Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh :
PIAUD B
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas
mengenai “Deteksi Permasalahan Perkembangan Anak”. Dalam menyusun
makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis alami, namun berkat
dukungan, dorongan dan semangat dari orang terdekat, sehingga penulis mampu
menyelesaikannya. Oleh karena itu penulis pada kesempatan ini mengucapkan
terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat, sehingga penulis dapat
membuat makalah ini dengan baik.
2. Ibu Triana Indrawati M.A selaku Dosen pengampu mata kuliah Deteksi Dini
Tumbuh Kembang Anak yang telah memberi ilmu yang bermanfaat.
3. Ibu dan Ayah, atas semua doa dan bantuan finansial untuk menyelesaikan
makalah ini.
4. Teman-teman Kelas PIAUD B yang telah memberikan semangat dan
motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini
sematamata karena keterbatasan kemampuan penyusun sendiri. Oleh karena itu,
sangatlah penyusun harapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari
semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang
akan datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
C. Tujuan ....................................................................................................................2
A. Kesimpulan ..........................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak yang sehat, cerdas, berpenampilan menarik, dan berakhlak mulia
merupakan dambaan setiap orang tua. Agar dapat mencapai hal tersebut terdapat
berbagai kriteria yang harus terpenuhi dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak, salah satunya adalah faktor keturunan atau genetika. Namun, selain faktor
keturunan masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi kualitas seorang anak.
Kualitas seorang anak dapat dinilai dari proses tumbuh kembang.
Proses tumbuh kembang merupakan hasil interaksi faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik/keturunan adalah faktor yang berhubungan dengan
gen yang berasal dari ayah dan ibu, sedangkan faktor lingkungan meliputi
lingkungan biologis, fisik, psikologis, dan sosial.
Pemantauan tumbuh kembang anak meliputi pemantauan dari aspek fisik,
psikologi, dan sosial. Pemantauan tersebut harus dilakukan secara teratur dan
berkesinambungan. Sedini mungkin pemantauan dapat dilakukan oleh orang tua.
Selain itu pemantauan juga dapat dilakukan oleh masyarakat melalui kegiatan
posyandu dan oleh guru di sekolah. Oleh karena itu, pengetahuan tentang deteksi
dini pertumbuhan dan perkembangan anak perlu dimiliki oleh orang tua, guru,
dan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana deteksi dini autis pada anak?
2. Bagaimana deteksi dini gangguan pemusatan dan hiperaktif (ADD/ADHD)
3. Bagaimana deteksi stunting pada anak?
1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui deteksi dini autis pada anak.
2. Untuk mengetahui deteksi dini gangguan pemusatan dan hiperaktif
(ADD/ADHD).
3. Untuk mengetahui deteksi stunting pada anak.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Melly Budiman, Pentingnya Penatalaksanaan Terpadu Pada Anak Penyandang Autism, Makalah
dipresentasikan pada Lokakarya Tatalaksana Perilaku dengan Metoda Applied Behavior Analysis
(Metoda Lovaas) pada Gangguan Perkembangan Anak Autisma di Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Maranatha Bandung 8 April 2000.
3
Usia ideal untuk mengintervensi dini adalah di usia 2-3 tahun, meskipun
sulit, namun tanda dan gejala autisme sebenarnya sudah bisa diamati sejak dini
bahkan sebelum usia 6 bulan. Deteksi dini autisme dapat dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut :
1. Deteksi dini sejak dalam kandungan
Deteksi dini sejak janin ada dalam kandungan dapat dilakukan
dengan pemeriksaan biomolekular pada janin bayi untuk mendeteksi
autis, namun pemeriksaan ini masih dalam batas kebutuhan untuk
penelitian.
2. Deteksi dini sejak lahir hingga usia 5 tahun
Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau
anak usia :
a. Usia 0-6 bulan ; Bayi tampak terlalu tenang (jarang
menangis, Terlalu sensitif, cepat terganggu, Gerakan tangan
berlebihan terutama ketika mandi, Tidak ditemukan senyum
sosial di atas 10 minggu dan tidak ada kontak mata diatas 3
bulan
b. Usia 6-12 bulan ; Sulit bila digendong, Menggigit tangan dan
badan orang lain secara berlebihan, Perkembangan motor
kasar/halus sering tampak normal dan tidak ada kontak mata
c. Usia 12 bulan – 2 tahun ; Kaku bila digendong, Tidak mau
permainan sederhana (ciluk ba, da da), Tidak mengeluarkan
kata, Tidak tertarik pada boneka, Memperhatikan tangannya
sendiri dan terdapat keterlambatan dalam perkembangan
motor kasar/halus
d. Usia 2-3 tahun ; Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan
anak lain, Melihat orang sebagai “benda”, Marah bila
rutinitas yang seharusnya berubah, Kotak mata terbatas dan
tertarik pada benda tertentu
e. Usia 4-5 tahun ; Sering didapatkan ekolalia (membeo),
Mengeluarkan suara yang aneh, Menyakiti diri sendiri
4
(membenturkan kepala)dan temperamen tentrum atau
agresif2
Agar dapat melakukan deteksi dini, orang tua perlu mengetahui dan
memahami apa yang menjadi penyebab autism, mengetahui bagaimana
perkembangan ikatan emosional yang normal pada anak usia di bawah tiga tahun
yang dapat diamati dari perilaku anak terhadap orang lain, dan mengetahui
gejala-gejala autism pada anak di bawah usia tiga tahun. Dengan mengetahui
penyebab autism, ibu dapat menelusuri kembali pengalaman-pengalaman ibu
pada saat hamil, melahirkan dan setelah kelahiran anak tersebut. Hal ini dalam
rangka mengetahui apakah anak beresiko tinggi terhadap autism atau tidak.
Dengan mengetahui perkembangan ikatan emosional anak terhadap orang lain,
ibu dapat memantau perkembangan anak apakah sesuai dengan yang diharapkan
atau tidak. Adapun pengetahuan mengenai gejala autism pada masa bayi (0 – 2
tahun) dan masa toddler (2 – 3 tahun) dapat digunakan ibu untuk lebih
mempertajam deteksi dini. Setelah ibu melakukan deteksi dini secara kasar dan
ternyata anak diduga mengalami autism, ibu dapat membawa anak ke
psikiater/dokter anak agar anak mendapatkan pemeriksaan yang lengkap dan
cermat. Setelah diketahui bahwa ternyata anak mengalami autism,
psikiater/dokter anak mungkin akan merujuk ke psikolog dan ahli terapi guna
dapat menyusun program intervensi dini yang sesuai untuk anak yang
bersangkutan secara terpadu.
Sepuluh hingga dua puluh tahun yang lalu, penyebab autism merupakan
suatu misteri. Pada saat ini, dimana telah berkembang teknologi kedokteran yang
canggih, penyebab autism mulai dapat diungkap sedikit demi sedikit. Dalam
makalahnya Melly Budiman (2000 : 6) menyatakan bahwa hasil otopsi pada
penyandang autism yang meninggal menunjukkan bahwa memang ada kelainan
neurologis pada Susunan Saraf Pusat (SSP). Kelainan neurologi pada SSP ini
berupa pertumbuhan sel otak yang tidak sempurna pada beberapa bagian otak,
2
Noviza Neni, Program Penata Laksanaan Perilaku Hiperaktif Pada Anak Autistik, Tesis Bandung :
UPI, 2005
5
seperti pada cerebellum (otak kecil), cortex bagian parietal, temporal dan frontal
juga pada sistem limbik (pusat emosi). Gangguan pada pertumbuhan sel otak ini
terjadi selama masa kehamilan, terutama pada kehamilan muda dimana sel-sel
otak sedang dibentuk. Gangguan pertumbuhan sel otak ini disebabkan oleh
karena pada saat hamil muda (tiga bulan pertama) ibu terinfeksi virus
(toksoplasma, rubella, herpes) dan jamur (candida). Dapat juga ibu mengalami
pendarahan saat hamil muda sehingga mengakibatkan suplai oksigen ke janin
berkurang dan keadaan ini menyebabkan otak kekurangan oksigen. Dapat juga
ibu secara sengaja atau tidak sengaja menghirup atau memakan zat-zat beracun.
Faktor genetik berupa mutasi gen yang menyebabkan tidak adanya enzim
tertentu juga memegang peran yang penting dalam timbulnya autism. Tidak
adanya enzim tertentu tersebut menyebabkan ada zat makanan tertentu yang sulit
dicerna. Zat makanan ini adalah protein dari susu sapi (casein) dan tepung terigu
(glutten) atau oat (havermut). Serpihan yang tidak dicerna dengan sempurna,
yaitu peptida seharusnya dibuang melalui urine. Namun pada penyandang
autism sebagian besar peptida ini diserap kembali melalui usus, masuk aliran
darah, menembus dinding pemisah otak dan masuk ke jaringan otak. Di otak
peptida disergap oleh reseptor opioid dan berubah menjadi morphin, yaitu
casamorphin dan gluteomorphin. Fungsi otak menjadi kacau dan yang terkena
adalah fungsi kognitif, bahasa reseptif, atensi dan perilaku. Hal ini memperburuk
gejala yang sudah ada. Infeksi atau luka otak yang terjadi setelah anak dilahirkan
juga dapat menyebabkan autism. Infeksi yang dimaksud adalah infeksi akibat
penyakit meningitis atau karena pendarahan otak yang sangat parah.
6
ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau
dalam Bahasa Indonesia disebut Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas (GPPH). Ini tidak berarti anak penyandang gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) mendapat perhatian yang kurang dari orang
tua atau gurunya. Kita membicarakan attention deficit (kekurangan pemusatan
perhatian) karena anak-anak ini mengalami kesulitan untuk melakukan
pemusatan perhatian terhadap tugas- tugas yang diberikan kepada mereka.
Sekalipun mempunyai motivasi yang baik, namun mereka sangat sulit untuk
mengerjakannya, dan kalaupun mengerjakannya maka mereka menghabiskan
banyak tenaga bila dibandingkan dengan anak-anak lainnya . 3
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah gangguan
neurobehaviour pada anak, yang ditandai dengan adanya gejala berkurangnya
perhatian dan atau aktivitas atau impulsivitas yang berlebihan. Kedua ciri
tersebut merupakan syarat mutlak untuk diagnosis dan harusnya nyata pada lebih
dari satu situasi .
Tujuan dari deteksi dini adalah untuk mengetahui secara dini anak adanya
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) pada anak umur 36
bulan ke atas. Jadwal deteksi dini GPPH pada anak prasekolah dilakukan atas
indikasi atau bila ada keluhan dari orang tua/pengasuh anak atau ada kecurigaan
tenaga kesehatan, kader kesehatan, pengelola TPA dan guru TK. Keluhan
tersebut dapat berupa salah satu atau lebih keadaan berikut: a) Anak tidak bisa
duduk tenang, b) Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah,
dan c) Perubahan suasana hati yang mendadak/impulsif Alat yang digunakan
untuk deteksi dini adalah formulir deteksi dini Gangguan Pemusatan Perhatian
dan Hiperaktivitas/GPPH (Abbreviated Conners Rating Scale). Formulir ini
terdiri 10 pertanyaan yang ditanyakan kepada orang tua/pengasuh anak/guru TK
dan pertanyaan yang perlu pengamatan pemeriksa. Cara menggunakan formulir
deteksi dini GPPH sebagai berikut:
3
Ika Tristanti, dkk, Kejadian Gangguan Pemusatan Perhatian Dan Hiperaktivitas (GPPH) Pada
Anak Pra Sekolah di RSUD DR Loekmonohadi Kudus, Volume 4 No 1, Jurnal Kebidanan, , 2020,
hlm 24
7
1. Ajukan pertanyaan dengan lambat, jelas, dan nyaring, satu persatu perilaku
yang tertulis pada formulir deteksi dini GPPH. Jelaskan kepada
orangtua/pengasuh anak untuk tidak ragu-ragu atau takut menjawab.
2. Lakukan pengamatan kemampuan anak sesuai dengan pertanyaan pada
formulir deteksi dini GPPH
3. Keadaan yang ditanyakan/diamati ada pada anak di manapun anak berada,
misal ketika di rumah, sekolah, pasar, toko, setiap saat dan ketika anak
dengan siapa saja.
4. Catat jawaban dan hasil pengamatan perilaku anak selama dilakukan4
4
Ibid, hlm 26
8
4. Tumbuh kembang pada balita dan anak prasekolah oleh tenaga (Kemenkes
RI., 2016).5
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) atau dalam
istilah kedokteran lebih dikenal dengan singkatan ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder) adalah salah satu masalah psikiatri utama yang sering
ditemukan pada anak.
1. Gangguan ini dapat dijumpai dalam kehidupan sehari – hari, baik pada anak
usia prasekolah, remaja, bahkan dewasa dapat mengalami gangguan ini.
Sebagian besar masyarakat, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan
klinik, masih belum mengenali adanya gangguan ini. Mereka bahkan
menganggap gangguan ini sebagai atensi yang kurang baik yang tidak dapat
diterima oleh lingkungannya. GPPH ini menjadi salah satu alasan terbesar
orang tua untuk membawa anaknya berkonsultasi dengan psikiater.
Mayoritas dari para orang tua tersebut mengeluhkan anaknya nakal, tidak
mau belajar, tidak bisa diam, cepat beralih perhatian, baik di rumah maupun
di sekolah.
Anak dengan GPPH menunjukkan beberapa gejala utama, seperti
aktivitas yang berlebihan, tidak bisa diam, senantiasa bergerak, tidak dapat
memusatkan perhatian, dan impulsif. Gangguan ini merupakan gangguan
biologis pada otak yang berlangsung secara kronis sehingga mengakibatkan
terganggunya fungsi kognitif. Manifestasi yang sering timbul akibat
terganggunya fungsi kognitif ini diantaranya adalah menurunnya derajat
intelegensi anak, menurunnya prestasi belajar, pengamatan waktu yang
kurang baik, menurunnya daya ingat, baik verbal maupun non-verbal,
kurang mampu membuat perencanaan, kurang peka terhadap kesalahan, dan
kurang mampu mengarahkan perilaku yang bertujuan. Kelemahan dalam
bidang akademik yang sering timbul diantaranya adalah kesulitan membaca,
mengeja, berhitung, serta menulis. Gangguan ini juga dapat menimbulkan
masalah dalam perkembangan kemampuan berbahasa. Selain itu anak –
5
Ibid, hlm 27
9
anak dengan gangguan ini juga kesulitan untuk mengendalikan emosi
dibandingkan anak normal, mudah mengalami frustasi, dan mudah marah.
Pada umumnya perilaku yang timbul adalah gejala klinis dari GPPH,
yakni tidak mampu memusatkan perhatian dan/atau hiperaktivitas atau
impulsivitas. Dua gejala tersebut dapat dinilai pada aktivitas anak sehari –
hari, baik di rumah maupun di sekolah. Gejala tidak mampu memusatkan
perhatian dapat dinilai berdasarkan perilaku anak dalam menyelesaikan
tugas, misalnya perhatian anak mudah teralihkan pada beberapa hal, tidak
mampu memfokuskan perhatian pada hal – hal kecil, sering membutuhkan
pertolongan, membutuhkan waktu yang lama untuk mengerjakan tugas atau
mengerjakan hal – hal sederhana, dan sering lalai. Gejala
hiperaktivitas/impulsivitas dapat dinilai berdasarkan perilaku seperti tidak
bisa duduk tenang, aktivitas yang berlebihan seolah – olah memiliki energi
yang berlebihan pula, berlarian kesana kemari, senang memanjat, bicara
cepat dan berlebihan, sering menyerobot antrian, dan terlalu cepat
menjawab pertanyaan bahkan sebelum pertanyaan yang diberikan
kepadanya selesai ditanyakan.
Jika gangguan ini tidak mendapatkan intervensi sejak dini maka
dapat menimbulkan masalah psikososial yang lebih buruk, misalnya
kesulitan belajar akan berakibat buruk pada prestasi akademik,
penyalahgunaan narkotika,alkohol, dan zat adiktif lain, gangguan tingkah
laku seperti kenakalan, kekerasan, dan perbuatan kriminal, kesulitan
penyesuaian diri, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat, serta
dapat menimbulkan masalah dalam keluarga. Gangguan ini juga dapat
berlanjut ketika dewasa yang dapat menimbulkan masalah dalam
penyesuaian diri di lingkungan bekerja ataupun kehidupan berumah tangga.
Masalah – masalah psikososial yang akan timbul tersebut juga akan
menghambat upaya pembinaan sumber daya manusia di Indonesia.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder,
Edisi ke-4, awitan terjadinya GPPH ini di bawah usia 7 tahun. Gejala mulai
timbul sejak usia dini dengan usia awitan rata – rata 3 – 4 tahun.
10
2. Gangguan ini dijumpai 2 – 4 kali lebih besar pada anak laki – laki
dibandingkan anak perempuan. Angka prevalensi GPPH ini bervariasi
tergantung dari instrumen skrining, kriteria diagnosis, serta karakteristik
populasi yang diteliti. Di Indonesia, cara untuk mendiagnosis gangguan ini
didasarkan pada kriteria diagnosis menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III atau Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders Edisi IV. Sesuai dengan kriteria DSM IV,
prevalensi penderita gangguan ini pada anak usia sekolah sebesar 15,8% di
antara 3006 anak berusia 3 – 18 tahun.
Pineda (2001) melaporkan prevalensi gangguan ini terhadap 540
anak berusia 4 – 17 tahun di Columbia sebesar 18,2% untuk anak usia
prasekolah, 22,5% untuk anak usia 6 – 11 tahun, dan 7,3% untuk anak usia
12 – 17 tahun. Meskipun banyak penelitian melaporkan angka prevalensi
yang berbeda – beda tetapi secara kasar prevalensi untuk gangguan ini
adalah sekitar 2% - 5%.6
6
Dita Eka Novriana dkk, Prevalensi Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas Pada Siswa
dan Siswi Sekolah dasar Negeri Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2013, Volume 3
Nomor 2, Jurnal Kesehatan, 2014, hlm 141-143
11
3. Faktor yang utama adalah kecukupan asupan makan dan keadaan kesehatan
anak.
Stunting tidak hanya terkait gangguan proses tumbuh kembang saat masa
anak-anak melainkan berdampak pula pada masa selanjutnya. Secara
longitudinal berbagai permasalahan muncul akibat stunting, yakni (Grantham-
McGregor et al., 2007).
1. Masyarakat khususnya remaja, ibu hamil, ibu menyusui, anak di bawah usia
dua tahun.
12
2. Kader- kader di masyarakat.
3. Perguruan tinggi.
4. Pemerintah dan pemerintah daerah.
5. Media massa.
6. Dunia usaha.
7. Lembaga swadaya masyarakat dan mitra pembangunan internasional.
7
Reni Pawestuti Ambari Sumanto, Edukasi Deteksi Dini Stunting Bagi Bunda PAUD Di Gugus Durian
Kota Semarang, Volume 5 Nomor 1, Jurnal Karya Abadi, 2021, Hlm 189-193
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Deteksi dini anak autisme merupakan suatu hal yang sangat penting. Dengan
dilakukannya deteksi dini, maka dapat dilihat kenyataan yang ada dan dapat
segera dilakukan intervensi atau penanganan yang benar. Agar dapat melakukan
deteksi dini, orang tua perlu mengetahui dan memahami apa yang menjadi
penyebab autism, mengetahui bagaimana perkembangan ikatan emosional yang
normal pada anak usia di bawah tiga tahun yang dapat diamati dari perilaku anak
terhadap orang lain, dan mengetahui gejala-gejala autism pada anak di bawah
usia tiga tahun.
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) atau dalam
istilah kedokteran lebih dikenal dengan singkatan ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder) adalah salah satu masalah psikiatri utama yang sering
ditemukan pada anak. Gangguan ini dapat dijumpai dalam kehidupan sehari –
hari, baik pada anak usia prasekolah, remaja, bahkan dewasa dapat mengalami
gangguan ini.
Kejadian balita pendek atau stunting merupakan salah satu masalah gizi yang
dialami oleh balita di seluruh Negara. Berbagai penelitian mengungkap faktor
risiko stunting pada balita. Asupan gizi yang optimal untuk pencegahan stunting
dapat dilakukan dengan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi yang
didasari oleh komitmen negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia agar sehat, cerdas dan produktif, yang merupakan aset sangat berharga
bagi bangsa dan negara Indonesia.
14
DAFTAR PUSTAKA
15