Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.4.3 Sementum
Sementum adalah jaringan mesenkim seperti tulang yang mengalami
kalsifikasi yang ditemukan di lapisan terluar akar. Semen perlahan mengendap di
permukaan akar sepanjang hidup kita. Pada separuh bagian coron, ketebalan semen
berkisar antara 1660 m, sedangkan pada sepertiga bagian apex berkisar antara 150
hingga 200 m. Sementasi di apeks mengkompensasi hilangnya struktur oklusal gigi
akibat abrasi (Fiorelinni et al, 2019). Fungsi semen adalah sebagai berikut:
A) Sementoblas
Sementoblas awalnya berasal dari sel mesenkim luar yang ditemukan di folikel
gigi. Akhirnya, sementoblas dapat berkembang dari sel-sel jaringan periodontal
yang tidak berdiferensiasi. Secara morfologis, sementoblas mirip dengan
fibroblas, tetapi sementoblas ditemukan di dekat permukaan semen dan sering
dianggap sebagai perpanjangan dari proses sitoplasma semen. Sementoblas
menghasilkan serat kolagen endogen dan zat bubuk dan membentuk semen
dengan serat kolagen ekstrinsik. (Reddy, S, 2018).
B) Sementosit
Selama produksi sementogenesis, sementoblas dapat terperangkap di celah
sebagai sel semen. Pada sementoblas, volume sitoplasma berkurang dan jumlah
organel dalam sitoplasma berkurang. Hal ini menunjukkan adanya penurunan
aktivitas metabolisme.
C) Fibroblas Ligamen Periodontal
Meskipun sel-sel ini secara teknis merupakan komponen ligamen periodontal,
kumpulan ini juga menghasilkan serat kolagen yang mengalami kalsifikasi dan
menjadi bagian dari sementum. Oleh karena itu, fibroblas ligamen periodontal
berperan dalam produksi sementogenesis.
D) Sementoklas
Sel raksasa dengan inti ganda (multinucleated giant cell) berperan aktif dalam
penyerapan sementum. Sel-sel ini tidak dapat dibedakan dari osteoklas (Reddy,
S, 2018).
1. Cortical plate, terdiri dari tulang yang kompak, biasanya berada pada
permukaan tulang rahang.
2. Cribriform plate (alveolar bone proper) atau lamina dura => tulang yang dapat
membentuk sebuah dinding sebelah dalam pada soket gigi. Biasanya pada
daerah ini memilki banyak pembuluh darah dan saraf.
3. Spongy bone => biasanya terletak antara cortical plate dan cribriform plate.
Pada spongy bone memilki trabekula tulang yang tersebar dalam jumlah banyak
serta biasanya berisi sumsum tulang.
Sel-sel yang ada pada tulang alveolar adalah : (Reddy, S, 2018)
1. Osteoklas
Merupakan sel terbesar dengan memiliki inti yang lebih dari satu
Berawal dari monosit yang diambil dari darah ke permukaan pada tulang
serta kemudian berdiferensiasi dan berfusi menjadi sel multinukleus
Berada pada lakuna Howship's
Memilki peran aktif dalam resorpsi tulang
Dapat memproduksi enzim diantaranya adalah asam fosfatase dan
kolagenase
Adanya reseptor spesifik pada hormon kalsitonin dan merupakan inhibitor
pada resorpsi tulang oleh osteokias
2. Osteoblas
Merupakan sel terbesar yang memiliki diameter 20-30 μm
Berawal dari sel-sel osteogenik yang mengalami diferensiasi dalam
periosteum
Berfungsi dalam pembentukan tulang dengan memproduksi suatu
komponen tulang yang tidak terkalsifikasi yang disebut osteoid.
Terdapat reseptor spesifik untuk hormon parathyroid
3. Osteosit
tipe sel tulang yang paling banyak dijumpai, sel utama pada tulang yang
matur
osteoblas yang terjebak dalam matriks yang terkalsifikasi
2.1.5 Etiologi Penyakit Periodontal
Faktor utama penyebab penyakit periodontal dibedakan menjadi tiga yaitu faktor
lokal, faktor sistemik, dan faktor lingkungan. Faktor lokal adalah faktor yang terdapat
disekitar gigi sedangkan faktor sistemik yang berhubungan dengan metabolisme
tubuh dan kesehatan umum (Fiorelinni et al, 2019).
1) Faktor lokal
a. Plak bakteri
Plak gigi merupakan deposit lunak yang melekat erat pada permukaan gigi,
terdiri atas mikroorganisme yang berkembang biak dalam suatu matrik
interseluler jika seseorang melalaikan kebersihan gigi dan mulutnya. Faktor
lokal yang sering disebut sebagai faktor etiologi dalam penyakit periodontal,
antara lain adalah bakteri dalam plak, kalkulus, materi alba, dan debris
makanan. Kesehatan periodontal dilihat dari keadaan keseimbangan populasi
bakteri yang berdampingan dengan host. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan perubahan pada bakteri inang dan biofilm, yang pada akhirnya
mengalami penghancuran pada jaringan periodonsium. Bakteri patogen yang
sangat erat hubungannya dengan penyakit periodontal adalah bakteri yang ada
pada plak subgingival. Porphyromona gingivalis, Treponema denyicola,
Tannerella fosythia merupakan bakteri yang berperan dalam progresifitas
periodontitis. Keberadaan bakteri Aggregatibacter Actinomycetemcomitans
juga dihubungkan dengan periodontitis aggressive.
b. Kalkulus
Kalkulus merupakan suatu massa yang mengalami kalsifikasi yang terbentuk
dan melekat erat pada permukaan gigi. Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan
merupakan suatu massa yang mengalami pengapuran, terbentuk pada
permukaan gigi secara alamiah. Jenis kalkulus di klasifikasikan sebagai
supragingiva dan subgingiva berdasarkan relasinya dengan gingival margin.
Kalkulus supragingiva ialah kalkulus yang melekat pada permukaan mahkota
gigi mulai dari puncak gingival margin dan dapat dilihat. Kalkulus ini
berwarna putih kekuning-kuningan atau bahkan kecoklat-coklatan. Kalkulus
subgingival adalah kalkulus yang berada dibawah batas gingival margin,
biasanya pada daerah saku gusi dan tidak dapat terlihat pada waktu
pemeriksaan
c. Faktor iatrogenic
Faktor iatrogenik dari penumpatan atau protesa terutama adalah berupa lokasi
tepi tambalan, spasi antara tepi tambalan dan gigi yang tidak dipreparasi,
kontur tumpatan, oklusi, materi tumpatan, prosedur penumpatan, desain
protesa lepasan. Tepi tumpatan yang overhang menyebabkan keseimbangan
ekologi bakteri berubah dan menghambat jalan atau pencapaian pembuangan
akumulasi plak. Lokasi tepi tambalan terhadap tepi gingiva sertakekasaran di
area subgingival, mahkota dan tambalan yang terlalu cembung, kontur
permukaan oklusal seperti ridge dan groove yang tidak baik menyebabkan
plak mudah terbentuk dan tertahan, atau bolus makanan terarah langsung ke
proksimal sehingga sebagai contoh terjadi impaksi makanan
2) Faktor sistemik
a. Faktor Genetik
Telah banyak diketahui bahwa kerentanan terhadap penyakit periodontal
berbeda antara kelompok ras atau etnis tertentu misalnya di Amerika, orang
Afrika-Amerika memiliki lebih banyak penyakit periodontal daripada orang
ras Kaukasian meskipun perbedaan ini bisa disebabkan dari faktor lingkungan,
namun hal ini bisa disebabkan perbedaan susunan genetik dari ras atau etnis
tertentu. Proses terjadinya periodontitis berhubungan didalam satu keluarga.
Dasar dari persamaan ini baik karena memiliki lingkungan atau gen yang sama
atau keduanya telah diteliti dalam beberapa penelitian. Kesimpulan yang
didapatkan bahwa selain pada susunan genetik yang sama, persamaan dalam
keluarga disebabkan karena adat dan lingkungan yang sama. Hubungan
saudara kandung dalam penelitian ini, kaitannya dengan jaringan periodontal
tidak bisa ditolak
b. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, gigi geligi menjadi memanjang hal ini
menunjukkan bahwa usia dipastikan berhubungan dengan hilangnya
perlekatan pada jaringan ikat. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa
pada gigi geligi yang memanjang sangat berpotensi mengalami kerusakan.
Kerusakan ini meliputi periodontitis, trauma mekanik yang kronis yang
disebabkan cara menyikat gigi, dan kerusakan dari faktor iatrogenik yang
disebabkan oleh restorasi yang kurang baik atau perawatan scalling and root
planing yang berulang-ulang.
c. Penyakit sistemik
Ketika periodontitis terjadi pada pasien yang juga memiliki penyakit sistemik
yang mempengaruhi keefektifan dari respon host, tingkat kerusakan
periodontal dapat secara signifikan meningkat. Penyakit periodontal juga
berhubungan dengan Diabetes melitus (DM) dan penyakit sistemik lainnya.
Diabetes adalah kondisi sistemik yang dapat meningkatkan keparahan
dan perluasan penyakit periodontal yang mengenai pasien. Diabetes tipe 2,
atau non insulin dependent diabetes melitus (NIDDM), adalah bentuk paling
sering dari diabetes dan terhitung untuk 90% dari pasien diabetes. Diabetes
tipe 2 paling mungkin untuk berkembang dalam populasi dewasa pada waktu
yang sama seperti periodontitis kronis. Efek sinergis dari akumulasi plak dan
respon host efektif melalui efek diabetes dapat mengarah pada kerusakan
peridontal yang parah dan meluas yang dapat sulit untuk ditangani dengan
teknik klinis standar tanpa mengontrol kondisi sistemik. Peningkatan diabetes
tipe 2 pada remaja dan dewasa muda telah diamati dan dapat berhubungan
dengan peningkatan dalam obesitas usia muda (juvenile obesity). Diabetes tipe
1, atau insulin dependent diabetes melitus (IDDM), diamati dalam anak-anak,
remaja, dan dewasa muda dan dapat mengarah terhadap peningkatan
kerusakan periodontal ketika tidak terkontrol. Bila dilakukan scalling pada
penderita diabetes tanpa tindakan profilaksis dapat menyebabkan timbulnya
abses periodontal.
3) Faktor Lingkungan
a. Stres
Penelitian cross-sectional yang dilakukan Hilgert dkk (2006) melaporkan
adanya hubungan antara peningkatan level kortisol dengan keparahan
periodontitis. Peningkatan level kortisol memiliki efek negatif pada jaringan
periodontal karena dapat menurunkan produksi kolagen oleh fibroblas.
Perubahan ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan sintesis kolagen dan
kerusakan pada jaringan periodontal. Peningkatan level kortisol dapat
menurunkan fungsi imun dengan menghambat presentasi antigen oleh
makrofag, proliferasi limfosit dan diferensiasi limfosit menjadi sel efektor
seperti limfosit T helper, limfosit T sitotoksik dan limfosit B sehingga dapat
meningkatkan risiko infeksi periodontal. Kortisol juga dapat menurunkan
jumlah limfosit, monosit dan eosinofil dalam sirkulasi, menghambat
akumulasi eosinofil, makrofag dan neutrofil pada daerah yang mengalami
inflamasi dan menghambat fungsi penting makrofag, neutrofil dan sel mast
dalam fungsi kemotaksis dan fagositosis (Quamilla et al., 2016)
b. Merokok
Perokok memiliki kemungkinan periodontitis kronis tiga kali lebih besar
dibandingkan dengan non-perokok dan juga berhubungan dengan 90%
periodontitis yang sulit disembuhkan. Dampak dari merokok adalah
bertambahnya prevalensi dan keparahan kerusakan periodontal, bertambahnya
kedalaman poket, kehilangan perlekatan dan tulang, bertambahnya tingkat
kerusakan periodontal, bertambahnya prevalensi keparahan periodontitis,
bertambahnya kemungkinan gigi yang tanggal, dan bertambahnya
prevalensinya yang beriringan dengan bertambahnya jumlah rokok per hari.
Perokok memiliki jumlah Tannerella forsythia yang lebih tinggi. Perokok
tidak merespon terhadap terapi mekanis dan dihubungkan dengan peningkatan
jumlah T. forsythia, Aggregatibacter actinomycetemcomitans dan
Porphyromonas gingivalis yang tersisa di poket setelah terapi bila
dibandingkan dengan non-perokok (Reddy, S, 2018).
Eubacterium nodatum, Fusobacterium nucleatum, Borrelia vincentii, P.
gingivalis, Prevotella intermedia, Peptostreptococcus mikro, Prevotella
nigrescens, T, forsythia prevalensinya lebih tinggi secara signifikan pada
perokok dibandingkan non-perokok dan mantan perokok (Reddy, S, 2018).
c. Obesitas
Kondisi obesitas yang berhubungan dengan peningkatan indeks CPITN diduga
dapat terjadi karena akumulasi lemak yang berlebih dalam jumlah besar
sehingga akan menimbulkan resiko terhadap timbulnya penyakit. Pada kondisi
obesitas, adiposit akan mensekresi sitokin proinflamasi yang merangsang
peningkatan produksi C-reactive protein, dan tubuh akan rentan terhadap
infeksi bakteri. Apabila bakteri mudah masuk ke dalam tubuh, maka tubuh
akan memicu respon imun antara bakteri dan host ditandai dengan peningkatan
polymorphonuklear leucocytes (PMNs) dan reactiveoxygen species (ROS)
yang berlebihan sehinggga akan menyebabkan destruksi jaringan gingiva,
ligamen periodontal, tulang alveolar (Firani, NK, dkk, 2021)
2.1.6 Macam-macam Penyakit Periodontal
2.1.6.1 Gingivitis
Periodontitis adalah penyakit di mana gusi menjadi meradang. Periodontitis
adalah proses inflamasi yang mengenai jaringan lunak di sekitar gigi tanpa
kehilangan perlekatan epitel dan mempertahankan perlekatan tidak berubah.
Periodontitis seringkali tidak menimbulkan rasa sakit dan jarang dirasakan oleh
pasien (Ji et al., 2015). Secara umum, prevalensi dan keparahan periodontitis
meningkat seiring bertambahnya usia. Periodontitis didiagnosis sekitar usia lima
tahun. Prevalensi ini terus meningkat, memuncak pada masa remaja dan kemudian
perlahan menurun, namun tetap relatif tinggi sepanjang hidup (Fiorelinni et al.,
2019). Gambaran klinis inflamasi gingiva meliputi perdarahan saat probing,
perubahan warna, perubahan konsistensi, perubahan tekstur permukaan, perubahan
kontur dan bentuk, pembentukan poket periodontal (Fiorelinni et al., 2019).
Pendarahan selama probing disebabkan oleh perubahan terkait peradangan
berikut: B. Pembesaran kapiler berisi darah rapuh dan didorong ke permukaan oleh
cairan dan sel inflamasi. Selain itu, probing bleeding juga dapat disebabkan oleh
penipisan alur epitel dan berkurangnya fungsi protektifnya (Fiorelinni et al, 2019).
Tanda kedua dari inflamasi gingiva adalah perubahan warna merah menjadi merah
tua yang dihasilkan dari papila interdental dan margin gingiva dan meluas ke gingiva
cekat. Perubahan warna ini disebabkan oleh peningkatan distribusi vaskular atau
penurunan atau hilangnya keratinisasi epitel akibat kompresi epitel oleh jaringan
yang meradang. Selain itu, berkurangnya distribusi vaskular akibat peningkatan
fibrosis atau keratinisasi epitel juga dapat mengakibatkan penipisan gingiva (Gehrig
et al, 2019)
Gingivitis memilki artian yaitu inflamasi pada gingiva yang tidak dapat
menyebabkan kehilangan perlekatan gigi. Penyebab utama dari gingivitis adalah
adanya akumulasi plak mikrobial biasanya berada di servikal gigi dan sekitarnya.
Gingivitis secara klinis berwarna kemerahan, mmengalami pembengkakan, serta ada
hilangnya tekstur gingiva bebas, dan biasanya tidak sakit. Salah satu indikator utama
dalam diagnosis periodontitis adalah perdarahan saat probing (Darmawan et al.,
2016). Periodontitis adalah periodontitis ringan dengan peradangan hanya pada
jaringan gingiva, sedangkan periodontitis ditandai dengan peradangan lanjut dari
jaringan gingiva hingga ke jaringan pendukung di bawahnya. Kondisi jaringan
periodontal dapat dinilai dengan mengukur kedalaman poket, tingkat adhesi klinis,
perdarahan saat probing, dll (Karyadi & Syaifyi, 2019)
2.1.6.2 Periodontitis
Periodontitis merupakan penyakit inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang
disebabkan oleh sekelompok mikroorganisme spesifik yang ditandai dengan
kehilangan jaringan periodontal. Periodontitis memiliki manifestasi klinis berupa
kehilangan perlekatan (clinical attachment loss – CAL), poket periodontal, serta
dapat disertai dengan adanya perdarahan gingiva. Pembentukan poket periodontal
merupakan ciri klinis paling mendasar dari penyakit periodontal dan didefinisikan
sebagai pendalaman sulkus gingiva secara patologis. Poket diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu poket gingiva dan poket periodontal. Poket gingiva atau pseudo-poket
terbentuk akibat adanya pembesaran gingiva akibat hiperplasia, edema, maupun
obat-obatan atau hormon tanpa adanya destruksi jaringan periodontal
dibawahnya. Poket periodontal merupakan pendalaman sulkus secara patologis yang
sudah melibatkan kerusakan jaringan periodontal pendukung gigi. Poket periodontal
terbagi menjadi dua jenis, yaitu poket supraboni dan poket infraboni. Poket
supraboni merupakan kondisi dimana dasar poket terletak lebih koronal dari tulang
alveolar, sedangkan poket infraboni merupakan kondisi dimana dasar poket berada
di apikal tulang alveolar (Harsas et al., 2021)
Gambaran klinis pada pasien dengan periodontitis berupa akumulasi plak
supragingiva dan subgingiva (berkaitan dengan pembentukan kalkulus), inflamasi
gingiva, pembentukan poket, hilangnya perlekatan periodontal, hilangnya tulang
alveolar, dan kadang-kadang terdapat supurasi atau abses (Dommisch et al, 2019).
Gambaran radiograf menunjukkan adanya kehilangan tinggi dan densitas tulang
alveolar sehingga terjadi peningkatan kedalaman probing, resesi, atau keduanya
(Harsas et al., 2021). Pada pasien dengan kebersihan mulut yang buruk, gingiva
biasanya mungkin sedikit bengkak dan terlihat mengalami perubahan warna berkisar
dari merah pucat sampai magenta, serta hilangnya stippling pada gingiva.
Perdarahan gingiva, baik spontan atau respons terhadap probing, adalah hal yang
umum ditemukan. Kedalaman poket bervariasi dan ditemukan kehilangan tulang
vertikal atau horizontal. Mobiliti gigi juga sering terlihat dalam kasus-kasus lanjut
dengan kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang yang luas (Dommisch et al,
2019).
Periodontitis merupakan inflamasi pada jaringan periodontal karena bakteri
sehingga menyebabkan kerusakan pada tulang alveolar. Bakteri utama penyebab
terjadinya periodontitis adalah bakteri anaerob gram negatif yaitu Actinobacillus
actinomycetemcomitans, Porphyromonas gingivalis , Prevotella intermedia, and
Tannerella forsythensis. Bakteri-bakteri tersebut akan menginvasi sulkus gingiva
melalui junctional epithelium. Lipopolisakarida pada bakteri akan berikatan dengan
toll-like receptor (TLR) akan menginisiasi gingival epithelial cell dan fibroblast
menstimulasi respon inflamasi berupa PMN. Meningkatnya neutrofil menyebabkan
IL-17 memproduksi CD4 dan Th17 dan menginisiasi terebentuknya sel B plasma
dan receptor activator nuclear kappa B ligand (RANKL) yang menyebabkan
terjadinya kerusakan pada tulang alveolar. Kerusakan tulang alveolar akan
menyebabkan terbentuknya poket periodontal. Kondisi periodontitis mengalami
keparahan ditandai dengan adanya kehilangan perlekatan gigi dan terlepasnya gigi
dari soket. Pada kondisi tersebut jumlah sitokin seperti TNFα, IL-1β, IL-4, IL-6, IL-
10, CRP dan ferritin akan meningkat (Monika Sainti Camalin & Rosiana Putri,
2020).
2.2 Stres
2.2.1. Definisi Stress
Stres berasal dari bahasa Latin stringere yang berarti tegang atau genting. Stres
didefinisikan sebagai stimulus atau situasi yang menimbulkan stres negatif/distres dan
menciptakan tuntutan fisik dan psikis seseorang (Quamilla et al., 2016). Barseli
(2021) mendefinisikan stress adalah respons organisme untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan-tuntutan yang berlangsung. Tuntutan tersebut dapat berupa hal-hal
yang faktual terjadi, atau hal-hal baru yang mungkin akan terjadi, tetapi dipersepsi
secara aktual. Apabila kondisi tersebut tidak teratasi dengan baik maka terjadilah
gangguan pada satu atau lebih organ tubuh yang mengakibatkan yang bersangkutan
tidak dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik. Dengan redaksi yang lebih
sederhana, stress adalah suatu keadaan tidak mengenakkan atau tidak nyaman yang
dialami oleh individu dan keadaan tersebut mengganggu pikiran, emosional, tindakan
atau perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi tersebut bersifat individual dan
subjektif (Barseli et al., 2020). Faktor yang menyebabkan stres disebut stresor. Stresor
dapat bersifat fisiologik (dingin, panas, infeksi, rasa nyeri dan pukulan), psikologis
(takut, khawatir, cemas, marah, kecewa, kesepian, dan jatuh cinta) dan stresor sosial-
budaya (menganggur, perceraian dan perselisihan). Stresor dapat mengakibatkan
perubahan di dalam tubuh yang dapat bersifat positif yang disebut stres positif
(eustres) dan dapat juga bersifat negatif yang disebut stres negatif (distres). Stres
dikatakan positif apabila kondisi dan situasi yang terjadi dapat memotivasi, memberi
inspirasi dan tidak mengancam kesehatan. Sebaliknya distres mengacu pada
penderitaan fisik atau mental yang dapat membuat individu menjadi marah, tegang,
bingung, cemas dan merasa bersalah (Quamilla et al., 2016).
Distres terbagi atas dua bentuk yaitu stres akut dan stres kronik. Stres akut
muncul cukup kuat, tapi menghilang dengan cepat. Sebaliknya, stres kronik muncul
tidak cukup kuat tapi durasinya berlangsung dalam waktu yang lama bahkan sampai
hitungan bulan. Stres kronik yang terjadi berulang dapat mempengaruhi kesehatan.10
Dalam batas tertentu, stres baik untuk diri kita karena dapat membantu kita untuk
tetap aktif dan waspada. Akan tetapi, stres yang sangat kuat atau berlangsung lama
dapat melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya (coping ability) dan dapat
menyebabkan distres emosional (Quamilla et al., 2016).
Pengertian Kesehatan
Periodontal
Covid-19
Anatomi Normal Jaringan
Periodontal
Macam-macam Penyakit
Periodontal
Stres Ringan
Stres Sedang Stres
Stres Berat
Dampak Stres
2.8 Kerangka Konsep
Gingiva
Gingiva
Ligamen Periodonttal
Tulang alveolar
Sementum
Periodontitis
Gingivitis
Pandemi Covid 19
DAFTAR PUSTAKA
Barseli, M., Ifdil, I., & Fitria, L. (2020). Stress akademik akibat Covid-19. JPGI (Jurnal
Penelitian Guru Indonesia), 5(2), 95. https://doi.org/10.29210/02733jpgi0005
Bertolini, M., Pita, A., Koo, S., Cardenas, A., & Meethil, A. (2020). Periodontal disease in
the covid-19 era: Potential reservoir and increased risk for sars–cov-2. Pesquisa
Brasileira Em Odontopediatria e Clinica Integrada, 20, 1–5.
https://doi.org/10.1590/pboci.2020.162
Dabdoub, S. M., Ganesan, S. M., & Kumar, P. S. (2016). Comparative metagenomics reveals
taxonomically idiosyncratic yet functionally congruent communities in periodontitis.
Scientific Reports, 6(April), 1–13. https://doi.org/10.1038/srep38993
Darmawan, R., Sunnati, Rezeki, S. (2016). Hubungan aantara stres akademik dengan
gingivitis pada mahasiswa program studi kedokteran gigi universitas syiah kuala, 8(2),
117-122.
Fiorellini, J., P., David, M. dan Uzel, N., G. (2019). Clinical Features of Gingivits. In:
Caranza’s Clinical Periodontology 13th. St.Louis Missouri, Elsevier, 248-254.
Fiorellini, J., P., Kim, D., M., Uzel, N.,G. (2019). Anatomy, Structure, and Funnction of the
Periodontium. In: Caranza’s Clinical Periodontology 13th. St.Louis Missouri, Elsevier,
19-88, 115-130.
Gaol, N., T., L. (2016). Teori Stres : Stimulus, Respon, dan Transaksional. Buletin Psikologi,
24(1), 1-11.https://doi.org/10.22146/bpsi.11224
Gehrig, J., S., Shin, D., E., Willmann, D., E. (2019). Foundations of Periodontics for the
Dental Hygienist 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 3- 9, 52-69, 223-
253.
Harsas, N. A., Safira, D., Aldilavita, H., Yukiko, I., Prabu, M., Saadi, M. T., Feria, Q.,
Kiranahayu, R., & Muchlisya, S. (2021). Curettage Treatment on Stage III and IV
Periodontitis Patients. Journal of Indonesian Dental Association, 4(1), 47–54.
https://doi.org/10.32793/jida.v4i1.501
Ji, S., Choi, Y. S., & Choi, Y. (2015). Bacterial invasion and persistence: Critical events in
the pathogenesis of periodontitis? Journal of Periodontal Research, 50(5), 570–585.
https://doi.org/10.1111/jre.12248
Karyadi, E., & Syaifyi, A. (2019). Ekspresi Kadar Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) Cairan
Sulkus Gingiva Pada Penderita Gingivitis (Kajian Pengguna Kontrasepsi Pil, Suntik dan
Implan). JIKG (Jurnal Ilmu Kedokteran Gigi), 2(1), 1–5.
Larasati, R. (2016). Pengaruh Stres Pada Kesehatan Jaringan Periodontal. Jurnal Skala
Husada, 13(1), 81-89.
Leblebicioglu, B., Claman, L. (2012). Periodontal Anatomy. In: Dental anatomy 8th ed.
Philadelphia, Lippincott williams & Wilkins, 198-204.
Monika Sainti Camalin, C., & Rosiana Putri, A. (2020). Hubungan tingkat keparahan covid-
19 dengan periodontitis disertai managemen perawatan periodontal di masa pandemi :
literature review. Densium, 29–33.
Putri, R., N. (2020). Indonesia Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Imiah
Universitas Batanghari Jambi, 20(2), 705-709.
Quamilla, N., Pengajar, S., Kedokteran, F., Universitas, G., & Kuala, S. (2016). Stres Dan
Kejadian Periodontitis (Kajian Literatur). Quamilla.J Syiah Kuala Dent Soc, 1(2), 161–
168. http://jurnal.unsyiah.ac.id/JDS/
Sailesh, K., S., Srilatha, B. (2019). An update on physiological effects of stress. MOJ Anat &
Physiol, 6(2), 45-47. https://doi.org/10.15406/mojap.2019.06.00243
Saputri D. (2018). Gambaran radiograf pada penyakit periodontal. J Syiah Kuala Dent Soc,
3(1), 16-21.
Susilo, A., Rumende, C., M., Pitoyo, G., W. (2020). Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan
Literature Terkini. Jurnal penyakit Dalam Indonesia, 7(1), 45-63.
Taylor, S., E. (2018). Stres and Coping. In: Healh Psychology 10th. New York, Mc Graw
Hill Education, 115-117
Torales, J., O’Higgins, M., Castaldelli-Maia, J. M., & Ventriglio, A. (2020). The outbreak of
COVID-19 coronavirus and its impact on global mental health. International Journal of
Social Psychiatry, 66(4), 317–320. https://doi.org/10.1177/0020764020915212
Wang, C., Riyu, P., Xiaoyang, W., Yilin, T., Linkang, X., Cyrus, S. H., & C.H., R. (2020).
Immediate Psychological Responses and Associated Factors during the Initial Stage of
the 2019 Coronavirus Disease (COVID-19) Epidemic among the General Population in
China. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(5), 1–
25. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7084952/
Woran, Y. R., Tendean, L. E. N., & Mintjelungan, C. N. (2021). Manifestasi Oral Infeksi
COVID-19. E-GiGi, 9(2), 256. https://doi.org/10.35790/eg.v9i2.34984
Yuwono, S. D. (2020). Profil Kondisi Stres Di Masa Pandemi Covid-19 Sebagai Dasar
Intervensi Dalam Praktek Mikrokonseling. Ristekdik: Jurnal Bimbingan Dan Konseling,
5(1), 132–138.