Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit kusta atau lepra adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae Kusta merupakan masalah kesehatan
masyarakat karena disabilitas yang ditimbulkannya. Disabilitas Kusta terjadi
akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Semakin lama
waktu sejak saat pertama ditemukan tanda dini hingga dimulainya
pengobatan, semakin besar risiko timbulnya kedisabilitasan akibat terjadinya
kerusakan saraf yang progresif. Salah satu penyebab terjadinya kerusakan
akut fungsi saraf adalah reaksi Kusta. Jika reaksi mengenai saraf tepi akan
menyebabkan gangguan fungsi saraf yang akhirnya dapat menyebabkan
disabilitas. Kusta dapat menyerang semua umur dan bukan penyakit
keturunan.
Penyakit kusta merupakan salah satu manifestasi kemiskinan karena
kenyataannya sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi
lemah. Penyakit kusta dapat menyebabkan cacat. Keadaan ini yang menjadi
penghalang bagi penderita kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat
untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya. Penyakit kusta lebih banyak
terjadi di daerah tropis dan sub tropis yang udaranya panas dan lembab pada
lingkungan hidup yang tidak sehat.
Penyakit ini dipandang penyakit yang menakutkan oleh beberapa
masyarakat, bahkan dianggap penyakit kutukan. Lingkungan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit menular, selain
agen penyebab penyakit (agent) dan pejamu (host). Ketiga faktor ini disebut
segitiga epidemiologi. Lingkungan yang tidak sehat atau sanitasi yang tidak
terjaga dapat menimbulkan masalah kesehatan. Lingkungan dapat berperan
menjadi penyebab langsung, sebagai faktor yang berpengaruh dalam
menunjang terjangkitnya penyakit, sebagai media transmisi penyakit dan
sebagai faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Penyakit Kusta?
2. Bagaimana Penatalaksanaan Penyakit Kusta di Puskesmas?
3. Bagaimana Pencegahan Penyakit Kusta di Puskesmas?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang Konsep Penyakit Kusta serta Penatalaksanaan
dan Pencegahannya.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Mampu menjelaskan tentang Konsep Penyakit Kusta
2. Mampu menjelaskan Penatalaksanaan Penyakit Kusta di
Puskesmas.
3. Mampu menjelaskan Pencegahan Penyakit Kusta di
Puskesmas.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Penyakit Kusta


1.1.1 Definisi Kusta
Penyakit Kusta atau lepra adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae. Penyakit kusta juga disebut Morbus
Hansen atau Satyriasis. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa
pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas lesi pada kulit
adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Saraf yang terserang menjadi
mati rasa, destruksi jari dan deformitas terjadi kemudian. Bila tidak
ditangani dengan benar, kusta dapat sangat progresif menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Timbulnya
Kusta merupakan suatu interaksi antara berbagai faktor penyebab yaitu
pejamu (host), kuman (agent), dan lingkungan (environment), melalui
suatu proses yang dikenal sebagai rantai penularan yang terdiri dari 6
komponen, yaitu penyebab, sumber penularan, cara keluar dari sumber
penularan, cara penularan, cara masuk ke pejamu, dan pejamu.

1.1.2 Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Mycobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan
ciri dari spesies Mycobacterium. Kuman berukuran panjang 1-8 micro,
lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram
positf.
Bakteri kusta banyak terdapat pada kulit tangan, daun telinga, dan daun
mukosa. Bakteri ini mengalami proses pembelahan cukup lama antara
12-21 hari. Kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh, setelah itu menuju
sel pada saraf tepi. Di dalam sel, kuman berkembang biak, sel tersebut

3
pecah dan kemudian menginfeksi sel yang lain atau ke kulit. Daya tahan
hidup kuman kusta mencapai 9 hari diluar tubuh manusia. Kusta
memiliki masa inkubasi 2-5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu
lebih dari 5 tahun.

1.1.3 Cara Penularan Kusta


Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut
sebagian besar ahli melalui saluran pernapasan dan kulit (kontak
langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit
melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air
susu ibu. Penyakit kusta dapat ditularkan melalui kuman utuh dari
penderita kusta Multibasiler (MB) pada orang lain dengan cara
penularan langsung. Tidak semua kuman dapat menularkan penyakit,
hal ini terkait dengan resistensi tubuh penderita, keteraturan
pengobatan dan jenis obat yang dipakai.
Cara masuknya bakteri Mycobacterium leprae ke dalam tubuh
manusia, ada beberapa cara yaitu :
a) Penularan melalui kontak
Kontak intim yang lama merupakan penyebab utama terjadinya
penularan. Kuman kusta dapat masuk melalui kulit, terutama bila
ada luka. Penderita kusta yang berada pada stadium reaktif dapat
menularkan penyakit melalui kontak erat dalam waktu lama.
Penularan di dalam lingkungan keluarga, misalnya antara ibu
penderita lepra dengan anak atau suaminya. Anak-anak lebih sering
terinfeksi kuman lepra dibanding orang dewasa.
b) Penularan melalui inhalasi
Transmisi lepra paling sering muncul jika anak kecil terpajan dengan
basil yang banyak untuk waktu yang lama. Sekresi nasal adalah
bahan paling infeksius untuk kontak keluarga. Penularan dapat
terjadi melalui udara atau pernapasan. Oleh karena itu ventilasi
rumah yang kurang, berjejalan dan tempat-tampat umum merupakan

4
faktor yang sangat penting dalam epidemiologi penyakit.
c) Penularan melalui ingesti atau saluran pencernaan.
Kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh dapat melalui kulit yang
tidak utuh, saluran napas, atau saluran pencernaan. Air susu ibu yang
menderita kusta lepromatosa mengandung banyak bakteri yang
hidup, namun insiden kusta pada bayi yang minum susu dari ibu
yang menderita kusta hanya setengah dibanding dengan bayi yang
minum susu botol.
d) Penularan melalui gigitan serangga
Adanya kemungkinan transmisi kusta melalui gigitan serangga, ada
tiga tanda yang perlu diperhatikan yaitu adanya jumlah bakteri hidup
dengan jumlah yang cukup banyak, adanya makanan yang cukup
untuk bakteri sampai ditularkan kepada host, dan bakteri harus dapat
bermultiplikasi pada serangga sebagai vektor.

1.1.4 Tanda Dan Gejala Kusta


Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah, hal ini
bergantung pada beberapa faktor. Mycobacterium leprae memiliki masa
inkubasi penyakit yang sangat lambat yaitu sekitar 5 tahun dan gejala
yang ditimbulkan baru mulai muncul setelah 20 tahun. Gejala kusta
yaitu ditemukan adanya lesi tunggal atau ganda, biasanya kurang
berpigmen dari kulit sekitarnya. Tanda awal berupa bercak keputihan
dengan batas yang kadang kurang jelas dan mulai atau sudah mati rasa
pada area bercak. Tanda tersebut masih belum dapat dipastikan
tipenya.
Gejala-gejala yang terdapat pada penderita penyakit kusta yaitu :
panas dari derajat rendah sampai menggigil, anoreksia, nausea,
cephalgia, kadang- kadang disertai iritasi, neuritis. Selain itu ada tanda-
tanda dugaan yang belum dapat digunakan sebagai dasar sesorang
dinyatakan menderita kusta. Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah
bercak kulit yang merah atau putih, bercak tidak gatal, kulit mengkilap

5
atau kering bersisik, ditemukan kelainan kulit seperti tidak berkeringat
atau tidak berambut, adanya luka yang sulit sembuh, nyeri tekan pada
saraf, kelemahan anggota gerak atau wajah dan rasa kesemutan, seperti
tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak.
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-
tanda utama (cardinal sign) yaitu :
a) Kelainan kulit yang mati rasa
Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk hipopigmentasi (bercak
putih) atau anestesi (mati rasa) pada kulit.
b) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini disebabkan peradangan saraf tepi yang
kronis. Gangguan saraf ini bisa berupa :
c) Gangguan fungsi sensoris merupakan gangguan yang ditandai
dengan mati rasa.
d) Gangguan fungsi motoris merupakan gangguan yang ditandai
dengan kelemahan atau kelumpuhan otot.
e) Gangguan fungsi otonom merupakan gangguan yang ditandai
dengan kulit kering dan retak-retak.
f) Hasil pemeriksaan laboratorium dari kerokan jaringan kulit
menunjukkan BTA (basil tahan asam) positif.

1.1.5 Klasifikasi Kusta


Klasifikasi kusta didasari dari hasil pemeriksaan klinis yang
meliputi inspeksi, pemeriksaan sensibilitas, saraf tepi, saraf otonom dan
kerokan jaringan kulit. Setelah seseorang didiagnosis kusta, maka tahap
selanjutnya harus ditetapkan tipenya. Tujuan klasifikasi sangat
penting untuk menentukan jenis pengobatan, lama pengobatan dan
perencanaan logistik. Penentuan klasifikasi kusta didasarkan pada
tingkat kekebalan tubuh dan jumlah kuman. Kriteria penentuan tipe
kusta dapat dilihat pada tabel 2.1.

6
Tabel 2.1 Kriteria Penentuan Tipe Kusta
Kelainan Kulit dan Pausi Multi
Hasil Basiler Basiler
Pemeriksaan (PB) (MB)
Bakteriologis
1. Bercak
a. Jumlah 1-5 Banyak
b. Ukuran Kecil dan Kecil-
c. Distribusi besar kecil
d. Konsistensi Unilateral Bilateral,
e. Batas Kering dan simetris Halus,
f. Kehilangan sensasi kasar Tegas berkilat
rasa pada area Selalu ada dan Kurang tegas
bercak jelas Biasanya tidak jelas,
jika ada, terjadi pada
g. Kehilangan yang sudah lanjut
kemampuan Bercak tidak Bercak masih
berkeringat, bulu berkeringat, berkeringat, bulu
rontok pada area bulu rontok tidak rontok
bercak pada area
bercak
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-
kadang tidak ada
b.Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-
(hidung kadang tidak ada
tersumbat,
perdarahan di
hidung)
3. Ciri-ciri khusus central 1.Lesi ‘punchet out’
healing 2.Madarosis
(penyembuha 3.Ginekomastia
n di tengah) 4.Hidung pelana
5.Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf Lebih sering Terjadi pada
perifer terjadi dini, penyakit lanjut
asimetris biasanya lebih dari
satu simetris
6. Deformitas (cacat) Biasanya Terjadi pada
asimetris, stadium lanjut
terjadi dini
7. Apusan BTA negative BTA positif

7
Kusta tipe Pausi Basiler disebut juga kusta kering dan tidak
menular sedangkan kusta tipe Multi Basiler disebut kusta basah dan
sangat mudah menular. Pasien kusta tipe MB yang belum diobati atau
tidak teratur berobat dapat menjadi sumber penularan.
Penyakit kusta juga diklasifikasikan dengan skala Ridley dan Jopling
dalam 5 tipe sebagai berikut :
1. Tuberculoid (TT)
Lesi yang ditemukan berjumlah 1-3, hasil pemeriksaan basil smear
negatif, hasil tes lepromin positif 3, sel epitel berkurang, kerusakan
saraf, sarkoid seperti granuloma
2. Bordeline Tuberculoid (BT)
Jumlah lesi sedikit, hasil pemeriksaan basil smear positif 1, hasil tes
lepromin positif 2, sel epitel berkurang dan terjadi kerusakan saraf.
3. Bordeline (BB)
Lesi sedikit atau banyak dan simetris. Hasil pemeriksaan basil smear
positif 2.
4. Bordeline Lepromatous (BL)
Lesi banyak. Hasil pemeriksaan basil smear positif 3, hasil tes
lepromin positif.
5. Lepromatous (LL)
Lesi banyak dan simetris, hasil basil smear positif 4, hasil tes
lepromin negatif. Terjadi peningkatan histiocytes, sel busa,
granuloma seperti santhoma.

1.1.6 Tingkat Disabilitas Menurut WHO


Tingka Mata Telapak tangan/kaki
t

0 Tidak ada kelainan pada Tidak ada disabilitas akibat


mata akibat Kusta. Kusta
1 Ada kerusakan karena Kusta Anestesi, kelemahan otot.
(anestesi pada kornea, tetapi (Tidak ada
gangguan visus tidak berat disabilitas/kerusakan yang

8
visus > 6/60: masih dapat kelihatan akibat Kusta)
menghitung jari dari jarak 6
meter).
Ada lagoftalmos, Ada disabilitas/ kerusakan
iridosiklitis, opasitas pada yang kelihatan akibat Kusta,
2 kornea serta gangguan visus misalnya ulkus, jari kiting,
berat (visus <6/60: tidak kaki semper
mampu menghitung jari dari
jarak 6 meter)
Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus).
Tingkat 1 : ada kelainan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos,
kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu

1.1.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kusta


Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kusta antara lain yaitu
sumber penularan, daya tahan tubuh, dan iklim. Selain itu ada beberapa
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kusta, diantaranya yaitu
perilaku, lingkungan dan pelayanan kesehatan :
1) Perilaku
Perilaku merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status
kesehatan masyarakat. Perilaku dipengaruhi oleh faktor
predisposing, faktor enabling, dan faktor reinforcing. Faktor yang
mempengaruhi kejadian kusta diantaranya yaitu pendidikan,
pengetahuan, tingkat sosial ekonomi dan personal hygiene. Faktor
lain meliputi ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat, termasuk juga fasilitas pelayanan
kesehatan. Dukungan petugas kesehatan dan dukungan keluarga
juga mempengaruhi perilaku kesehatan, seperti dalam melakukan
pengobatan atau kontrol masalah penyakit ke pelayanan kesehatan.
2) Lingkungan meliputi kondisi fisik rumah seperti ventilasi dan
pencahayaan rumah.
3) Pelayanan kesehatan meliputi jarak, waktu tempuh dan ketersediaan
alat transportasi.

9
1.2 Penatalaksanaan Penyakit Kusta di Puskesmas
Tata laksana Penderita Kusta di Puskesmas dilaksanakan
berdasarkan Pedoman Penanggulangan Kusta yang merupakan
Lampiran dari Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Penanggulangan
Kusta Nomor 11 Tahun 2019, melalui kegiatan diagnosis, pengobatan
Kusta, dan pencegahan disabilitas di Puskesmas dan layanan
rujukan. Rujukan dilakukan bagi Penderita Kusta yang
menimbulkan komplikasi dan/atau membutuhkan penanganan
lebih lanjut. Tata laksana Penderita Kusta dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Tata laksana Penderita Kusta dilakukan
melalui kegiatan:

1.2.1 Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis Kusta, perlu dicari tanda-tanda
utama (cardinal signs). Diagnosis Kusta ditegakkan apabila
terdapat satu dari tanda- tanda utama di atas. Pada dasarnya
sebagian besar Penderita Kusta dapat di diagnosis dengan
pemeriksaan klinis dan/atau pemeriksaan bakteriologis dan
penunjang lain. Jika masih ragu maka dianggap sebagai
Penderita Kusta yang dicurigai (suspek/tersangka).
a. Tanda-Tanda Suspek/Tersangka Kusta
1) Tanda-Tanda Pada Kulit
a) bercak kulit yang eritema atau hipopigmentasi
(gambaran yang paling sering ditemukan), datar atau
menimbul, dapat disertai dengan tidak gatal dan
mengkilap atau kering bersisik.
b) adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat
(anhidrosis) dan atau alis mata tidak berambut
(madarosis).

10
c) bengkak atau penebalan pada wajah dan cuping
telinga.
d) timbul lepuh atau luka tanpa rasa nyeri pada
tangan dan kaki.

2) Tanda-tanda pada saraf


a) nyeri tekan dan/atau spontan pada saraf.
b) Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada
anggota gerak.
c) kelemahan anggota gerak dan/atau kelopak mata.

d) adanya disabilitas (deformitas).


e) luka (ulkus) yang sulit sembuh.

1.2.2 Pemeriksaan
Pemeriksaan yang teliti dan lengkap sangat penting dalam
menegakkan diagnosa Kusta. Pemeriksaan tersebut meliputi:
a. Anamnesis, termasuk riwayat kontak
b. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan kulit/dermatologis
pemeriksaan kulit/dermatologis merupakan
pemeriksaan bercak putih mati rasa atau merah pada
kulit.
2) Pemeriksaan saraf tepi
Pemeriksaan saraf tepi adalah pemeriksaan yang
dilakukan dengan cara meraba saraf tepi antara lain
saraf ulnaris, peroneus communis, dan tibialis
posterior. Pemeriksaan fungsi saraf dilakukan secara
sistematis pada mata, tangan dan kaki.
c. Pemeriksaan Bakteriologis dan Penunjang Lain
Pemeriksaan bakteriologis dilakukan melalui kerokan
jaringan kulit (skin smear) yaitu pemeriksaan sediaan yang
diperoleh melalui sayatan dan kerokan jaringan kulit

11
yang kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk
melihat Mycobacterium leprae. Pemeriksaan ini
membutuhkan sarana laboratorium dan tenaga kesehatan
dengan keterampilan khusus. Apabila sarana dan tenaga
kesehatan dengan keterampilan khusus tersebut tidak
tersedia maka dapat dilakukan observasi selama 3-6
bulan. Pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan di
rumah sakit rujukan yang memiliki fasilitas terkait.
Pemeriksan tersebut antara lain histopatologi, serologis,
Polimerase Chain Reaction (PCR).
Dalam klasifikasi Kusta sesuai dengan kriteria WHO
dapat dibagi dalam 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB)
dan tipe Multibasiler (MB). Sebagai dasar penentuan
dari klasifikasi ini yaitu gambaran klinis dan hasil
pemeriksaan BTA melalui pemeriksaan kerokan jaringan
kulit. Tanda-Tanda Kusta Pada Tipe Pausibasiler (PB) dan
Multibasiler (MB)

TANDA PB MB
Lesi kulit (berbentuk Jumlah lesi 1 – 5 Jumlah lesi > 5
bercak datar, papul □ Hipopigmentasi atau □ Distribusi
atau nodus) eritema lebih
□ Distribusi asimetris simetris
□ Mati/kurang □ Mati/kurang
rasa jelas rasa tidak
jelas
Kerusakan saraf Hanya satu saraf Lebih dari 1
(ditemukan adanya saraf
mati/kurang rasa,
dan atau kelemahan
otot yang dipersarafi
saraf yang terkena)
Hasil pemeriksaan Negatif Positif
slit skin smear BTA

1.2.3 Pengobatan Secara Umum

12
Pengobatan Kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT)
untuk tipe PB maupun MB. MDT adalah kombinasi dua atau
lebih obat anti Kusta, salah satunya Rifampisin sebagai anti
Kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti
Kusta lain bersifat bakteriostatik. MDT tersedia dalam bentuk
4 macam blister MDT sesuai dengan kelompok umur (PB
dewasa, MB dewasa, PB anak dan MB anak). Tata cara
minum MDT adalah dosis hari pertama pada setiap blister
MDT diminum di depan petugas saat Penderita Kusta datang
atau bertemu Penderita Kusta, selanjutnya diminum di rumah
dengan pengawasan keluarga.
Pengobatan Kusta dengan MDT bertujuan untuk:
a. Memutuskan mata rantai penularan
b. Mencegah resistensi obat

c. Meningkatkan keteraturan berobat


d. Mencegah terjadinya disabilitas atau mencegah
bertambahnya disabilitas yang sudah ada sebelum
pengobatan
Dengan matinya kuman, maka sumber penularan dari
Penderita Kusta, terutama tipe MB ke orang lain terputus.
Disabilitas yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak
dapat diperbaiki dengan MDT. Bila Penderita Kusta tidak
minum obat secara teratur, maka kuman Kusta dapat menjadi
resisten/kebal terhadap MDT, sehingga gejala penyakit
menetap, bahkan memburuk. Gejala baru dapat timbul pada
kulit dan saraf.

Kelompok orang yang membutuhkan MDT meliputi:


a. Penderita Kusta yang baru didiagnosa Kusta dan belum
pernah mendapat MDT.
b. Penderita Kusta ulangan yaitu Penderita Kusta yang

13
mengalami hal-hal di bawah ini:
1) Relaps
2) Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun
MB)
3) Pindah berobat (pindah masuk)
4) Ganti klasifikasi/tipe

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan


yang direkomendasikan oleh WHO, sebagai berikut:
a. Penderita Kusta Tipe Pausibasiler (PB)
Pengobatan Tipe PB diberikan dosis berdasarkan golongan
umur sesuai tabel di bawah. Pemberian satu blister untuk
28 hari sehingga dibutuhkan 6 blister yang dapat diminum
selama 6–9 bulan.

Blister PB dewasa Blister PB anak

Pemberian MDT Tipe PB Berdasarkan Golongan Umur


USIA USIA
USIA USIA
JENIS 5-9 10-15
< 5 TH > 15 TH KET.
OBAT TH TH

14
300 450 600 mg/bln Minum di
Rifampisin mg/bln mg/bln depan
Berdasar petugas
kan berat
badan* 25 50 100 mg/bln Minum di
mg/bln mg/bln depan
Dapson petugas
25 50 100 Minum di
mg/hari mg/hari mg/hari rumah

*Dosis anak dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan:


a. Rifampisin : bulanan 10 – 15 mg/kgBB
b. Dapson : bulanan atau harian 1 – 2 mg/kgBB

b. Penderita Kusta Tipe Multibasiler (MB)


Pengobatan Tipe MB diberikan dosis berdasarkan
golongan umur sesuai tabel di bawah. Pemberian satu
blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 12 blister yang
dapat diminum selama 12-18 bulan.

Blister MB dewasa Blister MB anak

Efek samping obat-obat MDT dan penanganannya secara ringkas


dapat dilihat pada tabel berikut ini:
MASALAH NAMA OBAT PENANGANAN

Ringan :

15
Air seni berwarna Rifampisin Reassurance (menenangkan
merah Penderita Kusta dengan
penjelasan yang benar),
konseling
Perubahan warna kulit Klofazimin Konseling
menjadi coklat
Masalah gastro Semua obat Obat diminum bersama
intestinal (3 obat dengan makanan atau setelah
dalam MDT) makan
Anemia Hemolitik Dapson Hentikan Dapson

Serius :

Ruam kulit yang gatal Dapson Hentikan Dapson, Rujuk

Alergi Urtikaria Dapson atau Hentikan keduanya, Rujuk


Rifampisin

Ikterus (kuning) Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk

Shock, purpura, gagal Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk


ginjal

Pengobatan pada Penderita Kusta dengan Keadaan


Khusus :

a. Hamil dan menyusui: regimen MDT aman untuk ibu


hamil/menyusui dan anaknya
b. Tuberkulosis: bila seseorang menderita Tuberkulosis
(TB) dan Kusta, maka pengobatan antituberkulosis
dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan dosis
Rifampisin sesuai dosis untuk Tuberkulosis
c. Untuk Penderita Kusta PB yang alergi terhadap Dapson,
Dapson dapat diganti dengan Klofazimin.
d. Untuk Penderita Kusta MB yang alergi terhadap
dapson, pengobatan hanya dengan dua macam obat saja,
yaitu Rifampisin dan Klofazimin sesuai dosis dan
jangka waktu pengobatan MB.

16
e. Penderita Kusta yang tidak dapat minum Dapson
(contoh Sindrom Dapson/SD)
f. Penderita Kusta yang tidak dapat minum Rifampisin
Penyebabnya adalah ada efek samping Rifampisin
atau ada penyakit penyerta seperti hepatitis kronis, atau
terinfeksi dengan Rifampicin-resistant M leprae.
g. Penderita Kusta yang menolak minum Klofazimin
Pada Penderita Kusta yang menolak minum Klofazimin
karena terjadi perubahan warna kulit diberikan regimen
berikut: MDT MB 12 bulan tapi Klofazimin diganti
Ofloksasin 400 mg per hari atau Minosiklin 100 mg
per hari atau Rifampisin 600 mg per bulan, Ofloksasin
400 mg per bulan dan Minosiklin 100 mg per bulan,
selama 24 bulan.

1.2.4 Upaya Pencegahan Disabilitas


Komponen pencegahan disabilitas terdiri atas:
a. Penemuan Dini Penderita Kusta Sebelum Disabilitas
Kegiatan ini dilakukan dengan cara active case
finding (penemuan Penderita Kusta secara aktif).
b. Pengobatan Penderita Kusta dengan MDT sampai RFT
Dengan memberikan MDT sesuai regimen WHO maka
dapat menghindari risiko penularan dan mengurangi resiko
disabilitas.
c. Deteksi Dini Adanya Reaksi Kusta dengan Pemeriksaan
Fungsi Saraf Secara Rutin.
d. Penanganan Reaksi Kusta
Penanganan reaksi Kusta yang cepat dan tepat akan
mencegah Penderita Kusta dari disabilitas. Penanganan
reaksi Kusta dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terdiri
atas dokter dan tenaga kesehatan lain yang terlatih dalam

17
penanganan Kusta.

1.2.5 Penyuluhan
Penyuluhan mengenai Kusta dilakukan secara komprehensif
yang meliputi segala aspek baik medis maupun non medis.
Penyuluhan bertujuan agar Penderita Kusta dan keluarga dapat
mengenali tanda dan gejala disabilitas, berobat dengan tuntas,
melakukan perawatan diri, serta menghilangkan stigma dan
diskriminasi.

1.2.6 Perawatan Diri


Tujuan perawatan diri adalah untuk mencegah timbulnya
disabilitas dan memburuknya keadaan disabilitas.Tenaga
kesehatan di Puskesmas harus memperhatikan kondisi
Penderita Kusta yang berisiko menjadi disabilitas atau telah
mengalami disabilitas dan menentukan tindakan perawatan
diri apa yang perlu dilakukan Penderita Kusta itu. Petugas
jangan hanya memberikan penyuluhan dengan kata-kata
kepada Penderita Kusta, tetapi memperagakan cara perawatan
diri. Bantulah Penderita Kusta agar Penderita Kusta dapat
melakukannya sendiri dengan mengupayakan penggunaan
material yang mudah diperoleh di sekitar lingkungan
Penderita Kusta.

1.2.7 Penggunaan Alat Bantu


Beberapa Penderita Kusta dengan disabilitas membutuhkan
alat bantu untuk mencegah memburuknya disabilitas dan
membantu Penderita Kusta dalam melakukan aktifitas sehari-
hari. Alat bantu dapat berupa alat yang sederhana sampai
dengan alat yang lebih canggih, misalnya tongkat
penyangga, alat pelindung kaki dan kaki/tangan palsu.

18
1.2.8 Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi medis diberikan kepada Penderita Kusta yang
membutuhkan intervensi medis yang lebih kompleks.

1.2.9 Pemantauan dan evaluasi pengobatan


Penderita Kusta yang telah dinyatakan selesai pengobatan
harus tetap dilakukan pemantauan oleh petugas Puskesmas
untuk menghindari reaksi Kusta yang dapat menyebabkan
disabilitas. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pemantauan dan evaluasi pengobatan, yaitu:
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan
obat.
2. Apabila Penderita Kusta terlambat mengambil obat,
paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan.
3. Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan
setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Setelah RFT Penderita Kusta dikeluarkan
dari register
4. Penderita Kusta PB yang telah mendapat pengobatan 6
dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT,
tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
5. Penderita Kusta MB yang telah mendapat pengobatan
MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan
dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
6. Putus obat (default) jika seorang Penderita Kusta PB
tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan dan
Penderita Kusta MB lebih dari 6 bulan secara
kumulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan
pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang
bersangkutan dikategorikan sebagai putus obat (default)
dan Penderita Kusta tersebut disebut sebagai penderita

19
defaulter. Tindakan Bagi Penderita Putus Obat
(Defaulter):
7. Relaps
Relaps atau kambuh terjadi bila sebelumnya Penderita
Kusta sudah pernah dinyatakan sembuh atau telah
menyelesaikan pengobatan MDT oleh dokter atau
petugas kesehatan, timbul lesi kulit baru di tempat yang
berbeda dan bukan lesi lama yang bertambah aktif.

1.3 Pencegahan Penyakit Kusta di Puskesmas


1.3.1 Eliminasi Kusta
Eliminasi Kusta adalah kondisi penurunan penderita terdaftar pada
suatu wilayah.
1.3.2 Surveilans Penyakit Kusta
Surveilans Penyakit Kusta adalah kegiatan pengamatan yang sistematis
dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang Penderita Kusta
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya penularan Kusta untuk
memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien.
1.3.3 Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis adalah pemberian obat pada kontak Penderita Kusta
untuk mencegah penularan Kusta.

BAB III

20
PENUTUP

1
2
3
3.1 Kesimpulan
1. Penyakit Kusta atau lepra adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae.
2. Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Mycobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri
dari spesies Mycobacterium.
3. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar
ahli melalui saluran pernapasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan
erat).
4. Dapat mengakibatkan disabilitas.
5. Penatalaksanaan dan Pencegahan Penyakit Kusta berdasarkan Pedoman
Penanggulangan Kusta yang merupakan Lampiran dari Peraturan
Menteri Kesehatan Tentang Penanggulangan Kusta Nomor 11 Tahun
2019.

3.2 Saran
Setelah penyajian ini, makalah ini dapat dijadikan referensi terutama
untuk rekan-rekan seperjuangan dalam upaya memahami dan menjelaskan
tentang Penyakit Kusta serta Penatalaksanaan dan Pencegahan di Puskesmas.

21

Anda mungkin juga menyukai