Anda di halaman 1dari 27

HUBUNGAN TINGKAT STRES SELAMA PANDEMI COVID-19

TERHADAP KESEHATAN PERIODONTAL

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaringan Periodontal


2.1.1 Defenisi Jaringan Periodontal
Jaringan periodontal adalah suatu sistem dalam fungsional pada jaringan yang
memiliki fungsi untuk mengitari sekitar tulang pada rahang serta melekat pada tulang
di rahang. Jringan periodontal memiliki fungsi untuk mendukung gigi dan menahan
gigi dari soketnya. Jaringan periodontal sendiri memiliki beberapa bagian yaitu
gingiva, tulang alveolar, ligamentum periodonsium, dan sementum. Bagian jaringan
memiliki fungsi beberapa diantaranya adalah sebagai pendukung, pelindung, dan
estetik. Salah satu ciri dari gingiva sehat adalah gingivanya bewarna pink kemerahan,
bentuk tepi gingivanya seperti pisau yang mengikuti bentuk kontur dari gigi, dimana
warnanya dapat bermacam-macam tergantung pada jumlah pigemn melanin yang
terdapat pada epithelium, besarnya derajat keratinisasi epithelium dan vaskularisasi
pada jaringan fibrosa dengan jarinagn ikat dibawahnya. Kelainan yang terjadi pada
jaringan periodontal dapat menyebabkan terganggunya fungsi dari jaringan
periodontal (Leblebicioglu B dkk, 2012)
Menurut Leblebicioglu B dkk (2012) jaringan periodontal sendiri terdiri dari
beberapa bagian yaitu gingiva, tulang alveolar, ligamentum periodonsium dan
sementum :
1) Gingiva => Gingiva merupakan jaringan yang paling luar pada jaringan
periodontal. Gingiva sendiri sering digunakan sebagai indikator untuk
mendiagnosa suatgu penyakit. Gingiva sendiri juga dapat mengggambarkan
keaddan tulang alveolar dan keadaan jaringan yang dibawahnya. Gingiva adalah
bagian dari membran mukosa yang mengitari melindungi leher gigi pada tulang
alveolar. Pada rongga mulut, gingiva sendiri berada pada puncak marginal gingiva
sampai dengan muko gingival junction (batas antar gingiva dengan mukosa mulut
lain)
2) Tulang alveolar => Tulang alveolar sendiri adalah bagian dari rahang atas dan
rahang bawah yang dapat membentuk dan menopang soket gigi. Secara anatomis,
tidak ada batas yang jelas diantara tulang alveolar dengan tulang maksila dan
mandibula. Bagian tulang alveolus yang membentuk dinding alveolus disebut
propium alveolus. Propium tulang alveolar didukung oleh bagian lain dari tulang
alveolar yang dikenal sebagai tulang alveolar pendukung.
3) Ligamentum Periodontal => Ligament periodontal adalah struktur yang terdapat
pada jaringan periodontal yang memiliki fungsi dalam mengelilingi akar dan
melekat pada alveolar ridge. Ligamentum periodontal bersambung dengan
jaringan ikat gingiva dan terhubung ke kanal sumsum tulang melalui
vaskulaturalveolar propitium. Fungsi periodonsium terdiri dari fungsi
pembentukan, dan fungsi sensorik, sebagai pemasok nutrisi, penyangga gigi,
memelihara hubungan fisiologis antara sementum dan tulang.
4) Sementum => Sementum adalah jaringan yang tidak memiliki pembuluh darah
atau saraf, tergolong dan menutupi permukaan pada anatomis gigi. Sementum
juga berfungsi untuk menempelkan gigi ke tulang alveolar, dan serat utama
periodonsium tertanam di dalam semen (serat Shapey). Sementum ini memiliki
tepi email gigi yang tipis dan menebal ke arah ujung gigi. (Leblebicioglu B dkk,
2012).

2.1.2 Anatomi Normal Jaringan Periodontal


Jaringan periodontal adalah jaringan pendukung gigi yang mengelilingi gigi.
Jaringan periodontal memiliki empat komponen: gingiva, jaringan periodontal,
sementum, dan tulang alveolar. Fungsi umum jaringan periodontal adalah bertindak
sebagai unit yang menahan gigi pada tempatnya sebagai respons terhadap berbagai
reaksi selama pengunyahan. Karena gingiva merupakan jaringan lunak, maka gingiva
sebagai bagian dari jaringan periodontal tidak terlihat pada foto rontgen. Prosessus
alveolar, lamina dura, dan ruang ligamen periodontal dapat dilihat pada radiografi di
sekitar apeks. Periodonsium dianggap sehat jika tidak ada kehilangan perlekatan
secara klinis dan radiografi menunjukkan jarak 2-3 mm antara crest dan cement
enamel junction (CEJ). Referensi lain menyatakan bahwa alveolar ridge sekitar 1-1,5
mm di bawah CEJ dari gigi yang berdekatan. Pada gigi posterior, ketinggian alveolar
ridge sejajar dengan garis yang menghubungkan CEJ yang berdekatan. (Saputri D,
2018)
2.1.3 Gambaran Periodonsium Normal
Jaringan periodonsium adalah jaringan yang dapat menopang dan mengelilingi
gigi dimana terdiri dari gusi, tulang alveolar, ligamen periodontal, dan sementum
(Fiorelinni et al, 2019). Gingiva terdiri bagian dari bagian mukosa pengunyahan yang
dpat menutupi prosesus alveolaris tulang rahang dan mengelilingi leher pada gigi.
Secara klinis, gingiva dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu gingiva bebas atau
gingiva marginal, gingiva cekat, dan gingiva interdental (Fiorelinni et al, 2019). Free
gingiva adalah bagian paling koronal/atas dari gingiva yang tidak menyentuh secara
langsung permukaan gigi tetapi mengelilinginya seperti kerah kemeja. Attached
gingiva adalah perpanjangan apikal dari free gingiva, dan pada gingiva cekat, elastis,
dan terhubung dengan kuat ke periosteum dari tulang alveolar di bawahnya. Lebar
gingiva cekat adalah jarak antara margin gingiva mukosa dan penonjolan luar di dasar
alur atau poket. Gingiva pada intergingiva adalah bagian gingiva yang mengisi margin
gingiva dan merupakan ruang interdental yang berdekatan di bawah area kontak gigi
(Gehrig et al, 2019).
Gusi normal biasanya berwarna merah muda atau merah muda karang/coral.
Warna gingiva dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain vaskularisasi, ketebalan
dan derajat keratinisasi epitel, serta adanya sel yang mengandung pigmen (pigmen
melanin) (Fiorelinni et al, 2019). Warna gingiva bervariasi dari orang ke orang dan
berkorelasi dengan pigmentasi kulit (Gehrig et al., 2019). Mukosa alveolus yang
berdekatan dengan gingiva cekat berubah warna menjadi merah. Epitel mukosa
alveolus tipis, tidak berkeratin, dan bebas retepeg. Selain itu, jaringan ikat pada
mukosa alveolar biasanya lebih longgar dan mengandung banyak pembuluh darah
(Fiorelinni et al, 2019).

2.1.4 Bagian-bagian dari Jaringan Periodontal


2.1.4.1 Gingiva
Gingiva adalah bagian dari mukosa mulut yang menutupi tonjolan tulang
alveolar dan mengelilingi leher gigi. Gingiva melekat pada gigi dan tulang alveolar.
Pada sisi lingual dan vestibular, gingiva berbatasan dengan mukosa alveolar, dan
pada sisi palatal, gingiva secara klinis tidak dapat dibedakan dan terhubung dengan
mukosa palatum durum. Berdasarkan anatominya, gingiva diklasifikasikan sebagai
berikut: (Fiorelinni et al, 2019) sebuah.
a. Margin gingiva (gingiva marginal) => Margin gingiva bagian luar yang
mengelilingi gigi dan membentuk sulkus gingiva
b. Attached gingiva => kenyal, melekat erat pada periosteum tulang alveolar,
dengan jarak antara mukosa gingival junction dan proyeksi permukaan luar di
dasar sulkus gingiva.
c. Intergingival => adalah ruang interdental yang berdekatan dari area kontak gigi
dengan bentuk berikut: piramidal, col
Gingiva dilapisi dengan epitel skuamosa berlapis. Fungsi epitel meliputi
perlekatan gingiva koroner ke gigi, perlindungan fisik terhadap infeksi, pembunuhan
mikroorganisme dengan produksi antibiotik lokal, dan pembunuhan mikroorganisme
dan sel yang terinfeksi limfosit intraepitel. Di sini, epitel skuamosa berlapis terdiri
dari lapisan basal, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum korneum,
yang memiliki kemampuan untuk terus berdiferensiasi. Pada lapisan basal, sel
mengalami mitosis dan diferensiasi dengan ciri-ciri sebagai berikut: (Reddy, S,
2018)
- Sel kehilangan kemampuan untuk berkembang biak
- Sel menghasilkan lebih banyak protein dan mengakumulasi granula
keratohyalin, filamen keratin, dan matriks makromolekul dalam sitoplasma.
- Sel kehilangan organel sitoplasma yang terlibat dalam sintesis protein dan
produksi energi
- Sel-sel berdegenerasi ke dalam stratum korneum karena keratinisasi intraseluler,
tetapi tidak kehilangan adhesi sel-sel.
- Sel-sel akhirnya terpisah dari permukaan epitel

2.1.4.2 Ligamen Periodontal


Ligamen periodontal memilki bentuk seperti kaitan selubung fibrous yang
mengitari prinsip mahkota pada gigi dan menghubungkannya pada tulang. Ligamen
periodontal mempunyai fungsi yaitu : (Fiorelinni et al, 2019).
A. Physical function
 perlekatan mahkota gigi ke tulang
 melindungi hubungan koneksi antara mahkota gigi dengan gingiva
 perpindahan tekanan oklusal ke jalur alveolar
 shock absorption
 melindungi saraf dan pembuluh darah terhadap depresi mekanis
B. Formative function
Pada ligamentum periodontal memilki sel-sel yang berkedudukan daiam
pendirian maupun resorpsi yang berkaitan dengan ligamentum periodontal,
sementum dan tulang alveolar. Sel pada ektomesenkim yang tidak mengalami
perubahan yang bisa berdiferensiasi dan bekerja pada sel-sel penyusun tulang
(osteoblas), sementum (sementoblas) dan selubung jaringan ikat (fibroblas).
Adapun sel-sel yang berkedudukan dalam resorpsi tulang dan mahkota gigi
berasal dari makrofag. (Fiorelinni et al, 2019).
C. Nutritional and sensory function
 ligamen periodontal merupakan jaringan yang kaya akan suplai pembuluh
darah yang memiliki asal dari arteri dental yang dapat masuk meialui
foramen apikal dan dari pembuluh darah pada tulang yang berdekatan. Hal
ini menyebabkan adanya suplai nutrisi dari dan ke sementum, tulang alveolar
dan gingiva.
 Inervasi ligamen periodontal memungkinkan peka terhadap sentuhan

Lebar ligamen periodontal biasanya dipengaruhi oleh umur, posisi dan


banyaknya beban yang diterima oleh jaringan. Ligamen periodontal biasanya lebih
lebar daripada gigi yang dapat berfungsi aktif jika dilakukan perbandingan dengan
gigi yang tidak berfungsi. Sel-sel yang terdapat pada ligamentum periodontal:
(Fiorelinni et al, 2019)
a) Fibroblas => Fibroblas adalah sel spiral dengan inti oval dan proses sitoplasma
yang panjang. Proses ini biasanya mengelilingi bundel serat, sejajar dengan serat
kolagen. Fibroblas terlibat dalam sintesis kolagen dan matriks, memecah kolagen
dan mengubah bentuknya. Akibatnya, serat utama terus berubah bentuk untuk
menjaga jaringan periodontal yang sehat.
b) Sementoblas => Sementoblas terletak di sekitar jaringan periodontal di sisi
berlawanan dari sementum. Sementoblas dengan proses sitoplasmik tampak
berbentuk persegi panjang paralelepiped ketika hadir dalam satu lapisan dan
bersisik ketika hadir dalam beberapa lapisan.
c) Sementoklas => Sel-sel ini tidak ditemukan pada ligamen periodontal normal,
karena sementum umumnya tidak berubah bentuk dan hanya ditemukan pada
pasien dengan kondisi patologis tertentu.
d) Osteoblas => Osteoblas ditemukan di tepi jaringan periodontal yang melapisi
rongga tulang. Biasanya ditemukan dalam berbagai tingkat diferensiasi. Fungsi
osteoblas adalah untuk menyimpan kolagen dan matriks. Deposit ini pada
permukaan tulang tempat serat Sharpey melekat. Kalsifikasi osteoid memperbaiki
serat Sharpey. Deformasi tulang yang konstan memastikan pembaruan terus
menerus dari koneksi ligamen periodontal ke tulang (Reddy, S, 2018).
e) Osteokias => Sel ini dapat ditemukan pada pinggiran tulang dan pada masa
pembentukan bentuk tulang.
f) Sisa sel epitel Malassez => merupakan sisa selubung pada akar epitelial
Hertwig. Sel-sel ini biasanya memiliki posisi pada daerah pada sisi sementum
ligamentum periodontal. Fungsinya biasanya tidak dapat diketahui, tetapi sel ini
dapat berkembang biak untuk membuat kista di stimuli noksius.
g) Sel mast => Sel mast di dekat pembuluh darah adalah sel besar berbentuk
bulat/oval dengan inti bulat di tengahnya. Sitoplasma memiliki banyak butiran
merah yang dapat mengaburkan nukleus. Granula ini mengandung koagulan
darah heparin dan histamin, yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler.
Histamin yang dilepaskan oleh degranulasi sel mast dalam respon inflamasi akut
menyebabkan sel-sel endotel dinding pembuluh berkontraksi, mengakibatkan
ruang antar sel dan permeabilitas pembuluh darah.
h) Sel makrofag => Sel ini dapat dijumpai dekat pembuluh darah. Pada makrofag
memiliki fungsi yaitu memfagositosis debris pada selular dan menghancurkan
benda asing.
i) Sel-sel endothelial

2.1.4.3 Sementum
Sementum adalah jaringan mesenkim seperti tulang yang mengalami
kalsifikasi yang ditemukan di lapisan terluar akar. Semen perlahan mengendap di
permukaan akar sepanjang hidup kita. Pada separuh bagian coron, ketebalan semen
berkisar antara 1660 m, sedangkan pada sepertiga bagian apex berkisar antara 150
hingga 200 m. Sementasi di apeks mengkompensasi hilangnya struktur oklusal gigi
akibat abrasi (Fiorelinni et al, 2019). Fungsi semen adalah sebagai berikut:

a. Anchorage gigi ke tulang alveolar melalui ligamentum periodontal


b. Menjaga hubungan oklusal
c. Menjaga lebar ligamentum periodontal apeks
d. Repair fraktur akar
e. Proteksi tubuli dentinalis
f. Oklusi foramen apikal dan asesorisnya setelah perawatan saluran akar.
Sementum berasal dari sel mesenkim folikel gigi dan berkembang menjadi
sementoblas. Sementoblas mengakumulasi matriks yang disebut sel mirip
semen. Ini meningkatkan kalsifikasi dan menghasilkan dua jenis semen, non-
seluler dan seluler. Secara kronologis, sementum bebas sel pertama kali
mengendap pada dentin untuk membentuk dentin-dentin junction, biasanya
menutupi sepertiga servikal dan sepertiga tengah akar. Sementum seluler
biasanya mengendap pada sepertiga dari sementum tanpa sel akar apikal,
bergantian dengan lapisan sementum seluler. Semen seluler terakumulasi lebih
cepat daripada semen aseluler, sehingga menjebak sementoblas dalam matriks.
Sel-sel yang terperangkap ini disebut sementoblas. Sementoblas hadir dalam
kriptus semen dan dikenal sebagai shedding. Dari lakuna, sebuah kanal yang
disebut kanalikuli berisi perpanjangan protoplasma sel semen, bertindak
sebagai jalur untuk transportasi nutrisi ke sel semen, dan terjalin dengan
kanalikuli lain dari lakuna lain ke dalam sistem tulang Havers.Membentuk
sistem yang sebanding. Karena sementum tidak berdarah, nutrisinya berasal
dari jaringan periodontal. Deposisi lapisan sementum tambahan dapat
menyebabkan perpindahan lebih lanjut dari ligamen periodontal, yang dapat
mengakibatkan beberapa sel semen mati dan meninggalkan celah kosong
(Fiorelinni et al, 2019).

Kecuali ada kondisi patologis di sekitar apeks atau jaringan periodontal,


sementum akan terus mengendap di akar gigi sepanjang hidup kita. Berbeda
dengan dentin, komposisi mineral semen tidak berubah secara signifikan seiring
bertambahnya usia. Pada gigi yang tidak berfungsi dan terkena, semen biasanya
terlihat lebih tipis dari gigi yang berfungsi dan memiliki perbedaan struktur.
Serabut sharpy hampir tidak ada sama sekali pada sementum gigi impaksi, yang
terutama terdiri dari serabut endogen yang ditempatkan sejajar dengan permukaan
akar gigi. Semen seluler dan non-seluler sangat permeabel. Permeabilitas
sementum akan menurun dengan bertambahnya umur (Fiorelinni et al, 2019).
Selsel yang terdapat pada sementum:

A) Sementoblas
Sementoblas awalnya berasal dari sel mesenkim luar yang ditemukan di folikel
gigi. Akhirnya, sementoblas dapat berkembang dari sel-sel jaringan periodontal
yang tidak berdiferensiasi. Secara morfologis, sementoblas mirip dengan
fibroblas, tetapi sementoblas ditemukan di dekat permukaan semen dan sering
dianggap sebagai perpanjangan dari proses sitoplasma semen. Sementoblas
menghasilkan serat kolagen endogen dan zat bubuk dan membentuk semen
dengan serat kolagen ekstrinsik. (Reddy, S, 2018).
B) Sementosit
Selama produksi sementogenesis, sementoblas dapat terperangkap di celah
sebagai sel semen. Pada sementoblas, volume sitoplasma berkurang dan jumlah
organel dalam sitoplasma berkurang. Hal ini menunjukkan adanya penurunan
aktivitas metabolisme.
C) Fibroblas Ligamen Periodontal
Meskipun sel-sel ini secara teknis merupakan komponen ligamen periodontal,
kumpulan ini juga menghasilkan serat kolagen yang mengalami kalsifikasi dan
menjadi bagian dari sementum. Oleh karena itu, fibroblas ligamen periodontal
berperan dalam produksi sementogenesis.
D) Sementoklas
Sel raksasa dengan inti ganda (multinucleated giant cell) berperan aktif dalam
penyerapan sementum. Sel-sel ini tidak dapat dibedakan dari osteoklas (Reddy,
S, 2018).

2.1.4.4 Tulang Alveolar


Tulang alveolar adalah struktur tulang yang melekatkan dan menopang gigi.
Proses alveolar yang membentuk tulang alveolar adalah bagian dari tulang rahang.
Pembentukan proses tulang alveolar tergantung pada ruam gigi. Proses alveolar
tidak terjadi pada pasien dengan dentia. Ketika seluruh gigi dicabut, resorpsi tulang
menyebabkan tulang alveolar secara bertahap kehilangan tonjolannya. Tulang
alveolar dirombak untuk memungkinkan pergerakan gigi ke mesial, pergerakan gigi
selama perawatan ortodontik, dan penyembuhan luka. Fungsi tulang alveolar adalah
untuk melindungi tulang alveolar, berfungsi sebagai tempat perlekatan ligamen
periodontal, dan menjaga homeostasis mineral (Fiorelinni et al, 2019). Tulang
alveolus terdiri dari :

1. Cortical plate, terdiri dari tulang yang kompak, biasanya berada pada
permukaan tulang rahang.
2. Cribriform plate (alveolar bone proper) atau lamina dura => tulang yang dapat
membentuk sebuah dinding sebelah dalam pada soket gigi. Biasanya pada
daerah ini memilki banyak pembuluh darah dan saraf.
3. Spongy bone => biasanya terletak antara cortical plate dan cribriform plate.
Pada spongy bone memilki trabekula tulang yang tersebar dalam jumlah banyak
serta biasanya berisi sumsum tulang.
Sel-sel yang ada pada tulang alveolar adalah : (Reddy, S, 2018)
1. Osteoklas
 Merupakan sel terbesar dengan memiliki inti yang lebih dari satu
 Berawal dari monosit yang diambil dari darah ke permukaan pada tulang
serta kemudian berdiferensiasi dan berfusi menjadi sel multinukleus
 Berada pada lakuna Howship's
 Memilki peran aktif dalam resorpsi tulang
 Dapat memproduksi enzim diantaranya adalah asam fosfatase dan
kolagenase
 Adanya reseptor spesifik pada hormon kalsitonin dan merupakan inhibitor
pada resorpsi tulang oleh osteokias
2. Osteoblas
 Merupakan sel terbesar yang memiliki diameter 20-30 μm
 Berawal dari sel-sel osteogenik yang mengalami diferensiasi dalam
periosteum
 Berfungsi dalam pembentukan tulang dengan memproduksi suatu
komponen tulang yang tidak terkalsifikasi yang disebut osteoid.
 Terdapat reseptor spesifik untuk hormon parathyroid
3. Osteosit
 tipe sel tulang yang paling banyak dijumpai, sel utama pada tulang yang
matur
 osteoblas yang terjebak dalam matriks yang terkalsifikasi
2.1.5 Etiologi Penyakit Periodontal
Faktor utama penyebab penyakit periodontal dibedakan menjadi tiga yaitu faktor
lokal, faktor sistemik, dan faktor lingkungan. Faktor lokal adalah faktor yang terdapat
disekitar gigi sedangkan faktor sistemik yang berhubungan dengan metabolisme
tubuh dan kesehatan umum (Fiorelinni et al, 2019).
1) Faktor lokal
a. Plak bakteri
Plak gigi merupakan deposit lunak yang melekat erat pada permukaan gigi,
terdiri atas mikroorganisme yang berkembang biak dalam suatu matrik
interseluler jika seseorang melalaikan kebersihan gigi dan mulutnya. Faktor
lokal yang sering disebut sebagai faktor etiologi dalam penyakit periodontal,
antara lain adalah bakteri dalam plak, kalkulus, materi alba, dan debris
makanan. Kesehatan periodontal dilihat dari keadaan keseimbangan populasi
bakteri yang berdampingan dengan host. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan perubahan pada bakteri inang dan biofilm, yang pada akhirnya
mengalami penghancuran pada jaringan periodonsium. Bakteri patogen yang
sangat erat hubungannya dengan penyakit periodontal adalah bakteri yang ada
pada plak subgingival. Porphyromona gingivalis, Treponema denyicola,
Tannerella fosythia merupakan bakteri yang berperan dalam progresifitas
periodontitis. Keberadaan bakteri Aggregatibacter Actinomycetemcomitans
juga dihubungkan dengan periodontitis aggressive.
b. Kalkulus
Kalkulus merupakan suatu massa yang mengalami kalsifikasi yang terbentuk
dan melekat erat pada permukaan gigi. Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan
merupakan suatu massa yang mengalami pengapuran, terbentuk pada
permukaan gigi secara alamiah. Jenis kalkulus di klasifikasikan sebagai
supragingiva dan subgingiva berdasarkan relasinya dengan gingival margin.
Kalkulus supragingiva ialah kalkulus yang melekat pada permukaan mahkota
gigi mulai dari puncak gingival margin dan dapat dilihat. Kalkulus ini
berwarna putih kekuning-kuningan atau bahkan kecoklat-coklatan. Kalkulus
subgingival adalah kalkulus yang berada dibawah batas gingival margin,
biasanya pada daerah saku gusi dan tidak dapat terlihat pada waktu
pemeriksaan
c. Faktor iatrogenic
Faktor iatrogenik dari penumpatan atau protesa terutama adalah berupa lokasi
tepi tambalan, spasi antara tepi tambalan dan gigi yang tidak dipreparasi,
kontur tumpatan, oklusi, materi tumpatan, prosedur penumpatan, desain
protesa lepasan. Tepi tumpatan yang overhang menyebabkan keseimbangan
ekologi bakteri berubah dan menghambat jalan atau pencapaian pembuangan
akumulasi plak. Lokasi tepi tambalan terhadap tepi gingiva sertakekasaran di
area subgingival, mahkota dan tambalan yang terlalu cembung, kontur
permukaan oklusal seperti ridge dan groove yang tidak baik menyebabkan
plak mudah terbentuk dan tertahan, atau bolus makanan terarah langsung ke
proksimal sehingga sebagai contoh terjadi impaksi makanan
2) Faktor sistemik
a. Faktor Genetik
Telah banyak diketahui bahwa kerentanan terhadap penyakit periodontal
berbeda antara kelompok ras atau etnis tertentu misalnya di Amerika, orang
Afrika-Amerika memiliki lebih banyak penyakit periodontal daripada orang
ras Kaukasian meskipun perbedaan ini bisa disebabkan dari faktor lingkungan,
namun hal ini bisa disebabkan perbedaan susunan genetik dari ras atau etnis
tertentu. Proses terjadinya periodontitis berhubungan didalam satu keluarga.
Dasar dari persamaan ini baik karena memiliki lingkungan atau gen yang sama
atau keduanya telah diteliti dalam beberapa penelitian. Kesimpulan yang
didapatkan bahwa selain pada susunan genetik yang sama, persamaan dalam
keluarga disebabkan karena adat dan lingkungan yang sama. Hubungan
saudara kandung dalam penelitian ini, kaitannya dengan jaringan periodontal
tidak bisa ditolak
b. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, gigi geligi menjadi memanjang hal ini
menunjukkan bahwa usia dipastikan berhubungan dengan hilangnya
perlekatan pada jaringan ikat. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa
pada gigi geligi yang memanjang sangat berpotensi mengalami kerusakan.
Kerusakan ini meliputi periodontitis, trauma mekanik yang kronis yang
disebabkan cara menyikat gigi, dan kerusakan dari faktor iatrogenik yang
disebabkan oleh restorasi yang kurang baik atau perawatan scalling and root
planing yang berulang-ulang.
c. Penyakit sistemik
Ketika periodontitis terjadi pada pasien yang juga memiliki penyakit sistemik
yang mempengaruhi keefektifan dari respon host, tingkat kerusakan
periodontal dapat secara signifikan meningkat. Penyakit periodontal juga
berhubungan dengan Diabetes melitus (DM) dan penyakit sistemik lainnya.
Diabetes adalah kondisi sistemik yang dapat meningkatkan keparahan
dan perluasan penyakit periodontal yang mengenai pasien. Diabetes tipe 2,
atau non insulin dependent diabetes melitus (NIDDM), adalah bentuk paling
sering dari diabetes dan terhitung untuk 90% dari pasien diabetes. Diabetes
tipe 2 paling mungkin untuk berkembang dalam populasi dewasa pada waktu
yang sama seperti periodontitis kronis. Efek sinergis dari akumulasi plak dan
respon host efektif melalui efek diabetes dapat mengarah pada kerusakan
peridontal yang parah dan meluas yang dapat sulit untuk ditangani dengan
teknik klinis standar tanpa mengontrol kondisi sistemik. Peningkatan diabetes
tipe 2 pada remaja dan dewasa muda telah diamati dan dapat berhubungan
dengan peningkatan dalam obesitas usia muda (juvenile obesity). Diabetes tipe
1, atau insulin dependent diabetes melitus (IDDM), diamati dalam anak-anak,
remaja, dan dewasa muda dan dapat mengarah terhadap peningkatan
kerusakan periodontal ketika tidak terkontrol. Bila dilakukan scalling pada
penderita diabetes tanpa tindakan profilaksis dapat menyebabkan timbulnya
abses periodontal.
3) Faktor Lingkungan
a. Stres
Penelitian cross-sectional yang dilakukan Hilgert dkk (2006) melaporkan
adanya hubungan antara peningkatan level kortisol dengan keparahan
periodontitis. Peningkatan level kortisol memiliki efek negatif pada jaringan
periodontal karena dapat menurunkan produksi kolagen oleh fibroblas.
Perubahan ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan sintesis kolagen dan
kerusakan pada jaringan periodontal. Peningkatan level kortisol dapat
menurunkan fungsi imun dengan menghambat presentasi antigen oleh
makrofag, proliferasi limfosit dan diferensiasi limfosit menjadi sel efektor
seperti limfosit T helper, limfosit T sitotoksik dan limfosit B sehingga dapat
meningkatkan risiko infeksi periodontal. Kortisol juga dapat menurunkan
jumlah limfosit, monosit dan eosinofil dalam sirkulasi, menghambat
akumulasi eosinofil, makrofag dan neutrofil pada daerah yang mengalami
inflamasi dan menghambat fungsi penting makrofag, neutrofil dan sel mast
dalam fungsi kemotaksis dan fagositosis (Quamilla et al., 2016)

b. Merokok
Perokok memiliki kemungkinan periodontitis kronis tiga kali lebih besar
dibandingkan dengan non-perokok dan juga berhubungan dengan 90%
periodontitis yang sulit disembuhkan. Dampak dari merokok adalah
bertambahnya prevalensi dan keparahan kerusakan periodontal, bertambahnya
kedalaman poket, kehilangan perlekatan dan tulang, bertambahnya tingkat
kerusakan periodontal, bertambahnya prevalensi keparahan periodontitis,
bertambahnya kemungkinan gigi yang tanggal, dan bertambahnya
prevalensinya yang beriringan dengan bertambahnya jumlah rokok per hari.
Perokok memiliki jumlah Tannerella forsythia yang lebih tinggi. Perokok
tidak merespon terhadap terapi mekanis dan dihubungkan dengan peningkatan
jumlah T. forsythia, Aggregatibacter actinomycetemcomitans dan
Porphyromonas gingivalis yang tersisa di poket setelah terapi bila
dibandingkan dengan non-perokok (Reddy, S, 2018).
Eubacterium nodatum, Fusobacterium nucleatum, Borrelia vincentii, P.
gingivalis, Prevotella intermedia, Peptostreptococcus mikro, Prevotella
nigrescens, T, forsythia prevalensinya lebih tinggi secara signifikan pada
perokok dibandingkan non-perokok dan mantan perokok (Reddy, S, 2018).
c. Obesitas
Kondisi obesitas yang berhubungan dengan peningkatan indeks CPITN diduga
dapat terjadi karena akumulasi lemak yang berlebih dalam jumlah besar
sehingga akan menimbulkan resiko terhadap timbulnya penyakit. Pada kondisi
obesitas, adiposit akan mensekresi sitokin proinflamasi yang merangsang
peningkatan produksi C-reactive protein, dan tubuh akan rentan terhadap
infeksi bakteri. Apabila bakteri mudah masuk ke dalam tubuh, maka tubuh
akan memicu respon imun antara bakteri dan host ditandai dengan peningkatan
polymorphonuklear leucocytes (PMNs) dan reactiveoxygen species (ROS)
yang berlebihan sehinggga akan menyebabkan destruksi jaringan gingiva,
ligamen periodontal, tulang alveolar (Firani, NK, dkk, 2021)
2.1.6 Macam-macam Penyakit Periodontal
2.1.6.1 Gingivitis
Periodontitis adalah penyakit di mana gusi menjadi meradang. Periodontitis
adalah proses inflamasi yang mengenai jaringan lunak di sekitar gigi tanpa
kehilangan perlekatan epitel dan mempertahankan perlekatan tidak berubah.
Periodontitis seringkali tidak menimbulkan rasa sakit dan jarang dirasakan oleh
pasien (Ji et al., 2015). Secara umum, prevalensi dan keparahan periodontitis
meningkat seiring bertambahnya usia. Periodontitis didiagnosis sekitar usia lima
tahun. Prevalensi ini terus meningkat, memuncak pada masa remaja dan kemudian
perlahan menurun, namun tetap relatif tinggi sepanjang hidup (Fiorelinni et al.,
2019). Gambaran klinis inflamasi gingiva meliputi perdarahan saat probing,
perubahan warna, perubahan konsistensi, perubahan tekstur permukaan, perubahan
kontur dan bentuk, pembentukan poket periodontal (Fiorelinni et al., 2019).
Pendarahan selama probing disebabkan oleh perubahan terkait peradangan
berikut: B. Pembesaran kapiler berisi darah rapuh dan didorong ke permukaan oleh
cairan dan sel inflamasi. Selain itu, probing bleeding juga dapat disebabkan oleh
penipisan alur epitel dan berkurangnya fungsi protektifnya (Fiorelinni et al, 2019).
Tanda kedua dari inflamasi gingiva adalah perubahan warna merah menjadi merah
tua yang dihasilkan dari papila interdental dan margin gingiva dan meluas ke gingiva
cekat. Perubahan warna ini disebabkan oleh peningkatan distribusi vaskular atau
penurunan atau hilangnya keratinisasi epitel akibat kompresi epitel oleh jaringan
yang meradang. Selain itu, berkurangnya distribusi vaskular akibat peningkatan
fibrosis atau keratinisasi epitel juga dapat mengakibatkan penipisan gingiva (Gehrig
et al, 2019)
Gingivitis memilki artian yaitu inflamasi pada gingiva yang tidak dapat
menyebabkan kehilangan perlekatan gigi. Penyebab utama dari gingivitis adalah
adanya akumulasi plak mikrobial biasanya berada di servikal gigi dan sekitarnya.
Gingivitis secara klinis berwarna kemerahan, mmengalami pembengkakan, serta ada
hilangnya tekstur gingiva bebas, dan biasanya tidak sakit. Salah satu indikator utama
dalam diagnosis periodontitis adalah perdarahan saat probing (Darmawan et al.,
2016). Periodontitis adalah periodontitis ringan dengan peradangan hanya pada
jaringan gingiva, sedangkan periodontitis ditandai dengan peradangan lanjut dari
jaringan gingiva hingga ke jaringan pendukung di bawahnya. Kondisi jaringan
periodontal dapat dinilai dengan mengukur kedalaman poket, tingkat adhesi klinis,
perdarahan saat probing, dll (Karyadi & Syaifyi, 2019)

2.1.6.2 Periodontitis
Periodontitis merupakan penyakit inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang
disebabkan oleh sekelompok mikroorganisme spesifik yang ditandai dengan
kehilangan jaringan periodontal. Periodontitis memiliki manifestasi klinis berupa
kehilangan perlekatan (clinical attachment loss – CAL), poket periodontal, serta
dapat disertai dengan adanya perdarahan gingiva. Pembentukan poket periodontal
merupakan ciri klinis paling mendasar dari penyakit periodontal dan didefinisikan
sebagai pendalaman sulkus gingiva secara patologis. Poket diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu poket gingiva dan poket periodontal. Poket gingiva atau pseudo-poket
terbentuk akibat adanya pembesaran gingiva akibat hiperplasia, edema, maupun
obat-obatan atau hormon tanpa adanya destruksi jaringan periodontal
dibawahnya. Poket periodontal merupakan pendalaman sulkus secara patologis yang
sudah melibatkan kerusakan jaringan periodontal pendukung gigi. Poket periodontal
terbagi menjadi dua jenis, yaitu poket supraboni dan poket infraboni. Poket
supraboni merupakan kondisi dimana dasar poket terletak lebih koronal dari tulang
alveolar, sedangkan poket infraboni merupakan kondisi dimana dasar poket berada
di apikal tulang alveolar (Harsas et al., 2021)
Gambaran klinis pada pasien dengan periodontitis berupa akumulasi plak
supragingiva dan subgingiva (berkaitan dengan pembentukan kalkulus), inflamasi
gingiva, pembentukan poket, hilangnya perlekatan periodontal, hilangnya tulang
alveolar, dan kadang-kadang terdapat supurasi atau abses (Dommisch et al, 2019).
Gambaran radiograf menunjukkan adanya kehilangan tinggi dan densitas tulang
alveolar sehingga terjadi peningkatan kedalaman probing, resesi, atau keduanya
(Harsas et al., 2021). Pada pasien dengan kebersihan mulut yang buruk, gingiva
biasanya mungkin sedikit bengkak dan terlihat mengalami perubahan warna berkisar
dari merah pucat sampai magenta, serta hilangnya stippling pada gingiva.
Perdarahan gingiva, baik spontan atau respons terhadap probing, adalah hal yang
umum ditemukan. Kedalaman poket bervariasi dan ditemukan kehilangan tulang
vertikal atau horizontal. Mobiliti gigi juga sering terlihat dalam kasus-kasus lanjut
dengan kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang yang luas (Dommisch et al,
2019).
Periodontitis merupakan inflamasi pada jaringan periodontal karena bakteri
sehingga menyebabkan kerusakan pada tulang alveolar. Bakteri utama penyebab
terjadinya periodontitis adalah bakteri anaerob gram negatif yaitu Actinobacillus
actinomycetemcomitans, Porphyromonas gingivalis , Prevotella intermedia, and
Tannerella forsythensis. Bakteri-bakteri tersebut akan menginvasi sulkus gingiva
melalui junctional epithelium. Lipopolisakarida pada bakteri akan berikatan dengan
toll-like receptor (TLR) akan menginisiasi gingival epithelial cell dan fibroblast
menstimulasi respon inflamasi berupa PMN. Meningkatnya neutrofil menyebabkan
IL-17 memproduksi CD4 dan Th17 dan menginisiasi terebentuknya sel B plasma
dan receptor activator nuclear kappa B ligand (RANKL) yang menyebabkan
terjadinya kerusakan pada tulang alveolar. Kerusakan tulang alveolar akan
menyebabkan terbentuknya poket periodontal. Kondisi periodontitis mengalami
keparahan ditandai dengan adanya kehilangan perlekatan gigi dan terlepasnya gigi
dari soket. Pada kondisi tersebut jumlah sitokin seperti TNFα, IL-1β, IL-4, IL-6, IL-
10, CRP dan ferritin akan meningkat (Monika Sainti Camalin & Rosiana Putri,
2020).
2.2 Stres
2.2.1. Definisi Stress
Stres berasal dari bahasa Latin stringere yang berarti tegang atau genting. Stres
didefinisikan sebagai stimulus atau situasi yang menimbulkan stres negatif/distres dan
menciptakan tuntutan fisik dan psikis seseorang (Quamilla et al., 2016). Barseli
(2021) mendefinisikan stress adalah respons organisme untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan-tuntutan yang berlangsung. Tuntutan tersebut dapat berupa hal-hal
yang faktual terjadi, atau hal-hal baru yang mungkin akan terjadi, tetapi dipersepsi
secara aktual. Apabila kondisi tersebut tidak teratasi dengan baik maka terjadilah
gangguan pada satu atau lebih organ tubuh yang mengakibatkan yang bersangkutan
tidak dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik. Dengan redaksi yang lebih
sederhana, stress adalah suatu keadaan tidak mengenakkan atau tidak nyaman yang
dialami oleh individu dan keadaan tersebut mengganggu pikiran, emosional, tindakan
atau perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi tersebut bersifat individual dan
subjektif (Barseli et al., 2020). Faktor yang menyebabkan stres disebut stresor. Stresor
dapat bersifat fisiologik (dingin, panas, infeksi, rasa nyeri dan pukulan), psikologis
(takut, khawatir, cemas, marah, kecewa, kesepian, dan jatuh cinta) dan stresor sosial-
budaya (menganggur, perceraian dan perselisihan). Stresor dapat mengakibatkan
perubahan di dalam tubuh yang dapat bersifat positif yang disebut stres positif
(eustres) dan dapat juga bersifat negatif yang disebut stres negatif (distres). Stres
dikatakan positif apabila kondisi dan situasi yang terjadi dapat memotivasi, memberi
inspirasi dan tidak mengancam kesehatan. Sebaliknya distres mengacu pada
penderitaan fisik atau mental yang dapat membuat individu menjadi marah, tegang,
bingung, cemas dan merasa bersalah (Quamilla et al., 2016).
Distres terbagi atas dua bentuk yaitu stres akut dan stres kronik. Stres akut
muncul cukup kuat, tapi menghilang dengan cepat. Sebaliknya, stres kronik muncul
tidak cukup kuat tapi durasinya berlangsung dalam waktu yang lama bahkan sampai
hitungan bulan. Stres kronik yang terjadi berulang dapat mempengaruhi kesehatan.10
Dalam batas tertentu, stres baik untuk diri kita karena dapat membantu kita untuk
tetap aktif dan waspada. Akan tetapi, stres yang sangat kuat atau berlangsung lama
dapat melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya (coping ability) dan dapat
menyebabkan distres emosional (Quamilla et al., 2016).

2.2.2. Klasifikasi Stres


Klasifikasi stres dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu : (Taylor, 2018)
1) Stres ringan => Pada tingkat stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek
fisiologis dari seseorang. Stres ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang
misalnya lupa, ketiduran, dikritik, dan kemacetan. Stres ringan sering terjadi pada
kehidupan sehari- hari dan kondisi dapat membantu individu menjadi waspada.
Situasi ini tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi terus menerus.
2) Stres sedang => Stres sedang terjadi lebih lama, dari beberapa jam hingga
beberapa hari. Respon dari tingkat stres ini didapat gangguan pada lambung dan
usus misalnya maag, buang air besar tidak teratur, ketegangan pada otot,
gangguan pola tidur, perubahan siklus menstruasi, daya konsentrasi dan daya ingat
menurun. Contoh dari stresor yang menimbulkan stres sedang adalah
kesepakatan yang belum selesai, beban kerja yang berlebihan, mengharapkan
pekerjaan baru, dan anggota keluarga yang pergi dalam waktu yang lama.
3) Stres berat => Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Respon dari tingkat stres ini didapat gangguan pencernaan
berat, debar jantung semakin meningkat, sesak napas, tremor, persaan cemas dan
takut meningkat, mudah bingung dan panik. Contoh dari stresor yang dapat
menimbulkan stres berat adalah hubungan suami istri yang tidak harmonis,
kesulitan finansial, dan penyakit fisik yang lama (Taylor, 2018)

2.2.3. Dampak Stres


Sebenarnya stres tidak selalu memberikan dampak negatif karena stres juga
bisa berdampak positif kepada manusia. Stres ibarat dua sisi mata uang logam, yaitu
memiliki sisi baik dan sisi buruk. Stres yang memberikan dampak positif diistilahkan
dengan Eustress, dan stres yang memberi- kan dampak negatif distilahkan dengan
distress. Kupriyanov dan Zhdanov (2014) menyimpulkan bahwa hasil reaksi tubuh
terhadap sumber-sumber stres merupakan eustress. Ketika eustress (stres yang
berdampak baik) dialami seseorang, maka terjadi- lah peningkatan kinerja dan
kesehatan. Sebaliknya ketika seseorang mengalami distress (stres yang berdampak
buruk), maka mengkibatkan semakin buruknya kinerja, kesehatan dan timbul
gangguan hubungan dengan orang lain (Gaol, 2016). Selain itu stress memberikan
dampak pada aspek fisiologi dalam tubuh diantaranya : (Sailesh et al, 2018)
1) Aspek Fisiologis
a) Dampak stres pada sistem saraf => Stres mengaktivasi amygdala dan sistem
hipokampus. Stres menginduksi pelepasan peptida opioid terutama hormon
yang menstimulasi α-melanosit dan β- endorfin dari hipotalamus.
b) Dampak stres pada sistem kardiovaskuler => Stres menginduksi
peningkatan tekanan arteri dan detak jantung, meningkatkankan kadar lemak
darah, memicu koagulasi, aterosklerosis, dan perubahan vaskuler yang dapat
menyebabkan penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi, iskemi miokardia,
infark miokardia, aritmia ventrikuler, dan henti jantung mendadak.
c) Dampak stres pada sistem pernapasan => Stres menginduksi perubahan
respiratori seperti peningkatan laju pernapasan dan penurunan tidal CO2
(hiperventilasi).
d) Dampak stres pada sistem muskuloskeletal => Stres kronis menyebabkan
peningkatan tekanan otot yang dapat mengarah pada kelainan muskuloskeletal.
Otot yang sering terdampak adalah otot bahu, otot rahang dan leher, serta otot
diafragma.
e) Dampak stres pada darah => Perubahan pada parameter sel darah seperti
penurunan eusinofil dan basofil, peningkatan jumlah neutrofil, platelet, dan sel
darah merah.
f) Dampak stres pada sistem imun => Meningkatkan sekresi glukokortikoid.
Kortisol memodulasi jumlah dan fungsi leukosit, menurunkan produksi
sitokin, dan menghambat jalur pro-inflamasi ke jaringan target.
g) Dampak stres pada sistem pencernaan => Menghambat kompleks dorsal-
vagus dan meningkatkan aktivitas motorik usus besar melalui stimulasi sistem
parasimpatis. Stres juga berkontribusi terhadap terjadinya inflammatory bowel
disease. Stres memiliki dampak negatif pada kesehatan rongga mulut karena
menurunkan laju alir saliva dan total protein serta meningkatkan kortisol
saliva dan pH
h) Dampak stres pada metabolisme => Meningkatkan katabolisme glukosa,
lemak, dan protein serta secara simultan menghambat aksi anabolik growth
hormone, insulin, dan steroid seks. Stres kronis dapat mengubah gaya hidup
seperti peningkatan jam tidur dan perubahan pola makan.
i) Dampak stres pada sistem endokrin => Meningkatkan sekresi
corticotrophin releasing hormone (CRH) yang meningkatkan sekresi
adrenocorticotropin (ACTH), 8-lipotropin dan 3-endorphin. Stres menurunkan
kadar hormon tiroid melalui inhibisi sekresi thyroid-stimulating hormone
(Sailesh et al, 2018).

2.3 Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)


Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum
pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini
dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan
manusia). COVID-19 dapat menular dari manusia ke manusia melalui percikan
batuk/bersin (droplet), Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang
kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien COVID-19
(Kemenkes RI, 2020). Tanda dan gejala umum infeksi covid-19 termasuk gejala
gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk, dan sesak napas. Masa inkubasi rata-
rata adalah 5 – 6 hari dengan masa inkubasi demam, batuk, dan sesak napas. Pada kasus
yang parah, covid-19 dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal
ginjal, dan bahkan kematian (Putri RN, 2020).
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini
utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan unta.
Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi
manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63, betacoronavirus OC43,
betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan
Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV). Virus ini dapat
ditularkan dari manusia ke manusia dan telah menyebar secara luas di China dan lebih
dari 190 negara dan teritori lainnya.5 Pada 12 Maret 2020, WHO mengumumkan
COVID-19 sebagai pandemik.6 Hingga tanggal 29 Maret 2020, terdapat 634.835 kasus
dan 33.106 jumlah kematian di seluruh dunia.5 Sementara di Indonesia sudah ditetapkan
1.528 kasus dengan positif COVID-19 dan 136 kasus kematian (Susilo A, et al, 2020).
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari
tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis,
hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami
sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar
proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui.21 Viremia dan viral load yang tinggi dari
swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan.56 Gejala ringan
didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas tanpa komplikasi,
bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia,
malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan
suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare dan muntah.
Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah salah satu
dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres pernapasan berat, atau (3)
saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien geriatri dapat muncul gejala-
gejala yang atipikal. (Susilo A, et al, 2020)

2.4 Hubungan Stres dan Pandemi COVID-19


Di saat pandemi ini yang menjadi sumber stress (stressor) adalah berita mengenai
Covid-19 dan pembatasan sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh sebab itu
masyarakat dituntut untuk bijak dalam membaca berita. Harus dari sumber yang valid
karena sering kali berita hoax yang ada. Informasi yang ada harus dipilih dan dipilah.
Mencari informasi dari sumber yang terpercaya, adalah salah satu solusi, tidak gampang
percaya berita-berita yang mengakibatkan semakin cemas, khawatir dan gelisah. Karena
mempercayai berita yang membuat kecemasan, kekhawatiran dan kegelisahan menjadi
salah satu pemicu stress (Barseli et al., 2020).
Masalah psikologis yang menyertai pandemi COVID-19 ini juga
menambah masalah terhadap kesehatan masyarakat (Torales et al., 2020). Sebuah
penelitian yang menilai implikasi kesehatan mental akibat COVID-19 telah
mengidentifikasi peningkatan prevalensi gejala stres, depresi dan kecemasan dari tingkat
sedang hingga parah di kalangan masyarakat umum. Gejala stres, depresi dan kecemasan
ini diperkirakan merupakan akibat dari ketidakpastian dan ketakutan akan masalah
kesehatan yang terjadi (Wang et al., 2020).
Penelitian yang dilakukan oleh Wang dkk. terhadap respons psikologis
masyarakat pada awal pandemi menyebutkan terdapat 16,5% responden mengalami
gejala depresi, 28,8% mengalami ansietas, dan 8,1% mengalami stress parah.54
Penelitian yang dilakukan oleh Sudharno di Indonesia juga menunjukkan adanya
peningkatan pengalaman stres akibat pandemi COVID-19. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Sudharno ditemukan 30% responden dengan stres kategori
rendah, 65% responden dengan stres kategori sedang, dan 5% responden dengan stres
kategori tinggi (Yuwono, 2020).

2.5 Hubungan Penyakit Periodontal dan Pandemi Covid-19


Hipotesis ini dikemukakan oleh Balaji et al., berdasarkan fakta bahwa pasien yang
mempunyai penyakit periodontal menunjukkan tingkat osteopontin yang tinggi dalam
cairan sulkus gingiva yang dapat menyebabkkan kerusakan pada periodontal sehingga
memungkinkan virus SARS-CoV-2 untuk menginfeksi sel inang. Osteopontin adalah
fosfoprotein glikosilasi nonkolagen yang mengikat kalsium, umumnya ditemukan pada
fase mineralisasi matriks pada tulang, yang terutama disintesis oleh pra-osteoblas,
osteoblas dan sel osteoklastik dan telah terbukti meningkat pada saat periodontitis
(Bertolini et al., 2020).
Penelitian menurut Dabdoud pada tahun 2016 dikatakan bahwa adanya virus
SARS-CoV-2 pada poket periodontal selaras dengan penelitian sebelumnya bahwa
didapatkan harpes simplex virus dan harpes papiloma virus pada poket periodontal
dengan pengujian pada subgingival plak didapatkan adanya virus dan kompleks bakterial
biofilm (Dabdoub et al., 2016). Infeksi awal virus pada poket periodontal dapat melalui
infeksi secara langsung atau melalui respon sel imun terhadap virus pada aliran darah.
Adanya virus SARS-CoV-2 pada poket periodontal menyebabkan respon imun sel
mononuklear. Gingival crevicular fluid (GCF) pada poket periodontal dapat menjadi
perantara terbawanya sel mononuklear bercampur dengan saliva (Quamilla et al., 2016).
Laporan kasus Chaux-Bodard et al di Prancis mengaitkan lesi oral yang ditemu- kan
pada pasiennya sebagai respon inflamasi akibat infeksi COVID-19. Laporan kasus
Corchuelo dan Ulloa di Kolombia juga mengaitkan pigmentasi gingiva pada
pasiennya terkait dengan infeksi COVID-19. Pigmentasi sering terjadi pada ras Afro dan
pada kasus tersebut terjadi karen proses inflamasi sebagai respons infeksi SARS-CoV-2
yang dapat menyebabkan proliferasi melanosit di bagian tubuh tersebut (Woran et al.,
2021).

2.6 Hubungan Tingkat Stress Selama Pandemi Covid-19 Terhadap Kesehatan


Periodontal
Banyak hasil penelitian telah menunjukkan bahwa stres psikologis atau kondisi
psikosomatik mendorong terjadinya perubahan imunologis. Peningkatan kadar kortisol
dan epinefrin dapat mengganggu homeostasis dan meningkatkan kerentanan terhadap
penyakit melalui berbagai mekanisme. Kortisol menyebabkan efek ant-inflamasi yang
poten dan imunosupresif. Hal ini dibuktikan dengan administrasi kortisol dalam jumlah
banyak mengurangi respon inflamasi terhadap infeksi. Mekanisme biologis stres
mereduksi fungsi sistem imun, dan terjadinya inflamasi kronis dimediasi oleh produksi
hormon kortisol yang mengurangi kemampuan imun dengan menghambat IgA dan IgG
dan fungsi neutrofil, sehingga terjadi peningkatan kolonisasi biofilm dan berkurangnya
kemampuan untuk mencegah invasi bakteri pada jaringan ikat. Setelah terjadi
peningkatan kortisol yang kronis, kortisol akan kehilangan kemampuannya untuk
menghambat respon inflamasi yang diinisiasi oleh reaksi imun, sehingga destruksi
inflamasi terjadi terus menerus pada jaringan periodontal mengakibatkan resorpsi tulang,
kerusakan jaringan, kehilangan perlekatan, serta dapat menghambat penyembuhan luka.
Hubungan antara penyakit periodontal dan faktor predisposisi psikososial dapat dilihat
pada kasus acute necrotizing ulcerative gingivitis (ANUG). (Larasati, 2016)
2.7 Kerangka Teori

Hubungan Tingkat Stres Selama Pandemi Covid-19 Terhadap Kesehatan


Periodontal
Atas

Pengertian Kesehatan
Periodontal

Covid-19
Anatomi Normal Jaringan
Periodontal

Bagian-bagian dari Jaringan


periodontal

Macam-macam Penyakit
Periodontal

Stres Ringan
Stres Sedang Stres
Stres Berat
Dampak Stres
2.8 Kerangka Konsep

Gingiva
Gingiva
Ligamen Periodonttal
Tulang alveolar
Sementum

Tingkat Stres Kesehatan Periodontal

Periodontitis
Gingivitis

Pandemi Covid 19
DAFTAR PUSTAKA

Barseli, M., Ifdil, I., & Fitria, L. (2020). Stress akademik akibat Covid-19. JPGI (Jurnal
Penelitian Guru Indonesia), 5(2), 95. https://doi.org/10.29210/02733jpgi0005

Bertolini, M., Pita, A., Koo, S., Cardenas, A., & Meethil, A. (2020). Periodontal disease in
the covid-19 era: Potential reservoir and increased risk for sars–cov-2. Pesquisa
Brasileira Em Odontopediatria e Clinica Integrada, 20, 1–5.
https://doi.org/10.1590/pboci.2020.162

Dabdoub, S. M., Ganesan, S. M., & Kumar, P. S. (2016). Comparative metagenomics reveals
taxonomically idiosyncratic yet functionally congruent communities in periodontitis.
Scientific Reports, 6(April), 1–13. https://doi.org/10.1038/srep38993

Darmawan, R., Sunnati, Rezeki, S. (2016). Hubungan aantara stres akademik dengan
gingivitis pada mahasiswa program studi kedokteran gigi universitas syiah kuala, 8(2),
117-122.

Dommisch, H., Kebschull, M. (2019). Chronic Periodontitis. In: Caranza’s Clinical


Periodontology 13th. St.Louis Missouri: Elsevier, 342-350

Fiorellini, J., P., David, M. dan Uzel, N., G. (2019). Clinical Features of Gingivits. In:
Caranza’s Clinical Periodontology 13th. St.Louis Missouri, Elsevier, 248-254.

Fiorellini, J., P., Kim, D., M., Uzel, N.,G. (2019). Anatomy, Structure, and Funnction of the
Periodontium. In: Caranza’s Clinical Periodontology 13th. St.Louis Missouri, Elsevier,
19-88, 115-130.

Gaol, N., T., L. (2016). Teori Stres : Stimulus, Respon, dan Transaksional. Buletin Psikologi,
24(1), 1-11.https://doi.org/10.22146/bpsi.11224

Gehrig, J., S., Shin, D., E., Willmann, D., E. (2019). Foundations of Periodontics for the
Dental Hygienist 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 3- 9, 52-69, 223-
253.

Harsas, N. A., Safira, D., Aldilavita, H., Yukiko, I., Prabu, M., Saadi, M. T., Feria, Q.,
Kiranahayu, R., & Muchlisya, S. (2021). Curettage Treatment on Stage III and IV
Periodontitis Patients. Journal of Indonesian Dental Association, 4(1), 47–54.
https://doi.org/10.32793/jida.v4i1.501
Ji, S., Choi, Y. S., & Choi, Y. (2015). Bacterial invasion and persistence: Critical events in
the pathogenesis of periodontitis? Journal of Periodontal Research, 50(5), 570–585.
https://doi.org/10.1111/jre.12248

Karyadi, E., & Syaifyi, A. (2019). Ekspresi Kadar Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) Cairan
Sulkus Gingiva Pada Penderita Gingivitis (Kajian Pengguna Kontrasepsi Pil, Suntik dan
Implan). JIKG (Jurnal Ilmu Kedokteran Gigi), 2(1), 1–5.

Larasati, R. (2016). Pengaruh Stres Pada Kesehatan Jaringan Periodontal. Jurnal Skala
Husada, 13(1), 81-89.

Leblebicioglu, B., Claman, L. (2012). Periodontal Anatomy. In: Dental anatomy 8th ed.
Philadelphia, Lippincott williams & Wilkins, 198-204.

Monika Sainti Camalin, C., & Rosiana Putri, A. (2020). Hubungan tingkat keparahan covid-
19 dengan periodontitis disertai managemen perawatan periodontal di masa pandemi :
literature review. Densium, 29–33.

Putri, R., N. (2020). Indonesia Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Imiah
Universitas Batanghari Jambi, 20(2), 705-709.

Quamilla, N., Pengajar, S., Kedokteran, F., Universitas, G., & Kuala, S. (2016). Stres Dan
Kejadian Periodontitis (Kajian Literatur). Quamilla.J Syiah Kuala Dent Soc, 1(2), 161–
168. http://jurnal.unsyiah.ac.id/JDS/

Reddy, S. (2018). Biology of Periodontal Tissues. In : Essentials of Clinical periodontology


Periodontics 5th, The Health Sciences Publisher, Jaypee, 8-34, 120-122

Sailesh, K., S., Srilatha, B. (2019). An update on physiological effects of stress. MOJ Anat &
Physiol, 6(2), 45-47. https://doi.org/10.15406/mojap.2019.06.00243

Saputri D. (2018). Gambaran radiograf pada penyakit periodontal. J Syiah Kuala Dent Soc,
3(1), 16-21.

Susilo, A., Rumende, C., M., Pitoyo, G., W. (2020). Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan
Literature Terkini. Jurnal penyakit Dalam Indonesia, 7(1), 45-63.

Taylor, S., E. (2018). Stres and Coping. In: Healh Psychology 10th. New York, Mc Graw
Hill Education, 115-117
Torales, J., O’Higgins, M., Castaldelli-Maia, J. M., & Ventriglio, A. (2020). The outbreak of
COVID-19 coronavirus and its impact on global mental health. International Journal of
Social Psychiatry, 66(4), 317–320. https://doi.org/10.1177/0020764020915212

Wang, C., Riyu, P., Xiaoyang, W., Yilin, T., Linkang, X., Cyrus, S. H., & C.H., R. (2020).
Immediate Psychological Responses and Associated Factors during the Initial Stage of
the 2019 Coronavirus Disease (COVID-19) Epidemic among the General Population in
China. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(5), 1–
25. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7084952/

Woran, Y. R., Tendean, L. E. N., & Mintjelungan, C. N. (2021). Manifestasi Oral Infeksi
COVID-19. E-GiGi, 9(2), 256. https://doi.org/10.35790/eg.v9i2.34984

Yuwono, S. D. (2020). Profil Kondisi Stres Di Masa Pandemi Covid-19 Sebagai Dasar
Intervensi Dalam Praktek Mikrokonseling. Ristekdik: Jurnal Bimbingan Dan Konseling,
5(1), 132–138.

Anda mungkin juga menyukai