NIM : 042391183
Birokrasi di Indonesia ketika persepsi yang muncul adalah suatu sistem pelayanan dan
administrasi pemerintahan yang terkesan aneh, berbelit-belit dan lamban. Birokrasi merupakan
penyakit menahun di tanah air yang sulit di ubah. Namun setelah reformasi politik sekitar tahun
1998 terjadi, maka banyak upaya dan program-program pembangunan dan pengembangan
kelembagaan yang juga direformasi menuju sistem yang lebih demokratis. Birokrasi, dunia usaha
dan masyarakat adalah tiga pilar utama dalam upaya mewujudkan pelaksanaan pemerintah yang
baik dikenal dengan konsep “good governance”. Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki
kedudukan dan cara kerja yang terkait dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan atau
wewenang, semangat pelayanan publik, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu
serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Jika kondisi ini
terpenuhi maka harapan mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara yang demokratis akan membawa
kebaikan bagi Negara dan bangsa ini.
Karena itu birokrasi harus bisa dipahami, melalui peran dan kemampuannya, menunjang
pelaksanaan sistem pemerintahan, baik dalam merespon berbagai permasalahan maupun dalam
memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Inti salah satu kondisi birokrasi yang profesional
adalah memberikan pelayanan tehadap masyarakat (public service), sehingga cita-cita, inisiatif dan
upaya-upaya birokrasi perlu diarahkan guna memiliki wawasan pelayanan publik. Birokrasi hadir
sebagai kreasi dari penguasa untuk memberikan pelayanan kepada penguasa, dengan tujuan untuk
memperluas dan memperbesar serta mempertahankan kekuasaan. Dengan reformasi birokrasi
yang dilakukan, konsep pelayanan pun dilakukan perubahan, dari orientasi pelayanan penguasa
sampai saatnya menuju orientasi pelayanan publik.
Rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada
birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan
publik di era-reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun dalam perjalanannya,
ternyata tidak mengalami perubahan yang siknifikan. Berbagai tanggapan masyarakat justru
cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis pelayanan publik mengalami kemunduran yang
sebagian di tandai dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan
prosedur pelayanan yang berbelit-belit dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan
pelayanan juga merupakan aspek layanan publik yang banyak disoroti. Dalam bidang pelayanan
publik, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik untuk
mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan. birokrasi pemerintah dalam
memberikan pelayanan kepada masarakat
Namun upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut terkait dengan
pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, tidak
merespon kepentingan pelanggan, dan lan-lain adalah sederetan hal negative yang ditimpakkan
kepada birokrasi.
Pelayanan publik seringkali menjadi ukuran paling mudah dipahami sejak mana kinerja
pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Pelayanan publik adalah salah satu fungsi
penting pemerintah selain regulasi, proteksi dan distribusi. Pelayanan publik merupakan proses
sekaligus output yang menunjukkan bagaimana fungsi pemerintah dijalankan. Ketidakpuasan
terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari keengganan masayarakat berhubungan dengan
birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan keinginan sejauh mungkin untuk
menghindari dan bersentuhan dengan birokrasi pemerintah apabila menghadapi urusan.
Fenomena “high cost” ketika berhubungan dengan biokrasi pemerintah menjadi suatu keniscayaan
yang tepaksa diterima. Kondisi-kondisi seperti ini sebagian besar ditemui pada keseluruhan level
organisasi publik yang memberikan pelayanan. Kondisi ini menandakan ketidakpuasan terhadap
kinerja pemeintah dalam menyelenggarakan pelayanan terhadap publik dinilai masih jauh dari
optimal. Pemahaman terhadap fakta lemahnya birokrasi dilihat sejauhmana kemampuan
mengaktulisasikan fungsi-fungsi pemerintah, yang berujung pada sejauh mana pelayanan
publickdapat dijalankan. Artinya, sejauhmana pemerintah mampu dan dapat berperilaku
transparan, akuntabel, dan demokratis akan berdampak pada sejauh mana pelayanan publik yang
akan dan sudah dilakukan.
Untuk menuju pada terwujudnya birokrasi yang berwawasan atau beriorentasi pada pelayanan
publik, beberapa kriteria harus dipenuhi seperti berikut. (Mohammad,2003 dalam bapenas, 2004):
1. Lebih memfokuskan dari pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang
memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarkat mempunyai
rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun
bersama.
3. Menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga
masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil
(outcome) sesuai dengan masukan yang digunakan.
5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
6. Pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk memperolah pendapat dari masyarakat
dari pelayanan yang dilaksankan.
7. Lebih mengutakaman antisipasi terhadap permasalahan pelayanan.
8. Lebi mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.
9. Menerapkan sistem pasar dalam membrikan pelayanan.
Sedangkan menurut Pemenpan No.36 Tahun 2012 pengertian pelayanan publik sebagai “kegiatan
atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administrative yang disediakan oleh penyelenggaraan pelayanan publik”.
a) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi korporasi/ swasta. Ini adalah
semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, misalnya
rumah sakit swasta, sekolah dan Perguruan Tinggi Swasta, perusahaan perumahan swasta
dll.
b) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemrintah dan bersifat primer. Ini merupakan
semua penyedia barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di
dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan masyarakat mau tidak
mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan
penjara, dan pelayanan perizinan.
c) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat sekunder. Ini adalah
segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi
yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus menggunakannya karena adanya beberapa
penyelenggara pelayanan, misalnya program asuransi kerja, program pendidikan, dan
pelayanan yang diberikan oleh BUMN. Prinsip dalam pelayanan publik yang harus terus
ditaati adalah responsive terhadap permohonan, transparan dari segi persyaratan, proses,
waktu dan biaya. Dan, akuntabel atas dana yang dihimpun dalam prosesnya.
Ada beberapa tantangan yang ditenggarai mempengaruhi persepsi masyarakat yang miring tentang
pelayanan publik, yaitu:
1. Kurangnya pemahaman mengenai UU No.25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik dan
Permenpan No.36 Than 2012 tentang petunjuk teknis penyusunan, penetapan dan
penerapan standar pelayanan,
2. Komitmen pimpinan,
3. Standar Pelayanan Publik belum ada,
4. Sumber daya manusia,
5. Kemauan dan itikad pelaksana,
6. Koordinasi internal,
7. Sarana dan prasarana.
Memang solusi permasalahan ini tidak semudah dalam teori dan tidak semudah membalikan
telapak tangan. Tak dapat dipungkiri selama ini sudah banyak waktu, tenaga, pikiran dan upaya
yang dilakukan oleh penyedia layanan. Kenyataannya masih tetap diperlukan upaya keras dan
gerakan yang masif untuk mengatasi tantangan-tantangan diatas.
Untuk tantangan komitmen pimpinan, kapasitas SDM (rotasi, pemecatan), kemauan dan itikad
pelaksana dapat diupayakan melalui rekrutmen awal, lingkungan kerja yang penuh nilai-nilai
moral dan kekuatan komitmen serta teladan dari pimpinan tertinggi.
Guna dari standar pelayanan publik harus dijadikan tolok ukur pedoman penyelenggaraan
pelayanan dan acuan penilaian pelayanan publik, karena pelayanan yang mudah, terjangkau, cepat
dan terukur adalah yang diperlukan. Mengenai tantangan tentang belum adanya standar pelayanan
publik, perlu dibuat standar pelayanan publik yang mencakup, sistem, mekanisme dan prosedur,
dalam UU sudah diatur tentang itu, yang cukup penting, penyusunan standar amanatnya harus
melibatkan masyarakat.
Peran lembaga pengawasan yang telah dibentuk juga harus dimaksimalkan dengan segenap
kekuatan. Sarana dan prasarana merupakan kendala yang paling mudah diatasi di antara semua
tantangan. Kuncinya hanya menyediakan kebutuhan pendukung berupa sarana dan prasarana yang
berfungsi, layak dan terawat.
Akhirnya peran masyarakat baik dunia usaha, media, DPR dan DPRD harus terus bersuara keras.
Kita semua harus tegas, tidak boleh berhenti atau menghilang ditelan waktu demi untuk mengatasi
tantangan-tantangan dan mendorong perbaikan peningkatan pelayanan publik.
Kompetensi yang harus dimiki pimpinan sebagai manajer pelayanan publik
Kompetensi berasal dari bahasa Inggris “competence” yang berarti kecakapan, kemampuan.
Competency berarti cakap, mampu (Echols dan Shadily, 1993: 132). Kompetensi memanage
berarti kemampuan pimpinan dalam mengelola, mengatur dari merencanakan, mengkoordinasi,
mengaktualisasikan dan mengawasi organisasi publik. Kompetensi bagi pimpinan publik ini
dimaksudkan supaya organisasi publik dapat memecahkan masalah seperti pemborosan anggaran,
arogansi, minta dilayani, senang mengatur, tidak rasional, mental dapur, dan otoriter. Adapun
kompetensi yang harus dimiliki pimpinan publik adalah minimal tujuh kompetensi, yaitu:
1) Tidak merasa puas dengan pengetahuan yang dimiliki, kedua, kemampuan untuk mencari
dan menemukan hal-hal baru. (Solikhin, 2017) ini merupakan cermin dari pimpinan yang
ingin tumbuh dan berkembang, kemampuan analisis yang dimaksudkan disini adalah cara
dan kemampuan berfikir yang Integralistik, Strategik dan berorientasi pada pemecahan
masalah. Persoalannya sekarang adalah bagaiman menerapkan kompetensi memanage diri
sendiri dalam organisasi publik. Minimal ada empat strategi yang harus dilakukan,
pertama, seorang pimpinan publik harus berfikir dan bertindak generalis. Artinya pimpinan
organisasi publik dituntuk memiliki kemampuan untuk melihat dan memberlakukan
seluruh pegawai dan rakyat yang plural dengan persepsi dan pendekatan holistic, bukan
dengan persepsi dan pendekatan inkrementalistik apalagi atomistic. (Saraswati & Sholikin,
n.d.) Untuk memahami mengenai pendekatan holistic ini, pimpinan publik dituntut untuk
mencari pengetahuan yang luas yakni pemahaman berbagai disiplin ilmu yang ada sangkut
pautnya dengan tujuan, strategi, rencana dan kegiatan organisasi publik yang dipimpinnya.
Bukankah latar belakang pendidikan dan pengalaman seorang pegawai cenderung
terspesialisasi. Siagian (1999: 76-77) dengan tegas mengatakan pengetahuan yang
spesialistik itu hanya akan menjadi penghalang bagi efektivitas pimpinan publik, apabila
pengetahuan tersebut berakibat pada pemberin perhatian yang tidak proporsional. Dengan
kata lain pimpinan publik harus mengenali hutan dimana dia berada, bukan mengenali
pohon yang di sukainya yang ada dalam hutan itu. Misalnya seorang bupati yang berpikiran
generalis akan melihat pegawai dan rakyat serta secara keseluruhan, bukan hanya pegawai
dan rakyat yang mendukung dia untuk menjadi bupati.
2) Terus belajar. Belajar dari pengalaman-pengalaman sendiri, pengalaman-pengalaman
orang lain maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan
tujuan dan strategi organisasi publik yang dipimpinnya. Mengenai kemampuan belajar dan
pengalaman, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman dari orang lain, memiliki dua
makna yang sangat penting.
a. Dengan berusaha mengenali faktor-faktor penyebab keberhasilan, termasuk cara-cara
dalam pemecahan masalah, menghilangkan ancaman dan gangguan. Pimpinan publik yang
memiliki kompetensi diri sendiri adalah pimpinan yang memiliki pengetahuan luas,
inkuisitif, kemampuan analisis yang mendalam, daya kognitiif dan penalaran di atas rata-
rata. Sebuah aksioma yang diterima secara umum oleh teoritisi dan praktisi adalah
semangkin tinggi kedudukan dalam hierarki organisasi, ia dituntut untuk mampu berfikir.
Kemampuan berfikir ini tidaklah dapat dimiliki pimpinan tanpa adanya pengetahuan yang
luas terutama terkait dengan disiplin pengetahuan tentang pencapaian tujuan organisasi.
(Saraswati & Sholikin,n.d) menghilangkan rintangan dan tetap memperhatikan dalam
situasi dan kondisi yang bagaimana cara-cara efektif.
b. Mengenali secara tepat faktor-faktor yang menghambat yang mengakibatkan
keberhasilan bahkan kegagalan di masa lalu. Ini dimksudkan faktor penghalang dapat
dieliminasi atau paling tidak diminimalisasi.
3) Mengedepankan cara berfikir yang integralistik, strategic dan berorientasi pada pemecahan
masalah. Dalam hal ini pimpinan publik harus menumbuhkan dan memperlakukan dinas
yang dipimpinnya sebagai satuan bulat meskipun di dalamnya terdapat satuan kerja yang
menyelenggarakan berbagai kegiatan dengan aneka ragam spesialisasi. Untuk itu
pendekatan holistic adalah jalan keluar untuk memungkinkan interaksi dan interalasi antara
satuan kerja yang dapat ditumbuhkan dan dipelihara sehingga menghasilkan hubungan
yang sifatnya simbiosis mutualis. (Solikhin 2017) cara berfikir strategic adalah pimpinan
publik harus mampu menganalisis mana prioritas program yang utama, mendesak, penting,
mana program yang harus dikerjakan sendiri, mana yang harus dikerjakan orang lain dan
menganalisis dampak-dampak alasannya secara mendalam.
Cara berfikir yang berorientasi pada pemecahan masalah jelas menuntut publik memiliki
kemampuan analitik, mulai dari identifikasi masalah, pengumpulan dan penelaahan
informasi yang diperlukan, alterrnatif pemecahan masalah yang mungkin ditempuh,
penentuan pilihan pemecahan sehingga implementasinya benar-benar membawa kepada
pemecahan yang tuntas dan akuntabel.
Empat
pimpinan publik harus sepenuhnya memusatkan kepada organisasi publik yang dipimpinnya.
ini dimaksudkan disamping optimalisasi kerja pimpinan, apabila pimpinan publik tidak
terfokus pada dinas yang dipimpinnya, akan berakibat pada daya kognitif penalaran yang
lemah. dari banyak literatur yang ada, terutama pimpinan publik, tidaklah harus seorang yang
jenius tetapi yang penting ada daya intelektualnya. salah satu daya intelektual ini adalah daya
ingat yang kuat. daya ingat bisa kuat apabila pimpinan hanya terpaku pada satu pusat perhatian.
menurut sejak (19 90: 77) Komunikasi diartikan sebagai transfer informasi beserta
pemahamannya dari suatu pihak ke pihak yang lainnya melalui alat-alat berupa simbol yang
penuh arti. ini berarti suatu komunikasi merupakan media tukar-menukar ide, sikap, nilai-nilai
opini opini dan fakta. kompetensi memanage komunikasi berarti kemampuan seorang
pimpinan publik dalam menyampaikan ide, sikap, nilai-nilai kepada pegawainya. peran
kompetensi komunikasi tidak boleh dianggap kecil karena paling tidak memiliki makna:
. a. sebagai motivasi para pegawai untuk bekerja secara tekun dan giat
d. sebagai pengendalian perilaku pegawai untuk itu, perilaku yang harus dilakukan pimpinan
publik dalam memanage komunikasi adalah sebagai berikut:
pertama
hakekat komunikasi adalah mengalihkan suatu pesan dari satu ke pihak lain. agar Pesan yang
disampaikan pimpinan publik tidak mengalami distorsi maka diperlukan kode nisasi (
Sholikin & abdul gaffar karin, 2015) Kode nisasi berarti menerjemahkan pesan yang hendak
disampaikan dalam bentuk tertentu. untung itu pimpinan publik harus memiliki keterampilan
dan menyusun pesan sehingga jelas bagi aparatur Pemerintah dan memudahkan kegiatan
pemerintahan. Mc Gregor Menyebutkan komunikasi juga dapat diimplementasikan melalui
reward atas tugas tertentu karena teori X mengharuskan pemimpin menciptakan kontrol atas
bawahan yang dianggap lalai mengerjakan tugas yang dibebankan.
kedua
pimpinan publik Harus Memiliki sikap yang tepat dalam menyampaikan pesan dan
pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang, tingkat pendidikan dan kedudukan
aparatur Pemerintah baik dalam organisasi publik maupun di luar.
ketiga
ke-4
pimpinan publik harus mengatur media informasi yang dibutuhkan pegawai dan ke-5
mendorong timbulnya feedback
kemajemukan dalam sebuah organisasi publik adalah merupakan hal yang wajar yang tidak
wajar adalah mereka tidak diperlakukan sama oleh pimpinan publik. maka dalam hal ini
strategi yang mungkin bisa diterapkan pimpinan organisasi publik adalah:
pertama
pimpinan publik harus mampu sebagai koordinator dan integrator dari berbagai komponen
organisasi, sehingga dapat bergerak sebagai sebuah totalitas. (solihkin, 2016) oleh karena
itu, pendekatan yang harus dipakai adalah pendekatan holistik dan integralistik karena
pimpinan publik mau tidak mau harus menyusun organisasi sedemikian rupa sehingga
menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang harus dilaksanakan demi
tercapainya tujuan organisasi.
etika secara sederhana dapat dipahami sebagai scince of morality atau sesuatu yang
mendeskripsikan baik (setiyono,2005). dalam organisasi privat lebih-lebih organisasi sektor
publik mutlak diperlukan karena
C. ketiadaan etika dapat menyebabkan weekend support for government, distruisted public
offici als, reduced civic engangement ( MC Carthy dalam Setiyono, 2005) Melihat hal ini,
kemampuan seorang publik dalam memanage etika adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan
karena dengan etika keadilan yang merupakan salah satu tujuan organisasi mungkin dapat
diperlihatkan kepada publik. untuk itu, ada beberapa langkah yang harus dimiliki pimpinan di
sektor publik dalam memanage etika ini.
pertama,
Pimpinan publik harus mengembangkan sistem yang terbuka ( transparan).
(Sholikin,2018a) keterbukaan merupakan kata yang mudah untuk diucapkan, tetapi sampai
saat ini hampir semua pimpinan publik masih enggan bahwa isi dapurnya diobok-obok oleh
pegawainya, apalagi rakyat. tetapi apabila pimpinan publik tidak transparan, yang terjadi
justru tingkat kepercayaan rakyat akan menurun dan itu merugikan pemerintah.
kedua
pimpinan publik harus mengedepankan pelayanan sebagai Fokus utama dalam sektor publik.
harus dipahami bahwa sektor publik tidaklah semata-mata mengejar keuntungan seperti
sektor privat, tetapi lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan Titik maka dari itu sikap
yang seringkali cenderung mengatur dan memerintah hendaknya segera dieliminasi. Selain itu
yang harus dipahami pimpinan organisasi publik sekarang ini masyarakat sudah mulai sadar
dan mengerti bahwa mereka menghendaki sikap egalitarianisme, rasional dan demokrasi
(setiyono,2004: 170).
ketiga
pimpinan publik harus akuntabel. Akuntabilitas pimpinan publik tidak boleh hanya ada atasan
(accountability up wards), juga pada staf (accountability staff) lebih diarahkan pada
accountability down wards yaitu akuntabilitas as yang diarahkan dengan proses konsultatif
dan kerjasama antara Wakil Rakyat dengan masyarakat di tingkat lokal. terkait dengan ini
pimpinan harus mampu memperluas aternatif penyediaan pelayanan publik serta menunjang
informasi atau menetapkan standar yang dapat menjamin adanya akuntabilitas yang baik
dalam pelayanan publik. juga konsep salf accountability yang merupakan proses
akuntabilitas internal yang sangat tergantung pada penghayatan mengenai nilai-nilai moral
atau etika pimpinan publik dalam melaksanakan tugas pelayanan publik. menurut denhardt(
1998:18) akuntabilitas ini harus lebih diarahkan pada pentingnya kualitas subjektif , Rasa
tanggung jawab dan pentingnya kontrol struktural.
keempat.
Pemimpin publik harus lebih responsif. untuk itu menurut Haylan dalam Komorotomo
(2005:8) pemimpin publik harus membuka lebar partisipasi masyarakat dan konsultasi
publik, debat publik, mentolerir dan memfasilitasi lembaga-lembaga advokasi, sering
mengadakan pertemuan pertemuan yang bersifat publik dan mempelopori kebebasan
berpendapat.
kelima
tegas. Apabila ada pejabat yang melanggar aturan dan kode etik yang telah ditetapkan, sikap
eweh pekeweh sungkanisme, Hendaknya dieliminasi. pimpinan harus tegas dalam
merumuskan sesuatu dan mengambil tindakan yang bersifat punitif setelah dipahami secara
seksama membahayakan kehidupan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.
langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pimpinan publik minimal dua hal yaitu:
1. menjaga kohesi antara anggota yang satu dengan yang lain. atau mungkin menjaga
kohesi antara masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang
lain, ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konflik baik pada pejabat
bawahan juga masyarakat yang sangat peternalistik.
2. sebagai mediator. Dalam kehidupan organisasi situasi konflik akan selalu ada untuk
itu pimpinan publik harus mampu sebagai mediator. ( Saraswati &
Sholikin,n.d) sebagai mediator pemimpin publik harus memiliki keyakinan berbagai
kepentingan dalam organisasi meskipun sukar pasti bisa di pertemukan. ini mutlak
diperlukan demi kekompakan tim. Karena kalau dibiarkan berlarut-larut tujuan
organisasi akan terhambat.
sudah menjadi hukum alam, bahwa manusia diciptakan tidak sama. maka pluralisme budaya
dalam sebuah organisasi adalah sebuah kenyataan. untuk itu, strategi yang harus dilakukan
pemimpin organisasi publik adalah sebagai berikut:
1. perbedaan budaya harus dilihat sebagai sebuah kekayaan yang harus dikembangkan
bukan sebagai suatu ancaman. karena setiap budaya pasti memiliki nilai-nilai positif.
nilai-nilai positif inilah yang akan dijadikan input dalam Memajukan organisasi.
2. sebagai integrator sikap mementingkan kelompok dan satuan kerja seringkali mudah
timbul dalam organisasi. ini mungkin disebabkan karena Dalam organisasi tersebut
menuntut adanya spesialisasi yang berlebihan sistem alokasi dana dan daya yang
kurang atau tidak rasional dan kurangnya pendekatan pada kesisteman. keadaan ini
seringkali biasanya terkait suasana kompetisi di kalangan Kelompok kerja yang ada
ada yang diupayakan agar satuan kerja sendiri di perlukan satuan kerja strategic. jika
pimpinan publik membiarkan persepsi yang demikian berkembang, dapat dipastikan
bahwa satuan anggota kerja yang bersangkutan akan berjuang supaya satuan kerja
sendiri memperoleh alokasi dana, sarana dan prasarana dan tenaga yang lebih besar
dibandingkan dengan satuan kerja yang lain. upaya yang demikian konsekuensinya
akan melahirkan cara berpikir dan bertindak yang terkotak-kotak. Oleh karena itu
pimpinan publik yang efektif tentunya tidak akan membiarkan cara berpikir dan
bertindak yang demikian karena organisasi publik yang diterapkan mampu
meningkatkan kualitas pelayanan hanyalah yang bergerak sebagai suatu totalitas.
Meskipun tidak bisa disangkal suatu organisasi pemerintahan modern disusun dalam
suatu struktur yang menggambarkan fungsi, tugas dan kegiatan yang beraneka ragam.
keragaman itu menghilangkan perlunya interaksi, interelasi dan interdependensi yang
didasarkan pada prinsip simbiosis mutualisme ini artinya tidak ada organisasi publik
yang tujuan dan sasarannya bersifat mutually eksklusif.
Perubahan dalam segala bidang kehidupan, termasuk sektor publik adalah sebuah
keniscayaan. untuk itu sikap yang harus diaplikasikan oleh pimpinan publik dalam memanage
Perubahan ini adalah:
pertama
pimpinan publik harus mempunyai sikap adaptabilitas yang tinggi, sikap adaptif mungkin
bisa diwujudkan dalam beberapa contoh
3. dalam berkomunikasi dengan orang lain gaya, teknik dan bahasa yang digunakan
disesuaikan dengan tingkat pengetahuan, kedewasaan dan kondisi pihak dengan siapa
pimpinan publik berkomunikasi.
kedua
pimpinan publik harus fleksibel. sikap fleksibel yang berarti mampu melakukan perubahan
dalam cara berpikir, cara bertindak, sikap dan perilaku agar sesuai dengan tuntutan dan
situasi serta kondisi tertentu yang dihadapi tanpa mengorbankan prinsip yang dianut oleh
organisasi publik. karena itu, fleksibilitas hendaknya tidak Diidentikkan dengan tidak ada
pendirian, sifat bunglon dan sifat yang sejenis yang seringkali dinilai negatif. agar pemimpin
publik terhindar dari sikap yang kaku maka hendaknya organisasi publik sebagai mana
gagasan Osborne dan gaebler (1996:21-27) harus digerakkan oleh misi bukan peraturan.
pemerintahan yang digerakkan oleh misi jauh lebih memperhatikan kepentingan pelaksanaan
misi yang dikembangkannya dari pada pemerintahan yang digerakkan oleh peraturan yang
kaku dan mengikat. Organisasi publik yang digerakkan oleh misi, aturan dilaksanakan secara
luwes dan memberikan otonomi kepada birokrat secara proporsional. sehingga aparatur
Pemerintah memanfaatkan sumberdaya dan lingkungan dengan efektif dan seefisien mungkin
tanpa melanggar aturan yang baku organisasi. Seperti yang ditulis Osborne dan Gaebler
dalamTanlikisan ( 2005: 105) organisasi yang dijalankan berdasarkan peraturan akan tidak
efektif dan kurang efisien karena kinerjanya lambat dan terkesan bertele-tele. Hal ini karena
mendudukan misi organisasi publik yang berangkutan mengembangkan sistem anggaran dan
peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada anggota organisasi untuk mencapai misi
tersebut. Adanya peraturan memang suatu kenyataan yang memiliki tujuan yang baik, tetapi
dalam praktiknya organisasi berjalan lambat dan kurang mampu merespon tuntutan
lingkungan yang berubah dengan cepat. Alasannya adalah pemimpin publik tidak akan
mampu melakukan apa yang menurut pandangannya baik, karena takut terkena sanksi jika
ternyata perbuatan maupun keputusannnya dianggap melanggar peraturan. Kondisi ini jika
berlarut-larut akan menimbulkan sikap dan tindakan aparatur pemerintah menjadi apatis dan
kehilangan inovasi dalam memberikan pelayanan publik. Konsekuensi organisasi publik yang
digerakkan oleh peraturan ( meski peraturan mungkin bisa menekan penyimpanan dan
korupsi ) tetapi akibatnya terjadi pemborosan. Sedangkan menurut Osborne dan Gaebler
(1996:133-134) organisasi publik yang digerakkan oleh misi memiliki keunggulan nyata
yaitu: lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel dan lebih mempunyai
semangat lebih tinggi ketimbang digerakkan oleh peraturan.
Untuk itu, maka syarat yang harus disediakan oleh pimpinan publik adalah:
3. menciptakan suatu budaya organisasi dalam misi. Akhirnya, tawaran sederhana ini
tetap perlu didiskusikan lebih lanjut demi menciptakan pelayanan publik yang lebih
berkualitas.
Agar kepeminpinan tetap berhasil mencapai tujuan, pelaksanaan kepemimpinannya yang baik
dapat dilihat dari cara seorang pemimpin melakukan tugasnya, hal ini dapat dilihat dari ciri-
ciri sebagai berikut:
1. penglihatan sosial, suatu kemampuan untuk melihat dan mengrti gejala-gejala yang timbul
dalam masyarakat sehari-hari.
2. kecakapan berfikir abstrak, dalam artian seorang pemimpin harus mempunyai otak yang
cerdas, intelegensi yang tinggi, dalam menganalisa dan memutuskan adanya gejala yang
terjadi dalam kelompoknya, sehinggah bermanfaat dalam tujuan organisasi.