(10:30) dan
“Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa”(14:9). Dia berdoa agar
para murid-Nya bersatu sebagaimana Dia dan Bapa adalah satu juga (17:21).

2. Latar Belakang Munculnya Dokrin Tritunggal


Sepanjang dua abad pertama tarikh Masehi tidak ada usaha yang serius
untuk menggumuli masalah-masalah teologis dan filosofis yang berkaitan
dengan ajaran Tritunggal. Ditemukan penggunaan formula Bapa, Anak dan
Roh Kudus, tetapi tidak ada usaha untuk menjelaskannya secara rinci.
Misalnya Yustinus dan Tatian menekankan kesatuan hakikat antara Firman
dan Bapa dengan perumpamaan tidak mungkin memisahkan terang dari
sumbernya, yakni matahari. Yang menunjukkan bahwa sekalipun Firman dan
Bapa itu berbeda, keduanya tidak dapat dipisahkan.
Istilah Tritunggal tidak pernah dipergunakan dalam Alkitab. Orang yang
pertama menggunakan istilah ini adalah Tertulianus. Menurut Tertulianus,
terdapat tiga wujud dari Allah yang Esa. Sekalipun ketiga wujud itu berbeda
menurut angka, sehingga dapat dihitung, namun merupakan penyataan dari
suatu kekuatan tunggal yang tidak terpisahkan. Sebagai ilustrasi dari

6
persatuan di dalam Ke-Allahan, Tertulianus menunjuk pada persatuan antara
akar dan tunasnya., sumber air dengan sungainya, matahari dengan
terangnya. Bapa, Anak, dan Roh merupakan zat yang sama, diperluas menjadi
tiga perwujudan, namun tidak terbagi. Tertulianus menggunakan istilah
Tritunggal berdasarkan apa yang dikemukan dalam 1 Yohanes 5:7. Kata-kata
“…Ketiganya adalah satu” menjadi indikasi dari Tritunggal. Istilah Tritunggal
dipergunakan Tertulianus dengan pengertian bahwa substansi Allah adalah
satu, namun ada tiga Oknum, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Penjelasan
Tertulianus memiliki kelemahan karena ia membedakan Oknum I dan Oknum
II dalam derajatNya. Menurut Tertulianus Oknum II, yakni Anak lebih rendah
derajatnya dari Oknum I sebagai Bapa. Setelah Tertulianus muncul Origenes
yang mengemukakan bahwa bukan hanya Anak yang lebih rendah dari Bapa,
tetapi Oknum III, yaitu Roh Kudus lebih rendah dari Anak dan Bapa. Bahkan
Arians menyangkali keilahian Anak dan Roh Kudus.
Pada akhir abad ke-2 dan permulaan abad ke-3, muncul dua usaha untuk
menghasilkan definisi yang lebih tepat tentang hubungan antara Kristus
dengan Allah. Pandangan ini disebut Monarkhianisme (harafiah,”satu-
satunya kekuasaan tertinggi”), karena menekankan keunikan dan persatuan
Allah. Usaha yang pertama dikenal dengan pandangan monarkhianisme
dinamis, pencetusnya adalah seorang pedagang kulit hitam dari Bizantium
yang bernama Theodotus. Ia memperkenalkan pandangan ini di Roma sekitar
tahun 190. Theodotus berpendapat bahwa sebelum dibaptis Yesus adalah
manusia biasa, walaupun benar-benar saleh. Dan pada saat dibaptis, Roh atau
Kristus hinggap diatas-Nya dan Yesus dapat melakukan berbagai mujizat. Dan
bagi Theodotus Yesus adalah manusia biasa, diilhami, tetapi tidak didiami
oleh Roh Kudus.
Pada parohan kedua abad ke-3, tampil Paulus dari Samosata yang
mempertahankan bahwa Firman (Logos) tidak merupakan wujud yang
berkepribadian dan mampu hidup sendiri. Hal ini berarti Yesus Kristus bukan
Firman. Tapi menurut Paulus dari Samosata, Firman itu merujuk pada
7
perintah dan ketetapan Allah. Allah memerintahkan dan melaksanakan apa
yang dikehendaki-Nya dengan perantaraan manusia yang namanya Yesus.
Inilah yang dimaksudkan dengan logos dalam Yohanes 1. Dengan demikian
terdapat unsur kesamaan antara Tertulianus dengan Paulus dari Samosata,
yaitu kenyataan bahwa Allah hadir secara dinamis di dalam kehidupan
manusia yang namanya Yesus, namun sama sekali tidak terdapat kehadiran
Allah yang benar-benar nyata di dalam diri Yesus.
Usaha kedua dikenal dengan pandangan monarkhianisme modalis yang
berusaha meneguhkan dokrin Tritunggal. Monarkhianisme modalis juga
berusaha mempertahankan dokrin kesatuan Allah, tetapi juga mengakui
keilahan penuh Yesus Kristus. Menurut pandangan monarkhianisme modalis
istilah Bapa menunjuk kepada Ke-Allahan itu sendiri, dan setiap gagasan
bahwa Firman atau Anak itu kepribadian yang lain dari Bapa agak sulit
diterima oleh golongan ini. Adapun tokoh dari gerakan ini yang menonjol
adalah Noetus dari Smirna, yang aktif pada akhir abad ke-2 dan Sabellius yang
menulis dan mengajar di bagian awal abad ke-3 dan yang mengembangkan
pemikiran dokrin gerakan ini sehingga memperoleh bentuk yang lengkap dan
cangkih.
Gagasan pokok dari golongan ini adalah hanya ada satu Ke-Allahan yang
dapat disebut dengan berbagai cara sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Istilah-istilah ini tidak menunjukkan kepada pembedaan yang nyata, tetapi
sekedar merupakan nama yang dianggap cocok dan dapat digunakan pada
saat-saat yang berbeda. Bapa, Anak dan Roh Kudus itu identik, ketiganya
merupakan penyataan yang berturut-turut dari Oknum yang sama. Hal ini
berarti pemecahan monarkhianisme modalis terhadap paradox ketigaan dan
keesaan yang digagaskan bukanlah bahwa Allah adalah tiga Oknum dengan
tiga nama, tetapi satu Oknum dengan tiga nama, tiga peranan, atau tiga
kegiatan yang berbeda.
Selain itu gagasan lainnya dari modalisme ialah Sang Bapa ikut menderita
bersama dengan Kristus, sebab Bapa benar-benar hadir di dalam dan secara
8
pribadi identik dengan Yesus, Sang Anak. Pandangan ini dikenal sebagai
Patripassianisme”, dan pandangan ini dianggap sesat karena dianggap
bertentangan dengan filsafat Yunani bahwa Allah tidak dapat merasakan
penderitaan atau kesakitan.
Pendapat yang beragam dan saling bertentangan ini dianggap
mengganggu keberadaan dan pertumbuhan gereja sehingga diabad ke-4 gereja
mengadakan siding dengan tujuan merumuskan rumusan yang benar bagi
Tritunggal. Pada siding gereja di Nicea (Tahun 325 Ses M) dibuat kesimpulan
bahwa hanya ada satu bukan tiga Allah, dan bahwa Anak dilahirkan secara
kekal dari subsatansi Bapa, karena itu Anak sederajat dengan Bapa. Dan pada
siding gereja berikutnya tahun 381 di Kontantinopel lebih dipertegas lagi
rumusan tentang Oknum Roh Kudus dengan dikemukakan bahwa Roh Kudus
juga sederajat dengan Anak dan Bapa.
Pada masa reformasi dan sesudahnya kesalahpamahamn tentang dokrin
Tritunggal muncul lagi secara berulang-ulang. Misalnya golongan Arminians
demi menegaskan kesatuan Allah, cenderung merendahkan Oknum Anak dan
Roh Kudus, dan Oknum Bapa dianggap derajatNya lebih tinggi. Selain itu dari
golongan Lutheran juga mengikuti modalisme dengan menganggap
keberadaan Bapa, Anak dan Roh Kudus hanyalah model yang berbeda dari
Allah yang satu.
Pemahaman tentang hakikat Allah merupakan sumbangan pemikiran
Origenes tentang keesaan Tritunggal. Dan pada sidang gereja tahun 325 di
Necia status dogmatis tentang keesaan Allah diterima dengan menggunakan
istilah homo-usios (satu hakekat), sehingga bermakna satu hakekat, keberadaan
dasar, essens atau substansi.
Salah satu tokoh yang paling kreatif dalam sejarah teologi Kristen adalah
Augustinus dalam karyanya De Trinitate, ini merupakan karyanya yang
terbesar di mana ia memperkerjakan kecerdasan berpikirnya yang luar biasa
untuk memecahkan persoalan Tritunggal. Augustinus lebih menekankan
persatuan Allah dari pada ketigaan Allah. Menurut Augustinus Tiga anggota
9
Tritunggal bukanlah Oknum-Oknum yang tersendiri, tetapi setiap Oknum
mempunyai hakekat yang identik dengan Oknum yang lain atau dengan
substansi ilahi itu sendiri. Oknum-Oknum tersebut berbeda berkenaan dengan
hubungan mereka di dalam Ke-Allahan. Dalam De Trinitate analogi yang
didasarkan pada kegiatan pikiran disajikan dalam tiga tahap atau tiga Trinitas,
yaitu :
1. Pikiran, pengetahuan tentang dirinya, dan cintanya pada dirinya;
2. Daya ingat, pengertian dan kehendak;
3. Pikiran yang mengingat Allah, mengetahui Allah dan mengasihi Allah.
Augustinus menarik kesimpulan bahwa manusia secara sadar memusatkan
perhatian pada Allah, ia sepenuhnya memperlihatkan gambar Penciptanya.
Dengan demikian dokrin Tritunggal merupakan bagian yang sangat penting
dari iman Kristen. Masing-masing dari ketiga Oknum ini harus disembah
sebagai Allah Tritunggal. Dokrin tersebut tidak masuk akal dari sudut
pandang manusia sehingga tidak seorang akan menciptakannya. Menurut
Millard J. Erikson, Orang Kristen tidak menganut dokrin Tritunggal karena
dokrin itu nyata dan secara logis kuat dan meyakinkan, tetapi menganutnya
sebab Allah telah menyatakan bahwa demikianlah keadaan-Nya. Erikson
mengutip pernyataan seseorang demikian :
Cobalah menjelaskan, dan anda akan hilang akal; tetapi cobalah
mengingkarinya, maka jiwa anda akan hilang.

Dalam sebauh artikel yang ditulis oleh Samuel T. Gunawan dikemukakan beberapa
pandangan yang keliru tentang Tritunggal atau Trinitas, sebagaai berikut :
1. Triteisme, yakni pandangan yang menolak keesaan Allah dan percaya pada
tiga Allah.
2. Monarkkianisme, yang menekankan bahwa Allah anak hanyalah merupakan
mode lain dari pernyataan Allah Bapa.
3. Sabellianisme. Sabelius dari Ptolomais yang menyatakan bahwa Bapa, Anak
dan Roh Kudus adalah tiga bentuk eksistensi atau manifestasi dari satu Allah.

10
Dalam pandangan ini , Tritunggal bukan berkaitan dengan natur Allah, tetapi
hanya cara Allah menyatakan diriNya.
4. Arianisme, Arius seorang penatua yang anti Trinitarian dari Alexandria
mengajarkan Allah yang kekal yang esa dari Anak yang diperanakkan oleh
Bapa, dank arena itu, Anak memiliki permulaan (diciptakan). Jadi Arius
mengsubordinasikan anak pada Bapa. Sedangkan Roh Kudus adalah yang
pertama diciptakan oleh Anak. Dan Allah Bapa satu-satunya yang sama
sekali tidak mempunyai permulaan.
5. Socinianisme, Socinus pada abad ke enam belas mengajarkan bahwa adalah
keliru untuk mempercayai pribadi-pribadi dari Trinitas memiliki satu
hakekat yang esa. Paham mengajarkan bahwa hanya ada satu zat yang ilahi
yang terdiri hanya satu pribadi. Socinus melakukan penyangkalan terhadap
pra eksistensi Anak dan menganggap Anak hanya seorang manusia. Dan ia
mendefinisikan Roh Kudus sebagai kebajikan atau tenaga yang mengalir dari
Allah kepada manusia.

11

Anda mungkin juga menyukai