Anda di halaman 1dari 28

MEMAHAMI SEJARAH TRADISI SERTA BUDAYA ISLAM DI NUSANTARA

Sebagai bangsa yang besar yang terdiri dari suku, agama maupun rasnya. Tentu Indonesia
juga mempunyai beragam tradisi dan kebudayaan yang beragam pula. Berbagai tradisi dan
kebudayaan ini tentu ada sejarahnya tersendiri. Mulai dari kapan mulainya, siapa yang
mengawalinya sampai pesan-pesan apa yang terdapat dalam sejarah  tradisi atau budaya
yang telah ditinggalkan oleh para leluhur kita.
Sebagai rakyat Indonesia yang beragama Islam, selayaknya kita juga harus tahu apa-
apa saja tradisi dan budaya Islam yang ada nusantara ini. Hal ini harus kita ketahui, agar
supaya kita tidak melupakan tradisi dan budaya tersebut yang disebabkan oleh derasnya
perkembangan tradisi atau budaya dari luar negeri kita yang saat ini berkembang dengan
begitu cepat dan pesat.
Hal ini tentu sangat diperlukan supaya kelak ketika kita sudah tua nanti masih bisa
menceritakan dan menjelaskan betapa pentingnya menjaga dan melestarikan sejarah
tradisi dan budaya yang ada di nusantara ini bagi anak cucu kita kelak. Terlebih lagi, sebagai
rakyat Indonesia yang beragama Islam tentu sangatlah banyak sejarah tradisi dan budaya
yang mana sampai saat ini masih diteruskan oleh generasi umat Islam sekarang. radisi dan
Budaya Islam di Nusantara
Sejarah tentu pastilah ada yang mengawalinya dan bisa saja sejarah tersebut
dirubah, baik itu untuk hal-hal yang negatif atau bisa juga sejarah tersebut dirubah menjadi
sesuatu yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Begitu pula dengan sejarah tradisi dan budaya yang ada di nusantara ini. Tentunya
ulama-ulama atau sunan-sunan zaman dahulu yang sudah mendalami ilmu-ilmunya sudah
mengetahui berbagai tradisi dan budaya yang ada pada suatu masyarakat. Apakah itu baik
untuk tetap dilakukan oleh suatu masyarakat, atau memang perlu adanya suatu perubahan
dalam tradisi atau budaya tersebut.
Sehingga dengan ilmu-ilmu yang telah mereka dalami para ulama dan para sunan
terdahulu bisa meluruskan kebiasaan yang ada pada suatu masyarakat tersebut serta
digunakannya sebagai sarana dakwah kepada umat yang ada di bumi tercinta ini. Misalnya
di pulau Jawa, yang mana masyarakatnya begitu kental dengan seni dan budaya Jawanya.
Seperti wayang, kemudian musik (gending), seni bangunan, ukiran kayunya, dan lain
sebagainya.
Para ulama dan para sunan terdahulu sering menggunakan tradisi yang sudah
melekat pada suatu masyarakat tersebut, untuk tujuan dakwah. Mereka menyebarkan
agama Islam melalui kesenian-kesenian yang sudah ada, artinya para ulama’ dan para sunan
terdahulu tetap memperhatikan suatu kesenian yang sudah ada, kemudian sedikit demi
sedikit mereka memasukkan ajaran dakwah pada sebuah acara atau kebudayaan tersebut.

Macam – Macam Sejarah Tradisi dan Budaya Islam di Nusantara


Dari sekian banyak budaya dan tradisi yang ada pada negeri tercinta ini ada beberapa
budaya lokal yang ada pada sebuah masyarakat masih merupakan bagian dari tradisi dan
budaya Islam. Tradisi dan budaya Islam di nusantara ini  terdiri dari berbagai macam seni.
Mulai dari kesenian dan budaya lokal itu sendiri, seni bangunan, seni ukir atau seni lukis,
seni musik dan seni tari, kemudian seni sastra atau aksara.
Berikut penjelasan mengenai macam-macam peninggalan sejarah tradisi dan budaya Islam 
yang masih bisa kita lihat atau kita teruskan hingga saat ini:
1. Upacara Adat Sekaten
Sekaten ini merupakan tradisi dan budaya yang dilaksanakan tiap tahunnya.  Ibarat
tempat berkumpul dan berdagang secara bersama-sama baik di siang  atau di malam hari.
Acara ini dilakukan oleh masyarakat yang ada di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Namun,
pada waktu itu masyarakat di daerah tersebut masih sedikit yang mengenal Islam.
Akhirnya, melalui acara tersebut diselingi dan dimasukkanlah ajaran-ajaran
Islam di dalamnya oleh Sunan Kalijaga. Kata ‘sekaten’ sendiri awalnya adalah
berasal dari bahasa Arab yakni ‘syahadatain’ (dua kalimat syahadat), yang artinya
dalam acara tersebut masyarakat Jawa diberikan materi-materi untuk senantiasa
belajar Islam diantaranya mengucapkan dua kalimat syahadat:
‫ل هللا‬ُ ‫س ْو‬
ُ ّ‫مدًا ر‬
ّ ‫ح‬ ُ َّ‫ه ُد اَن‬
َ ‫م‬ َ ‫أش‬
ْ ‫و‬ َ ‫ه ُد اَنْ ال َ اِل‬
َ ‫ه اِال ّ هللا‬ ْ َ‫ا‬
َ ‫ش‬
Artinya kurang lebih:
“Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah kecuali Allah dan saya
bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan (rasul) Allah”
Namun, karena saat itu orang Jawa belum bisa mengucapkan dengan fasih apa
itu ‘syahadatain’, maka pengucapannya pun menjadi agak berbeda ‘sekaten’. Acara
sekaten ini juga berisikan pertunjukan gamelan-gamelan yang dimainkan.
2. Kesenian Bangunan
Sebelum agama Islam datang, banyak kerajaan-kerajaan yang mempunyai tanah yang
begitu luas, sebut saja alun-alun. Acara adat sekatenan diadakan di lokasi tersebut. alun-
alun tersebut dikelilingi dengan berbagai tempat penting mulai dari bangunan kerajaan
(kraton), pasar, tempat-tempat penting yang dijadikan sarana pemujaan serta bangunan-
bangunan penting lainnya.
Tempat-tempat tersebut tersebut merupakan rangkaian budaya lokal setempat
yang mana pada bangunan-bangunan tersebut masih asli dan belum mengalami perubahan.
Setelah agama Islam datang, seni-seni yang ada bangunan tersebut (arsitektur) masih
dipertahankan dan tentunya  mengalami sedikit perubahan. Sehingga bentuk aslinya masih
tetap terjaga.
Misalnya saja tempat ibadah yang ada di sekitar alun-alun tersebut yang saat ini
sudah menjadi masjid, namun nilai seni (arsitek) lokalnya masih terjaga. Mulai dari bentuk
meru-nya (atap yang bertingkat), yang masih dipertahankan karena selain menambah
keelokan sebuah masjid kemudian pintunya yang banyak yang memiliki arti setiap orang
bisa memasuki dari arah mana saja,  sehingga menjaga saluran udara yang ada di dalam
masjid.
Ditambah lagi dengan hiasan kaligrafi pada dinding masjid serta ruang tersendiri
(mihrab) yang berada di bagian depan makmum yang berfungsi sebagai tempat imam
masjid memimpin shalat lima waktu. Kemudian adanya pendopo yang mana di waktu itu
belum banyak yang memeluk Islam, sehingga pendopo ini digunakan untuk sarana belajar
untuk belajar mengaji. Serta adanya kentongan atau bedug yang dibunyikan sebagai
pertanda untuk dikumandangkannya adzan karena masuknya waktu shalat.
Selain masjid, seni bangunan yang lain adalah adanya bangunan kraton (istana
kerajaan) yang mana dalam kraton tersebut terdapat berbagai paduan corak agama, baik
Hindu, Islam kemudian kepercayaan warga setempat. Sehingga menjadikan bentuk dan
bangunan kraton tersebut lebih bagus dan punya ciri khusus. Seperti Kraton Ngayogyakarta,
Kraton Surakarta, Kraton Kasepuhan, Istana Mangkunegaran, Istana Raja Gowa, dan lain
sebagainya.
Dari seni bangunan, tentunya akan kita dapati bahwa begitu banyak peninggalan tradisi dan
budaya Islam yang ada di Nusantara ini.

3. Ketiga, Seni Ukir atau Kaligrafi


Faktor ketiga yang sudah menjadi tradisi dan budaya Islam yang sudah ada di nusantara
ini adalah masih berkaitan tentang seni juga. Tetapi untuk yang satu ini sering kita jumpai di
tempat-tempat ibadah atau biasanya menjadi keistimewaan sendiri bagi seseorang yang di
rumahnya ada seni ukir atau kaligrafi ini.
Selain bentuknya yang yang indah, seni ukir atau kaligrafi ini biasanya menjadi nilai
tersendiri bagi tempat ibadah atau sebuah rumah. Hal ini dikarenakan biasanya seseorang
bisa memilih atau memberikan pilihan ayat yang akan di ukir atau yang akan dijadikan
kaligrafi. Sehingga dengan ayat tersebut tidak hanya terpukau dengan keindahan seni
tersebut melainkan ayat-ayat al-Qur’an yang di ukir tersebut mempunyai makna yang
mendalam dan bisa mengingatkan kita akan kebesaran-kebesaran Allah swt.
Seni ukir atau kaligrafi ini juga sering kita jumpai pada tembok-tembok,
atap, mihrab juga di mimbar-mimbar masjid. Tentunya semua ini adalah hasil akulturasi
budaya, baik dari budaya Arab dan budaya Jawa.
Begitu pula dengan seni ukir yang ada pada kulit binatang atau lebih dikenal dengan
istilah kesenian wayang. Wayang ini juga merupakan salah satu peninggalan masyarakat
terdahulu yang mana masyarakat Jawa sangat ramai menonton pertunjukan wayang ini.
Dari sinilah kemudian ada seorang sunan (Sunan Kalijaga) yang berusaha untuk
mengubah kesenian tersebut menjadi sebuah kesenian yang mana penontonnya diajak
untuk mengucapkan syahadat serta mengenal sejarah-sejarah dan nama-nama pahlawan
Islam.
Pertunjukan wayang yang sudah akrab dengan masyarakat inilah yang dipakai oleh
Sunan Kalijaga untuk berdakwah kepada masyarakat, sehingga dengan seni tradisi dan
budaya inilah beliau mengajarkan ajaran-ajaran Islam untuk disampaikan kepada
masyarakat luas.

4. Keempat, Seni Tari dan Seni Musik


Dari berbagai suku yang ada di nusantara ini pastinya juga mempunyai seni tari dan seni
musik sendiri-sendiri. Tradisi dan budaya Islam yang berakulturasi dengan dua seni ini juga
sangatlah banyak. Ini biasanya dapat kita lihat ketika suatu suku atau masyarakat yang
sedang melakukan upacara adatnya. Di situ bisa kita jumpai berbagai macam alunan musik
juga tarian-tarian yang mempunyai ragam gerakan.
Tradisi dan budaya Islam yang senantiasa dilestarikan dengan seni tari dan musik ini
biasanya terdapat di daerah-daerah tertentu. Misalnya saja pembacaan sholawat kompang,
yang mana pembacaanya diiringi dengan tarian yang masih berhubungan dengan
pembacaan sholawat tersebut. adapun bentuk dari tarian ini adalah permainan dabus dan
seudati.
Tarian dabus ini diawali dengan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an serta sholawat
terlebih dahulu. Sedangkan tari seudati merupakan sebuah kesenian tradisioanal yang
berupa nyanyian atau tarian. Dalam kesenian ini, para penari juga menyanyikan lagu-lagu
yang berupa pujian atau sholawat kepada baginda nabi Muhammad saw. Kesenian tersebut
di atas berkembang di bekas-bekas pusat kerajaan, seperti kerajaan Minangkabau, Kerajaan
Aceh, dan Kerajaan Banten.
Bagi masyarakat Jawa, tentu tidak asing dengan istilah dengan bonang. Yakni alat
musik pukul yang terbuat dari perunggu dan bentuknya menyerupai bentuk gong tetapi
kecil. Maksudnya waktu itu ada seorang sunan yang mana menyebarkan agama Islam
melalui lagu-lagu Jawa atau langgam Jawa. Sunan tersebut  menyebarkan ajaran tauhid,
ibadah, akhlak dan sejarah nabi saw. melalui kesenian inilah sunan tersebut dengan
sebutan Sunan Bonang.
Seni musik ini juga bisa berupa qasidah yang artinya puisi yang lebih dari 14 bait.
Qasidah ini merupakan salah satu dari seni suara yang mana dalam anggotanya biasanya
terdiri dari 10-14 orang, baik putra maupun putri. Lagu-lagu yang dinyanyikan terdapat
ajakan-ajakan untuk berbuat amar ma’ruf nahi munkar kepada umat manusia.
Selain itu qasidah juga diiringi dengan berbagai alat musik, jika qasidah tersebut
tradisional, maka alat musik yang digunakan untuk mengiringi qasidah tersebut hanyalah
rebana saja yang terdiri dari berbagai ukuran. Berbeda dengan qasidah modern yang mana
alat untuk mengiringinya juga sudah memakai alat-alat elektronik modern

5. Kelima, Seni Sastra atau Aksara


Seni sastra ini juga menjadi salah satu tradisi atau budaya yang menjadi peninggalan
ulama-ulama terdahulu. Dalam istilah Jawa seni sastra atau aksara ini disebut dengan istilah
tembang. Adapun di Sumatra dan di Semenanjung Melayu disebut dengan istilah tembang
dan gancaran.
Karya sastra Jawa ini ditulis dengan huruf Jawa kuno, sedangkan di sastra yang ada di
pulau Sumatra umumnya ditulis dengan huruf Arab. Dari karya-karya sastra tersebut
lahirlah buku-buku atau suluk yang materinya berisikan tasawuf, atau bisa juga dalam
bentuk syair-syair kuna yang penulisannya pun juga ditulis dengan bahasa-bahasa kuno
atau bahasa daerah masing-masing.
Karya sastra yang terlahir dari penggunaan seni sastra yang bernuansa Islam ini,
diantaranya adalah: Babad Cirebon, Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, Gurindam Dua
Belas, dan Bustan Salatin.
Kemudian daris segi isi dan coraknya karya sastra yang berkembang setelah agama Islam
datang adalah hikayat dan babad.
Hikayat adalah suatu cerita yang isinya berupa peristiwa-peristiwa dalam sejarah,
termasuk kejadian-kejadian yang tidak bisa dinalar oleh akal manusia adalah masuk dalam
kategori hikayat. Sebut saja Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat si
Miskin, dan lain sebagainya.
Sedangkan babad adalah suatu cerita yang didalamnya mengandung uraian cerita
dari kejadian sejarah. Kawasan yang ada di daerah Melayu menyebut babad ini dengan
nama suatu peristiwa sejarah atau salasilah atau bisa juga disebut dengan tambo.

Pengaruh Tradisi dan Budaya Islam Terhadap Kehidupan Masyarakat Indonesia

Sebagai tambahan, datangnya Islam ke Indonesia ini tentunya juga mempunyai pengaruh
terhadap tradisi dan budaya yang sudah ada sebelumnya. Karena sebelum Islam datang,
Indonesia  juga sudah mempunyai tradisi dan budayanya sendiri. Baik itu karena agama-
agama yang sudah ada sebelumnya atau karena memang masyarakat setempat yang waktu
itu memang mengawali tradisi dan budaya tersebut.
Setelah agama Islam datang ke nusantara, tentu bertambah pulalah tradisi
dan budaya yang ada di nusantara ini, meskipun secara berangsur-angsur, tentunya
hal ini juga merupakan bagian penting dari dakwah para ulama-ulama terdahulu
yang memang sengaja mensyiarkan agama Islam ke seluruh pelosok nusantara.
Dari sinilah kemudian tradisi dan budaya tersebut berpengaruh dengan tradisi dan
budaya yang sudah ada sebelumnya.

Pengaruh-pengaruh tersebut, diantaranya adalah:


1. Memberikan arus kebudayaan baru setelah kebudayaan yang sudah ada sebelumnya.
Baik dari segi agama maupun peradaban (Hindu, Budha, Kristen, Eropa, dll)
2. Menciptakan daya tarik tersendiri bagi semua kalangan, mulai dari penguasa ataupun
pemimpin, pedagang, serta masyarakat nusantara. Karena mempunyai kemampuan
tersendiri dalam menanamkan nilai-nilai agama yang serasi dengan sikap kebangsaan
Indonesia.
3. Menguatkan pondasi keagamaan berupa ajaran tauhid kepada Allah swt. dan kenabian
Nabi Muhammad saw., serta ajaran-ajaran lainnya yang berupa rukun Iman dan rukun
Islam tanpa adanya paksaan terhadap anutan seseorang.
4. Membuat rakyat nyaman dan aman dengan agama Islam karena ajarannya yang
mencakup berbagai aspek-aspek kehidupan. Mulai dari aturan hukum, ibadah maupun
sistem pemerintahannya. Terlebih lagi di bidang kebudayaan dan kesenian pada waktu
itu. Karena ajaran Islam hanya meluruskan tanpa mengubah suatu tradisi dan budaya
yang sudah melekat pada masyarakat nusantara
5. Pengaruh seni sastra yang membuat masyarakat Indonesia lebih bersemangat dalam
mempelajari bahasa Arab untuk belajar huruf hijaiyah guna mempermudah pengalihan
bahasa,
6. Serta mendalami cerita-cerita atau legenda kepahlawanan yang terdapat pada buku-
buku sastra kuno yang ada pada agama Islam.

Penghargaan pada Tradisi dan Budaya Islam Nusantara


Setelah membaca sekian panjang mengenai tradisi dan budaya Islam di Nusantara
ini tentunya sebagai masyarakat Indonesia kita patut untuk tetap meneruskan, menjaga,
minimal mengetahui apa saja tradisi dan budaya Islam yang ada di negeri tercinta ini.
Banyak budaya lokal setempat yang mana sebenarnya itu adalah sebagian dari
peninggalan tradisi dan budaya Islam yang ada di nusantara ini. Seperti: acara sekatenan
(Grebeg Mulud), Grebeg Besar yang ada di Surakarta dan di Daerah Istimewa Yogyakarta ,
Dugderan yang ada di daerah Semarang, dan masih banyak lagi tradisi dan budaya yang
belum bisa disebutkan di sini.
Hal yang terpenting dari semua ini adalah kita harus bisa menjaga tingkah laku kita
ketika ikut dalam acara tersebut bukan hanya untuk hiburan dan bersenang-senang.
Demikian juga tradisi atau budaya pewayangan dan gamelan.
Dua kesenian tersebut merupakan dua kesenian yang berharga dan bernilai tinggi
bagi rakyat nusantara, tentunya jika dikemas dengan sedemikan rupa. Sehingga masyarakat
umum juga bisa menerima pesan positif dari acara wayang dan gamelan tersebut.
Dengan apresiasi tinggi tersebut, kita semua bisa melanjutkan, syukur bisa
menjelaskan kepada siapa saja bahwa tradisi dan budaya Islam yang ada di
Nusantara ini sangatlah banyak dan begitu penting. Karena mengandung berbagai
nilai-nilai penting dalam keseharian manusia.
Seperti nilai persatuan dan kesatuan, nilai persaudaraan (solidaritas yang tinggi),
nilai pembaharuan, nilai ibadah (‘ubudiyah), nilai perjuangan , dan nilai-nilai positif
lainnya. Meski demikian tidak menutup kemungkinan, kita juga harus bisa menerima
tradisi dan budaya baru yang itu tidak bertentangan dengan tradisi dan budaya
rakyat nusantara.

AGAMA ISLAM • SMP

Melestarikan Tradisi atau Budaya Islam di Nusantara.


Tradisi adalah kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan turun temurun
oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum Islam datang,
masyarakat Nusantara sudah mengenal berbagai kepercayaan dan memiliki
beragam tradisi lokal. Melalui kehadiran Islam maka kepercayaan dan tradisi
di Nusantara tersebut membaur dan dipengaruhi nilai-nilai Islam. Karenanya
muncullah tradisi Islam Nusantara sebagai bentuk akulturasi antara ajaran
Islam dengan tradisi lokal Nusantara. Tradisi Islam di Nusantara digunakan
sebagai metode dakwah para ulama zaman itu. Para ulama tidak
memusnahkan secara total tradisi yang telah ada di masyarakat. Mereka
memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi tersebut, dengan harapan
masyarakat tidak merasa kehilangan adat dan ajaran Islam dapat diterima.
Seni budaya, adat, dan tradisi yang bernapaskan Islam tumbuh dan
berkembang di Nusantara. Tradisi ini sangat bermanfaat bagi penyebaran
Islam di Nusantara. Untuk itulah, kita sebagai generasi muda Islam harus
mampu merawat, melestarikan, mengembangkan dan menghargai hasil
karya para ulama terdahulu.

Mengingat zaman modern sekarang ini ada sebagian kelompok yang


mengharamkan dan ada sebagian yang menghalalkan. Mereka yang
mengharamkan beralasan pada zaman Rasulullah saw. tidak pernah ada.
Mereka yang membolehkan dengan dasar bahwa tradisi tersebut digunakan
sebagai sarana dakwah dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kita
sebagai generasi penerus Islam kita harus bijaksana dalam menyikapi tradisi
tersebut. Memang harus diakui ada tradisi-tradisi lokal yang tidak sesuai
dengan Islam. Tradisi seperti ini harus kita tolak, dan buang supaya tidak
ditiru oleh generasi berikutnya. Para ulama dan wali pada zaman dahulu
tentu telah mempertimbangkan tradisi-tradisi tersebut dengan sangat matang
baik dari segi madharatmafsadat maupun halal-haramnya. Mereka sangat
paham hukum agama, sehingga tidak mungkin mereka menciptakan tradisi
tanpa pertimbanganpertimbangan tersebut. Banyak sekali tradisi atau
budaya Islam yang berkembang hingga saat ini. Semuanya mencerminkan
kekhasan daerah atau tempat masingmasing. Berikut ini adalah beberapa
tradisi atau budaya Islam dimaksud.
1. Tradisi Halal Bihalal.
Halal bihalal dilakukan pada Bulan Syawal, berupa acara saling
bermaaf-maafan. Setelah umat Islam selesai puasa ramadhan
sebulan penuh maka dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah Swt.
Namun, dosa kepada sesama manusia belum akan diampuni Allah
Swt. jika belum mendapat kehalalan atau dimaafkan oleh orang
tersebut. Oleh karena itu tradisi halal bihalal dilakukan dalam rangka
saling memaafkan atas dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan
agar kembali kepada !trah (kesucian). Tradisi ini erat kaitannya
dengan perayaan Idul Fitri. Tujuan halal bihalal selain saling
bermaafan adalah untuk menjalin tali silaturahim dan mempererat tali
persaudaraan. Sampai saat ini tradisi ini masih dilakukan di semua
lapisan masyarakat. Mulai keluarga, tingkat RT sampai istana
kepresidenan. Bahkan acara halal bihalal sudah menjadi tradisi
nasional yang bernafaskan Islam. Istilah halal bihalal berasal dari
bahasa Arab (halla atau halal) tetapi tradisi halal bi halal itu sendiri
adalah tradisi khas bangsa Indonesia, bukan berasal dari Timur
Tengah. Bahkan bisa jadi ketika arti kata ini ditanyakan kepada orang
Arab, mereka akan kebingungan dalam menjawabnya. Halal bihalal
sebagai sebuah tradisi khas Islam Indonesia lahir dari sebuah proses
sejarah. Tradisi ini digali dari kesadaran batin tokoh-tokoh umat Islam
masa lalu untuk membangun hubungan yang harmonis (silaturahim)
antar umat. Dengan acara halal bihalal, pemimpin agama, tokoh-tokoh
masyarakat dan pemerintah akan berkumpul, saling berinteraksi dan
saling bertukar informasi. Dari komunikasi ini akan mempererat
kekeluargaan dan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang ada.
Pada acara halal bihalal semua orang mengucapkan mohon maaf
lahir dan batin. Hal ini mengandung maksud bahwa ketika secara lahir
telah memaafkan yang ditandai dengan berjabat tangan atau
mengucapkan kata maaf, maka batinnya juga harus dengan tulus
memaafkan dan tidak lagi tersisa rasa dendam dan sakit hati.

2. Tradisi Tabot atau Tabuik.


Tabot atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu
untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian Hasan dan Husein
bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad saw. Kedua cucu Rasulullah
saw. ini gugur dalam peperangan di Karbala, Irak pada tanggal 10
Muharam 61 Hijriah (681 M). Perayaan di Bengkulu pertama kali
dilaksanakan oleh Syaikh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam
Senggolo pada tahun 1685. Syaikh Burhanuddin menikah dengan wanita
Bengkulu kemudian keturunannya disebut sebagai keluarga Tabot.
Upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram (berdasar kalendar
Islam) setiap tahun. Istilah Tabot berasal dari kata Arab, “tabut”, yang
secara har!ah berarti kotak kayu atau peti. Tidak ada catatan tertulis
sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun, diduga
kuat tradisi ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng
Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut,
didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan
India.

3. Tradisi Kupatan (Bakdo Kupat)


Di Pulau Jawa bahkan sudah berkembang ke daerah-daerah lain terdapat
tradisi kupatan. Tradisi membuat kupat ini biasanya dilakukan seminggu
setelah hari raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat berkumpul di suatu
tempat seperti mushala dan masjid untuk mengadakan selamatan
dengan hidangan yang didominasi kupat (ketupat). Kupat merupakan
makanan yang terbuat dari beras dan dibungkus anyaman (longsong)
dari janur kuning (daun kelapa yang masih muda). Sampai saat ini
ketupat menjadi maskot Hari Raya Idul Fitri. Ketupat memang sebagai
makanan khas lebaran. Makanan itu ternyata bukan sekadar sajian pada
hari kemenangan, tetapi punya makna mendalam dalam tradisi Jawa.
Oleh para Wali, tradisi membuat kupat itu dijadikan sebagai sarana untuk
syiar agama. Oleh sebagian besar masyarakat, kupat juga menjadi
singkatan atau di-jarwo dhosok-kan menjadi rangkaian kata yang sesuai
dengan momennya yaitu Lebaran. Kupat adalah singkatan dari ngaku
lepat (mengakui kesalahan) dan menjadi simbol untuk saling memaafkan.

4. Tradisi Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta.


Tradisi Sekaten dilaksanakan setiap tahun di Keraton Surakarta Jawa
Tengah dan Keraton Yogyakarta. Tradisi ini dilaksanakan dan dilestarikan
sebagai wujud mengenang jasa-jasa para Walisongo yang telah berhasil
menyebarkan Islam di tanah Jawa. Peringatan yang lazim dinamai
Maulud Nabi itu, oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata
Syahadatain (dua kalimat Syahadat). Tradisi ini sebagai sarana
penyebaran agama Islam yang pada mulanya dilakukan oleh Sunan
Bonang. Dahulu setiap kali Sunan Bonang membunyikan gamelan
diselingi dengan lagu-lagu yang berisi ajaran agama Islam serta setiap
pergantian pukulan gamelan diselingi dengan membaca syahadatain.
Jadi, Sekaten diadakan untuk melestarikan tradisi para wali dalam
memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Sebagai tuntunan bagi
umat manusia, diharapkan masyarakat yang datang ke Sekaten juga
mempunyai motivasi untuk mendapatkan berkah dan meneladani Nabi
Muhammad saw. Dalam upacara Sekaten tersebut disuguhkan gamelan
pusaka peninggalan dinasti Majapahit yang telah dibawa ke Demak.
Suguhan ini sebagai pertanda bahwa dalam berdakwah para wali
mengemasnya dengan menjalin kedekatan kepada msyarakat.

5. Tradisi Grebeg.
Tradisi untuk mengiringi para raja atau pembesar kerajaan. Grebeg
pertama kali diselenggarakan oleh keraton Yogyakarta oleh Sultan
Hamengkubuwono ke-1. Grebeg dilaksanakan saat Sultan memiliki hajat
dalem berupa menikahkan putra mahkotanya. Grebek di Yogyakarta di
selenggarakan 3 tahun sekali yaitu: Pertama grebek pasa-syawal
diadakan setiap tanggal 1 Syawal bertujuan untuk menghormati Bulan
Ramadhan dan Lailatul Qadr. Kedua grebeg besar, diadakan setiap
tanggal 10 dzulhijjah untuk merayakan hari raya kurban. Ketiga grebeg
maulud setiap tanggal 12 Rabiul awwal untuk memperingati hari Maulid
Nabi Muhammad saw. Selain kota Yogyakarta yang menyelenggarakan
pesta grebeg adalah kota Solo, Cirebon dan Demak.

6. Tradisi Grebeg Besar di Demak


Tradisi Grebeg Besar merupakan upacara tradisional yang setiap tahun
dilaksanakan di Kabupaten Demak Jawa Tengah. Tradisi ini dilaksanakan
pada tanggal 10 Dzulhijjah bertepatan dengan datangnya Hari Raya Idul
Adha atau Idul Kurban. Tradisi ini cukup menarik karena Demak
merupakan pusat perjuangan Walisongo dalam dakwah. Pada awalnya
Grebeg Besar dilakukan tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1428 Caka dan
dimaksudkan sekaligus untuk memperingati genap 40 hari peresmian
penyempurnaan Masjid Agung Demak. Mesjid ini didirikan oleh
Walisongo pada tahun 1399 Caka, bertepatan 1477 Masehi. Tahun
berdirinya masjid ini tertulis pada bagian Candrasengkala “Lawang Trus
Gunaning Janmo”. Pada tahun 1428 tertulis dalam Caka tersebut Sunan
Giri meresmikan penyempurnaan masjid Demak. Tanpa diduga
pengunjung yang hadir sangat banyak. Kesempatan ini kemudian
digunakan para Wali untuk melakukan dakwah Islam. Jadi, tujuan semula
Grebeg Besar adalah untuk merayakan Hari Raya Kurban dan
memperingati peresmian Masjid Demak.

7. Tradisi Kerobok Maulid di Kutai dan Pawai Obor di Manado.


Di kawasan Kedaton Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, juga
diselenggarakan tradisi yang dinamakan Kerobok Maulid. Istilah Kerobok
berasal dari Bahasa Kutai yang artinya berkerubun atau berkerumun oleh
orang banyak. Tradisi Kerobok Maulid dipusatkan di halaman Masjid
Jami’ Hasanuddin, Tenggarong. Tradisi ini dilaksanakan dalam rangka
memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw., tanggal 12 Rabiul Awwal.
Kegiatan Kerobok Maulid ini diawali dengan pembacaan Barzanji di
Masjid Jami’ Hasanudin Tenggarong. Kemudian dari Keraton Sultan
Kutai, puluhan prajurit Kesultanan akan keluar dengan membawa usung-
usungan yang berisi kue tradisional, puluhan bakul Sinto atau bunga
rampai dan Astagona. Usung-usungan ini kemudian dibawa berkeliling
antara Keraton dan Kedaton Sultan dan berakhir di Masjid Jami’
Hasanuddin. Kedatangan prajurit keraton dengan membawa Sinto,
Astagona dan kue-kue di Masjid Hasanudin ini akan disambut dengan
pembacaan Asrakal yang kemudian membagi-bagikannya kepada warga
masyarakat yang ada di dalam Masjid. Akhir dari upacara Kerobok ini
ditandai dengan penyampaian hikmah maulid oleh seorang ulama. Lain di
Kutai lain pula di Manado. Untuk memperingati Maulid nabi Muhammad
saw. warga muslim di Kota Manado, Sulawesi Utara, menggelar tradisi
pawai obor. Obor yang dibawa berpawai oleh ribuan warga membuat
jalan-jalan di Kota Manado terang. Bagi warga muslim setempat pawai
obor sudah jadi tradisi dan dilaksanakan turuntemurun sebagai simbol
penerangan. Lebih lanjut simbol penerangan itu bermakna bahwa
kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah membawa ajaran yang menjadi
cahaya penerang iman saat manusia hidup dalam kegelapan dan
kemusyrikan.

8. Tradisi Rabu Kasan di Bangka.


Tradisi Rabu Kasan dilaksanakan di Kabupaten Bangka setiap tahun,
tepatnya pada hari rabu terakhir bulan Safar. Hal ini sesuai dengan
namanya, yakni Rabu Kasan berasal dari Kara Rabu Pungkasan
(terakhir). Upacara Rabu Kasan sebenarnya tidak hanya dilakukan di
Bangka saja, tetapi juga di daerah lain, seperti di Bogor Jawa Barat dan
Gresik Jawa Timur. Pada dasarnya maksud dari tradisi ini sama, yaitu
untuk memohon kepada Allah Swt. agar dijauhkan dari bala’ (musibah
dan bencana). Di Kabupaten Bangka, tradisi ini dipusatkan di desa Air
Anyer, Kecamatan Merawang. Sehari sebelum upacara Rabu Kasan di
Bangka diadakan, semua penduduk telah menyiapkan segala keperluan
upacara tersebut seperti ketupat tolak balak, air wafak, dan makanan
untuk dimakan bersama pada hari Rabu esok hari. Tepat pada hari Rabu
Kasan, kira-kira pukul 07.00 WIB semua penduduk telah hadir di tempat
upacara dengan membawa makanan dan ketupat tolak bala sebanyak
jumlah keluarga masing-masing. Acara diawali dengan berdirinya
seseorang di depan pintu masjid dan menghadap keluar lalu
mengumandangkan adzan. Lalu disusul dengan pembacaan doa
bersama-sama. Selesai berdoa semua yang hadir menarik atau
melepaskan anyaman ketupat tolak balak yang telah tersedia tadi, satu
persatu menurut jumlah yang dibawa sambil menyebut nama keluarganya
masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Setelah itu, masing-masing pergi mengambil air wafak yang telah
disediakan untuk semua angngota keluarganya. Setelah selesai acara ini
mereka pulang dan bersilahturahmi ke rumah tetangga atau keluarganya.

9. Tradisi Dugderan di Semarang.


Tradisi dugderan merupakan tradisi khas yang dilakukan oleh masyarakat
Semarang, Jawa Tengah. Tradisi Dugderan dilakukan untuk menyambut
datangnya bulan puasa. Dugderan biasanya diawali dengan
pemberangkatan peserta karnaval dari Balaikota Semarang. Ritual
dugderan akan dilaksanakan setelah shalat Asar yang diawali dengan
musyawarah untuk menentukan awal bulan Ramadan yang diikuti oleh
para ulama. Hasil musyawarah itu kemudian diumumkan kepada
khalayak. Sebagai tanda dimulainya berpuasa dilakukan pemukulan
bedug. Hasil musyawarah ulama yang telah dibacakan itu kemudian
diserahkan kepada Kanjeng Gubernur Jawa Tengah. Setelah itu Kanjeng
Bupati Semarang (Walikota Semarang) dan Gubernur bersama-sama
memukul bedug kemudian diakhiri dengan doa.

10. Tradisi atau Budaya Tumpeng.


Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk
kerucut. Nasi tumpeng umumnya berupa nasi kuning, atau nasi uduk.
Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan
Jawa, dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu
kejadian penting. Meskipun demikian, budaya tumpeng sudah menjadi
tradisi nasional bangsa Indonesia. Tumpeng biasa disajikan di atas
tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang. Ada tradisi tidak
tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng
dihidangkan bagi orang yang dituakan dari orang-orang yang hadir. Ini
dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut.
Saat ini budaya tumpeng sudah menjadi tradisi nasional bangsa
Indonesia.

Indonesia kaya dengan budaya dan tradisi yang dilakukan turun-temurun. Beberapa di
antaranya adalah tradisi yang bersifat religi atau keagamaan dan berkembang baik di
nusantara.
Selain untuk memperkuat ukhuwah, tradisi ini juga dianggap sebagai syiar Islam.
Berikut delapan tradisi religi di Indonesia
1. Halalbihalal
Halalbihalal, tradisi khas Indonesia yang lahir dari sebuah proses sejarah. Biasanya
dilakukan pada bulan Syawal atau momentum Hari Raya Idul Fitri. Halalbihalal dilakukan
dengan silaturahmi, saling berjabat tangan dan bermaaf-maafan. Meski namanya agak ke
Araban, tapi halalbihalal hanya ada di Indonesia.
2. Tabot atau Tabuik
Tradisi Tabot atau Tabuik merupakan upacara tradisional masyarakat Bengkulu. Tabot
dilakukan untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian Hasan dan Husein bin Ali bin
Abi Thalib.
Kedua cucu Rasulullah SAW itu gugur dalam peperangan di Karbala, Irak pada 10
Muharram 61 Hijriah (681 Masehi). Perayaan Tabot di Bengkulu dilaksanakan pertama kali
oleh Syeikh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada 1685. Syeikh
Burhanudin menikah dengan wanita asal Bengkulu yang keturunannya disebut sebagai
keluarga Tabot.
Upacara Tabot biasanya dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram setiap tahun. Tabot kini
jadi salah satu festival tahunan yang sering digelar di Bengkulu.
3. Sekaten Surakarta
Tradisi Sekaten atau peringatan yang dinamai Maulid Nabi ini dilaksanakan setiap tahun di
Keraton Surakarta, Jawa Tengah dan Keraton Yogyakarta. Sekaten masih dilestarikan
sebagai wujud untuk mengenang jasa para Walisongo yang telah berhasil menyebarkan
agama Islam di tanah Jawa.
 
Sekaten berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat). Tradisi ini dikenal sebagai
sarana penyebaran agama Islam yang awalnya dilakukan oleh Sunan Bonang.
Upacara Sekaten biasanya menyuguhkan gamelan pusaka dari peninggalan dinasti Majapahit
yang telah dibawa ke Demak.
4. Grebeg
Grebeg salah satu tradisi yang dilakukan di Keraton Yogyakarta. Grebeg pertama kali
diselenggarakan oleh Sultan Hamengkubuwono ke-1. Biasanya, tradisi ini dilakukan saat
Sultan mempunyai hajat berupa menikahkan putra mahkotanya. Tradisi Grebeg di
Yogyakarta diselenggarakan setiap 3 tahun sekali.

Grebeg pertama diselenggarakan setiap 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri, kedua Grebeg
besar biasanya diadakan setiap 10 Dzulhijjah atau Hari Raya Idul Adha. Sementara Grebeg
Maulud diselenggarakan pada 12 Rabiul Awal untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad
SAW.
5. Grebeg Besar Demak
Tradisi Grebeg Besar salah satu upacara tradisional yang selalu diadakan setiap tahun di
Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Grebeg besar dilaksanakan pada 10 Dzulhijjah yang
bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha.
6. Kerobok Maulid di Kutai
Tradisi Krobok Maulid salah satu upacara yang berasal dari Kedaton Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur. Kerobok berasal dari bahasa Kutai yang berarti berkerubunan atau
berkerumun. Kerobok Maulid biasanya dipusatkan di halaman Masjid Jami' Hasanuddin,
Tenggarong dalam rangka Maulid Nabi Muhammad pada tiap 12 Rabiulawwal.
Tradisi ini biasanya diawali dengan pembacaan zikir barzanji. Kemudian diisi dengan
persembahan dari Keraton Sultan Kutai serta prajurit Kesultanan yang membawa usung-
usungan berisi kue tradisional, bunga rampai dan astagona.
7. Rabu Kasan
Rabu Kasan salah satu tradisi yang sering dilaksanakan di Desa Air Anyer, Kecamatan
Merawang, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung. Biasanya dilakukan tiap Rabu akhir bulan
Safar. Warga menyiapkan ketupat, air dan makanan untuk dimakan. Mereka juga berdoa
memohon perlindungan Allah dan dijauhkan dari bala atau musibah.
8. Dugderan Semarang
Dugderan, salah satu tradisi masyarakat Semarang, Jawa Tengah dalam menyambut atau
memeriahkan masuknya bulan Ramadan. Sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Festival
dugderan dilakukan dengan memukul bedug atau membuat bunyi-bunyian seperti membakar
mercon menjelang masuknya waktu salat magrib atau masuknya 1 Ramadan.
Watak agama sesungguhnya adalah sebagai perekat solidaritas sosial
karena nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan di dalamnya. Sudah tentu,
agama berasal dari tradisi yang dimodifikasi oleh para pembawa pertamanya
disesuaikan dengan apa yang dia yakini berasal dari perintah Tuhan.
Seorang pembawa ajaran agama (nabi) mulanya menganggap agama
adalah persoalan individual, karena jelas apa yang dimaksud oleh perintah
Tuhan hanya dipahami dan dijalankan oleh seseorang yang dipilih-Nya untuk
menjadi penyebar agama kepada masyarakatnya. 
Kemunculan sebuah "agama baru" dalam masyarakat tidak mungkin
menjauhkan diri dari beragam tradisi atau nilai-nilai kemasyarakatan yang
dianut. Agama selalu mengikuti dan menyesuaikan dengan berbagai tradisi
yang ada dan bukan memberangusnya sama sekali. Dengan demikian,
agama adalah cerminan dari tradisi masyarakat itu sendiri dan secara lebih
sederhana, agama adalah warisan tradisi bukan sebaliknya.
Islam sebagai agama setelah dibawa oleh Nabi Muhammad
merupakan agama baru dibanding agama-agama kuno lainnya, seperti
Nasrani atau Yahudi. Islam lahir dari sebuah kondisi kebodohan (jahiliyah)
bangsa Arab, dan hampir-hampir waktu itu bangsa Arab tidak mempunyai
peradaban sama sekali. Situasi kekacauan masyarakat yang barbar,
nomaden, penuh dengan kekerasan, tak bermoral adalah ciri utama bangsa
Arab sebelum Islam, kemudian mendorong seseorang bernama Muhammad
mulai peduli untuk memperbaiki "kerusakan total" lingkungan
masyarakatnya. 
Muhammad pada awalnya mengisi hari-hari kehidupannya dengan ber-
tahannuts atau berada dalam ruang-ruang keheningan yang sepi dari hiruk-
pikuk masyarakat, berdoa dan memohon kepada Tuhan agar kondisi carut-
marut bangsanya dapat segera terselesaikan. Muhammad seringkali
menyepi di sebuah bukit yang bernama Jabal Nur, beberapa kilometer dari
pusat kota Mekkah untuk sekadar menjauhi keramaian masyarakat Arab.

Kehidupan Muhammad dalam keheningan jiwanya,senantiasa dituntun oleh


warisan tradisi nenek moyangnya, Nabi Ismail yang secara turun temurun
menganut agama bapaknya, Ibrahim, yakni agama ketauhidan (millah)
yang hanif. Seluruh warisan tradisi yang berasal dari Ibrahim, seperti
berkhitan, berhaji ke baitullah (Mekkah), dan berpuasa masih tetap
dijalankan Muhammad yang mentradisi dalam keluarga dan masyarakatnya. 

Masa Nabi Muhammad sudah dikenal istilah "agama" atau dalam bahasa
Arab "ad-diin", dan seluruh masyarakat Arab berbaur dalam nuansa
perbedaan keyakinan dan agama, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat tradisi di
antara mereka. Agama tetap dianggap sebagai warisan dari tradisi nenek
moyang mereka yang tetap dipegang-teguh tanpa adanya paksaan atau
tekanan dari kelompok-kelompok agama lainnya. Oleh karena itu, seorang
ahli bahasa dan antropolog Arab, Ibn al-Mandzur (1232 M) menyebut bahwa
istilah "ad-diin" yang berarti "agama" mengacu pada "suatu adat atau tradisi
yang diikuti" (ad-ddinu huwa al-'aadatu wa as-sya'n). 

Agama tentu saja berimplikasi pada adanya ketaatan setiap pemeluknya


untuk tetap menjaga dan melestarikan tradisinya yang baik, dan
meninggalkan tradisi lainnya yang dianggap buruk. Tradisi-tradisi sebelum
Islam, seperti praktik khitan, haji, berpuasa, pernikahan, soal pembagian
warisan dan lainnya merupakan peninggalan tradisi Ibrahim yang tetap
dijunjung tinggi dalam adat masyarakat Arab, termasuk bagian tradisi
keagamaan yang dijalankan oleh Muhammad pra-Islam. Agama dengan
demikian adalah "warisan" dari tradisi-tradisi masyarakat atau kepercayaan
sebelumnya yang saling melengkapi, dan tentu saja agama
berkecenderungan untuk memperbaiki setiap "penyimpangan" sebuah
tradisi.

Agama dan tradisi atau budaya kemudian menjadi pola hidup yang "bernilai"
di tengah masyarakat karena mampu merekatkan kehidupan sosial secara
lebih harmonis. Kita tentu sadar dan tahu bahwa sejarah bangsa Indonesia
sejak dulu tidak pernah ada sama sekali pertentangan soal keberagamaan
yang dihadapkan dengan tradisi. Agama tidak pernah sama sekali menjadi
sekat dalam kehidupan sosial, tetapi agama justru mampu menjadi perekat
tradisi yang "berserakan". Masyarakat beragama tentu saling menghormati
dan menghargai perbedaan tradisi yang ada tanpa harus
mempertentangkannya. 

Masyarakat tidak perlu belajar secara mendalam soal agama dari kitab-kitab
keagamaan yang tersedia, mereka cukup mendengar dan
mentaati pitutur para kiai kampung atau ulama setempat tentang bagaimana
bersosialisasi secara baik dengan masyarakat. Cermin masyarakat terdahulu
adalah soal ketaatan mereka terhadap tradisi dan agama, sehingga
beragama benar-benar dipahami sebagai keyakinan yang melekat secara
pribadi ke dalam hati masing-masing pemeluknya, tidak diungkapkan
menjadi "perbedaan" tatkala berada dalam lingkungan masyarakat. 

Hal itu selaras bahwa agama pada awalnya adalah masalah individual,
seperti Islam yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad
bercorak "individualistik". Islam secara individu lebih dahulu dipahami dan
diaplikasikan oleh diri Nabi sendiri, sebelum kemudian menjadi bersifat
sosial, ketika agama itu menyebar dan diyakini menjadi "tradisi" oleh
sebagian masyarakat. Persoalan baru muncul justru ketika agama
bersentuhan dengan realitas sosial, karena persoalan yang tadinya individual
kini berubah menjadi entitas sosial sehingga butuh sebuah kebijaksanaan
agar agama tetap berfungsi menjadi perekat dan penguat ikatan-ikatan
sosial.

Menarik ketika kemudian keberislaman di Indonesia terkait erat dengan


tradisi dan budaya masyarakatnya, sehingga muncul istilah "Islam
Nusantara" yang dipopulerkan kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Tidak hanya
Islam Nusantara sebenarnya, bahwa Islam Arab pun terkait dengan tradisi
masyarakat Arab yang diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim yang secara turun
temurun diwariskan hingga kepada Nabi Muhammad dan akhirnya sampai
kepada kita saat ini. Mempertentangkan agama dengan warisan tradisi bisa
jadi ahistoris, terlebih menganggap bahwa Islam bukanlah "agama turunan"
yang dibawa oleh orangtua dan leluhur kita. 

Bukankah Nabi Muhammad juga sama, mengikuti agama Ibrahim dan tidak
pernah mempersoalkannya? Bahkan Nabi Muhammad bangga dengan
agama yang diwariskan Ibrahim dan menolak ajakan untuk mengikuti agama
Yahudi dan Nasrani yang ditawarkan kepadanya (Lihat misalnya, Surat Al-
Baqarah: 135).

Saya muslim, dan saya beragama karena warisan dari orangtua saya, dan
terus-menerus dari keturunan yang di atasnya hingga sampai kepada Nabi
Muhammad, dan puncak tertinggi adalah agama warisan dari Nabi Ibrahim.
Agama dan tradisi atau budaya jelas tak mungkin dipisahkan karena selalu
"menyesuaikan", dan berakulturasi dalam ruang hidup kemanusiaan. Hampir
dipastikan seluruh agama bermuara pada nenek moyang yang sama, dan
masing-masing diyakini sebagai kebenaran oleh para pemeluknya. 

Tuhan pun tidak pernah membedakan manusia karena agama, justru yang
ada adalah perbedaan kesukuan, kekelompokan dan kebangsaan sehingga
manusia dapat saling mengenal (ta'aruf). Agama bukan menjadi "sekat"
dalam kehidupan sosial, apalagi keluar dari "sunnatullah"-nya, sebagai
perekat dan pemersatu realitas sosial secara turun-temurun.

Memang, istilah "Islam Nusantara" yang digaungkan NU seakan melahirkan


"konflik horiziontal", padahal sesungguhnya NU sedang memperkenalkan
bahwa agama itu tak bisa lepas dari unsur tradisi dan budaya sebagaimana
diungkapkan sejararawan Arab, Ibnul Mandzur. Islam Nusantara tidak berarti
"membedakan" antara Islam Arab atau bukan Arab, tetapi lebih diarahkan
untuk lebih memahami, bahwa Islam yang hadir di Nusantara tak pernah
"mempertentangkan" antara agama dan tradisi atau budaya masyarakat
setempat, karena agama dan budaya pada awalnya satu entitas, bukan
terpisah. 
Bahkan, jika dalam konteks kesejarahan yang lebih luas, tradisi dan budaya
lebih dahulu ada dalam masyarakat, jauh sebelum agama itu datang. Secara
fenomenologis, jahiliyah mendahului Islam, walaupun secara substansial,
Islam mendahuluinya.

Tradisi Islam Nusantara dalam Memersepsikan Minoritas


Jakarta, NU Online Kaum monoritas sebagai kelompok yang rentan sering
mendapatkan perlakuan berbeda di dalam masyarakat. Sesungguhnya
dalam tradisi Islam sudah dirumuskan upaya-upaya perlindungan serta
upaya-upaya penyetaraan terhadapnya.  Peneliti senior Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ahmad Najib Burhani dalam diskusi panel
Perspektif Islam Nusantara tentang Minoritas, Disabilitas, dan Perempuan,
Sabtu (8/2) mengatakan bahwa dalam Piagam Madinah telah terangkum
bagaimana Islam memperlakukan kelompok-kelompok minoritas, terutama
kaitannya dengan agama di luar Islam.   Sebelumnya untuk menyatukan
persepsi mengenai terminologi minoritas, Najib menjelaskan bahwa yang
dianggap minoritas adalah mereka yang secara objektif mengalami
ketidakberuntungan di dalam masyarakat atau dalam istilah agama disebut
sebagai mustadh'afin.   "Jadi tidak terpaku pada kuantitas atau jumlah
statistik," tegas Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP
Muhammadiyah dalam diskusi sebagai bagian dari Simposium Islam
Nusantara.    Dalam Piagam Madinah, ia menjelaskan bahwa Nabi
Muhammad dan Islam tidak ditempatkan lebih tinggi posisinya ketimbang
agama atau kelompok lain. Selain itu, Piagam Madinah juga menyatakan
bahwa seluruh agama dan keyakinan diterima sepenuhnya sebagai bagian
dari state (negara) dan diperlakukan sama dihadapan hukum tanpa ada
favoritisme.   Istilah 'umat' dalam Piagam Madinah juga secara eksklusif tidak
dipahami sebagai komunitas muslim atau mengarah pada negara Islam,
tetapi mengacu pada semua suku bangsa yang ada dalam perjanjian
tersebut.   Secara lebih lanjut perlakuan Islam terhadap kaum minoritas juga
dapat dilihat dari hadits yang di antaranya adalah, "Barangsiapa yang
menyakiti kafir dzimmi, maka sama saja menyakitiku."    Dalam hadits yang
lain, ujar Ahmad Najib Burhani, disebutkan bahwa menemani minoritas
adalah menemani mereka yang hatinya terluka. "Serta masih banyak hadits
lain yang konteksnya berpihak terhadap kaum minoritas," katanya dalam
acara yang diadakan oleh Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul
Ulama Indonesia (Unusia). Pada acara yang berlangsung di Gedung PBNU
Kramat Raya Jakarta Pusat ini, Najib menambahkan, dalam tradisi Islam
Nusantara telah banyak ditemukan perlakuan terhadap kaum minoritas. Di
antaranya adalah figur atau habitus yang dibangun oleh Gus Dur, tradisi
Banser NU dalam menjaga upacara-upacara keagamaan di luar Islam,
pemaknaan Islam yang rahmatan lil'alamin, juga penggunaan istilah kafir
dalam konteks bernegara.   "Saya mengutip dari Kiai Said bahwasannya
dalam sistem kewarganegaraan dalam suatu negara bangsa tidak dikenal
istilah kafir, maka setiap kewarganegaraan memiliki status yang sama di
mata konstitusi," paparnya.   Dalam diskusi panel tersebut, Wakil Ketua
Lembaga Bahtsul Masail NU, Abdul Moqsith Ghazali menanggapi bahwa NU
tidak ada preferensi untuk membuang kata kafir baik dalam Al-Qur'an, hadits,
maupun dalam fiqih. Tetapi, menurutnya empat kategori di dalam fiqih tidak
memenuhi syarat untuk disematkan pada orang-orang non muslim di
Indonesia.   Empat kategori kafir yang dimaksud adalah pertama, kafir
dzimmi. Kafir dzimmi di Indonesia tidak dapat ditemukan, karena dalam
kategori ini tidak ada proses pemberian dzimmah dan penerimaan dzimmah
yang berlangsung. Kedua, kafir mu'ahad. Di Indonesia pun tidak terjadi
ikatan perjanjian antara orang Islam dan orang di luar Islam.   Ketiga, kafir
musta'man, dalam hal ini juga tidak ditemukan kategori yang disebut sebab
tidak ada orang non muslim yang meminta perlindungan dan yang memberi
perlundungan. Keempat, kafir harbi, hal ini juga sangat jelas bahwa di
Indonesia tidak terjadi perang antara orang-orang non-Islam dengan orang-
orang Islam. Dari keempat kategori tersebut menunjukkan bahwa di
Indonesia tidak ditemukan syarat yang tepat yang telah dipaparkan dalam
fiqih bagi kaum non-Muslim.   "Untuk itu, kata kafir tidak ditinggalkan, tetapi
tidak diterapkan di Indonesia," pungkasnya.
5 TRADISI UNIK RAHADHAN DI NUSANTARA
Bulan suci Ramadhan disambut suka cita oleh umat muslim dunia,
termasuk Indonesia. Ada beragam cara unik dalam
mengekspresikannya, bahkan menjadi tradisi turun-temurun. Ini lima di
antaranya yang ada di Nusantara.
BULAN suci Ramadhan disambut suka cita oleh umat Muslim dunia,
termasuk Indonesia. Ada beragam cara unik dalam mengekspresikannya,
bahkan menjadi tradisi turun-temurun. 
Di Gorontalo, misalnya, para perempuan membalurkan rempah-remah
tradisional ke wajah. Tradisi ini diyakini akan membuat wajah tetap cantik
dan segar selama Ramadhan.
Beda lagi dengan warga adat Bonokeling di Kabupaten Banyumas,
Jawa Tengah. Mereka memiliki tradisi berjalan kaki tanpa alas kaki menuju
makam leluhur untuk berziarah menjelang Ramadhan. 
Lalu di Dandangan, Kudus, Jawa Tengah, Ramadhan disambut
dengan berbagai hiburan rakyat, termasuk pertunjukan tari kolosal.
Ada pula tradisi makan telur ikan mimi atau ikan pari. Yang ini
merupakan tradisi warga Kendal, Jawa Tengah, untuk menyambut bulan
Ramadhan. Uniknya lagi, telur ikan mimi hanya ada saat Bulan Ramadhan.
Berikutnya, tradisi unik dengan sebutan mabacca-baca menjadi cara warga
Polewali Mandar, Sulawesi Barat untuk menyambut Ramadhan. Demi
kelancaran ibadah puasa, mereka menggelar ritual doa disertai suguhan
sejumlah makanan tradisional.
Tentu saja, sangat mungkin ada lebih banyak lagi tradisi unik di berbagai
penjuru Nusantara untuk menyambut Ramadhan. Lima tradisi ini hanya
sejumput di antaranya.
1. Mohibadaa 
MOHIBADAA dalam bahasa Gorontalo kurang lebih berarti menggunakan bedak dengan
ramuan rempah-rempah tradisional sebagai baluran wajah (masker). Di luar Ramadhan,
tradisi membalurkan ramuan campuran aneka rempah ini sebenarnya juga dilakukan untuk
menjaga kecantikan wajah. 
Namun, tradisi mohibadaa disebut lebih spesial menjelang Ramadhan. Alasannya, puasa
dapat membuat kulit—termasuk wajah—menjadi kering karena sepanjang hari tak makan
dan minum. Terlebih lagi, cuaca di Gorontalo cenderung panas menyengat.
“(Bahan ramuan) terdiri atas tepung beras, humopoto (kencur), bungale (bangle), dan
alawahu (kunyit),” kata Jemi Monoarfa, penggiat pertanian tradisional di Gorontalo, Jemi
menyarankan, tepung beras yang dipakai berasal dari beras pulo (ketan). Menurut dia,
tepung dari jenis beras ini lebih halus. 
Pertama-tama, beras direndam dengan air secukupnya. Lalu beras itu ditumbuk bersama
aneka rempah hingga tercampur halus menjadi tepung. Sudah, tinggal dioles ke wajah. 
Buat warga Gorontalo, mohibadaa sudah menjadi tradisi sehari-hari, terlebih lagi setiap
Ramadhan. 
 “Bukan hanya aromanya yang harum sepanjang hari, kulit kita juga menjadi kencang sehat
berseri,” tutur Asri Hudji, juga warga Gorontalo.
Menurut Asri, terbiasa melakukan mohibadaa akan membuat wajah lebih segar, tidak
kering, bahkan mencegah kerutan. 
 “(Kulit) terasa kenyal sehat. Tidak khawatir dengan ramuannya karena semua bahan
tradisional dan alami,” imbuh Asri.
2. Laku lampah trah Bonokeling
BARISAN perempuan yang mengenakan kain (jarik) dan kemben seperti
dalam foto di bawah ini merupakan tradisi unik warga adat Bonokeling di
Kabupaten Banyumas, setiap menjelang Ramadhan. 
Namun, yang berbaris dan lalu berjalan kaki bersama-sama ke areal
pemakaman leluhur setempat tak hanya perempuan.
Slamet (45), misalnya, adalah salah satu lelaki warga adat Bonokeling yang
ikut dalam barisan tersebut, saat dijumpai Kompas.com pada Kamis
(10/5/2018).
Sudah begitu, mereka berjalan tanpa alas kaki di bawah terik matahari yang
menyengat. Mereka menuju pemakaman leluhur di Desa Pekuncen,
Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, untuk berziarah, sebagai
bagian ritual menyambut bulan suci Ramadhan.
Kasepuhan (pemuka adat) trah Bonokeling, Sumitro, mengatakan, sepekan
sebelum memasuki bulan puasa, trah Bonokeling atau yang biasa
disebut anak-putu (anak-cucu, keturunan) menjalani laku lampah ini.
Laku lampah alias ritual berjalan kaki tersebut mewajibkan setiap anak-
putu trah Bonokeling dari berbagai wilayah untuk berjalan kaki ke Desa
Pekuncen.
nak-putu trah Bonokeling tersebar dari Adipala, Daun Lumbung yang masuk
wilayah Kabupaten Cilacap hingga warga Kedungwringin dari Kabupaten
Banyumas.
Makam leluhur yang dituju adalah pusara Ki Bonokeling.
“Anak-putu akan istirahat semalam di Pekuncen. Acara puncak adat,
Unggahan atau Nyadran, yakni berziarah ke makam Ki Bonokeling pada
Jumat (11/5/2018),” kata Sumitro.
Masih ada lanjutannya. Pada Senin (14/5/2018), dilangsungkan Rikat Akhir,
yakni membersihkan lokasi makam Ki Bonokeling.
Bersih-bersih areal makan tersebut menjadi penutup rangkaian ritual. Para
anak-putu pun pulang ke rumah masing-masing dan menyambut Ramadhan
yang pada tahun ini dimulai pada Kamis (17/5/2018). 
Trah Bonokeling, kata Sumitro, merupakan masyarakat adat Islam kejawen.
Mereka hanya mengenal hisab berdasarkan almanak Jawa Alif Rebo Wage
(Aboge) sebagai penentu hari besar keagamaan.
“Hitungannya pasti. Awal puasa jatuh pada Kamis (17/5/2018), pasarannya
pahing, itu terhitung 1 Aboge. Tahunnya Dal,” ujar dia.
Almanak Jawa Aboge juga menjadi panduan bagi trah Bonokeling dalam
aktivitas sehari-hari. Ambil contoh, untuk menentukan hari baik hajatan,
mulai dari pernikahan sampai acara adat.
Saat ini, di Pekuncen sendiri trah Bonokeling kurang lebih ada 2.000 orang.
Adapun di Adiraja, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, ada
13 bedogol (pemuka adat), yang masing-masing membawahi trah
Bonokeling.
Menjelang Ramadhan 2018, kurang lebih 3.000 trah Bonokeling mengikuti
acara adat Unggahan di Desa Pakuncen.
3. Dandangan
INILAH tradisi yang biasa dilakukan warga Kudus, Jawa Tengah, setiap
menjelang Ramadhan. Punya nama dandangan, pada tahun ini tradisi
tersebut digelar pada Rabu (16/5/2018), di Alun-alun Kudus.
Ribuan warga berkerumun di alun-alun sejak sore untuk menyaksikan
kegiatan tersebut. Kegiatan yang berlangsung hingga malam hari itu
diramaikan dengan persembahan tarian kolosal dan beberapa hiburan lain.
Menampilkan puluhan penari, tarian kolosan ini menceritakan mulai dari
sejarah industri pengolahan tembakau di Kudus hingga sejarah Sunan
Kudus.
Dandangan diyakini sebagai salah satu tradisi peninggalan Sunan Kudus
sejak 450 tahun lalu, yang dilakukan untuk menyambut datangnya awal
Ramadhan.
andangan bermula dari masyarakat yang berkumpul menanti pengumuman
awal dimulainya waktu puasa.
Pada awal mulanya, konon pengumuman awal bulan puasa akan
disampaikan oleh pemimpin sekaligus ulama pada waktu itu, Jakfar Shodiq.
Pengumuman diserukan dari Menara Kudus dan ditandai dengan tabuhan
beduk di masjid. Nah, bunyi beduk yang menggema "dang dang dang" itulah
yang kemudian akrab disebut dandangan.
Seiring berjalannya waktu, keramaian ini menjadi momentum yang
dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menggelar lapak.
Hingga saat ini menjelang Ramadhan, Jalan Sunan Kudus selalu dipenuhi
pedagang kaki lima (PKL) dengan kemeriahan pasar malam.
Beraneka ragam dagangan dijajakan di kawasan perkotaan itu, mulai dari
pernak-pernik aksesoris, hiasan miniatur, perabot dapur, hingga oleh-oleh
khas Kudus.
4. Makan telur mimi
TRADISI unik lainnya dalam menyemarakkan bulan suci Ramadhan adalah
memakan telur mimi. Kebiasaan yang ini dilakukan warga Kendal, Jawa
Tengah.
Setiap menjelang Ramadhan, warga berebut membeli telur dari ikan mimi
(ikan belangkas, bentuknya kerap dianggap menyerupai ikan pari) itu.
Salah satu warga Kaliwungu, Kendal, Rondiyah (35), menjelaskan, budaya
makan telur mimi sehari sebelum puasa adalah tradisi yang sudah lama ada.
Namun, ia mengaku tidak tahu alasan warga harus makan telur mimi
menjelang puasa.
Menurut Rondiyah, telur mimi itu bisa dibeli di halaman masjid besar
Kaliwungu. Sebab, di tempat itu selalu ada pasar tiban setiap menjelang
puasa. Biasanya, telur mimi diolah menjadi bothok—dicampur dengan
parutan kelapa, dibungkus daun pisang, lalu dikukus—atau pepes.
“Sehari sebelum puasa, ada tradisi tukuder. Artinya membeli makanan, di
antaranya telur mimi,” ujar Rondiyah.
Sama seperti Rondiyah, warga Kaliwungu lainnya, Rokhanah (40), juga
mengaku, tradisi makan telur mimi menjelang Ramadhan sudah ada sejak ia
masih kecil. 
“Rasanya gurih,” kata dia.
Adapun penjual telur mimi, Meli Saadah, mengaku sudah bertahun-tahun
berjualan telur mimi setiap menjelang puasa. 
“Saya berjualan usai zuhur. Pembeli langsung berdatangan. Saya selalu
kerepotan melayani pembeli itu,” tutur dia.
Meli menjelaskan, telur mimi yang ia jual didapat dari nelayan. Namun, ia
juga tidak tahu mengapa ikan mimi itu hanya ada setiap menjelang bulan
puasa.
“Kalau menurut nelayan, dia pernah menangkap ikan mimi jauh hari sebelum
memasuki bulan puasa. Tapi belum bertelur. Ikan Mimi yang ditangkap
menjelang bulan puasa, kebanyakan bertelur,” tutur Meli.
Meli menjual telur mimi seharga Rp 5.000 untuk satu plastik. Lalu, untuk satu
pasang ikan mimi dijual seharga Rp 50.000.
Terkait hal itu, salah satu ulama Kaliwungu Kendal, Alamudin Dimyati Rois
mengatakan, masyarakat Kaliwungu merasa kurang afdhal kalau belum
makan telur mimi menjelang dan saat bulan puasa.
Ini tradisi sejak zaman nenek moyang, dan sampai kini masih ada.
“Tradisi makan telur mimi adanya di Kaliwungu. Di lain daerah
sepengetahuan saya tidak ada,” kata Alamudin.
Meski begitu, anggota DPR yang biasa disapa Gus Alam ini pun mengaku
tidak tahu secara pasti sejarah warga makan telur mimi menjelang
Ramadhan.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, kata Alamudin, tradisi makan telur mimi
pada bulan Ramadhan ini sudah ada sejak zaman wali yang menyebarkan
agama Islam di Kendal.
“Kebenarannya hanya Allah yang tahu. Saya sudah menjumpai tradisi ini
sejak saya masih kecil,” kata Alamudin.

5. Mabbaca-baca
TIDAK kalah unik, ada tradisi masyarakat Dusun Macera, Desa Mammi,
Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, setiap mengawali
puasa yang dikenal dengan nama mabbaca-baca.
Dalam ritual tradisi ini, warga menyajikan nasi ketan, kari ayam, telur, dan
aneka buah segar, serta membakar pallang atau lilin tradisional yang terbuat
dari kapas dan biji kemiri.
Pallang dinyalakan di empat penjuru mata angin, juga dipasang di halaman
rumah, dan disusun di atas tangga. Bahkan, pallang dibakar pula di tempat
penyimpanan beras dan pusat kegiatan keluarga dalam satu rumah.
Lilin yang dibakar angkanya wajib berjumlah ganjil, misalnya 7, 9, 11, dan
seterusnya. Selama dibakar, lilin tidak boleh padam. Warga harus tetap
menjaganya hingga betul-betul padam karena habis terbakar.
Tradisi ini merupakan ungkapan doa agar pemilik rumah diberi petunjuk dan
kekuatan dalam menjalankan ibadah puasa yang penuh dengan ujian
kesabaran dan kejujuran.
Sejak Rabu (16/5/2018) siang sampai menjelang malam, warga sudah mulai
sibuk di dapur untuk mempersiapkan berbagai makanan yang akan disajikan,
seperti opor ayam, pisang, nasi beras ketan, dan telur.
Sebelum makanan dan buah manis disantap bersama keluarga, sajian ini
terlebih dahulu didoakan oleh khatib atau imam masjid setempat.
“Mabbaca-baca ini merupakan ungkapan doa agar seisi rumah bisa sehat,
kuat, dan mendapat berkah selama menjalankan ibadah puasa,” jelas Wiwi,
ibu rumah tangga Dusun Macera, Polewali Mandar, kepada Kompas.com.
Wiwi mengaku sejak siang sudah sibuk mempersiapkan berbagai keperluan
ritual menyambut Ramadhan.

Adapun Anto, warga Desa Mambuliling, Polewali Mandar, bertutur, makna


dari tradisi bakar pallang adalah agar pemilik rumah diberi petunjuk dan
terhindar dari segala gangguan atau godaan setan selama melaksanakan
ibadah puasa hingga Idul Fitri.

"Tradisi ini dilakukan sebelum melaksanakan ibadah shalat tarawih," kata dia
TRADISI ISLAM NUSANTARA

BAB I
PENDAHULUAN
TRADISI ISLAM NUSANTARA

A.Pendahuluan
Masyarakat Indonesia sebelum kedatangan Islam ada yang sudah menganut
agama Hindu Budha maupun menganut kepercayaan adat setempat, Islam
harus menyesuaikan diri dengan budaya lokal maupun kepercayaan yang
sudah dianut daerah tersebut.
Selanjutnya terjadi proses akulturasi (pencampuran budaya). Prose ini
menghasilkan budaya baru yaitu perpaduan antara budaya setempat dengan
budaya Islam. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tradisi yang berbeda,
oleh karena itu proses akulturasi budaya Islam dengan budaya setempat di
setiap daerah terdapat perbedaan.
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia yang diperkirakan telah
berlangsung selama tiga belas abad, menunjukkan ragam perubahan pola,
gerakan dan pemikiran keagamaan seiring dengan perubahan sejarah
bangsa. Keragaman demikian juga dapat melahirkan berbagai bentuk studi
mengenai Islam di negeri ini yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
Islam dilihat dari perkembangan sosial umpamanya, hampir dalam setiap
periode terdapat model-model gerakan umat Islam. Sebagaimana terjadi
pada zaman atau periode modern dan kontemporer yang mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Tradisi Islam nusantara adalah sesuatu
yang menggambarkan suatu tradisi Islam dari berbagai daerah di Indonesia
yang melambangkan kebudayaan Islam dari daerah tersebut

BAB II
PEMBAHASAN

B.Pengertian Tradisi Islam Nusantara


Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan dalam
masyarakat. Sebelum Islam datang, masyarakat Islam sudah mengenal
berbagai kepercayaan. Kepercayaan masyarakat yang sudah turun temurun
dan mendarah daging tidak mungkin dihilangkan begitu saja. Dengan
demikian tradisi Islam merupakan akulturasi antara ajaran Islam dan adat
yang ada di nusantara.
Tradisi Islam di nusantara merupakan metode dakwah yang dilakukan para
ulama saat itu. Para ulama tidak menghapus secara total adat yang sudah
berlangsung di masyarakat. Mereka memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam
adat tersebut, dengan harapan masyarakat tidak merasa kehilangan adat
dan ajaran Islam dapat diterima.

C.Macam-Macam Seni dan Budaya Nusantara yang Bernafaskan Islam


Banyak sekali seni budaya nusantara yang di dalamnya terkandung ajaran-
ajaran islam. Berikut adalah beberapa contohnya :

1.Musik Gambus dan Rebana


Musik gambus atau rebana adalah lagu/sholawatan  yang diiringi dengan alat
pukul yang terbuat dari kulit hewan. Adapun ciri khas music ini adalah:
a)Diringi dengan alat music seperti, gambus, kecapi petik, marawis, atau alat
music modern
b)Syair bernafaskan islam, baik berupa nasihat, shalawat nabi baik dalam
bahasa Indonesia, arab maupun daerah
Contohnya :
- Grup Nasida Ria yang berasal dari semarang yang melantunkan irama
padang pasir atau di sebut juga dengan Qosidah, contoh lagunya Jilbab
Putih dan Perdamaian.
- Grup Majelis Rossululloh sama juga malantunkan irama padang pasir atau
pun Qosidah dan Sholawat, Contoh lagunya yaitu Sholawat Badar dan lain-
lain.
- Kuntulan adalah perpaduan antara seni musik dan seni tari, kuntulan ini asli
dari Banyuwangi.
- Rampak Rebana bernada lima yang berasal dari daerah Lombok.
- Seni terbang adalah untuk mengiringi Berjanji ataupun Sholawatan,
terdapat di jawa.

2.Sholawat Nabi 
Sholawat Nabi yaitu Do’a puji pujian yang di tunjukan kepada Nabi
Muhammad SAW, contohnya adalah sholawat badar yang di iringi dengan
musik yang di lantunkan oleh salah satunya yaitu Majelis Rosululloh. Adapun
ciri-cirinya Sholawat Nabi  :
a) Menggunakan alat musik Rebana.
b) Adanya sholawat yaitu do’a dan puji pujian kepada Rosullulloh.
c) Penataan nadanya bernuansakan islam.
d) Sholawatan biasanya terdapat di dalam kitab Barjanji.

Contah Syair Sholawat :

Sholawat Burdah
Mauula yasolliwasa lim daa iman abadaa
 Allaa habi bika khoiril kholki kuli himi
Aming tada kurijii roni bidii salami 
Majad tada azaro min muklati bidami
Mauula yasolliwasa lim daa iman abadaa
 Allaa habi bika khoiril kholki kuli himi
Amm habati rihumi tilkoo ikodimati
Waawmadol bar kupi dholmaaimin idhomi
Mauula yasolliwasa lim daa iman abadaa
 Allaa habi bika khoiril kholki kuli himi
Pamaa liai naika ingkultak pupaa hamat
Wamaa likolbika ingkultas tapik yahimi
Mauula yasolliwasa lim daa iman abadaa
 Allaa habi bika khoiril kholki kuli himi
Ayahsabu Shobu annalhubba mungkatimun
Maa bai na mung sajimimminhu wamuddorimin

3.Japin Bujang Marindu dan Japin Hadrah


Merupakan Jenis tari Yang berpasang pasangan yang di ambil gerak dari tari
Zafin yang bernafaskan islam dari Melayu. Tari ini menggambarkan
kerinduan seorang kekasih setelah pergi lama merantaukemudian kembali
ke kampong halamanya.
Japin Hadrah merupakan tari yang di ambill dari gerak tari zapin yang
bernafaskan islam yang mengangkat kesenian Hadrah kedalam gerak tari
dinamis, semua penarinya adalah wanita.

4.Santriswaran
Santriswaran berasal dari lingkungan keraton Surakarta dan sekitarnya,
Santriswaran merupakan salah satu Grup musik yang menggunakan alat
musik terbang, kendang dan kemanak. Nada yang di gunakan mengikuti
tangga nada seledro. Penabuh musik sekaligus sebagai penyanyi. Syair lagu
yang di nyanyikan memuat ajaran islam san budaya jawa yang di sisipi
dengan Sholawat Nabi.
5.Tari Zapin
Tari zapin bisa kita temukan di Riau. Tari ini diiringi irama gambus, yang
diperagakan oleh laki-laki yang berpasangan dengan mengenakan sarung,
kemeja, kopeah hitam dan songket dan ikat kepala lacak/destar. Tari ini
dipentaskan pada saat acara upacara pernikahan, khitanan dan hari raya
islam

6.Tari seudati
Berasal dari Aceh umumnya diperankan oleh laki-laki dengan menari dan
membuat bunyi tabuhan dengan alat music tubuh mereka sendiri, sewaktu
menepuk tangan, dada, sisi tubuh dan menggertakan jari-jarinya.

7.Suluk
Suluk adalah tulisan dalam bahasa jawa maupun arab yang berisi
pandangan hidup orang jawa. Serat wirid adalah tulisan pujangga jawa yang
berisi bacaan-bacaan baik jawa maupun arab yang dibaca berulang-ulang.

8.Gembyung
Seni ini merupakan pengenvbangan dari kesenian terbang yang hidup di
lingkungan pesantren. Konon kesenian terbang itu salah satu jenis kesenian
yang di pakai sebagai media penyebaran Agama Islam di daerah Cirebon
sekitarnya. Kesenian Gembyung ini biasa di pertunjukan pada upacara-
upacara  kegiatan Agama Islam seperti peringatan lahirnya Nabi atau di
sebut juga dengan Muludan, Rajaban dan kegiatan  1 Syuro yang di gelar di
sekitar  tempat ibadah. [4]

9.Seni Arsitektur Keraton dan Kasultanan


Arsitektur keratin dan kasultanan di Nusantara, rata-rata bercorak tradisi
religio-magis, yang terdiri dari: ruang pasebahan, sitihinggil, alun-alun, pasar,
dan masjid. Contohnya seperti istana keratin Surakarta, Kasultanan Cirebon,
Kasultanan Demak, dan sebagainya.

10. Makam atau Nisan


Makam dalam tradisi Islam di Indonesia berbentuk mar,era tau batu dan
bermahkota seperti kubah masjid (maesan), terkadang berhiaskan tulisan
kaligrafi atau arabeska. Contohnya seperti Makam Sultan Malikus Shaleh di
Samudra Pasai, makam para Wali di Jawa.

11. Bentuk Arsitek bangunan Masjid, Surau, Langgar khas Indonesia


Masjid di Indonesia beratap tumpang mirip pura pada masa hindu, atap ini
menjadi prototype sebagian besar masjid di Indonesia. Perbedaannya hanya
pada jumlah atap tumpangnya, ada yang bertumpang 3, 5, dan 6. Bentuk
bangunan Masjid di Indonesia merupakan gabungan antara konsep pura dan
bangunan kelenteng.
Berikut beberapa bangunan yang bernuansa Islam di Indonesia.
• Gapura Masjid Kudus yang seperti candi
• Masjid Raya Baiturrahman di Aceh
• Masjid Agung Banten di Banten
• Masjid Agung Demak di Demaks

12. Wayang
Salah satu budaya Jawa hasil akulturasi dengan budaya India. Cerita-cerita
pewayangan diambil dari kitab Ramayana dan Bharatayudha. Setelah terjadi
akulturasi dengan Islam tokoh-tokoh dan cerita pewayangan diganti dengan
cerita yang bernuansa Islam. Bagi orang jawa, wayang bukan hanya sebagai
tontonan, tetapi juga tuntunan karenasarat dengan pesan-pesan moral yang
menjadi filsafat hidup orang Jawa.

13. Gamelan Sekaten


Gamelan jawa yang ditabuh saat upacara sekaten peng-islaman bagi yang
akan masuk agama islam dengan pembacaan syahadat. Sekaten ini
dilaksanakan pada bulan maulud. [5]

D.Macam-Macam Tradisi Upacara Adat yang Bernafaskan Islam

1.Penanggalan hijriyah
Masuknya agama Islam ke Indonesia, secara tidak langsung membawa
pengaruh pada sistem penanggalan. Agama Islam menggunakan perputaran
bulan, sedangkan kalender sebelumnya menggunakan perputaran matahari.
Perpaduan antara penanggalan Islam dengan penanggalan jawa adalah
sebagai berikut:

No Nama bulan dalam Islam    Nama bulan dalam Jawa


1  Muharram                            Sura
2  Safar                                    Sapar
3  Rabiul awwal                        Mulud
4  Rabiul akhir                          Ba’da mulud
5  Jumadil awal                         Jumadil awal
6  Jumadil akhir                        Jumadil akhir
7  Rajab                                   Rajab
8  Sya’ban                                Ruwah
9  Ramadhan                            Pasa
10 Syawal                                Syawal
11 Zulqaidah                             Kapit
12 Zulhijjah                               Besar

2.sekaten
Sekaten adalah tradisi membunyikan musik gamelan milik keraton. Pertama
kali terjadi di pulau Jawa. Tradisi ini sebagai sarana penyebaran agama
Islam yang pada mulanya dilakukan oleh Sunan Bonang. Dahulu setiap kali
Sunan Bonang membunyikan gamelan diselingi dengan lagu-lagu yang berisi
tentang agama Islam serta setiap pergantian pukulan gamelan diselingi
dengan membaca syahadatain. Yang pada akhirnya tradisi ini disebut
dengan sekaten. Maksud dari sekaten adalah syahadatain. 
Sekaten juga biasanya bersamaan dengan acara grebek maulud. Puncak
dari acara sekaten adalah keluarnya sepasang gunungan dari Masjid Agung
setelah didoakan oleh ulama’-ulama’ keraton. Banyak orang yang percaya,
siapapun yang mendapatkan makanan baik sedikit ataupun banyak dari
gunungan itu akan mendapatkan keberkahan dalam kehidupannya.
Beberapa hari menjelang dibukanya sekaten diselenggarakan pesta rakyat.

3.Selikuran
Maksudnya adalah tradisi yang diselenggarakan setiap malam tanggal 21
Ramadhan. Tradisi tersebut masih berjalan dengan baik di Keraton
Surakarta dan Yogyakarta. Selikuran berasal dari kata selikur atau dua puluh
satu. Perayaan tersebut dalam rangka menyambut datangnya malam lailatul
qadar, yang menurut  ajaran Islam lailatulqadar hadir pada 1/3 terakhir bulan
ramadhan.

4.Suranan
Suranan dalam penanggalan Islam adalam bulan Muharam. Pada bulan
tersebut masyarakat berziarah ke makam para wali. Selain itu mereka
membagikan makanan khas berupa bubur sura yang melambangkan tanda
syukur kepada Allah swt. [6]

5.Muludan 
Muludan merupakan upacara pendahuluan dari peringatan lahirnya Nabi
Muhammad SAW, yang lahir pada 12 Robiul awal/12 mulud, biasanya di
bulan Robiul awal banyak yang memperingati hari lahir nya rosullulloh seperti
membaca Barzanzi,Sholawatan . Muludan juga di gunakan Sultan untuk
berkomnikasi dengan rakyatnya dan untuk mensyukuri berkah kepadahan
Tuhan.
6.Grebeg 
Upacara adat berupa sedekah yang di lakukan pihak kraton kepada
masyarakat berupa gunungan. Kraton Yogyakarta dan Surakarta
mengadakan upacara grebeg sebanyak 3 dalam 1 tahun, yaitu Grebeg 
Syawal pada saat Hara Raya Idul Fitri, Grebeg Besar pada Hari Raya Idul
Adha, dan Grebeg Mulud atau sering di sebut juga dengan sekaten. Sekaten
yaitu mengarak sedekah dari raja yang berupa makan, sayur, buah-buahan
dari kediaman raja ke masjid Agung untuk kemudian di bagikan kepada
pengunjung dan rakyat.
Grebeg Besar Adalah kira pusaka peninggalan kerajaan Demak dari
pondopo Kabupaten Demak menuju makan Sunan Kalijaga di daerah
Kadilangu. Sewlain Kirab dalam acara tersebut juga di laksanakan memcuci
barang pusaka peninggalan Suanan Kalijaga, Grebeg Besar di lakukan pada
tanggal 10 Djulhijah.

7.Megengan 
Upacara menyambut Bulan Suci Romandan Oleh Bupati dan rakyat
Semarang( jawa tengah ). Kegiatan utamanya adalah pemukulan bedug
yang ada di masjid sebagai tanda jatuh nya tanggal 12 Romadon di mulainya
berpuasa. Upacara tersebut masih terpelihara di daerah Kudus dan
Semarang.

8.Syawalan 
Kegiatan silahturahmi kepada semua umat manusia (muslim) setelah
melaksanakan Sholat Sunat Idul Fitri untuk saling maaf memaafkan atas
segala kesalahan yang telah di perbuatnya. Pada tradisi tersebut
berlangsung hingga beberapa hari, Bahkan ada yang di ramaikan pada hari
ke 7 Syawal dengan Istilah Lebaran Ketupat.

9.Akekah 
Upacara di mana setelah anak lahir atau setelah berumur 7 hari biasanya di
akekahi dengan menyebelih kambing atau domba, kalau anak laki laki
bagusnya 2 kambing atau 2 domba, sedangkan anak perempuan di
perbolehkan satu, setelah proses penyebelihan itu daging  akekah nya di
bagi kan pada masarak sekitar atau di hidangkan untuk upacara pemberian
nama. Dan pembacaan Barzanzi atau di sebut juga Marhabaan. [7]

BAB III

KESIMPULAN

E.Kesimpulan
Seni adalah penggunaan imajinasi manusia secara kreatif untuk menikmati
kehidupan. Seni budaya lokal yang benapaskan islam tersebut adalah hasil
para juru dakwah dimasa lalu yang kreatif, dimana para juru dakwah mencari
akal bagaimana supaya masyarakat yang sebelumnya masih kuat
memegang adat dan budaya sebelumnya beralih ke agama islam tanpa
menyinggung perasaan adat budaya sebelumnya yaitu hindu budha. Kita
perlu menghargai dan melestarikan seni budaya adat yang bernafaskan
islam, sepanjang tidak membawa dampak negative bagi aqidah keislaman
dan tidak mengakibatkan syirik dan penyimpangan ajaran.
Tradisi-tradisi islam nusantara sangat banyak sekali macam dan bentuknya,
disini pemakalah membagi menjadi dua bagian  yaitu:
1.Seni dan Budaya Nusantara bernafaskan islam yakni seperti: Musik
Gambus dan Rebana, Sholawat Nabi , Japin Bujang Marindu dan Japin
Hadrah, Santriswaran, Tari Zapin, Tari seudati, Suluk, Gembyung, Seni
Arsitektur Keraton dan Kasultanan, Makam atau Nisan, Bentuk Arsitek
bangunan Masjid, Surau, Langgar khas Indonesia, Wayang, Gamelan
Sekaten.
2.Tradisi Upacara Adat yang Bernafaskan Islam yakni seperti: Penanggalan
hijriyah, Sekaten, Selikuran, Suranan, Muludan, Grebeg , Megengan,
Syawalan, Akekah. 
Seni budaya dan tradisi di nusantara diatas masih dipakai sampai pada saat
sekarang ini.  Seperti didaerah-daerah pedesaan, namun semuanya ini
sudah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.

Anda mungkin juga menyukai